Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dari Mata Kuliah Teori Administrasi
Publik yang diampu oleh: R. Akhmad Munjin, Drs., M.Si.
Disusun oleh :
(D.1710179)
UNIVERSITAS DJUANDA
2019
Kata Pengantar
Dalam kesempatan ini tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam
Sebagai manusia saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari semua pihak yang membaca makalah ini agar saya dapat membuat makalah
yang lebih baik lagi kedepannya.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi saya khususnya dan bagi pembaca
pada umumnya. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih.
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
..............................................................
1.2. Rumusan Masalah 4
........................................................
1.3. Tujuan Penelitian 4
.........................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Kajian Terdahulu .......................................................... 5
2.2. Landasan Teori.............................................................. 5
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Namun konsep desentralisasi yang sampai saat ini masih berjalan sebenarnya
dibuka kesempatan untuk melahirkan raja-raja kecil di daerah. Sebagai akibatnya,
ide desentralisasi itu tidak lantas memperbaiki kinerja daerah dalam mengelola
urusan masyarakatnya, sebenarnya sebaliknya mungkin mengabaikannya.
1
Penyelenggaraan urusan masyarakat yang beralih dari pusat ke daerah juga
memberikan kesempatan lanjut praktik korupsi di daerah. Ini terlihat dari
banyaknya pejabat daerah baik di birokrasi juga di non birokrasi ( lembaga
legislatif) yang terlibat kasus hukum, politisasi birokrasi merajalela, juga
pelayanan di daerah menjadi lahan bantahan antar daerah jadi pungutan menjadi
berlapis-lapis untuk satu produk barang kinerja birokrasi yang masih kurang baik
inilah yang kemudian membicarakan sebagai kerusakan dalam semangat
desentralisasi.
2
Dari gambaran di atas bisa kita pertimbangkan itu kinerja birokrasi Indonesia
memang masih sangat mengecewakan. Dalam survei yang dilakukan oleh
Dwiyanto dkk bahkan bicara nilai capaian kinerja birokrasi dalam hal
produktifitas kualitas layanan, responsivitas, tanggung jawab dan akuntabilitas
birokrasi kita juga masih sangat rendah padahal bahkan dikutip oleh Dwiyanto,
menurut Itu Dunia Daya saing Buku tahunan tahun 1999, tingkat indeks daya
saing birokrasi kita berada pada urutan terendah dari segi kualitas pelayanan
masyarakat dibandingkan dengan 100 negara berbaring di dunia. Hal ini terbukti
dari hasil penelitian tersebut diketahui itu dari segi melintasi pelayanan birokrasi,
kita masih mungkin tidak sepenuhnya memberikan waktu dan tenaga untuk
berjalannya tugas melayani rakyat. Hampir 40% birokrat yang menjadi responden
dalam penelitian itu menyatakan mereka memiliki pekerjaan lain diluar
pekerjaannya sebagai aparatur negara. Kondisi ini otomatis membuat
berkurangnya konsentrasi mereka dalam bekerja jadi tidak fokus untuk melakukan
tugas-tugasnya (Setiyono, 2004:131). Hal ini tentu saja menambah daftar panjang
buruknya birokrasi (selain prosedur birokrasi yang berbelit-belit, lama, kurang
peka terhadap tanggapan masyarakat dan lain-lain) di negara ini yang membuat
masyarakat juga semakin tidak percaya kepada kinerja aparat untuk bisa
memenuhi tuntutan-tuntutan masyarakat tersebut.
Menarik untuk dimiliki, pada Hari Udara Sedunia yang diadakan di alun-alun
Kabupaten Pacitan, Jawa Timur beberapa tahun yang lalu, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menyatakan keragamannya terhadap kebiasaan para pejabat
dan instansinya yang sering melakukan pemborosan. Persiapan negara terbebani
oleh pembiayaan yang mencakup kerja yang tidak produktif aparat hingga Rp 7
Triliun perbulannya. Hal ini menambah daftar panjang dari kinerja birokrasi yang
buruk dan krisis kepercayaan masyarakat terhadap sitem birokrasi di Indonesia.
3
1.2 Rumusan Masalah
Selama ini, lanjut kesan dan negatif dan krisis kepercayaan terhadap
pemerintah (birokrasi) diakibatkan karena birokrasi selama ini tidak bisa
merespon keinginan warga masyarakat. Kultur birokrasi yang di desain untuk
bekerja lambat, berhati-hati dan menyelewengkan kewenangan dan jabatannya
untuk memenuhi kepentingan pribadi maupun kelompoknya sudah tidak dapat
diterima oleh konsumen atau pun asyarakat yang memerlukan pelayanan cepat,
efisien, tepat waktu dan akuntabel. Hal ini menambah daftar panjang mengenai
rendahnya persoalan etika birokrasi di Indonesia, mengingat kepada pemerintahan
yang bersih (clean good governance) yaitu pemerintahan yang tidak melakukan
tindakan-tindakan yang menyimpang dari etika administrasi publik
(maladministration).
Dari uraian dan kenyataan di atas, maka rumusan masalah ini yakni :
4
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur.
BAB II
PEMBAHASAN
5
Lijan Poltak Sinambela (2008: 5) mengemukakan bahwa pelayanan adalah
setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan
menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara
fisik.
6
itu administratorharus mampu memahami perkembangan dan bertindak sesuai
standar-standar perilaku tersebut.
Sejak permulaan tahun 1970-an ada beberapa tokoh penting yang sangat
mempengaruhi etika administrator publik, dua di antaranya adalah John Rohr dan
Terry L.Cooper. Rohr. ( dalam keban,1994. 51-52) menyarankan agar
adminstrator dapat menggunakan regime norms yaitu nilai-nilai keadilan,
persamaan, dan kebebasan sebagai pengambilan keputusan terhadap berbagai
alternatif kebikasanaandaalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Dengan cara
demikian, administrator negara dapat menjadi etis ( being etichal). Namun,
menurut Cooper (dalam keban 1994:51) etika sangat melibatkam subtentive
reasoning tentang kewajiban, konsekuensi dan tujuan akhir dan bertindak etis
(doing ethics) adalah melibatkan pemikiran yang sistematis tentang nilai-nilai
yang melekat pada pilihan-pilihan dalam pengambilan kepetusan. Pemikiran
Cooper menenjukan admiunitrator yang etis adalah administrator yang selalu
terikat pada tanggung jawab dan peranan organisasi, sekaligus bersedia
menerapkan standar etika secara tepat pada pembuatan keputusan administrasi.
7
B. Pentingnya Etika Dalam Pelayanan Publik
Saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk memisahkan adminstrasi dari
politik (dikotomi) menunjukan bahwa admisitrator sungguh-sungguh netral, bebas
dari pengaruh politik ketika memberikan pelayanan publik. Akan tetapi kritik
bermunculan menentang ajaran dikotomi politik pada tahun 1930-an, sehingga
perhatian mulai di tunjukan kepada keterlibatan para administrator dalam
keputusan-keputusan publik atau kebijakan publik. Sejak saat ini mata publik
mulai memberikan perhatian khusus terhadap “permainan etika” yang dilakukam
pleh para birokrat pemerintahan. Penilaian keberhasilan seorang administrtor atau
aparat pemerintah tidak semata-mata di dasarkan pada pencapaian kriteria
efesiensi, rkonomi, dan prinsip-prinsif administrasi lainnya,tetapi juga kriteria
moralitas, khususnya terhadap kontribusinya terhadap public interest atau
kepentingan umum (Henry, 1995:400).
8
human resources telah dianjurkan agar manajer harus bersikap etis yaitu
memperlakukan manusia atau anggota organisasi secara manusiawi. Alasannya
bahwa perhatian terhadap manusia (koceren for people) dan pengembangannya
sangat relevan dengan upaya peningkatan produktifitas, kepuasan dan
pengembangan kelembagaan.
Kebijakan affirmative action dalam hal ini merupakan terobosan yang bernada
etika karena akan memberi ruang yang lebih luas bagi kaum minoritas, miskin,
tidak berdaya dan lain sebagainya. Untuk menjadi pegawai atau menduduki posisi
tertentu. Ini merupakan suatu pilihan moral (moral choice) yang diambil oleh
sorang birokrat pemerintah berdasarkan prinsip justice-as-fairness sesuai pendapat
John Rawls yaitu bahwa distribusi kekayaan, otoritas dan kesempatan sosial akan
terasa adil bila hasilnya memberikan kompensasi keuntungan kepada setiap orang
dan khususnya terhadap anggota masyarakat yang paling tidak beruntung.
Kebijakan mengutamakan “putera daerah” merupakan salah satu contoh yang
populer saat ini. Alasan penting lainnya adalah peluang untuk melakukan tindakan
yang bertentangan dengan etika yang berlaku dalam pemberian pelayanan publik
sangat besar. Pelayanan publik tidak sederhana sebagaimana dibayangkan, atau
dengan kata lain begitu kompleksitas sifatnya baik berkenaan dengan nilai
pemberian pelayanan itu sendiri maupun mengenai cara terbaik pemberian
pelayanan publik itu sendiri. Kompleksitas dan ketidakmenentuan ini mendorong
pemberi pelayanan publik mengambil langkah-langkah profesional yang
didasarkan kepada “keleluasaan bertindak”. Dan keleluasaan inilah yang sering
menjerumuskan pemberi pelayanan publik atau aparat pemerintah untuk bertindak
tidak sesuai dengan kode etik atau tuntutan perilaku yang ada.
9
Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia, pelanggaran
moral dan etika dapat diamati mulai dari proses kebijakan publik (pengusulan
program, proyek dan kegiatan yang tidak didasarkan atas kentataan), desain
organisasi pelayanan publik (pengaturan struktur, formalisasi, dispersi otoritas)
yang sangat biasa terhadap kepentingan tertentu, proses manajemen pelayanan
publik yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari perencanaan teknis,
pengelolaan keuangan, SDM, informasi), yang semuanya itu nampak dari sifat-
sifat tidak transfaran, tidak responsif, tidak akuntabel dan tidak adil. Dan tidak
dapat disangkal, semua pelanggaran moral dan etika ini telah diungkapkan sebagai
salah satu penyebab melemahnya pemerintahan kita. Alasan utama yang
menimbulkan tragedi tersebut sangat kompleks, mulai dari kelemahan aturan
hukum dan perundang undangan kita, sikap mental manusia, nilai-nilai sosial
budaya yang kurang mendukung, sejarah dan latar belakang kenegaraan,
globalisasi yang tak terkendali, sistem pemerintahan, kedewasaan dalam
berpolitik. Bagi Indonesia, pembenahan moralitas yang terjadi selama ini masih
sebatas lip service tidak menyentuh sungguh-sungguh substansi pemenahan moral
itu sendiri. Karena itu pembenahan moral merupakan “beban besar” dimasa
mendatang dan apabila tidak diperhatikan secara serius maka proses pembusukan
terus terjadi dan dapat berdampak pada disintegrasi bangsa.
Mengenai bentuk pelayanan itu tidak akan terlepas dari tiga macam pelayanan
yaitu :
10
manusia (SDM), yaitu birokrat yang bertugas memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Etika pelayanan publik harus berorientasi kepada kepentingan
masyarakat berdasar asas transparansi (keterbukaan dan kemudahan akses bagi
semua pihak) dan akuntabilitas (pertanggung jawaban sesuai dengan peraturan
perundang-undangan) demi kepentingan masyarakat.
11
derajat yang paling tinggi, meskipun sebenarnya dia tahu bahwa dia
merupakan pelayan bagi masyarakat.
3. Masih ada pegawai yang tidak berada pada tempat kerjanya atau mejanya
kosong disaat pengguna jasa membutuhkan pelayanan. Adanya “Bolos”
kerja yang dilakukan aparatur membuat masyarakat merasa dirugikan, tak
jarang masyarakat yang ingin meminta bantuan jasa merupakan
masyarakat yang datang dari jauh dan ternyata setelah sampai ditempat
pelayanan, para pelayan masyarakat sedang tidak ada ditempat.
4. Masih ada pegawai yang mementingkan kepentingan pribadi dan terlalu
tunduk dengan apa yang diperintahkan pimpinan. Pekerjaan seharusnya
tidak boleh dicampur dengan urusan pribadi agar tidak adanya kekacauan
dalam pekerjaan terhadap masyarakat. Jika pelayan masyarakat terlalu
tunduk dengan atasan maka tak jarang pekerjaan untuk melayani
masyarakat menjadi terbengkalai, karena dia lebih menjadi pelayan
pimpinan dari pada pelayan masyarakat.
5. Aparat belim tanggap terhadap keluhan pengguna jasa.
Maka dari itu sudah seharusnya diterapkan pelayanan publik yang profesional,
pelayanan publik yang profesional adalah pelayana publik yang dicirikan oleh
adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan yaitu aparatur
pemerintah. (Widodo, 2001: 270-271)
Ciri-cirinya yaitu :
1. Efektif lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan
sasaran.
2. Sederhana mengantuk arti prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan
secara mudah, cepat, tepat tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah
dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan.
3. Kejelasan da kepastian (transparan), mengandung arti adanya kejelasan
dan kepastian mengenai :
a. Prosedur tata cara pelayanan.
12
b. Persyaratan pelayanan, baik teknis maupun persyaratan
administratif .
c. Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung
jawab dalam memberikan pelayanan.
d. Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya.
e. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.
4. Keterbukaan mengandung arti prosedur/tata cara persyaratan, satuan
kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian,
rincian waktu/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses
pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan
dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak.
5. Efisiensi mengandung arti :
a. Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal berkaitan
langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap
memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk
pelayanan yang berkaitan.
b. Dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan dari satuan
kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.
6. Ketetapan waktu kriteria ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan
masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
7. Responsif lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa
yang menjadi masalah, kebutuhan dalam aspirasi masyarakat yang
dilayani.
8. Adaptif adalah cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan,
keinginan dan aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa
mengalami tumbuh kembang.
13
Dalam etika pelayanan publik ada seperangkat nilai yang dapat digunakan
sebagai acuan, referensi dan penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksanaan
tugas dan kewenangannya, yaitu :
1. Efisiensi, nilai efisiensi artinya tidak boros. Sikap, perilaku dan perbuatan
birokrasi publik dikatakan baik jika mereka efisien (tidak boros).
2. Membedakan milik pribadi dengan milik kantor, nilai ini dimaksudkan
supaya birokrasi yang baik dapat membedakan mana milik kantor dan
milik pribadi. Artinya milik kantor tidak digunakan untuk kepentingan
pribadi.
3. Impersonal, nilai impersonal maksudnya adalah dalam melaksanakan
hubungan antara bagian satu dengan bagian yang lain, atau kerjasama
antara orang yang satu dengan lainnya dalam kerjasama kolektif di wadahi
oleh organisasi, dilakukan secara formal. Maksudnya hubungan
impersonal perlu ditegakkan untuk menghindari unsur perasaan dari pada
unsur rasio dalam nebjalankan tugas dan tanggung jawab berdasarkan
peraturan yang ada dalam organisasi.
4. Merytal system,nilai ini berkaitan dengan rekrutmen atau promosi
pegawai, hendaknya menggunakan “merytal system, artinya dalam
penerimaan pegawai atau promosi pegawai tidak didasarkan atas
kekerabatan, namun berdasarkan pengetahuan (knowledge), keterampilan
(sill), kemampuan (capable) dan pengalaman (experience), sehingga
dengan sistem ini akan menjadikan yang bersangkutan cakap dan
profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab dan bukan
“spoil system.
5. Responsible, nilai ini berkaitan dengan pertanggung jawaban birokrasi
publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
6. Accountable, nilai accountable menurut Harty (1977) merupakan suatu
istilah yang diterapkan untuk mengukur apakah dana publik telah
digunakan secara tepat dan tidak digunakan secara ilegal. Sedangkan
Herman Finner (1941) dalam Muhadjir (1993) nilai accountable
14
merupakan konsep yang berkenaan dengan standar eksternal yang
menentukan kebenaran suatu tindakan oleh birokrasi publik. Karenanya
akuntabilitas ini disebut tanggung jawab yang bersifat objektif, sebab
birokrasi dikatakan accountable bilamana mereka dinilai objektif oleh
orang (masyarakat atau melalui wakilnya) dapat mempertanggung
jawabkan segala macam perbuatan, sikap dan sepak terjangnya kepada
pihak mana kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki itu berasal.
Sehingga birokrasi publik dapat dikatakan akuntabel manakala mereka
mewujudkan apa yang menjadi harapan publik (pelayanan publik yang
profesional dan dapat memberikan kepuasan publik).
7. Responsiveness, nilai ini berkaitan dengan daya tanggap dari birokrasi
publik dalam menanggapi apa yang menjadi keluhan, masalah dan aspirasi
masyarakat.
D. Prinsip Etika Pelayanan Menurut ASPA
Salah satu contoh yang relevan dengan pelayanan publik adalah kode etik
dimiliki ASPA (American Society For Public Administration) yang telah direvisi
berulangkali dan terus mendapat kritikan serta penyempurnaan dari para
anggotanya. Nilai-nilai yang dijadikan pegangan perilaku para anggotanya antara
lain integritas, kebenaran, kejujuran, ketabahan, respek, menaruh perhatian,
keramahan, cepat tanggap, mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan
lain, bekerja profesional, pengembangan profesionalisme, komunikasi terbuka dan
transparansi, keaktivitas, dedikasi, kasih sayang, penggunaan keleluasaan untuk
kepentingan publik, beri perlindungan terhadap informasi yang sepatutnya
dirahasiakan, dukungan terhadap sistem merit dan program affirmative action.
Adapun bentuk dari etika administrasi negara menurut American Society for
Public Administrasi (Perhimpunan Amerika untuk Administrasi Negara),
menyebutkan prinsip-prinsip etika pelayanan sebagai berikut :
15
1. Pelayanan terhadap publik harus diutamakan.
2. Rakyat adalah berdaulat dan mereka yang bekerja di dalam pelayanan
publik secara mutlak bertanggung jawab kepadanya.
3. Hukum yang mengatur semua kegiatan pelayanan publik. Apabila hukum
atau peraturan yang ada bersifat jelas, maka kita harus mencari cara
terbaik untuk memberi pelayanan publik.
4. Manajemen yang efesien dan efektif merupakan dasar bagi administrator
publik.
5. Sistem merit dan kesempatan kerja yang sama harus didukung,
diimplementasikan dan dipromosikan.
6. Mengorbankan kepentingan publik demi kepentingan pribadi tidak dapat
dibenarkan.
7. Keadilan, kejujuran, keberanian, kesamaan, kepandaian dan empathy
merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dan secara aktif harus
dipromosikan.
8. Kesadaran moral memegang peranan penting dalam memilih memilih
alternatif keputusan.
9. Administrator publik tidak semata-mata berusaha menghindari kesalahan,
tetapi juga berusaha mengejar atau mencari kebenaran.
16
banyak ( Publik atau masyarakat). Namun dalam pelaksaaan pelayanan kepada
masyarakat tersebut jelas membutuhkan etika yang baik dan benar agar yang
dilayani dapat merasakan pelayanan yang nyaman dan terpercaya, baik dalam
mendapatkan akses informasi maupun dalam membuat persyaratan untuk
kepentingan masyarakat. Dewasa kini dalam hal pelayanan atau public service
dalam pelaksanaan kerja para birokrat tidak serta merta lancar tanfa faktor
penghambat. Diantara faktor penghambat tersebut adalah:
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Elemen ini harus diperhatikan dalam setiap fase pelayanan publik mulai
dari penyusunan kebijakan pelayanan, desain struktur organisasi pelayanan,
sampai pada manajemen pelayanan untuk mencapai tujuan akhir dari pelayanan
tersebut. Dalam kompleks ini, pusat perhatian ditujukan kepada aktor birokrasi
yang terlibat dalam setiap fase, termasuk kepentingan aktor-aktor tersebut apakah
para aktor telah benar-benar mengutamakan kepentingan publik diatas
kepentingan-kepentingan yang lain.
18
pelayanan publik adalah pelayanan yang menukik pada pendekatan deontologi,
yaitu pelayanan yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip nilai moral yang
harus ditegakkan karena kebenaran yang ada dalam dirinya dan tidak terkait
dengan akibat atau konsekuensi dari keputusan yang diambil. Dengan pelayanan
seperti ini diharapkan agar birokrasi selalu melakukan kewajiban moral untuk
mengupayakan agar sebuah kebijakan menjadi karakter masyarakat. Bila hal ini
melembaga dalam diri pejabat publik dan masyarakat, maka birokrasi patut
menjadi teladan. Mereka tidak melakukan sesuatu yang bisa merugikan negara
dan masyarakat seperti misalnya, korupsi, kolusi dan nepotisme.
3.2 Saran
19
DAFTAR PUSTAKA
Dokumen
20
21
22
23