Anda di halaman 1dari 5

Kegiatan belajar 3 Isu Kontemporer dalam Pendidikan Nasional

Ada empat isu kontemporer yang akan kita bahas dalam bagian ini yaitu Globalisasi dan
penerapan kebijakan pendidikan Nasional, Kurikulum dan mutu pendidikan, Otonomi pendidikan, dan
Pendidikan dan pengajaran anak. Keempat hal ini tidak saja merupakan isu hangat dalam abad ke-21 ini
tetapi keempat isu ini juga merupakan dasardasar pendidikan yang membangun konstruksi pendidikan
sehingga kita ambil untuk dibahas.

A. Globalisasi dan Penerapan Kebijakan Pendidikan Nasional


Coombs (1968) menyebutkan 12 komponen pendidikan seperti Tujuan dan prioritas, Peserta
didik, Manajemen, Struktur dan jadwal waktu, Isi atau materi, Dosen dan pelaksana, Alat dan sumber
belajar, Fasilitas, Teknologi, Pengawasan mutu, Penelitian, dan Biaya pendidikan.
Dalam UU No. 20, tahun 2003 dijelaskan secara implisit komponenkomponen pendidikan
seperti Tujuan pendidikan, Kurikulum, Bahan ajar, Metode, Peserta didik, Pendidik atau pengajar, sarana
pendidikan, dan hasil atau luaran pendidikan. Secara keseluruhan, dapat kita klasifikasikan 4 komponen
pendidikan sebagai berikut.
1. Input pendidikan yang mencakup tiga hal.
a) Input mentah yang mengacu pada peserta didik atau individu dan kelompok belajar.
b) Input instrumental yang mencakup tujuan pendidikan, pendidik atau pengajar,
kurikulum, sarana-prasarana, penelitian, dan sistem evaluasi serta penjaminan mutu.
c) Input lingkungan yang mencakup kondisi alam, sosial, ekonomi, budaya, politik, baik
dalam skala lokal, nasional, maupun internasional.
2. Penyelenggaraan pendidikan yang merupakan interaksi antara peserta didik, pendidik atau
pengajar, kurikulum, sarana dan prasarana, dan masyarakat.
3. Proses pembelajaran yang mengacu pada interaksi peserta didik dan pendidik atau pengajar.
4. Hasil pendidikan yang mencakup output; luaran pendidikan seperti alumni individu maupun
kelompok pendidikan, dan outcomes; dampak dari luaran pendidikan.

Dunia pendidikan Indonesia diwarnai dengan berbagai kebijakan yang menuai pro dan kontra.
Asumsi dari penerapan kebijakan demi kebijakan tentu tidak lepas dari tuntutan dinamika sosial dan
globalisasi. Globalisasi merupakan proses interaksi dan integrasi semua elemen seperti orang-orang,
perusahaan-perusahaan atau instansi-instansi, dan pemerintah di seluruh dunia dimana elemen-elemen
tersebut mengembangkan pengaruh internasionalnya atau mulai bekerja dalam skala internasional.

Dalam era global, faktor kreativitas, inovasi dan teknologi memiliki peran penting
dalam proses pembangunan. Dalam era global, konektivitas yang menjadi hajat manusia
yaitu perdagangan, konsumsi, dan informasi terjadi melalui teknologi informasi dan dunia
maya. Interaksi antara kreativitas, inovasi, dan menguasi teknologi dalam aktivitas ekonomi,
sosial dan budaya berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi, daya saing dan
kesempatan kerja yang tidak bisa dihindari dalam mengukur kualitas negara yang berhasil. Dalam era
new economy fokus pembangunan ekonomi beralih dari sumber daya alam (SDA) ke sumber daya
manusia (SDM). SDM inilah yang menjadi objek kajian agar menjadi SDM yang kreativitas, inovasi, dan
menguasi teknologi serta cepat tanggap akan perubahan. Jadi, baik guru maupun dosen serta peserta
didik harus tanggap dengan globalisasi. Guru sebagai penggerak laju pendidikan harus mempersiapkan
diri dengan ilmu dan pengetahuannya masing-masing untuk diberikan kepada peserta didiknya melalui
pendidikan dan pengajaran.

sehubungan dengan Pendidikan Tinggi


isu yang sangat hangat dalam masa kontemporer ini berkaitan dengan isu publikasi ilmiah secara
internasional.
 Dalam UU No.14, tahun 2015,
tentang guru dan dosen dinyatakan dalam Pasal 60 bahwa dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan, dosen berkewajiban antara lain melaksanakan pendidikan, penelitian,
dan pengabdian kepada masyarakat. Lebih lanjut,
 dalam UU No. 12,tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi dinyatakan dalam Pasal 12 ayat 2 dan 3 bahwa dosen
sebagai ilmuwan memiliki tugas mengembangkan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi
melalui penalaran dan penelitian ilmiah serta menyebarluaskannya.
 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 17, tahun 2013 yang ditegaskan
dalam perubahannya menjadi No. 46, tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan
Angka Kreditnya.
 Kemudian dalam Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi No. 20
tahun2017 tentang Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor,
mewajibkandosen yang memiliki jabatan akademik Lektor Kepala dan Profesor untuk
melakukanpublikasi ilmiah, dan untuk jenis publikasi ilmiah itu diatur dalam Peraturan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 46, tahun 2013.
 Surat Edaran Dirjen
DIKTI Nomor 152/E/T/2012 perihal Publikasi Karya Ilmiah, Dirjen DIKTI
Kemendikbud Nomor 1483/E/T/2012 tentang Penataan Program Doktor, dan Peraturan
Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI)
yang mengacu pada seorang yang bekualifikasi Doktor berada pada KKNI Level 9

Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi di Indonesia telah menegaskan ada lima elemen
penting yang harus menjadi perhatian dan harus dilaksanakan untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi dan daya saing bangsa di era Revolusi Industri 4.0, yaitu:
1. Persiapan sistem pembelajaran yang lebih inovatif di perguruan tinggi
2. Rekonstruksi kebijakan kelembagaan pendidikan tinggi yang adaptif dan responsif
terhadap revolusi industri 4.0 dalam mengembangkan transdisiplin ilmu dan program
studi yang dibutuhkan.
3. Persiapan sumber daya manusia khususnya dosen dan peneliti serta perekayasa yang
responsive, adaptif dan handal untuk menghadapi revolusi industri 4.0.
4. Terobosan dalam riset dan pengembangan yang mendukung Revolusi Industri 4.0 dan
ekosistem riset dan pengembangan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas riset dan
pengembangan di Perguruan Tinggi, Lembaga Litbang, Industri, dan Masyarakat.
5. Terobosan inovasi dan perkuatan sistem inovasi untuk meningkatkan produktivitas
industri dan meningkatkan perusahaan pemula berbasis teknologi.
B. Kurikulum dan Mutu Pendidikan
Kurikulum di sini merupakan pedoman atau alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan
oleh karenanya desain dan penetapan kurikulum harus dilakukan dengan penuh kesadaran yang
tinggi dan visi ke depan. Kurikulum yang ideal tentu akan dapat menjadi input instrumental
dalam pencapaian tujuan pendidikan dan keberlangsungan pembangunan pendidikan dari masa
ke masa dan demi terbentuknya suatu sistem pendidikan yang bermutu.
Isu yang mencuat dalam masa kontemporer berkaitan dengan Kurukulum 2013 dan
penerapannya. Kurikulm 2013, K-13, pada dasarnya merupakan pengembangan dari
kurikulum 2016, KTSP; berfokus pada keleluasan satuan pendidikan dalam mengembangkan
dan menerapkan desain kurikulumnya sendiri berdasarkan kearifan lokal. Fokus pada K-13
ini adalah
1) penguatan pendidikan karakter,
(2) penguatan literasi, dan
(3) pembelajaran abad 21.
Di sini, bukan hanya persoalan penerapan kurikulum yang ideal tetapi lebih kepada
bagaimana penerapannya dapat terawasi dan bagaimana kebijakan internal oleh pemerintah
daerah dan kebijakan eksternal oleh pemerintah pusat dapat seiring berjalan dalam prosesnya.
Semua ini hanya bertujuan untuk menyajikan dan menjaga mutu pendidikan Nasional. Perlu
kita pahami bahwa mutu pendidikan hanya dapat diwujudnyatakan melalui kesadaran yang
tinggi dalam membijaki, merencanakan, menerapkan, mengawasi, dan mengevaluasi seluruh
rangkaian proses pendidikan.

C. Otonomi Pendidikan
otonomi berarti berdiri sendiri atau mandiri. Prinsip yang digagas oleh B. J. Habibie (UU
No. 5 tahun 1974) ini diterapkan oleh pemerintah kita melalui UU No. 22 tahun 1999 tentang
otonomi pemerintahan daerah. perkembangannya, UU No. 22 tahun 1999 mengalami
revisi dan dikeluarkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun
2004 tentang Otonomi Daerah bahwa Negara memberikan kewenangan kepada daerah untuk
mengelola pendidikan dengan prinsip disentralisasi; pelimpahan wewenang pemerintahan
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Persoalan yang muncul kemudian bahwa apakah disentralisasi telah siap dan mampu
untuk menjalankan ini semua. Pada tahun 2011 yang lalu, Kemdikbud melakukan kajian ulang
terhadap konsep otonomi pendidikan dengan berfokus pada empat hal yaitu pertama, arah sistem
pendidikan nasional di masa depan, kedua, kajian implementasi desentralisasi pendidikan, ketiga,
peran pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam pengelolaan dan penyelenggaraan
pendidikan di masa depan, dan keempat, diskusi mengenai otonomi daerah dan desentralisasi
pendidikan (Akuntono, 2011).
Hasil dari kajian ulang itu menunjukkan paling tidak lima pencermatan yaitu munculnya
berbagai peraturan yang tumpang tindih yang menimbulkan benturan kebijakan, perbedaan
tingkat komitmen daerah dalam pengembangan pendidikan,lemahnya profesionalisme daerah
dalam mengelola pendidik dan tenaga kependidikan,perbedaan interpretasi antara kewenangan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta insinkronisasi (tidak adanya sistem koordinasi
yang baik) pengelolaan komponen pendidikan yang berada di bawah Kementerian Agama
dengan komponen pendidikan di bawah pemerintah daerah dan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Jadi, kesadaran diri kita tentang apa yang baik bagi bangsa ini sangat penting. Kita
tidak hanya mengetahui dan memahami sesuatu secara konseptual tetapi harus menyadarinya
secara manusiawi. Otonomi pendidikan tidak hanya sekadar program kerja yang baik dari
pemerintah, tetapi bagaimana kita semua memandang perlu untuk mendukung dan
menerapkan apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah demi kejayaan bangsa, bukan malah
memanfaatkannya untuk kepentingan tertentu. Otonomi pendidikan memberikan kita
kesempatan untuk membangun pendidikan di daerah kita masing-masing. Otonomi pendidikan
dapat kita jadikan terobosan bagi masyarakat daerah untuk menggali potensi dan
mengembangkan diri agar pemerataan pendidikan dapat tercapai di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

D. Pendidikan dan Pengajaran Anak

Pendidikan merupakan salah satu pilar pembangunan Negara dan tentu kita harus menyadari hal
ini secara manusiawi sehingga kita dapat benar-benar mencermati, mengawasi, dan berkontribusi
secara aktif dan positif di dalamnya. Hal ini bukan sekadar kewajiban secara institusional
(kelembagaan) dan yuridis (hukum), tetapi lebih kepada kesadaran yang tinggi secara
manusiawi dari kita semua demi kepentingan pendidikan anak-anak dan masa depan bangsa kita.

Dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah jelas
memberikan gambaran kepada kita semua sehubungan dengan pendidikan anak.
 Pasal 5
mengatur tentang hak dan kewajiban warga Negara dalam pendidikan,
 Pasal 7
Mengatur tentang hak dan kewajiban orang tua dalam dalam pendidikan,
 Pasal 8 dan 9
Mengatur tentang hak dan kewajiban masyarakat dalam pendidikan, dan
 Pasal 10 dan 11
Mengatur tentang kewajiban pemerintah pusat dan daerah dalam pendidikan, dan
 Pasal 12
Mengatur tentang hak dan kewajiban peserta didik dalam pendidikan.

Terkait dengan hal ini, isu yang menarik untuk kita bahas adalah tentang data Komisi
Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tentang empat kondisi darurat pendidikan
Nasional Indonesia yaitu, pelanggaran HAM terhadap anak-anak, ranking pendidikan
Indonesia yang buruk, kasus korupsi dalam lingkup pendidikan, dan sistem pendidikan yang
belum berjalan dengan baik (Nadlir, 2018). Hal yang menarik ada pada kondisi pertama
tentang pelanggaran HAM terhadap anak-anak seperti

Hak atas pendidikan bagi anak-anak pada dasarnya merupakan hal yang kompleks
untuk kita katakan sebab di sini terjadi dua kondisi yaitu pertama, kondisi anak-anak yang
ingin sekolah tetapi ekonomi orang tua yang kurang memadai dan kedua, kondisi anak-anak
yang belum berkeinginan untuk sekolah walaupun ekonomi orang tua memadai. Jika kita
cermati secara filosofis, kedua kondisi ini pada dasarnya terletak pada pola pikir orang tua
dan cara mereka bernalar untuk menyiasati kondisi itu. Artinya, pola pikir orang tua untuk
kondisi pertama lebih cenderung skeptisisme (ragu-ragu dan kurang yakin) dan apatisme
(acuh dan tidak mau tahu).
Hak memperoleh keadilan bagi anak-anak dalam pendidikan dapat mengacu pada halhal
seperti keadilan untuk mendapatkan perlakuan pendidikan, keadilan untuk bermain dan
belajar, keadilan untuk memperoleh informasi pengetahuan dan teknologi, keadilan untuk
mendapatkan perhatian, dan lain-lain.

Hak mengembangkan diri bagi anak-anak di dalam dunia pendidikan sangat terlihatjelas dalam
lingkungan sekolah dan keluarga. Misalnya, di sekolah, terkadang para pendidik dan pengajar,
sadar atau tidak, telah merusak potensi anak dalam mengembangkan dirinya. Hal ini erat
kaitannya dengan persoalan prinsip yang telah kita bahas sebelumnya; bermain sambil belajar.
Para pendidik dan pengajar cenderung memarahi anak-anak yang berkesan hanya bermain-main
saat proses pembelajaran sedang berlangsung. Padahal, situasi seperti itu merupakan prinsip
utama bagi anak-anak untuk belajar.

Hak atas kesejahteraan anak-anak dalam pendidikan biasanya terlihat jelas dalam
persoalan yang menyangkut jiwa dan raga seperti keadaan baik, sehat, dan damai. Kondisi-
kondisi seperti ini juga terkadang tiudak disadari oleh para pendidik dan pengajar serta orang tua
dan penyebabnya juga beragam, mulai dari keasadaran orang tua dalam mengasuh, merawat, dan
mendidika anak-anaknya, hingga keasadaran para pendidik dan pengajar dalam memberikan
perhatian yang serius bagi perkembangan fisik dan jiwa anak-anak didiknyaselama mereka
berada dalam lingkungan sekolah.

Hak atas hidup mengacu pada bagaimana anak-anak mendapatkan perlindungan yang
layak bagi pertumbuhan dan perkembangannya dan hal ini telah diatur di dalam UUD 1945,
Pasal 28b ayat 2, bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi

Anda mungkin juga menyukai