Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

ETIKA PELAYANAN PUBLIK


Studi Kasus : Perilaku Maladministrasi Dalam Pelayanan Publik
Pasca Reformasi Birokrasi di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau
Indonesia

Dosen pembimbing:
Ade Gunawan, S.AB.,M.Ak

Disusun oleh : Kelompok 3


Dian Nur Hasanah (4103191248)
Amy Faradila (4103191246)
Mei Wasiatul Rohmah (4103191268)
Andreas Saputra (4103191255)

JURUSAN TEKNIK SIPIL


PROGRAM STUDI DIPLOMA III
POLITEKNIK NEGERI BENGKALIS
2022
Kata Pengantar

Puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sebagai
pencipta atas segala kehidupan yang senantiasa memberikan rahmat-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan judul “Etika Pelayanan
Publik Studi Kasus ” Dalam kesempatan ini, saya juga ingin mengucapkan terima
kasih dengan hati yang tulus kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini semoga Tuhan senantiasa membalas dengan kebaikan
yang berlipat ganda.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak guna perbaikan dan kelengkapan penyusunan
makalah ini. Harapan saya semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua .

Bengkalis, 27 Maret 2022

Penulis
Daftar Isi

Kata Pengantar ........................................................................................................ 2


Daftar Isi.................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 4
1.1Latar Belakang ............................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 5
1.3 Tujuan ............................................................................................................ 6
_Toc99312070BAB IITINJAUAN PUSTAKA ........................................................ 7
2.1 Pengertian Etika Pelayanan Publik................................................................ 7
2.2 Relevansi Etika Dalam Pelayanan Publik ..................................................... 9
2.3 Prinsip – Prinsip Etika Dalam Pelayanan Publik ........................................ 10
2.4 Prinsip – Prinsip Pelayanan Publik ............................................................. 12
2.5 Prinsip – Prinsip dan Manajemen Etika Pelayanan Publik ......................... 13
2.6 Hakikat Profesionalisme Pelayanan Publik ................................................. 14
2.7 Dilema dalam Beretika ................................................................................ 16
2.8 Implikasi bagi Etika Pelayanan Publik di Indonesia ................................... 18
2.9 Netralisasi Pegawai Negeri Sipil (PNS) ...................................................... 19
BAB III STUDI KASUS ....................................................................................... 21
3.1 Tinjauan Kasus ............................................................................................ 21
3.2 Analisa Studi Kasus..................................................................................... 22
BAB IV PENUTUP .............................................................................................. 25
4.1 Penutup ........................................................................................................ 25
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 26
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Praktek penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia dewasa ini masih
penuh dengan ketidakpastian biaya, waktu dan cara pelayanan. Mengurus
pelayanan publik ibaratnya memasuki hutan belantara yang penuh dengan
ketidakpastian. Waktu dan biaya pelayanan tidak pernah jelas bagi para pengguna
pelayanan. Hal ini terjadi karena prosedur pelayanan tidak pernah mengatur
kewajiban dari penyelenggara pelayanan dan hak dari warga sebagai pengguna.
Prosedur cenderung hanya mengatur kewajiban warga ketika berhadapan dengan
unit pelayanan. Ketidakpastian yang sangat tinggi ini mendorong warga untuk
membayar pungli kepada petugas agar kepastian pelayanan bisa segera diperoleh.
Ketidakpastian bisa juga mendorong warga memilih menggunakan biro jasa untuk
menyelesaikan pelayanannya daripada me-nyelesaikannya sendiri.
Disamping itu juga sering dilihat dan didengar adanya tindakan dan perilaku
oknum pemberi pelayanan yang tidak sopan, tidak ramah, dan diskriminatif.
Sebagai konsekuensi logisnya, dewasa ini kinerja pemerintah sebagai pelayan
publik banyak menjadi sorotan, terutama sejak timbulnya iklim yang lebih
demokratis dalam pemerintahan. Rakyat mulai mempertanyakan akan nilai yang
mereka peroleh atas pelayanan yang dilakukan oleh instansi pemerintah.
Semua permasalahan tersebut, pada hakekatya tidak perlu terjadi secara drastis
dan dramatis sebagaimana yang pernah dialami selama ini, seandainya pemerintah
dan aparatur pemerintahannya memiliki kredibilitas yang memadai dan
kewibawaan yang dihormati oleh rakyatnya. Pemerintah yang memiliki etika dan
moralitas yang tinggi dalam menjalankan kewenangan pemerintahannya, tentu
memiliki akuntabilitas dan penghormatan yang tinggi pula terhadap tuntutan
aspirasi dan kepentingan masyarakat yang dila-yaninya. Dalam pemerintahan
yang demikian itu pula iklim keterbukaan, partisipasi aktif dan pemberdayaan
masyarakat dapat diwujudkan, sebagai manifestasi dari gagasan yang dewasa ini
mulai dikembangkan, yaitu penerapan etika dalam pelayanan publik.
Dengan demikian permasalahan pelayanan publik cukup kompleks,
variabelnya sangat luas, upaya memperbaiki birokrasi sebagai pelayan publik
(public service) termasuk didalamnya upaya menanamkan etika sebagai nilai
utama dalam pelyanan publik, memerlukan waktu yang panjang dan diikuti
dengan kemauan aparat untuk merubah sikap dan orentasi perilakunya ke arah
yang lebih mementingkan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, untuk itu
menurut Mertins Jr3 ada empat hal yang harus dijadikan pedoman yaitu: Pertama,
equality, yaitu perlakuan yang sama atas pelayanan yang biberikan. Hal ini
didasarkan atas tipe prilaku birokrasi rasional yang secara konsisten memberikan
pelayanan yang berkualitas kepada semua pihak tanpa memandang afiliasi politik,
status sosial, etnis, agama dan sebagainya. Bagi mereka memberikan perlakuan
yang sama identik dengan berlaku jujur, suatu prilaku yang patut dihargai. Kedua,
equity, yaitu perlakuan yang sama kepada masyarakat tidak cukup, selain itu juga
perlakuan yang adil. Untuk masyarakat yang pluralistik kadang-kadang diperlukan
perlakuan yang adil dan perlakuan yang sama dan kadang-kadang pula di
butuhkan perlakuan yang adil tetapi tidak sama kepada orang tertentu. Ketiga,
loyalty, adalah kesetiaan yang diberikan kepada konstitusi, hukum, pimpinan,
bawahan dan rekan kerja. Berbagai jenis kesetiaan tersebut terkait satu sama lain,
dan tidak ada kesetiaan yang mutlak diberikan kepada satu jenis kesetiaan tertentu
yang mengabaikan yang lainnya. Keempat, responsibility, yaitu setiap aparat
pemerintah harus setiap menerima tanggung jawab atas apapun ia kerjakan dan
harus mengindarkan diri dari sindorman “saya sekedar melaksanakan perintah
dari atasan”.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut :
1. Apa itu etika pelayanan publik ?
2. Bagaimana relevansi etika dalam pelayanan public ?
3. Apa prinsip - psinsip etika dalam pelayanan public?
4. Apa saja prinsip – prinsip pelayanan public ?
5. Apa prinsip – prinsip dan manajemen etika pelayanan public ?
6. Bagaimana hakikat profesionalisme pelayanan public ?
7. Bagaimana implikasi bagi etika pelayana public di Indonesia ?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini ialah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian etika pelayanan public
2. Untuk mengetahui tentang relevansi etika dalam pelayanan public
3. Untuk mengenal prinsip prinsip etika dalam pelayanan public
4. Untuk mengenal prinsip prinsip pelayanan public
5. Untuk mengenal prinsip dan manajemen etika pelayanan public
6. Untuk mengetahui hakikat profesionalisme pelayanan public
7. Untuk mengetahui implikasi bagi etika pelayanan public
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Etika Pelayanan Publik

Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata 'etika' yaitu
ethossedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti
yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat,
akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan artita etha yaitu adat
kebiasaan.Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya
istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi,
secara etimologis (asal usul kata), etika memiliki makna, ilmu tentang apa yang
biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000).

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) 1989 mendefinisikan etika adalah


ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk serta tentang hak dan kewajiban
moral (akhlaq); kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlaq; nilai
mengenai nilai benar dan salah, yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Suseno, 1994 mendefinisikan Etika adalah suatu ilmu yang membahas


tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu atau
bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan
dengan pelbagai ajaran moral. Sementara itu, Kattsoff 1986, mengemukakan
bahwa, Etika sebenarnya lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar
pembenaran dalam hubungan tingkah laku manusia.

Terkait dengan beberapa definisi diatas, Bartens sebagaimana dikutip oleh


abdul kadir (1991), memberikan tiga pengertian tentang etika yaitu ;

1) Etika dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya.arti ini dapat juga disebut sistem nilai dalam hidup manusia
perseorangan atau hidup bermasyrakat.
2) Etika dipakai dalam arti kumpulan asas dan nilai moral,yang dimaksud
disi adalah kode etik
3) Etika dipakai dalam arti ilmu tentang yang baik atau yang buruk. Makna
ini berkenaan dengan filsafat moral.

Yang dimaksud dengan pelayanan publik menurut Keputusan Menteri


Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 tahun 2003, adalah segala kegiatan
pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya
pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang No. 25 tahun 2009
Pelayanan Publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan
administratif yang diselenggarakan oleh penyelengga ra pelayanan publik. Jadi,
pelayanan publik merupakan usaha pemenuhan kebutuhan masyarakat dari
penyelenggara pelayanan publik.

Pelayanan publik dalam arti yang sempit adalah suatu tindakan pemberian
barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung
jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui
kemitraan dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas
kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat dan pasar. Hal ini menekankan
bagaimana pelayanan publik berhasil diberikan melalui suatudelivery system yang
sehat. Pelayanan publik ini dapat dilihat sehari-hari di bidang administrasi,
keamanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih, telekomunikasi,
transportasi, bank, dan sebagainya.

Tujuan pelayanan publik,menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi


masyarakat. Barang dan jasa yang terbaik adalah yang memenuhi apa yang
dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian
pelayanan publik yang terbaik adalah yang memberikan kepuasan terhadap
publik, dan bila perlu melebihi harapan publik.

Menurut Denhardt (dalam Keban, 2008) etika pelayanan publik diartikan


sebagai filsafat dan kode etik /standar profesi, atau moral atau right rules of
conduct (aturan berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi
pelayanan publik atau administrator publik. Dalam hal ini Denhardt menekankan
etika pelayanan publik sebagai kode etik.

Semantara itu, Rohman, dkk (2010) mendefinisikan bahwa etika


pelayanan publik adalah suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan
kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma
yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik. Definisi Rohman dkk
ini menekankan penggunaan nilai-nilai luhur dalam pelayanan publik. Jadi, jelas
bahwa etika pelayanan publik merupakan penggunaan nilai-nilai luhur oleh
seorang administrator dalam memberikan pelayanan publik.

2.2 Relevansi Etika Dalam Pelayanan Publik


Di sektor manapun, termasuk sektor publik (pemerintahan), ada dua aspek
penting yang umumnya diyakini sebagai penentu kinerja prima, yaitu
profesionalisme dan etika. Seperti halnya di sektor bisnis, sektor publik juga
dituntut untuk mencapai kinerja prima, dengan ukuran-ukuran seperti efisiensi,
produktivitas dan efektivitas, dan pada saat yang sama dituntut untuk senantiasa
menjunjung tinggi standar etika, sepertiintegritas, objektivitas atau imparsialitas,
keadilan dan sebagainya. Dengan perkataan lain, sector publik, seperti sektor
bisnis, dituntut untuk memiliki dua keunggulan, yaitu keunggulan teknis
(profesionalisme) dan keunggulan moral (etika). Ada beberapa alasan, baik
normative maupun objektif, yang dapat digunakan untuk menjelaskan relevansi
salah satunya yaitu Pelayanan publik di Indonesia masih sangat rendah.
Buruknya pelayanan publik memang bukan hal baru, fakta di lapangan
masih banyak menunjukkan hal ini.Tiga masalah penting yang banyak terjadi di
lapangan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu pertama, besarnya
diskriminasi pelayanan.Penyelenggaraan pelayanan masih amat dipengaruhi oleh
hubungan per-koncoan, kesamaan afiliasi politik, etnis, dan agama. Fenomena
semacam ini tetap marak walaupun telah diberlakukan UU No. 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN yang secara tegas
menyatakan keharusan adanya kesamaan pelayanan, bukannya diskriminasi.
Kedua, tidak adanya kepastian biaya dan waktu pelayanan.Ketidakpastian ini
sering menjadi penyebab munculnya KKN, sebab para pengguna jasa cenderung
memilih menyogok dengan biaya tinggi kepada penyelenggara pelayanan untuk
mendapatkan kepastian dan kualitas pelayanan.Dan ketiga, rendahnya tingkat
kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik.Ini merupakan konsekuensi logis
dari adanya diskriminasi pelayanan dan ketidakpastian tadi.
Memang melakukan optimalisasi pelayanan publik yang dilakukan oleh
birokrasi pemerintahan bukanlah pekerjaan mudah seperti halnya membalikkan
telapak tanganmengingat pembaharuan tersebut menyangkut pelbagai aspek yang
telah membudaya dalam lingkaran birokrasi pemerintahan kita. Di antara
beberapa aspek tersebut adalah kultur birokrasi yang tidak kondusif yang telah
lama mewarnai pola pikir birokrat sejak erakolonial dahulu. Prosedur dan etika
pelayanan yang berkembang dalam birokrasi kita sangat jauh dari nilai-nilai dan
praktik yang menghargai warga bangsa sebagai warga negara yang
berdaulat.Prosedur pelayanan, misalnya, tidak dibuat untuk mempermudah
pelayanan,tetapi lebih untuk melakukan kontrol terhadap perilaku warga sehingga
prosedurnya berbelitbelit dan rumit.

2.3 Prinsip – Prinsip Etika Dalam Pelayanan Publik


1. Prinsip-prinsip umum dalam etika pelayanan publik
Ada sejumlah prinsip etika dalam pelayanan publik yang dapat
diidentifikasi dengan mengacu kepada nilai-nilai dasar yang tercantum dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan
Kode Etik Pegawai Negeri Sipil (Pasal 6). Beberapa nilai-nilai dasar tersebut
yaitu:
a. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b. Kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan UUD 1945.
c. Semangat nasionalisme
d. Mengutamakan kepentingan negara diatas kepentingan pribadi atau
golongan.
Prinsip-prinsip etika ini juga dapat dipandang sebagai kombinasi antara nilai-
nilai yang berasal dari tradisi birokrasi/pelayanan publik (nilai-nilai tradisional)
dan nilai-nilai baru. Nilai-nilai tradisional mencerminkan misi pokok pelayanan
publik dan tercermin , antara lain, pada bunyi sumpah jabatan yang diucapkan
setiap pegawai negeri ketika akan dilantik. Sementara itu, nilai-nilai baru
mencerminkan artikulasi dari etos baru akibat adanya perkembangan dan tuntutan
baru, seperti good governance dan profesionalisme. Prinsip prinsip tersebut
meliputi: objektivitas (netralitas atau imparsialitas) dan keadilan, legalitas dan
kepatuhan, loyalitas, integritas dan kejujuran, pengabdian (kepentingan publik),
akuntabilitas, transparansi, tanggung jawab, kerahasiaan, dan efisiensi.
2. Karakteristik Pelayanan Bermutu
Masyarakat makin menyadari bahwa sebagai warga negara memiliki hak
untuk memperoleh pelayanan terbaik dari pemerintah.Oleh karena itu, masyarakat
mengharapkan pegawai negeri dapat memberikan pelayanan yang bermutu tinggi
dan birokrasi yang efisien. Pada dasarnya, pelayanan bermutu ditentukan oleh
sekurang-kurangnya 5 faktor ,yaitu:
a. Adanya atau hadirnya fasilitas fisik, peralatan dan orang (pelayan atau
petugas) yang memenuhi syarat untuk pelayanan yang baik.
b. Keandalan, kemampuan untuk memberikan layanan yang diharapkan
secara teliti dan konsisten.
c. Kesiagaan atau ketanggapan, yakni kemauan untuk memberikan pelayanan
dengan segera atau cepat dan kesediaan untuk membantu pelanggan.
d. Jaminan, pengetahuan, keramahtamahan, dan kemampuan untuk
memberikan kepercayaan dan keyakinan.
e. Empati, kepedulian dan perhatian khusus kepada pelanggan (pihak yang
membutuhkan pelayanan).
Dalam rangka menyediakan panduan dan standardisasi penyelenggaraan
pelayanan publik, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara antara lain
mengeluarkan Keputusan Nomor: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman
Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

2.4 Prinsip – Prinsip Pelayanan Publik


Untuk mencapai standar pelayanan prima ini, ada sejumlah prinsip yang
harus dijadikan panduan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu:
1. Transparansi
Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang
membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
2. Akuntabilitas
Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
3. Kondisional
Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima
pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas.
4. Partisipasif
Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan
pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan
masyarakat.
5. Kesamaan hak
Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama,
golongan, gender, dan status ekonomi.
6. Keseimbangan hak dan kewajiban
Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan
kewajiban masing masing pihak.

Dasar hukum pelayanan publik yaang berlaku sekarang adalah Undang-


undang No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.Hal ini berdasarkan pada
pasal 59 bahwa semua peraturan atau ketentuan mengenai penyelenggaraan
pelayanan publik wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam undang-undang ini
paling lambat dua tahun.Undang-undang tersebut ditetapkan pada tanggal 18 Juli
2009.Undang-undang pelayanan publik diterbitkan dengan harapan mewujudkan
penyelenggaraan pelayanan publik yang prima, memenuhi asas-asas umum
pemerintahan yang baik, dan terjaminnya kepastian hak dan kewajiban serta
kepastian hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Undang-undang
pelayanan publik ini juga memberikan sanksi bagi pelaksana dan penyelenggara
pelayanan publik yang tidak memenuhi ketentuan dalam UU ini.Ketentuan
tentang sanksi ini menunjukkan tingginya tuntutan untuk memenuhi harapan
masyarakat dalam mendapatkan pelayanan yang baik dari para penyelenggara
pelayanan publik.

2.5 Prinsip – Prinsip dan Manajemen Etika Pelayanan Publik


Pelayanan publik sangat penting dilakukan oleh pemerintah dalam
usahanya mensejahterakan rakyatnya. Usaha tersebut dapat dilakukan dengan
memberikan pelayanan di bidang kesehatan, pendidikan, perumahan, transfortasi,
listrik, air bersih dan sebagainya.
Namun sangat disayangkan, dalam berurusan dengan birokrasi
pemerintahan, masyarakat sering mengeluh karena pelayanan yang mereka terima
dari aparatur pemerintah kurang memuaskan karena lambat dan mahal. Padahal
hak rakyat untuk memperoleh kesejahteraan hidupnya dari negara telah dijamin
dalam Undang-Undang Dasar 1945 khususnya dalam pasal 27 sampai 34 serta
lebih dioperasionalkan di dalam Undang-Undang.
Agar dapat memberikan pelayanan publik yang prima, PNS harus
memahami dan mengamalkan prinsip-prinsip dan criteria pelayanan publik serta
hak dan kewajibannya sebagai pegawai negeri.
Kriteria Pelayanan Publik:
1. sederhana,
2. jelas,
3. akurat,
4. tepat waktu,
5. aman,
6. tersedia sarana dan prasarana pendukung,
7. bertanggung jawab,
8. mudah dijangkau,
9. berdisiplin,
10. ramah,
11. Sopan,
12. Dan ruang kerja yang nyaman.
Menurut Weber, tipe ideal birokrasi mencakup :
1. Secara pribadi pegawai dan pejabat bebas, tetapi tidak bebas menggunakan
jabatan posisi untuk kepentingan pribadi;
2. Jabatan disusun secara hirarki dari atas, bawah,dan samping, sehingga
jelas perbedaan kekuasaannya;
3. Tupoksi masing-masing jabatan dalam hirarki secara spesifik berbeda
spesialisasi
4. Para pejabat diangkat dengan suatu kontrak urjab, tugas, kewenangan
5. Pejabat diangkat karena professional
6. Setiap pejabat memperoleh gaji dan pension
7. Struktur pengembangan karir dan promo berdasarkan senioritas dan merit
system
8. Pejabat tidak boleh menggunakan jabatan dan sumber daya untuk
kepentingan pribadi dan keluarga
9. Tiap pejabt berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem
yang dijalankan secara disiplin.

2.6 Hakikat Profesionalisme Pelayanan Publik


Dalam menjalankan peran sebagai jembatan antara kepentingan Negara
dan kepentingan warga Negara, profesionalisme di lingkungan birokrasi menuntut
adanya loyalitas secara penuh kepada pemerintah dan pengabdian penuh dalam
menjalankan urusan publik, memenuhi kepentingan warga Negara. Mereka yang
berkarir di lingkungan pelayanan publik atau birokrasi pemerintahan diharapkan
untuk:
a. mempelajari dan menguasai pekerjaan mereka dibidang administrasi
publik;
b. menjadi pakar di bidang spesialisai yang mereka pilih;
c. menjadi teladan dalam perilaku;
d. memelihara pengetahuan dan keterampilan pada tingkat yang tinggi,
menghindari benturan kepentingan dengan menempatkan nilai pengabdian
kepada kepentingan publik diatas kepentingan pribadi;
e. mendisiplinkan pelaku kesalahan dan anggota lainnya yang diyakini
merusak reputasi profesi;
f. mengungkapkan kecurangan dan malpraktik; dan
g. secara unum meningkatkan kemampuan mereka melalui berbagai upaya
pengembangan diri, termasuk penelitian, percobaan, dan inovasi.

Dewasa ini para ―profesional‖ dalam pelayanan publik menghadapi begitu


banyak tuntutan yang saling berbenturan, sehingga mereka harus menyusun
prioritas dan memilih nilai-nilai mana yang harus digunakan. Nilai-nilai
profesionalisme yang menjadi acuan perilaku dalam pelayanan publik meliputi:
a. memberikan manfaat publik.
Profesional pada organisasi publik tidak bekerja sepenuhnya untuk
memperoleh manfaat bagi dirinya sendiri tapi juga untuk tujuan sosial. Lebih
dari itu, seorang profesional pada pelayanan publik harus berusaha
menjauhkan diri dari tindakan yang merugikan dan harus menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti kemanusiaan dan HAM.
b. Menegakkan aturan hukum.
Ketidakpastian dan ketidakandalan merusak kredibilitas pemerintah
dan kesewenangwenangan mengundang berbagai tindak kejahatan seperti
penyalahgunaan kekuasaan, diskriminasi dan korupsi.Aturan hukum
memberikan perlindungan terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan,
dan ini merupakan prinsip pertama pemerintahan yang demokratis.
c. Menjamin adanya tanggung jawab dan akuntabilitas publik.
Dalam lingkungan pelayanan publik, para pelaku betanggung jawab
baik terhadap apa yang mereka kerjakan maupun terhadap apa yang
seharusnya mereka kerjakan tetapi tidak atau gagal mereka kerjakan. Mereka
bertindak bukan untuk kepentingan diri mereka sendiri tetapi untuk
kepentingan publik secara keseluruhan.Nilai-nilai ini menuntut pegawai negeri
untuk menjadi pelindung kepentingan publik, bersikap jujur, selalu
memutakhirkan informasi, dan tanggap.
d. Menjadi teladan.
Profesional dalam pelayanan publik berarti memiliki komitmen
terhadap cita-cita pengabdian kepada publik, pelaksana yang baik, memajukan
kepentingan publik, dan memperbaiki kondisi kehidupan tanpa mengharapkan
imbalan.Selain itu, harus siap untuk dipersalahkan atau tidak dihargai
walaupun kemudian terbukti bertindak benar.
e. Meningkatkan kinerja.
Profesional dalam pelayanan publik harus selalu meningkatkan kinerja
mereka dalam berbagai bidang tanggung jawab mereka.
f. Memajukan demokrasi.
Profesional di lingkungan pelayanan publik harus mengadopsi
sejumlah nilai baru yang beberapa di antaranya mungkin berbenturan dan
memerlukan prioritisasi.

2.7 Dilema dalam Beretika


Sebagai sesuatu yang etis.Karena itu, kaum teleologis ini berpendapat
bahwa tidak ada suatu prinsip moralitas yang bisa dianggap universal, kalau
belum diuji atau dikaitkan dengan konsekuensinya.Implikasi dari adanya dilema
diatas maka sulit memberi penilaian apakah aktor-aktor pelayanan publik telah
melanggar nilai moral yang ada atau tidak, tergantung kepada keyakinannya
apakah tergolong absolutis atau relativis.Hal yang demikian barangkali telah
menumbuhkan suasana KKN di negeri kita.Persoalan moral atau etika akhirnya
tergantung kepada persoalan ―interpretasi‖ semata. Hierarki Etika. Di dalam
pelayanan publik terdapat empat tingkatan etika.
Pertama, etika atau moral pribadi yaitu yang memberikan teguran tentang
baik atau buruk, yang sangat tergantung kepada beberapa faktor antara lain
pengaruh orang tua, keyakinan agama, budaya, adat istiadat, dan pengalaman
masa lalu. Kedua adalah etika profesi, yaitu serangkaian norma atau aturan yang
menuntun perilaku kalangan profesi tertentu. Ketiga adalah etika organisasi yaitu
serangkaian aturan dan norma yang bersifat formal dan tidak formal yang
menuntun perilaku dan tindakan anggota organisasi yang bersangkutan. Dan
keempat, etika sosial, yaitu norma-norma yang menuntun perilaku dan tindakan
anggota masyarakat agar keutuhan kelompok dan anggota masyarakat selalu
terjaga atau terpelihara.Adanya hirarki etika ini cenderung membingungkan
keputusan para aktor pelayanan publik karena semua nilai etika dari keempat
tingkatan ini saling bersaing.Misalnya, menempatkan orang dalam posisi atau
jabatan tertentu sangat tergantung kepada etika yang dianut pejabat yang
berkuasa. Bila ia sangat dipengaruhi oleh etika sosial, ia akan mendahului orang
yang berasal dari daerahnya sehingga sering menimbulkan kesan adanya KKN.
Bila ia didominasi oleh etika organisasi, ia barangkali akan melihat kebiasaan-
kebiasaan yang berlaku dalam organisasi seperti menggunakan sistim senioritas‖
yang mengutamakan mereka yang paling senior terlebih dahulu, atau
mungkin didominasi oleh sistim meri t yang berarti ia akan mendahulukan orang
yang paling berprestasi.
Dengan demikian, persoalan moral atau etika didalam konteks ini akhirnya
tergantung kepada tingkatan etika yang paling mendominasi keputusan seorang
aktor kunci pelayanan publik. Konflik antara nilai-nilai dari tingkatan etika yang
berbeda ini sering membingungkan para pembuat keputusan sehingga kadang-
kadang mereka menyerahkan keputusan akhirnya kepada pihak lain yang mereka
percaya atau segani seperti pejabat yang lebih tinggi, tokoh-tokoh karismatik,
orang pintar, dsb.
2.8 Implikasi bagi Etika Pelayanan Publik di Indonesia
Dibutuhkan Kode Etik. Kode etik pelayanan publik di Indonesia masih
terbatas pada beberapa profesi seperti ahli hukum dan kedokteran sementara kode
etik untuk profesi yang lain masih belum nampak. Ada yang mengatakan bahwa
kita tidak perlu kode etik karena secara umum kita telah memiliki nilai-nilai
agama, etika moral Pancasila, bahkan sudah ada sumpah pegawai negeri yang
diucapkan setiap apel bendera.Pendapat tersebut tidak salah, namun harus diakui
bahwa ketiadaan kode etik ini telah memberi peluang bagi para pemberi
pelayanan untuk mengenyampingkan kepentingan publik.Kehadiran kode etik itu
sendiri lebih berfungsi sebagai alat kontrol langsung bagi perilaku para pegawai
atau pejabat dalam bekerja.
Dalam konteks ini, yang lebih penting adalah bahwa kode etik itu tidak
hanya sekedar ada, tetapi juga dinilai tingkat implementasinya dalam kenyataan.
Bahkan berdasarkan penilaian implementasi tersebut, kode etik tersebut kemudian
dikembangkan atau direvisi agar selalu sesuai dengan tuntutan perubahan jaman.
Kita mungkin perlu belajar dari negara lain yang sudah memiliki kedewasaan
beretika.
Kelemahan kita terletak pada ketiadaan atau terbatasnya kode
etik.Demikian pula kebebasan dalam menguji dan mempertanyakan norma-norma
moralitas yang berlaku belum ada, bahkan seringkali kaku terhadap norma-norma
moralitas yang sudah ada tanpa melihat perubahan jaman. Kita juga masih
membiarkan diri kita didikte oleh pihak luar sehingga belum terjadi otonomi
beretika. Kadang-kadang, kita juga masih membiarkan diri kita untuk
mendahulukan kepentingan tertentu tanpa memperhatikan konteks atau dimana
kita bekerja atau berada. Mendahulukan orang atau suku sendiri merupakan
tindakan tidak terpuji bila itu diterapkan dalam konteks organisasi publik yang
menghendaki perlakuan yang sama kepada semua suku. Mungkin tindakan ini
tepat dalam organisasi swasta, tapi tidak tepat dalam organisasi publik.
Oleh karena itu, harus ada kedewasaan untuk melihat dimana kita berada
dan tingkatan hirarki etika manakah yang paling tepat untuk diterapkan.
Perlindungan dan Insentif Bagi Pengadu. Diantara kita semua ada pihak yang
sangat peduli dengan nilai-nilai etika atau moral, melakukan pengaduan tentang
pelanggaran moral.Mereka adalah pihak yang berani membongkar rahasia dan
menguji tindakan-tindakan pelanggaran moral dan etika.Namun upaya untuk
melakukan hal ini kadang-kadang dianggap sebagai upaya tidak terpuji, bahkan
sering dikutuk perbuatannya, dan nasibnya bisa menjadi terancam. Pengalaman ini
cenderung membuat mereka takut dan timbul kebiasaan untuk tidak mau ―repot‖
atau tidak mau ―berurusan‖ dengan hukum atau pengadilan, yang insentifnya
tidak jelas. Akibatnya, peluang dari pihak- pihak yang berpengaruh dalam
pelayanan publik terus terbuka untuk melakukan tindakan-tindakan pelanggaran
moral dan etika.Karena itu, dalam rangka meningkatkan moralitas dalam
pelayanan publiki, diperlukan perlindungan terhadap para pengadu, kalau perlu
insentif khusus.

2.9 Netralisasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)


Reformasi di bidang kepegawaian yang merupakan konsekuensi dari
perubahan di bidang politik, ekonomi dan sosial yang begitu cepat terjadi sejak
paruh pertama tahun 1998 ditandai dengan berlakunya Undang-undang Nomor 43
Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Peraturan perundang-undangan
yang merupakan perubahan dan penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 8
Tahun 1974 dengan pokok bahasan yang sama tersebut, kemudian diikuti dengan
berbagai peraturan pelaksanaannya, baik yang berupa Peraturan Pemerintah (PP)
maupun Keputusan Presiden (Keppres), untuk menjamin terlaksananya Undang-
undang Nomor 43 Tahun 1999 ini secara baik dan terarah.
Pada dasarnya Pegawai Negeri Sipil (PNS) di negara manapun
mempunyai tiga peran yang serupa. Pertama, sebagai pelaksana peraturan dan
perundangan yang telah ditetapkan pemerintah. Untuk mengemban tugas ini,
netralitas PNS sangat diperlukan. Kedua, melakukan fungsi manajemen pelayanan
publik.Ukuran yang dipakai untuk mengevaluasi peran ini adalah seberapa jauh
masyarakat puas atas pelayanan yang diberikan PNS. Apabila tujuan utama
otonomi daerah adalah mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga
desentralisasi dan otonomi terpusat pada pemerintah kabupaten dan pemerintah
kota, maka PNS pada daerah-daerah tersebut mengerti benar keinginan dan
harapan masyarakat setempat. Ketiga, PNS harus mampu mengelola
pemerintahan. Artinya pelayanan pada pemerintah merupakan fungsi utama
PNS.Setiap kebijakan yang diambil pemerintah harus dapat dimengerti dan
dipahami oleh setiap PNS sehingga dapat dilaksanakan dan disosialisasikan sesuai
dengan tujuan kebijakan tersebut. Dalam hubungan ini maka manajemen dan
administrasi PNS harus dilakukan secara terpusat, meskipun fungsi-fungsi
pemerintahan lain telah diserahkan kepada pemerintah kota dan pemerintah
kabupaten dalam rangka otonomi daerah yang diberlakukan saat ini.
Untuk mewujudkan ketiga peran tersebut diharapakan dalam manajemen
system kepegawaian perlu selalu ada:
a. Stabilitas, yang menjamin agar setiap PNS tidak perlu kuatir akan masa
depannya serta ketenangan dalam mengejar karier.
b. Balas jasa yang sesuai untuk menjamin kesejahteraan PNS beserta
keluarganya. Sehingga keinginan untuk melakukan korupsi, baik korupsi
jabatan maupun korupsi harta, menjadi berkurang, kalau tidak mungkin
dihapuskan sama sekali dan
c. Promosi dan mutasi yang sistematis dan transparan, sehingga setiap PNS
dapat memperkirakan kariernya dimasa depan serta bisa mengukur
kemampuan pribadi.
Ketiga prasyarat ini akan menumbuhkan keyakinan dalam diri setiap PNS,
apabila mereka menerima sesuatu jabatan harus siap pula untuk melepas jabatan
yang didudukinya itu pada suatu waktu tertentu. Bahkan kehilangan jabatan
tersebut tidak perlu dikuatirkan.Apabila sistem penggajian sudah ditata rapih,
setiap PNS tidak perlu mengejar jabatan hanya sekedar untuk mempertahankan
kesejahteraan hidup bersama keluarganya. Selain itu, sistem kepegawaian yang
memenuhi ketiga kreteria tersebut akan menjaga integritas dan kepribadian setiap
PNS yang memang sangat diperlukan untuk mewujudkanperan sebagai perekat
persatuan dan kesatuan bangsa dan negara seperti diamanatkan dalam Undang-
undang No. 43 Tahun 1999.
BAB III

STUDI KASUS

3.1 Tinjauan Kasus


Reformasi birokrasi merupakan wacana sekaligus agenda utama dalam
memperbaiki kualitas pelayanan publik di Indonesia. Reformasi birokrasi sebagai
suatu usaha perubahan asas dalam system birokrasi yang bertujuan mengubah
struktur, tingkah laku dan kebiasaan buruk birokrasi di Indonesia setelah
kekuasaan era orde baru berakhir. Ruang lingkup reformasi birokrasi tidak hanya
terbatas pada proses dan prosedur, namun juga terkait perubahan pada struktur
organisasi dan perilaku pegawai. Berkaitan dengan hal tersebut, reformasi
birokrasi bermakna sebagai sebuah perubahan besar dalam paradigma dan tata
kelola pemerintahan Indonesia. Harapan rakyat dari reformasi birokrasi adalah
mengurangi penyalah- gunaan kekuasaan oleh pegawai, mewujudkan pegawai
yang professional dan meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
Maladministrasi birokrasi dapat diartikan sebagai perilaku buruk pegawai
dalam memberikan layanan kepada masyarakat. Maju atau mundurnya suatu
bangsa sangat bergantung pada baik atau buruknya perilaku birokasi.
Kewibawaan pemerintah di mata rakyat sangat erat hubungannya dengan
kemampuan birokrasi dalam memenuhi tuntutan dan aspirasi rakyat serta mampu
memberikan jalan keluar terhadap masalah yang sedang dihadapi oleh rakyat.
Sykes et.al. (dalam Ahmad Basuki 2011) menjelaskan maladministrasi
birokrasi sebagai perbuatan berat sebelah, pengabaian pelanggan, kelewatan
waktu, tidak memberi tumpuan, ketidakcekapan, ketidakupayaan, kejahatan,
keburukan dalam proses pelayanan. Secara mudah maladministrasi birokrasi dapat
diartikan sebagai kegagalan pelayanan atau kegagalan untuk menyediakan
pelayanan.Maladministrasi menurut Undang-Undang Ombudsman Republik
Indonesia adalah:
“Perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang,
menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang
tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam
penyelenggaraan pelayanan public yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan
pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial bagi
masyarakat dan orang perseorangan” (Pasal 1 angka 3).
Reformasi birokrasi bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan lebih
efektif dan efisien serta mampu meningkatkan kualitas pelayanan awam. Secara
umum, pendekatan yang dilakukan antara lain adalah peningkatan kompetensi
pegawai, perbaikan pada sistem pengelolaan keuangan negara dan peningkatan
produktivitas. Namun demikian, tidak semua model pendekatan dapat
memberikan jalan pemecahan terhadap berbagai permasalahan birokrasi.

3.2 Analisa Studi Kasus


Apabila dibandingkan perilaku maladministrasi birokrasi antara pegawai
yang bekerja sebelum era reformasi dengan setelah era reformasi menunjukkan
bahwa tahap amalan maladministrasi birokrasipegawai yang bekerja setelah era
reformasi lebih tinggi berbanding pegawai yang bekerja sebelum era refromasi.
Hasil analisis Crostab dalam tabel 2 dibawah menunjukkan bahwa 66.7 %
pegawai yang bekerja setelah masa reformasi dengan perilaku maladministrasi
birokrasi pada tahap tinggi, sedangkan pegawai yang bekerja sebelum masa
reformasi hanya 33.3%. Hal ini berarti bahwa lebih tinggi persentase tahap
perilaku maladministrasi birokrasi yang dilakukan oleh pegawai baru (bekerja
setelah era refromasi) berbanding pegawai lama (bekerja sejak sebelum era
reformasi). Hasil penelitian membuktikan bahwaperilaku maladministrasi
birokrasi merupakan budaya yang turun temurun dan bahkan cenderung semakin
parah.
Dapatan data wawancara bersama Pak Dasuki,pegawai Ombudsman
Republik Indonesia Wilayah Provinsi Riau juga menyampaikan hal yang sama,
beliau mengatakan: ‚perilaku buruk birokrasi dalam pelayanan yang terjadi hari
ini di Kota Pekanbaru adalah warisan yang sudah turun temurun sejak zaman
dulu. Sifat pegawai yang tidak meletakkan diri mereka sebagai pemberi pelayanan
kepada masyarakat, malah menunjukkan sifat kasar, merasa diri mereka ada kuasa
dan tidak ada rasa kasihan terhadap masyarakat. Menyusahkan urusan masyarakat
dengan syarat, prosedur yang tidak jelas, berapa lama waktu dan biaya juga tidak
jelas. Ada kantor yang telah menyusun standar pelayanan dan diletakkan di
dinding kantor, tetapi kenyataan yang terjadi tidak sama seperti standar pelayanan
yang telah mereka susun”.
Budaya buruk birokrasi sukar dibasmi disebabkan penambahan jumlah
pegawai secara besar-besaran semasa pemerintahan orde baru tanpa
memperhatikan aspek profesionalisme dan kompetensi. Hal ini diakui oleh Pak
Teguh (Pegawai Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi), dalam wawancara peneliti dengan beliau, ia mengatakan:
“sebenarnya masalah awalnya adalah ketika rekrutmen pegawai dan dalam
perencanaan penerimaan pegawai. Berapa jumlah pegawai yang mau diterima?.
selanjutnya, kualifikasi seperti apa yang diperlukan?. Ketika pemerintah kurang
memperhatikan aspek kuantitas dan kualitas, hanya mahu menambah pegawai,
maka muncullah pegawai yang tidak produktif”.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Penutup
Kajian ini telah membuktikan bahwa perilaku maladministrasi birokrasi
masih tetap wujud walaupun reformasi birokrasi sudah berjalan selama 13 tahun.
Hal ini menjadi tantangan besar bagi setiap elemen bangsa termasuk ilmuan dan
cendekiawan untuk memikirkan jalan keluar terbaik agar perilaku buruk pegawai
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dapat berubah. Perubahan
sistem administrasi dan membuat undang-undang masih belum cukup untuk
mengubah perilaku buruk pegawai selagi perubahan perilaku tidak dimulai dari
dalam diri setiap pegawai. Agar program reformasi birokrasi tidak gagal, salah
satu yang mendesak untuk segera dilakukan adalah penanaman nilai
akhlak berdasarkan ajaran agama.
Daftar Pustaka

Bertens, K. 2000. Etika. Seri Filsafat PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta ;

Keban, Yeremias T. 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep,


Teori, dan Isu. Gava Media Yogyakarta ;

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) 1989 Balai Pustaka, Jakarta;

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor


63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum penyelenggaraan Pelayanan
Publik ;

Rohman, Ahmad, dkk. 2010 Reformasi Pelayanan Publik Averroes Press, Malang
Suseno, Franz Magnis, 1994 Etika Politik, Rajawali Press, Jakarta ;
Kusmanadji, Etika Profesi Akuntansi, Bisnis, dan Pelayanan Publik. Materi Pokok
Etika
Bisnis dan Profesi untuk Mahasiswa Akuntansi ( Sekolah Tinggi Akuntansi
Negara, 2005).

Anda mungkin juga menyukai