TA 2022 / 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Tugas Kelompok yang bertema
“Etika Birokrasi dan Kultur Birokrasi” ini tepat pada waktunya.
Terima kasih ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan memberikan
ide-ide atau bahan-bahan sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi. Adapun tujuan
dari pembuatan ini adalah untuk memenuhi Tugas dari Bapak Hendry Andry S.SOS, M.SI selaku
Dosen Mata Kuliah Etika Administrasi Publik. Untuk menambah wawasan selama pembelajaran
terutama bagi kami sebagai bahan referensi dan memenuhi nilai.
Namun terlepas dari itu, kami menyadari bahwa pembuatan ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, Kritik dan Saran yang membangun kami nantikan demi
kesempurnaan tugas ini.
Tim Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
2. Rumusan Masalah................................................................................................ 2
3. Tujuan.................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................... 3
3. Prilaku Birokrasi.................................................................................................. 9
4. Kinerja Birokrasi.................................................................................................. 10
6. Netraliitas Birokrasi............................................................................................. 13
1. Kesimpulan.......................................................................................................... 18
2. Saran.................................................................................................................... 19
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Birokrasi dapat digambarkan sebagai sebuah sistem atau seperangkat nilai yang memiliki
simbol, orientasi nilai, keyakinan, pengetahuan dan pengalaman kehidupan yang
terinternalisasi ke dalam pikiran.
Kultur birokrasi yang seharusnya lebih menekankan pada pelayanan publik masyarakat
ternyata tidak dapat dilakukan secara efektif oleh birokrasi di Indonesia.menurut Dwiyanto
(2002) secara struktural kondisi tersebut merupakan implikasi dari sistem politik Orde Baru
yang menempatkan birokrasi tidak lebih dari sekedar instrumen politik kekuasaan daripada
sebagai agen pelayanan publik. Sedangkan secara kultural, kondisi tersebut lebih disebabkan
akar sejarah kultural feodalistik birokrasi yang mengakar dalam budaya Indonesia. Seperti
masih banyak terlihat diadopsinya kultur budaya priyayi yang sangat paternalistik.
Peter Madsen dan Jay M. Shafritz, seperti dikutip oleh M. Mas'ud Said (1996:82)
mengistilahkan etika birokrasi sebagai perilaku pemerintah dalam semua level untuk
menghindari penyalahgunaan pekerjaan secara tidak sah, aktivitas mencari keuntungan
pribadi. Dengan kata lain, ia adalah antitesa dari penyalahgunaan umum dan korupsi.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ryas Rasyid (1997:86) bahwa etika pada dasarnya
berkenaan dengan upaya menjadikan moralitas sebagai landasan bertindak dalam sebuah
kehidupan kolektif yang profesional. Ini yang disebut etika praktis.Dari pernyataan tersebut
dapat dipahami bahwa setiap kelompok profesi memiliki sistem nilai yang dipergunakan
sebagai acuan dalam bertindak.
iv
1.2 Rumusan Masalah
2. Apa pengertian dari Kultur Birokrasi dan Bagaimana kultur birokrasi dalam kinerja
pelayanan?
1.3 Tujuan Penulisan
2. Untuk mengetahui pengertian dari kultur birokrasi dan kultur birokrasi dalam kinerja
pelayanan.
3. Untuk mengetahui kultur birokrasi dalam lingkungan sosial dan politik lokal.
v
BAB II
PEMBAHASAN
Etika juga dapat didefinisikan sebagai pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan
pandangan moral yang memberikan refleksi tentang bagaimana manusia harus hidup dan
bagaimana mempertanggung jawabkan perbuatannya, sehingga etika dapat dipandang sebagai
perangkat nilai ataupun norma moral yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karenannya,
keberadaan etika secara umum maupun secara khusus adalah iklusif dalam tatanan lingkungan
sosial. Berrtens (1997) menjelaskan pengertian etika sebagai nilai-nilai dan norma-norma yang
menjadi peggangan bagi seseorang ataupun suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Ia
juga ,menegaskan bahwa etika merupakan nilai-nilai benar dan salah yang dianut oleh
sekelompok orang. Adapun kerap (1995) mendefinisikan etika sebagai refleksi kritis dean
rasional mengenai nilai-nilai dan norma-norma yang menentukan yang terwujud dalam sikap dan
pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun kelompok.
Sedangkan birokrasi menurut Almond dan Powel (1996) dalam Soeprapto (2003); the
governmental burueucracy is a formally organized offices and duties, linked in complex grading
subordinates to the formal roler makers (Birokrasi pemerintahan adalah sekumpulan tugas dan
jabatan yang terorganisasi secara formal berkaitan dengan jenjang yang kompleks dan tunduk
pada pembuat peran formal (role makers).
vi
baik badan badan sentral maupun di lapangan yang pada umumnya digambarkan dalam bahasa
administrasi negara sebagai manajemen 'menengah' atau 'atas').
Batinggi (1999) mengartikan birokrasi sebagai tipe dari organisasi yang dimaksudkan
untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinir secara
sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang.
Secara lebih detail, Max Weber (dalam Soeprapto, 2003) menguraikan karakteristik yang
menjadi birokrasi modern yang secara garis besar dalam dirumuskan sebagai berikut:
1) Mobilitas yang sistematik dari energi manusia dan sumber daya material untuk mewujudkan
tujuan-tujuan kebijakan atau rencana-rencana yang secara eksplisit telah didefinisikan.
2) Pemanfaatan tenaga karier yang terlatih, yang menduduki jabatan-jabatan bukan atas dasar
keturunan dan batas batas yurisdiksinya telah ditetapkan secara spesifik.
3) Spesialisasi keahlian dan pembagian kerja yang bertanggungjawab kepada suatu otoritas atau
konstitusi
Adapun yang menjadi ciri ideal birokrasi (Batinggi,1999) dapat dikemukakan dan
dijelaskan seperti dibawah ini:
vii
b. Hierarki Wewenang. Ciri khas birokrasi adalah adanya wewenang yang disusun secara
hirarkis atau berjenjang. Hierarki itu berbentuk piramida. Semakin tinggi suatu jenjang berarti
semakin besar wewenang yang melekat didalamnya dan semakin sedikit penghuninya. Hierarki
wewenang ini sekaligus mengindikasikan adanya hierarki tanggungjawab. Dalam hierarki setiap
pejabat harus bertanggung jawab kepada atasannya mengenai keputusan-keputusan dan
tindakan-tindakannya sendiri maupun yang dilakukan anak buahnya. Pada setiap hierarki, para
pejabat birokrasi memiliki hak memberi perintah dan pengarahan pada bawahannya dan para
bawahan itu berkewajiban untuk mematuhinya. Sekalipun begitu, ruang lingkup wewenang
memberi perintah itu secara jelas dibatasi hanya pada masalah-masalah yang berkaitan langsung
dengan kegiatan resmi pemerintah.
c. Pengaturan Perilaku Pemegang Jabatan Birokrasi. Kegiatan pemerintah diatur oleh suatu
sistem aturan main yang abstrak. Aturan main itu merumuskan lingkup tanggung jawab para
pemegang jabatan diberbagai posisi dan hubungan diantara mereka. Aturan-aturan itu juga
menjamin koordinasi berbagai tugas yang berbeda dan menjamin keseragaman pelaksanaan
berbagai kegiatan tersebut.
d. Impersonalitas Hubungan. Para pejabat birokrasi harus memiliki orientasi impersonal. Mereka
harus menghindari pertimbangan pribadi dalam hubungannya dengan atasan atau bawahannya
maupun dengan anggota masyarakat yang dilayaninya.
e. Kemampuan Teknis. Pada prinsipnya jabatan-jabatan birokratik harus diisi oleh orang-orang
yang memiliki kemampuan teknis yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas dalam
jabatan itu.
f. Penjenjangan Karier. Pekerjaan dalam birokrasi pemerintah adalah pekerjaan karier. Para
pejabat menduduki jabatan dalam birokrasi pemerintah melalui penunjukan, bukan melalui
pemilihan seperti anggota legislatif. Mereka jauh lebih tergantung pada atasan mereka dalam
pemerintahan dari pada kepada rakyat pemilih. Pada prinsipnya, promosi atau kenaikan jenjang
didasarkan pada senioritas atau prestasi, atau keduanya.
Kedua, sebagaimana yang dikemukakan oleh Parkinsons pandangan ini lebih cenderung
bersifat negatif karena birokrasi tidak hanya diartikan sebagai pembengkakan volume birokrasi
(peningkatan pegawai) tetapi juga penguatan hierarki. Pembengkakan birokrasi terjadi karena
viii
adanya kecenderungan kuat bagi setiap pegawai untuk memiliki bawahan, karena semakin
banyak bawahan semakin tinggi otoritas dan prestisenya. Penguatan hierarki terjadi karena
berlakunya hukum besi oligarki pada setiap organisasi yang semakin membengkak. Organisasi
yang semakin membengkak memerlukan rentang kendali yang yang semakin panjang
menempatkan sejumlah kecil orang pada posisi puncak hierarki.
Dalam kasus Indonesia, jumlah pegawai dinilai terlalu banyak sehingga sedikit saja
kenaikan gaji langsung berdampak luas pada anggaran Negara. Disamping terlalu banyak,
birokrasi juga dianggap tidak merata baik menurut instansi maupun wilayah. Tidak merata secara
fungsional karena terdapat sejumlah instansi yang sangat sibuk dari pagi hingga sore, tetapi tidak
jarang juga ada instansi yang tidak terlalu pada kegiatannya.
Disamping banyak meja, baik secara horizontal maupun vertikal, yang harus dilalui untuk
mengurus sesuatu sehingga memerlukan waktu dan dana yang semakin banyak, penguatan
hierarki juga tampak pada kelangkaan keberanian mengambil prakarsa, karena keputusan sangat
tergantung pada atasan dan pada pembagian pekerjaan, yaitu yang berupa sebab diserahkan ke
bawahan tetapi yang menimbulkan keuntungan ditangani sendiri.
Terkait dengan etika birokrasi, secara ideal, dalam kehidupan berbangsa Indonesia sudah
ada ketetapan MPR No. VI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang dapat memberikan
dasar pada pengajawantahan etika dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Tap MPR
ini memuat hal. hal berikut (LAN, 2003):
ix
"Etika dalam kehidupan berbangsa merupakan satu wahana dalam rangka melancarkan
penyelenggaraan Sistem Administrasi Negara dimana dengan adanya etika yang dipahami dan
menjadi dasar pola perilaku dalam berbangsa dan bernegara akan mengarah pada satu tatanan
yang kenegaraan yang stabil karena persepsi akan perilaku yang diharapkan oleh masing-masing
individu sebagai warga Negara dapat teramalkan dengan baik".
Ketetapan MPR No. VI/2001 merupakan tata aturan yang cukup etis dan mengandung
berbagai norma etika yang harus diterapkan dalam alur kebangsaan Indonesia guna mewujudkan
bangsa yang merdeka dan berdaulat, menjunjung tinggi moralitas bangsa serta dapat mendorong
secara emosional warga bangsa ini sebagai bangsa Indonesia. Akan tetapi, dalam realitas praktis
kehidupan hanya digunakan sebatas hiasan. Dalam pemberitaan di media baik cetak maupun
elektronik hampir tiap hari dapat disaksikan sederet tayangan buruknya moralitas bangsa ini,
mulai dari pejabat Negara sampai perilaku warga negaranya.
Hampir seluruh pelosok negeri bahkan pelosok dunia tahu bagaimana korupnya bangsa
yang dulunya dikatakan paling etis dengan adat ketimurannya ini. Hukum sudah menjadi
permainan politik kelompok berduit dan berkuasa, hampir semua kasus korupsi yang terjadi di
negeri ini tidak ada penyelesaian yang menunjukkan tegaknya hukum diatas kepentingan politik.
Kalau toh ada penyelesaian permasalahan bangsa ini, maka tidak ubahnya seperti sandiwara
politik para penguasa negeri. Gontokan antar elite partai menjadi tontonan yang menarik di
media-media cetak dan elektronik, hal tersebut juga diikuti dengan perang' antar warga partai
yang merasa pemimpin dan golongannya-lah yang paling layak untuk hidup diwilayah nusantara
ini.
Birokrasi pemerintah di satu sisi ternyata merupakan lahan "basah" dari segenap perilaku
yang menafikan nilai-nilai etika kebangsaan. KKN yang dimasa reformasi ini menjadi target
utama untuk diberantas ternyata banyak bersarang dalam stuktur birokrasi pemerintahan. Para
aparat birokrasi yang memilki mentalitas korup dengan mekanisame birokrasi yang jelas dan
berbelit-belit kemudian mengorbankan kepentingan masyarakat yang seharusnya sebagai pihak
yang harus mendapatkan pelayanan. Dari sinilah kemudian maka perlu adanya penguatan
kembali pelaksanaan etika birokrasi dalam kinerja penyelenggaraan Negara Indonesia ke depan.
Berikut ini akan dideskripsikan lebih lanjut beberapa problem yang ada dalam kinerja birokrasi
di Indonesia.
x
B. Kultur Birokrasi di Indonesia
Kultur birokrasi yang seharusnya lebih menekankan pada pelayanan publik masyarakat
ternyata tidak dapat dilakukan secara efektif oleh birokrasi di Indonesia. Menurut Dwiyanto,
(2002) secara struktural kondisi tersebut merupakan implikasi dari sistem politik Orde Baru yang
menempatkan birokrasi tidak lebih dari sekedar instrumen politik kekuasaan dari pada sebagai
agar pelayanan publik. Sedangkan secara kultural, kondisi birokrasi yang mengakar dalam
budaya Indonesia seperti masih banyak terlihat diadopsinya kultur budaya priyayi yang sangat
bersifat paternalistik.
Corak budaya agraris yang masih dimiliki oleh sebagian besar masyarakat Indonesia
cenderung mengembangkan budaya harmoni sosial dalam masyarakat. Dalam masyarakat yang
masih menonjol dalam bentuk komitmen untuk menghindari konflik. Pola sikap dan perilaku
birokrasi dalam masyarakat sampai saat ini terlihat masih terpengaruh oleh budaya tersebut.
Sikap aparat birokrasi yang tidak berani melakukan kritik kepada atasan atau merugikan
kepentingannya tidak lagi menjadi sesuatu yang harus ditentang, bahkan mereka enggan
menuntut hak-hak mereka untuk dilayani dalam birokrasi.
xi
birokrasi menempatkan publik berada di bawah, bukannya ditempatkan sebagai mitra birokrasi
yang terus dikembangkan keberadaannya dalam rangka pencapaian good governance dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sentralisme birokrasi juga telah menumbuhkan kultur birokrasi yang terjebak dalam
pengembangan kultur vertikal daripada horizontal yang lebih berorientasi pada kepentingan
publik. Sentralisme birokrasi telah menyebabkan terjadinya patologi dalam bentuk berbagai
tindak penyimpangan kekuasaan dan wewenang yang dilakukan birokrasi (Dwiyanto, 2002).
Patologi birokrasi muncul karena norma dan nilai-nilai yang menjadi acuan bertindak
birokrasi telah berorientasi ke atas, yaitu kepentingan politik kekuasaan, bukan kepada publik.
Berbagai kebijakan pembangunan pemerintah yang selalu ditentukan oleh pemerintah pusat
menunjukkan kuatnya budaya sentralisme dalam birokrasi. Kondisi tersebut mengakibatkan
birokrasi semakin kurang sensitif terhadap nilai, aspirasi, kebutuhan dan kepentingan
masyarakat. Birokrasi menjadi kurang fleksibel sehingga kebijakan yang diterapkan kurang
responsif terhadap kondisi masyarakat daerah yang memiliki masalah-masalah sosial
kemasyarakatan yang bersifat lebi spesifik
Bentuk kekuasaan yang sentralistik menimbulkan adanya kultur kekuasaan yang kaku
dan berkembangnya fenomena dalam suka atau tidak suka dalam birokrasi. Birokrasi tidak
mampu untuk mengembangkan semgat kerjasama menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan
pelayanan publik. Koordinasi menjadi sebuah kegiatan pelayanan publik melibatkan beberapa
bidang instansi. Lemahnya pembentukan semangat kerja sering kali membuat aparat birokrasi
enggan atau bahkan tidak dapat mengerjakan tugas di luar tugas rutinnya, sehingga kemacetan
pelayanan seringkali terjadi. Dampak dari kondisi tersebut adalah masyarakat pengguna jasa pula
yang akhimya banyak dirugikan.
C. Perilaku Birokrasi
Perilaku birokrasi terbentuk dari interaksi antara dua variabel, yaitu karakteristik
birokrasi dan karakteristik manusia, atau lebih spesifik lagi, struktur dan aktor. Setiap
xii
karakteristik menimbulkan perilaku tertentu. Antara karakteristik itu dengan perilaku terdapat
hubungan yang sedikit banyak bersifat kausal. Misalnya, pada variabel organisasi, hierarki
menimbulkan sifat taat bawahan terhadap atasan. Pada variabel manusia kepentingan atau
kebutuhan hidup menuntut imbalan yang memadai dari organisasi. Tetapi, kadar (tingkat)
ketaatan itu, variabel bergantung pada sejauh mana imbalan yang diharapkan dipenuhi oleh
organisasi. Demikian pula sebaliknya, seperti diketahui, informasi tentang karakteristik manusia
terdapat di dalam Psikologi, Psikologi Industri, Perilaku Keorganisasian, Budaya Pada
Lingkungan dan ilmu perilaku lainnya. Variabilitas perilaku aktor bergantung pada lingkungan
atau struktur internal. Walaupun ia bisa dipengaruhi oleh struktur eksternal (masyarakat),
variabel internal itulah yang dominan.
D. Kinerja Birokrasi
Upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih dapat dicapai melalui
penerapan prinsip-prinsip Tata Pemerintahan yang baik (Good Governance). Hal terpenting yang
perlu dilakukan terkait dengan kinerja birokrasi pemerintahan adalah bagaimana mengurangi dan
menghilangkan penyalahgunaan kewenangan dalam birokrasi serta bagaimana menciptakan etika
birokrasi dan budaya kerja yang baik.
Pada masa reformasi saat ini, ternyata kondisi birokrasi belum banyak mengalami
perubahan mendasar. Banyak permasalahan yang dihadapi pada masa-masa lalu belum
sepenuhnya teratasi. Dari sisi internal birokrasi itu sendiri masih akan berdampak pada tingkat
kompleksitas permasalahan dan dalam upaya mencari solusi kedepan. Sedangkan dari sisi
eksternal, faktor globalisasi dan revolusi teknologi informasi juga akan kuat berpengaruh
terhadap pencarian alternatif kebijakan dalam bidang aparatur negara.
Dari sisi internal, beberapa faktor demokratisasi dan desentralisasi yang akan
memberikan dampak pada upaya dan pemilihan kebijakan-kebijakan sebagai akibat
meningkatnya tuntutan akan partisipasi masyarakat dala kebijakan publik; meningkatnya
tuntutan akan transparansi, akuntabilitas dan kualitas kinerja publik serta meningkatny tuntutan
dalam penyerahan tanggung jawab, kewenangan dan pengambilan keputusan.
xiii
Dari sisi birokrasi sendiri, dalam upaya untuk mewujudkan permasalahan-permasalahan
yang dihadapi antara lain adalah: pelanggaran disiplin, penyalahgunaan kewenangan dan
penyimpangan yang tinggi; rendahnya kinerja sumber daya aparatur; sistem kelembagaan
(organisasi) dan ketatalaksanaan (manajemen) pemerintahan belum memadai sehingga belum
dapat meningkatkan efisensi dan efektivitas kerja; rendahnya kesejahteraan PNS; banyaknya
peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan
tuntutan pembangunan.
Sedangkan dari sisi ekstrenal, faktor globalisasi dan revolusi teknologi informasi masih
dan akan terus berpengaruh terhadap meningkatnya ketidakpastian akibat perubahan faktor
lingkungan politik, ekonomi dan sosial yang terjadi dengan cepat; meningkatnya persaingan
antar negara, antar swasta dan antara pemerintah-swasta, meningkatnya tuntutan dan ekspetasi
masyarakat pada pelayanan publik yang lebih cepat, lebih Imurah dan lebih baik; makin derasnya
arus informasi dari manca negara yang dapat menimbulkan infiltrasi budaya dan terjadinya
kesenjangan informasi dalam masyarakat (digital divide). Perubahan-perubahan ini
membutuhkan negara yang memiliki kemampuan untuk melakukan antisipasi, menggali potensi
dan cara baru guna meningkatkan daya saing atau melakukan aliansi strategis; dan untuk
menjaga keutuhan bangsa.
Persoalan profesionalitas kinerja birokrasi di satu sisi sudah menjadi keharusan untuk
diwujudkan. Namun di lain sisi, peningkatan profesionalitas yang menuntut perhatian dan
konsentrasi maksimal selalu terkendala dengan persoalan internal. Rendahnya tingkat
kesejahteraan aparatur negara (PNS) dan rendahnya gaji aparatur birokrasi merupakan beberapa
faktor yang mengakibatkan sulitnya mewujudkan kinerja birokrasi secara lebih baik.
xiv
E. Pentingnya Etika Birokrasi
Dari alasan yang dikemukakan diatas ada sedikit gambaran bagi kita mengapa etika
birokrasi menjadi suatu tuntutan yang harus sesegera mungkin dilakukan sekarang ini. Karena
hal tersebut sangat terkait dengan tuntutan tugas dari aparat birokrasi itu sendiri yang seiring
dengan semakin kompleksnya permasalahan yang ada dalam masyarakat dan seiring dengan
xv
fungsi pelayanan dari birokrat itu sendiri agar dapat diterima dan dipercaya oleh masyarakat
yang dilayani, di atur dan diberdayakan.
Untuk itu para birokrat harus merubah sikap agar dapat dikatakan lebih beretika atau
bermodal di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dengan demikian harus ada aturan main
yang jelas dan tegas. Aturan main tersebut perlu ditaati dan harus menjadi landasan birokrat
dalam bertindak maupun berperilaku di masyarakat.
F. Netralitas Birokrasi
Dalam penyelenggaraan negara para aparatur negara/aparatur birokrasi atau lebih dikenal
dengan sebutan birokrat harus bersikap netral dan terlepas dari kepenting pribadi, kelompok
ataupun golongan. Mengapa birokrasi harus netral? Jawabannya sebagai berikut :
Pandangan bahwa aparat birokrasi itu harus netral secara politik, sebenarnya sudah
bergema kuat ketika Orde Baru mulai mengendalikan pemerintahan. Para penguasa Orde Baru
berpikiran, agar birokrasi bisa bekerja lebih baik. Pandangan bahwa birokrasi itu harus netral
merupakan refleksi dari adanya pemisahan antara politik dan aspek administrasi di dalam
pemerintahan.
Sejak Reformasi, PP. No 12 Tahun 1999 adalah dasar Netralitas PNS (Birokrasi) dalam
pengaruh partai politik. Namun belum ada aturan bagaimana partai politik atau pejabat politik
tidak memaksa atau mengintervensi PNS (Birokrasi) untuk tidak terlibat dalam politik.
xvi
Ada dua pandangan yang berbeda tentang netralitas birokrasi yaitu:
1. Pandangan yang setuju bahwa birokrasi tidak bisa dipisahkan dari politik (tidak netral).
Pandangan ini didukung oleh pendapat Marx, yang mengatakan bahwa birokrasi tidak netral dan
harus memihak pada kelas yang dominan. Sedangkan Francis Rourke mengatakan walaupun
birokrasi pada mulanya hanya berfungsi untuk melaksanakan kebijakan politik, akan tetapi
birokrasi bisa berperan membuat kebijakan politik, netralisasi birokrasi hampir tidak mungkin.
2. Pandangan yang setuju birokrasi harus netral, didukung oleh Hegel dan diperkuat oleh
Woodrow Wilson bahwa birokrasi pemerintah berfungsi melaksanakan kebijakan politik
sehingga birokrasi itu harus berada diluar kajian politik. Konsep ini diikuti oleh Goodnow yang
menyatakan bahwa ada dua fungsi pokok pemerintah yang amat berbeda satu sama lain yaitu
fungsi pokok politik dan fungsi administrasi. Fungsi politik berarti pemerintah membuat dan
merumuskan kebijakan kebijakan sementara fungsi administrasi berarti pemerintah tinggal
melaksanakan kebijakan tersebut, berkaitan atas masa depan karir birokrasi dan jaminan
profesionalisme birokrasi maka birokrasi harus netral.
2. Didalam menempatkan dan mempromosikan pegawai negeri lebih didasarkan prestasi dari
pada berdasarkan afilasi atau sumbangan kepada partai;
4. Pegawai negeri tidak ikut campur dalam memberikan pandangannya secara terbuka kepada
publik;
Pandangan seperti itu tidak jauh berbeda dengan kerangka teori principal-agent di dalam
memahami birokrasi. Menurut (Meier and O'Toole, 2006), didalam teori yang menjadi principal
atau master adalah para politisi, baik yang ada di eksekutif maupun diparlemen. Orang-orang
seperti inilah yang membuat dan memutuskan kebijakan-kebijakan, sedangkan yang menjadi
agent adalah birokrasi.
xvii
G. Studi Kasus
Masalah terpenting dan rumusan urgen saat ini adalah korupsi. Berdasarkan media
Kompas, terdapat beberapa kasus korupsi yang melibatkan aparat pemangku pelayanan
publik. Berikut beberapa kasus yang terjadi belakangan ini, kasus korupsi dirjen pajak, korupsi
minyak goreng Wisnu Wardhana dan beberapa kasus korupsi pejabat seperti bupati, gubernur,
walikota dsb yang ditangkap OTT KPK.
Di indonesia belum ada kode etik yang dapat dijadikan acuan oleh seluruh birokrasi
aparatur dalam menjalankan pelayanan publik. Peraturan Kemenpan RB Nomor 9 Tahun 2017
xviii
tentang kode etik dan perilaku yang telah tertulis di atas sebenarnya ditujukan untuk pegawai
administrasi bukan aparat birokrasi secara umum. Sehingga perlu membuat kode etik secara
tertulis beserta sanksinya agar jelas dan pasti dapat dilaksanakan oleh pemerintah. Meski pada
dasarnya setiap individu seharusnya memiliki etika dalam berperilaku, namun untuk menekan
dampak negatif berupa peningkatan kasus korupsi di Indonesia maka kode etik ini memang
perlu.
Kasus Korupsi, Dua Eks PNS Ditjen Pajak Divonis 8-9 Tahun Penjara.
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat menjatuhkan vonis terhadap dua mantan pegawai Ditjen Pajak, yakni
Wawan Ridwan divonis sembilan tahun penjara, sementara Alfred Simanjuntak delapan tahun
penjara.
Wawan merupakan Kepala Bidang Pendaftaran, Ekstensifikasi dan Penilaian Kantor Wilayah
Ditjen Pajak Sulawesi Selatan, Barat Tenggara (Sulselbartra), sedangkan Alfred PNS Ditjen
Pajak.
Kedua terdakwa juga dihukum membayar denda sebesar Rp200 juta subsider tiga bulan
kurungan. "Menyatakan terdakwa I Wawan Ridwan dan terdakwa II Alfred Simanjuntak telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama
yaitu tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan kesatu dan kedua," ujar hakim ketua Fahzal
Hendri saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (14/6).
Hakim juga menghukum pidana tambahan kepada Wawan untuk membayar uang pengganti
sebesar Rp2.373.750.000 yang harus dibayar maksimal satu bulan setelah putusan memperoleh
kekuatan hukum tetap (inkrah). Jika tidak dibayar sesuai ketentuan, maka akan diganti dengan
pidana satu tahun penjara. Sedangkan Alfred dibebankan uang pengganti sebesar
Rp8.237.292.900 subsider dua tahun penjara. "Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani
oleh para terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan," ucap hakim.
Vonis ini lebih rendah daripada tuntutan jaksa KPK yang menghukum Wawan dan Alfred
masing-masing dengan pidana penjara 10 tahun dan delapan tahun. Jaksa KPK pun langsung
menyatakan banding. "Terima kasih Yang Mulia, kami menyatakan banding," ucap jaksa Wawan
Yunarwanto.
xix
Wawan dan Alfred dinilai terbukti melanggar Pasal 12 ayat 1 huruf a UU Tipikor Jo Pasal
55 ayat 1 ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat 1 KUHP sebagaimana dakwaan kesatu pertama.
Kemudian Pasal 12 B UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat 1 KUHP
sebagaimana dakwaan kedua. Wawan juga dinilai terbukti melakukan Tindak Pidana Pencucian
Uang (TPPU) sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010. Wawan
dan Alfred disebut menerima suap sebesar Rp15 miliar dan Sin$4 juta atau sekitar
Rp42.169.984.851 dari para wajib pajak terkait pemeriksaan perpajakan tahun 2016-2017.
Ada tiga cara untuk dapat menangkal kasus korupsi di Indonesia berdasarkan Wahyudi
Kumorotomo dalam bukunya Etika Administrasi Negara. Pertama, cara sistematik-struktural
yakni mendayagunakan suprastruktur politik maupun infrastruktur politik dan pada saat
bersamaan dengan membenahi birokrasi. Kedua, abolisistik yaitu dengan cara preventif mengkaji
permasalahan yang dihadapi masyarakat yang terkait dengan fenomena korupsi. Ketiga, cara
moralistik yaitu mengarah pada faktor moral dengan cara pembinaan mental dan moral,
penyuluhan maupun pendidikan.
xx
BAB III
Kesimpulan
xxi
Dan ketiga, struktur yang terbentang tak dibangun di atas sistem pengawasan yang
memadai dan bermutu.
Etika birokrasi berkaitan erat dengan moralitas dan mentalitas aparat birokrasi
dalam melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri yang tercermin dalam
fungsi pokok pemerintahan fungsi pelayanan, pengaturan/regulasi dan fungsi
pemberdayaan masyarakat. Etika birokrasi juga bisa dikatakan sikap dan tingkah laku
dari para aparat birokrasi yang mana bisa dikatakan baik atau buruk, benar atau salah.
Saran
Dari bab pembahasan dan kesimpulan bahwa penyusun merekomendasikan untuk
dikaji lebih banyak lagi mengenai kultur birokrasi di Indonesia saat ini dan etika para
birokrat di Indonesia. Oleh karena itu, penyusun ingin para pembaca untuk bisa
mencari dan menganalisis kultur dan etika birokrasi di Indonesia saat ini supaya
pembaca bisa menambah wawasan dan pengetahuannya dan menemukan jawaban
yang baik.
xxii
DAFTAR PUSTAKA
Andry, Hendry dan Yussa, Tarmizi. 2020. “Prilaku dan Etika Administrasi”. Pekanbaru
https://www.kompasiana.com/amp/fl_firlyisna3381/62c42a25297d6838cf183703/problem-etika-
fenomena-korupsi-pada-birokrasi-indonesia
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220614161339-12-808867/kasus-korupsi-dua-eks-
pns-ditjen-pajak-divonis-8-9-tahun-penjara
xxiii