Disusun Oleh:
2022
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah ta’alaa yang telah memberikan kesehatan jasmani dan rohani
sehingga kita masih tetap bisa menikmati indahnya alam ciptaan-Nya. Sholawat dan salam
semoga senantiasa tercurahkan kepada teladan kita Nabi besar Muhammad ﷺ yang telah
menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama yang sempurna dan menjadi
rahmat bagi seluruh alam.
Tidak lupa pula rasa terima kasih saya kepada Bapak Dr. Khairy Juanda, M.Si selaku
dosen pengampu mata kuliah Kebijakan Publik, saya sangat bersyukur telah dapat
menyelesaikan makalah saya yang berjudul “ Implementasi Kebijakan Program Indonesia
Pintar“ dengan saran dan tunjuk ajar bapak kepada saya dan teman-teman lainnya.
Akhir kata, saya memahami jika makalah ini tentu jauh dari kesempurnaan maka kritik
dan saran sangat kami butuhkan guna memperbaiki karya saya di waktu-waktu mendatang.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Mauliana Sari, dkk, “Implementasi Kebijakan Kartu Indonesia Pintar Dalam Upaya Pemerataan
Pendidikan di MTsN 1 Watampone”, jurnal Majnajemen Pendidikan Islam, (Vol.3.No.1.Thn.2021),hlm.44-
45.
1
Dalam rangka penyelenggara pendidikan ada dua aspek yang sangat penting sehingga
harus mendapatkan perhatian, yaitu kemampuan majerial kepala sekolah da kinerja
professional dari para guru yang ditunjukkan melalui etos kerja yang tinggi dan mampu
dipertanggungjwabkan.
2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
1. Program
Menurut Korten (dalam Jones 1996: 232) menuturkan bila program ialah
sekumpulan proyek yang terkait sudah terancang guna menjalankan
aktivitas yang terintegrasi dan berkesinambungan demi memperoleh target
kebijakan secara menyeluruh.
2. Konsep Implementasi Program
Menurut Charles O. Jones (Siti Erna Latifi Suryana, 2009: 28) menuturkan
bila terdapat tiga kegiatan utama untuk menjalankan program, seperti:
a) Mengorganisasi b) Menginterpretasikan. c) Aplikasi.
3. Model Implementasi
Model penerapan kebijakan sesuai penjelasan Merilee S. Grindle.
Model ini disebut sebagai Implementation as A Polical and Administrative
Process. Kesuksesan suatu penerapan kebijakan publik, sesuai penuturan
Grindle, cenderung ditetapkan oleh tingkat keterlaksanaan kebijakan
tersebut, meliputi:
i. Content of Policy,meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Tipe Manfaat.
b. Tingkat perubahan yang hendak diperoleh.
c. Letak Penentuan Keputusan.
3
d. Pelaksana Program.
e. Sumber daya yang dipergunakan.
ii. Context of Policy, meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Kekuasaan, kepentingan, maupun strategi dari aktor yang
terlibat.
b. Kriteria lembaga dan rezim yang berkuasa.
c. Tingkat ketaatan maupun kehadiran reaksi dari pelaksana2.
B. Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan
1. Teori Van Meter dan Van Horn Menurut Meter dan Horn, dalam AG
Subarsono (2005) ada lima variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi,
Adapun secara rinci dijelaskan sebagai berikut :
a. Standar dan sasaran kebijakan. Standar dan sasaran dari suatu kebijakan harus
terukur dan jelas agar kebijakan berjalan baik, maka akan terjadi multi interpretasi
dan mudah antar organisasi.
b. Sumberdaya. Implementasi kebijakan memerlukan dukungan sumberdaya,
baik itu sumberdaya manusia maupun sumberdaya yang non-manusia.
c. Hubungan antar Organisasi. Di dalam berbagai program, implementasi sebuah
program memerlukan koordinasi dan dukungan dengan instalasi lain. Maka dari
itu, perlu kerjasama dan koordinasi antar instansi untuk keberhasilan dalm suatu
program. d. Karakteristik agen pelaksana. Mencakup norma-norma, birokrasi dan
pola hubungan yang terjadi di dalam birokrasi yang baik sangat memengaruhi
implementasi dari suatu program.
e. Keadaan sosial, politik, dan ekonomi. Variabel ini mencakup sumberdaya
ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi
2
Hasbullah, H, “Kebijakan Pendidikan: dalam Perspektif Teori, Aplikasi, dan Kondisi Objektif
Pendidikan di Indonesia”( Jakarta: Raja Grafindo Persada,2015).
4
kebijakan, karakteristik para partisipan, yaitu akan mendukung atau menolak
kebijakan tesebut3.
3
Sartika, “SKRIPSI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KARTU INDONESIA PINTAR (KIP) DI
DESA ROMPEGADING KECAMATAN CENRANA KABUPATEN MAROS”,hlm.12-15.
5
BAB III
PEMBAHASAN
Program Indonesia Pintar melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP) adalah pemberian
bantuan tunai pendidikan kepada seluruh anak usia sekolah (6-21 tahun) yang menerima
Kartu Indonesia Pintar (KIP), atau yang berasal dari keluarga miskin dan rentan
(misalnya dari keluarga/rumah tangga pemegang Kartu Keluarga Sejahtera/KKS) atau
anak yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Program Indonesia
Pintar melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP) merupakan bagian penyempurnaan dari
Program Bantuan Siswa Miskin (BSM) sejak akhir 2014 Kartu Indonesia Pintar (KIP)
diberikan sebagai penanda/identitas untuk menjamin dan memastikan agar anak
mendapat bantuan Program Indonesia Pintar apabila anak telah terdaftar atau
mendaftarkan diri (jika belum) ke lembaga pendidikan formal (sekolah/madrasah) atau
lembaga pendidikan non formal (Pondok Pesantren, Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat/PKBM, Paket A/B/C, Lembaga Pelatihan/Kursus dan Lembaga Pendidikan
Non Formal lainnya di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan
Kementerian Agama).
6
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”4.
4
Antartila Rezki Aziz, “Implementasi Instruksi Presiden ( Inpres ) No 07 Tahun 2014 tentang
Kebijakan Kartu Indonesia Pintar ( KIP ) dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Masyarakat Miskin di
Indonesia”, Jurnal Pemeritah dan Politik Global, (Vol.04.No.02.Thn.2019.),hlm. 60.
7
c. Menarik siswa putus sekolah (drop out) atau tidak melanjutkan agar
kembali mendapatkan layanan pendidikan di sekolah/Sanggar Kegiatan
Belajar (SKB)/Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM)/Lembaga
Kursus Pelatihan (LKP)/satuan pendidikan nonformal lainnya dan Balai
Latihan Kerja (BLK).
C. Aktor Kebijakan
Pelaksana utama implementasi kebijakan adalah pejabat / lembaga pemerintah
yang biasa disebut birokrasi pemerintah termasuk eksekutif, legislatif, yudikatif,
pemimpin partai politik, organisasi masyarakat, dan warga negara. Abdulwahab (2017:
50).
Menurut PERMENDIKBUD Nomor 12 Tahun 2015 tentang Progrm Indonesia
Pintar (PIP) pengelola program dari tingkat kabupaten/kota dilaksanakan oleh dinas
pendidikan kota/kabupaten terkait dengan rincan tugas:
a) Mengusulkan peserta didik calon penerima dana BSM/PIP dari satuan pendidikan
di wilayahnya
b) Melakukan sosialisasi dan koordinasi pelaksanaan PIP di wilayahnya
c) Menghimpun dan melayani pengaduan masyarakat di wilayahnya.
d) Melakukan pemantauan implementasi PIP di wilayahnya.
Sementara itu pada satuan pendidikan, Program Indonesia pintar (PIP) di kelola
oleh pihak sekolah dengan rincian tugas:
1) Memasukan daftar nama peserta didik dalam data pokok pendidikan (Dapodik).
2) Mengusulkan peserta didik calon penerima dana BSM/PIP
3) Memantau proses pengambilan dana BSM/PIP
4) Menerima anak usia 6 (enam) sampai dengan 21 (dua puluh satu) tahun pemegang
KIP yang belum/putus sekolah.
8
pesan yang dilakukan oleh sesama aktor kebijakan/ implementor. Penyampaian informasi
ini dapat melalui sosialisasi yang dilakukan oleh pimpinan kepada pelaksana terkait
PERMENDIKBUD Nomor 12 Tahun 2015 tentang Progrm Indonesia Pintar (PIP).
D. Sasaran Kebijakan
Sasaran Kebijakan Program Indonesia pintar (PIP) menurut Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 12 Tahun 2015 sasaran PIP adalah anak berusia 6
(enam) sampai dengan 21 (dua puluh satu) tahun dengan kriteria sebagai berikut:
a. Siswa/anak dari keluarga pemegang Kartu Perlindungan Sosial/Kartu Keluarga
Sejahtera (KPS/KKS).
b. Siswa/anak dari keluarga peserta Program Keluarga Harapan (PKH).
c. Siswa/anak yang berstatus yatim piatu/yatim/piatu dari panti sosial/panti asuhan.
d. Siswa/anak yang tidak bersekolah (drop out) yang diharapkan kembali
bersekolah.
e. Siswa/anak yang terkena dampak ekonomi akibat bencana alam
f. Siswa dari keluarga miskin/rentan miskin yang terancam putus sekolah.
Sesuainya sasaran program ini dapat dilihat pula dari data penerima Kartu
Kesejahteraan Sosial (KKS) serta proses seleksi yang dilakukan oleh pemerintah dimana
9
penerima Program Indonesia Pintar Tersebut (PIP) diusulkan oleh Desa setempat dengan
membawa Surat Keterangan tidak mampu. Sehingga dengan kriteria kritaria tersebut
sangatah tepat apabila siswa siswi tersebut mendapatkan manfaat dari Program Indonesia
Pintar (PIP) Tersebut.
10
450.000, tingkat SMP sebesar Rp. 750.000, dan tingkat SMA 1.000.000.
(PERMENDIKBUD Nomor 12 Tahun 2015)5.
Selain dari itu, fungsi dari KIP (Kartu Indonesia Pintar) adlah terkait dengan
kebutuhan pendidikan disekolah bukan sebalikny untuk keperluan diluar sekolah seperti
5
Putri Mutiara Rakista, “IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM INDONESIA PINTAR
(PIP) (Studi Kasus pada Sekolah Dasar di Kabupaten Banyumas)”, Jurnal Adminitrasi Negara<
(Vol.8.No.2.Thn.2020),hlm.229.
6
Ibid.230.
11
membeli alat-alat mainan. Jika pengelolaan dana KIPtersebut tidak diatur secara baik
maka fungsi KIP itu sendiri akan disalahkan gunakan untuk keperluan pribadi bukan
keperluan dan kebutuhan sekolah. Sehingga, dari hal tersebut perlunya orang tua
mengawasi dana tersebut. Bantuan ini diharapkan untuk dimanfaatkan siswa dalam
memenuhi kebutuhan sekolah seperti biaya transportasi siswa pergi ke sekolah, biaya
perlengkapan sekolah, dan uang saku. Adanya Kartu Indonesia Pintar diharapkan tidak
ada lagi siswa yang putus sekolah dengan alasan kurangnya biaya. Dana Kartu Indonesia
Pintar (KIP) ini diberikan kepada siswa-siswi yang kurang mampu dari tingkat Sekolah
Dasar hingga sekolah Menengah Atas.
7
N Eni Rohaenid,dkk , “Implementasi Kebijakan Program Indonesia Pintar ( PIP ) Melalui Kartu
Indonesia Pintar ( KIP ) Dalam Upaya Pemerataan Pendidikan”, Indonesian Journal of Education
Management & Administration Review, (Vol.2.No.1.Thn.2018),hlm. 204.
12
sosok yang mampu menghadapi setiap perubahan dalam kehidupan. Pemerataan
pendidikan mencakup dua aspek penting, yaitu equality dan equity.
Equality atau persamaan mengandung arti kesempatan untuk memperoleh
pendidikan. Sedangkan, equity bermakna keadilan dalam memperoleh kesempatan
pendidikan yang sama di antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Akses
terhadap pendidikan yang merata berarti semua penduduk usia sekolah telah
memperoleh kesempatan pendidikan. Sementara itu, akses terhadap pendidikan telah
adil jika antar-kelompok bisa menikmati pendidikan secara merata.
Pelaksanaan pendidikan yang merata berarti melaksanaan program pendidikan
yang dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara
Indonesia untuk dapat memperoleh pendidikan. Pemerataan dan perluasan pendidikan
atau biasa disebut perluasan kesempatan belajar merupakan salah satu sasaran dalam
pelaksanaan pembangunan nasional. Hal ini dimaksudkan agar setiap orang
mempunyai kesempatan yang sama unutk memperoleh pendidikan.
Kesempatan memperoleh pendidikan tersebut tidak dapat dibedakan menurut
jenis kelamin, status sosial, agama, maupun letak lokasi. Pemerataan pendidikan di
Indonesia secara konsepsional konsep pemerataan yakni: pemerataan aktif dan
pemerataan pasif. Pemerataan pasif adalah pemerataan yang lebih menekankan pada
kesamaan memperoleh kesempatan untuk mendaftar di sekolah, sedangkan
pemerataan aktif bermakna kesamaan dalam memberi kesempatan kepada murid-
murid terdaftar agar memperoleh hasil belajar setinggi-tingginya (Sismanto,
1993:31). Dalam pemahaman seperti ini pemerataan pendidikan mempunyai makna
yang luas tidak hanya persamaan dalam memperoleh kesempatan pendidikan, tapi
juga setelah menjadi siswa harus diperlakukan sama guna memperoleh pendidikan
dan mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk dapat berwujud secara optimal.
Sejalan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”, dan pasal 11, ayat (1) menyatakan
“Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan,
serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara
tanpa diskriminasi”. Problem kemiskinan menjadi hambatan utama dalam
13
mendapatkan akses pendidikan. Selain itu, daerah-daerah di luar Jawa yang masih
tertinggal juga harus mendapat perhatian guna mencegah munculnya kecemburuan
sosial8.
Pendidikan bukan merupakan kegiatan yang murah, sekalipun pemerintah
menyelenggarakan kegiatan pendidikan tidak usah membayar bagi masyarakat
umum. Masyarakat bahkan menilai biaya pendidikan sudah menggila, karena biaya
pendidikan yang dia lihat jauh diatas kemampuan membayar dan pendapatan nyata
yang dia terima tiap bulan. Siswa yang menerima bantuan KIP telah memenuhi satu
kriteria dari berbagai kriteria yang telah ditentukan.
Kepemilikan KIP sangat mendukung pemerataan pendidikan, hal ini ditandai
dengan keadaan dan kondisi keluarga siswa yang memiliki Kartu Perlindungan
Sosial. Mekanisme pelaksanaannya ialah sekolah mengirimkan data ke Dinas
Pendidikan untuk diteruskan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Proses
selanjutnya, yaitu mengundang siswa penerima KIP untuk diberikan informasi
mengenai hal terkait. Perlu diketahui bahwa sekolah juga dapat mengusulkan nama
siswa lain yang di luar kepemilikan KIP untuk turut serta diusulkan sebagai calon
penerima KIP dengan sesuai kriteria sasaran yang ditetapkan. Faktor pendukung
implementasi KIP: informasi dari pihak dinas secara rutin ke sekolah dan secara
online, Dapodik digunakan pemerintah sebagai salah satu indikator penentuan sasaran
penerima KIP, adanya rasa saling percaya antara pihak sekolah dengan siswa beserta
orang tua terhadap penggunaan dana KIP, siswa menjadi lebih aktif karena peralatan
sekolah dapat terpenuhi. Faktor penghambat: evaluasi program KIP yang
dilaksanakan pada setiap periode program menyebabkan terjadinya perubahan
khusunya pada mekanismenya, Penyelewengan dana KIP, kesulitan mengumpulkan
kuitansi atau bukti penggunaan dana KIP.
2. Upaya Pemerataan
Implementasi kebijakan KIP dalam upaya pemerataan pendidikan perlu
dilaksanakan karena pelaksanaan kebijakan dalam melakukan suatu kegiatan pada
akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran
kebijakan itu sendiri. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur dari
8
Ibid,49-51.
14
proses dan pencapaian tujuan hasil akhir yaitu tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan
yang ingin diraih. Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari
kemampuan memanfaatkan sumber daya manusia yang tersedia.
Dengan demikian implementasi kebijakan KIP untuk pemerataan pendidikan
harus dicanangkan sesuai dengan Instruksi Presiden( INPRES ) No 07 Tahun 2014
agar pemerataan pendidikan tercapai dengan baik, khususnya pendidikan di desa
terperimcil dengan diberikan bantuan KIP dari pemerintah pusat (Kementerian
Sosial), peserta didik yang kurang mampu dalam mengemban pendidikan bisa
melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi.
Model implementasi menurut Donal van Metter dan Carl van Horn, dimana
indikatornya ada enam macam yaitu : Ukuran dan tujuan kebijakan, Sumber Daya,
Karakteristik Agenda Pelaksana, Sikap atau kecenderungan para pelaksana,
Komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana dan Lingkungan sosial dan
politik. Dari hasil indikator model implementasi kebijakan tersebut, maka penulis
menarik kesimpulan sebagai berikut :
1) Ukuran dan Tujuan Kebijakan.
2) Sumber Daya
15
suatu kebijakan. kurangnya atau terbatasnya dana atau insentif lain dalam
implementasi kebijakan adalah merupakan sumbangan besar terhadap
gagalnya implementasi kebijakan.
16
Karena itu, upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi lingkungan
eksternal yang kondusif9.
3. Faktor Pengambat
Faktor yang menjadi penghambat dalam implementasi kebijakan KIP sebagai berikut
:
1. Kurangnya komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana KIP
Koordinasi merupakan mekanisme sekaligus syarat utama dalam menentukan
keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Semakin baik koordinasi dan
komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses
implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil terjadi
dan begitu pula sebaliknya. Menurut penulis, komunikasi sangat diperlukan
agar informasi yang diterima oleh pelaksana KIP
2. Kurangnya sosialisasi yang diberikan pemerintah pusat dengan penerima KIP
sehingga verifikasi pengambilan dana terlambat. Menurut penulis, sosialisasi
yang diberikan pemerintah pusat tidak langsung diterima oleh masyarakat
sebagai aktivitas pelaksana KIP sehingga masyarakat tidak tahu prosedur
dalam proses pencairan dana KIP tersebut.
3. Faktor keakuratan data yang digunakan sebagai penentu peserta didik calon
penerima KIP masih kurang sehingga data peserta didik yang telah lulus
masih menerima KIP dan sulit untuk dikembalikan lagi ke pemerintah pusat
(Kementerian Sosial). Menurut penulis, faktor keakuratan data ini merupakan
masalah yang harus diperbaiki oleh pemerintah pusat (Kementerian Sosial)
agar data-data yang diperlukan sesuai apa yang akan di informasikan
sehingga jangan ada lagi peserta didik yang telah lulus masih menerima KIP
dan ini sangat membingungkan oleh penerima KIP karena bagaimana cara
mencairkan dana KIP tersebut sehingga lamanya waktu verifikasi
kepemilikan kartu serta waktu pencairan dana KIP terlambat.
4. Evaluasi program KIP yang dilaksanakan setiap periode program
menyebabkan terjadinya perubahan khususnya pada mekanismenya.
9
Ibid, Implementasi Instruksi Presiden ( Inpres ) No 07 Tahun 2014 tentang Kebijakan Kartu
Indonesia Pintar ( KIP ) dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Masyarakat Miskin di Indonesia, 66-67.
17
Menurut saya sebagai penulis , evaluasi merupakan suatu usaha untuk
menentukan manfaat atau kegunaan sosial suatu kebijakan atau program dan bukan
sekedar usaha untuk mengumpulkan informasi mengenai hasil kebijakan tersebut, karena
untuk menentukan bahwa kebijakan telah mencapai kinerja tinggi atau rendah harus
didukung oleh bukti bahwa hasil-hasil kebijakan secara aktual untuk memecahkan
masalah tersebut. Karena itulah, monitoring merupakan prasyarat bagi evaluasi untuk
menentukan hasil yang diharapkan. Jangan sampai evaluasi program KIP yang
dilaksanakan menyebabkan terjadinya perubahan khususnya pada mekanismenya.
18
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian sesuai pada bab penelitian dan pembahasan, maka peneliti
dapat mengambil simpulan bahwa:
1. Implementasi kebijakan Kartu Indonesia Pintar dalam upaya pemerataan pendidikan
di Kecamatan Talang Kelapa sudah berjalan sebagaimana mestinya, hal ini terlihat
dari dengan keadaan dan ukuran kondisi keluaraga siswa penerima bantuan
merupakan keluarga miskin atau kurang mampu, namun dalam hal
pengimplementasiannya dilapangan masih banyak kekurangan terlihat dari indikasi
bahwa masih banyak salah sasaran terhadap siswa yang seharusnya tidak layak untuk
memegang Kartu Indonesia Pintar (KIP), ini terlihat dari banyaknya siswa yang sudah
lulus sekolah atau tidak aktif sekolah masih terdaftar sebagai pemegang kartu
tersebut, dan banyaknya biodata yang tidak sesuai sesuai dengan data siswa di
sekolah sehingga kartu tersebut tidak bisa dicairkan.
2. 2. Faktor yang menjadi penghambat dalam implementasi kebijakan KIP di desa-desa
sebagai berikut :
a. Kurangnya komunikasi antara Pemerintah Pusat (Kementrian Sosial) dengan
Pemerintah Daerah atau Instansi Terkait mengenai Kartu Indonesia Pintar
(Sekolah dan Bank), serta faktor keakuratan data yang digunakan sebagai
penentu calon penerima KIP masih kurang.
b. Kurangnya sosialisasi yang diberikan oleh pemerintah pusat (Kementerian
Sosial) karena sosialisasi merupakan salah satu cara untuk mendistribusikan
berbagai hal yang akan dilakukan dan ditempuh oleh pemerintah melalui
kebijakan yang diformulasinya. Tanpa sosialisasi yang cukup baik, maka
tujuan kebijakan bisa jadi tidak tercapai.
19
DAFTAR PUSTAKA
20