Anda di halaman 1dari 20

MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK

Dosen Pengampu :
Galang Geraldy,S.IP.,M.IP

Disusun oleh :

Nurman Effendi
(041517153)

Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Guna Memenuhi Persyaratan


Mengikuti Matakuliah Manajemen Pelayanan Publik

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK/NEGARA


FAKULTAS HUKUM DAN ILMU HUKUM,ILMU
SOSIAL,DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS TERBUKA
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatu.


Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. yang telah
melimpahkan rahmat dan karunianya yang senantiasa memberikan nikmat
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Manajemen
Pelayanan Publik”. Shalawat serta salam tercurahkan kepada junjungan kita
Nabi besar Muhammad SAW. beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah
membawa kita ke alam yang berilmu pengetahuan seperti sekarang ini dan
menjadi suri tauladan bagi umat manusia.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk melengkapi salah satu tugas mata
kuliah Manajemen Pelayanan Publik dengan penulisan makalah ini diharapkan
dapat menjadi ilmu tambahan baik bagi penulis maupun bagi pembaca. Penulisan
makalah ini dapat berjalan lancar berkat dukungan dan bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Galang
Geraldy,S.IP.,M.IP sebagai dosen pembimbing mata kuliah Manajemen
Pelayanan Publik yang telah membimbing dalam penyusunan makalah ini.
Serta kepada seluruh pihak yang telah ikut serta membantu.
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan
makalah ini dan penulis menyadari dalam menulis makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan. Oleh karena itu, berbagai kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat diharapkan oleh penulis guna untuk perbaikan di masa yang
akan datang.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatatuh

Banda Aceh, 26 Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................ii

DAFTAR ISI...................................................................................................................iii

BAB I. PENDAHULUAN..........................................................................................4
1.1 Latar Belakang..........................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................6
1.3 M...............................................................................................................6

BAB II. PEMBAHASAN............................................................................................7


2.1 Etika Aparatur Sebagai Penyelenggara Peraturan Pelayanan Publik.......7
2.2 Masalah etika peraturan pelayanan publik.................................................9
2.3 kode etik dalam pelayanan administrasi negara.......................................11
2.4 Solusi masalah etika aparatur pelayanan publik ......................................13

BAB III. PENUTUP.....................................................................................................17


3.1 Kesimpulan..............................................................................................17
3.2 Saran........................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................19

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Praktek penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia saat ini masih
penuh dengan ketidakpastian biaya, waktu dan cara pelayanan. Mengurus
pelayanan publik ibaratnya memasuki hutan belantara yang penuh dengan
ketidakpastian. Waktu dan biaya pelayanan tidak pernah jelas bagi para pengguna
pelayanan. Hal ini terjadi karena prosedur pelayanan tidak pernah mengatur
kewajiban dari penyelenggara pelayanan dan hak dari warga sebagai pengguna.
Prosedur cenderung hanya mengatur kewajiban warga ketika berhadapan dengan
unit pelayanan. Ketidakpastian yang sangat tinggi ini mendorong warga untuk
membayar pungli kepada petugas agar kepastian pelayanan bisa segera diperoleh.
Ketidakpastian bisa juga mendorong warga memilih menggunakan biro jasa untuk
menye lesaikan pelayanannya daripada menyelesaikannya sendiri. Disamping itu
juga sering dilihat dan didengar adanya tindakan dan perilaku oknum pemberi
pelayanan yang tidak sopan, tidak ramah, dan diskriminatif. Sebagai konsekuensi
logisnya, dewasa ini kinerja pemerintah sebagai pelayan publik banyak menjadi
sorotan, terutama sejak timbulnya iklim yang lebih demokratis dalam
pemerintahan. Rakyat mulai mempertanyakan akan nilai yang mereka peroleh atas
pelayanan yang dilakukan oleh instansi pemerintah.
Semua permasalahan tersebut, pada hakekatya tidak perlu terjadi secara
drastis dan dramatis. Sebagaimana yang pernah dialami selama ini, seandainya
pemerintah dan aparatur pemerintahannya memiliki kredibilitas yang memadai
dan kewibawaan yang dihormati oleh rakyatnya. Pemerintah yang memiliki etika
dan moralitas yang tinggi dalam menjalankan kewenangan pemerintahannya,
tentu memiliki akuntabilitas dan penghormatan yang tinggi pula terhadap tuntutan
aspirasi dan kepentingan masyarakat yang dilayaninya. Dalam pemerintahan yang
demikian itu pula iklim keterbukaan, partisipasi aktif dan pemberdayaan
masyarakat dapat diwujudkan, sebagai manifestasi dari gagasan yang dewasa ini
mulai dikembangkan, yaitu penerapan etika dalam pelayanan publik Melihat
betapa kompleksnya masalah yang terjadi dalam praktek penyelenggaraan
pelayanan publik, maka upaya penerapan etika pelayanan publik di Indonesia

4
msenuntut pemahaman dan sosialisasi yang menyeluruh, dan menyentuh semua
dimensi persoalan yang dihadapi oleh birokrasi pelayanan. Permasalahannya
sekarang adalah sejauhmana pemahaman dan penerapan etika pelayanan publik
oleh birokrasi pemerintah Indonesia? Masalah ini perlu pengkajian secara kritis
dan mendalam, karena berbagai praktek buruk dalam penyelenggaraan pelayanan
publik seperti: ketidakpastian pelayanan, pungutan liar, dan pengabaian hak dan
martabat warga pengguna pelayanan, masih amat mudah dijumpai dihampir setiap
satuan pelayanan publik.
Faktor utama dalam keterpurukan pelayanan publik di Indonesia adalah
lemahnya etika sumber daya manusia (SDM), yaitu birokrat yang bertugas
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Etika pelayanan publik harus
berorientasi kepada kepentingan masyarakat berdasar asas transparansi dan
akuntabilitas demi kepentingan masyarakat. Dalam pemberian pelayanan publik
khususnya di Indonesia, pelanggaran moral dan etika dapat kita amati mulai dari
proses kebijakanpublik yaitu pengusulan program, proyek, dan kegiatan yang
tidak didasarkanatas kenyataan desain organisasi pelayanan publik mengenai
pengaturan struktur, formalisasi, dispersi otoritas terhadap kepentingan tertentu,
proses manajemen pelayanan publik yang penuh rekayasa dan kamuflase mulai
dari perencanaan teknis, pengelolaan keuangan, sumber daya manusia,informasi
yang semuanya itu nampak dari sifat-sifat tidak transparan, tidak responsif, tidak
akuntabel, tidak adil sehingga tidak dapat memberikan kualitas pelayanan yang
unggul kapada masyarakat. Sudah sepantasnnya pelayanan umum dilakukan
secara beretika agartidak adanya kekecewaan dalam suatu masyarakat.

5
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana etika aparatur sebagai penyelenggara pelayanan public


kimia lingkungan?
2. Bagaimana permaslahan etika aparatur dalam pelayanan public di
Indonesia. ?
3. Bagaimana solusi dari permasalahan etika aparatur pelayanan publik
di Indonesia. ?

1.3 Manfaat Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui etika aparatur sebagai penyelenggara pelayanan public.
2. Mengetahui permasalahan etika aparatur pelayanan publik di
Indonesia.
3. Mengetahui solusi dari permasalahan etika aparatur pelayanan publik
di Indonesia.

6
BAB II

PEMBAHASA

2.1 Etika Aparatur Sebagai Penyelenggara Pelayanan Publik


Etika, termasuk etika birokrasi mempunyai dua fungsi, yaitu: pertama,
sebagai pedoman, acuan, refrensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam
menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam organisasi tadi
dinilai baik, terpuji, dan tidak tercela. Kedua, etika birokrasi sebagai standar
penilaian mengenai sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai baik, tidak
tercela dan terpuji. Leys berpendapat bahwa: “Seseorang administrator dianggap etis
apabila ia menguji dan mempertanyakan standar-standar yang digunakan dalam
pembuatan keputusan, dan tidak mendasarkan keputusannya semata-mata pada
kebiasaan dan tradisi yang sudah ada”. Selanjutnya, Anderson menambahkan suatu
poin baru bahwa: “standar-standar yang digunakan sebagai dasar keputusan tersebut
sedapat mungkin merefleksikan nilai-nilai dasar dari masyarakat yang dilayani”.
Berikutnya, Golembiewski mengingatkan dan menambah elemen baru yakni:
“standar etika tersebut mungkin berubah dari waktu-kewaktu dan karena itu
administrator harus mampu memahami perkembangan standar-standar perilaku
tersebut dan bertindak sesuai dengan standar tersebut”.

Setiap birokrasi pelayan publik wajib memiliki sikap mental dan perilaku
yang mencerminkan keunggulan watak, keluharan budi, dan asas etis. Ia wajib
mengembangkan diri sehingga sungguh-sungguh memahami, menghayati, dan
menerapkan berbagai asas etis yang bersumber pada kebajikan-kebajikan moral
khususnya keadilan dalam tindakan jabatannya. Secara umum nilai-nilai moral
terlihat dari enam nilai besar atau yang dikenal dengan “six great ideas”5 yaitu nilai
kebenaran (truth), kebaikan (goodness), keindahan (beauty), kebebasan (liberty),
kesamaan (equality), dan keadilan (justice). Dalam kehidupan berma- syarakat,
seseorang sering dinilai dari tutur katanya, sikap dan perilakunya sejalan dengan
nilai-nilai tersebut atau tidak. Begitu pula dalam pemberian pelayanan publik, tutur
kata, sikap dan perilaku para pemberi pelayanan seringkali dijadikan obyek penilaian
dimana nilai-nilai besar tersebut dijadikan ukurannya. Disamping nilai-nilai dasar
tersebut, mungkin ada juga nilai-nilai lain yang dianggap penting untuk
7
mensukseskan pem- berian pelayanan, yang dari waktu ke waktu terus dinilai,
dikembangkan dan dipromosikan.

Dalam dunia pelayanan publik, etika diartikan sebagai filsafat moral atau
nilai, dan disebut dengan “profesional standars” (kode etik) atau “right rules of
conduct” (aturan perilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi
pelayanan publik. Sebuah kode etik meru-muskan berbagai tindakan apa, kelakuan
mana, dan sikap bagaimana yang wajib dijalankan atau dihindari oleh para pemberi
pelayanan. Aplikasi etika dan moral dalam praktek dapat dilihat dari kode etik yang
dimiliki oleh birokrasi publik. Kode etik di Indonesia masih terbatas pada beberapa
kalangan seperti ahli hukum dan kedokteran. Kode etik tidak hanya sekedar bacaan,
tetapi juga diimplementasikan dalam melakukan pekerjaan, dinilai tingkat
implementasinya melalui mekanisme monitoring, kemudian dievaluasi dan
diupayakan perbaikan melalui konsensus. Komitmen terhadap perbaikan etika ini
perlu ditunjukkan, agar masyarakat semakin yakin bahwa birokrasi publik sungguh-
sungguh akuntabel dalam melaksanakan kegiatan pelayanan publik. Untuk itu, kita
barangkali perlu belajar dari negara lain yang sudah maju dan memiliki kedewasaan
beretika.

Untuk menghindari perilaku koruptif, masyarakat menuntut para aparatur


pemerintah itu mempunyai dan mengembangkan akuntabilitas moral pada diri
mereka. Namun sayangnya, kata Wahyudi10 tanggung jawab moral dan tanggung
jawab profesional menjadi satu titik lemah yang krusial dalam birokrasi pelayanan di
Indonesia.Berkaitan dengan itu Harbani mengatakan bahwa untuk menilai baik
buruknya suatu pelayanan publik yang diberikan oleh birokrasi publik dapat dilihat
dari baik buruknya penerapan nilai-nilai sebagai berikut: Pertama, efesiensi, yaitu
para birokrat tidak boros dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan kepada
masyarakat. Dalam artian bahwa para birokrat secara berhati-hati agar memberikan
hasil yang sebesarbesarnya kepada publik. Dengan demikian nilai efesiensi lebih
mengarah pada penggunaan sumber daya yang dimiliki secara cepat dan tepat, tidak
boros dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Jadi dapat dikatakan baik
(etis) jika birokrasi publik menjalankan tugas dan kewenangannya secara efesien.
Kedua, efektivitas, yaitu pada birokrat dalam melaksanakan tugas- tugas pelayanan
kepada publik harus baik (etis) apabila memenuhi target atau tujuan yang telah
ditentukan sebelumnya tercapai.
8
Tujuan yang dimaksud adalah tujuan publik dalam mencapai tujuannya,
bukan tujuan pemberi pelayanan (birokrasi publik). Ketiga, kualitas layanan, yaitu
kualitas pelayanan yang diberikan oleh pada birokrat kepada publik harus
memberikan kepuasan kepada yang dilayani. Dalam artian bahwa baik (etis)
tidaknya pelayanan yang diberikan birokrat kepada publik ditentukan oleh kualitas
pelayanan. Keempat, responsivitas, yaitu berkaitan dengan tanggung jawab birokrat
dalam merespon kebutuhan publik yang sangat mendesak. Birokrat dalam
menjalankan tugasnya dinilai baik (etis) jika responsibel dan memiliki profesional
atau kompetensi yang sangat tinggi. Kelima, akuntabilitas, yaitu berkaitan dengan
pertanggungjawaban dalam melak- sanakan tugas dan kewenangan pelayanan
publik. Birokrat yang baik (etis) adalah birokrat yang akuntabel dalam melaksanakan
tugas dan kewenangannya.

2.2 Masalah etika aparatur pelayanan publik


Masalah utama pelayanan publik sebenarnya adalah peningkatan kualitas
pelayanan publik itu sendiri. Pelayanan publik yang berkualitas dipengaruhi oleh
berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya,sumber daya manusia
yang mendukung,dan kelembagaan. Beberapa kelemahan pelayanan publik
berkaitan dengan pola penyelenggaraannya antara lain sebagai berikut:

a. Sukar Diakses. Unit pelaksana pelayanan publik terletak sangat jauh dari
jangkauan masyarakat, sehingga mempersulit mereka yang memerlukan
pelayanan publik tersebut.

b. Belum informatif.Informasi yang disampaikan kepada masyarakat


cenderung lambat atau bahkan tidak diterima oleh masyarakat.

c. Belum bersedia mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat.Biasanya


aparat pelayanan publik belum bersedia mendengar keluhan/saran/ aspirasi
dari masyarakat. Sehingga, pelayanan publik dilaksanakan semau sendiri
dan sekedarnya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu.

d. Belum responsif.Hal ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur


pelayanan publik, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line)
sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Tanggapan terhadap
berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat
9
atau bahkan tidak dihiraukan sama sekali.

e. Belum saling berkoordinasi. Setiap unit pelayanan yang berhubungan satu


dengan lainnya belum saling berkoordinasi. Dampaknya, sering terjadi
tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi
pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.

f. Tidak Efisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam


pelayanan perijinan) seringkali tidak ada hubungannya dengan pelayanan
yang diberikan.

g. Birokrasi yang bertele-tele. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada


umumnya dilakukan melalui proses yang terdiri dari berbagai tingkatan,
sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama.

Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf


pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan
di lain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab
pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan
diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan
waktu yang lama untuk diselesaikan. Berkaitan dengan sumber daya manusia,
kelemahan utamanya adalah berkaitan dengan profesionalisme, kompetensi,
empati dan etika. Berbagai pandangan juga setuju bahwa salah satu dari unsur
yang perlu dipertimbangkan adalah masalah sistem kompensasi yang tepat.
Berkaitan dengan kelembagaan, kelemahan utama terletak pada desain organisasi
yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada
masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit
(birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua
fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat
kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik
menjadi tidak efisien.

Banyaknya korupsi dalam pelayanan publik seperti adanya pungutan liar,


gratifikasi dan lain sebagainya, sering kali terjadi karena pengaruh budaya
organisasi negatif yang sudah terbentuk secara masif, sistem matis dan terstruktur
sehingga mau tidak mau aparatur larut dalam penyimpangan tersebut, sungguh
10
ironis ketika ada aparatur yang tidak mau mengikuti penyimpangan tersebut justru
dianggap beda dan dapat dipastikan akan dikucilkan dalam lingkungan pergaulan
birokrasi tersebut, oleh karena itu diperlukan penegakan aturan hukum serta
pembentukan karakter aparatur yang memiliki integritas tinggi ditunjukkan
dengan sikap berani menolak korupsi terlebih lagi berani melaporkan korupsi
yang dijumpainya. Peran pelapor atau penyingkap korupsi sangat membantu
dalam menyingkap informasi kepada publik tentang adanya penyimpangan,
pelanggaran hukum dan etika, korupsi atau situasi berbahaya lainnya. Dia menjadi
mata pisau yang tepat untuk dapat meminimalisasi tindakan korupsi, dapat
memberikan tekanan-tekanan terhadap lembaga hukum yang sangat rentan dengan
permasalahan korupsi, namun sulit terjamah oleh hukum, dikarenakan
pemahaman esprit de corps15 yang telah terbangun secara turun- temurun.
Realitanya seringkali Esprit de corps dimaknai sebagai semangat untuk
menyelamatkan dan menutupi keburukan institusi dengan cara apapun, tentunya
menjadi sulit bagi hukum untuk mencoba masuk kedalam wilayah-wilayah
kekuasaan yang tercipta dilingkungan institusi tersebut. Di level inilah peran dari
penyingkap korupsi menjadi penting.

Keboborakan sebuah institusi dapat terdeteksi oleh mereka yang terdekat


dengan lingkungan tersebut. Budaya birokrasi masih memposisikan para pegawai
untuk tidak melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh atasannya atau
merahasiakan sesuatu yang salah didalam institusi tersebut. Budaya pegawai yang
ada sering khawatir jika harus berhadapan dengan konsekuensi logis berupa
“pembalasan” seperti: kehilangan pekerjaan, kehilangan kesempatan promosi
jabatan, atau "dimusuhi" oleh rekan-rekan sekerjanya membuat mereka lebih
memilih untuk berdiam diri. Budaya birokrasi yang ada harus mengadopsi nilai-
nilai budaya yang melingkupinya.

2.3 Kode Etik Dalam Pelayanan Administrasi Negara


Pembicaraan tentang kode etik bagi orang-orang yang bekerja dalam tugas-
tugas administrasi negara barangkali membawa masalah tentang arti dari kode etik
itu sendiri mengingat bahwa kode etik biasanya dikaitkan dengan suatu proses
khusus. Akan tetapi seperti yang telah diuraikan kedudukan etika administrasi
negara berada di antara etika profesi dan etika politik sehingga tugas-tugas

11
administrasi negara tetap memerlukan perumusan kode etik yang dapat dijadikan
sebagai pedoman bertindak bagi segenap aparat politik. Hal yang pertama-tama
perlu diingat bahwa kode etik tidak membebankan sanksi hukum atau paksaan
fisik. Kode etik dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanki atau
hukuman dari pihak luar, setiap orang tetap menaatinya.

Jadi dorongan untuk mematuhi perintah dan kendali untuk menjauhi larangan
dari kode etik bukan dari sanksi fisik melainkan dari rasa kemanusiaan, harga diri,
martabat, dan nilai-nilai filosofis. Kode etik adalah persetujuan bersama, yang
timbul dari diri para anggota itu sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan
mereka, sesuai dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan. Dengn demikian
pemakaian kode etik tidak terbatas pada organisasi-organisasi yang personalianya
memiliki keahlian khusus. Pelaksanaan kode etik tidak terbatas pada kaum profesi
karena sesungguhnya setiap pekerjaan dan setiap jenjang keputusan mengandung
konsekuensi moral. Dalam kode etik itu bisa menjadi sarana untuk mendukung
pencapaian tujuan organisasi kerena bagaimanapun juga organisasi hanya dapat
meraih sasaran-sasaran akhirnya kalau setiap pegawai yang bekerja di dalamnya
memiliki aktivitas dan perilaku yang baik.

Manfaat lain yang akan didapat dari perumusan kode etik ialah bahwa para
aparat akan memiliki kesadaran moral atas kedudukan yang diperolehnya dari
negara atas nama rakyat. Pejabat yang menaati norma-norma dalam kode etik
akan menempatkan kewajibannya sebagai aparat pemerintah diatas kepentingan-
kepentingannya akan karir dan kedudukan. Pejabat tersebut akan melihat
kedudukan sebagai alat, bukan sebagai tujuan. Oleh karena itu kode etik
mengandaikan bahwa para pejabat publik dapat berperilaku sebagai pendukung
nilai-nilai moral dan sekaligus pelaksana dari nilai-nilai tersebut dalam tindakan-
tindakan yang nyata.

Sebagai aparat negara, para pejabat wajib menaati prosedur, tatakerja, dan
peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi pemerintah. Sebagai
pelaksana kepentingan umum, para pejabat wajib mengutamakan aspirasi
masyarakat dan peka terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat tertentu. Dan
sebagai mansuia yang bermoral, pejabat harus memperhatikan nilai-nilai etis di
dalam bertindak dan berperilaku. Dengan perkataan lain, seorang pejabat harus
memiliki kewaspadaan spiritual. Kewaspadaan profesional bearti bahwa dia harus
12
menaati kaidah-kaidah teknis dan peraturan-peraturan sehubungan dengan
kedudukan sebagai seorang pembuat keputusan. Sedangkan kewaspadaan spiritual
merujuk pada penerapan nilai- nilai kearifan, kejujuran, keuletan, sikap sederhana,
dan hemat, tanggung jawab, serta akhlak dan perilaku yang baik.

Unsur-unsur etis yang langsung menyangkut pekerjaan sehari-hari seorang


pegawai dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1979 tentang
Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil.

2.4 Solusi Masalah Etika Aparatur Pelayanan Publik


Tuntutan masyarakat saat ini terhadap pelayanan publik yang berkualitas
akan semakin menguat. Oleh karena itu, kredibilitas pemerintah sangat ditentukan
oleh kemampuannya mengatasi berbagai permasalahan yang telah disebutkan di
atas sehingga mampu menyediakan pelayanan publik yang memuaskan
masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dari sisi mikro, hal-hal
yang dapat diajukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut antara lain adalah
sebagai berikut:

1. Penetapan Standar Pelayanan

Standar pelayanan memiliki arti yang sangat penting dalam pelayanan


publik. Standar pelayanan merupakan suatu komitmen penyelenggara pelayanan
untuk menyediakan pelayanan dengan suatu kualitas tertentu yang ditentukan atas
dasar perpaduan harapan-harapan masyarakat dan kemampuan penyelenggara
pelayanan. Penetapan standar pelayanan yang dilakukan melalui proses
identifikasi jenis pelayanan, identifikasi pelanggan, identifikasi harapan
pelanggan, perumusan visi dan misi pelayanan, analisis proses dan prosedur,
sarana dan prasarana, waktu dan biaya pelayanan. Proses ini tidak hanya akan
memberikan informasi mengenai standar pelayanan yang harus ditetapkan, tetapi
juga informasi mengenai kelembagaan yang mampu mendukung terselenggaranya
proses manajemen yang menghasilkan pelayanan sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan. Informasi lain yang juga dihasilkan adalah informasi mengenai
kuantitas dan kompetensi-kompetensi sumber daya manusia yang dibutuhkan
serta distribusinya beban tugas pelayanan yang akan ditanganinya.

13
2. Pengembangan Standard Operating Procedures (SOP)

Untuk memastikan bahwa proses pelayanan dapat berjalan secara konsisten


diperlukan adanya Standard Operating Procedures. Dengan adanya SOP, maka
proses pengolahan yang dilakukan secara internal dalam unit pelayanan dapat
berjalan sesuai dengan acuan yang jelas, sehingga dapat berjalan secara konsisten.
Disamping itu SOP juga bermanfaat dalam hal:

a. Untuk memastikan bahwa proses dapat berjalan uninterupted. Jika terjadi


hal-hal tertentu, misalkan petugas yang diberi tugas menangani satu proses
tertentu berhalangan hadir, maka petugas lain dapat menggantikannya.
Oleh karena itu proses pelayanan dapat berjalan terus

b. Untuk memastikan bahwa pelayanan perijinan dapat berjalan sesuai


dengan peraturan yang berlaku

c. Memberikan informasi yang akurat ketika dilakukan penelusuran terhadap


kesalahan prosedur jika terjadi penyimpangan dalam pelayanan

d. Memberikan informasi yang akurat ketika akan dilakukan perubahan-


perubahan tertentu dalam prosedur pelayanan

e. Memberikan informasi yang akurat dalam rangka pengendalian pelayanan

f. Memberikan informasi yang jelas mengenai tugas dan kewenangan yang


akan diserahkan kepada petugas tertentu yang akan menangani satu proses
pelayanan tertentu. Atau dengan kata lain, bahwa semua petugas yang
terlibat dalam proses pelayanan memiliki uraian tugas dan tangungjawab
yang jelas.

3. Pengembangan Survei Kepuasan Pelanggan

Untuk menjaga kepuasan masyarakat, maka perlu dikembangkan suatu


mekanisme penilaian kepuasan masyarakat atas pelayanan yang telah diberikan
oleh penyelenggara pelayanan publik. Dalam konsep manajemen pelayanan,
kepuasan pelanggan dapat dicapai apabila produk pelayanan yang diberikan oleh
penyedia pelayanan memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Oleh
karena itu, survei kepuasan pelanggan memiliki arti penting dalam upaya

14
peningkatan pelayanan publik.

4. Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan

Pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi bagi upaya-


upaya pihak penyelenggara pelayanan untuk secara konsisten menjaga pelayanan
yang dihasilkannya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu
perlu didisain suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara efektif dan
efisien mampu mengolah berbagai pengaduan masyarakat menjadi bahan
masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan. Sedangkan dari sisi makro,
peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dilakukan melalui pengembangan
model-model pelayanan publik.

Dalam hal- hal tertentu, memang terdapat pelayanan publik yang


pengelolaannya dapat dilakukan secara private untuk menghasilkan kualitas yang
baik. Beberapa model yang sudah banyak diperkenalkan antara lain: contracting
out, dalam hal ini pelayanan publik dilaksanakan oleh swasta melalui suatu
proses lelang, pemerintah memegang peran sebagai pengatur; franchising, dalam
hal ini pemerintah menunjuk pihak swasta untuk dapat menyediakan pelayanan
publik tertentu yang diikuti dengan price regularity untuk mengatur harga
maksimum.

Birokrasi penyelenggara pelayanan publik tidak mungkin bisa dilepaskan


dari nilai etika. Karena etika berkaitan dengan soal kebaikan dan keburukan di
dalam hidup manusia, maka tugas- tugas dari birokrasi pelayan publikpun tidak
terlepas dari hal-hal yang baik dan buruk. Dalam praktek pelayanan publik saat
ini di Indonesia, kita menginginkan birokrasi publik yang terdiri dari manusia-
manusia yang berkarakter, yang dilandasi sifat-sifat kebajikan, yang akan
menghasilkan kebajikan- kebajikan yang mengun- tungkan masyarakat dan
mencegah tujuan menghalalkan segala cara. Karakter ini harus ditunjukkan,
bukan hanya menghayati nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan kebebasan yang
mendasar, tetapi juga nilai kejuangan. Hal terakhir ini penting karena birokrasi
pelayan publik ini adalah pejuang dalam arti menempatkan kepentingan umum
di atas kepentingan pribadi atau golongan, rela berkorban, dan bekerja keras
tanpa pamrih. Dengan semangat kejuangan itu seorang birokrat, akan sanggup
bertahan dari godaan untuk tidak berbuat yang bertentangan dengan nilai-nilai

15
kebenaran, kebaikan, keindahan, kebebasan, persamaan, dan keadilan. Asas Asas
Umum Birokrasi Pemerintahan yang Baik mengandung beberapa prinsip yaitu:
Prinsip Demokrasi, Keadilan Sosial dan Pemerataan, Mengusahakan
Kesejahteraan Umum, Mewujudkan Negara Hukum, Dinamika dan Efisiensi.
kode etik bagi orang-orang yang bekerja dalam tugas-tugas administrasi negara
barangkali membawa masalah tentang arti dari kode etik itu sendiri mengingat
bahwa kode etik biasanya dikaitkan dengan suatu proses khusus. Akan tetapi
seperti yang telah diuraikan kedudukan etika administrasi negara berada di
antara etika profesi dan etika politik sehingga tugas-tugas administrasi negara
tetap memerlukan perumusan kode etik yang dapat dijadikan sebagai pedoman
bertindak bagi segenap aparat politik.

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Etika pelayanan kepada publik (masyarkat umum) memang sangat


diharapkan, karena etika tersebut kini mulai luntur oleh perbuatan para
pelayan masyarakat (aparatur pemerintah) yang kurang menjunjung kode
etika pelayanan kepada masyarakat. Terbukti dengan adanya perbuatan
nakal para oknum aparatur pemerintah yang melakukan beberapa
kecurangan yang diantaranya melakukan pemungutan kepada masyarakat
yang menginginkan kelebihan pelayanan, seperti mempercepat penyelesaian
pembuatan KTP namun dengan cara membayar uang balas jasa mereka.
Perbuatan tersebut tidak seharusnya dilakukan karena bertentangan dengan
norma yang sudah ada.Walau mungkin etika pelayanan kepada publik
belum disebutkan secara jelas, namun etika pelayanan publik dapat
dilakukan sesuai dengan hati nurani. Karena dengan hati nurani kita dapat
membedakan yang mana yang baik dan yang mana yang buruk, dengan
adanya pelayanan yang baik diharapkan masyarakat dapat merasakan
kenyamanan dalam pelayanan. Pelayanan publik masih memiliki banyak
kelemahan dilihat dari pola penyelenggaraan yang masih sukar diakses,
belum informatif, belum bersedia mendengar aspirasi masyarakat, belum
responsif, belum saling berkoordinasi, tidak efisien, maupun birokrasi yang
bertele- tele. Sumber daya manusia penyelenggara pelayanan publik masih
belum memiliki profesionalisme, kompetensi, empati, dan etika yang
memadai. Desain organisasi yang penuh dengan hierarkis sehingga
pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis) dan tidak terkoordinasi.

17
3.2 Saran
Etika pelayanan publik sebaiknya disosialisasikan kepada pihak-pihak
yang melakukan pelayanan kepada masyarakat, karena sebagian besar
pelayan masyarakat belum mengetahui etika pelayanan kepada masyarakat.
Sebagian mungkin masih belum mengetahui bagaimana seharusnya tindakan
untuk melayani masyarakat sehinggga dia melakukan kesalahan dalam
melakukan pelayanan atas ketidaktahuannya. Sangat disayangkan jika
kesalahan dalam pelayanan dilakukan karena kebutaan akan bagaimanan
seharusnya etika yang diterapkan kepada masyarakat. Saran selanjutnya
berikanlah penghargaan jika aparatur melakukan tindakan sesuai etika dan
sebaliknya, berikanlah sanksi yang tegas kepada pelanggar etika pelayanan
apalagi yang melakukan dengan sengaja. Diharapkan dengan adanya tindakan
seperti itu para pelayan masyarakat termotivasi untuk mengetahui etika
pelayanan kepada masyarakat sehingga tindakannya dapat sesuai dengan
kehendak rakyat. Asas Asas Umum Birokrasi Pemerintahan yang Baik
mengandung beberapa prinsip yaitu: Prinsip Demokrasi, Keadilan Sosial dan
Pemerataan, Mengusahakan Kesejahteraan Umum, Mewujudkan Negara
Hukum, Dinamika dan Efisiensi.

kode etik bagi orang-orang yang bekerja dalam tugas-tugas administrasi


negara barangkali membawa masalah tentang arti dari kode etik itu sendiri
mengingat bahwa kode etik biasanya dikaitkan dengan suatu proses khusus.
Akan tetapi seperti yang telah diuraikan kedudukan etika administrasi negara
berada di antara etika profesi dan etika politik sehingga tugas-tugas
administrasi negara tetap memerlukan perumusan kode etik yang dapat
dijadikan sebagai pedoman bertindak bagi segenap aparat politik. Kode etik
dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanki atau hukuman dari
pihak luar, setiap orang tetap menaatinya. Berikut ini diuraikan kedelapan
unsur penilaian langsung pekerjaan pemerintah: Kesetiaan, Prestasi merja,
Tanggung jawab, Ketaatan, Kerja sama, Kejujuran, Prakarsa, kepemimpinan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Bayu Suryaningrat, Etika Administrasi Negara, Etika Pemerintahan, Etika


Jabatan, Bandung : Pustaka, 1984.

Edy Topo Azhari. 2003. “ Upaya Meningkatkan Kinieja Pelayanan


Publik”.Makalah. Disampaikan dalam Seminar Lokakarya Nasional
Dimensi Politik Pelayanan Publik: Partisipasi, Transparansi &
Akuntabilitas pada tanggal 8-9 Oktober 2003 di Hotel Indonesia
Jakarta.

Harbani Pasolong. 2007. Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta

Hardiyansyah, 2015. Komunikasi Pelayanan Publik Konsep dan Aplikasi. Gava


Media Yogyakarta.

Hasibuan, Malayu Sp, 2016. Manajemen Sumber Manusia.PT Bumi Aksara


Jakarta.

Hayat, 2017. Manajemen Pelayanan Publik. PT Raja Grafindo Persada, Depok.

Kusmanadji.2003.Etika Bisnis dan Profesi.Jakarta:Sekolah Tinggi Akuntansi


Negara. Sarimah,Ucok.2008.”Etika Profesi Pegawai Negeri Sipil
Departemen Keuangan Republik Indonesia”.Tangerang: Sekolah Tinggi
Akuntansi Negara.

Moenir, H.A.S, 2014, Manajemen Pelayanan Umum Di Indonesia. PT. Bumi


Aksara Jakarta

Mukarom, Zaenal dan Muhibudin Wijaya Laksana,2018. Manajemen Pelayanan


Publik. CV Pustaka Setia, Bandung.

Mulyadi, Deddy, Hendrik T. Gedeona dan Muhammad Nur Afandi 2016.


Administrasi Publik Untuk Pelayanan Publik. Alfabeta, Bandung.

Pasolog, Harbani, 2017. Teori Administrasi Publik. Alfabeta, Bandung.

19
Sinambela, Lijan Poltak, Sigit Rochadi, Rusman Ghazali, Akhmad Muksin,
Didit Setiabudi, Djohan Bima dan Syaifudin, 2017 Reformasi
Pelayanan Publik Teori, Kebijakan, dan Implementasi. PT. Bumi
Aksara.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik . Fokusindo


Mandiri, Bandung.

Wahyudi , Kumorotomo. 1992. Etika administrasi Negara. Rajawali Pers,


Jakarta.

20

Anda mungkin juga menyukai