Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK

DOSEN PENGAMPU :
Arie Rachman hakim, M.Pd

DISUSUN OLEH:
Izzatu Jahra (211110166)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS
TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang dan dengan memanjatkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT
karena dengan rahmat, nikmat, dan karunia-Nya sehingga kita masih diberikan
kesehatan jasmani dan rohani. Sholawat serta salam tetaplah kita curahkan kepada
junjungan Nabi Muhammad SAW. Yang telah menunjukan kita dari zaman
kegelapan menuju zaman yang terang benderang seperti saat ini.
Penulis akhirnya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pancasila
sebagai etika politik” Dalam makalah ini penulis sangat berharap makalah ini
dapat menambah pengetauan pembaca akan faktor dan dampak negatif sistem
dikotomi pendidikan serta usaha-usaha apa saja untuk menghilangkannya.
Penulis mengucapakan terimakasih atas semua pihak dan sumber yang
telah membantu hingga terselesaikan makalah ini. makalah ini tentu masih
banyak kekurangannya, saran serta kritik senantiasa kami terima dengan senang
hati guna memperbaiki kesalahan sebagai mana mestinya.

Kalimantan Timur, 26 Oktober 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................ii


DAFTAR ISI ...............................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..............................................................................2
C. Tujuan Masalah .................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Nilai, Norma dan Moral...................................................................3
1. Pengertian Nilai ..........................................................................3
2. Pengertian Norma .......................................................................5
3. Pengertian Moral..........................................................................5
4. Hierarki Nilai ..............................................................................6
5. Hubungan Nilai, Norma Dan Moral ...........................................7
B. Etika Politik ......................................................................................8
1. Pengertian Etika Politik ..............................................................8
2. Pengertian Politik ......................................................................10
3. Dimensi Politis Manusia ...........................................................11
4. Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik .................12
BAB III PENUTUP
Kesimpulan ...........................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah etika merupakan masalah yang makin mendapat perhatian
di dunia, bahwa cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru
harus dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap
keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru. Inti dari
cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan
ditegakkannya hokum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang
bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam
masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat,
dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia.
Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan
kehidupan Orde Baru adalah sebuah "masyarakat multikultural Indonesia"
dari puing puing tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak "masyarakat
majemuk" (plural society). Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang
bhinneka tunggal ika bukan lagi keanekaragaman suku- bangsa dan
kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam
masyarakat Indonesia.
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang
multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang
mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara
individual maupun secara kebudayaan (Fay 1996, Jary dan Jary 1991,
Watson 2000). Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat
(termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai
mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat
tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup
semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang
membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai
kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut (Reed, ed. 1997). Model

1
multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para
pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai
kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal
32 UUD 1945, yang berbunyi: "kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah
puncak-puncak kebudayaan di daerah".

B. Rumusan Masalah
Makalah ini tersusun berdasarkan beberapa rumusan masalah,
diantaranya :
1. Apa pengertian nilai, norma dan moral?
2. Apa itu hierarki nilai?
3. Bagaimana hubungan nilai, norma dan moral?
4. Bagaimana pengertian etika politik dan politik?
5. Apa yang dimaksud dimensi politis manusia?
6. Nilai-nilai apa saja yang terkandung dalam pancasila sebagai
sumber etika politik?

C. Tujuan Masalah
Makalah ini tersusun dengan tujuan untuk mengetahui pengertian
nilai, norma dan dalam konteks moral sebagai etika Pancasila politik.
Dapat mengerti hubungan antara nilai, norma dan moral dalam konteks
Pancasila sebagai etika politik serta dapat memahami nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila sebagai sumber etika politik.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Nilai, Norma dan Moral


1. Pengertian Nilai
Nilai (value) adalah kernampuan yang dipercayai yang ada pada
suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang
menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu
pada hakikatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat pada suatu
obyeknya. Dengan demikian, maka nilai itu adalah suatu kenyataan
yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan lainnya.
Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk
menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain kemudian untuk
selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu adalah suatu nilai yang
dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar,
baik atau tidak baik, dan seterusnya. Penilaian itu pastilah
berhubungan dengan unsur indrawi manusia sebagai subjek penilai,
unsur jasmani, rohani, akal, rasa, karsa dan kepercayaan.
Nilai atau 'value' (bahasa Inggris) termasuk bidang kajian
filsafat, persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah
satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai (Axiology, theory of value).
Filsafat sering juga diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. lstilah
nilai di dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda
abstrak yang artinya 'kebiasaan” atau kebaikan (goodness) dan kata
kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tentu dalam menilai atau
melakukan penilaian.
Nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, indah, memperkaya
batin dan menyadarkan manusia akan harkat, martabatnya. Nilai
bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan
sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem (sistem nilai)
merupakan salah satu wujud kebudayaan, disamping sistem sosial dan

3
karya. Cita-cita, gagasan, konsep dan ide tentang sesuatu adalah
wujud kebudayaan sebagai sistem nilai.
Oleh karena itu, nilai dapat dihayati atau dipersepsikan dalam
konteks kebudayaan, atau sebagai wujud kebudayaan yang abstrak.
Manusia dalam memilih nilai-nilai menempuh berbagai cara yang
dapat dibedakan menurut tujuannya, pertimbangannya, penalarannya,
dan kenyataannya. Nilai sosial berorientasi kepada hubungan
antarmanusia dan menekankan pada segi-segi kemanusiaan yang
luhur, sedangkan nilai politik berpusat pada kekuasaan serta pengaruh
yang terdapat dalam kehidupan masyarakat maupun politik.
Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna,
memperkaya bathin dan menyadarkan manusia akan harkat dan
martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong
dan mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku manusia. Di dalam
Dictionary of Sosiology and Related Sciences dikemukakan bahwa
nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda
untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan
menarik minat seseorang atau kelompok, (the believed capacity of any
object to statistfy a human desire). Jadi nilai itu pada hakikatnya
adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek itu sendiri. Di
dalam nilai itu sendiri terkandung cita-cita, harapan-harapan,
dambaan- dambaan dan bahkan suatu keharusan. Berbicara tentang
nilai berarti berbicara tentang das Solen, bukan das Sein, kita masuk
kerokhanian bidang makna normatif, bukan kognitif, kita masuk ke
dunia ideal dan bukan dunia real.
Meskipun demikian, diantara keduannya terdapat hubungan atau
saling berkait secara erat, artinya bahwa das Sollen itu harus
menjelma menjadi das Sein, yang ideal harus menjadi real, yang
normatif harus direalisasikan dalam perbuatan seharihari yang
merupakan fakta dan apa yang diperbuat oleh manusia dan
lingkungannya.

4
2. Pengertian Norma
Kesadaran akan hubungan yang ideal akan menumbuhkan
kepatuhan terhadap peraturan atau norma. Norma adalah petunjuk
tingkah laku harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari
berdasarkan motivasi tertentu. Norma sesungguhnya perwujudkan
martabat manusia sebagai makhluk budaya, sosial, moral dan religi.
Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap Iuhur yang dikehendaki
oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh sebab itu, norma dalam
perwujudannya dapat berupa norma agama, norma kesopanan, norma
kesusilaan, norma hukum, dan norma sosial. Norma memiliki
kekuatan untuk dapat dipatuhi, yang dikenal dengan sanksi yang
terdapat di dalam norma itu sendiri, misalnya:
a. Norma agama, dengan sanksinya dari Tuhan
b. Norma kesusilaan, dengan sanksinya rasa malu dan menyesal
terhadap diri sendiri
c. Norma kesopanan, dengan sanksinya berupa mengucilkan
dalam pergaulan masyarakat
d. Norma hukum, dengan sanksinya berupa penjara atau
kurungan atau denda yang dipaksakan oleh alat Negara.

3. Pengertian Moral
Moral berasal dari kata mos (mores) yang artinya kesusilaan,
tabiat, kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk,
yang menyangkut tingkah Iaku dan perbuatan manusia. Seorang yang
taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku
dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak benar secara
moral. Jika sebaliknya terjadi, pribadi itu dianggap tidak bermoral.
Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan, prinsip-prinsip
yang benar, baik, terpuji, dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan,
kepatuhan terhadap nilai dan norma, moral pun dapat dibedakan

5
seperti moral ketuhanan atau agama, moral, filsafat, moral etika,
moral hukum, moral ilmu, dan sebagainya. Nilai, norma dan moral
secara bersama mengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai
aspeknya.

4. Hierarki Nilai
Hierarki nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandang
individu-masyarakat terhadap sesuatu obyek. Misalnya kalangan
materialis memandang bahwa nilai tertinggi adalah nilai meterial.
Max Scheler menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidak sama
tingginya dan luhurnya. Menurutnya nilai-nilai dapat dikelompokan
dalam empat tingkatan yaitu :
1. Nilai kenikmatan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan indra
yang memunculkan rasa senang, menderita atau tidak enak,
2. Nilaİ kehidupan yaitu nilai-nilai penting bagi kehidupan yakni
jasmani, kesehatan serta kesejahteraan umum
3. Nilai kejiwaan adalah nilainilai yang berkaitan dengan
kebenaran, keindahan dan pengetahuan murni
4. Nilai kerohanian yaitu tingkatan ini terdapat modalitas nilai dari
yang suci
Sementara itu, Notonagoro membedakan menjadi tiga, yaitu :
1. Nilai material yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani
manusia
2. Nilai Vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia
untuk mengadakan suatu aktivitas atau kegiatan
3. Nilai kerohanian yaitu segala sesuatu yang bersifat rokhani
manusia yang dibedakan dalam empat tingkatan sebagai
berikut :
a. Nilai kebenaran yaitu nilai yang bersumber pada rasio,
budi, akal atau cipta manusia.

6
b. Nilai keindahan/estetis ya itü nilai yang bersumber pada
perasaan manusia.
c. Nilai kebaikan atau nilai moral yaitu nilai yang bersumber
pada unsur kehendak manusia.
d. Nilai religius yaitu nilai kerohanian tertinggi dan bersifat
mutlak.
Dalam pelaksanaannya, nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma,
ukuran dan kriteria sehingga merupakan suatu keharusan anjuran atau
larangan, tidak dikehendaki atau tercela. Oleh karena itil, nilai
berperan sebagai pedoman yang menentukan kehidupan setiap
manusia. Nilai manusia berada dalam hati nurani, kata hati dan pikiran
sebagai suatu keyakinan dan kepercayaan yang bersumber pada
berbagai sistem nilai.
Dari uraian mengenai macam-macam nilai diatas, dapat
dikemukakan pula bahwa yang mengandung nilai itü bukan hanya
sesuatu yang bewujud material saja, akan tetapi juga sesuatu yang
berwujud non material atau immatrial. Notonagoro berpendapat
bahwa nilai-nilai Pancasila tergolong nilai-nilai kerokhanian, tetapi
nilai-nilai kerohanian yang mengakui adanya nilai material dan vital.
Dengan demikian nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, baik
nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan, nilai
kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang bersifat
sistematikahierarkis, yang dimulai dari sila Ketuhanan yang Maha Esa
sebagai 'dasar' sampai dengan sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia sebagai 'tujuan'.

5. Hubungan Nilai, Norma dan Moral


Keterkaitan nilai, norma dan moral merupakan suatu kenyataan
yang seharusnya tetap terpelihara di setiap waktu pada hidup dan
kehidupan manusia. Keterkaitan itu mutlak digaris bawahi bila
seorang individu, masyarakat, bangsa dan negara menghendaki

7
fondasi yang kuat tumbuh dan berkembang. Sebagaimana tersebut di
atas maka nilai akan berguna menuntun sikap dan tingkah laku
manusia bila dikongkritkan dan diformulakan menjadi lebih obyektif
sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam
aktivitas sehari-hari.
Dalam kaitannya dengan moral maka aktivitas turunan dari nilai
dan norma akan memperoleh integritas dan martabat manusia. Derajat
kepribadian itu amat ditentukan oleh moralitas yang mengawalnya.
Sementara itu, hubungan antara moral dan etika kadang-kadang atau
seringkali disejajarkan arti dan maknanya. Namun demikian, etika
dalam pengertiannya tidak berwenang menentukan apa yang boleh
dan tidak boleh dilakukan seseorang. Wewenang itu dipandang berada
di tangan pihak yang memberikan ajaran moral. Hal ini yang menjadi
suatu kekurangan dari etika jika dibandingkan dengan ajaran moral.
Akan tetapi dalam etika seseorang dapat mengerti mengapa, dan atas
dasar apa manusia harus hidup menurut norma-norma tertentu, ini
adalah kelebihan dari etika dibandingkan moral. Analoginya adalah
ajaran moral sebagai buku petunjuk tentang bagaimana kita
memperlakukan sebuah mobil dengan baik, sedangkan etika
memberikan pengertian pada kita tentang struktur dan teknologi mobi
tersebut.

B. Etika Politik
1. Pengertian Etika Politik
Etika, atau filsafat moral mempunyai tujuan menerangkan kebaikan
dan kejahatan. Etika politik yang demikian, memiliki tujuan
menjelaskan mana tingkah laku politik yang baik dan mana yang
jelek. Apa standar baik? Apakah menurut agama tertentu? Tidak!
Standar baik dalam konteks politik adalah bagaimana politik
diarahkan untuk memajukan kepentingan urnum. Jadi kalau politik
sudah mengarah pada kepentingan pribadi dan golongan tertentu, itu

8
etika politik yang buruk. Sayangnya, itulah yang terjadi di negeri ini.
Etika politik bangsa Indonesia dibangun melalui karakteristik
masyarakat yang berdasarkan Pancasila sehingga amat diperlukan
untuk menampung tindakan-tindakan yang tidak diatur dalam aturan
secara legal formal. Karena itu, etika politik lebih bersifat konvensi
dan berupa aturan-aturan moral. Akibat luasnya cakupan etika politik
itulah ma ka seringkali keberadaannya bersifat sangat longgar, dan
mudah diabaikan tanpa rasa malu dan bersalah. Ditunjang dengan
alam kompetisi untuk meraih ja batan (kekuasaan) dan akses
ekonomis (uang) yang begitu kuat, rasa malu dan merasa bersalah bisa
dengan mudah diabaikan.
Akibatnya ada dua hal : (a) pudarnya nilai-nilai etis yang sudah
ada, dan (b) tidak berkembangnya nilai-nilai tersebut sesuai dengan
moralitas publik. Untuk memaafkan fenomena tersebut lalu
berkembang menjadi budaya permisif, semua serba boleh, bukan saja
karena aturan yang hampa atau belum dibuat, melainkan juga disebut
serba boleh, karena untuk membuka seluas-luasnya upaya mencapai
kekuasaan dan uang dengan mudah.
Tanpa disadari, nilai etis politik bangsa Indonesia cenderung
mengarah pada kompetisi yang mengabaikan moral. Buktinya, semua
harga jabatan politik setara dengan sejumlah uang. Semua jabatan
memiliki harga yang harus dibayar si pejabat. Itulah mengapa para
pengkritik dan budayawan secara prihatin menyatakan arah etika
dalam bidang politik dan bidang lainnya sedang berlarian tunggang-
langgangmenuju ke arah "jual-beli" menggunakan uang maupun
sesuatu yang bisa dihargai dengan uang hanya untuk menopang
sebuah kekuasaan mengatasnamakan rakyat
Namun demikian, perlu dibedakan antara etika politik dengan
moralitas politisi. Moralitas politisi menyangkut mutu moral
negarawan dan politisi secara pribadi dan memang sangat diandaikan,

9
misalnya apakah ia korup atau tidak (di sini tidak dibahas). Etika
politik menjawab dua pertanyaan :
1. Bagaimana seharusnya bentuk lembaga-lembaga kenegaraan
seperti hokum dan Negara (misalnya: bentuk Negara
seharusnya demokratis); jadi etika politik adalah etika institusi.
2. Apa yang seharusnya menjadi tujuan/sasaran segala kebijakan
politik, jadi apa yang harus mau dicapai baik oleh badan
legislatif maupun eksekutif.
Etika politik .....adalah perkembangan filsafat di zaman pasca
tradisional. Dalam tulisan para filosof politik klasik: Plato, Aristoteles,
Thomas Aquinas, Marsilius dari Padua, Ibnu Khaldun, kita
menemukan pelbagai unsur etika politik, tetapi tidak secara sistematik.
Dua pertanyaan etika politik di atas baru bisa muncul di ambang
zaman modern, dalam rangka pemikiran zaman pencerahan, karena
pencerahan tidak lagi menerima tradisi/otoritas/agama, melainkan
menentukan sendiri bentuk kenegaraan menu rut ratio/nalar, secara
etis. Karena itu, sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan pokok-
pokok etika politik seperti:
a. Perpisahan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan Negara
(John Locke)
b. Kebebasan berpikir dan beragama (Locke)
c. Pembagian kekuasaan (Locke, Montesquie
d. Kedaulatan rakyat (Rousseau)
e. Negara hukum demokratis/republican (Kant)
f. Hak-hak asasi manusia (Locke, dsb)
g. Keadilan sosial

3. Pengertian Politik
Pengertian 'politik' berasal dari kosakata 'politic', yang memiliki
makna bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau
'negara", yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari

10
sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan itu. Berdasarkan
pengertianpengertian pokok tentang politik maka secara
operasional bidang politik menyangkut konsep-konsep pokok yang
berkaitan dengan negara (state), kekuasaan (power), pengambilan
keputusan (decision making), kebijaksanaan (policy), pembagian
(distribution), serta alokasi (allocation).
Pengertian politik secara sempit, yaitu bidang politik lebih
banyak berkaitan dengan para pelaksana pemerintahan negara,
lembagalembaga tinggi negara, kalangan aktivis politik serta para
pejabat serta birokrat dalam pelaksanaan dan penyelengaraan
negara. Pengertian politik yang lebih luas, yaitu menyangkut
seluruh unsur yang membentuk suatu persekutuan hidup yang
disebut masyarakat negara.

4. Dimensi Politis Manusia


Paham individualisme yang merupakan cikal bakal paham
liberalisme, memandan manusia sebagai makhluk individu yang
bebas. Segala hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama
senantiasa diukur berdasarkan kepentingan dan tujuan berdasarkan
paradigma sifat kodrat manusia sebagai individu. Kalangan
kolektivisme merupakan cikal bakal sosialisme dan kom unisme
memandang sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial saja.
Manusia di pandang sebagai sekedar srana bagi masyarakat. Segala
hak dan kewajiban baik moral maupun hukum, dalam hubungan
masyarakat, bangsa dan negara senantiasa diukur berdasarkan
filosofi manusia sebagai makhluk sosial.
Manusia sebgai makhluk yang berbudaya, kebebasan sebagai
individu dan segala aktivitas dan kreativitas dalam hidupnya
senantiasa tergantung pada orang lain, hal ini di karenakan manusia
sebagai warga masyrakat atau sebagai makhluk sosial. Manusia di
dalam hidupnya mampu ber-eksistensi karena orang lain dan ia
hanya dapat hidup dan berkembang karena dalam hubungannya
dengan orang lain. Segala keterampilan dibutuhkannya agar
berhasil dalam segal kehidupannya serta berpartisipasi dalam
kebudayaan diperolehnya dari masyarkat. Dasar filosofis sebagai
mana terkandung dalam pancasila yang nilainya terdpat dalam

11
budaya bangsa, senantiasa mendasarkan hakikat sifat kodrat
manusia adalah bersifat 'monodualis’. Maka sifat serta ciri khas
kebangsan dan kenegaraan Indonesia, bukanlah totalitas
individualistis ataupun sosialistis melainkan monodualistis.
Berdasarkan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan
sosial, dimensi politis mencakup lingkaran kelembagan hukum dan
negara, sistem-sistem nilai serta ideologi yang memberikan
legitimasi kepadanya. Dalam hubungan dengan sifat kodrat
manusia sebagi makhluk individu dan sosial, dimensi politis
manusia senantiasa berka itan dengan kehidupan negara dan
hukum, sehingga senantiasa berkaitan dengan kehidupan
masyrakat secara keseluruhan. Sebuah keputusan bersifat politis
manakala diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat
sebagai suatu keseluruhan. Dengan demikian dimensi politis
manusia dapat ditentukan sebagai suatu kesadarn manusia akan
dirinya sendiri sebagai anggota masyarakat sebagai sutu
keseluruhan yang menentukan kerangka kehidupannya dan
ditentukan kembali oleh kerangka kehidupannya serta ditentukan
kembali oleh tindakan — tindakannya.
Dimensi politis manusia ini memiliki dua segi fundmental, yaitu
pengertian dan kehendak untuk bertindak. Sehingga dua segi
fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan
manusia. Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan dengan
tindakkan moral manusia.

5. Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik


. Sila pertama 'Ketuhanan Yang Maha Esa’ serta sila kedua
‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab' adalah merupakan sumber
nilai-nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan
kenegaraan.Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika
politik menuntut agar kekuasaan dalam negeri di jalankan sesuai
dengan:
a) Asas legalitas (legitimasi hukum).
b) Di sahkan dan dijalankan secara demokratis(legitimasi
demokratis)
c) Dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral / tidak
bertentangan dengannya (legitimasi moral).

12
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar
tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, baik
menyangkut kekuasan, kebijaksanan yang menyangkut publik,
pembagian serta kewenangan harus berdasarkan legitimasi moral
religius ( Sila I ) serta moral kemanusiaan ( Sila 2). Negara
Indonesia adalah negara hukum, Oleh karena itu keadilan' dalam
hidup bersama ( keadilan sosial ) sebagai mana terkandung dalam
(Sila 5), adalah merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Oleh
karena itu dalam pelaksanaan dan pnyelenggraan negara, segala
kebijakan, kekuasaan, kewenangan, serta pembagian senantiasa
harus berdasarkan atas hukumberlaku Negara adalah berasal dari
rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan
senantiasa untuk rakyat ( Sila 4). Oleh karena itu rakyat adalah
merupakan asal mula kekuasan negara. Oleh karena itu
pelaksanaan dan pnyelenggraan negara segala kebijaksanaan,
kekuasaan, serta kewenangan harus dikembalikan pada rakyat
sebagai pendukung pokok negara.

13
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan
pandangan moral. Pandangan moral, hal ini pun dapat menjadi etika hukum dalam
sebuah negara. Politik merupakan interaksi antara pemerintah dan masyarakat
untuk membuat suatu kesepakatan bersama. Bagi Max Weber, politik adalah
sarana perjuangan untuk melaksanakan dan mempengaruhi distribusi kekuasaan,
baik antara negara maupun hukum. Politik terbagi menjadi dua, yaitu sebagai ilmu
dan sebagai filsafat. Sebagai ilmu, politik berisi pemahaman untuk mengatur suatu
sistem pemerintahan. Sebagai filsafat, politik mempengaruhi permasalahan
fundamental hakikat dan tujuan negara. Politik membicarakan hal-hal yang
berkaitan dengan negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan dan
distribusi atau alokasi sumber daya.
Etika politik merupakan sarana yang membahas hukum dan kekuasaan
negara. Fungsinya terlihat pada penyediaan alat-alat teoretis untuk
mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab.
Hal itu dilakukan agar pembahasan masalah-masalah ideologis dapat dijalankan
secara objektif. Sila yang terakhir dari Pancasila mengungkapkan, bahwa
Indonesia adalah negara hukum, sehingga penyelenggaraan segala kebijakan,
kekuasaan, kewenangan, serta pembagian harus berdasarkan hukum yang berlaku.

14
DAFTAR PUSTAKA

Mahendra, P. R. A. (2015). Pancasila sebagai Etika Politik. Widya Accarya, 4(1).


Pureklolon, T. T. (2020). PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK DAN
HUKUM NEGARA INDONESIA [Pancasila as Political Ethics and
Indonesian State Law]. Law Review, 20(1), 71-86.
Pasaribu, R. B. F. (2013). Pancasila Sebagai Etika Politik. Jakarta: Kompas.

15

Anda mungkin juga menyukai