Anda di halaman 1dari 23

INOVASI TEKNOLOGI DAN KEJURUAN

Perubahan Kebijakan pendidikan ditingkat


Pusat dan provinsi/kabupaten Kota.

Oleh:

1. Muhammad Rinov Cuhanazriansyah 20138035


2. Mutia Putri 20138037

PENDIDIKAN TEKNOLOGI KEJURUAN


PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah ini dengan
waktu yang telah ditentukan. Tulisan ini adalah hasil pencarian kelompok kami, makalah ini
berisikan tentang kebijakan pendidikan di Indonesia
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dengan adanya
penyusunan tugas seperti ini, tugas yang kami laksanakan dapat tercatat dengan rapi dan
dapat kita pelajari kembali pada kesempatan yang lain untuk kepentingan proses belajar kita
terutama dalam mata kuliah Inovasi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan.
            Bersama ini kami juga menyampaikan terima kasih kepada bapak/ibu dosen mata
kuliah ini, juga rekan-rekan mahasiswa fakultas teknik semua. Semoga segala yang telah kita
kerjakan merupakan bimbingan lurus Yang Maha Kuasa. Dalam penyusunan tugas ini tentu
jauh dari sempurna, oleh karena itu segala kritik dan saran sangat kami harapkan demi
perbaikan dan penyempurnaan tugas ini dan untuk pelajaran bagi kita semua dalam
pembuatan tugas-tugas yang lain di masa mendatang.

                                                                                                Padang, 22 April 2021

                                                                                                            Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................
DAFTAR ISI .............................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................................
Latar Belakang ...............................................................................................................
Rumusan Masalah ..........................................................................................................
Tujuan Penulisan ...........................................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................................
BAB III PEMBAHASAN ..........................................................................................................
BAB IV PENUTUP ...................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini sistem pendidikan semakin berkembang pesat. Segala sesuatu yang dapat
mengembangkan sitem pendidikan diterapkan guna mencapai tujuan pendidikan. Seperti
kita ketahui bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembanganya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Di dalam administrasi pendidikan terdapat kebijakan pendidikan
yang digunakan dalam dunia pendidikan atau persekolah tentunya. Kebijakan disamakan
dengan rencana dan program, bahkan sering tidak dibedakan antara perbuatan kebijakan
(policy making) atau pembuatan kebijakan (decision making). Tidak hanya itu di dalam
kebijakan pendidikan juga terdapat pendekatan dan model-model kebijakan yang
digunakan dalam pendidikan. Semuanya ini saling berkaitan guna mencapai suatu tujuan
pendidikan.
Kebijakan pendidikan adalah konsep yang sering kita dengar, kita ucapkan, kita
lakukan, tetapi seringkali tidak kita pahami sepenuhnya oleh karena itu, kita lihat terlebih
dahulu apa yang dimaksud dengan kebijakan pendidikan. Kedua kata itu mempunyai
makna yang begitu luas dan bermacam- macam, sehingga perlu ada kesepakatan terlebih
dahulu apa yang dimaksud dengan kedua istilah tersebut.
Landasan utama yang mendasari suatu kebijakan adalah pertimbangan akal. Tentunya
suatu kebijakan bukan semata- mata merupakan hasil pertimbangan akal manusia. Namun
demikian, akal manusia merupakan unsur yang dominan di dalam mengambil keputusan
dari berbagai opsi dalam pengambilan keputusan kebijakan. Suatu kebijaksanaan lebih
menekankan kepada faktor- faktor emosional dan irasional. Bukan berarti bahwa suatu
kebijaksanaan tidak mengandung unsur- unsur rasional. Barangkali faktor- faktor rasional
tersebut belum tercapai pada saat itu atau merupakan intuisi.
Fungsi pendidikan nasional menurut Undang- Undang nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Dengan demikian maka langkah yang dianggap paling tepat yaitu dengan memberikan
akses seluas luasnya kepada masyarakat melalui penyediaan Program BOPF (Biaya
Operasional Perawatan dan Fasilitas) untuk tingkat PAUD, SD, SMP, SMA, SMK,
PKBM dan Layanan Pendidikan Non Formal dan Informal.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas maka terdapat beberapa permasalahan yang timbul yaitu
sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Kebijakan Pendidikan ?
2. Apa saja Karakteristik Kebijakan Pendidikan ?
3. Bagaimana Implementasi Kebijakan Pendidikan Di Indonesia ?
4. Bagaimana Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Dalam Bidang Pendidikan baik itu
ditingkat Pusat dan Provinsi/Kabupaten Kota.

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan Penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok dalam
mata kuliah Inovasi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, selain itu juga memberikan
suatu informasi sehubungan dengan Kebijakan Pendidikan, yaitu :
1. Untuk mengetahui arti dari Kebijakan Pendidikan
2. Untuk mengetahui  Karakteristik Kebijakan Pendidikan
3. Untuk mengetahui  Implementasi Kebijakan Pendidikan Di Indonesia
4. Untuk mengetahui  Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Dalam Bidang Pendidikan baik
itu ditingkat Pusat dan Provinsi/Kabupaten Kota.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pendidikan merupakan modal utama yang harus dimiliki setiap manusia, hal ini
menjadi penting karena pada dasarnya pendidikan adalah laksana eksperimen yang tidak akan
pernah selesai sampai kapan pun, sepanjang ada kehidupan manusia di dunia ini. Dikatakan
demikian, karena pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan dan peradaban manusia
yang terus berkembang. Hal ini sejalan dengan pembawaan manusia yang memiliki potensi
kreatif dan inovatif dalam segala bidang kehidupannya.
Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia saat ini telah banyak mengalami
perubahan dan kemajuan, tentu saja proses perubahan dan kemajuan tersebut banyak sekali
faktor yang mempengaruhi, salah satu faktor yang mempengaruhi adalah landasan
pendidikan yang digunakan. Tanpa adanya landasan maka pendidikan tidak akan mempunyai
pijakan atau pondasi yang kuat untuk menopang pengembangan kegiatan pendidikan. Oleh
karena itu banyak sekali landasan yang harus diperhatikan untuk pengembangan kegiatan
pendidikan, salah satunya yaitu landasan kebijakan.
Landasan kebijakan dalam pendidikan merupakan pedoman dan petunjuk bagi
pelaksana pendidikan di dalam menjalankan kegiatan pendidikan. Oleh sebab itu landasan
tersebut biasanya mempunyai keterkaitan yang erat dengan peraturan perundang-undangan
atau hukum yang berlaku pada suatu negara, kemudian ditetapkan dan dikeluarkan oleh orang
yang mempunyai kekuasaan dalam bidang tersebut pada saat itu. Kebijakan yang dibuat dan
ditetapkan oleh pemerintah khususnya dalam bidang pendidikan pasti mempunyai dasar yang
kuat untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, dengan memperhatikan
pertimbangan-pertimbangan kebutuhan masyarakat yang diimbangi dengan kemajuan dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
 Oleh sebab itu sangat jelas bahwa landasan kebijakan pendidikan sangat penting
perannya di dalam melindungi dan memberikan pengawasan terhadap kegiatan pendidikan
agar dapat berjalan sesuai dengan rencana untuk mencapai tujuan seperti yang diharapkan.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kebijakan Pendidikan


Pengertian Kebijakan Pendidikan ditinjau dari berbagai macam sudut pandang

1. Kebijakan pendidikan dalam kebijakan publik


Kebijakan pendidikan, yaitu kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik
dan kebijakan pendidikan sebagai bagian dari kebijakan publik atau dalam kebijakan
publik. Pada pembahasan disini, kebijakan pendidikan merupakan bagian dari
kebijakan publik. Pemahaman ini dimulai dari ciri-ciri kebijakan publik secara umum,
sedangkan Kebijakan Publik adalah kebijakan yang dibuat oleh Negara, yaitu
berkenaan dengan lembaga ekskutif, legislatif, dan yudikatif. Kebijakan publik juga
adalah kebijakan yang mengatur kehidupan bersama atau kehidupan publik, dan
bukan mengatur orang seorang atau golongan. Disini kebijakan publik dipahami
sebagai keputusan-keputusan yang dibuat oleh intitusi Negara dalam rangka mencapai
visi dan misi Negara. Kebijakan pendidikan adalah kebijakan publik di bidang
pendidikan. Sebagaimana dikemukakan oleh Mark Olsen, Jhon Codd, dan Anne-Mari
O’Neil, kebijakan pendidikan merupakan kunci bagi keunggulan, bahkan eksistensi,
bagi Negara-bangsa dalam persaingan global, sehingga kebijakan perlu mendapatkan
prioritas utama dalam ere-globalisasi. Salah satu argument utamanya adalah bahwa
globalisasi membawa nilai demokrasi. Dmokrasi yang memberikan hasil adalah
demokrasi yang didukung oleh pendidikan. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya,
kebijakan pendidikan dipahami sebagai bagian dari kebijakan publik, yaitu kebijakan
public dibidang pendidikan. Maka kebijakan pendidikan merupakan kebijakan
pendidikan yang ditujukan untuk mencapai tujuan pembangunan Negara-bangsa di
bidang pendidikan, sebagai salah satu dari tujuan pembangunan Negara bangsa secara
keseluruhan.

2. Kebijakan Pendidikan dan Gender


Masyarakat manusia secara tradisional didominasi oleh kekuasaan maskulin.
kekuasaan maskulin itu diperkuat oleh berbagai mitos, tradisi untuk membordinasikan
perempuan dalam struktur kehidupan bermasyarakat. Tidak mengherankan apabila
terdapat banyak kebijakan termasuk kebijakan-kebijakan publik dan kebijakan
pendidikan yang merugikan kaum perempuan. Bukankah manusia itu dilahirkan dari
seorang perempuan, dan seorang ibu adalah seorang pendidik alamiah yang utama dan
pertama oleh sebab itu, perempuan, ibu, secara genealogis merupakan salah satu dari
stakeholder pendidikan alamiah disamping keluarga, masyarakat dan Negara. Dalam
UU Sistem Pendidikan Nasional telah diberikan kesempatan yang sama kepada pria
dan perempuan untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
3. Kebijakan pendidikan menurut Carte V. Good (1959) menyatakan, Educational
policy is judgment, derived from some system of values and some assessment of
situational factors, operating within institutionalized education as a general plan for
guiding decision regarding means of attaining desired educational objectives.
Pengertian pernyataan di atas adalah, bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu
penilaian terhadap sistem nilai dan faktor-faktor kebutuhan situasional, yang
dioperasikan dalam sebuah lembaga sebagai perencanaan umum untuk panduan
dalam mengambil keputusan, agar tujuan pendidikan yang diinginkan bisa dicapai.
4. Menurut Hough (1984) sebagaimana dikutip oleh Mudjia Rahardjo juga menegaskan
sejumlah arti kebijakan. Kebijakan bias menunjuk pada seperangkat tujuan, rencana
atau usulan, program-program, keputusan-keputusan, menghadirkan sejumlah
pengaruh, serta undang-undang atau peraturan-peraturan.
5. Kebijakan pendidikan berdasarkan hakikat pendidikan
Kebijakan pendidikan merupakan keseluruhan proses dan hasil perumusan
langkah-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan,
dalam rangka untuk mewujudkaan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu
masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu.
Dapat disimpulakan bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu produk yang
dijadikan sebagai panduan pengambilan keputusan pendidikan yang legal-netral dan
disesuaikan dengan lingkugan hidup pendidikan secara moderat. Fungsi kebijakan
pendidikan yaitu kebijakan pendidikan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak,
mengarahkan kegiatan dalam pendidikan atau organisasi atau sekolah dengan masyarakat
dan pemerintah  untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain,
kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak bagi pengambilan keputusan pada
semua jenjang pendidikan atau organisasi.
B. Karakteristik Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni:
1. Memiliki tujuan pendidikan
Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus
memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada
pendidikan.
2. Memenuhi aspek legal-formal
Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan
atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara
sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi
syarat konstitusional sesuai dengan hirarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah
hingga ia dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga, dapat
dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat.
3. Memiliki konsep operasional
Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus
mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah
keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai.
Apalagi kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan
keputusan.
4. Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki
kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan
dan lingkungan di luar pendidikan.  Para administrator pendidikan, pengelola lembaga
pendidikan dan para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur
minimal pembuat kebijakan pendidikan.
5. Dapat dievaluasi
Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya
untuk ditindaklanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan
jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan
pendidikan memiliki karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi terhadapnya
secara mudah dan efektif.
6. Memiliki sistematika
Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem jua, oleh karenanya harus
memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya.
Sistematika itu pun dituntut memiliki efektifitas, efisiensi dan sustainabilitas yang
tinggi agar kebijakan pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh
strukturnya akibat serangkaian faktof yang hilang atau saling berbenturan satu sama
lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya kelak tidak
menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Kemudian, secara eksternal pun
kebijakan pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya; kebijakan politik;
kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau disamping dan
dibawahnya.
C. Implementasi Kebijakan Pendidikan di Indonesia
Salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan
merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia dan untuk itu setiap warga negara
berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang
dimilikinya tanpa memandang status sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama, dan
gender. Pendidikan untuk semua menjamin keberpihakan kepada peserta didik yang
memiliki hambatan fisik ataupun mental, hambatan ekonomi dan sosial ataupun kendala
geografis, dengan menyediakan layanan pendidikan untuk menjangkau mereka yang tidak
terjangkau.
Pendidikan nasional bagi negara berkembang seperti Indonesia merupakan program
besar, yang menyajikan tantangan tersendiri. Hal ini karena jumlah penduduk yang luar
biasa dan posisinya tersebar ke berbagai pulau. Ditambah lagi Indonesia merupakan
masyarakat multi-etnis dan sangat pluralistik, dengan tingkat sosial-ekonomi yang
beragam. Hal ini menuntut adanya sistem pendidikan nasional yang kompleks, sehingga
mampu memenuhi kebutuhan seluruh rakyat.
Sistem pendidikan semacam itu tidak mungkin dipenuhi tanpa adanya suatu
perencanaan pendidikan nasional yang handal. Perencanaan itu juga bukan perencanaan
biasa, tetapi suatu bentuk perencanaan yang mampu mengatasi perubahan kebutuhan dan
tuntutan, yang bisa terjadi karena perubahan lingkungan global. Globalisasi yang
menjangkau seluruh bagian bumi membuat Inonesia tidak bisa terisolasi. Perkembangan
teknologi telekomunikasi dan informasi, membuat segala hal yang terjadi di dunia
internasional berpengaruh juga berpengaruh ke Indonesia.
Dalam mengimplementasikan desentralisasi di bidang pendidikan, sebagai wujud dari
implementasi kebijakan pemerintah maka diterapkanlah Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS). Dengan MBS, maka sekolah-sekolah yang selama ini dikontrol ketat oleh pusat
menjadi lebih leluasa bergerak, sehingga mutu dapat ditingkatkan. Pemberdayaan sekolah
dengan memberikan otonomi yang lebih besar tersebut merupakan sikap tanggap
pemerintah terhadap tuntutan masyarakat, sekaligus sebagai sarana peningkatan efisiensi
pendidikan.
Tanggung jawab pengelolaan pendidikan bukan hanya oleh pemerintah tetapi juga
oleh sekolah dan masyarakat dalam rangka mendekatkan pengambilan keputusan ke
tingkat yang paling dekat dengan peserta didik. MBS ini sekaligus memperkuat
kehidupan berdemokrasi melalui desentralisasi kewenangan, sumber daya dan dana ke
tingkat sekolah sehingga sekolah dapat menjadi unit utama peningkatan mutu
pembelajaran yang mandiri (kebijakan langsung, anggaran, kurikulum, bahan ajar, dan
evaluasi). Program MBS sendiri merupakan program nasional sebagaimana yang
tercantum dalam Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Pasal
51 (1): “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip
manajemen berbasis sekolah/madrasah.
Dalam konteks, MBS memungkinkan organisasi sekolah lebih tanggap, adaptif,
kreatif, dalam mengatasi tuntutan perubahan akibat dinamika eksternal, dan pada saat
yang sama mampu menilai kelebihan dan kelemahan internalnya untuk terus
meningkatkan diri.
Tujuan utama MBS adalah meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan.
Peningkatan efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada,
partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi.
Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orangtua, kelenturan pengelolaan
sekolah, peningkatan profesionalisme guru, serta hal lain yang dapat
menumbuhkembangkan suasana yang kondusif. Pemerataan pendidikan tampak pada
tumbuhnya partisipasi masyarakat (stake-holders), terutama yang mampu dan peduli
terhadap masalah pendidikan. Implikasinya adalah pemberian kewenangan yang lebih
besar kepada kabupaten dan kota untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah sesuai
dengan potensi dan kebutuhan daerahnya. Juga, melakukan perubahan kelembagaan
untuk memenuhi dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam perencanaan dan
pelaksanaan, serta memberdayakan sumber daya manusia, yang menekankan pada
profesionalisme.
Berikut TIGA PILAR MBS (Manajemen Berbasis Sekolah):
1. Manajemen Sekolah
a. Kepala sekolah dan masyarakat sekolah dituntut untuk menerapkan
pengelolaan/manajemen sekolah yang transparan, akuntabel dan partisipatif
b. Kepala sekolah dan stafnya didorong berinovasi dan berimprovisasi agar menjadi
kreatif dan berprakarsa.
c. Kepala sekolah dan masyarakat sekolah menjadikan sekolah sebagai tempat
perubahan.
2. Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan
a. Kepala sekolah dan guru harus memahami konsep belajar dan cara belajar anak
dan memandang anak sebagai individu yang unik yang mempunyai kemampuan
yang berbeda.
b. Proses pembelajaran didesain dengan memanfaatkan organisasi kelas agar guru
dan siswa menjadi Aktif dan Kreatif yang mendukung terciptanya pembelajaran
yang Efektif namun tetap Menyenangkan (PAKEM).
3. Peran Serta Masyarakat
a. Menggali inisiatif, prakarsa, dukungan, dan kontribusi masyarakat untuk
pendidikan sekolah.
b. Masyarakat terlibat dan merasa memiliki sekolah.
c. Sekolah yang paling berhasil & diminati masyarakat adalah sekolah yang kepala
sekolah, guru, dan masyarakatnya bekerjasama secara aktif mengembangkan
sekolah.
Bentuk-bentuk peran serta masyarakat termasuk:
a. Menggunakan jasa sekolah;
b. Memberikan kontribusi dana, bahan, dan tenaga;
c. Membantu anak belajar di rumah;
d. Berkonsultasi masalah pendidikan anak;
e. Terlibat dalam kegiatan ekstra kurikuler;
f. Pembahasan kebijakan sekolah.
Pelaksanaan MBS memerlukan upaya penyelarasan, sehingga pelaksanaan berbagai
komponen sekolah tidak tumpang tindih, saling lempar tugas dan tanggung jawab.
Dengan begitu, tujuan yang telah ditetapkan sebagai konkretisasi visi dan misi organisasi
dapat dicapai secara efektif, efisien, dan relevan dengan keperluannya.
D. Kebijakan-kebijakan Pemerintah dalam Bidang Pendidikan
Landasan yuridis atau kebijakan pendidikan Indonesia adalah seperangkat konsep
peraturan perundang-undangan yang menjadi titik tolak system pendidikan Indonesia,
yang menurut Undang-Undang Dasar 1945 meliputi, Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia, Undang-Undang Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang, peraturan
pemerintah, dan lainnya.
Berikut kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan yang
diselenggarakan di Indonesia:
1. Dalam pembukaan (UUD 1945, antara lain : “ Atas berkat Ramat Tuhan yang Maha
Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan
berkebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan
kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan
negara republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada : Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, serta dengan mewujudkan statu
keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.”
2. Pasal 31 UUD 1945 menyatakan bahwa (1) Setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan; (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya; (3) Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; (4)
Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen
dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional;
serta (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.
3. UU No. 20 Tahun 2003 tentang: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem  Nasional pendidikan
menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional. Pendidikan Pasal 1 yang berisi bahwa Standar nasional pendidikan adalah
criteria minimal tentang sistem pendidikan diseluruh wilayah hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
E. Desentralisasi dan Desentralisasi Pendidikan
Menurut Hasbullah (2006), desentralisasi adalah pelimpahan wewenang yang disertai
keleluasaan daerah dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan sedemikian rupa
sehingga pelayanan kepada masyarakat akan menjadi leb-ih baik, disamping
pembangunan daerah dapat lebih terarah dan optimal. Desentralisasi pen-didikan
merupakan satu aktivitas politik, yakni proses transfer otoritas dalam bidang pendidikan
dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan dari pemerintah ke masyarakat (Sirozi,
2005). Desentralisasi pendidikan disini berarti pelimpa-han kekuasaan dan wewenang
yang lebih luas kepada daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusannya
sendiri dalam menga-tasi permasalahan yang dihadapi di bidang pen-didikan.
Desentralisasi pendidikan tentu saja menja-di perhatian para pemimpin politik dan
pembuat kebijakan (policy makers), karena desentralisasi pendidikan sangat politis
(intensely political): yaitu merupakan satu isu yang mempengaruhi masa depan sebagian
masyarakat.
Dampak dari desentralisasi pendidikan ini yaitu pemerintah daerah harus lebih
bersungguh-sungguh dalam memikirkan apa-apa yang dibutuhkan untuk pengembangan
pendidikan di daerahnya, serta sekolah juga harus lebih aktif dan kreatif sehing-ga tidak
hanya menunggu petunjuk dari atas. Pemberlakuan sistem desentralisasi akibat
pemberlakuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang otonomi pemerintahan
daerah, memberi dampak terhadap pelaksanaan pada manajemen pelayanan pendidikan
yaitu manaje-men yang memberi ruang gerak yang lebih luas kepada pengelolaan
pendidikan untuk menemu-kan strategi berkompetisi dalam era kompetitif mencapai
output pendidikan yang berkualitas dan mandiri. Kebijakan desentralisasi akan ber-
pengaruh secara signifikan dengan pembangunan pendidikan.
Berdasarkan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
telah dijelaskan mengenai pembagian urusan pemerintahan di bidang pendidikan. Bagi
pemerintahan daerah Kabupaten/Kota, diantaranya memiliki kewenan-gan/urusan
untuk:1) Menetapkan kebijakan operasional, peren-canaan operasional pendidikan, 2)
Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pen-didikan berbasis keunggulan lokal pada pen-
didikan dasar dan menengah, 3) Pengawasan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan
pendidikan pada pendidikan dasar, pembinaan dan pengembangan pendidik dan tenaga
kependidikan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menen-gah dan
pendidikan nonformal, 4) Koordinasi, fasilitasi, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan
ujian sekolah skala Kabu-paten/Kota,Kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota terse-but dilimpahkan ke Dinas Pendidikan di mas ing-
masing Kabupaten/Kota.
Sebagaimana yang tercantum pada pasal 3 PP No. 38 Tahun 2007, urusan
pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pen-
galihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian. Dengan adanya pembagian urusan yang
jelas di bidang pendidikan, Dinas Pendidikan bisa membuat program kerja sebagai acuan
kerja in-stansinya sehingga bisa dilihat dengan program kerja yang telah disusun dan
dilaksanakan tersebut, desentralisasi pendidikan dapat dilaksanakan dengan
baik.Desentralisasi pendidikan mencakup dua hal (Direktorat PLP Depdiknas, 2002)
yaitu:a) Manajemen berbasis lokasi/ Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) b) Inovasi
kurikulumPada dasarnya manajemen berbasis lokasi dilaksanakan dengan meletakkan
semua urusan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Pengurangan administrasi pusat
adalah konsekuensi dari yang pertama dengan diikuti pendelegasian wewenang dan
urusan pada sekolah.
Inovasi kurikulum menekankan pada pembaharuan ku-rikulum sebesar-besarnya
untuk meningkatkankualitas dan persamaan hak bagi semua peserta didik. Kurikulum
disesuaikan benar dengan ke-butuhan peserta didik di daerah atau sekolah.Hal ini sesuai
dengan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 38 ayat 2 yang
menyatakan bahwa ”Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai
dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau sat-uan pendidikan dan komite
sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor
Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Provinsi untuk
pendidikan menengah”.
Keputusan Menteri No-mor 22/2006, dan 23/2006 tentang Standar Isi dan Standar
Kompetensi Lulusan menjadi dasar pengembangan kurikulum sekolah yang disebut
KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).Dalam pengembangan kurikulum, daerah
diberi keleluasaan untuk mengembangkan silabus yang sesuai dengan kebutuhan peserta
didik dan tuntutan daerah. Pada umumnya program pendidikan yang tercermin dalam
silabus sangat erat kaitannya dengan program-program pemba-ngunan daerah.
Manajemen berbasis lokasi yang merujuk ke sekolah, akan meningkatkan otonomi
sekolah dan memberikan kesempatan kepada tenaga sekolah, orangtua, siswa, dan
anggota masyarakat dalam pembuatan keputusan.

F. Arah kebijakan pendidikan di Indonesia


Kebijakan pendidikan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No.
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diarahkan untuk mencapai hal-hal
sebagai berikut:
1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang
bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia
berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti;
2. Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan
kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara
optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat
mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan;
3. Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum,
berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik,
penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan
setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara professional;
4. Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat
pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga
dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai;
5. Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan
prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen;
6. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh
masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif
dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
7. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah,
terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh
komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai
dengan hak  dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya;
8. Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan
teknologi, termasuk teknologi bangsa sendiri dalam dunia usaha, terutama usaha
kecil, menengah, dan koperasi.

G. Kebijakan Pendidikan di tingkat Kabupater/Kota


Dalam visi dan misi sistem perencanaan pembangunan bidang pendidikan di seluruh
kabupaten dan kota menuju tahun 2025, antara lain:
1. Pertama, substansi perencanaan pendidikan di Kabupaten merujuk kebijakan
pendidikan sebagaimana telah dituangkan dalam PP.No.38 tahun 2007 yaitu
bidang kebijakan lokal, kurikulum, ketenagaan, sarana dan prasarana, pembiayaan
dan partisipasi masyarakat terhadap pendidikan. Tujuan program disesuaikan
dengan target-target jangka panjang.
2. Kedua, sasaran dan ruang lingkup pendidikan yang direncanakan tidak hanya
terbatas pada satuan pendidikan yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten,
tetapi mencakup satuan-satuan pendidikan yang menjadi kewenangan pemerintah
provinsi dan Departemen Agama.
3. Ketiga, pihak-pihak yang dilibatkan dalam proses perencanaan pembangunan
pendidikan, di samping pihak tenaga perencana dari lingkungan Bapeda, juga
melibatkan tenaga ahli perencana dari perguruan tinggi, dinas pendidikan dan
dinas-dinas terkait, DPRD, komunitas organisasi profesi kependidikan, dan
masyarakat pengguna pendidikan (stakeholders), dan rencana itu ditetapkan
melalui Peraturan Bupati.
4. Keempat, secara empirik, Beberapa kabupaten telah memiliki sistem perencanaan
pendidikan tahunan yang diproses melalui Musyawarah Rencana Pembangunan
dari tingkat kecamatan sampai ke tingkat kabupaten.
5. Kelima, namun demikian, proses perencanaan pendidikan yang dilakukan di
Kabupaten masih bersifat tumpang tindihdengan proses perumusan rencana
pembangunan jangka panjang (RPJP), dan proses perumusan rencana strategis
yang disusun oleh Dinas Pendidikan. Sehingga, dalam menentukan waktu
pelaksanaan kegiatan perencanaan sering berbenturan. Oleh karenanya, Bappeda
seluruh kabupaten telah melakukan pembaruan sistem perencanaan dengan
maksud untuk dapat arah kebijakan sekaligus dijadikan pedoman bagi para
pengelola pembangunan pendidikan dan para pemangku kepentingan di bidang
pendidikan dalam rangka pembangunan manusia di lingkungan Pemerintah
Daerah Kabupaten sekitar.Pembaruan sistem tersebut diproses melalui proses
penyusunan Master Plan Pendidikan untuk kabupaten dari tahun 2008-2025.
6. Keenam, proses yang ditempuh Bappeda Kabupaten dalam penyusunan Master
Plan Pendidikan Kabupaten untuk 2008-2025 ialah: Tahap persiapan: membentuk
tim pokja, koordinasi dengan SKPD terkait, konsultasi dan koordinasi dengan
Depdiknas, Disdik dan Bappeda Provinsi, Pembahasan di FGD, dapat
dikelompokkan ke dalam tahap persiapan, sampai disusunnya sebuah KAK.Tahap
pelaksanaan: melakukan kontrak kerjasama pelaksanaan pekerjaan dengan tenaga
ahli. Kegiatan pembahasan laporan pendahuluan, penyusunan draf instrumen,
pelaksanaan pengumpulan data, laporan hasil survey, laporan antara, dan laporan
akhir baik di lingkungan internal Bapeda ataupun di lingkungan eksternal Bapeda
dalam forum FGD.Tahap akhir ialah kegiatan sosialisasi dan uji publik terhadap
dokumen master planpendidikan dengan berbagai SKPD terkait dan komunitas-
komunitas masyarakat termasuk stakeholders lainnya. Dalam setiap perumusan
dan penyelesaian pelaporan baik untuk laporan pendahuluan, laporan antara dan
laporan akhir selalu dibahas dan dikaji ulang melalui ekspos dalam forum FGD.
Hasil ekspos yang berupa rekomendasi-rekomendasi perbaikan atau penambahan
yang wajib ditindaklanjuti oleh pihak perencana, sehingga menghasilkan
rumusan-rumusan rencana yang dapat memenuhi kriteria.
Sedangkan gambaran tingkat efektivitas sistem perencanaan pembangunan bidang
pendidikan di Kabupaten antara lain:
1. Pertama, bidang garapan program pendidikan sudah efektif, karena sudah
mencakup seluruh jenjang satuan pendidikan mulai jenjang pendidikan
prasekolah sampai ke jenjang pendidikan tinggi, yang mencakup bidang
kebijakan lokal, kurikulum, ketenagaan, sarana dan prasarana, pembiayaan,
dan partisipasi masyarakat yang merujuk pada ketentuan perundangan tentang
pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota
dalam bidang pendidikan menurut PP.38 tahun 2007.
2. Kedua, tujuan dan target yang direncanakan belum sepenuhnya efektif karena
walaupun program-program yang dirumuskan sudah disesuaikan dengan
skedul target dan strategi jangka panjang pembangunan pendidikan nasional,
Tetapi dalam penentuan indikator-indikator pencapaian target yang
direncanakan belum efektif, karena hanya memuat indikator-indikator
pencapaian target dalam jangka panjang. Indikator setiap butir rencana dan
program tahunan dan lima tahunan belum tergambarkan secara terperinci yang
didukung oleh perangkat sistem evaluasi dan monitoring dalam
pelaksanaannya, serta belum didukungoleh kejelasansumber-sumber
pendanaan dan fasilitas untuk pelaksanaannya.
3. Ketiga, pendekatan proses perencanaan yang digunakan sudah efektif karena
sudah berbasis kewilayahan dengan perumusannya mempartisipasikan
berbagai unsur tenaga ahli dari perguruan tinggi, organisasi pemerintah daerah
dan masyarakat serta stakeholderspendidikan.
4. Keempat, dilihat dari aspek dukungan data dalam proses perencanaan belum
dapat dikatakan efektif, karena data yang tersedia, khususnya data yang
bersifat kuantitatif banyak versinya, sehingga dilakukan pengumpulan dan
verifikisasi data melalui survey lapangan. Akan tetapi, data yang dihasilkan
dari survey tersebut masih banyak data yang tidak sesuai dengan kebutuhan.
5. Kelima, waktu pelaksanaan proses perumusan rencana pendidikan sudah
sesuai dengan target waktu yang telah ditetapkan yaitu dapat diselesaikan
selama delapan bulan dengan waktu efektif lima bulan.
6. Keenam, dilihat dari aspek penggunaan anggaran pembiayaan untuk proses
perumusan master plansudah efisien, karena sudah melakukan penghematan
biaya sebesar 10,52% (Rp.35,212,500) dari anggran biaya yang disediakan
dalam DIPA sebesar Rp.334.849.500. Proses perencanaan tersebut telah
menyerap dana sebesar Rp.299,637,000. Namun demikian, penghematan
anggaran tersebut belum efisien karena di samping belum termasuk biaya
untuk proses legislasi, juga hanya dapat melakukan penghematan dalam
komponen honorarium PNS, belanja peralatan, sewa ruang rapat, dan belanja
makan minum rapat. Sedangkan dalam aspek biaya perjalanan dinas luar kota,
biaya studi banding belum dapat melakukan penghematan.
7. Ketujuh, rencana-rencana yang sudah disusun belum sepenuhnya efektif untuk
dapat dilaksanakan karena masih memerlukanperangkat kendali dan evaluasi
dalam pelaksanaannya. Walaupun sikap, apresiasi, dan perhatian Tim
Perencana di Bapeda serta partisipasi unsur masyarakat pendidikan dan
pengguna jasa/hasil pendidikan sudah efektif dengan tingginya intensitas
partisipasi pihak-pihak yang dilibatkan dalam perumusan rencana, namun
keterlibatan pihak Dinas Pendidikan sebagai lembaga pengelola pendidikan
pada tingkat kabupatenbelum efektif karena pihak Dinas Pendidikan masih
belum menunjukkan sikap, apresiasi dan perhatian penuh dalam setiap tahapan
perumusan rencana. Di samping itu, walaupun master plan tersebut sudah
menjadi produk kebijakan yang ditetapkan melalui Partauran Bupati, masih
harus diikuti oleh proses perumusan rencana-rencana strategis untuk setiap
bidang garapan pembangunan pendidikan. Perencanaan pendidikan pada
tingkat kabupaten/kota memiliki peran strategis dalam pembangunan manusia
di daerah. Merujuk faktor kekuatan dan kelemahan yang melekat pada sistem
perencanaan pembangunan di Kabupaten, maka faktor-faktor kunci penentu
keberhasilan dalam proses perencanaan pembangunan dalam bidang
pendidikanpada tingkat kabupaten/kota ialah: (a) Idealisme dan semangat
tenaga perencana untuk membangun citra keteladanan dalam peningkatan
idealisme dan profesionalitas Bapeda; (b) Upaya pemberdayaan tenaga
perencana pendidikan dalam menjalin kerjasama denganinstansi dalam dan
luar negeri; (c) Sinergitas antara program-program Bapeda dengan Bapeda
provinsi dalam meningkatkan profesionalitas Bapeda; (d) Penerapan
manajemen mutu sistem perencanaan dalam meningkatkan kompetensi dan
profesionalitas Bapeda; (e) Optimalisasi perencanaan pendidikan berbasis
kewilayahan untuk meningkatkan kompetensi professional Bapeda.
Asumsi-asumsi strategis yang perlu dikembangkan dalam proses perencanaan
pendidikan pada tingkat kabupaten/kota, ialah:
1. Pertama,asumsi strategi kekuatan dalam menghadapi peluang, perlu
dikembangkan ialah: (a) Pemberdayaan SDM Bapeda dalam menjalin
kerjasama saling menguntungkan dengan instansi dalam dan luar negeri; (b)
Sistem manajemen mutu perencanaan pendidikan dalam bidang untuk
memberikan layanan prima dalam meningkatkan kompetensi dan
profesionalitas Bapeda; (c) Sinergitas antara program Bapeda dengan program
Disdik kabupaten maupun provinsi dan instansi structural kepenidikan dalam
meningkatkan mutu perencanaan pendidikan;
2. Kedua,asumsi strategi kelemahan dalam menghadapi peluang, perlu
dikembangkan ialah: (a) Kelengkapan saran dan prasarana ICT untuk
menunjang peningkatan profesionalitas Bapeda; (b) Peningkatan mutu produk
perencanaan berbasis penelitian dan sistem kepakaran Bapeda untuk
meningkatkan profesionalitas Bapeda; (c) Peningkatan formasi, proporsi
SDM, budaya/etos kerja, dan komitmen pegawai untuk menunjang motivasi
yang kuat.
3. Ketiga, asumsi strategi kekuatan dalam menghadapi ancaman, perlu
dikembangkan ialah: (a) Membangun citra keteladanan dalam peningkatan
idealisme dan profesionalitas Bapeda, baik individu maupun kelembagaan; (b)
Optimalisasi kompetensi SDM Bapeda dalam bidang IT untuk mempersiapkan
tenaga perencanaan pendidikan yang inovatif; (c) Optimalisasi sistem
manajemen mutu kelembagaan Bappeda dengan standar ISO untuk memenuhi
tuntutan masyarakat pendidikan.
4. Keempat,asumsi strategi kelemahan dalam menghadapi ancaman, perlu
dikembangkan ialah: (a) Meningkatkan produk-produk Bapeda berbasis
penelitian dan sistem kepakaran untuk meningkatkan dayasaing program
Bapeda yang berorientasi pada profesionalitas;(c) Pemerataan kemampuan dan
kompetensiperencana pendidikan dalam meningkatkan mutu program-
program yang direncanakan.4.Disain pengembangan sistem perencanaan
pembangunan dalam bidang pendidikan pada tingkat kabupaten/kota
merupakan konstruksi pemikiran dari suatu konsep yang digunakan sebagai
pendekatan untuk memahami suatu realitas.
Pengembangan sistem akan memudahkan untuk melakukan berbagai
pembaharuan yang mempertimbangkan kriteria yang dapat mengungkapkan
adanya gambaran fungsi-fungsi, tujuan atau proses, dan tindakan nyata yang
berorientasi pada pengawasan terhadap fungsi model yang efektif.Keterkaitan di
antara dimensi-dimensi sistem perencanaan pembangunan bidang pendidikan di
daerah kabupaten/kota, ialah:
1. Pertama, implementasi kebijakan ototnomi daerah pada tingkat
kabupaten/kota, pada dasarnya mengandung dua bentuk,yaitu: (1) dalam
bentuk visi, misi dan tujuan pembangunan daerah kabupaten/kota, yang tidak
lepas pengaruhnya dari komitmen nasional dan komitmen global; (2) dalam
bentuk implementasi kebijakan manajemen pendidikan dalam upaya
memenuhi komitmen nasional dan global yang di arahkan pada peningkatan
IPM.
2. Kedua,imprastruktur sosial, ekonomi, budaya, dan politik masyarakat
kabupaten/kota, secara kelembagaan berkaitan dengan eksistensi kelembagaan
yang ada di lingkungan pemerintahan daerah.Kondisi imprastruktur ini secara
faktual merupakan representasi dari gambaran tuntutan masyarakat untuk
mendayagunakan segala potensi yang dimiliki berdasarkan karakteristik
wilayahnya masing-masing. Oleh karena itu, lembaga perencana
pembangunan daerah (Bppeda) perlu membentuk Tim Perencana
Pembangunan Bidang Pendidikan yang terdiri dari unsur-unsur tersebut.
3. Ketiga,implementasi kebijakan dalam manajemen pendidikan dengan tuntutan
masyarakat tersebut pada tingkat kabupaten/kota secara faktual telah
melahirkan berbagai problema dan tantangan pembangunan, khususnya dalam
bidang pendidikan. Pada daerah-daerah yang akseptabilitas dan kapabilitas
manajemennya tinggi, akan berbeda dengan daerah-daerah yang akseptabilitas
dan kapabilitas manajemennya rendah. Problema dan tantangan tersebut, baik
secara langsung maupun tidak langsung akan menyebabkan variasi aspirasi
masyarakat terhadap pembangunan pendidikan. Variasi aspirasi terhadap
pendidikan tersebut, secara organisasi akan terakumulasi dalam komunitas-
komunitas masyarakat, baik di lingkungan instansi pemerintah, maupun non
pemerintah. Oleh karena itu, problema dan tantangan tersebut perlu dibahas
oleh Tim Perencana Pembangunan Pendidikan dengan merujuk visi, misi dan
tujuan pembangunan bidang pendidikan pada tingkat kabupaten/kota yang
disesuaikan dengan potensi dan karakteristik wilayah setempat. Dalam fase
inilah sesungguhnya proses perencanaan pembangunan bidang pendidikan
dimulai. Dalam proses perumusan rencana tersebut, harus sampai
ditemukannyaproyeksi-proyeksi kebutuhan masyarakat, tujuan dan sasaran
serta indikator-indikator keberhasilan, pendekatan dan metode
pelaksanaannya, program-program dan jadwal (skedul) kegiatannya, dan
dukungan-dukungan sarana, fasilitas dan pembiayaannya.Keempat,produk
perencanaan yang berbentuk master plan atau rencana strategis pendidikan.
Master Plan ataupun Rencana Strategis pendidikan ini merupakan produk dari
suatu proses yang dikemas dalam suatu format dokumen perencanaan
pembangunan bidang pendidikan pada tingkat kabupaten/kota. Dokumen ini
memuat program-program pembangunan bidang kebijakan lokal,
pengembangan kurikulum, pengembangan ketenagaan, sarana dan prasarana
serta teknologi komunikasi dan informasi, pembiayaan pendidikan dan
partisipasi masyarakat terhadap pendidikan pada jenjang pendidikan
prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi
pada setiap jalur pendidikan formal, non formal dan informal. Program-
program tersebut dikelompokkan berdasarkan strategi pendidikan
nasionaldalam bidang pemerataan dan akses pendidikan, peningkatan mutu,
relevansi dan daya saing pendidikan, serta peningkatan mutu tatakelola,
akuntabilitas dan pencitraan publik, dengan target-target waktu pencapaian
peningkatan kapasitas dan modernisasi (2010), penguatan pelayanan (2015),
daya saing regional (2020), dan daya saing internasional (2025).Kelima,
implementasi rencana. Sebelum rencana-rencana yang sudah disusun
diimplementasikan, sebaiknya dilakukan proses legislasi melalui sosialisasi
dan uji publik. Proses sosialisasi dan uji publik ini dimaksudkan untuk
memberikan keyakinan kepada pimpinan pemerintah daerah
(Bupati/Walikota) atau DPRD dalam bentuk Parturan Bupati/Walikota atau
Peraturan Daerah (Perda), sehingga dokumen perencanaan tersebut
mempunyai kekuatan yang mengikat secara hukum untuk segera
diimplementasikan. Perlunya legalitas terhadap dokumen perencanaan tersebut
sangat diperlukan bukan hanya sebagai pedoman pelaksanaan bagi Dinas
Pendidikan sebagai lembaga pelaksana semata, namun juga sebagai pedoman
bagi Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) pengendalian dan evaluasi dari
implementasi program-program yang direncanakan. Keenam, peninjauan
ulang (review) rencana. Peninjauan ulang tentang rencana sangat
dimungkinkan karena rencana pendidikan tidak bersifat kaku. Walaupun
sudah ditetapkan melalui proses legislasi, namun harus pula merujuk pada
rekomendasi-rekomendasi hasil evaluasi terhadap implementasi rencana. Di
samping itu, penyesuaian terhadap program-program yang termaktub dalam
dokumen perencanaan tersebut kemungkinan adanya perubahan-perubahan
dalam visi, misi dan tujuan pendidikan nasional dan regional.Keenam
dimensisistem perencanaantersebut hendaknya menjadi bahan kajian dalam
pengembangan sistem perencanaan pendidikan agar menghasilkan program-
program yang lebih konkrit sesuai dengan visi dan misi pembangunan
pendidikan. Secara ilustratif keterkaitan keenam dimensi itu dapat dilihat pada
Gambar berikut :

Gambar 1 . Disain Sistem Perencanaan Pembangunan Bidang Pendidikan pada Tingkat


Kabupaten/Kota Menuju Tahun 2025

H. Persoalan Pendidikan
Bertolak dari Undang-undang Dasar 1945, khususnya pasal 31 ayat 1 dan 2 serta
tanggapan terhadap masalah-masalah pokok pendidikan yang kita hadapi, yaitu:
1. Masalah pemerataan pendidikan
2. Masalah peningkatan mutu pendidikan
3. Masalah efektifitas dan efisiensi pendidikan
4. Masalah relevansi pendidikan dengan pembangunan
Sementara itu ada yang berpendapat bahwa gambaran kondisi pendidikan masa
kini banyak di pengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Arah pendidikan kurang jelas
2. Pendidikan sebagai barang mahal , artinya pendidkan yang berbasis hanya di
kategorikan saja tanpa seimbang dengan kenyataannya dan hanya untuk sebagai
bahan bisnis.orang akan tertarik pada sekolah-sekolah yang berbasis,sehingga
biayanya pun pasti mahal, maka sekolah pun dijadikan ajang bisnis.
3. Penyelewengan dana : pihak sekolah berlaku tidak adil atas hak peserta
didiknya,dana untuk keperluan sekolah banyak yang di korupsi oleh para pihak
sekolah,sehingga sistem atau struktur sekolah pun tidak tersalurkan dengan baik
dan banyak kekurangannya.
4. Kualitas dan kuantitas guru yang kurang : guru yang kurang profesional dalam
mengemban pengajarannya dan tidak sesuainya dalam sistem pemberian
pembelajaran.
5. Pendidikan tidak merata 
6. Kurang penghargaan pada guru atau dosen
Berbagai persoalan di atas tentunya dibutuhkan solusi atau upaya dari seriap
elemen. Pemerintah sebagai elemen penting dalam mengatur pendidikan agar
tercapainya tujuan pendidikan melakukan berbagai upaya untuk meminimalisir atau
menghilangkan persoalan pendidikan di Indonesia. Adapun beberapa kebijakan yang
telah dijalankan antara lain:
1. Pemberantasan buta huruf (PBH)
2. Pendidikan masyarakat dan pendidikan luar sekolah (PLS)
3. Kegiatan-kegiatan inovasi pendidikan
4. Mutasi Guru
5. Sertifikasi Guru
6. Dana BOS
7. Kartu Indonesia Pintar dan beasiswa
8. Dll.
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Kebijakan pendidikan adalah suatu produk yang dijadikan sebagai panduan
pengambilan keputusan pendidikan yang legal-netral dan disesuaikan dengan lingkugan
hidup pendidikan secara moderat. Fungsi kebijakan pendidikan yaitu kebijakan pendidikan
dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam pendidikan
atau organisasi atau sekolah dengan masyarakat dan pemerintah  untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan.
kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan yang diselenggarakan di
Indonesia diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Dalam pembukaan UUD 1945
2. Pasal 31 UUD 1945 ayat 1, 2, 3, 4 dan 5
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional.
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 48 Tahun 2008, tentang
Pendanaan Pendidikan ;
6. Permendiknas Nomor : 30 Tahun 2010 tentang Pemberian Bantuan Biaya Pendidikan
kepada Peserta Didik yang Orang Tua atau Walinya Tidak Mampu membiayai
pendkidikan.

Dalam kebijakan Pendidikan di Indonesia dari tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota sudah


seharusnya mencari solusi yang terbaik sebagai elemen penting dalam mengatur pendidikan
agar tercapainya tujuan pendidikan melakukan berbagai upaya untuk meminimalisir atau
menghilangkan persoalan pendidikan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Akizuki, Kengo. (2001).“Controlled Decentralization: Local Governments and the Ministry


of Home Affairs in Japan”,Washington: The World Bank Institute,
[www.worldbank.org/wbi/]
Alisyahbana, Armida S. (2005). “Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan”,
[www.geocities.com/arief_anshory/otda_pendidikan.pdf]
Batchler, Merv. (1987). Evaluation and Innovation,NJ: Institut of Educational
Administration, [www.uwex.edu/ces/pdande/index.html]
Broward Community Cpllege, “Educational Master Plan”, [www.broward.edu/
masterplan/presreports.jsp]
Irianto, Yoyon Bahtiar & Uyu Wahyudin. (2003). “Pendekatan dan Metodologi Pembelajaran
dan Pemberdayaan Masyarakat”, Visi: Media kajian Pendidikan Luar Sekolah dan
Pemuda,Nomor:14/TH.XI/2003.Journal of the International Society fo Educational
Planning (ISEP). (2007), “Educational Planning”, Vol.16 No.1,dalam
[http://www.caee.org]
Kindra, G.S., & R. Stapenhurst. (1998). “Social Marketing Strategies to Fight Corruption”,
[www.worldbank.org/wbi/communityempowerment]
Kuncoro, Mudrajad. (2001), “Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan,
Strategi dan Peluang”, Buletin Pengawasan No.30-31,
[www.mudrajad.com/upload/book-review/otonomi dan pembangunan daerah.pdf
Moegiadi. (2002). “Permasalahan dan Tantangan Abad 21 dengan Implikasi di Sektor
Pendidikan”. Mimbar Pendidikan, No. 3 Tahun XXI 2002, Bandung: UPI
--------. (2007). “Kesimpulan dan Rekomendasi Rakernas Asosiasi Pemerintahan Provinsi
Seluruh Indonesia”, [www.ditjen-otda.go.id]
SMC Master Plan. (2001). ”Education for Global Community”, [www.smc.edu/
policies/pdf/EduPlan.1999.pdf]
Suyanto. (2005). “Membangun Sekolah yang Efektif di Era Otonomi Daerah”,
[www.dikdasmen.org/files/SekolahEfektif.htm]Wanadoo Educational Master Plan,
dalam [http://home.wanadoo.n1/mark.sch/ ec/hcdef.html]
Withum III, Frederick Story. (2006). “Educational Facilities Planning: A Systems Model”,
School of Education Duquesne University, International Society fo Educational
Planning: Vol.16 No.1, [http://www.isef.info]

Anda mungkin juga menyukai