Anda di halaman 1dari 21

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN OTONOMI DAN DESENTRALISASI

DAERAH TERHADAP PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

MAKALAH
Diajukan Sebagai Tugas Kelompok
Mata Kuliah Implementasi Kebijakan

Dosen Pengampuh: Dr. Cahyo Sasmito, S.H., M.Si

Disusun Oleh
Kelompok 3:
Leonardo Wila Tenga (2021420039)
Bela Safira (2021420037)
Kurnia Dewiyanti (20172100430)
Angelina Yusi Utami (2021420003)
Ratna Setyo Rahayu (2021420003)
Roberta Ayu Lestari (2021420023)

PROGRAM STUDI MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK


SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGADEWI
MALANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami kelompok 3 panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat atas dan ijinya kami kelompok 3 dapat menyelesaikan tugas makalah
terkait implementasi kebijakan, dengan deskripsi pembahasan yakni “Implementasi
Kebijakan Otonomi Dan Desentralisasi Daerah Terhadap Perkembangan
Pendidikan Di Indonesia”
kami menyusun makalah ini dengan maksud selain sebagai persyaratan tugas
mata kuliah yang diberikan Bpk. Dr, Cahyo Sasmito, S.H., M.Si, juga sebagai bahan
reverensi bagi kami sendiri dalam memahami model implemen tasi publik dan proses
implementasi yang ada di Indonesia saat ini.
Dengan harapan yang sama pula, kami berharap pemaca makalah kami dapat
memperluas cakrawala pemikiran terkait implementasi kebijakan khususnya
kenijakan otonomi dan desentralisasi daerah terhadap perkembangan pendidikan di
Indonesia.
Kami mnyadari dalam menyusun makalah ini tidak terlepas dari banyak nya
kekurangan dan kikhilafan pemilihan kata, oleh karena itu kami berharap kritik dan
saran dari pembaca, demi kesempuranaan makalah kami kedepannya. Terima Kasih

Malang 24 Juni 2022

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................4
2.1 Implmentasi Kebijakan......................................................................................4
2.1.1 Pengertian Implementasi Kebijakan.......................................................4

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara berpendidikan. Tetapi, kondisi pendidikannya

masih belum merata. Pendidikan yang belum merata di Indonesia menjadi masalah.

faktor yang menyebabkan pendidikan di Indonesia kurang merata adalah kemiskinan,

SDM (sumber daya manusia),rendahnya kualitas guru, rendahnya prestasi dan sarana

dan prasarana sekolah. Daerah di Indonesia yang kualitas pendidikannya yang kurang

ialah Indonesia bagian timur. Karena, disana bukan hanya sarana dan prasarananya

yang kurang tetapi tenaga pendidikannya juga kurang, sehingga masih membutuhkan

tenaga pendidik dari luar daerah. Penyebab dari faktor kemiskinan banyak anak-anak

yang masih dibawah umur berkerja untuk membantu ekonomi keluarganya yang

mengakibatkan mereka terhambat sekolahnya.  Oleh karena itu pemerintah

harus  berpikir penuh terhadap pentingnya pemerataan pendidikan, terutama bagi

sekelompok masyarakat yang miskin dan masyarakat yang ada di daerah terpencil.

Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memperhatikan dengan dibuktikan

data UNESCO tahun 2000 tentang indeks pengembangan manusia (Human

Developmant Indeks), yaitu komposisi dari peringkat kecapaian pendidikan. Baik

pendidikan formal dan informal.

Indonesia adalah salah satu negara yang menerapkan pendidikan dan

mengadakan program wajib belajar 9 tahun. Namun yang menyelengarakan itu bukan

hanya pemerintah pusat tetapi pemerintah memberikan seluas-luasnya atau

1
melimpahkan kekuasaan kepada pemerintah daerah agar mengawasi pendidikan di

negara Indonesia. Berdasar Undang-Undang Dasar yang tercantum dalam Pembukaan

UUD 1945. Hal ini juga diatur dalam Undnag-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Pendidikan Nasional serta dalam perarturan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun

2008 tentang Wajib Belajar. Namun faktanya masih banyak anak-anak indonesia

yang belum mendapatkan pendidikan yang layak. Hal ini disebabkan oleh kurang

meratanya pendidikan di Indonesia.

Laporan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi

(Kemendikbudristek) menunjukkan, ada 75.303 orang anak yang putus sekolah pada

2021. Jumlah anak yang putus sekolah di tingkat sekolah dasar (SD) merupakan yang

tertinggi sebanyak 38.716 orang.

Jumlah anak putus sekolah di tingkat SD menurun 13,02% dari tahun

sebelumnya. Pada 2020, ada 44.516 orang anak yang putus sekolah di tingkat SD.

Kemudian, jumlah anak putus sekolah di tingkat sekolah menengah pertama (SMP)

yakni sebanyak 15.042 orang. Jumlah ini naik 32,20% dari tahun sebelumnya yang

sebanyak 11.378 orang. Berikutnya, sebanyak 12.063 orang anak putus sekolah di

tingkat sekolah menengah kejuruan (SMK). Jumlah ini turun 13,53% dibandingkan

tahun sebelumnya yang sebanyak 13.951 orang.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana Implementasi Kebijakan Otonomi Dan Desentralisasi Daerah Terhadap

Perkembangan Pendidikan di Indonesia?

2
2. apa saja faktor pendukung dan penghambat Implementasi Kebijakan Otonomi Dan

Desentralisasi Daerah Terhadap Perkembangan Pendidikan di Indonesia?

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Implementasi Kebijakan

2.1.1 Pengertian Implementasi

Implementasi adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana

yang sudah disusun secara matang dan terperinci. Secara sederhana implementasi

dapat juga diartikan sebagai pelaksanaan atau penerapan. Browne dan Wildavsky

(dalam Nurdin dan Usman,2004:70) mengemukakan bahwa implementasi adalah

suatu perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan. Van Meter dan Van Horn (dalam

Wahab2006:65) mengatakan bahwa implementasi merupakan tindakan-tindakan yang

dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok

pemerintahan atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah

digariskan dalam keputusan kebijakan. Sebenarnya kata implementasi bermuara pada

aktivitas, adanya aksi, tindakan, atau mekanisme suatu sistem. Mekanisme

mengandung arti bahwa implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan

yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan atau norma

tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan tertentu.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Implementasi diartikan

sebagai pelaksanaan atau penerapan. Itu artinya bahwa setiap kegiatan yang akan

dilaksanakan merupakan implementasi yang sungguh- sungguh untuk mencapai

tujuan. Menurut Hanifah Harsono dalam bukunya yang berjudul Implementasi

4
Kebijakan dan Politik mengemukakan pendapatnya mengenai implementasi yaitu:

“Implementasi adalah suatu proses untuk melaksanakan kebijakan menjadi tindakan

kebijakan dari politik ke dalam administrasi. Pengembangan kebijakan dalam rangka

penyempurnaan suatu program” Sedangkan Menurut Guntur Setiawan dalam

bukunya yang berjudul Implementasi Dalam Birokrasi Pembangunan mengemukakan

pendapatnya mengenai implementasi atau pelaksanaan, “Implementasi adalah

perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi antara tujuan dan

tindakan untuk mencapainya serta memerlukan jaringan pelaksana, birokrasi yang

efektif” Implementasi merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk mewujudkan

program hingga memperlihatkan hasilnya (Jones,1987).

Leo Agustino dalam Bukunya Dasar-Dasar Kebijakan Publik (2008:139)

mengatakan bahwa implementasi merupakan suatu proses yang dinamis, dimana

pelaksanaan kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada

akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran

kebijakan itu sendiri. Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier dalam bukunya

Implementation and Publik Policy (1983:61) mendefenisikan kebijakan sebagai

“Pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang- undang,

namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan- keputusan eksekutif

yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut

mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan

atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau

mengatur proses implementasinya”. Chief J. O. Udoji (1981) mengatakan bahwa

5
implementasi kebijakan adalah sesuatu yang penting dan bahkan jauh lebih penting

dari pada pembuatan 21 kebijakan. kebijakan-kebijakan hanya sekedar berupa impian

atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan.

Dari beberapa defenisi tersebut diatas dapat diketahui bahwa implementasi

kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu pertama adanya tujuan atau sasaran kebijakan,

kedua adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan, dan yang ketiga adalah

adanya hasil kegiatan.

1. Komunikasi

Menurut Edward III dalam Widodo (2010 :97), komunikasi diartikan sebagai

“proses penyampaian informasi komunikator kepada komunikan”. Informasi

mengenai kebijakan publik menurut Edward III dalam Widodo (2010:97) perlu

disampaikan kepada pelaku kebijakan agar para pelaku kebijakan dapat mengetahui

apa yang harus mereka persiapkan dan lakukan untuk menjalankan kebijakan tersebut

sehingga tujuan dan sasaran kebijakan dapat dicapai sesuai dengan yang diharapakan.

Desentralisasi  merupakan suatu bentuk pemberian kewenangan kepada unit-

unit atau pengelola-pengelola dengan tingkat kewenanjgan yang lebih rendah di

dalam suatu struktur organisasi. Desentralisasi juga diartikan sebagai penyerahan

wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia

(Pasal 1 ayat (7) UU Nomor 32 Tahun 2004).

6
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi diartikan sebagai

proses penyampaian informasi komunikator kepada komunikan dimana yang menjadi

komunikator dalam Implementasi Kebijakan Otonomi dan Desentralisasi Daerah

terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia adalah Pemerintah dan yang menjadi

Komunikan itu sendiri adalah Pemerintah daerah. Dimana yang memegang

kekuasaan tertinggi adalah pemerintah dan pemerintah daerah berada dibawah

kekuasaan pemerintah negeri.

Pelaku kebijakan impelemntasi kebijakan otonomi dan desentralisasi daerah

terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia adalah pemerintah daerah itu sendiri

yang disampaikan oleh pemerintah negeri kepada pelaku kebijakan agar para

pemerintah daerah dapat mengetahui apa yang harus mereka persiapkan dan lakukan

untuk menjalankan kebijakan tersebut sehingga tujuan dan sasaran kebijakan dapat

dicapai dengan yang diharapkan. Dimana Tujuan dengan adanya desentralisasi adalah

untuk meningkatkan kesejahteraann masyarakat daerah dengan melakukan

pemerataan sehingga infrastuktur penunjang pendidikan dan bidang lain dapat

terselenggarakan dengan baik.

Menurut Edward III dalam Widodo (2010:97), komunikasi kebijakan

memiliki beberapa dimensi, antara lain dimensi transmisi (trasmission), kejelasan

(clarity) dan konsistensi (consistency).

1. Dimensi transmisi menghendaki agar kebijakan publik disampaikan tidak hanya

disampaikan kepada pelaksana (implementors) kebijakan tetapi juga disampaikan

7
kepada kelompok sasaran kebijakan dan pihak lain yang berkepentingan baik

secara langsung maupun tidak langsung.

Implementasi kebijakan otonomi dan Desentralisasi daerah terhadap

perkembangan pendidikan di Indonesia bukan hanya disampaikan untuk pemerintah

daerah saja melainkan disampaikan kepada masyarakat. Agar implementasi kebijakan

tersebut dapat berjalan dengan lancar perlu adanya dukungan dari pemerintah daerah

dan masyarakat yang saling berkaitan satu sama lain demi mencerdaskan anak

bangsa. Dengan adanya partisipasi masyarakat pemerintah daerah dapat dengan

mudah membangun tujuan dari kebijakan otonomi dan desentralisasi daerah terhadap

pendidikan di Indonesia dimana mencapai tujuan prinsip Desentralisasi Pendidikan

yaitu:

a. Perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu.

b. Peningkatan kemampuan akademik, professional dan kesejahteraan tenaga

kependidikan.

c. Pembahasan sistem pendidikan (sekolah dan luar sekolah) sebagai pusat

nilai sikap

d. Kemampuan dan partisipasi masyarakat.

e. Pembahasan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip

desentralisasi, otonomi dan manajemen

2. Dimensi kejelasan (clarity) menghendaki agar kebijakan yang ditrasmisikan

kepada pelaksana, target grup dan pihak lain yang berkepentingan secara jelas

sehingga diantara mereka mengetahui apa yang menjadi maksud, tujuan, sasaran,

8
serta substansi dari kebijakan publik tersebut sehingga masingmasing akan

mengetahui apa yang harus dipersiapkan serta dilaksanakan untuk mensukseskan

kebijakan tersebut secara efektif dan efisien.

Impelentasi Kebijakan Otonomi dan Desentralisasi daerah terhadap pendidikan di

Indonesia memiliki prinsip dan tujuan yang sangat jelas yaitu :

a. untuk Peningkatan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan

pemerintah dan masyarakat.

b. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara

terarah, terpadu, dan menyeluruh.

Dari prinsip tersebut pemerintah daerah dapat lebih paham untuk bergerak

mengemukakan ide dan pendapat dengan musyawarah untuk mufakat dimana

kepentingan harus didasarkan untuk rakyat. Pendidikan didaerah saat ini masih

banyak yang berkekurangan baik dari fasilitas, akses, dan partisipasi masyarakat.

Dengan adanya desentralisasi semoga dapat memajukan pendidikan didaerah dengan

adanya pemangunan dan edukasi ke masyarakat tentang pentingnya pendidikan.

3. Dimensi konsistensi (consistency) diperlukan agar kebijakan yang diambil tidak

simpang siur sehingga membingungkan pelaksana kebijakan, target grup dan

pihak-pihak yang berkepentingan.

Implementasi Kebijakan Otonomi dan Desentralisasi daerah terhadap pendidikan

di Indonesia harus konsitensi agar kebijakan yang dibuat tidak simpang siur dan

membinggungkan pemerintah daerah dan masyarakat. Target dan pihak-pihak yang

dituju harus jelas kepada siapa sasaran desentralisasi ini dilakukan. Dengan adanya

9
konsistensi kebijakan yan dibuat dapat ditekuni oleh target sasaran. Pendidikan

daerah merupakan tinjauan daerah dimana dapat dinilai maju atau tidaknya suatu

daerah dilihat dari akses pendidikan yang memadai dimana tujuan ini harus menjadi

kebijakan bagi pemerintah daerah untuk mensejahterakan masyarakat.

2. Sumber Daya

Syarat berjalannya suatu organisasi adalah kepemilikan terhadap sumberdaya

(resources). Seorang ahli dalam bidang sumberdaya, Schermerchorn, Jr (1994:14)

mengelompokkan sumberdaya ke dalam: “Information, Material, Equipment,

Facilities, Money, People”. Sementara Hodge (1996:14) mengelompokkan

sumberdaya ke dalam: ”Human resources, Material resources, Financial resources

and Information resources”. Pengelompokkan ini diturunkan pada pengkategorikan

yang lebih spesifik yaitu sumberdaya manusia ke dalam: “Human resources- can be

classified in a variety of ways; labors, engineers, accountants, faculty, nurses, etc”.

Sumberdaya material dikategorikan ke dalam: “Material resources-equipment,

building, facilities, material, office, supplies, etc. Sumberdaya finansial digolongkan

menjadi: ”Financial resources- cash on hand, debt financing, owner`s investment,

sale reveue, etc”. Serta sumber daya informasi dibagi menjadi: “Data resources-

historical, projective, cost, revenue, manpower data etc”.

Edwards III (1980:11) mengkategorikan sumber daya organisasi terdiri

dari : “Staff, information, authority, facilities; building, equipment, land and

supplies”. Edward III (1980:1) mengemukakan bahwa sumberdaya tersebut dapat

diukur dari aspek kecukupannya yang didalamnya tersirat kesesuaian dan kejelasan;

10
“Insufficient resources will mean that laws will not be enforced, services will not be

provided and reasonable regulation will not be developed “.

“Sumber daya diposisikan sebagai input dalam organisasi sebagai suatu sistem

yang mempunyai implikasi yang bersifat ekonomis dan teknologis. Secara ekonomis,

sumber daya bertalian dengan biaya atau pengorbanan langsung yang dikeluarkan

oleh organisasi yang merefleksikan nilai atau kegunaan potensial dalam

transformasinya ke dalam output. Sedang secara teknologis, sumberdaya bertalian

dengan kemampuan transformasi dari organisasi”. (Tachjan, 2006:135)

Menurut Edward III dalam Agustino (2006:158-159), sumberdaya merupakan

hal penting dalam implementasi kebijakan yang baik. Indikator-indikator yang

digunakan untuk melihat sejauhmana sumberdaya mempengaruhi implementasi

kebijakan terdiri dari:

a. Staf.

Sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf atau pegawai

(street-level bureaucrats). Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi

kebijakan, salah-satunya disebabkan oleh staf/pegawai yang tidak cukup

memadai, mencukupi, ataupun tidak kompeten dalam bidangnya. Penambahan

jumlah staf dan implementor saja tidak cukup menyelesaikan persoalan

implementasi kebijakan, tetapi diperlukan sebuah kecukupan staf dengan

keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam

mengimplementasikan kebijakan.

b. Informasi.

11
Dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk yaitu:

pertama, informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan.

Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap

peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan.

c. Wewenang

Pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat

dilaksanakan secara efektif. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi

bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara

politik. Ketika wewenang tidak ada, maka kekuatan para implementor di mata

publik tidak dilegitimasi, sehingga dapat menggagalkan implementasi

kebijakan publik. Tetapi dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal

tersedia, maka sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan.

Di satu pihak, efektivitas kewenangan diperlukan dalam implementasi

kebijakan; tetapi di sisi lain, efektivitas akan menyurut manakala wewenang

diselewengkan oleh para pelaksana demi kepentingannya sendiri atau

kelompoknya.

d. Fasilitas

Fasilitas fisik merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan.

Implementor mungkin mempunyai staf yang mencukupi, kapabel dan

kompeten, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana)

maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.

12
3. Disposition (Disposisi)

Disposisi adalah watak atau karakteristik yang dimiliki oleh pelaksana

kebijakan. Disposisi itu seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratik. Apabila

pelaksana kebijakan mempunyai karakteristik atau watak yang baik, maka dia akan

melaksanakan kebijakan dengan baik sesuai dengan sasaran tujuan dan keinginan

pembuat kebijakan. Menurut Van Meter dan Van Horn (Widodo, 2007:105) terdapat

tiga macam elemen yang mempengaruhi disposisi yaitu pengetahuan (cognition),

pemahaman dan pendalaman (comprehension and understanding) terhadap kebijakan,

arah respon mereka apakah menerima, netral atau menolak (acceptance, neutrality,

and rejection), intensitas terhadap kebijakan”. Elemen yang dapat mempengaruhi

disposisi adalah pengetahuan, di mana pengetahuan merupakan elemen yang cukup

penting karena dengan pengetahuan tinggi yang dimiliki oleh aparatur dapat

membantu pelaksanaan implementasi tersebut. Pemahaman dan pendalaman juga

dapat membantu terciptanya dan terlaksananya implementasi sesuai dengan tujuan

yang akan di capai. Respon masyarakat juga dapat menentukan keberhasilan suatu

implementasi, karena dapat menentukan sikap apakah masyarakat menerima, netral

atau menolak.

Faktor-faktor yang menjadi perhatian Edward III mengenai disposisi dalam

implementasi kebijakan terdiri dari :

a. Pengangakatan birokrasi

Disposisi atau sikap pelaksana akan menimbulkan hamabatan-hambatan yang

nyata terhadap implementasi kebiajakan bila personil yang ada tidak

13
melaksanakan kebijakan yang didinginkan oleh pejabat yang lebih atas.

Karena itu, pengangkatan dan pemilihan personel pelaksana kebijakan

haruslah orang-orang yang memiliki deddikasi pada kebijakan yang telah

ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan warga masyarakat.

b. Insentif merupakan salah satu Teknik yang disarankan untuk mengatasi

masalah sikap para pelaksana kebijakan dengan memanipulasi insentif.Pada

dasarnya orang bergerak berdasarkan kepentingan dirinya sendiri

4. Struktur Birokrasi dalam Implementasi Kebijakan

Keberhasilan dalam implementasi kebijakan otonomi daerah bidang

pendidikan tidak terlepas dari keberadaan birokrasi tidak hanya ada dalam organisasi

atau struktur pemerintah, tetapi juga ada dalam institusi pendidikan maupun

organisasi swasta. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu birokrasi diciptakan hanya

untuk menjalankan suatu kebijakan tertentu. Implementasi kebijakan yang bersifat

kompleks menuntut adanya kerjasama banyak pihak. Ketika struktur birokrasi tidak

kondusif terhadap implementasi suatu kebijakan, maka hal ini akan menyebabkan

ketidakefektifan dan menghambat jalannya pelaksanaan kebijakan. Memahami

struktur birokrasi merupakan faktor yang fundamental untuk mengkaji implementasi

kebijakan publik.

Menurut Edwards III, terdapat dua karakteristik utama dari birokrasi yakni,

standard operational procedure (SOP) dan fragmentasi. SOP merupakan

perkembangan dari tuntutan internal akan kepastian waktu, sumber daya serta

14
kebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas. Ukuran

dasar SOP atau prosedur kerja ini biasa digunakan untuk menanggulangi keadaan

umum diberbagai sektor publik dan swasta. Dengan menggunakan SOP, para

pelaksana dapat mengoptimalkan waktu yang tersedia dan dapat berfungsi untuk

menyeragamkan tindakan-tindakan pejabat dalam organisasi yang kompleks dan

tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar dan kesamaan

yang besar dalam penerapan peraturan. SOP sangat mungkin dapat menjadi kendala

bagi implementasi kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-

tipe personil baru untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan. Dengan begitu , semakin

besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang lazim dalam suatu

organisasi, semakin besar pula probabilitas SOP menghambat implementasi.

Namun demikian, di samping menghambat implementasi kebijakan SOP juga

memunyai manfaat. Organisasi dengan prosedur perencanaan yang luwes dan kontrol

yang besar atas program yang bersifat fleksibel mungkin lebih dapat menyesuaikan

tanggung jawab yang baru pada birokrasi-birokrasi tanpa memunyai tupoksi yang

jelas. Pengetahuan pegawai akan fungsi dinas pendidikan kemudian diperjelas dalam

bentuk sosialisasi terhadap fungsi dinas tersebut. begitu juga terhadap tugas pokok

dan fungsi dari masing-masing bagian, dilaksanakan oleh setiap pegawai di dinas

pendidikan dengan memedomani peraturan daerah tersebut. Sifat kedua dari struktur

birokrasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan adalah fragmentasi. Edward

III menjelaskan bahwa ”fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab suatu

kebijakan kepada beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan koordinasi.”

15
Pada umumnya, semakin besar koordinasi yang diperlukan untuk melaksanakan

kebijakan, semakin berkurang kemungkinan keberhasilan program atau kebijakan.

Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit dari banyak lembaga

birokrasi. Hal ini akan menimbulkan konsekuensi pokok yang merugikan bagi

keberhasilan implementasi kebijakan.

Birokrasi dalam dinas pendidikan dipecah kedalam lima bidang yang disetiap

bidangnya kemudian dibagi lagi ke dalam tiga sampai lima seksi. Setiap bidangnya

memegang tugas dan fungsi yang berbeda dengan bidang yang lain didalam dinas

tersebut. bidang-bidang dibagi berdasarkan level pendidikan yang menjadi tanggung

jawab dinas pendidikan, yakni pendidikan dasar, pendidikan menengah serta

pendidikan luar sekolah. Pembagian bidang dan seksi ini dibutuhkan untuk

pelaksanaan setiap tugas dan fungsi dinas pendidikan dan menghindari terjadinya

hambatan serta tumpang tindih dalam pembuatan kebijakan. Fragmentasi birokrasi

menyebabkan hambatan-hambatan yang berhubungan dengan implementasi

kebijakan publik seperti: ”Pertama, tidak ada otoritas yang kuat dalam implementasi

kebijakan karena terpecahnya fungsi-fungsi tertentu ke dalam lembaga atau bidang-

bidang yang berbedabeda. Di samping itu, masing-masing bidang mempunyai

yurisdiksi yang terbatas atas suatu bidang, maka tugas-tugas yang penting mungkin

akan terlantarkan dalam berbagai agenda birokrasi yang menumpuk”. ”Kedua,

pandangan yang sempit dari bidang yang mungkin juga akan menghambat perubahan.

Jika suatu bidang mempunyai fleksibilitas yang rendah dalam misi-misinya, maka

16
bidangbidang itu akan berusaha mempertahankan esensinya dan besar kemungkinan

akan menentang kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan perubahan”

17
DAFTAR PUSTAKA

Agustino, Leo. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Aksara Baru

Nurdin & Usman. 2004. Implementasi Kebijakan. Jakarta: . Media Pustaka

Wahab, Abdul. 2006. Kriteria Kebijakan. Yogya Karta: Intan Pariwara

Widodo. 2011. Kajian Dalam Kebijakan Publik. Jakarta: Media Pustaka

18

Anda mungkin juga menyukai