Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

AKUNTANSI PERILAKU
KONSEP ASPEK PERILAKU PADA BIROKRASI & PROFESIONAL

Dosen Pengampu : Ghina Kemala Dewi, SE., M.Ak

Kelompok 2 :

Yuni Syarifah 1962201165


Fitra Dwi Prastiwi 1962201163
Agnes Shadira 1962201161
Nandia 1962201162
Nur Asmaradani 1962201152
Hendrik 2262201047

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


INSTITUT TEKNOLOGI DAN BISNIS AHMAD DAHLAN

JAKARTA

2023
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Yang telah
memberikan kesehatan dan rahmat-Nya kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah “KONSEP ASPEK PERILAKU PADA BIROKRASI
& PROFESIONAL” dengan baik dan tepat waktu.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah
Akuntansi Perilaku. Tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Ghina
Kemala Dewi, SE., M.Ak. makalah ini selesai dengan maksimal berkat kerjasama
antar tim kelompok.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh
dari kata sempurna serta kesalahan yang penulis yakini diluar batas kemampuan
penyusun. Maka dari itu kami dengan senang hati menerima kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca. Penyusun berharap makalah ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak.

Tangerang, 8 Mei 2023

Kelompok 2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................2
BAB I................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.............................................................................................................4
A. Latar Belakang.....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah................................................................................................5
C. Tujuan Penyusunan Makalah..............................................................................5
BAB II...............................................................................................................................6
PEMBAHASAN...............................................................................................................6
2.1 Kontinum Birokrasi dan Profesional..............................................................6
2.1.1 Pengertian Birokrasi................................................................................6
2.1.2 Pengertian Profesional.............................................................................8
2.1.3 Karakteristik Idealis Birokrasi................................................................9
2.1.4 Perkembangan Birokrasi.......................................................................12
2.1.5 Fungsi Birokrasi.....................................................................................18
2.1.6 Jenis – Jenis Birokrasi............................................................................19
2.2 Akuntan Publik Sebagai Profesi....................................................................21
2.2.1 Pengertian Akuntan Publik...................................................................21
2.2.2 Bidang Jasa Akuntan Publik.................................................................22
2.2.3 Tugas dan Tanggung Jawab Akuntan Publik.......................................25
2.2.4 Akuntan Publik dalam Pasar Modal.....................................................27
2.3 Riset Empiris Perspektif Konflik..................................................................28
2.3.1 Pengertian Riset Empiris.......................................................................28
2.3.2 Teori Terkait Riset Empiris Perspektif Konflik...................................30
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika berbicara tentang birokrasi, secara tidak langsung dihadapkan
dengan organisasi yang sangat formalistik dan terstruktur ketat, dengan
hierarki otoritas yang bertumpuk. Birokrasi adalah salah satu lembaga
pemerintahan tertua dalam sejarah peradaban. Birokrasi semakin
berkembang di dunia seperti Persia kuno, Cina, Mesir, dan sampai ke
Roma. Pada awal perkembangannya birokrasi lebih banyak berperan
sebagai alat kekuasaan, pelaksanaan pekerjaan publik, perencanaan dan
pelaksanaan karya monumental seperti Terusan Suez, Tembok China dan
Piramida. Namun sejarah juga telah mencatat birokrasi sebagai alat
mensejahterakan masyarakat.
Sepanjang sejarahnya, birokrasi selalu memiliki posisi yang sangat
strategis dan kekuatan yang besar untuk mencapai tujuan tersebut, yang
tidak lepas dari peran birokrasi sebagai otoritas administratif. Birokrasi
adalah lembaga yang membuat dan melaksanakan kebijakannya. Oleh
karena itu, birokrasi harus profesional dan tidak memihak dalam
menjalankan tugas dan kewajibannya. 
Pelayanan birokrasi harus ditangani secara profesional. Hal ini penting
karena pelayanan yang diberikan mencakup seluruh aspek kehidupan
masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, penyediaan sarana dan
prasarana, ketertiban dan keamanan, dan lain-lain. Birokrasi memiliki
informasi yang lebih dibandingkan dengan masyarakat, mengenai sistem-
sistem di pemerintahan, dan banyak hal lain yang menyangkut kehidupan
masyarakat yang luas, sehingga penguasaan informasi yang luas yang
mereka miliki mampu mempengaruhi tingkah laku masyarakat karena
mereka memiliki nilai lebih yakni penguasaan informasi tersebut.
Sehingga hal-hal tersebut dapat mempengaruhi birokrasi untuk melawan
aturan. 
Namun pada kenyataannya, birokrasi pemerintah seringkali tidak
efisien dan tidak efektif. Sifat birokrasi yang sangat formal seringkali
membuatnya tidak efisien dan cenderung berbelit-belit. Padahal negara
sebagai organisasi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat harus
sangat tanggap. Semakin besar jumlah penduduk dan kebutuhan yang
semakin besar, beban kerja birokrasi semakin meningkat. Birokrasi
seharusnya tidak lagi hanya fokus pada pemenuhan prosedur formal dan
aspek hukum. Negara harus mampu memberikan pelayanan prima,
berkualitas dan profesional kepada masyarakat. 
Birokrasi yang profesional masih menjadi isu aktual sampai saat ini.
Tak lain karena masih banyak pihak yang mengharapkan agar
penyelenggara negara dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, serta
profesional dalam pelayanan publik, serta mengutamakan kepentingan
masyarakat dan tidak berada dalam tekanan politik tertentu. Apalagi,
peluang kini terbuka lebar karena perkembangan sistem politik kita yang
tidak menutup kemungkinan kehadiran partai politik dalam jumlah besar.
Selain itu, transformasi model pemerintahan dari sentralisasi ke
desentralisasi telah menciptakan peluang bagi aparatur pemerintahan,
khususnya di daerah, untuk lebih kreatif, inovatif dan profesional

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Aspek Perilaku Birokrasi Dan Profesional?
2. Apa Yang Dimaksud Akuntan Publik Sebagai Profesi?
3. Bagaimana Riset Empiris Terhadap Konflik?

C. Tujuan Penyusunan Makalah


1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan perilaku birokrasi,
profesional serta konsepnya.
2. Memberikan pengetahuan terkait Profesi Akuntan Publik
3. Dapat mengetahui apa saja yang menjadi riset empiris terhadap
konflik
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Kontinum Birokrasi dan Profesional
2.1.1 Pengertian Birokrasi
Birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat
modern yang kehadirannya tidak mungkin terelakkan. Eksistensi
birokrasi ini sebagai konsekuensi logis dari tugas utama negara
(pemerintahan) untuk menyelenggarakan kesejahteraan
masyarakat. Secara etimologi istilah Birokrasi berasal dari
kata bureau (bahasa Perancis) yang berarti “meja tulis”
dan Kratos (bahasa Yunani) yang berarti “pemerintahan”. Kantor
disini bukan menunjukan sebuah tempat melainkan pada sebuah
sistem kerja yang berada dalam kantor tersebut. Pada umumnya
para pakar di bidang pemerintahan berpendapat bahwa pertama
birokrasi lahir sebagai alat kekuasaan dan kedua birokrasi lahir dan
dibentuk sebagai kebutuhan masyarakat untuk dilayani (Setiono,
2002:23).

Ada juga definisi birokrasi yang dikemukakan oleh beberapa pakar


di bidangnya yang dikumpulkan oleh Santoso (1997:20) dan
Widjaja (2004 : 25 - 26) yaitu :

1) Denis Wrong (Professor Sosiologi Universitas New York)

Birokrasi diarahkan untuk mencapai suatu tujuan


tertentu dari berbagai ragam tujuan; organisasinya disusun
secara hierarki dengan jalinan komando yang tegas dari atas
ke bawah; adanya pembagian pekerjaan yang jelas dengan
tujuan yang spesifik, peraturan umum dan ketentuan –
ketentuan umum yang menentukan semua sikap dan usaha
untuk mencapai tujuan; karyawan dipilih terutama
berdasarkan kompetisi dan keterlatihannya; kerja dalam
Birokrasi cenderung merupakan pekerjaan seumur hidup.

2) La Palombara

Memberikan pengertian birokrasi dalam artian


“birokrat”. Birokrat adalah mereka yang pada umumnya
menduduki peran manajerial, yang mempunyai kapasitas
memerintah baik di badan-badan sentral maupun di
lapangan, yang pada umumnya digambarkan dalam bahasa
Administrasi Negara sebagai manajemen “menengah” atau
“atas”.

3) Peter M Blau dan Charles H Page (Sosiolog asal Amerika)

Mengedepankan ciri birokrasi sebagai tipe dari


organisasi yang mengkoordinasikan secara sistematika
pekerjaan banyak orang untuk mencapai tugas-tugas
administratif yang besar. Mereka menekankan adanya
sistem kerja dengan garis koordinasi yang tegas. Konsep
Blau dan Page juga menegaskan bahwa birokrasi tidak
hanya dikenal dalam organisasi pemerintah saja, tetapi juga
pada semua organisasi besar seperti angkatan bersenjata
(militer) dan organisasi niaga dan swasta

4) Max Weber

Menurut Weber, birokrasi merupakan suatu bentuk


organisasi yang ditandai oleh hierarki, spesialisasi peranan
dan tingkat kompetensi yang tinggi ditunjukkan oleh para
pejabat yang terlatih untuk mengisi peran-peran tersebut

Berdasarkan pendapat Max Weber Birokrasi bersifat


legal rasional. karena birokrasi merupakan pelaksana
pengendalian melalui pengetahuan. Sifat legal rasional
digambarkan sebagai organisasi yang terstruktur rapih dan
diatur oleh seperangkat aturan yang jelas dengan tujuan-
tujuan rasional, seperti efesien dan efektif.  Birokrasi
mampu mencapai tingkat efisiensi yang tinggi dan bentuk
administrasi yang rasional karena birokrasi merupakan
pelaksana pengendalian melalui pengetahuan

2.1.2 Pengertian Profesional


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) Profesional
diartikan sebagai sesuatu yang memerlukan kepandaian khusus
atau keahlian dalam menjalankan profesi nya. Profesional yaitu
serangkaian keahlian yang dipersyaratkan untuk melakukan suatu
pekerjaan yang dilakukan secara efisien dan efektif dengan tingkat
keahlian yang tinggi dalam rangka untuk mencapai tujuan
pekerjaan yang maksimal.

Berdasarkan Kamus Webster Amerika menegaskan bahwa


profesionalisme merupakan suatu tingkah laku, suatu tujuan atau
rangkaian kualitas yang menandai atau melukiskan coraknya
(Anoraga, 2009), Profesionalisme sangat mencerminkan sikap
seseorang terhadap pekerjaan apapun jenis profesinya. Menurut
Abeng (dalam Moeljono,2003) Profesional terdiri atas tiga unsur,
diantaranya Knowledge, Skill dan Integrity. Dari ketiga unsur
tersebut harus dilandasi dengan iman yang teguh dan pandai
bersyukur serta kesediaan untuk belajar terus-menerus. Menurut
Siagian (dalam Kurniawan, 2005) Profesionalisme yaitu keandalan
dalam pelaksanaan tugas sehingga terlaksana dengan mutu /
kualitas yang baik, waktu yang tepat, cermat dan dengan prosedur
yang mudah dipahami dan diikuti oleh pelanggan atau masyarakat.

Suatu organisasi atau lembaga baik yang berorientasi publik


maupun privat, membutuhkan adanya profesionalitas dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Terutama lembaga
sektor publik yang merupakan lembaga penyelenggaraan
kesejahteraan umum. Soebandi (2002:64) dalam Radhman (tt:5)
menyatakan bahwa profesionalisme adalah suatu tingkah laku, atau
suatu tujuan atau rangkaian kualitas yang menandai/melukiskan
coraknya atau profesi. Hal ini berarti profesionalisme adalah
kemampuan kompetensi dari seseorang dalam bertindak dan
bertingkah laku sesuai dengan profesinya. Salah satu bentuk
penerapan profesionalisme yakni dalam birokrasi.

Profesionalisme diperlukan dalam menjalankan suatu profesi


demi tercapainya tujuan organisasi tanpa memandang suka atau
tidak dalam melakukan suatu pekerjaan tersebut. Oleh karena itu,
perlu diketahui ciri-ciri untuk mengetahui profesionalitas para
pegawai. Fadilah (2012) mengidentifikasi ciri-ciri seberapa
profesionalkah seorang pegawai, diantaranya :

1) Memiliki keterampilan yang tinggi dalam suatu bidang serta


kemahiran dalam menggunakan peralatan tertentu yang
diperlukan dalam pelaksanaan tugas yang bersangkutan.

2) Memiliki ilmu dan pengalaman serta kecerdasan dalam


menganalisis suatu masalah dan peka di dalam membaca situasi
cepat dan tepat serta cermat dalam mengambil keputusan
terbaik atas dasar kepekaan.

3) Memiliki sikap berorientasi ke depan sehingga punya


kemampuan mengantisipasi perkembangan lingkungan kerja
yang akan dihadapinya.

4) Memiliki sikap mandiri berdasarkan keyakinan akan


kemampuan pribadi serta terbuka menyimak dan menghargai
pendapat orang lain, namun cermat dalam memilih yang
terbaik bagi diri dan perkembangan pribadinya.
2.1.3 Karakteristik Idealis Birokrasi
Ilmuwan yang sangat berpengaruh dalam pengembangan teori
birokrasi adalah Max Weber, seorang sosiolog jerman yang juga
ahli hukum. Pemaknaan birokrasi sebagai organ pelayanan publik
tentunya merupakan pemaknaan yang sifatnya idealis, bahkan tak
salah jika Max Weber memandang birokrasi sebagai organisasi
yang rasional yang memiliki ciri khas (ideal type model of
bureaucracy) yaitu sebagai berikut :

1) Adanya pembagian kerja untuk masing-masing pegawai


(division of labour) yang telah ditetapkan secara jelas dan
dilaksanakan oleh masing-masing pegawai yang benar-benar
memiliki keahlian khusus (specialized experts) dan
bertanggungjawab bagi tercapainya tujuan organisasi secara
efektif.

2) Adanya prinsip hierarki dalam organisasi (the principle of


hierarchy), dimana struktur organisasi yang ada di bawah
berada dalam kontrol dan pengendalian struktur organisasi
yang lebih tinggi. Oleh karena itu setiap pejabat dalam hirerarki
bertanggungjawab terhadap atasan masing-masing atas
keputusan bawahannya dan juga atas tindakan-tindakannya
sendiri. Walaupun masing-masing orang yang berada pada
jenjang organisasi mempunyai otoritas-birokratis tetapi
penggunaan otoritas itu tetap harus relevan dengan tugas-tugas
resmi organisasi.

3) Pelaksanaan tugas diatur oleh sistem peraturan yang terus


menerus diberlakukan secara konsisten (system of rules).
Sistem ini dimaksudkan untuk mempertahankan uniformitas
yang terdapat dalam kinerja setiap tugas dan rasa
tanggungjawab masing-masing anggota organisasi bagi
pelaksanaan tugasnya.
4) Pejabat yang ideal adalah pejabat yang bekerja atas semangat
“formalistic impersonality” atau “sine ira et studio” yaitu
bekerja atas dasar ketidakberpihakan kepada siapapun.
Hubungan pejabat dan klien bersifat tidak pribadi agar
pekerjaan dapat terlaksana secara efisien. Selain itu juga
dimaksudkan untuk memberikan perlakuan yang adil bagi
semua orang dan persamaan pelayanan administrasi.

5) Adanya sistem karier (carrier system) dalam pekerjaan, ini


berarti bahwa penerimaan pegawai didasarkan pada hasil
seleksi (kualifikasi professional) dan promosi didasarkan atas
senioritas atau prestasi atau menurut keduanya dan sesuai
dengan hasil penilaian atasannya. Sistem ini mendorong
tumbuhnya loyalitas terhadap organisasi dan semangat
kerjasama (esprit de corps) diantara anggota-anggotanya.

Selain itu, Max Weber juga mengemukakan tiga tipe ideal dari
otorita, diantaranya :

1) Otorita Tradisional : meletakan dasar-dasar legitimasi pada pola


pengawasan sebagaimana diberlakukan di masa lampau yang
kini masih berlaku.

2) Otorita Kharismatik : Otorita ini timbul karena penghambaan


seseorang kepada individu yang memiliki hal-hal yang tidak
biasa.

3) Otorita Legal-Rasional : didasarkan atas aturan yang bersifat


tidak pribadi, impersonal yang ditetapkan secara legal yaitu
didasarkan pada aturan-aturan yang pasti, dan seleksi pegawai
atas dasar kompetensi teknis. Birokrasi yang mempunyai ciri-
ciri di atas adalah birokrasi yang dapat meningkatkan efisiensi
organisasi, dan karena itu dinamakan birorasionalitas dan
biroefisiensi. Sedangkan yang lain, yang tidak dapat
menimbulkan efisiensi alias pemborosan disebut sebagai
biropatologi.

Karakteristik birokrasi model Max Weber di atas memang sangat


ideal yang tentu saja realitasnya cukup sulit dicapai sehingga
banyak menimbulkan kritik. Kritik yang dilancarkan terhadap
birokrasi ini umumnya disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :

 Terdapatnya kegagalan menentukan wewenang dan


tanggungjawab secara terbuka,

 Peraturan-peraturan yang bersifat rutin dan kaku,

 Kekurangmampuan para pegawai atau aparatur,

 Gerak pegawai atau aparatur yang lamban,

 Prosedur dan proses yang berbelit-belit serta pemborosan.

2.1.4 Perkembangan Birokrasi


1) Masa Pra-Kolonial

Pada zaman kerajaan, para raja membentuk birokrasi bukan


untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan pemerintah.
Birokrasinya disebut “Birokrasi Abdi Dalem”. Keberadaannya
dalam suatu sistem untuk kepentingan memperkuat kekuasaan
raja. Karena coraknya seperti ini ketergantungan kepada
kekuasaan tunggal raja sangat besar. Sifat seperti ini selalu
membuat birokrasi kerajaan sangat “paternalistic” dan terikat
pada tata cara yang telah digariskan oleh raja. Kepada rakyat
bukan melayani akan tetapi cenderung menekan melalui upeti,
atau pajak.

Secara umum, struktur masyarakat Jawa terbagi kedalam


dua lapisan, yaitu golongan priyayi dan wong cilik (rakyat
jelata). Golongan priyayi terdiri atas pejabat tinggi pusat,
sedangkan wong cilik adalah rakyat jelata yang tidak memiliki
kekuasaan apa-apa. Hubungan antara golongan priyayi dan
wong cilik adalah patronclient, artinya golongan priyayi
bertindak sebagai majikan yang mempunyai hak-hak istimewa
sementara wong cilik adalah kawula yang harus melayani
mereka. Pola hubungan birokrasi semacam itu disebut
patrimonial, karena raja merupakan tuan tertinggi yang semua
“kebijaksanaannya” harus dipatuhi tanpa boleh ditentang
pejabatnya, dan antar strata pejabat atas sampai terendah juga
mengharuskan kepatuhan yang sama. Dalam hal ini, yang
menentukan adalah “Patron”.

Adapun karakteristik birokrasi masa kerajaan diantaranya :

 Lapisan masyarakat bersifat tertutup (closed social


stratification)

 Kekuasaan dan wewenang dengan paksaan, kepatuhan


terhadap segala tindakan dan kemauan penguasa, juga
atas dasar kepercayaan dan pemujaan.

 Raja sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan


selalu didampingi oleh ahli-ahli pemerintahan;
penempatan keluarga dalam posisi penting, penempatan
putra pejabat di istana sebagai abdi keraton.

 Perjalanan raja keliling daerah secara teratur,


penempatan agen-agen terpercaya di daerah, memiliki
orang jaminan (personal guarantees), mengawasi
pejabat dengan menggunakan mata-mata atau telik
sandi.

2) Masa Kolonial
Pada masa penjajahan, terutama ketika Belanda menguasai
Indonesia selama lebih kurang tiga setengah abad (350 tahun),
tata cara dan struktur pemerintahan tetap dipertahankan bahkan
disesuaikan dengan sistem birokrasi modern pada tingkat yang
lebih tinggi yaitu setingkat Residen dan Gubernur. Struktur
birokrasi untuk kepentingan elit penguasa sampai ke desa-desa
tidak berubah.

Pola pemerintahan bersifat tidak langsung (indirect ruler)


yakni melalui perantaraan pejabat pribumi (golongan priyayi)
yang dibujuk dengan uang dan kekayaan terkadang dengan
tekanan, untuk menjalankan kekuasaan Belanda. Politik
kolonial Belanda dengan memanfaatkan para pejabat peribumi
(golongan priyayi) tampaknya berhasil, karena para pejabat
bentukan Belanda tersebut memperoleh legitimasi baru untuk
memperkokoh pengaruh di kerajaan.

Dalam perkembangan selanjutnya, tatanan pemerintahan


tersebut membentuk korps kepegawaian belanda (Termasuk
pejabat pribumi) yang menunjukkan adanya suatu struktur
birokrasi sebagai berikut :

a) Untuk mengurus atau melayani belanda dan eropa lainnya


penggolongan birokrasinya disebut Eropsche Bestuur.

b) Untuk mengurus atau melayani orang arab dan cina,


penggolongan birokrasinya disebut Oosterlingen (timur
asing).

c) Untuk mengurus atau melayani masyarakat pribumi


(inlander), penggolongan birokrasinya disebut Pangreh
Praja.

Adapun Ciri-ciri birokrasi masa Kolonial dapat diklasifikasikan


sebagai berikut:
1. Adanya Lapisan sosial; dimana bumi putera berada pada
posisi lapisan bawah dan perannya sangat kecil dalam
birokrasi

2. Birokrat berfungsi sebagai agen pemerintah kolonial yang


berhadapan dengan rakyat pribumi. Birokrasi semata-mata
berfungsi hanya sebagai jembatan antara penjajah dan
rakyat pribumi.

3. Adanya sistem administrasi ganda (a dual system of


administration). Maksudnya, di satu sisi sistem administrasi
dijalankan pejabat pemerintahan dari orang-orang barat
dengan sistem kolonial, dan di sisi lain tetap
mempertahankan birokratisasi patrimonial atau tradisional
namun tetap diwarnai prinsip-prinsip colour lines, race
discrimination dan dominasi

3) Masa Kemerdekaan (Masa Republik Indonesia)

Dalam konteks Indonesia merdeka, paling tidak ada lima


periode pemerintahan yang memberi warna tersendiri yaitu
masa awal kemerdekaan, masa demokrasi liberal, masa
demokrasi terpimpin (orde lama), dan masa orde baru, masa
reformasi. Namun dalam pembahasan bagian ini, kita belum
berbicara mengenai birokrasi masa reformasi.

 Masa Awal Kemerdekaan (1945-1949)

Selama awal kemerdekaan, birokrasi belum berjalan


sebagaimana mestinya, dan banyak pegawai terpecah
belah antara para pegawai pemerintah Belanda yang
memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dan pegawai
pemerintah republik Indonesia dengan keterampilan dan
pendidikannya yang rendah. Namun ada beberapa hal
positif yang menjadi warisan kolonial yang masih kita
pakai sampai saat ini, antara lain adalah struktur
organisasi birokrasi yang telah tertata baik seperti
provinsi, gementee (kota), Gewest (karesidenan),
kabupaten (afdengilen); di bidang hukum seperti
KUHAP masih mengacu pada hukum kolonial (dalam
beberapa hal), dan seterusnya; struktur dan jumlah
pegawai negeri (birokrasi) yang cukup besar.

 Masa Demokrasi Liberal (1950 -1959)

Masa Demokrasi Liberal ditandai oleh keluarnya


maklumat pemerintah tentang pembentukan partai-
partai politik yang berakibat munculnya banyak partai
politik (sistem multipartai). Pada masa tahun 1950 -
1959, birokrasi menjadi incaran partai politik. Semua
partai politik pada masa ini berkeinginan menguasai
birokrasi, sementara itu birokratnya mulai bermain mata
dengan kekuatan partai politik yang ada. Gejala
“patronisasi” mulai mewarnai kehidupan birokrasi;
diwarnai oleh perebutan kekuatan antarpartai politik
sehingga pemerintahan menjadi semakin terpuruk, tidak
berjalan dan tertata lebih baik.

 Masa Demokrasi Terpimpin/Orde Lama (1959-1965)

Masa ini ditandai dengan tebitnya dekrit presiden 5


Juli 1959 untuk kembali kepada UUD 1945. Sebagai
koreksi atas keadaan birokrasi yang carut – marut
terutama kontaminasi tugas birokrasi dalam permainan
politik, maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah
Nomor 2 tahun 1959 yang isinya melarang pegawai
golongan F (golongan pejabat tinggi birokrasi) untuk
menjadi anggota suatu partai politik. Hal ini untuk
menjaga netralitas pejabat birokrasi terhadap politik
praktis. Ciri lainya adalah penambahan jumlah pegawai
yang tidak berdasarkan analisis kebutu han dan sistem
rekruitmen yang jelas tetapi melalui cara nepotisme.
Rekruitmen berbau “koncoisme” atau “jaksonism”.

 Masa Orde Baru

Pembenahan aparatur dalam masa ini diupayakan


dengan melakukan perubahan birokrasi ke arah
birokrasi yang bertanggung jawab melalui pengaturan
perundangan yang cukup terperinci. Antara lain,
pembentukan Korps Pegawai Republik Indonesia
(KOPRI), melalui keputusan presiden No 82 tahun 1971
sebagai wadah pembinaan di luar kedinasan untuk
menjamin keutuhan dan kekompakan.

Kemudian pada tahun 1972 dibentuk sebuah


lembaga yaitu Kantor Urusan Pegawai (KPU) untuk
pembinaan pegawai berikut administrasi kepegawaian
pemerintah, dan keluarnya regulasi kepegawaian yaitu
Undang-Undang No 8 tahun 1974 yang mencakup
perbaikan pola rekruitmen pegawai, sistem penggajian,
disiplin dan penerapan sanksi. Termasuk upaya
penataan kelembagaan, diferensiasi tugas dan fungsi,
dan pembentukan mekanisme kontrol organisasi yang
ketat. Peran dan fungsi birokrasi ditempatkan sebagai
instrument (alat) andal dan dipercaya untuk berperan
mengamankan dan mengimplementasikan setiap
kebijakan politik pemerintah. Birokrasi berperan
sebagai mobilisator, stabilisator dan dinamisator dalam
pembangunan. Ciri birokrasinya adalah :
1. Lebih berorientasi melayani pemerintah daripada
melayani masyarakat.

2. Para birokrat juga memiliki kemampun


menggunakan prosedur peraturan perundangan-
undangan dan berbagai petunjuk pelaksanaan
(juklak) atau petunjuk teknis (juknis) dalam public
services atau memberikan pelayanan kepada
masyarakat.

3. Lekatnya birokrasi dengan politik. Contoh pengurus


KOPRI tidak menolak upaya GOLKAR sebagai
organisasi politik terbesar di masa Orde Baru
menjadikan pilar utama GOLKAR dengan jalur B
(Birokrasi). Kemudian melalui PEMILU 1987,
KOPRI melalui musyawarah nasionalnya
memutuskan menyalurkan aspirasi politiknya
kepada GOLKAR. Sehingga sejak tahun 1965 –
1997, birokrasi semakin jelas memihak (tidak
netral) kepada salah satu kekuatan politik yang
dominan (Golkar).

2.1.5 Fungsi Birokrasi


Dalam pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan
pembangunan, fungsi pemerintah adalah melayani, mengatur dan
memberdayakan masyarakat. adalah melayani, mengatur dan
memberdayakan masyarakat. Fungsi – fungsi tersebut adalah:

1) Pengaturan yang meliputi perumusan kebijakan umum,


perumusan kebijakan pelaksanaan serta kebijaksanaan teknis
sesuai dengan kebijakan umum.

2) Pelayanan dan perijinan yang terbagi menjadi:

a. Pelayanan Publik (Public Service)


b. Penyelenggara fasilitas publik (Public Fasilities)

c. Pengembangan ekonomi dan usaha daerah.

3) Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan.

4) Penyediaan dan penyebarluasan informasi.

5) Pengelolaan atas kekayaan milik negara yang dipergunakan


untuk kepentingan umum dan untuk pelaksanaan tugas pokok
yang menjadi tanggung jawabnya.

6) Pengembangan sumber daya manusia sesuai bidang tugas


pokoknya.

2.1.6 Jenis – Jenis Birokrasi


Ada tiga jenis umum birokrasi diantaranya sebagai berikut :
1) Tipe Weberian
Jenis birokrasi Weberian sangat bergantung pada penjelasan
teori Max Weber tentang birokrasi klasik. Birokrasi klasik yang
dicetuskan Max Weber ini didasarkan pada pendapat bahwa
kompleksitas kehidupan yang meningkat akan meningkatkan
pula tuntutan warga terhadap layanan pemerintahan.
Oleh karena itu, birokrasi Tipe Weberian adalah birokrasi
dengan lembaga-lembaga yang sifatnya apolitis atau terlepas
dari politik, terorganisasi secara hierarkis, dan diatur oleh
prosedur formal. Secara umum, birokrasi tipe ini kita kenal
dalam contoh aparatur sipil negara (ASN) di Indonesia yang
bekerja dengan tuntutan hierarkis dan terlepas dari pengaruh
politis.
Birokrasi Tipe Weberian memiliki tujuan untuk
menghilangkan patronase yang mengakar dan menghentikan
pengambilan keputusan bermasalah seperti sepihak dan
pengelolaan tidak bertanggung jawab oleh sekelompok pihak
tertentu.
2) Tipe Akuisisi
Selain Tipe Weberian yang dianggap sebagai birokrasi
ideal, Max Weber juga menjelaskan ada satu tipe birokrasi yang
bersifat negativistis. Beberapa negara dan pemerintahan
menerapkan tipe birokrasi akuisisi yang mengencangkan iklim
persaingan, kompetisi, dan rasa haus kekuasaan.
Birokrasi dengan tipe akuisisi ini umum dilakukan dalam
sebuah pemerintahan yang beriklim keterbukaan rendah dan
ingin mencapai tujuan tertentu dengan menggilas hajat hidup
orang lain. Birokrasi tipe ini juga umum dilakukan di suatu
wilayah dengan sumber daya terbatas, sehingga untuk
mendapatkan posisi atau jabatan tertentu, seseorang perlu
merugikan orang lain demi melancarkan pendapatnya untuk
kebijakan.
Birokrasi tipe akuisisi dapat hidup menyaru di dalam
birokrasi tipe Weberian atau ideal. Hal ini dapat dicontohkan
dengan adanya taktik tertentu bagi birokrat untuk
memaksimalkan suatu anggaran atau sumber daya agar tidak
terjadi pemotongan anggaran birokrasi di masa mendatang.
Padahal, secara ideal penghematan anggaran adalah bagian dari
birokrasi yang ideal.
3) Tipe Monopoli
Birokrasi tipe monopoli umumnya ditemukan dalam
perusahaan-perusahaan berbasis negara atau yang dimiliki
negara. Di mana birokrasi umumnya dijalankan dengan asas
keuntungan tunggal tanpa pesaing dan sebaliknya cenderung
memberikan pelayanan buruk.
Birokrasi tipe monopoli amat tertutup dan memiliki tingkat
respons klien yang rendah. Umumnya, karena tidak ada
pesaing, maka birokrasi dalam organisasi dengan tipe monopoli
akan merasa nyaman dan sewenang-wenang dalam
mengembangkan organisasinya.
Meski secara umum menerima banyak kritik atas
pemborosan, namun biasanya birokrasi jenis ini justru memiliki
layanan yang buruk bagi masyarakat. Birokrasi jenis ini
umumnya memang terjadi di sebuah perusahaan yang bersifat
layanan publik.

2.2 Akuntan Publik Sebagai Profesi


2.2.1 Pengertian Akuntan Publik
Akuntan publik, seperti halnya profesi lain merupakan profesi
yang diakui oleh pemerintah dan dilindungi oleh Undang-Undang.
Undang-Undang No.34 tahun 1954 mengatur penggunaan sebutan
Akuntan. Selain itu untuk memperoleh pengakuan sebagai Akuntan
Publik diperlukan izin dari Departemen Keuangan dengn beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi sebelumnya. Persayaratan menjadi
akuntan publik ini tercantum pada pasal 5 Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 17/PMK.01/2008.
Akuntan publik adalah sebuah profesi yang memberikan
pelayanan berupa jasa profesional dan sudah memiliki izin resmi
untuk praktik sebagai akuntan swasta secara independen. Profesi
ini mempunyai tugas yang cukup kompleks, bukan hanya
melakukan perhitungan angka, tetapi juga sebagai penghubung
aktivitas bisnis antara perusahaan dengan kliennya dan perusahaan
lain dalam proses keberlanjutan bisnis.
Ketentuan mengenai Akuntan Publik di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2011 tentang
Akuntan Publik dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
17/PMK.01/2008 tentang Jasa Akuntan Publik. Setiap akuntan
publik wajib menjadi anggota Institut Akuntan Publik Indonesia
(IAPI), asosiasi profesi yang diakui oleh Pemerintah. Perizinan
Akuntan Publik Izin akuntan publik dikeluarkan oleh Menteri
Keuangan dan berlaku selama 5 tahun (dapat diperpanjang).
Akuntan yang mengajukan permohonan untuk menjadi akuntan
publik harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1) Memiliki Sertifikat Tanda Lulus USAP yang sah yang
diterbitkan oleh IAPI atau perguruan tinggi terakreditasi oleh
IAPI untuk menyelenggarakan pendidikan profesi akuntan
publik.
2) Apabila tanggal kelulusan USAP telah melewati masa 2 tahun,
maka wajib menyerahkan bukti telah mengikuti Pendidikan
Profesional Berkelanjutan (PPL) paling sedikit 60 Satuan
Kredit PPL (SKP) dalam 2 tahun terakhir.
3) Berpengalaman praktik di bidang audit umum atas laporan
keuangan paling sedikit 1000 jam dalam 5 tahun terakhir dan
paling sedikit 500 (lima ratus) jam diantaranya memimpin
dan/atau mensupervisi perikatan audit umum, yang disahkan
oleh Pemimpin/Pemimpin Rekan KAP (Kantor Akuntan
Publik)

2.2.2 Bidang Jasa Akuntan Publik


Kantor Akuntan Publik merupakan badan usaha yang bergerak
di bidang jasa, jasa yang diberikan oleh KAP dibagi menjadi 2
kategori utama yaitu Jasa Penjaminan (Assurance Services) dan
Jasa Bukan Penjaminan (Non-Assurance Services).

1) Jasa Penjaminan (Assurance Service)

Jasa penjaminan adalah jasa profesional independen yang


meningkatkan mutu informasi bagi pengambil keputusan.
Pengambil keputusan memerlukan informasi yang andal dan
relevan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan.
Profesional yang memberikan atau menyediakan jasa
penjaminan harus memiliki kompetensi dan independensi
berkaitan dengan informasi yang diperiksanya. Jasa
penjaminan dapat diberikan oleh profesi akuntan publik atau
auditor independen dan berbagai profesi lainnya. Salah satu
jenis jasa penjaminan yang diberikan oleh profesi akuntan
publik atau auditor independen adalah jasa atestasi.

a) Jasa Atestasi

Jasa Asestasi adalah jenis jasa penjaminan yang


dilakukan profesi akuntan publik atau auditor independen
dengan menerbitkan suatu laporan tertulis yang menyatakan
kesimpulan tentang keandalan pernyataan tertulis yang
dibuat oleh pihak lain. Ada tiga bentuk jasa atestasi, yaitu :

1) Audit atas Laporan Keuangan Historis

Audit atas laporan keuangan historis adalah


salah satu bentuk jasa atestasi yang dilakukan
auditor. Dalam pemberian jasa ini auditor
menerbitkan laporan tertulis yang berisi pernyataan
pendapat (opinion) apakah laporan keuangan telah
disusun sesuai dengan Prinsip Akuntansi Berterima
Umum (PABU).

Auditing merupakan bentuk pemberian jasa


penjaminan yang paling banyak dilakukan oleh
profesi akuntan publik atau auditor independen
dibandingkan dengan jasa penjaminan lainnya.

2) Penelaahan (Review) atas Laporan Keuangan


Historis

Penelaahan (Review) atas laporan keuangan


historis adalah jenis lain dari jasa atestasi yang
diberikan oleh profesi akuntan publik atau auditor
independen. Banyak perusahaan non-publik
menginginkan jaminan atas laporan keuangannya
dengan biaya yang lebih murah.
Audit sebagaimana diuraikan di atas
menghasilkan jaminan yang tinggi, sedangkan
penelaahan (review) hanya menghasilkan jaminan
yang moderat atas laporan keuangan, dan untuk
mendapatkan jaminan demikian dibutuhkan bukti
yang lebih sedikit.

Penelaahan (review) untuk keperluan tertentu


dipandang sudah cukup memadai dan dapat
dilakukan oleh akuntan publik atau auditor
independen dengan biaya auditing yang lebih
murah.

3) Jasa Atestasi Lainnya

Profesi akuntan publik atau auditor independen


dapat memberikan berbagai macam jasa atestasi.
Kebanyakan dari jasa atestasi tersebut merupakan
perluasan dari auditing atas laporan keuangan,
karena pemakai laporan membutuhkan jaminan
independen tentang informasi lainnya (selain
informasi dalam laporan keuangan).

Contohnya yaitu bank sering minta kepada


debiturnya (pengambilan kredit) agar diperiksa oleh
akuntan publik atau auditor independen untuk
mendapatkan jaminan bahwa debitur telah
melaksanakan ketentuan-ketentuan tertentu
sebagaimana tercantum dalam akad kredit. Profesi
akuntan publik atau auditor independen dapat juga
melakukan atestasi atas laporan keuangan prospektif
kliennya yang sering diperlukan sebagai syarat
untuk memperoleh pinjaman.
Dalam penugasan jasa penjaminan semacam ini,
jaminan diberikan atas keandalan dan relevansi
informasi yang dinyatakan atau tidak dinyatakan
oleh pihak lain. Karakteristik umum jasa
penjaminan, termasuk auditing dan jasa atestasi
lainnya, dititikberatkan pada perbaikan kualitas
informasi yang dipakai para pengambil keputusan.

2) Jasa Bukan Penjaminan (Non-Assurance Services).

Jasa bukan penjaminan adalah jasa yang diberikan oleh


akuntan publik atau auditor independen yang didalamnya ia
tidak memberikan suatu pendapat, keyakinan negatif, ringkasan
temuan, atau bentuk lain keyakinan. Profesi akuntan publik
atau auditor independen juga memberikan berbagai jenis jasa
lain yang pada umumnya tidak atau bukan merupakan jasa
penjaminan. Jenis jasa bukan penjaminan yang diberikan oleh
akuntan publik atau auditor independen adalah jasa akuntansi
dan pembukuan, jasa perpajakan, dan jasa konsultasi
manajemen.

2.2.3 Tugas dan Tanggung Jawab Akuntan Publik


Akuntan Publik memiliki Tugas dalam menunaikan pekerjaan
sebagai profesional diantaranya sebagai berikut :

a) Memeriksa laporan keuangan perusahaan yang sudah dibuat


oleh akuntan perusahaan tersebu

b) Menyampaikan informasi laporan keuangan perusahaan secara


transparan kepada publik

c) Membantu perusahaan dalam membuat laporan pajak agar


membayar pajak seminimal mungkin
d) Memberikan solusi keuangan kepada perusahaan agar
perusahaan bisa membuat keputusan yang tepat

e) Memberikan informasi kepada perusahaan tentang cara


mengalokasikan sumber-sumber terbatas

f) Memeriksa laporan kepemilikan terhadap aset perusahaan agar


terhindar dari penyitaan aset.

Menurut Accounting Standars Board (2002) profesi akuntan


publik (Auditor Independen) memiliki tanggung jawab yang sangat
besar dalam mengemban kepercayaan yang diberikan kepadanya
oleh masyarakat (Publik). Terdapat 3 tanggung jawab Akuntan
Publik dalam menunaikan pekerjaannya, yaitu :

1) Tanggung Jawab Moral (Moral Responsibility)

Akuntan publik harus memiliki tanggung jawab moral


untuk memberi informasi secara lengkap dan jujur mengenai
perusahaan yang diaudit kepada pihak yang berwenang atas
informasi tersebut walaupun tidak ada sanksi terhadap
tindakannya, serta mengambil keputusan yang bijaksana dan
objektif dengan kemahiran profesional (due professional care).

2) Tanggung Jawab Profesional (Professional Responsibility)

Akuntan publik harus memiliki tanggung jawab profesional


terhadap asosiasi profesi yang mewadahinya (Rule
Professional Conduct).

3) Tanggung Jawab Hukum (Legal Responsibility)

Akuntan publik harus memiliki tanggung jawab diluar batas


standar profesinya yaitu tanggung jawab terkait dengan hukum
yang berlaku. Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang
diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dalam standar
Auditing yang mengatur tentang “Tanggung jawab dan Fungsi
Auditor Independen”.

Standar tersebut antara lain dinyatakan bahwa auditor


bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan
audit untuk memperoleh keyakinan memadai tentang apakah
laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang
disebabkan atas kekeliruan atau kecurangan. Oleh karena sifat
bukti audit dan karakteristik kecurangan, Auditor tidak
bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan
audit guna memperoleh keyakinan bahwa salah saji terdeteksi,
baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan yang
tidak material terhadap laporan keuangan.

2.2.4 Akuntan Publik dalam Pasar Modal


Berdasarkan buku Hukum Pasar Modal, Akuntan Publik dalam
pasar modal mempunyai peran untuk mengungkapkan informasi
keuangan perusahaan, mengaudit laporan keuangan emiten, dan
memberikan pendapat atas data yang terdapat di dalam laporan
keuangan tersebut. Berdasarkan data yang terdapat dalam laporan
keuangan, akuntan publik akan memberikan pendapat (Opini
Akuntan) yang dikategorikan menjadi empat, diantaranya :
1) Unqualified Opinion (Wajar Tanpa Pengecualian)
Disebut juga clean opinion, pendapat tanpa cacat,
pendapatan bersih, atau pendapat WTP (Wajar Tanpa
Pengecualian). Pendapat ini diberikan akuntan publik apabila
laporan keuangan secara umum menggambarkan posisi
keuangan dengan hasil usaha yang wajar, didasarkan pada
penerapan standar akuntansi yang berlaku umum dan
diterapkan secara konsisten.
2) Qualified Opinion (Wajar Dengan Pengecualian)
Disebut juga pendapat wajar dengan pengecualian,
pendapat wajar dengan catatan, pendapat bersyarat, atau
pendapat kualifikasi. Akuntan publik akan memberikan
pendapat semacam ini apabila ia menilai bahwa laporan
keuangan telah disajikan secara wajar dan disusun sesuai
standar akuntansi keuangan dilihat dari keseluruhan laporan.
Namun, terdapat hal-hal tertentu yang tidak dapat diterima oleh
akuntan yang sifatnya materiil atau karena adanya catatan atau
pembatasan atau pengecualian tertentu.

3) Adverse Opinion (Pendapat Tidak Wajar)


Akuntan publik akan memberikan pendapat tidak wajar
apabila laporan keuangan secara umum menggambarkan posisi
yang tidak wajar, baik karena banyak perkiraan atau jumlah
yang menjadi masalah, maupun karena penerapan prinsip
akuntansi lainnya. Pendapat ini diberikan apabila dalam
pemeriksaan terdapat penyimpangan yang signifikan dengan
standar akuntansi keuangan.
4) Disclaimer Opinion (Pernyataan Tidak Memberikan
Pendapat)
Pendapat ini merupakan pendapat akuntan yang menolak
memberikan pendapat atas laporan keuangan perusahaan yang
diperiksanya. Penolakan untuk memberikan pendapat
dilakukan apabila akuntan publik merasa pemeriksaannya tidak
cukup mendukung untuk memberikan suatu pendapat atas
laporan keuangan atau merasa dirinya tidak cukup independen
dalam memberikan pendapat atas laporan keuangan secara
profesional
2.3 Riset Empiris Perspektif Konflik
2.3.1 Pengertian Riset Empiris
Penelitian atau Riset adalah suatu proses investigasi yang
dilakukan dengan aktif, tekun dan sistematis untuk menemukan,
menginterpretasikan dan merevisi fakta-fakta. Penelitian juga bisa
diartikan sebagai suatu proses logis untuk mendapatkan jawaban
dari pertanyaan yang diajukan menggunakan informasi empiris.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Empiris


adalah sesuatu yang berdasarkan pengalaman, terutama
pengalaman yang diperoleh melalui penemuan, percobaan atau
pengamatan. Maka, Penelitian Empiris bisa diartikan sebagai ilmu
pengetahuan sosial, yakni suatu pengelompokan ilmu pengetahuan
yang fokus pada penelitian perilaku manusia dan lingkungan.
Tetapi, berbeda dengan ilmu pengetahuan alam atau sains yang
meneliti alam dan gejalanya.

Penelitian empiris merupakan metode penelitian dilakukan


menggunakan bukti-bukti empiris. Bukti empiris inilah sebagai
informasi yang diperoleh melalui observasi atau eksperimen. Para
ilmuwan memperoleh bukti empiris itu dengan cara merekam dan
menganalisis data. Kemudian, bukti empiris ini dikumpulkan
menggunakan metode penelitian kuantitatif maupun kualitatif.

Adapun definisi Riset Empiris menurut beberapa Ahli,


diantaranya :

1) Amiruddin dan Zainal Asikin (2004)


Menurut Amiruddin dan Zainal Asikin, Riset Empiris
berfokus meneliti suatu fenomena atau keadaan dari objek
penelitian secara detail dengan menghimpun kenyataan yang
terjadi dan mengembangkan konsep yang ada.
2) Yesmil Anwar dan Adang (2005)
Menurut Yesmil Anwar dan Adang, Riset Empiris
merupakan suatu ilmu pengetahuan yang didasarkan pada akal
sehat, tidak spekulatif dan berdasarkan observasi terhadap
kenyataan.
3) Hilman Hadikusuma (1995)
Menurut Hilman Hadikusuma, Riset Empiris merupakan
suatu penelitian yang sifatnya menjelajah (eksplorator),
melukiskan (deskriptif), dan menjelaskan (eksplanatori).
4) Izzatur Rusuli (2015)
Izzatur Rusuli berpendapat, Riset Empiris merupakan suatu
gagasan yang sifatnya rasional dengan cara dibentuk serta
diperoleh individu melalui pengalaman. Jadi kesimpulannya,
empiris ini merupakan suatu ilmu pengetahuan berdasarkan
kejadian atau peristiwa nyata yang pernah dialami oleh panca
indra manusia yang diperoleh dari pengamatan, pengalaman
serta eksperimen yang sudah dilakukan. Empiris ini juga tidak
terlepas dari empirisme.

2.3.2 Teori Terkait Riset Empiris Perspektif Konflik


1) Theory of Reasoned Action atau Teori Aksi Rencana
Theory of Reasoned Action (TRA) adalah suatu teori yang
berhubungan dengan sikap dan perilaku individu dalam
melaksanakan kegiatan. Menurut Fishbein dan Ajzen (1975)
dalam Sugihanti (2011) teori tindakan beralasan adalah teori
yang menjelaskan bahwa minat dari seseorang untuk
melakukan (atau tidak melakukan) suatu perilaku merupakan
penentu langsung dari tindakan atau perilaku.
Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) dalam Sugihanti
(2011), teori tindakan beralasan menjelaskan tahapan manusia
melakukan perilaku. Pada tahap awal, perilaku diasumsikan
ditentukan oleh minat. Pada tahap berikutnya minat dapat
dijelaskan dalam bentuk sikap terhadap perilaku dan norma-
norma subjektif. Tahap ketiga mempertimbangkan sikap dan
norma subjektif dalam bentuk kepercayaan - kepercayaan
tentang konsekuensi melakukan perilakunya dan tentang
ekspektasi - ekspektasi normatif dari orang yang direferensi
(referent) yang relevan. Secara keseluruhan, berarti perilaku
seseorang dapat dijelaskan dengan mempertimbangkan
kepercayaan-kepercayaannya.
Contoh Theory of Reasoned Action ini relevan untuk
menjelaskan tentang minat penggunaan e-filing. Dimana minat
wajib pajak dalam menggunakan e-filing merupakan penentu
langsung wajib pajak tersebut menggunakan atau tidak
menggunakan e-filing untuk pelaporan pajak terhutangnya.

2) Technology Acceptance Model (TAM)


Technology Acceptance Model (TAM) adalah suatu model
untuk memprediksi dan menjelaskan bagaimana pengguna
teknologi menerima dan menggunakan teknologi tersebut
dalam pekerjaan individual pengguna. Technology Acceptance
Model (TAM) yang dikembangkan oleh David F.D (1989)
merupakan salah satu model yang paling banyak digunakan
dalam penelitian Sistem Informasi (SI) karena model ini lebih
sederhana, dan mudah diterapkan.
Model TAM sebenarnya diadopsi dari model The Theory of
Reasoned Action (TRA), yaitu teori tindakan yang beralasan
yang dikembangkan oleh Fishbe dan Ajzen (1975). Dengan
satu premis bahwa reaksi dan persepsi seseorang terhadap suatu
hal akan menentukan sikap dan perilaku orang tersebut.
Model TAM menempatkan faktor sikap dari tiap-tiap
perilaku pengguna dengan dua variabel yaitu Kemanfaatan
(usefulness) dan Kemudahan penggunaan (ease to use) sebagai
instrumen untuk menjelaskan varian pada minat pengguna
(user’s intention). Kemanfaatan (usefulness) didefinisikan
sebagai tingkat kepercayaan pengguna bahwa dengan
menggunakan sistem, maka pengguna akan dapat
meningkatkan kinerja mereka. Sedangkan Kemudahan
Penggunaan (ease touse) didefinisikan sebagai tingkat
kepercayaan pengguna bahwa sistem dapat digunakan dengan
mudah dan dapat dipelajari sendiri.
Teori TAM relevan menjelaskan persepsi kemudahan dan
persepsi kegunaan yaitu menyinggung bahwa wajib pajak akan
menggunakan sistem e-filing jika wajib pajak tersebut memiliki
persepsi bahwa e-filing memberikan kemudahan dan kegunaan
saat digunakan sebagai sarana pelaporan pajaknya.

3) Task Technology Fit (TTF)


Task Technology Fit (TTF) dikembangkan oleh Goodhue
dan Thompson (1995). Task Technology Fit (TTF) menjelaskan
bagaimana teknologi berdampak dalam membantu individu
mengerjakan tugas. Secara langsung teori ini berpegang bahwa
teknologi memiliki dampak positif terhadap kinerja individu
dan dapat digunakan jika kemampuan teknologi tersebut cocok
dengan tugas-tugas yang harus dihasilkan oleh pengguna.
Task Technology Fit (TTF) merupakan korespondensi
antara antara tugas, kemampuan individu, dan fungsi teknologi.
Artinya kemampuan individu dalam menyelesaikan tugas
tersebut didukung adanya fungsi dari teknologi. Menurut
Goodhue dan Thomson (1995) dalam Nurjannah (2017)
keberhasilan sistem informasi suatu perusahaan bergantung
pada pelaksanaan sistem tersebut, kemudahan bagi pemakai,
dan pemanfaatan teknologi yang digunakan.
Task Technology Fit relevan menjelaskan persepsi
kegunaan dan keamanan dan kerahasiaan yaitu menyinggung
bahwa Wajib Pajak akan menggunakan sistem e-filing karena
sistem e-filing tersebut dirasakan memberikan manfaat yang
positif bagi para Wajib Pajak tersebut sehingga persepsi
kegunaan berpengaruh terhadap penggunaan atau penggunaan
secara berkelanjutan (intensitas) menjelaskan pula keamanan
dan kerahasiaan berpengaruh terhadap minat penggunaan E-
Filing sebagai sarana pelaporan pajaknya.
4) Teori Kepatuhan (Compliance Theory)
Dalam kepatuhan yang dinilai adalah ketaatan semua
aktivitas sesuai dengan kebijakan, aturan, ketentuan dan
undang-undang yang berlaku. Selain itu, kepatuhan
menentukan apakah pihak yang berkaitan telah mengikuti
prosedur, standar, dan aturan tertentu yang ditetapkan oleh
pihak yang berwenang. Menurut Dewi, dkk (2018), kepatuhan
adalah motivasi seseorang, kelompok atau organisasi untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan aturan yang
ditetapkan. Kepatuhan (Compliance) bisa dikategorikan ke
dalam dua hal:
a) Administrative compliance, merupakan bentuk kepatuhan
terhadap aturan-aturan administratif seperti pengajuan
pembayaran yang tepat waktu.
b) Technical compliance, merupakan kepatuhan Wajib Pajak
terhadap teknis pembayaran pajak, misalnya pajak dihitung
sesuai dengan ketentuan teknis dari UU perpajakan

Menurut Nowak (2005: 31), kepatuhan wajib pajak adalah


suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban
atas perpajakan, tercermin dalam situasi di mana wajib pajak
paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan
perundangundangan perpajakan, mengisi formulir pajak dengan
jelas dan lengkap, menghitung jumlah pajak yang terutang
dengan benar dan membayar pajak yang terutang tepat pada
waktunya.

Dengan demikian tingkat kepatuhan wajib pajak dapat


diukur dengan Tax Gap yaitu perbedaan antara apa yang
tersurat dalam peraturan perpajakan dengan apa yang
dilaksanakan oleh wajib pajak. Tax gap dapat pula diartikan
sebagai perbedaan antara seberapa besar pajak yang dapat
dikumpulkan dengan besar pajak yang seharusnya terkumpul.

Salah satu cara yang dilakukan pemerintah dengan


mengeluarkan kebijakan program pengampunan pajak (tax
amnesty). Hal tersebut dilakukan agar wajib pajak melakukan
pengungkapan atas harta yang dimiliki, menghitung dan
membayar tebusan sesuai dengan Undang-Undang No. 11
Tahun 2016. Hal ini sesuai dengan teori kepatuhan
(Compliance theory).

5) Teori Atribusi (Attribution Theory)


Atribusi merupakan salah satu proses pembentukan kesan.
Atribusi mengacu pada bagaimana orang menjelaskan
penyebab perilaku orang lain atau dirinya sendiri. Atribusi
adalah proses di mana orang menarik kesimpulan mengenai
factor-faktor yang mempengaruhi perilaku orang lain
(Fikriningrum, 2012).
Teori atribusi relevan untuk menjelaskan kemauan wajib
pajak untuk mengikuti program pengampunan pajak dengan
mendeklarasikan hartanya dan membayar tebusan yang
dikaitkan dengan persepsi wajib pajak dalam membuat
penilaian terhadap pajak itu sendiri. Dimana kondisi internal
maupun eksternal dari orang tersebut mempengaruhi persepsi
seseorang untuk membuat penilaian mengenai sesuatu.
6) Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori keagenan memiliki prinsip utama berupa hubungan
kerja antara dua pihak yaitu pihak yang memberikan wewenang
(principal) dengan pihak yang menerima wewenang (agensi)
dalam suatu bentuk kerjasama yang dinamakan dengan “nexus
of contract” (Jensen dan Meckling 1976).
Teori agency berakar dari sinergi teori ekonomi, teori
keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Perspektif hubungan
keagenan merupakan dasar digunakan untuk memahami
hubungan antara manajer dan pemegang saham
Menurut Meisser, et al., (2006:7) hubungan keagenan ini
mengakibatkan dua permasalahan yaitu: terjadinya informasi
asimetris (information asymmetry), dimana manajemen secara
umum memiliki lebih banyak informasi mengenai posisi
keuangan yang sebenarya dan posisi operasi entitas dari
pemilik dan terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest)
akibat ketidaksamaan tujuan, dimana manajemen tidak selalu
bertindak sesuai dengan kepentingan pemilik. Dalam upaya
mengatasi atau mengurangi masalah keagenan ini
menimbulkan biaya keagenan (agency cost) yang akan
ditanggung baik oleh principal maupun agent.
Jensen dan Meckling (1976) membagi biaya keagenan ini
menjadi monitoring cost, bonding cost dan residual loss.
Monitoring cost adalah biaya yang timbul dan ditanggung oleh
principal untuk memonitor perilaku agent, yaitu untuk
mengukur, mengamati, dan mengontrol perilaku agent.
Bonding cost merupakan biaya yang ditangung oleh agent
untuk menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin
bahwa agent akan bertindak untuk kepentingan principal.
Selanjutnya residual loss merupakan pengorbanan yang berupa
berkurangnya kemakmuran principal sebagai akibat dari
perbedaan keputusan agent dan keputusan principal.

Anda mungkin juga menyukai