Anda di halaman 1dari 9

Desentralisasi Manajemen Pendidikan

Desentralisasi pengelolaan pendidikan di Indonesia disamping diakui sebagai kebijaliaxi


politis yang berkait dengan ,pendidikan, juga merupakan kebijakan yang berkait dengan
banyak hal. Paqueo dm Lammert (2000) menunjuk alasanalasandesentralisasi
penyelenggaraan pendidikan yang sangat cocok untuk kondisi Indonesia, yaitu karena alas an
1. pembiayaan pendidikan,
2. peningkatan efektivitas dan efisiensi
3. penyelenggaraan pendidikan,
4. Redistribusi kekuatan politik,
5. peningkatan kualitas pendidikan dan
6. peningkatan inovasi dalam rangka pernuasan harapan seluruh warga negara.

Sesuai dengan tuntutan reformasi dan demokratisasi dibidang pendidikan, pengelolaan


pendidikan di Indonesia tidakdapat dilepaskan dari keinginan dan tujuan bangsa Indonesia
dalam penyelenggaraan pendidikan itu sendiri. Salah satu dokumen yang memuat keinginan
itu adalah Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas. Sebagai contoh dalam
pendidikan dasar, Propenas menyebutkan kegiatan pokok dalam upaya memperbaiki
manajemen pendidikan dwar di Indonesia adalah:
1) Melaksanakan desentralisasi bidang pendidikan secara bertahap, bijaksana dan
profesional, termasuk peningkatan peranan Komite Sekolah dengan mendorong
daerah untuk melaksanakan rintisan penerapan konsep pembentukan Dewan Sekolah;
2) Mengembangkan pola penyelenggaraan Pendidikan berdasarkan manajemen berbasis.
sekolah untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan dengan
memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat;
3) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, seperti
diversifikasi penggunaan sumber daya dan dana;
4) Mengembangkan sistem insentif yang mendorong kompetisi yang sehat baik antar
lembaga dan personel sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan;
5) Memberdayakan personel dm lembaga, antara lain, melalui pelatihan yang
dilaksanakan oleh lembaga profesional.Program pemberdayaan ini perlu diikuti
dengan pemantauan dan evaluasi secara bertahap dan intensif agar krikterja sekolah
dapat bertahan sesuai dengan standar mutu pendidikan y ang ditetapkan;
6) Meninjau kembali semua produk hukum di bidang pendidikan yang tidak sesuai lagi
dengan arah dm tuntutan pembangunan pendidikan; dan
7) Merintis pembentukan badan akreditasi dan sertifikasi mengajar di daerah untuk
meningkatkan kualitas tenaga kependidikan secara independent

Atas dasar amanat seperti yang dirumuskan dalam Propenas di atas, tekat bangsa
Indonesia untuk mewujudkan system pengelolaan pendidikan yaitu Manajemen Berbasis
sekolah(M BS) terkesan sangat kuat. Dengan sistem ini pendidikan .dapat dilaksanakan lebih
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat, di mana proses pengambilan
keputusan dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang paling dekal dengan proses pembelajaran
(kepala sekolah, guru dan orang tua peserta didik). Namun demikian, atas dasar potensi yang
ada, yang menjadi pertanyaan besar adalah sudahkah tersedia sumber daya manusia bidang
pendidikan di Indonesia yang mampu melakukan keinginan model manajemen Pendidikan di
Indonesia, atau sudahkah sumber daya pendidikan di Indonesia saat ini diperkirakan mampu
memikul beban manajemen pendidikan tersebut?

Dalam rangka menyambut otonomi daerah yang Sekaligus disertai dengan otonorni
penyelenggaraan pendidikan, Musa (2000) menunjukkan ada sasaran utama program
Restrukturisasi system dan manajemen pendidikan di Indonesia. Restrukturisasi itu
hendaknya mencakup hal-ha1 berikut ini:
1) Struktur organisasi pendidikan hendaknya terbuka dan dinamis, mencerminkan
desentralisasi dan pemberdayaan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan.
2) Sarana pendidikan dan fasilitas pembelajaran dibakukan berdasarkan prinsip edukatif
sehingga lembaga Pendidikan merupakan tempat yang menyenangkan untuk belajar,
berprestasi, berkreasi, berkomunikasi, berolahraga serta menjalankan syariat agama.
3) Tenaga kependidikan, terutama tenaga pengajar harus direkrut melalui proses seleksi
sejak memasuki LPTK disertai dengan sistem tunjangan ikatan dinas dan wajib
mengajar.
4) Struktur kurikulum pendidikan hendaknya mengacu pada penerapan sistem
pembelajaran tuntas, tidak terikat pada penyelesaian target kurikulum secara seragam
per catur wulan dan tahun ajaran.
5) Proses pembelajaran tuntas diterapkan dengan berbagai modus pendekatan
pembelajaran, peserta didik aktif sesuai dengan tingkat kesulitan konsep-konsep dasar
yang dipelajari.
6) Sistem penilaian hasil belajar secara berkelanjutan perlu diterapkan di setiap lembaga
pendidikan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan pembelajaran tuntas.
7) Dilakukan supervisi dan akrditasi. Supervisi dan pembinaan administrasi dan
akademik dilakukan oleh unsur manajemen tingkat pusat dan propinsi yang bertujuan
untuk pengendaliam muti (quality control). Sedangkan akreditasi dilakukan untuk
menjamin mutu (quality assurance) pelayanan kelembagaan
8) Pendidikan berbasis masyarakat seperti pondok pesantrenkursus-kursus keterampilan,
pemagangan di tempat kerja dalam rangka pendidikan sistem ganda hams menjadi
bagian dari sistem pendidikan nasional.
9) Formula pembiayaan pendidikan atau unit cost dan subsidi pendidikan hams
didasarkan pada bobot beban penyelenggaraan pendidikan yang memperhatikan
jumlah peserta didik, kesulitan komunikasi, tingkat kesejahteraan masyarakat dan
tingkat partisipasi pendidikan serta kontribusi masyarakat terhadap pendidikan pada
setiap sekolah,

Tugas dan Fungsi Manajer Pendidikan

Skema desentralisasi pengelolaan pendidikan harus mampu mengubah para pelaku pengelola
pendidikandari pola manajemen top-down ke pengambilan keputusan partisipatif yang
bersifat buttom-up. Pendidikan adalah bukan hadiah dari pemerintah ~epadwa arga negara,
akan tetapi merupakan hak warga negara yang kemudian diatur oleh pemerintah. Undang
undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa
pemerintah pusat dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu dan
mengawasi penyelenggaraan pendidikan. Pemerintah pusat dan daerah wajib memberikan
layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi
setiap warga negara tanpa disknminasi, menjarnin tersedianya dana guna terselenggaranya
pendidikan bag setiap warga negara yang bemsia tujuh sampai dengan lima belas tahun.
1. Tugas dan Fungsi Pemerintah Pusat
Tugas dan fungsi Depdiknas dalam implementasi desentralisasi pengelolaan
pendidikan dapat hadaptasi dari rumusan Direktorat SLTP Ditjen Dikdasmen (2002),
yaitu menentukan kebijakan dan strategi pada tataran formulasil penetapan kebijakan,
implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan pada tingkat nasional. Dari ha1 di
atas maka dapat dipaharni bahwa peran pemerintah pusat dalam manajemen
pendidikan nasional adalah sebagai regulator, pengambil kebijakan makro dan
penetapan standard pelayanan minimal berskala nasional. Penetapan aturan dan
rarnbu-rambu yang berskala nasional ini hendaknya juga menjadi peran politis dalam
rangka pasatuan dan kesatuan Indonesia sebagai suatu bangsa besar dan peran itu
tidak dapat dilakukan ol6h manajer di daerah. Meskipun pada akhirnya daerah dan
sekolah berkewajiban menanggung biaya pendidikan di daerah atau sekolah masing-
masing, pemerintah pusat diharapkan tetap mempertimbangkan bahwa belum semua
daerah mampu secara mandiri melaksanakan desentralisasi pembiayaan pendidikan.
oleh.karena itu, sistem keuangan pendilkan nasional hendaknya mampu memberikan
back-up bagi daerah-daerah a tau sekolah-sekola h yang benar-benar giveup dalam
pembiayaan.

2. Tugas dan Fungsi Pemerin tah Daerah


Meskipun pelaksanaan desentralisasi pengelolaan pendidikan sebenamya berada di
kabupaten/kota, di daerah tetap ada dua jenjang birokrasi yang berperan dalam
pelaksanaan desentralisasi pengelolaan pendidikan, yaitu pemerintah propinsi dan
pemerintah kabupaten/kota.

a. Pemerintah Propinsi
Peran pemerintah propinsi sebenamya sangat strategis sebagai wakil pemerintah
pusat di propinsi dalam melaksanakan koordinasi penyelenggaraan pendidikan di
propinsi masing-masing. Apabila peran propinsi ini efektif, maka span ofcon trol
dari pemerintah pusat tidak terlalu lebar. Seperti yang dirumuskan oleh Ditjen
Dikdasmen (2002), tugas dan peran pemerintah propinsi dalam penyelenggaraan
pendidikan adalah:
1. Menyusun petunjuk teknis pelaksanaan dan petunjuk teknis monitoring dan
evaluasi berdasarkan pedoman yang ditetapkan pemerintah pusat;
2. Memberi pelatihan kepada para pengembang manajemen berbasis sekolah di
tingkat kabupaten;
3. Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaanmanajemen berbasis sekolah
serta pengembangannya di propinsi masing-masing;
4. Mengkoordinasikan dan menyerasikan pelaksanaan manajemen berbasis
sekolah lintas kabupaten untuk menghindari penyimpangan dan menghindari
kesenjangan mutu pendidikan lintas kabupaten.

b. Pemerintah KabupatenKota
Peran pemerintah daerah kabupatenjkota dalam desentralisasi pengelolaan
pendidikan tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan peran pemerintah
propinsi, yaitu mengembangkan format pengelolaan pendidikan secara
komprehensif dan terpadu, mengembangkan network dengan para kepala sekolah
dan guru, mengembangkan komunikasi dan ke rjasama dengan berbagai unsur
yang ada di masyarakat dan yang ada di jajaran pemerintahan daerah
kabupaten/kota (Gaffar, 2002).

Meskipun banyak tugas yang kemudian didelegasikan kepada sekolah, dalam


pandangan Banicky, Rodney dan Foss (2000), pelimpahan wewenang
pengambilan kebijakan (discretionary power) kepada sekolah itu tidak berarti
mengurangi pentingnya dan melepaskan pemerintah kabupatenkota, dalam hal ini
Dinas Pendidikan kabupatenkota. Dinas Pendidikan Kabupaten/kota masih
bertanggung jawab untuk merumuskan batas, fokus, kriteria dan tanggung jawab
sekolah dalam implementasi MBS. Manajer pendidikan di kabupaten/kota juga
mengambil kebijakan dan mengakomodasi kebutuhan daerah sesuai dengan
karekteristik daerah, menerjemahkan kebijakan pusat sesuai dengan potensi
Daerah dengan mempertimbangkan aspek budaya, ekonomi, sosiologis, psikologis
dan geografisdaerah yang bersangkutan.
Pemerintah daerah juga mempunyai kekuatan untuk memberikan dukungan
dan memotivasi masyarakat (dan orang tua peserta didik) untuk secara lebih aktif
berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Wadah Dewan Pendidikan di
kabupaten kota harus diupayakan sedemikian rupa sehingga mempunyai kekuatan
'memaksa' masyarakat dan melakukan pembelaan kepentingan masyarakat
berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan.

3. Tugas dan Fungsi Kepala Sekolah


Kepala sekolah adalah manajer pendidikan tingkat sekolah dan ujung tombak utama
dalam mengelola pendidikan di level sekolak Kepala sekolah memegang peran poros
yang paling penting (pivotal role) untuk keberhasilan implementasi manajemen
berbasis sekolah, dan oleh karena itu, kepala sekolah harus mempunyai kemampuan
manajerial yang profesional dalam mengelola sekolahnya.

Dalam kacamata Gaffar (2002), fungsi utama kepala sekolah sebagai manajer
pendidikan di tingkat sekolah adalah memahami konsep dan penerapan manajemen
berbasis sekolah yang mempakan model manajemen yang sedang dikembangkan
dalam era otonorni pada tingkat persekolahan, dan mencoba mengembangkan
kemandirian semua unsur di sekolah melalui pemberdayaan yang efisien dan efektif.
Untuk melakukan tugas di atas, kepala sekolah dalam implementasi manajemen
berbasis sekolah hendaknya seseorang yang mempunyai kemampuan kepemimpinan
(leadership skills) dalam berbagi pengambilan keputusan, mempunyai kemampuan
yang tinggi dalam pembelajaran (strong instructional leaders), pengorganisir
keinginan Masyarakat (community organizers), manajer yang ber pikiran cerdasltajam
(sharp managers), fasilitator yang terampil (skillful facilitators), dan orang yang
berpandangan optimistik terhadap lingkungan sekolah (optimistic visionaries of
school environment) (Noble, 1996).
Untuk mendukung implementasi manajemen berbasis sekolah di atas, kepala
sekolah tidak mungkin berjuang sebagai singlefighter, dia harus dibantu oleh staf
sekolah dan lingkungan yang kondusif. Hal itu seperti yang disebutkan oleh
Education Consumer Guide (1993), yaitu:
1) Implementasi manajemen berbasis sekolah harus didukung sepenuhnya oleh
guru dan personalia lainnya di sekolah;
2) MBS akan leblh berhasil apabila diimplementasikan secara sedikit demi
sedikit (gradually), yang mungkin membutuhkan lima tahun atau lebih;
3) Guru dan personalia lainnya di sekolah'serta para staf di Kantor Dinas
Kecamatan atau Kabupaten/Kota (district stafn harus memperoleh training
khusus untuk itu, dan harus mempelajari cara menyesuaikan dengan
aturanaturan baru dan cara mengkomunikasikamya;
4) Perlu disediakan dana untuk mendukung pelaksanaan training dan pertemuan-
pertemuan lainnya;
5) Harus ada pelimpahan wewenang dari pusat kepada kepala sekolah, dan pada
gilirannya dari kepala sekolah kepada para guru dan orang tua peserta didik;

Dari beberapa uraian di atas, perubahan skema sentralisasi ke desentralisasi


dideskripsikan sangat jenius oleh Supriadi (2003) dalam bentuk matriks yang
menggambarkan kewenangan membuat keputusan, kemandirian pengelolaan dana dan
akuntabilitas hasil dari pemerintah pusat, propinsi, kabupatenfiota dan sekolah.Secara
umum matriks itu melukiskan peranan pusat semakin kecil atau menurun dan peranan
sekolah menjadi semakin besar atau meningkat. Dari paparan pada matriks tersebut
dapat dipahami bahwa beban kewenangan dalam membuat keputusan kemandirian
dalam mengelola dana serta akuntabilitas had bergeser turun dari pemerintah pusat ke
propinsi, kabupaten/kota sekolah
TUJUAN

Tujuan Desentralisasi Pendidikan


Terdapat delapan tujuan utama desentralisasi menurut (Hanson dalam Hadiyanto,
2004: 27), yaitu:
1. Mempercepat pertumbuhan ekonomi (accelerated economic development),
2. Meningkatkan efesiensi manajemen (increased management efficiency),
3. Distribusi tanggung jawab dalam bidang keuangan (redistribution of financial
responsibility),
4. Meningkatkan demokratisasi mealalui distribusi kekuasaan (increased
democratization trough the distribution of power),
5. Control local menjadi lebih besar melalui deregulasi (greater local control trough
deregulation),
6. Pendidikan berbasis kebutuhan pasar (market-based education),
7. Menetralisasi pusat-pusat kekuasaan (neutralizing competing centers of power),
8. Meningkatkan kualitas pendidikan (improving the quality of education),
Menurut Hadiyanto (2004: 30), secara konseptual, terdapat dua jenis desentralisasi
pendidikan, yaitu:
1. Desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan dalam hal kebijakan pendidikan dan aspek
pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (propinsi dan distrik)
2. Desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di
tingkat sekolah
Konsep desentralisasi pendidikan yang pertama terutama berkaitan dengan otonomi
daerah dan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah, sedangkan
konsep desentralisasi pendidikan yang memfokuskan pada pemberian kewenangan yang lebih
besar pada tingkat sekolah dilakukan dengan motivasi untuk meningkatkan kualitas
pendidikan.
Adapun tujuan dan orientasi dari desentralisasi pendidikan sangat bervariasi
berdasarkan pengalaman desentralisasi pendidikan yang dilakukan di beberapa negara
Amerika Latin, di Amerika Serikat dan Eropa. Jika yang menjadi tujuan adalah pemberian
kewenangan di sektor pendidikan yang lebih besar kepada pemerintah daerah, maka fokus
desentralisasi pendidikan yang dilakukan adalah pada pelimpahan kewenangan yang lebih
besar kepada pemerintah lokal atau kepada Dewan Sekolah. Implisit ke dalam strategi
desentralisi pendidikan yang seperti ini adalah target untuk mencapai efisiensi dalam
penggunaan sumber daya (school resources; dana pendidikan yang berasal yang pemerintah
dan masyarakat). Di lain pihak, jika yang menjadi tujuan desentralisasi pendidikan adalah
peningkatan kualitas proses belajar mengajar dan kualitas dari hasil proses belajar mengajar
tersebut, maka desentralisasi pendidikan lebih difokuskan pada reformasi proses belajar-
mengajar. Partisipasi orang tua dalam proses belajar mengajar dianggap merupakan salah satu
faktor yang paling menentukan. Desentralisasi pendidikan merupakan peluang bagi
peningkatan mutu kegiatan belajar mengajar di sekolah. Dengan kata lain, ia merupakan
peluang bagi peningkatan mutu pendidikan di setiap daerah. Hal ini karena perhatian
terhadap peningkatan mutu guru, peningkatan mutu manajemen kepala sekolah, peningkatan
sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan menjadi lebih baik jika dikelola
oleh para pejabat pendidikan yang ada di daerah. Pada akhirnya, tujuan desentralisasi
pendidikan adalah pada pemerataan mutu pendidikan yang meningkat ini. Desentralisasi
pendidikan merupakan salah satu model pengelolaan pendidikan yang menjadikan sekolah
sebagai proses pengambilan keputusan dan merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki
kualitas pendidikan serta sumber daya manusia termasuk profesionalitas guru yang
belakangan ini dirisaukan oleh berbagai pihak baik secara regional maupun secara
internasional. Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan
sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan keterpurukan dalam
mutu dan keunggulan pendidikan di tanah air kita. Hal ini beralasan, karena sistem birokrasi
selalu menempatkan “kekuasaan” sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses
pengambilan keputusan. Sekolah-sekolah saat ini telah terkungkung oleh kekuasaan birokrasi
sejak kekuasaan tingkat pusat hingga daerah bahkan terkesan semakin buruk dalam era
reformasi saat ini. Ironisnya, kepala sekolah dan guru-guru sebagai pihak yang paling
memahami realitas pendidikan berada pada tempat yang “dikendalikan”. Merekalah
seharusnya yang paling berperan sebagai pengambil keputusan dalam mengatasi berbagai
persoalan sehari-hari yang menghadang upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun, mereka
ada dalam posisi tidak berdaya dan tertekan oleh berbagai pembakuan dalam bentuk juklak
dan juknis yang “pasti” tidak sesuai dengan kenyataan obyektif di masing-masing sekolah.
Disamping itu pula, kekuasaan birokrasi juga yang menjadi faktor sebab dari
menurunnya semangat partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di
sekolah. Dulu, sekolah sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat, dan merekalah yang
membangun dan memelihara sekolah, mengadakan sarana pendidikan, serta iuran untuk
mengadakan biaya operasional sekolah. Jika sekolah telah mereka bangun, masyarakat hanya
meminta guru-guru kepada pemerintah untuk diangkat pada sekolah mereka itu.
Pada waktu itu, kita sebenarnya telah mencapai pembangunan pendidikan yang
berkelanjutan (sustainable development), karena sekolah adalah sepenuhnya milik
masyarakat yang senantiasa bertanggungjawab dalam pemeliharan serta operasional
pendidikan sehari-hari. Pada waktu itu, Pemerintah berfungsi sebagai penyeimbang, melalui
pemberian subsidi bantuan bagi sekolah-sekolah pada masyarakat yang benar-benar kurang
mampu.

Syarat Keberhasilan Proses Desentralisasi Pendidikan


Keberhasilan desentralisasi pendidikan setidaknya akan tergantung pada beberapa
faktor pendukung. Di bawah ini akan dikemukakan empat faktor penunjang keberhasilan
desentralisasi pendidikan, yaitu:
1. Menerapkan deregulasi, meningkatkan fleksibilitas melalui penerapan deregulasi
merupakan kunci utama untuk memacu efektivitas desentralisasi pendidikian di
daerah dan sekolah. deregulasi merupakan proses pemangkasan jalur birokrasi
yang terlalu ketat dan panjang. Deregulasi juga berarti menghilangkan rantai
birokrasi yang terlalu banyak. Sebagai system semestinya bukan untuk
mempersulit dan memperlambat proses, tetapi sebaliknya memperlancar proses
layanan pendidikan yang diperlukan oleh masyarakat.
2. Menerapkan semiotonom atau melaksanakan desentralisasi secara bertahap dan
berkesinambungan.
3. Melaksanakan kepemimpinan demokratis dan partisipatif dalam penyelenggaraan
pendidikan di sekolah.
4. Menerapkan profesionalitas, transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan
desentralisasi pendidikan.

E. Langkah langakah desentralisasi pendidikan


Menurut Hanif Al Khadri, langkah Pelaksanaan Desentralisasi Manajemen
Pendidikan 1. Langkah-Langkah Pelaksanaan Desentralisasi
Manajemen Pendidikan Langkah-langkah pelaksanaan desentralisasi manajemen
pendidikan mengacu pada proses dan substansi manajemen pendidikan. Desentralisasi
manajemen harus dilakukan secara bertahap, tidak sebagaimana membalikkan tangan,
walaupun sekarang jamannya reformasi di segala bidang. Hal ini terkait dengan permasalahan
yang dihadapi bangsa Indonesia akibat penerapan sentralisasi yang berkepanjangan.
Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam pelaksanaan desentralisasi Manajemen
Pendidikan adalah:
a. “Planning” atau Perencanaan yang matang dan mantap menuju terselenggaranya
desentralisasi manajemen pendidikan. Langkah ini mencakup:
(1) penyiapan perangkat perundang-undangan yang mengatur sistem organisasi dan
manajemen pendidikan antara Pusat, Wilayah dan Daerah dalam kerangka
desentralisasi manajemen pendidikan (hal ini merupakan tugas pemerintah dan
DPR dalam menyusun UndangUndang);
(2) penyusunan program kerja pelaksanaan desentralisasi manajemen pendidikan,
misalnya adanya RENSTRA di bidang manajemen pendidikan di daerah;
(3) penjadwalan pelaksanaan desentralisasi manajemen pendidikan;
(4) penganggaran yang melibatkan kerjasama pemerintah dan stakeholders.

b. Pelaksanaan desentralisasi manajemen pendidikan terkait dengan :


(1) penempatan personel pengelola dan pelaksana pendidikan dalam keseluruhan
struktur organisasi yang telah dibentuk,
(2) mengatur mekanisme kerja antar instansi yang terkait sesuai dengan
organinisasi yang dibentuk,
(3) penyediaan sarana administratif yang memadai untuk penyelenggaraan
desentralisasi manajemen pendidikan;
(4) Penyiapan tenaga lapangan, baik pengelola maupun pelaksana pendidikan,
terutama kesiapan mental dan kemampuannya;
(5) Penyiapan mental dan kemampuan tenaga pendidik dan tenaga administratif
yang menopang pelaksanaan desentralisasi manajemen pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai