Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH TEORI ADMINISTRASI PUBLIK

ETIKA BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dari Mata Kuliah Teori Administrasi
Publik yang diampu oleh: R. Akhmad Munjin, Drs., M.Si.

Disusun oleh :

Siska Adela Syahara

(D.1710179)

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS DJUANDA

2019
Kata Pengantar

Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah puji syukur saya panjatkan


kehadirat Allah yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya serta
memberikan perlindungan dan kesehatan sehingga saya dapat menyusun makalah
dengan judul “Pelayanan Publik” . dimana makalah ini sebagai salah satu syarat
untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Teori Administrasi Negara.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa selama penyusunan makalah ini saya


banyak menemui kesulitan dikarenakan keterbatasan referensi dan keterbatasan
saya sendiri. Dengan adanya kendala dan keterbatasan yang dimiliki saya maka
saya berusaha semaksimal mungkin untuk menyusun makalah dengan sebaik-
baiknya.

Dalam kesempatan ini tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam

Sebagai manusia saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari semua pihak yang membaca makalah ini agar saya dapat membuat makalah
yang lebih baik lagi kedepannya.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi saya khususnya dan bagi pembaca
pada umumnya. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih.

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN ................................................................................. i


KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
..............................................................
1.2. Rumusan Masalah 4
........................................................
1.3. Tujuan Penelitian 4
.........................................................

BAB II PEMBAHASAN
2.1. Kajian Terdahulu .......................................................... 5
2.2. Landasan Teori.............................................................. 5

2.2.1. Definisi Etika Dan Pelayanan Publik ........................ 5


2.2.2. Analisis Makalah ....................................................... 16

BAB III PENUTUP


3.1. Kesimpulan .................................................................. 18
3.2. Saran ............................................................................ 19

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, upah masyarakat sangat


tergantung pada kemampuan yang mereka dapatkan akses dan kemampuan untuk
bisa menggunakan pelayanan masyarakat. Akan tetapi permintaan akan pelayanan
tersebut biasanya jauh melebihi kemampuan pemerintah untuk bisa memenuhinya.
Hal ini karena pemusatan semua urusan masyarakat hanya kepada negara dan
urusan pelayanan masyarakat yang demikian kompleks ingat dapat di urus secara
menyeluruh oleh dewan negara (sentralisasi). Oleh karena saat kemudian
dicetuskan ide desentralisasi, yang mencoba menggugat kelemahan yang pada
diskursus sentralisasi tersebut.

Kerangka desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada daerah untuk


dilaksanakan pemerintahan sendiri selalu melihat positif dari sisi efektifitas
manajemen pemerintahan, pelaksanaan desentralisasi juga melihat sesuai dengan
prinsip-prinsip demokrasi yang memungkinkan setiap warga negara untuk
menentukan sendiri nasib dan mengapresiasikan keinginannya secara bebas
(Setiyono,2004: 205). Mengingat tujuan kebijakan desentralisasi sendiri yaitu
untuk menciptakan suatu sistem pembagian kekuatan antar daerah yang mapan
yang dimana pemerintah pusat bisa meningkatkan kapasitas, terima dukungan
masyarakat dan sisa pembagian sumber daya dengan adil. Desentralisasi yang
juga merupakan bentuk pelaksanaan dari demokrasi lokal dengan memanfaatkan
keefektifitasan pemerintah daerah pada akhirnya juga diharapkan bisa mendorong
pemerintah daerah agar lebih bertanggung jawab dalam mengelola dan
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang ada di daerah.

Namun konsep desentralisasi yang sampai saat ini masih berjalan sebenarnya
dibuka kesempatan untuk melahirkan raja-raja kecil di daerah. Sebagai akibatnya,
ide desentralisasi itu tidak lantas memperbaiki kinerja daerah dalam mengelola
urusan masyarakatnya, sebenarnya sebaliknya mungkin mengabaikannya.

1
Penyelenggaraan urusan masyarakat yang beralih dari pusat ke daerah juga
memberikan kesempatan lanjut praktik korupsi di daerah. Ini terlihat dari
banyaknya pejabat daerah baik di birokrasi juga di non birokrasi ( lembaga
legislatif) yang terlibat kasus hukum, politisasi birokrasi merajalela, juga
pelayanan di daerah menjadi lahan bantahan antar daerah jadi pungutan menjadi
berlapis-lapis untuk satu produk barang kinerja birokrasi yang masih kurang baik
inilah yang kemudian membicarakan sebagai kerusakan dalam semangat
desentralisasi.

Data yang disampaikan oleh Meredakan Dari Perbuatan bisnis sebagaimana


yang dikutip dari Bappenas (2011) menyatakan itu posisi Indonesia dalam
kemudahan melakukan bisnis pada tahun 2011 menurun dibandingkan dengan
tahun 2010. Selama jarak terakhir, Indonesia telah melakukan tiga reformasi
positif di tiga kriteria, yaitu pendirian usaha (negosiasi biaya dan waktu
pembuatan akte pendirian usaha), makan tarif pajak bicara juga makan waktu
ekspor dengan NSW. Namun Indonesia masih buruk dalam pelaksaan kontrak
(dari segi jumlah prosedur, waktu juga biaya). Secara umum kemudahan usaha di
Indonesia masih jauh di bawah rata-rata (masih di bawah Vietnam).

Sebagaimana yang telah dikutip oleh Bappenas (2011), menyatakan bahwa


pada publikasi terbaru tahun 2011-2012, peringkat Indonesia untuk indeks daya
saing global adalah peringkat 44 (skor 4,38) dari 142 negara yang disurvei. Posisi
Indonesia tersebut turun 2 peringkat dibandingkan periode sebelumnya yaitu
peringkat 46 (skor 4,43) dari 139 negara. Berdasarkan GCI 2011-2012, Indonesia
masih kurang kompetitif dibandingkan negara-negara Asia Tenggara yang lain
seperti : Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Thailand meski berada
diatas Vietnam dan Filipina. Daya saing Indonesia yang rendah karena oleh
banyak faktor antara berbaring infrastruktur yang rusak, inefisiensi birokrasi,
korupsi, transisi hukum inefesiensi birokrasi antara berbaring di tandai oleh
pelayanan publik yang berbelit-belit, meminta prosedur yang panjang, waktu yang
lama juga biaya yang tidak jelas.

2
Dari gambaran di atas bisa kita pertimbangkan itu kinerja birokrasi Indonesia
memang masih sangat mengecewakan. Dalam survei yang dilakukan oleh
Dwiyanto dkk bahkan bicara nilai capaian kinerja birokrasi dalam hal
produktifitas kualitas layanan, responsivitas, tanggung jawab dan akuntabilitas
birokrasi kita juga masih sangat rendah padahal bahkan dikutip oleh Dwiyanto,
menurut Itu Dunia Daya saing Buku tahunan tahun 1999, tingkat indeks daya
saing birokrasi kita berada pada urutan terendah dari segi kualitas pelayanan
masyarakat dibandingkan dengan 100 negara berbaring di dunia. Hal ini terbukti
dari hasil penelitian tersebut diketahui itu dari segi melintasi pelayanan birokrasi,
kita masih mungkin tidak sepenuhnya memberikan waktu dan tenaga untuk
berjalannya tugas melayani rakyat. Hampir 40% birokrat yang menjadi responden
dalam penelitian itu menyatakan mereka memiliki pekerjaan lain diluar
pekerjaannya sebagai aparatur negara. Kondisi ini otomatis membuat
berkurangnya konsentrasi mereka dalam bekerja jadi tidak fokus untuk melakukan
tugas-tugasnya (Setiyono, 2004:131). Hal ini tentu saja menambah daftar panjang
buruknya birokrasi (selain prosedur birokrasi yang berbelit-belit, lama, kurang
peka terhadap tanggapan masyarakat dan lain-lain) di negara ini yang membuat
masyarakat juga semakin tidak percaya kepada kinerja aparat untuk bisa
memenuhi tuntutan-tuntutan masyarakat tersebut.

Menarik untuk dimiliki, pada Hari Udara Sedunia yang diadakan di alun-alun
Kabupaten Pacitan, Jawa Timur beberapa tahun yang lalu, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menyatakan keragamannya terhadap kebiasaan para pejabat
dan instansinya yang sering melakukan pemborosan. Persiapan negara terbebani
oleh pembiayaan yang mencakup kerja yang tidak produktif aparat hingga Rp 7
Triliun perbulannya. Hal ini menambah daftar panjang dari kinerja birokrasi yang
buruk dan krisis kepercayaan masyarakat terhadap sitem birokrasi di Indonesia.

3
1.2 Rumusan Masalah

Selama ini, lanjut kesan dan negatif dan krisis kepercayaan terhadap
pemerintah (birokrasi) diakibatkan karena birokrasi selama ini tidak bisa
merespon keinginan warga masyarakat. Kultur birokrasi yang di desain untuk
bekerja lambat, berhati-hati dan menyelewengkan kewenangan dan jabatannya
untuk memenuhi kepentingan pribadi maupun kelompoknya sudah tidak dapat
diterima oleh konsumen atau pun asyarakat yang memerlukan pelayanan cepat,
efisien, tepat waktu dan akuntabel. Hal ini menambah daftar panjang mengenai
rendahnya persoalan etika birokrasi di Indonesia, mengingat kepada pemerintahan
yang bersih (clean good governance) yaitu pemerintahan yang tidak melakukan
tindakan-tindakan yang menyimpang dari etika administrasi publik
(maladministration).

Di bidang administrasi negara di Indonesia khususnya masalah etika dalam


birokrasi dalam pelayanan publik menjadi keprihatinan yang sangat besar, karena
perilaku birokrasi mempengaruhi bukan hanya darinya, tetapi masyarakat banyak.
Selain itu, birokrasi juga bekerja atas dasar kepercayaan, karena seorang birokrat
bekerja untuk negara dan berarti juga untuk rakyat. Wajarlah apabila rakyat
mengharapkan adanya jaminan bahwa para birokrat yang di biayainya harus
mengabdi kepada kepentingan umum menurut standar etika yang selaras dengan
kedudukannya.

Dari uraian dan kenyataan di atas, maka rumusan masalah ini yakni :

1) Bagaimana etika sejarah pelayanan publik di Indonesia?


2) Apa pentingnya etika dalam pelayanan publik?
3) Bagaimana etika pelayanan publik Indonesia?
4) Apakah prinsip etika pelayanan publik menurut ASPA?

1.3 Tujuan Penelitian

4
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kajian Terdahulu

Hasil penelitian dengan judul “kualitas pelayanan publik, kosep, dimensi,


indikator dan inplementasinya” oleh : Puspitosari pada tahun 2011. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menganalisis kualitas pelayanan publik, konsep,
dimensi dan indikator dalam pelayanan di PTSP. Hasil dan pembahasan aspek
yang berkaitan dengan kualitas pelayanan publik menunjukan tumpang tindih
dalam penerapan kebijakan. Kolerasi peningkatan kesejahteraan masyarakat
dengan kualitas pelayanan publik. Pengembangan model dalam upaya
implementasi kebijakan pelayanan.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Definisi Etika dan Pelayanan Publik

James J. Spillane SJ mengemukakakan bahwa etika mempertimbangkan


atau memepertimbangkan tingkah laku manusia dalam suatu keputusan moral.
Lebih lanjut tentang penggunaan akal manusia dengan tujuan untuk benar atau
salahnya serta orang lain untuk orang lain.

Prof. Dr.Frans Magnis Suseno mengemukakan bahwa etika merupakan


ilmu yang memberikan arahan, tujuan dan landasan bagi tindakan manusia.

Moenir, A.S (2008: 27) mendefinisikan pelayanan adalah serangkaian


kegiatan yang berlangsung secara rutin secara rutin dan berkesinambungan
meliputi seluruh kehidupan orang dalam masyarakat. Berdasarkan pengertian
tersebut pelayanan dapat diartikan bahwa pelayanan merupakan kegiatan yang
bersifat rutin dan berkesinambungan dalam masyarakat.

5
Lijan Poltak Sinambela (2008: 5) mengemukakan bahwa pelayanan adalah
setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan
menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara
fisik.

Menurut undang-undangg No.25 tahun 2009 tentang pelayana publik :

Segala bentuk kegiatan dalam rangka pengaturan, pembinaan, bimbingan,


penyediaan fasilitas, jasa dan lainnya yang dilaksanakan oleh aparatur pemerintah
sebagai upaya pemebuhan kebutuhan kepada masyarakat sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.

A. Sejarah Etika Pelayanan Umum (Publik)

Etika merupakan seperangkat nilai sebagai pedoman, acuan, referensi,


penentuan apa yang harus dilakukan dalam menjalankan tugasnya, tapi juga
sekaligus berfungsi sebagai standar untuk menilai apakah sifat, perilaku, tindakan
atau sepak terjangnya dalam menjalankan tugas di nilai baik atau buruk. Oleh
karena itu, dalam etika terdapat sesuatu nilai yang dapat memberikan penilaian
bahwa sesuatu tadi di katakan baik atau buruk.

Pemekiran tentang etika kaitanya dengan penilaian publik mengalami


perkembangan sejak tahun 1940-an melalui karya Leys (dalam keban,1994: 50-
51). Lays berpendapat: “ bahwa seorang admistrator di anggap etis apabila ia
menguji dan mempertanyakan standar-standar yangdi gunakan dalam pembuatan
kepetusan, dan tidak mendasarkan keputusannya semata mata pada kebiasaan dan
tradisi yang sudah ada”. Kemudian tahun 1950-an, muncul perkembangan
pemikiran baru. Hal ini terlihat dalam karya Anderson (dalam keban, 1994:51)
menyempurnakan aspek standar yang di gunakan dalam pembuatan keputusan.
Karya Anderson menambah suatu point baru, bahwa standar-standar yang di
gunakan sebagai dasar kepetusan tersebut dapat mungkin mereflesikan nilai-nilai
dasar dari masyarakat yang di layani. Di tahun 1960-an,muncul lagi pemikiran
baru lewat tulisan Golembiewski (dalam keban 1994:51) menambah elemen baru
yaitu standar etikamungin mengalami perubahan dari waktu kewaktu dan karena

6
itu administratorharus mampu memahami perkembangan dan bertindak sesuai
standar-standar perilaku tersebut.

Pada pemulaan tahun 1970-an, beberapa tulisan mereflesikan kecenderungan


baru,tulisan Hart (dalama keban, 1994) mempromosikan nilai-nilai social equity
sebagian pedoman dasar administrasi negara, dan menyarankan teori keadilan dan
rawls sebagi pedoman etika bagi masyarakat maupun administrator sebagai
individu. Kecenderungan baru juga terlihat pada tulisan Henry (dalam
keban,1994) yang menekankan tanggung jawab atau keharusan administrator
publik untuk memperhatikan aspek etika, dan tidak hanya melekat pada aspek
efesiensi, ekonomi dan prinsip-prinsip administrasi. Menurut Henry, teori rawls
tentang justice al fanicres sangat bermanfaat untuk di pertimbangkan dalam
praktek administrasi negara. Dengan demikian aspek yang di tambahkan dalam
permulaan tahun 1970-an ini adalah aspek keadilan dan tanggung jawab.

Sejak permulaan tahun 1970-an ada beberapa tokoh penting yang sangat
mempengaruhi etika administrator publik, dua di antaranya adalah John Rohr dan
Terry L.Cooper. Rohr. ( dalam keban,1994. 51-52) menyarankan agar
adminstrator dapat menggunakan regime norms yaitu nilai-nilai keadilan,
persamaan, dan kebebasan sebagai pengambilan keputusan terhadap berbagai
alternatif kebikasanaandaalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Dengan cara
demikian, administrator negara dapat menjadi etis ( being etichal). Namun,
menurut Cooper (dalam keban 1994:51) etika sangat melibatkam subtentive
reasoning tentang kewajiban, konsekuensi dan tujuan akhir dan bertindak etis
(doing ethics) adalah melibatkan pemikiran yang sistematis tentang nilai-nilai
yang melekat pada pilihan-pilihan dalam pengambilan kepetusan. Pemikiran
Cooper menenjukan admiunitrator yang etis adalah administrator yang selalu
terikat pada tanggung jawab dan peranan organisasi, sekaligus bersedia
menerapkan standar etika secara tepat pada pembuatan keputusan administrasi.

7
B. Pentingnya Etika Dalam Pelayanan Publik

Saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk memisahkan adminstrasi dari
politik (dikotomi) menunjukan bahwa admisitrator sungguh-sungguh netral, bebas
dari pengaruh politik ketika memberikan pelayanan publik. Akan tetapi kritik
bermunculan menentang ajaran dikotomi politik pada tahun 1930-an, sehingga
perhatian mulai di tunjukan kepada keterlibatan para administrator dalam
keputusan-keputusan publik atau kebijakan publik. Sejak saat ini mata publik
mulai memberikan perhatian khusus terhadap “permainan etika” yang dilakukam
pleh para birokrat pemerintahan. Penilaian keberhasilan seorang administrtor atau
aparat pemerintah tidak semata-mata di dasarkan pada pencapaian kriteria
efesiensi, rkonomi, dan prinsip-prinsif administrasi lainnya,tetapi juga kriteria
moralitas, khususnya terhadap kontribusinya terhadap public interest atau
kepentingan umum (Henry, 1995:400).

Alasan mendasar mengapa pelayanan publik harus diberikan adalah adanya


public interest atau kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh pemerintah
karena pemerintahlah yang memiliki “tanggung jawab” atau responsibility. Dalam
memberikan pelayanan ini pemerintah diharapkan secara profesional
melaksanakannya dan harus mengambil keputusan politik secara tepat mengenai
siapa mendapat apa, berapa banyak , dimana, kapan dan lain sebagainya. Padahal,
kenyataan menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki tuntutan atau pegangan
kode etik atau normal secara memadai. Asumsi bahwa semua aparat pemerintah
yang teruji pasti selalu membela kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak
selamanya benar. Banyak kasus membuktikan kepentingan pribadi, keluarga,
kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendigte perilaku
seorang birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki
“independensi” dalam bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada “otonomi
dalam beretika”. Alasan lain lebih berkenaan dengan lingkungan di dalam
birokrasi yang meberikan pelayanan itu sendiri. Desakan untuk memberi perhatian
kepada aspek kemanusiaan dalam organisasi (organizational humanism) telah
disampaikan oleh Denhardt. Dalam literature tentang aliran human relation dan

8
human resources telah dianjurkan agar manajer harus bersikap etis yaitu
memperlakukan manusia atau anggota organisasi secara manusiawi. Alasannya
bahwa perhatian terhadap manusia (koceren for people) dan pengembangannya
sangat relevan dengan upaya peningkatan produktifitas, kepuasan dan
pengembangan kelembagaan.

Alasan berikut berkenaan dengan karakteristik masyarakat publik yang


terkadang begitu variatif sehingga membutuhkan perlakuan khusus.
Mempekerjakan pegawai negeri dengan menggunakan prinsip “kesesuaian antara
orang dengan pekerjaannya” merupakan prinsip yang perlu diepertanyakan secara
etis, karena prinsip itu akan menghasilkan ketidak adilan, dimana calon yang
dipekerjakan hanya berasal dari daerah tertentu yang relatif lebih maju.

Kebijakan affirmative action dalam hal ini merupakan terobosan yang bernada
etika karena akan memberi ruang yang lebih luas bagi kaum minoritas, miskin,
tidak berdaya dan lain sebagainya. Untuk menjadi pegawai atau menduduki posisi
tertentu. Ini merupakan suatu pilihan moral (moral choice) yang diambil oleh
sorang birokrat pemerintah berdasarkan prinsip justice-as-fairness sesuai pendapat
John Rawls yaitu bahwa distribusi kekayaan, otoritas dan kesempatan sosial akan
terasa adil bila hasilnya memberikan kompensasi keuntungan kepada setiap orang
dan khususnya terhadap anggota masyarakat yang paling tidak beruntung.
Kebijakan mengutamakan “putera daerah” merupakan salah satu contoh yang
populer saat ini. Alasan penting lainnya adalah peluang untuk melakukan tindakan
yang bertentangan dengan etika yang berlaku dalam pemberian pelayanan publik
sangat besar. Pelayanan publik tidak sederhana sebagaimana dibayangkan, atau
dengan kata lain begitu kompleksitas sifatnya baik berkenaan dengan nilai
pemberian pelayanan itu sendiri maupun mengenai cara terbaik pemberian
pelayanan publik itu sendiri. Kompleksitas dan ketidakmenentuan ini mendorong
pemberi pelayanan publik mengambil langkah-langkah profesional yang
didasarkan kepada “keleluasaan bertindak”. Dan keleluasaan inilah yang sering
menjerumuskan pemberi pelayanan publik atau aparat pemerintah untuk bertindak
tidak sesuai dengan kode etik atau tuntutan perilaku yang ada.

9
Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia, pelanggaran
moral dan etika dapat diamati mulai dari proses kebijakan publik (pengusulan
program, proyek dan kegiatan yang tidak didasarkan atas kentataan), desain
organisasi pelayanan publik (pengaturan struktur, formalisasi, dispersi otoritas)
yang sangat biasa terhadap kepentingan tertentu, proses manajemen pelayanan
publik yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari perencanaan teknis,
pengelolaan keuangan, SDM, informasi), yang semuanya itu nampak dari sifat-
sifat tidak transfaran, tidak responsif, tidak akuntabel dan tidak adil. Dan tidak
dapat disangkal, semua pelanggaran moral dan etika ini telah diungkapkan sebagai
salah satu penyebab melemahnya pemerintahan kita. Alasan utama yang
menimbulkan tragedi tersebut sangat kompleks, mulai dari kelemahan aturan
hukum dan perundang undangan kita, sikap mental manusia, nilai-nilai sosial
budaya yang kurang mendukung, sejarah dan latar belakang kenegaraan,
globalisasi yang tak terkendali, sistem pemerintahan, kedewasaan dalam
berpolitik. Bagi Indonesia, pembenahan moralitas yang terjadi selama ini masih
sebatas lip service tidak menyentuh sungguh-sungguh substansi pemenahan moral
itu sendiri. Karena itu pembenahan moral merupakan “beban besar” dimasa
mendatang dan apabila tidak diperhatikan secara serius maka proses pembusukan
terus terjadi dan dapat berdampak pada disintegrasi bangsa.

C. Etika Pelayanan Publik Indonesia

Mengenai bentuk pelayanan itu tidak akan terlepas dari tiga macam pelayanan
yaitu :

1) Pelayanan dengan lisan


2) Pelayanan melalui tulisan
3) Pelayanan dengan perbuatan

Ketiga bentuk pelayanan tersebut dalam setiap organisasi tidaklah dapat


selamanya berdiri secara murni, melainkan sering kombinasi. Apalagi pelayanan
tersebut pelayanan publik pada Kantor Pemerintahan. Faktor utama dalam
keterpurukan pelayanan publik di Indonesia adalah lemahnya etika sumber daya

10
manusia (SDM), yaitu birokrat yang bertugas memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Etika pelayanan publik harus berorientasi kepada kepentingan
masyarakat berdasar asas transparansi (keterbukaan dan kemudahan akses bagi
semua pihak) dan akuntabilitas (pertanggung jawaban sesuai dengan peraturan
perundang-undangan) demi kepentingan masyarakat.

Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia, pelanggaran


moral dan etika dapat kita amati mulai dari proses kebijakan publik yaitu
(pengusulan program, proyek dan kegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan),
desain organisasi pelayanan publik (pengaturan struktur, formalisasi, dispersi
otoritas) yang sangat biasa terhadap kepentingan tertentu, proses manajemen
pelayanan publik yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari perencanaan
teknis, pengelola keuangan, sumber daya manusia dan informasi) yang semua itu
nampaknya dari sifat-sifat tidak transparan, tidak resfonsif, tidak akuntabel dan
tidak adil sehingga tidak dapat memberikan kualitas pelayanan yang unggul
kepada masyarakat.

Sudah sepantasnya pelayanan umum dilakukan secara beretika agar tidak


adanya kekecewaan dalam suatu masyarakat. Etika yang sewajarnya ada kini
sudah mulai luntur oleh tindakan kurang terpuji dari pihak aparatur negara.

Tindakan-tindakan tidak terpuji tersebut diantaranya adalah:

1. Aparat belum memberikan informasi yang jelas dan benar kepada


pengguna jasa, terkadang terkesan berbelit-belit dan akhirnya para aparatur
berkesempatan untuk mendapatkan uang lebih dari tawarannya yang
menguntungkan, misalkan dapat menyelesaikan pembuatan KTP dengan
cepat, namun dengan sedikit imbalan atas usaha yang dilakukannya.
2. Aparat belum menunjukan sikap ramah, sopan dan santun pada pengguna
jasa. Sikap semena-mena yang ditunjukan sebagian aparatur terkesan
seperti merajai atau menggurui, meskipun dengan orang yang lebih tua.
Dikap tersebut dikarenakan oleh derajat yang dia miliki dia rasa sebagai

11
derajat yang paling tinggi, meskipun sebenarnya dia tahu bahwa dia
merupakan pelayan bagi masyarakat.
3. Masih ada pegawai yang tidak berada pada tempat kerjanya atau mejanya
kosong disaat pengguna jasa membutuhkan pelayanan. Adanya “Bolos”
kerja yang dilakukan aparatur membuat masyarakat merasa dirugikan, tak
jarang masyarakat yang ingin meminta bantuan jasa merupakan
masyarakat yang datang dari jauh dan ternyata setelah sampai ditempat
pelayanan, para pelayan masyarakat sedang tidak ada ditempat.
4. Masih ada pegawai yang mementingkan kepentingan pribadi dan terlalu
tunduk dengan apa yang diperintahkan pimpinan. Pekerjaan seharusnya
tidak boleh dicampur dengan urusan pribadi agar tidak adanya kekacauan
dalam pekerjaan terhadap masyarakat. Jika pelayan masyarakat terlalu
tunduk dengan atasan maka tak jarang pekerjaan untuk melayani
masyarakat menjadi terbengkalai, karena dia lebih menjadi pelayan
pimpinan dari pada pelayan masyarakat.
5. Aparat belim tanggap terhadap keluhan pengguna jasa.

Maka dari itu sudah seharusnya diterapkan pelayanan publik yang profesional,
pelayanan publik yang profesional adalah pelayana publik yang dicirikan oleh
adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan yaitu aparatur
pemerintah. (Widodo, 2001: 270-271)

Ciri-cirinya yaitu :

1. Efektif lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan
sasaran.
2. Sederhana mengantuk arti prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan
secara mudah, cepat, tepat tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah
dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan.
3. Kejelasan da kepastian (transparan), mengandung arti adanya kejelasan
dan kepastian mengenai :
a. Prosedur tata cara pelayanan.

12
b. Persyaratan pelayanan, baik teknis maupun persyaratan
administratif .
c. Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung
jawab dalam memberikan pelayanan.
d. Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya.
e. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.
4. Keterbukaan mengandung arti prosedur/tata cara persyaratan, satuan
kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian,
rincian waktu/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses
pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan
dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak.
5. Efisiensi mengandung arti :
a. Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal berkaitan
langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap
memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk
pelayanan yang berkaitan.
b. Dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan dari satuan
kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.
6. Ketetapan waktu kriteria ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan
masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
7. Responsif lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa
yang menjadi masalah, kebutuhan dalam aspirasi masyarakat yang
dilayani.
8. Adaptif adalah cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan,
keinginan dan aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa
mengalami tumbuh kembang.

13
Dalam etika pelayanan publik ada seperangkat nilai yang dapat digunakan
sebagai acuan, referensi dan penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksanaan
tugas dan kewenangannya, yaitu :

1. Efisiensi, nilai efisiensi artinya tidak boros. Sikap, perilaku dan perbuatan
birokrasi publik dikatakan baik jika mereka efisien (tidak boros).
2. Membedakan milik pribadi dengan milik kantor, nilai ini dimaksudkan
supaya birokrasi yang baik dapat membedakan mana milik kantor dan
milik pribadi. Artinya milik kantor tidak digunakan untuk kepentingan
pribadi.
3. Impersonal, nilai impersonal maksudnya adalah dalam melaksanakan
hubungan antara bagian satu dengan bagian yang lain, atau kerjasama
antara orang yang satu dengan lainnya dalam kerjasama kolektif di wadahi
oleh organisasi, dilakukan secara formal. Maksudnya hubungan
impersonal perlu ditegakkan untuk menghindari unsur perasaan dari pada
unsur rasio dalam nebjalankan tugas dan tanggung jawab berdasarkan
peraturan yang ada dalam organisasi.
4. Merytal system,nilai ini berkaitan dengan rekrutmen atau promosi
pegawai, hendaknya menggunakan “merytal system, artinya dalam
penerimaan pegawai atau promosi pegawai tidak didasarkan atas
kekerabatan, namun berdasarkan pengetahuan (knowledge), keterampilan
(sill), kemampuan (capable) dan pengalaman (experience), sehingga
dengan sistem ini akan menjadikan yang bersangkutan cakap dan
profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab dan bukan
“spoil system.
5. Responsible, nilai ini berkaitan dengan pertanggung jawaban birokrasi
publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
6. Accountable, nilai accountable menurut Harty (1977) merupakan suatu
istilah yang diterapkan untuk mengukur apakah dana publik telah
digunakan secara tepat dan tidak digunakan secara ilegal. Sedangkan
Herman Finner (1941) dalam Muhadjir (1993) nilai accountable

14
merupakan konsep yang berkenaan dengan standar eksternal yang
menentukan kebenaran suatu tindakan oleh birokrasi publik. Karenanya
akuntabilitas ini disebut tanggung jawab yang bersifat objektif, sebab
birokrasi dikatakan accountable bilamana mereka dinilai objektif oleh
orang (masyarakat atau melalui wakilnya) dapat mempertanggung
jawabkan segala macam perbuatan, sikap dan sepak terjangnya kepada
pihak mana kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki itu berasal.
Sehingga birokrasi publik dapat dikatakan akuntabel manakala mereka
mewujudkan apa yang menjadi harapan publik (pelayanan publik yang
profesional dan dapat memberikan kepuasan publik).
7. Responsiveness, nilai ini berkaitan dengan daya tanggap dari birokrasi
publik dalam menanggapi apa yang menjadi keluhan, masalah dan aspirasi
masyarakat.
D. Prinsip Etika Pelayanan Menurut ASPA

Salah satu contoh yang relevan dengan pelayanan publik adalah kode etik
dimiliki ASPA (American Society For Public Administration) yang telah direvisi
berulangkali dan terus mendapat kritikan serta penyempurnaan dari para
anggotanya. Nilai-nilai yang dijadikan pegangan perilaku para anggotanya antara
lain integritas, kebenaran, kejujuran, ketabahan, respek, menaruh perhatian,
keramahan, cepat tanggap, mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan
lain, bekerja profesional, pengembangan profesionalisme, komunikasi terbuka dan
transparansi, keaktivitas, dedikasi, kasih sayang, penggunaan keleluasaan untuk
kepentingan publik, beri perlindungan terhadap informasi yang sepatutnya
dirahasiakan, dukungan terhadap sistem merit dan program affirmative action.

Adapun bentuk dari etika administrasi negara menurut American Society for
Public Administrasi (Perhimpunan Amerika untuk Administrasi Negara),
menyebutkan prinsip-prinsip etika pelayanan sebagai berikut :

15
1. Pelayanan terhadap publik harus diutamakan.
2. Rakyat adalah berdaulat dan mereka yang bekerja di dalam pelayanan
publik secara mutlak bertanggung jawab kepadanya.
3. Hukum yang mengatur semua kegiatan pelayanan publik. Apabila hukum
atau peraturan yang ada bersifat jelas, maka kita harus mencari cara
terbaik untuk memberi pelayanan publik.
4. Manajemen yang efesien dan efektif merupakan dasar bagi administrator
publik.
5. Sistem merit dan kesempatan kerja yang sama harus didukung,
diimplementasikan dan dipromosikan.
6. Mengorbankan kepentingan publik demi kepentingan pribadi tidak dapat
dibenarkan.
7. Keadilan, kejujuran, keberanian, kesamaan, kepandaian dan empathy
merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dan secara aktif harus
dipromosikan.
8. Kesadaran moral memegang peranan penting dalam memilih memilih
alternatif keputusan.
9. Administrator publik tidak semata-mata berusaha menghindari kesalahan,
tetapi juga berusaha mengejar atau mencari kebenaran.

2.2.2 Analisis Makalah

seperangkat nilai yang dijadikan sebagai pedoman, acuan, referensi,


penentuan sebagai arahan untuk menjelaskan apa yang harusa dilakukan dalam
menjalankan sebuah tugas, selain dari pada itu etika juga memiliki fungsi sebagai
standar untuk menilai apakah sifat, perilaku, tindakan atau sepak terjangnya dalam
menjalankan tugas di nilai baik atau buruk. Oleh karena itu, dalam etika terdapat
sesuatu nilai yang dapat memberikan penilaian bahwa sesuatu tadi di katakan
baik atau buruk. Sedangkan pelayanan publik adalah kegiatan yang dilakukan
oleh aparatur pemerintahan (tenaga Birokrasi) yang menyangkut hajat hidup orang

16
banyak ( Publik atau masyarakat). Namun dalam pelaksaaan pelayanan kepada
masyarakat tersebut jelas membutuhkan etika yang baik dan benar agar yang
dilayani dapat merasakan pelayanan yang nyaman dan terpercaya, baik dalam
mendapatkan akses informasi maupun dalam membuat persyaratan untuk
kepentingan masyarakat. Dewasa kini dalam hal pelayanan atau public service
dalam pelaksanaan kerja para birokrat tidak serta merta lancar tanfa faktor
penghambat. Diantara faktor penghambat tersebut adalah:

1. Para pegawai yang melayani masyarakat kurang disiplin dan tidak


memenuhi syararat sebagai tenaga kerja yang baik.
2. Selalu datang terlambat dan pulang lebih awal dari waktu yang sudah
ditentukan.
3. Tidak memberikan akses informasi kepada masyarakat.
4. Selalu membeda-bedakan golongan sosial masyarakat dalam hal pelayanan
dalam arti jika masyarakat dari golonan sosial kebawah dalam hal
pelayanan lebih dikebelakangkan dan terkadang golongan tersebut
terintimidasi.
5. Para birokrat terkadang melakukan tindakan sewenang-senang dalam arti
menyalahgunanakan kewenangan yang dimiliki.

17
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Isu tentang etika dalam pelayanan publik di Indonesia kurang dibahas


secara luas dan tuntas sebagaimana terdapat di negara maju, meskipun telah
disadari bahwa salah satu kelemahan dasar dalam pelayanan publik di Indonesia
adalah masalah moralitas. Etika sering dilihat sebagai elemen yang kurang
berkaitan dengan dunia pelayanan publik. Padahal dalam literatur tentang
pelayanan publik dan administrasi publik, etika merupakan salah satu elemen
yang sangat menentukan kepuasan publik yang dilayani sekaligus keberhasilan
organisasi pelayanan publik itu sendiri.

Elemen ini harus diperhatikan dalam setiap fase pelayanan publik mulai
dari penyusunan kebijakan pelayanan, desain struktur organisasi pelayanan,
sampai pada manajemen pelayanan untuk mencapai tujuan akhir dari pelayanan
tersebut. Dalam kompleks ini, pusat perhatian ditujukan kepada aktor birokrasi
yang terlibat dalam setiap fase, termasuk kepentingan aktor-aktor tersebut apakah
para aktor telah benar-benar mengutamakan kepentingan publik diatas
kepentingan-kepentingan yang lain.

Karena petingnya pelayanan bagi kehidupan manusia, ditambah


kompleksnya kebutuhannya, maka bentuk pelayanan yang diperlukan lebih
banyak, dapat berupa kombinasi dari pelayanan lisan, pelayanan melalui tulisan
dan pelayanan dengan perbuatan. Apalagi pelayanan publik pada sebuah kantor
pemerintahan. Disamping itu pola pelayanan lain yang diharapkan dalam etika

18
pelayanan publik adalah pelayanan yang menukik pada pendekatan deontologi,
yaitu pelayanan yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip nilai moral yang
harus ditegakkan karena kebenaran yang ada dalam dirinya dan tidak terkait
dengan akibat atau konsekuensi dari keputusan yang diambil. Dengan pelayanan
seperti ini diharapkan agar birokrasi selalu melakukan kewajiban moral untuk
mengupayakan agar sebuah kebijakan menjadi karakter masyarakat. Bila hal ini
melembaga dalam diri pejabat publik dan masyarakat, maka birokrasi patut
menjadi teladan. Mereka tidak melakukan sesuatu yang bisa merugikan negara
dan masyarakat seperti misalnya, korupsi, kolusi dan nepotisme.

3.2 Saran

Etika pelayanan publik sebaiknya disosialisasikan kepada pihak-pihak


yang melakukan pelayanan kepada masyarakat, karena sebagian besar pelayan
masyarakat belum mengetahui etika pelayanan kepada masyarakat. Sebagian
mungkin masih belum mengetahui bagaimana seharusnya tindakan untuk
melayani masyarakat sehingga dia melakukan kesalahan dalam melakukan
pelayanan atas ketidaktahuannya. Sangat disayangkan jika kesalahan dalam
pelayanan dilakukan karena kebutaan akan bagaimana etika yang seharusnya
diterapkan kepada masyarakat. Saran selanjutnya berikanlah penghargaan jika
aparatur pemerintah melakukan tindakan sesuai etika dan sebaliknya, berikanlah
sanksi yang tegas kepada pelanggar etika pelayanan apalagi yang melakukan
dengan sengaja. Diharapkan dengan adanya tindakan seperti itu para pelayan
masyarakat termotivasi untuk mengetahui etika pelayanan kepada masyarakat
sehingga tindakannya dapat sesuai dengan kehendak rakyat. Akhirnya, yang
teramat penting adalah keteladanan, tidak ada orang yang dapat mencapai tingkat
kebijakan ideal, karena itu dalam etika kebijakan, yang penting adalah proses
untuk menginternalisasikannya dibandingkan dengan hasilnya.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Puspitisari, D.S.2011 Hubungan Antenatar care dengan berat badan


lahir bayi di Indonesia (analisis lanjut data riskendes 2010). Pusat
terknologi terapan kesehatan dan epideomologi klinik.
2. Sepriliane, James J. 1992 Etika bisnis dan Etika Berbisnis, Kanisius,
Yogyakarta.
3. Suseno, Magnis frans. 1987. Etika dasar, Masalah-masalah filsafat
moral. Kanisius. Yogyakarta.
4. Moenir, A.H.S 2008. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia,
Bumi Aksara, Jakarta.
5. Sinambela, Litjan Poltak. 2008. Reformasi Pelayanan Publik Teori,
Kebijakan, dan Implementasinya. Jakarata: PT. Bumi Aksara.
6. Bappenas, 2011 (Edisi III), Perkembangan Perdagangan dan
Investasi, Jakarta.
7. Dwiyanto, Agus dkk., 2003, Reformasi Tata Pemerintahan dan
Otonomi Daerah, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
8. Kartasasmita, Ginanjar, 2004, 2004, Administrasi Pembangunan,
Jakarta: LP3ES.
9. Denhardt, Kathryn G. 1988. The Ethics Of Public Service. Wesport,
Connecticut: Greenwood Press.

Dokumen

Menurut undang-undang No.25 tahun 2008 tentang pelayanan publik.

20
21
22
23

Anda mungkin juga menyukai