Anda di halaman 1dari 52

ASPEK KEPERILAKUAN PADA PENGAMBILAN KEPUTUSAN DAN

PARA PENGAMBIL KEPUTUSAN


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akuntansi Keperilakuan
Dengan Dosen Pengampu Marita Kusuma Wardani, S.E, M.si.,Ak.,CA

Disusun Oleh :
Kelompok 8
Anggia Nurhandini (165221095)
Nur Hiqmawati (165221122)
Mei Ade Kurniati (165221176)
AKS 6C

JURUSAN AKUNTANSI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
SURAKARTA
2019
PEMBAHASAN

A. Teori Motivasi
Kata motivasi berasal dari Bahasa latin “movere” yang artinya
menimbulkan pergerakan. Motivasi didefinisikan sebagai kekuatan
psikologis yang menggerakkan seseorang kearah beberapa jenis tindakan
(Haggard, 1989). Menurut penulis, motivasi adalah proses yang dimulai
dengan definisi fisiologis atau psikologis yang menggerakkan perilaku
atau dorongan yang ditujukan untung tujuan insentif. Motivasi juga
berkaitan dengan reaksi subjektif yang terjadi sepanjang proses ini.
Motivasi adalah suatu konsep penting untuk perilaku akuntan karena
efektivitas organisasi bergantung pada orang yang membentuk
sebagaimana karyawan mengharapkan untuk dibentuk. Manajer dan
akuntan keperilakuan harus memotivasi orang ke arah kinerja yang
diharapkan dalam rangka mmenuhi tujuan organisasi.
Teori Motivasi Dan Aplikasinya
Mengarahkan dan memotivasi orang lain adalah pekerjaan para
manajer. Hal ini sangat penting karena arti manajer, sebagaimana sering
didefinisikan oleh banyak buku manajemen, adalah menyelesaikan sesuatu
melalui orang lain (getting things done through other people). Manajer
akan selalu berusaha agar bawahannya selalu rajin bekerja, dan mau
bekerja dengan giat. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika masalah
motivasi menjadi salah satu pokok pembahasan yang penting dalam
manajemen.
Buku-buku manajemen banyak menguraikan motivasi. Terdapat
keyakinan bahwa perilaku manusia ditimbulkan oleh motivasi. Dengan
demikian, ada sesuatu yang mendorong (memotivasi) seseorang untuk
berbuat sesuatu. Dalam memberikan motivasi, terkadang terdapat banyak
kendala yang dihadapi seorang manajer.
System pengendalian akuntansi mensyaratkan adanya suatu
pemahaman tentang bagaimana individu dapat termotivasi oleh teori
akuntansi. Kebanyakan dari teori-teori ini telah dibenarkan secara empiris
dan berperan penting dalam mengakhiri pernyataan bahwa motivasi adalah
masalah lengkap yang dapat diatasi oleh satu teori saja. Terdapat beberapa
teori umum yang digunakan dalam kelompok teori yang ada pada saat ini.
Kelompok teori tersebut masing-masing telah banyak ditulis dalam
literator; tetapi pada dasarnya masih bersifat umum dan setiap unit
dimasukkan kesebuah kelompok.
Teori Motivasi Awal
Motivasi adalah proses yang dimulai dengan definisi fisiologis atau
psikologis yang menggerakkan perilaku atau dorongan yang ditujukan
untuk tujuan insentif. Motivasi juga berkaitan dengan reaksi subjektif yang
terjadi sepanjang prosese ini. Menurut definisi, motivasi adalah suatu
konsep penting untuk perilaku karena efektifitas organisasi tergantung
pada orang yang membentuk sebagaimana karyawan mengharapkan untuk
dibentuk. Manajer dan supervisor harus memotivasi orang kearah kinerja
yang diharapkan dalam rangka memenuhi tujuan organisasi.
Pada dasawarsa tahun 1950-an merupakan kurun waktu yang
berhasil dalam pengembangan konsep motivasi. Tiga teori spesifik
dirumuskan selama waktu ini meskipun diserang keras dan sekarang dapat
dipertanyakan faliditasnya. Ketiga teori ini merupakan teori hierarki (anak
tangga) kebutuhan, teori X dan Y, dan teori motivasi hygiene. Anda
mengethaui bahwa teori ini secara diri sekurangnya untuk alasan: 1) teori
ini mewakili suatu fondasi yang dari situ berkembang teori kontemporer,
dan 2) para manajer mempraktikkan secara teratur menggunakan teori ini
dan terminology mereka dalam menjelaskan motivasi karyawan.
Toeri Kebutuhan Dan Kepuasan
Maslow (1954) mengembangkan suatu bentuk teori kelas. Teorinya
menjelaskan bahwa setiap individu mempunyai beraneka ragam kebutuhan
yang dapat memengaruhi perilaku mereka. Maslow membagi kebutuhan
ini ke dalam beberapa kelompok yang pengaruhnya berbeda. Pada
kenyataannya, terdapat suatu hierarki kebutuhan yang didominasi oleh
kebutuhan lain yang tidak mempunyai pengaruh motivasi yang lebih. Pada
praktiknya, teori kebutuhan ini merupakan bagian dari kebutuhan
psikologis yang akan didominasi oleh kebutuhan lain jika tidak dipenuhi.
Secara psikologis, kebutuhan merupakan syarat dasar memenuhi
kebutuhan fisik, seperti makan, minum, perlindungan, dan sebagainya
yang disebut kebutuhan dasar utama (primary basic need). Secara ringkas,
kelima hierarki kebutuhan manusia oleh Maslow dijabarkan sebagai
berikut:
1. Kebutuhan fisiologis (physiological needs), yaitu kebutuhan fisik,
seperti kebutuhan untuk memuaskan rasa lapar dan haus, kebutuhan
akan perumahan, pakaian, dan sebagainya.
2. Kebutuhan akan keamanan (safety needs), yaitu kebutuhan akan
keselamatan dan perlindungan dari bahaya, ancaman, perampasan atau
pemecatan.
3. Kebutuhan social (social needs), yaitu kebutuhan akan rasa cinta dan
kepuasan dalam menjalin hubungan dengan orang lain, kebutuhan
akan kepuasan dan perasaan memiliki serta diterima dalam suatu
kelompok, rasa kekeluargaan, persahabatan, dan kasih sayang.
4. Kebutuhan akan penghargaan (esteem needs), yaitu kebutuhan akan
status atau kedudukan, kehormatan diri, reputasi, dan prestasi.
5. Kebutuhan akan aktualisasi diri (self actualization needs), yaitu
kebutuhan pemenuhan diri untuk menggunakan potensi ekspresi diri
dan melakukan apa yang paling sesuai dnegan dirinya.
Teori tentang kebutuhan dan kepuasan ini mempunyai banyak
pengaruh terhadap pengendalian akuntansi.
1. Pertanyaan yang berhubungan dengan konsep motivasi umum yang
digunakan dalam buku-buku teks.
2. Seringnya istilah motivasi menjadi catatan mendasar yang menjadi
bahan perhitungan dalam pembayaran bonus akibat kemungkinan
adanya motivasi.
Teori kebutuhan dan kepuasan telah menjadi subjek yang banyak
dikritik. Beberapa orang telah mengkritik bahwa hal itu adalah sesuatu
yang logis dan mendasar dari suatu alat ukur, yaitu berupa variable.
Percobaan terhadap teori lainnya telah diuji secara empiris dengan tingkat
keberhasilan yang dibatasi, sekalipun hal itu tidak menjelaskan apakah
hasilnya merupakan cerminan dari suatu teori atau pengujian. Namun,
demikian penggunaan teori ini masih umum jika dihubungkan secara
perlahan dengan pengajaran akuntansi.
Teori X dan Teori Y
Douglas McGregor tahun 1960 seorang psikolog sosial Amerika,
mengajukan teori XY yang terkenal pada tahun 1960 dalam bukunya The
Human Side of Interprice. McGregor teori XY adalah pengingat
bermanfaat sederhana dari aturan alam untuk mengelola alam, yang berada
di bawah tekanan sehari-hari dan terlalu mudah dilupakan. Teori X dan
teori Y masih disebut umum di bidang manajemen dan motivasi, sementara
penelitian yang lebih baru telah mempertanyakan model, McGregor
tersebut.
Pandangannya mengenai manusia menyimpulkan bahwa manusia
memiliki dasar negatif yang diberi tanda sebagai teori X. Dan yang lain
positif ditandai dengan teori Y. Setelah memandang manajer menangani
karyawan, McGregor menyimpulkan bahwa pandangan seorang manajer
mengenai kodrat manusia didasarkan pada suatu pengelompokan
pengandaian tertentu dan manajer cenderung membentuk perilakunya
terhadap bahwa hanya menurut pengandaian tersebut.
Ide McGregor menyarankan bahwa ada 2 pendekatan dasar untuk
mengelola orang. Banyak manajer cenderung ke arah teori X, dan
umumnya mendapatkan hasil yang buruk. Manajer tercerahkan
menggunakan teori Y, yang menghasilkan kinerja yang lebih, dan
memungkinkan orang untuk tumbuh dan berkembang. Ide McGregor
secara signifikan berhubungan dengan pemahaman modern kontrak
fisiologis yang menyediakan banyak cara untuk menghargai alam tidak
membantu X teori kepemimpinan, dan sifat menguntungkan yang berguna
konstruktif Y teori kepemimpinan. Secara umum McGregor lebih
mempercayai teori Y dengan alasan bahwa para manajer penganut teori Y
lebih merasa puas dan mampu memotivasi para karyawannya.
Teori Kebutuhan Mcclelland
Teori ini yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang
berhubungan dengan teori yang kebutuhan dan kepuasan, yang awalnya
dikembangkan oleh McGregor (1961). Teori McClelland juga mempunyai
faktor hierarki yang memotivasi perilaku. Dalam kasus ini, terdapat 3
faktor, yaitu prestasi, kekuatan, dan afiliasi. Dalam teori prestasi, terdapat
banyak kekakuan. Orang-orang yang berbeda dan orang-orang yang sama
pada waktu yang berbeda mempunyai perbedaan perintah dalam suatu
hierarki. Riset yang dilakukan oleh McClelland memberikan hasil bahwa
terdapat tiga karakterisitik berikut dari orang yang memiliki kebutuhan
prestasi yang tinggi.
1. Orang yang memiliki kebutuhan prestaasi yang tinggi memiliki
tanggung jawab yang tinggi terhadap pelaksanaan suatu tugas atau
pencarian solusi atas suatu permasalahan. Akibatnya, mereka lebih suka
bekerja sendiri daripada dengan orang lain. Apabila pekerjaan
membutuhkan orang lain maka mereka lebih suka memilih orang yang
kompeten daripada sahabatnya.
2. Orang yang memiliki kebutuhan prestasi yang tinggi cenderung
menetapkan tingkat kesulitan tugas yang moderat dan menghitung
risikonya.
3. Orang yang memiliki kebutuhan prestasi yang tinggi memiliki
keinginan yang kuat untuk memperoleh umpan balik (feedback) atau
tanggapan atas pelaksanaan tugas.
Dalam riset tersebut, McClelland menemukan bahwa uang tidak begitu
penting peranannya dalam meningkatkan prestasi kerja bagi mereka yang
memiliki kebutuhan prestasi yang tinggi. Orang yang memiliki kebutuhan
prestasi yang rendah tidak akan berprestasi baik dengan maupun tanpa
insentif keuangan.
Teori Dua Faktor
Pada pertengahan tahu 1960-an, Herzberg (1966) mengajukan suatu
teori motivasi yang dibagi ke dalam beberapa faktor. Teori ini berpengaruh
pada 2 jenis perilaku. Asumsi terpenting dari bentuk teori Herzberg, adalah
faktor yang mempunyai pengaruh positif dalam motivasi dan menjadi
bahan perbandingan yang menyenangkan terhadap seluruh pengaruh
negatif. Herzberg mengusulkan signifikansi hubungan antara kepuasan
kerja dan motivasi adalah tinggi. Faktor-faktor ini meliputi: kebijakan
perusahaan, kondisi pekerjaan, hubungan perseorangan, keamanan kerja,
dan gaji. Faktor motivasi meliputi prestasi, pengakuan, tantangan
pekerjaan, promosi, dan tanggung jawab. Semuanya ini bertujuan
meningkatkan kepuasan kerja dan kepuasan motivasi. Bagian teori ini
bergerak kea rah negatif jika terdapat keterbatasan pengaruh terhadap
motivasi sebagai pengaruh kekuatan yang dibangun dari faktor motivasi itu
sendiri. Bagaimanapun, keamanan yang dipaksakan merupakan
ketidakleluasaan pekerjaan yang ditunjukkan dari tindakan yang tidak
efektif dari faktor-faktor motivasi tersebut.
Selain itu, Herzberg menjelaskan bahwa hasil riset yang dilakukannya
terhadap 200 responden yang terdiri atas akuntan dan insinyur
menunjukkan bahwa terdapat 2 hal yang terkait dengan kepuasan dan
motivasi. Berikut kedua faktor tersebut:
1. Sejumlah kondisi kerja ekstrinsik (extrinsic job conditions), yang
apabila tidak ada menyebabkan terjadinya ketidakpuasan di antara para
karyawan. Kondisi ini disebut faktor tidak kepuasan (dissatisfiers
factors) atau faktor higiene (hygiene factors) karena kondisi atau faktor-
faktor tersebut minimal dibutuhkan untuk menjaga agar ketidakpuasan
tidak terjadi.
2. Sejumlah kerja intrinsic (intrinsic job conditions) yang apabila ada
berfungsi sebagai motivator dan dapat menghasilkan prestasi kerja yang
baik. Namun, jika kondisi atau faktor tersebut tidak ada maka tidak
akan menyebabkan terjadinya ketidakpuasan. Faktor-faktor tersebut
berkaitan dengan isi pekerjaan, yang disebut dengan istilah faktor
pemuas (satisfiers factors).
Ringkasan Teori-Teori Kebutuhan
Semua teori dari kebutuhan motivasi, mencakup hierarki kebutuhan
Maslow, teori ERG Alderfer, teori kebutuhan McClelland, dan teori
motivasi hygiene Herzberg (teori dua faktor), mengusulkan ide yang sama:
individu memiliki kebutuhan bahwa, ketika tidak puas, akan menghasilkan
motivasi. Misalnya, jika Anda butuh untuk dipuji, Anda akan bekerja keras
atas tugas Anda dalam rangka untuk menerima pengakuan dari manajer
Anda atau co-workers lainnya. Sama halnya jika Anda butuh uang dan Anda
meminta untuk melakukan sesuatu, dengan alasan bahwa menawarkan uang
sebagai suatu imbalan, Anda akan dimotivasi untuk melengkapi tugas dalam
rangka untuk memperoleh uang. Dimana teori kebutuhan berbeda dalam
jenis kebutuhan yang mereka pertimbangkan, dan apakah mereka
mengusulkan hierarki kebutuhan (dimana beberapa kebutuhan telah
dipuaskan sebelum yang lainnya) atau daftar sederhana dari kebutuhan.
Teori-Teori Kebutuhan Di Tempat Kerja
Apa yang dapat disimpulkan dari teori kebutuhan? Kita dapat
dengan aman mengatakan individu memiliki kebutuhan dan bahwa mereka
dapat termotivasi dengan tinggi untuk mencapai kebutuhan. Jenis
kebutuhan, dan kepentingan mereka, dibedakan oleh individu, dan mungkin
berbeda sepanjang waktu untuk individu sama yang baiknya. Ketika
memberikan penghargaan individu, sesuatu harus mempertimbanagkan
secara spesifik keebutuhan mereka. Beberapa karyawan mungkin bergelut
untuk membuat pertemuan akhir, sementara yang lain mencari kesempatan
lagi untuk mencapai aktualisasi diri. Kebutuhan individu yang berubah
sepanjang waktu, bergantung kepada langkah seseorang dalam hidup.
Seyogyanya, pada suatu tempat kerja akan sulit untuk mendesain satu
struktur reward yang dapat dengan sepenuhnya mempertimbangkan
kebutuhan spesifik dari masing-masing karyawan.
Proses Teori-Teori Motivasi
Motivasi adalah proses yang dimulai dengan kebutuhan fisiologis
atau psikologis yang mengaktifkan perilaku atau pemicu yang ditujukan
untuk tujuan. Setiap karyawan diharapkan mampu manunjukkan
peningkatan dan produktivitas kualitatif kepada manajer. Untuk mencapai
hal ini, perilaku karyawan sangat penting. Perilaku karyawan dipengaruhi
oleh lingkungan dimana mereka menemukan diri mereka sendiri. Perilaku
karyawan akan menjadi fungsi yang memicu karyawan merasa akan
kebutuhan dan kesempatan bahwa dia harus memenuhi kebutuhan mereka di
tempat kerja. Jika karawan tidak pernah diberikan kesempatan untuk
memanfaatkan semua kemampuan mereka maka pengusaha mungkin tidak
pernah mendapatkan manfaat dari total kinerja mereka. Untuk kerja yang
bergantung pada kemampuan karyawan. Jika karyawan kurang memiliki
keterampilan yang dipelajari atau bakat bawaan untuk melakukan tugas
tertentu maka kinerja akan kurang optimal. Kinerja adalah motivasi.
Motivasi adalah tindakan merangsang seseorang atau diri sendiri untuk
mendapatkan tindakan yang diinginkan.
Teori Erg
Teori dari Clayton Arderfer (1969) ini juga menganggap kebutuhan
manusia tersusun dalam suatu hierarki. Maslow mengatakan orang
cenderung meningkat hierarki kebutuhannya sejalan dengan terpuaskannya
kebutuhan sebelumnya. Namun, Alderfer tidak sependapat dengan Maslow.
Alderfer menegaskan suatu kebutuhan tidak harus terpuaskan terlebih
dahulu sebelum kebutuhan pada tingkat diatasnya muncul.
Teori ERG (existence, relatedness, growth) menganggap kebutuhan
manusia memiliki tiga hierarki kebutuhan, yaitu kebutuhan akan eksistensi
(existence needs), kebutuhan akan keterikatan (relatedness needs), dan
kebutuhan akan pertumbuhan (growth needs). Teori ERG mengandung
suatu dimensi frustasi regresi. Ingat kembali bahwa Maslow berargumen
seorang individu akan tetap suatu tingkat kebutuhan tertentu sampai
kebutuhan tersebut dipenuhi. Teori ERG menyangkalnya dengan
mengatakan bahwa bila suatu tingkat kebutuhan dari yang lebih tinggi
terhalang, maka timbul hasrat dalam individu itu untuk meningkatkan
kebutuhannya di tingkat lebih rendah. Ketidakmampuan untuk memuaskan
suatu kebutuhan akan interaksi sosial mungkin meningkatkan hasrat untuk
memiliki lebih banyak uang atau kondisi kerja yang lebih baik jadi, frustrasi
(halangan) dapat mendorong ke suatu kemunduran yang lebih baik.
Ringkasnya, teori ERG sependapat dengan teori Maslow bahwa
kebutuhan tingkat rendah yang terpuaskan menghantar ke hasrat untuk
memenuhi kebutuhan dengan tingkatan yang lebih tinggi. Namun,
kebutuhan ganda dapat beroperasi sebagai motivator sekaligus halangan
dimana mencoba memuaskan kebutuhan dengan tingkat yang lebih tinggi
dihasilkan pengaruh terhadap pemuasan akan kebutuhan dengan tingkat
lebih rendah.
Teori ERG konsisten dengan pengetahuan kita mengenai perbedaan
individual di antara orang-orang. Variabel seperti pendidikan, latar
belakang, dan lingkungan budaya dapat dapat mengubah arti penting atau
kekuatan dorong yang dimiliki sekelompok kebutuhan terhadap seorang
individu tertentu. Bukti memperlihatkan bahwa orang-orang dalam budaya
lain memeringkat kategori dengan cara berbeda. Namun, secara keseluruhan
teori ERG menyatakan suatu versi yang lebih valid dibandingkan dengan
kebutuhan.
Teori Harapan
Teori harapan mungkin telah banyak digunakan oleh para peneliti
akuntansi. Teori ini dikembangkan sejak tahun 1930-an oleh Kurt Levin dan
Edward Tolman. Dasar teori ini memiliki sejarah yang panjang, tetapi
menjadi dikenal dalam akuntansi setelah diperkenalkan oleh Ronen dan
Livingstone (1975), kemudian secara komprehensif dan sistematik
dirumuskan oleh Victor Vroom (1964). Teori harapan disebut juga teori
valensi atau instrumentalis. Ide dasar dari teori ini adalah motivasi
ditentukan oleh hasil yang diharapkan akan diperoleh seseorang sebagai
akibat dari tindakannya. Variabel kunci dalam teori harapan adalah usaha
(effort) hasil (income), harapan (expectancy), instrument yang berkaitan
dengan hubungan antara hasil tingkat pertama dengan hasil tingkat kedua,
hubungan antara prestasi dan imbalan atas pencapaian prestasi, serta valensi
yang berkaitan dengan kadar kekuatan dan keinginan seseorang terhadap
hasil tertentu.
Usaha-hubungan kinerja. Usaha –hubungan kinerja biasanya
disebut ekspektasi ini mengacu pada persepsi individu tentang bagaimana
mungkin menggunakan sejumlah usaha tertentu akan memimpin kinerja
yang baik. Misalnya, karyawan sering meminta untuk melaksanakan tugas
bagi mereka yang tidak mempunyai keterampilan atau pelatihan yang
pantas. Ketika ini merupakan kasus, mereka akan kurang termotivasi untuk
mencoba lebih keras karena mereka telah meyakini bahwa mereka tidak
akan mampu untuk memenuhi apa yang mereka minta untuk dilakukan.
Ekspektasi dapat diekspresikan sebagai satu kemungkinan, dan terbentang
dari angka 0-1. Secara umum, ekspektasi karyawan dipengaruhi oleh hal-hal
sebagai berikut:
1. Harga diri.
2. Keberhasilan sebelumnya.
3. Pertolongan dari pengawas dan bawahan.
4. Informasi.
5. Materi yang sesuai dan perlengkapan.

Kinerja-hubungan reward. Kinerja hubungan reward umumnya


disebut alat bantu. Ini menunjukkan persepsi individu tentang apakah
dilaksanakan pada satu tingkat tertentu akan memimpin terhadap
pencapaian dari suatu hasil yang diinginkan. Lebih khususnya akankah
kinerja diketahui oleh semua yang memiliki kekuatan untuk
mengalokasikan reward? Instrumental terbentang dari -1 ke +1.
Instrumental negative menandai tingginya kinerja yang mengurangi
kesempatan dari hasil yang diinginkan. Instrumental dari 0 menandai
bahwa di sana tidak ada hubungan di antara kinerja dan mencapai hasil
yang diinginkan. Dalam satu studi oleh Angus Reid Group, hanya 44 %
karyawan mengatakan tempat kerja mengenali karyawan yang melampaui
pekerjaan mereka. Dengan demikian, satu sumber motivasi yang rendah
adalah kepercayaan karyawan yang tak peduli seberapa keras dia bekerja,
kinerja tidak akan dikenali.

Reward-hubungan tujuan personal. Reward-hubungan tujuan


personal biasanya disebut valensi. Ini menunjuk pada derajat kemana
reward organisatoris memuaskan tujuan pribadi seseorang atau kebutuhan
dan daya pikat dari imbalan potensial untuk individu. Sayangnya, banyak
manajer terbatas pada imbalan mereka yang dapat dibagikan mereka yang
membuat sulit reward pribadi. Lebih dari itu, beberapa manajer salah
mengasumsikan bahwa semua karyawan menginginkan hal yang sama.
Mereka melewatkan pengaruh motivasi untuk membedakan reward. Dalam
kasuspun, motivasi karyawan mungkin lebih rendah karena kebutuhan
spesifik karyawan yang tidak dijumpai melalui struktur imbalan. Jarak
valensi dari satu (reward yang sangat diinginkan) ke +1 (reward yang
sangat diinginkan).

Teori Penguatan
Teori ini mengemukakan perilaku merupakan fungsi dari akibat
yang berkaitan dengan perilaku tersebut. Teori penguatan memiliki konsep
dasar sebagai berikut:
1. Pusat perhatian adalah pada perilaku yang dapat diukur, seperti jumlah
yang dapat diproduksi, kualitas produksi, ketepatan pelaksanaan, jadwal
produksi, dsb.
2. Kontinjensi penguatan (contingencies of re-inforcement) berkaitan
dengan urutan antara stimulus, tanggapan, dan konsekuensi dari
perilaku yang ditimbulkan. Kondisi kerja tertentu dibentuk oleh
organisasi (stimulus), kemudian karyawan bertindak sebagaimana
diinginkan oleh organisasi (tanggapan) selanjutnya organisasi
memberikan imbalan yang sesuai dengan tindakan atau perilaku
karyawan tersebut (konsekuensi dari perilaku). Dari sudut pandang
motivasi, melalui penggunaan stimulus dan konsekuensi atau imbalan,
karyawan termotivasi untuk melakukan perilaku yang diinginkan oleh
organisasi. Dalam hal ini perilaku termotivasi melalui proses belajar.
3. Semakin pendek interval waktu antara tanggapan atau respon karyawan
(misalnya, prestasi kerja) dengan memberikan penguatan (imbalan),
maka semakin besar pengaruhnya terhadap perilaku. Terdapat 3 jenis
penguatan yang dapat digunakan oleh manajer untuk memodifikasi
karyawan, yaitu penguatan positif, penguatan negatif, dan hukuman.

Teori Penetapan Tujuan


Teori ini dikembangkan oleh Edwin Locke (1986). Teori ini
menguraikan hubungan antara tujuan yang ditetapkan dan prestasi kerja.
Konsep dasar dari teori ini adalah bahwa karyawan yang memahami tujuan
(apa yang diharapkan organisasi terhadapnya) akan memengaruhi perilaku
kerjanya. Beberapa pernyataan yang berkaitan dengan konsep teori
penetapan tujuan, yakni tujuan yang sulit menghasilkan prestasi yang lebih
tinggi disbanding tujuan yang mudah. Begitu pula dengan tujuan yang
spesifik (jelas) dan menantang akan menghasilkan prestasi yang lebih tinggi
disbanding tujuan yang bersifat abstrak.
Bagaimana Teori Motivasi Penetapan Tujuan
Menurut Locke, penetapan tujuan dimotivasi dengan empat cara:
1. Perhatian tujuan langsung. Tujuan ditandai di mana individu harus
mengarahkan usaha mereka langsung ketika mereka sedang memilih
antara hal-hal yang harus dikerjakan.
2. Upaya meregulasi tujuan. Tujuan menyarankan seberapa banyak usaha
seseorang harus diletakkan ke dalam satu tugas tertentu.
3. Tujuan meningkatkan ketekunan. Ketekunan mewakili upaya
menghabiskan satu tugas sepanjang waktu. Ketika orang-orang
mempertahankan tujuan dalam pikiran, mereka akan bekerja kera,
bahkan dalam menghadapi rintangan.
4. Tujuan menganjurkan pengembangan dari strategi dan rencana tindakan.
Satu kali tujuan disetel, seseorang dapat mengembangkan rencana untuk
mencapai tujuan itu.
Dalam rangka untuk mencapai tujuan yang efektif, mereka harus
menjadi “SMART”. SMART terdiri dari:
1. Specific. Seseorang mengetahui persis apa yang dicapai.
2. Measurable. Tujuan yang diajukan dapat dijejaki dan ditelaah.
3. Attainable. Tujuan sekalipun sulit adalah layak dan terjangkau.
4. Result Oriented. Tujuan harus mendukung penampakan dari organisasi.
5. Time bound. Tujuan dicapai dengan menyatakan waktu.
Teori Atribusi
Teori atribusi mempelajari proses bagaimana seseorang
menginterpretasikan suatu peristiwa, alasan, atau sebab perilakunya. Teori
ini dikembangkan oleh Fritz Helder (1958) Yng mengatakan bahwa perilaku
seseorang ditentukan oleh kombinasi antara kekuatan internal, yaitu faktor-
faktor yang berasal dari dalam diri seseorang, seperti kemampuan atau
usaha, dan kekuatan eksternal, yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar,
seperti kesulitan dalam pekerjaan atau keberuntungan. Berdasarkan hal
tersebut, seseorang akan termotivasi untuk memahami lingkungannya dan
sebab-sebab kejadian tertentu. Dalam riset keperilakuan, teori ini diterapkan
dengan menggunakan variabel lokus pengendalian. Variabel tersebut terdiri
atas 2 komponen yaitu lokus pengendalian internal dan lokus pengendalian
internal. Lokus pengendalian internal adalah perasaan yang dialami oleh
seseorang bahwa ia mampu mempengaruhi kinerja serta perilakunya secar
personal melalui kemampuan, keahlian, dan usahanya. Sementar lokus
pengendalian eksternal adalah perasaan yang dialami seseorang bahwa
perilakunya dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar kendalinya.
Proses Penentu Atribusi
1. Perbedaan  mengacu pada apakah seorang imdividu bertindak sama
dalam berbagai keadaan. Apakah mahasiswa selalu underperforming
(misalnya terlambat masuk kelas, masa bodoh dengan perencanaan tim,
tidak segera menjawab e-mail) atau apakah perilaku mahasiswa dalam
suatu situasi tidak seperti apa yang diperlihatkan pada situasi lain? Jika
perilaku adalah tidak biasa, pengamat mungkin suka membuat satu
atribusi eksternal. Jika tindakan ini tidak biasa, pengamat mungkin akan
menilai ini seperti disebabkan pertimbangan internal.
2. Consensus  consensus mempertimbangkan bagaimana perilaku
sesorang individu dibandingkan dengan individu lain pada situasi yang
sama. Jika setiap orang yang dihadapkan pada situasi yang sama
menanggapi situasi tersebut dengan cara yang sama, kita dapat
mengatakan perilaku tersebut menunjukkan consensus. Ketika
consensus tinngi, satu atribusi eksternal diberikan kepada terhadap
perilaku seseorang. Namun, jika perilaku seseorang berbeda dengan
orang lain, Anda akan menyimpulkan penyebab perilaku individu
adalah internal
3. Konsistensi  akhirnya seorang pengamat melihat konsistensi pada
satu tindakan yang diulangi sepanjang waktu. Jika seorang mahasiswa
yang biasanya dating tepat waktu ini (ia tidak pernah terlambat)
terlambat 10 menit, jalannya perkuliahan akan dirasakan berbeda
olehnya dibandingkan ketika mahasiswa yang terlambat secara rutin ini
(hambir setiap kelas) terlambat. Jika seorang mahasiswa selalu
terlambat maka keterlambatan merupakan atribut penyebab internal.

Teori Agensi

Teori ini didasarkan pada teori ekonomi. Dari sudut pandang teori
agensi, principal (pemilik atau manajemen puncak) membawahi agen (
karyawan atu manajer yang lebih rendah) untuk melaksab]nakan kinerja
yang efisisen. Teori ini mengasumsikan kinerja yang efisien dan kinerja
organisasi yang ditentukan oleh usaha dan pengaruh kondisi lingkungan.
Secara umum, teori ini mengasumsikan bahwa principal bersikapnetral
terhadap risiko sementara agen bersikap menolak usaha dan risiko. Agen
dan principal diasumsikan termotivasi oleh kepentingannya sendiri, dan
sering kali kepentingan antara keduanya berbenturan. Menurut pandangan
principal, kompensasi yang diberikan kepada agen tersebut didasarkan pada
hasil. Sementara menurut pandangan agen, ia lebih suka jika system
kompensasi tersebut tidak semata-mata melihat hasil tetapi juga tingkat
usahanya.

Pendekatan Dyanic

Pendekatan dyanic menyatakan bahwa ada dua pihak yang berperan


dalam proses evaluasi kinerja, yaitu atasan dan bawahan. Pendekatan
tersebut juga mengakui bahwa atasan kemungkinan tidak memperlakukan
seluruh bawahannya secara sama. Pendekatan ini tepat digunakan untuk
menganalisis hubungan antara atasan dan bawahan karena mencerminkan
proses yang menghubungkan keduanya. Namun pendekatan ini sangat
jarang digunakan.
B. Proses Pengambilan Keputusan
Pengertian Pengambilan Keputusan
Dalam pengertian luas, mengambil atau membuat suatu keputusan
berarti memilih satu dari sekian banyak alternatif. Pengambilan keputusan
merupakan proses memikirkan, mengelola, dan memecahkan masalah.
Dalam organisasi, pengambilan keputusan merupakan proses
memilih diantara berbagai alternatif tindakan yang akan berdampak di
masa depan. Berikut ini langkah- langkah dalam pengambilan keputusan
yaitu:
1. Pengenalan dan pendefinisian atas suatu masalah atau suatu peluang.
Langkah ini merupakan respon terhadap suatu masalah,
ancaman yang dirasakan, atau kesempatan dibayangkan. Untuk
mengenali dan mendefinisikan masalah atau peluang, para pengambil
keputusan memerlukan informasi mengenai lingkungan, keuangan, dan
operasi.
2. Pencarian atas tindakan alternatif dan kuantifikasi atas
konsekuensinya.
Ketika masalah atau peluang selesai didefinisikan, pencarian
untuk program alternatif tindakan dan kuantifikasi konsekuensi
dimulai. Pada langkah ini, alternatif praktis akan sebanyak mungkin
diidentifikasi dan dievaluasi. Pencarian sering dimulai dengan melihat
masalah serupa yang terjadi di masa lalu dan tindakan yang dipilih
pada saat itu. Jika tindakan yang dipilih bekerja dengan baik, alternatif
tersebut mungkin akan diulangi. Jika tidak, pencarian alternatif
tambahan akan diperpanjang.
3. Pemilihan alternatif yang optimal atau memuaskan.
Tahap yang paling penting dalam proses pengambilan
keputusan adalah memilih salah satu dari beberapa alternatif.
Meskipun langkah ini mungkin memunculkan pilihan rasional, pilihan
terakhir sering didasarkan pada pertimbangan politik dan psikologis
daripada fakta ekonomi.
4. Penerapan dan tindak lanjut.
Kesuksesan atau kegagalan dari keputusan akhir bergantung
pada efisiensi penerapannya. Pelaksanaan hanya akan berhasil jika
individu-individu, yang (1) memiliki kontrol atas sumber daya
organisasi dan (2) diperlukan untuk melaksanakan keputusan
(misalnya, uang, orang, dan informasi), benar-benar berkomitmen
untuk membuatnya bekerja.
Motif Kesadaran
Motif kesadaran ialah segala sesuatu yang mendorong seseorang
untuk bertindak melakukan sesuatu yang masih berada dalam tingkat
kesadaran seseorang. Terdapat dua faktor penting dari motif kesadaran
dalam konteks pengambilan keputusan, yaitu :
1. Keinginan akan kestabilan atau kepastian.
Keinginan akan kestabilan menegaskan adanya kemampuan
untuk memprediksikan yang menjadi pendorong bagi pembagian
konsep-konsep yang cocok satu sama lain secara konsisten. Motif ini
mengaktifkan baik pikiran sadar maupun bawah sadar ketika
berhadapan dengan suatu ketidakseimbangan, ambigu, atau
ketidakpastian informasi.
2. Keinginan akan kompleksitas dan keragaman.
Motif kompleksitas menimbulkan keinginan akan suatu
stimulus dan eksplorasi serta mengaktifkan pikiran sadar dan bawah
sadar untuk mencari data baru dari ingatan atau lingkungan, kemudian
menyeimbangkannya dan mengaturnya dengan motif. Selain itu, faktor
yang berhubungan erat dengan prediksi adalah perbedaan dalam teori
keputusan secara matematis antara kepastian, risiko, dan
ketidakpastian. Kepastian didapat ketika semua akibat dari suatu
alternatif keputusan tidak diketahui. Risiko dapat terjadi ketika
seseorang menentukan suatu pilihan dari berbagai alternatif yang ada.
Ketidakpastian timbul ketika seseorang tidak dapat menentukan
kemungkinan konseuensi yang timbul dari tindakan yang
dilakukannya.
Dengan menggunakan dimensi-dimensi kompleksitas dan
kemampuan untuk membuat prediksi, para ahli psikologi telah
mengembangkan empat jenis model keputusan :
1. Model keputusan yang direncanakan secara sederhana.
Model ini ditandai dengan aturan-aturan prediksi yang tidak
kompleks, yang ditetapkan oleh orang lain yang bukan si pengambil
keputusan. Alternatif yang memuaskan, ketika pertama kali ditemukan,
biasanya langsung dipilih. Alternatif-alternatif tersebut dinilai
berdasarkan kriteria-kriteria yang sederhana dengan risiko yang
minimum, yang penerapannya dilakukan secara individu.
2. Model keputusan yang tidak direncanakan secara sederhana.
Pada model ini, apa pun akan terlihat baik pada saat itu bagi si
pengambil keputusan yang langsung memilih alternatif tersebut.
Informasi bersumber dari prasangka melalui keyakinan-keyakinan
umum. Dalam organisasi, informasi juga dapat berasal dari sistem
informasi manajemen dengan akuntansi yang menjadi komponen
utama. Alternatif pertama yang dipilih harus mampu menyesuaikan
diri dengan tujuan laba jangka pendek yang diinginkan dengan
mengabaikan risiko yang ada.
3. Model keputusan yang direncanakan secara kompleks.
Pada model ini melibatkan perencanaan yang begitu rinci.
Masalah dan peluang diantisipasi dengan skala prioritas yang begitu
hati-hati. Alternatif-alternatif yang ada dievaluasi berdasarkan
pertimbangan memaksimalkan manfaat jangka panjang.
4. Model keputusan yang tidak direncanakansecara kompleks
Model ini memiliki ciri khas yaitu partisipasi yang terus-
menerus dari semua orang yang terlibat untuk memaksimalkan
perolehan informasi dan koordinasi.
Jenis-jenis dari Model Proses
Tiga model utama dalam pengambilan keputusan dari seoran
pengambilan keputusan dalam suatu organisasi, model-model tersebut
adalah:
1. Model Ekonomi
Model ekonomi (tradisional) mengasumsikan
a. bahwa semua tindakan manusia dan keputusan secara sempurna
rasional
b. bahwa dalam sebuah organisasi, ada konsistensi antara berbagai
motif dan tujuan.
c. bahwa semua alternatif dikenal
d. bahwa probabilitas yang terkait dengan alternatif dapat dihitung
dengan pasti.
Keputusan dalam model ekonomi tidak tergantung pada
preferensi pribadi, tetapi lebih merupakan didikte oleh tujuan yang
konsisten dari organisasi.
2. Model Sosial
Model ini merupakan kebalikan ekstrem dari model ekonomi.
Model ini mengasumsikan bahwa manusia pada dasarnya tidak
rasional dan bahwa keputusan dihitung berdasarkan interaksi sosial.
Model ini merasakan bahwa tekanan dan ekspektasi adalah kekuatan
motivasi utama.
3. Model Simon
Model ini lebih berguna dan model yang lebih praktis. Hal ini
didasarkan pada konsep Simon pada orang administrasi, di mana
manusia dipandang sebagai rasional karena mereka memiliki
kemampuan untuk berpikir, memproses informasi, membuat pilihan,
dan belajar.
C. Cara Pengambilan Keputusan Dalam Organisasi
Terdapat 4 prakondisi yang harus dipenuhi dalam pengambilan
keputusan untuk menghindari risiko ketidakberhasilan, yaitu: (1) analisis
harus dilakukan oleh profesional; (2) menggunakan metode analisis yang
tepat; (3) didukung dengan data yang lengkap, akurat, dan terkini; serta (4)
tersedianya cukup waktu.
Hal-hal yang diperlukan dalam menganalisis sebuah permasalahan
untuk pengambilan keputusan harus diketahui secara kuantitatif. Akan
tetapi, kebanyakan keputusan tidak mengikuti model rasional. Untuk
menganalisis situasi tersebut seringkali digunakan intuisi. Berikut tinjauan
atas suatu bukti penting yang akan memberikan penjelasan lebih akurat
terkait bagaimana sebenarnya kebanyakan keputusan dalam organisasi
diambil:
1. Rasional Terbatas
Rasionalitas terbatas berarti bahwa orang-orang memiliki
keterbatasan dalam pemikiran rasional. Organisasi merupakan sesuatu
yang sangat kompleks dan para manajer memiliki waktu dan
kemampuan untuk memproses informasi dalam jumlah yang terbatas
bagi pengambilan keputusan.Oleh karena pemimpin tidak memiliki
cukup waktu atau kemampuan kognitif untuk memproses informasi
yang lengkap mengenai keputusan yang kompleks, mereka harus
satisfice. Satisficing berarti bahwa pembuat keputusan memilih
alternatif solusi pertama yang memenuhi kriteria keputusan minimal.
Dengan mengasumsikan bahwa suatu masalah mempunyai lebih dari
satu penyelesaian potensial, pilihan yang cukup memuaskan akan
menjadi pilihan pertama yang dapat diterima dengan baik oleh para
pengambil keputusan.
2. Intuisi
Intuisi adalah suatu perasaan untuk mengenali sesuatu tanpa
penjelasan, tetapi intuisi bukan sesuatu yang misterius. Kakabadse
berpendapat bahwa pengambilan keptusan dengan intuisi digunakan
dalam situasi ambigu, tidak stabil, atau pada waktu terdapat informasi
yang berlebihan. Semakin baik kemampuan intuitif yang dimiliki,
semakin sukses pemimpin tersebut.
3. Identifikasi Masalah
Masalah-masalah yang tampak cenderung memiliki
kemungkinan dipilih lebih tinggi daripada masalah yang penting.
Sebab, cukup mudah mengenali masalah-masalah yang tampak dan
semua orang menaruh perhatian yang besar terhadap pengambilan
keputusan organisasi. Para pengambil keputusan ingin terlihat
kompeten, hal ini memotivasi mereka untuk memusatkan perhatian
pada masalah yang tampak bagi orang lain.
4. Pembuatan Pilihan
Untuk menghindari informasi yang terlalu padat, para
pengambil keputusan mengandalkan heuristis atau jalan pintas
penilaian dalam pengambilan keputusan.
a. Availability Heuristic, heuristis penilaian ini terjadi ketika para
manajer menggunakan informasi yang telah tersedia sebagai dasar
penilaian atas peristiwa yang sedang berlangsung. Bias
potensialnya adalah informasi yang tersedia bisa jadi salah dan
tidak relevan.
b. Representativeness Heuristic, heuristis penilaian ini terjadi ketika
seorang manajer menilai kemiripan sesuatu bedasarkan peristiwa
yang sama. Bias potensialnya adalah adanya diskriminasi pada
faktor-faktor yang relevan.
c. Anchoring and Adjustment Heuristic, heuristis penilaian ini terjadi
ketika seorang manajer membuat keputusan berdasarkan
penyesuaian nilai yang telah ada sebelumnya. Bias potensialnya
adalah adanya bias keputusan yang tidak tepat terhadap
peningkatan atau penurunan nilai dengan nilai pasar.
5. Perbedaan Individual: Gaya Pengambilan Keputusan
Pondasi dasar yang menjadi modal adalah pengakuan bahwa
orang-orang itu berbeda pada dua dimensi. Pertama, cara mereka
berpikir. Ada orang yang memang logis dan rasional, dimana mereka
mengolah informasi secara berurutan. Sebaliknya ada orang yang
intuitif dan kreatif, dimana mereka memahami segala sesuatu secara
keseluruhan. Dimensi yang kedua adalah toleransi pribadi terhadap
ambiguitas. Ada orang yang mempunyai kebutuhan yang tinggi untuk
menyusun informasi dengan meminimalkan ambiguitas, sementara
yang lain mampu memproses banyak pemikiran pada saat yang sama.
Orang yang menggunakan gaya direktif memiliki toleransi
yang rendah atas ambiguitas dan mencari rasionalitas. Tipe direktif
mengambil keputusan secara cepat dan berorientasi jangka pendek.
Tipe analitis memiliki toleransi yang jauh lebih besar dterhadap
ambiguitas, karena memiliki keinginan mendapatkan lebih banyak
informasi dan mempertimbangkan lebih banyak alternatif daripada
alternatif yang dianggap lebih benari bagi tipe direktif.
Sedangkan gaya konseptual cenderung memiliki pandangan
yang sangat luas dan mempertimbangkan banyak alternatif, serta
berorientasi pada jangka panjang. Kategori terakhir adalah gaya
perilaku yang dikarakteristikkan oleh pengambil keputusan yang bisa
bekerja baik dengan pihak lain. Mereka memperhatikan rekan kerja
dan bawahan, reseptif terhadap usulan orang lain, dan sangat
mengandalkan pertemuan langsung.
6. Keterbatasan Organisasi
Organisasi itu sendiri merupakan penghambat bagi para
pengambil keputusan. Para manajer, misalnya, mengambil keputusan-
keputusannya untuk mencerminkan sistem penilaian kinerja dan
pemberian imbalan dengan mematuhi peraturan formal, dan memenuhi
batas waktu yang ditetapkan organisasi.

D. Asumsi Keperilakuan Dalam Pengambilan Keputusan Organisasi


Perusahaan Sebagai Unit Pengambilan Keputusan
Perusahaan dapat dianggap unit pengambilan keputusan yang mirip
dengan banyak cara yang telah diaplikasikan sebelumnya. Masalah
keputusan yang dihadapi perusahaan sangat banyak namun gejala masalah
yang dihadapi merupakan yang paling jelas. Organisasi memperluas
penelitian mereka dan bahkan memperpanjang ke daerah-daerah
organisatoris yang rentan hanya jika keputusan yang telah diambil gagal
menyelesaikan permasalahan. Pembelajaran Organisasi; Ketika
pendekatan pencarian tertentu menemukan solusi yang layak untuk suatu
masalah, organisasi kemungkinan besar akan mengulang pendekatan yang
sama dalam memecahkan masalah serupa di masa mendatang. Ketika
sebuah pendekatan yang dipilih gagal, maka organisasi akan
menghindarinya dalam pencarian solusi pada masa depan. Hal ini akan
berlaku sama untuk urutan alternatif yang dipertimbangkan dan urutan
preferensi tertentu jika organisasi mengalami kegagalan.
Resolusi Semu dari Konflik
Organisasi adalah koalisi dari individu dengan tujuan yang berbeda
yang sering kali dapat menimbulkan konflik. Oleh karena pengambilan
keputusan melibatkan pemilihan atas satu alternatif yang sesuai dengan
tujuan dan haraoan secara keseluruhan, maka diperlukan prosedur untuk
menyelesaikan konflik agar dapaat mencapai tujuan. Teori keputusan
klasik mengasumsikan bahwa konflik dapat diselesaikan menggunakan
rasionalitas lokal, aturan-aturan pengambilan keputusan yan diterima, dan
perhatian secara berurutan pada tujuan yang ditetapkan. Untuk
menyelesaikan konflik diantara tujuan-tujuan pada tingkatan yang lebih
rendah, maka sub-sub masalah ditangani pada saat yang berbeda.
Menghindari Ketidakpastian
Ketika mengambil keputusan, organisasi secara terus-menerus akan
dihadapkan pada ketidakpastian dalam lingkungan internal maupun
eksternalnya. Solusi yang ditawarkan sebagian besar bersifat kuantitatif
dan melibatkan prosedur pengambilan keputusan secara statistik guna
mendapatkan angka ekuivalen dari ketidakpastian, serta alat untuk hidup
berdampingan dengan ketidakpastian (misalnya teori permainan, simulasi,
dan lainnya).
Pencarian Masalah
Pencarian masalah didefinisikan sebagai proses menemukan solusi
atas suatu masalah tertentu atau sebagai suatu cara untuk bereaksi terhadap
sejumlah peluang. Pencarian organisasi memiliki 4 karakteristik, pertama
pencarian dimotivasi oleh adanya masalah/ peluang dan tidak akan
berhenti sampai masalah itu terpecahkan atau suatu peluang itu
ditindaklanjuti.Kedua, pencarian tersebut bersifat sederhana karena pada
awalnya hanya berkonsentrasi pada lingkungan atas gejala masalah dan
alternatif yang paling jelas. Ketiga, setiap pencarian bersifat bias. Bias itu
mungkin merupakan hasil dari pelatihan atau pengalaman khusus dari si
pengambil keputusan di bidang-bidang tertentu di organisasi. Bias
pencarian jua dapat mencerminkan interaksi antara harapan dan ekspektasi
dari individu yang terlibat. Keempat, pencarian tersebut dapat dirusak oelh
bias komunikasi yang mencerminkan konflik yang tidak terselesaikan di
bagian dalam organisasi dan memerlukan perhatian segera.
Pembelajaran Organisasi
Walaupun organisasi tidak mengalami proses pembelajaran
sebagaimana yang dialami oleh individu, oeganisasi memperlihatkan
perilaku adaptif dari karyawannya. Mereka belajar untuk mengurusi
bagian tertentu dari lingkungan tersebut dan bukan bagian lainnya. Ketika
pendekatan pencarian tertentu menemukan solusi yang layak atas suatu
masalah, kemungkinan besar organisasi akan mengulangi pendekatan yang
sama dalam memecahkan masalah yang serupa di masa depan. Hal
tersebut akan berubah ketika organisasi mengalami kegagalan dengan
preferensi tertentu.
Manusia-Para Pengambil Keputusan Organisasi
Penting untuk diingat bahwa manusia, bukan organisasi, yang
mengenali, mendefinisikan masalah atau peluang, yang mencari tindakan
alternatif secara optimal dan menerapkanya. Pengaturan organisasi akan
tergantung pada jenis masalah keputusan atau kesempatan yang ditemui
dan dipertimbangkan oleh orang-orang dalam organisasi.
Kekuatan dan Kelemahan Individu sebagai Pengambilan Keputusan
Manusia merupakan makhluk yang rasional karena memilih kepastian
untuk berpikir, memilih, dan belajar. Tetapi rasionalitas manusia sangat
terbatas karena mereka hampir tidak pernah memperoleh informasi yang
penuh dan hanya mampu memproses informasi yang tersedia secara
berurutan. Perilaku rasional dari individu dalam situasi pengambilan
keputusan terdiri atas pencarian diantara alternatif-alternatif yang terbatas
tersebut untuk suatu solusi yang masuk akal dalam kondisi dimana
konsekuensi atas tindakan tidaklah pasti.Batas rasional pengambilan
keputusan individu bervariasi sesuai dengan:
 Lingkup pengetahuan yang tersedia sehubungan dengan semua
alternatif yang mungkin dan konsekuensinya.
 Gaya kognitif mereka dengan asumsi bahwa tidak ada satu gaya yang
selalu unggul karena dalam situasi masalah spesifik, lebih dari satu
pendekatan dapat menyebabkan hasil yang dapat diterima.
 Struktur nilai mereka yang berubah.
 Kecenderungan mereka untuk "memuaskan" daripada untuk
“melakukan optimalisasi”.
Peran Kelompok sebagai Pembuat Keputusan dan Pemecahan
Masalah
Pengelompokan pengetahuan, gagasan, dan keahlian dapay
menghasilkan pembahasan yang lebih baik, pemahaman terhadap masalah,
dan tindakan alternatif yang lebih kreatif. Kelompok juga dianggap
sebagai faktor yang menyebabkan ide-ide diinvestigasi dengan lebih teliti
dan meningkatkan kemungkinan komite akan mengeluarkan usaha
tambahan untuk melihat bahwa keptusuan tersebut akan dapat diterapkan
secara efektif.
Fenomena Pemikiran Kelompok
Pemikiran kelompok (group think) menggambarkan situasi dimana
terdapat tekanan untuk mematuhi dan untuk mencegah anggota-anggota
kelompok mempresentasikan ide atau pandangan yang tidak populer. Hal
ini dikarenakan mereka ingin menjadi bagian yang positif dari kelompok
tersebut dan bukan sebagai kekuatan yang disruptif.
Jenis artikulasi gejala dari fenomena ini sebagai berikut:
1. Anggota kelompok perlawanan merasionalisasi setiap resistensi
terhadap asumsi yang telah dibuat. Tidak peduli seberapa kuat bukti
tersebut menentang asumsi dasarnya, para anggota bertindak
demikian agar dapat memaksakan asumsi-asumsi tersebut secara
kontinu.
2. Anggota menerapkan tekanan langsung pada mereka yang dalam
sekejap menyatakan keraguan tentang berbagai pandangan bersama
kelompok atau yang mempertanyakan validitas argumen yang
mendukung alternatif disukai oleh mayoritas.
3. Para anggota yang memiliki keraguan atau memegang sudut pandang
yang berbeda berusaha untuk menghindari penyimpangan dari apa
yang tampaknya menjadi konsensus kelompok dengan memilih untuk
bersikap diam, tidak menyampaikan kekhawatiran tersebut dan
bahkan meminimalkan pentingnya keraguan mereka untuk diri
mereka sendiri.
4. Cenderung terjadi suatu ilusi mengenai kebulatan suara. Jika
seseorang tidak berbicara, maka diasumsikan bahwa ia sepenuhnya
setuju. Dengan kata lain, mereka yang tidak menyatakan pendapat
dipandang sebagai suara yang “setuju”.
Untuk menghindari atau mengoreksi pemikiran kelompok,
seseorang sebaiknya:
1. Menugaskan anggota tim yang berbeda untuk memainkan peran
“antagonis” pada setiap pertemuan
2. Menyertakan pakar eksternal yang berbeda pada setiap pertemuan
3. Membagi kelompok tersebut menjadi dua atau lebih subkelompok dan
meminta mereka untuk melakukan investigasi atas berbagai alternatif
secara terpisah
4. Menghindarin menyatakan solusi preferensial pada awal diskusi, tetapi
membiarkan kelompok tersebut menlanjutkan perss diskusi tanpa
adanya solusi yang sudah diambil lebih dahulu.
Fenomena Pergeseran yang Berisiko (Dampak Diskusi Kelompok)

Fenomena perpindahan yang berisiko, atau dampak diskusi


kelompok, merupakan produk sampingan dan interaksi manusia. Hal ini
dicirikan oleh kelompok-kelompok yang lebih memilih alternatif yang lebih
agresif dan beresiko dibandingkanian dengan apa yang mungkin dilakukan
oleh individu-individu jika mereka bertindak sendirian. J.P Campbell
(1970) menjelaskan fenomena ini sebagai berikut:

“Kehati-hatian yang dirasakan oleh para anggota secara pribadi,


mungkin tidak dikomunikasikan dalam situasi kelompok dan di sana
muncul kesan bahwa partisipan yang lain lebih berani. Sekali lagi, sekali
ditemukan situasi kelompok di mana partisipasi dapat mengarah pada
peningkatan dan bukannya pada penajaman perbedaan antar-nggota.”

Apa yang meyebabkan timbulnya pergeseran yang berisko? Clark


(1971) menawarkan empat penjelasan: hipotesis familiarisasi, hipotesis
kepemimpinan, hipotesis risiko sebagai nilai dan hipotesis difusi tanggung
jawab.

Hipotesis familiarisasi menjelaskan bahwa diskusi kelompok


dimulai dengan periode “perasasn asing” atau "mulai perlahan-lahan,"
namun ketika individu-individu tersebut sudah lebih mengenal situasi yang
dibahas dan mengenal satu sama lain, mereka menjadi lebih berani dan
lebih rela mengambil lebih banyak resiko.

Menurut hipotesis kepemimpinan, para pengambil risiko dikagumi


dan dipandang oleh anggota- anggota kelompok sebagai pemimpin karena
mereka biasanya juga dominan dalam diskusi kelompok, maka mereka
memengaruhi partisipan lain untuk memilih alternatif yang lebih berisiko.

Hipotesis risiko sebagai nilai mengamati bahwa dalam kondisi


masyarakat saat ini, risiko moderat memiliki nilai budaya yang lehih kuat
dibandingkan dengan konservatisme dan bahwa orang yang mau
mengambil risiko dikagumi.

Menurut hipotesis difusi tangungjawab, keputusan kelompok


membebaskan individu dari tanggung jawab langsung terhdap pilihan akhir
kelompok. Jika keputusan itu gagal, tidak ada seorang individu satu yang
dapat dianggop bertanggung jawab secara penuh.

Walau tidak satu pun dari keempat hipotesis tersebut yang


menjelaskan sepenuhnya mengenai terjadinya pergeseran yang beresiko,
ketika digabungkan, hipotesis ini memilki kredibilitas dan memprediksikan
perilaku pengambilan keputusan dari kelompok dalam situasi yang
beresiko.

Pergeseran yang beresiko, sama seperti pemikiran kelompok, harus


dicek guna menghindari dampak buruk terhadap kualitas dari plihan
kepatusan. Salah satu pendekatan adalah pemilihan yang hati- hati anggota-
anggota tim berdasarkan sikap mereka dalam hal pengambilan risiko. Teori
preferensi (utilitas) dan observasi dalam situasi pengambilan keputusan
sebelumnya adalah alat-alat pemilihan semacam itu. Suatu kelompok
pengambilan keputusan sebaiknya selalu terdiri atas campuran antara para
pengambil resiko konservatif dan para pengambil risiko moderat guna
mengendalikan kandungan risisko dari hasil keputusan.

Kesatuan Kelompok

Kesatuan kelompok didefinisikan sebagai tingkat di mana anggota-


anggota kelompok tertarik satu sama lain dan memiliki tujuan kelompok
yang sama. Kelompok dengan tingkat kesatuan yang kuat pada umumnya
lebih efektif dalam situasi pengamabilan keputusan dibandinglan dengan
kelompok di mana terdapat banyak konflik internal dan kurangnya
semangat kerja sama di antara para anggotanya. Tingkat kesatuan
kelompok dipengaruhi oleh jumlah waktu yang dihabiskan bersama oleh
para anggota kelompok, tingkat kesulitnan dari penerimaan anggota baru ke
dalam kelompok, ukuran kelompok, ancaman eksternal yang mungkin, dan
sejarah keberhasilan dan kegagalan kelompok di masa lalu. Semakin besar
kesempatan bagi anggota untuk menemukan minat yang sama dan menjadi
tertarik satu sama lain. Semakin sulit untuk diterima menjadi kelompok
tersebut, maka semakin para anggotamya akan menghargai keanggotaan
yang mereka miliki. Perasan "kami adalah orang yang terpilih”,
menciptakan ikatan yang kuat di antara mereka. Pada umumnya, kesatuan
kelompok akan menurun ketika ukuran kelompok meningkat karena
interaksi antar anggota dalam kelompok yang lebih besar menjadi lebih
sulit dan ketaatan terhadap tujuan bersama kelompok menjadi semakin
tidak mungkin. Juga terdapat bahaya terjadinya formasi klik (kelompok di
dalam kelompok), yang terutama setia kepada tujuan dari klik tersebut dan
bukan kepada tujuan bersama kelompok.

Faktor lainnya yang memengaruhi kesatuan kelompok secara


menguntungkan adalah riwayat dari kelompok itu. Sejarah pengambilan
keputusan yang sukes menyatukan para anggota (semangat kelompok) dan
meningkatkan kesatuan, sementara kegagalan memiliki dampak buruk.
Kesatuan setiap kelompok juga akan meningkat ketika kelompok tersebut
diserang oleh sumber eksternal seperti atasan mereka atau kelompnk lain.
Ancaman semacam itu, bahkan dapat menyatukan kelompok- kelompok
yang berantakan jika anggota- angotanya menandang bahwa tujuan
bersama mereka dalam bahaya. Akan tetapi, reaksi terhadap ancaman
tidaklah bersifat universal. Menurat Alvin Zander (1979).

Jika anggota kelompok memandang bahwa kelompok mereka


mungkin tidak dapat menghindari serangan dengan baik, maka kelompok
tersebut akan menjadi kurang penting sebagai sumber rasa aman, dan
kesatuan tidak selalu akan meningkat. Selain itu jika para anggota yakin
bahwa serangan ditujukkan pada kelompok hanya karena kelompok terebut
ada dan ancaman itu akan berhenti jika kelompok tersebut diabaikan atau
tercerai-berai, maka kemungkinan besar akan terdapat penurunan dalam
tingkat kesatuan.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan berikut: Apakah kelompok


yang memiliki tingkat kesatuan yang kuat akan efektif dalam situasi
pengambilan keputusan dibandingkan dengan kelompok yang tingkat
kesatuannya rendah? Apakah tingkat kesatuan yang tinggi itu selalu
diinginkan? Apakah hal itu akan menghasilkan efsiensi yarg lebih tinggi
dalam proses pengambilan keputusan?
Kesatuan yang kuat meningkatkan dan mengurangi absenteisme dan
tingkat pergantian karyawan. Akan tetapi, pengaruhnya pada efektivitas dan
efisiensi dalam proses pengambilan keputusan bergantung pada keselarasan
sikap kelompok terhadap tujuan formal dan tujuan organisasi di mana
kelompok tersebut menjadi bagiannya. Jika sikap tersebut menguntungkan
dan tingkat kesatuan tinggi , maka efektivitas dan efisiensi dari
pengambilan keputusan akan tinggi. Jika sikap tersebut tidak
menguntungkan, tetapi tingkat kesatuan tetap tinggi maka tingkat efisiensi
dan efektivitas akan menurun. Dalam kelompok deagan tingkat kesatuan
yang menurun, namun dengan sikap yang menguntungkan maka efisiensi
dan efektivitas pengambilan keputusan masih akan tinggi, tetapi lebih
rendah dibandingkan dalam situasi tingkat kesatuan yang tinggi (dukungan
yang tinggi). Tingkat kesatuan yang rendah dan sikap yang tidak
menguntungkan, akan selalu menurunkan kualitas pengambilan keputusan.

Pengambilan Keputusan dengan Konsensus versus Aturan Mayoritas

Topik lainnya yang kontroversi adalahdi dasarkan pada konsensus


atau aturan mayoritas. Konsensus dalam konteks pengambilan keputusan
didefinisiksn oleh Holder (1972) sebagai “kesepakatan semua anggota
kelompok dalam pilihan keputusan”. Dalam kebanyakan situasi, konsensus
hanya dapat dicapai setelah pertimbangan yang matang serta evaluasi yang
kritis atas plus dan minusnya. Selain mengimplikasikan akurasi, konsensus
juga dianggap mendorong individu untuk membagi pengtahuan dan
keahlian mereka dengan lebih bebas dan menginspirasikan mereka untuk
mengomunikasikan informasi yang relevan. Beberapa orang mengklaim
bahwa hal tersebut memotivasi anggota kelompok untuk melakukan yang
terbaik dalam tahap implementasi guna memastikan pencapaian tujuan
kelompok tersebut.

Pengambilan keputusan dengan konsensus membutuhkan lebih


banyak waktu dibandingkan dengan sebuah pergambilan keputusan dengan
aturan mayoritas. Oleh karena itu, konsensus adalah kurang sesuai untuk
diterapkan jika waktu adalah kritis. Walaupun konsensus memiliki
keunggulan yang terbukiti, pengambilan keputusan dengan aturan
mayoritas (dengan pandangan yang berlawanan dan pembenarannya
dinyatakan secara tertulis) harus disubstitusikan dan diterima pada banyak
situasi pengambilan keputusan sebagai satu- satunya alternatif yang
mungkin.

Kontroversi yang Disebabkan oleh Hubungan Atasan dan Bawahan

Ketika kelompok pengambil keputusan terdiri atas atasan dan


bawahan, kontrovesi tidak dapat dihindarkan. Atasan mempunyai akses
terhadap informas yang berbeda, sehingga memiliki pendapat yang berbeda
pula dibandingkan dengan bawahannya. Kualitas dari pilihan keputusan
akan sangat bergantung bagaimana atasan menangani kontrovesi tersebut.
Terdaptnya kontroversi dalam situasi pegambilan keputusan tidak terlalu
berpengaruh buruk terhadap berfungsinya kelompok. Kontroversi cukup
sehat dan, ketika ditangani dengan bijaksana dan konstruktif oleh atasan,
dapat mengarah pada pengambilan keputusan yang lebih baik.

Menurut Vroom din Yetton (1973), atasan sebagai pemimpin


memiliki pilihan - pilihan keperilakuan sebagai berikut:

1. Menyelesaikan masalah atau mengambil keputusan sendiri dengan


menggunakan informasi yang tersedia pada saat itu.
2. Memperoleh informasi yang diperlukan dari bawahan, kemudian
menggunakannya untuk memutuskan suatu solusi bagi masalah
tersebut. Atasan tersebut dapat saja memberi tahu atau tidak memberi
tahu bawahannya untuk masalah yang mana informasi tersebut
dikumpulkan. Peran yang dimainkan oleh bawahan adalah untuk
menyediakan informasi yang diperlukan, bawahan tidak dilkutsertakan
dalam menghasilkan atau meagevaluasi solusi alternatif.
3. Menceritakan masalah: tersebut dengan bawahan yang relevan secara
pribadi, memperoleh ide-ide dan saran-saran mereka tanpa
mengumpulkan mereka sebagai satu kelompok. Kemudian, buatlah
keputsan yang dapat saja dipengaruhi atau tidak dipengaruhi oleh ide
bawahan tersebut.
4. Menceritakan masalah dengan bawahannya sebagai suatu kełompok,
memperoleh ide- ide serta saran-saran mereka. Kemudian, buatlah
keputusan yang dapat saja dipengaruhi atau tidak dipengaruhi oleh ide
bawahan tersebut .
5. Menceritakan masalah tersebut kepada bawahan sebagai suatu
kelompok, mendiskusikan kelebihan dan kekurangan yang ada serta
mencoba untuk mencapai suatu kesepakatan (baik dengan konsesus atau
aturan mayoritas) atas suatu solusi.
Masing- masing pilihan keperilakuan dapat mengarah pada
keputusan yang memuaskan, tetapi riset yang menguji validitasnya
menemukan bahwa metode partisipasi unggul ketika kualitas dari
keputusan tersebut penting dan penerimaan serta implementasi yang
dipaksakan bersifat meragukan. Seorang kontroler divisi, ketika ditanyakan
mengenaii preferensi keperilakuannya: "Keputusan ke atas, yang
memengaruhi atasan saya dan organisasi, saya buat sendin atau melalui
kerja sama dengan rekan-rekan kerja saya. Dalam keputusan ke bawah,
yang memiliki konsekuensi bagi orang- orang saya, saya akan melibatkan
mereka dalam setiap langkah dan proses keputusan dan mengharuskan
adanya konsensus dalam pilihan akhir”.

Ketika menerapkan pilihan keperilakuan yang mungkin pada


resolusi konflik, ditemukan bahwa penyelia yang menghindari konfrontasi
terbuka (perilaku pengambilan keputusan 1, 2 dan 3) tidak melakukan
apapun untuk menyelesaikan konflik karena mereka sama sekali
mengabaikan bawahannya atau menganggap mereka hanya sebagai
penyedia informasi. Hanya dengan mengambil ssampel atas pendapat dari
bawahan yang relevan (perilaku pempambilan keputusan 4) juga memiliki
sedikit dampak langsung terhadap solusi konflik. Ketika penyelia
menceritakan masalah tersebut dengan bawahan dan meninta pendapat
mereka, tetapi tidak mengizinkan mereka untuk berpartisipasi, ia mungkin
berusaha atau tidak berusaha untuk menyelesaikan konflik dengan cara
mengintegrasikan pandangan mereka dengan pandangannya sendiri. Hanya
jika masalah tersebut diceritakan kepada bawahan (situasi pengambilan
keputusan 5), plus dan dari setiap alternatif dibahas secara seksama, dan
alternatif yang layak dievaluasi secura hati-hati adalah usaha yang serius ke
arah penyeleaian konfik. Tingkat keberhasilan akan bergantung pada
apakah iklim kelompok bersifat kooperatif atau kompetitif.

Pengaruh Dasar Kekuasaan

Dalam situasi pengambilan keputusan, seseorang mampu


memengaruhi hasil keputusan karena wewenang atau kekuasaan yang
diberikan oleh organisasi.

Elemen kekuasaan yang paling sering dibutuhkan adalah kekuasaan


posisi. kekuasaan keahlian, sumber daya, atau kekuasaan politik. Seseorang
dapat memiliki lebih dari satu elemen kekuasaan dan menggunakannya
pada tingkatan yang berbeda dalam situasi pengambilan keputusan tertentu.

Kekuasaan posisi ada ketika pengaruh seseorang itu merupakan


hasil dari posisi orang tersebut dalam organisasi, wewenang yang
diberikan, serta tugas, tanggung jawab dan fungsi yarg terkandung di
dalamnya. Walupun wewenang untuk mengambil umumnya dianggap
sebagai dasar kekuasan yang paling sah dan umum yang digunakan untuk
memengaruhi keputusan, hal itu tidak dapat secara otomatis disertakan
dengan kepemimpinan yang efektif. Dalam masalah- masalah yang
kompleks secara teknis maupun organisasi, kualitas kepribadian serta
keahlian dan bukanyayang mendorong kepemimpinan yang efektif.

Pengaruh kekuasaaan posisi dirasakan di setiap situasi pengambilan


keputusan. Intensitasnya berbanding terbalik dengan ketidakpastian teknis
dan lingkungan. Semakin rendah ketidakpastiannya, semakin tinggi
pengaruhnya. Denikian juga sebaliknya.

Kekuasaan keahlian memengaruhi keputusan ketika hasil itu


merupakan hasil dari pengetahuan seseorang mengenai situasi yang sedang
dinvestigasi, keterampilan atau keahlian teknis khusus, pengalaman dalam
menangani situasi yang serupa, dan penilaian ahli yang didemonstrasikan.
Kompanen lain yang sering kali disebut adalah kekuasaan informasi, yang
merupakan faktor penentu dalam berurusan dengan risiko dan
ketidakpastian dalam tindakan yang diusulkan. Kekuasaan informasi dapat
dipandang baik sebagai bagian dari keahlian maupun sebagai elemen dari
kekuasaan sumber daya, karena karyawan tingkat bawah dapat dan sering
kali mengendalikan dan memanipulasi informasi yang digunakan oleh para
pakar dalam pengambilan keputusan mereka.

Seperti dalam kekuassan posisi. pengaruh kekuasaan ahli juga ada


dalam setiap situasi pengambilan keputusan, tetapi meningkat sejalan
dengan ketidakpastian keputusan. Semakin kompleks dan tidak pastinya
situasi, keputusan pengambilan keputusan, semakin para pengambil
keputusan harus bergantung pada pakar, untuk menganalisa masalah, dan
memberikan informasi yang akan mengarahkan mereka pada solusi yang
layak.

Kekuasaan sumber daya, ada ketika seseorang mengendalikan


sumber-sumber daya organisasi atau sumber- sumber daya yang diperlukan
untuk menerapkan suatu keputusan dan menggunakanya sebagai alat untuk
memengaruhi hasil keputusan. Sumber- sumber daya dalam konteks ini
adalah uang, manusia, dan informasi. Pengendalian atus sumber itu dapat
dilakukan pada berbagai tingkatan hierarki dan biasanya didistribusikan di
antara individu- individu yang saling bergantung satu sama lain dalam
menerapkan keputusan. Saling ketergantungan ini mungkin merupakan
alasan atas rendahnya pengaruh kekuasaan sumber daya. Seseorang dengan
kekuasaan sumber daya hanya akan memiliki pengaruh yang besar jika
mereka mengusai sumber- sumber daya langka. Mereka bisanya lebih
berpengaruh pada tahap penerapan dibandingkan pada tahap proses
pengambilan keputusan.

Kekuasaan politik dapat digambarkan sebagai keunggulan


kepemimpinan pribadi seseorang dan keterampilannya dalam membujuk,
melakukan negosiasi, membentuk koalisi, dan berbagai strategi politik
lainnya. Pengaruhnnya paling jelas terlihat pada situasi pengambilan
keputusan yang kompleks dan tidak pasti di mana terdapat ambiguitas
mengenai pilihan- pilihan keputusan dari para partisipan. Hal tersebut juga
ada ketika keputusan akhir harus diambil antara dua alternatif yang sama-
sama layak.

Dampak dari Tekanan Waktu

Salah satu alasan yang sering kali dikemukakan untuk kinerja yang
buruk adalah waktu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika seseorang
harus berjuang untuk memastikan bagaimana individu, kelompok dan
organisasi merespon tekanan waktu dan bagaimana hal itu memengaruhi
akurasi dan efisiensi dari keputusan. Penemuan eksperimental dapat
dikelompokkan ke dalam dampak tekanan waktu terhadap proses dan
efisiensi kelompok.

Tekanan waktu menyebabkan para anggota kelompok menjadi lebih


sering setuju guna mencapai konsensus kelompok, lebih kurang menuntut
dan lebih bersifat mendamaikan dalam situasi tawar-menawar, lebih
membatasi partisipasi dalam proses pengambilan keputusan hanya pada
relatif lebih sedikit anggota; dan lebih menyukai aturan mayoritas. Tekanan
waktu juga mendorong perilaku pengambilan keputusan yang otokratis.
Kelompok yang mencoba untuk menyatukan pendapat-pendapat yang
berlawanan akan memperoleh pengembalian bersama yang lebih rendah
dalam situasi tekanan waktu dibandingkan dengan kelompok yang bebas
dari tekanan waktu. Insenberg (1981) mengatakan bahwa tekanan waku
berdampak pada akurasi, tetapi tidak pada efisiensi dari pengambilan
keputusan. Juga diamati bahwa terdapat kesenjangan yang semakin
meningkat dalam frekuensi komuniknsi antara anggota yang paling
komunikatif dengan anggota yang paling tidak komunikatif. Dengan kata
lain dalam situasi tekanan waktu, anggota kelompok yang dominan akan
mengambil alih.

E. Pengambilan Keputusan oleh Pendatang Baru versus oleh Pakar

Proses pengambilan keputusan lebih lanjut lagi dipengaruhi oleh


tingakt pengalaman sebelumnya dari individu-individu yang terlibat dalam
pengambilan keputusan. Studi baru- baru ini dilakukan oleh Bouwnan
(1984) mengungkapkan sejumlah perbedaan yang menarik dalam strategi
dan pendekatan yang digunakan serta data spesifik yang dipilih oleh para
pakar dan pendatang baru ketika mengambil keputusan herdasarkan
informasi akuntunsi atau informasi keuangan lainnya.

Studi tersebut menggunakan analisis protokol dan hanya


melibatkan lima orang mahasiswa pascasarjana (kelompok pendatang
baru) dan tiga orang akuntan publik (para pakar). Studi tersebut juga
berurusan dengan tugas pengambilan keputusan yang sederhana. Bahkan
dengan keterbatasan- keterbatasan ini, studi tesebut menghasilkan
penemuan, yang sangat menarik untuk diterapkan secara luas.

Walaupun kedua kelompok tersebut menggunakan proses evaluasi


yang sama, perbedaan besar muncul pada pendekatan- pendekatan khusus
mereka. Studi atas sikap pengambilan keputusan secara keseluruhan
menunjukkan bahwa pendatang baru mengumpalkan data tanpa
melakukan diskriminasi dan menunggu untuk melihat apa yang akan
terjadi. Sebaliknya, para pakar mengumpulkan data secara diskriminatif
guna menindaklanjuti observasi tertentu; mereka secara teratur meringkas
data tersebut dan memformulasilan hipotesis. Meskipun lebih kompleks,
pendekatan mereka kurang memiliki karakter sebagaimana terdapat dalam
pendekatan kelompok pendatang baru.

Untuk menggambarkan perbedaan dalam penggunaan data, peneliti


membagii tugas analisis keuangan tersebut ke dalam tiga komponen: 1)
pengujian informasi, 2) integrasi pengamatan dan penemuan, dan 3)
pertimbangan. Komponen- komponen itu tidak terjadi dalam urutan yang
statis, tetapi dapat dilaksanakan secara simultan atau dalam urutan mana
pun.

Pengujian Informasi

Pengujian didefinisikan sebagai kegiatan menganalisi informasi


yang disajikan dan menyeleksi untuk dipertimbangkan lebih lanjut, hanya
informasi yang terlihat sangat relevan dengan tugas keputusan itu yang
harus dilaksanakan.

Studi itu membuktikan bahwa para ahli juga para pakar maupun
para pendatang baru menerjemahkan informasi keuangan ke dalam
istilah- istilah kualitatif dan menggunakan metode- metode yang serupa
(misalnya, perhitungan rasio, pengembangan tren, dan laporan arus). Apa
yang berbeda adalah bauran dari metode yang digunakan. Para pakar lebih
banyak mengandalkan aturan- aturan yang diperoleh berdasarkan
pengalaman dibandingkan dengan para pendatang baru dan mereka
dipandu oleh suatu “perasaan terhadap perusahaan”, yang menyediakan
bagj mereka suatu kerangka kerja untuk menyusun daftar pertanyaan yang
terstruktur sebagai panduan untuk pencarian data secara diskriminatif.

Integrasi Pengamatan dan Temuan

Pada konteks ini integrasi melibatkan pengelompokan atas


pengamatan, baik berdasarkan hubungan sebab akibat maupun
berdasarkan komponen fungsional dari perusahaan. Ketika
mengintegrasikan pengamatan dan temuan, para pendatang baru
menghubunkan pengamatan dan temuan yang menjelaskan satu sama lain
dan mengabaikan yang tidak. Sebaliknya, para pakar menempatkan
penekanan khusus pada kontradiksi yang potensal dalam pengamatan dan
temuan sebagai alat untuk mendeteksi masalah yang mendasari.

Pertimbangan

Pertimbangan yang digunakan di sepanjang proses pengambilan


keputusan tampak lebih jelas dalam formulasi hipotesis, pengembangan
petunjuk dalam formulasi keputusan akhir, dan dalam penyusunan
ringkasan temuan. Para pendatang baru tanrpaknya menyetarakan
pertimbangan dengan memutuskan "kapan waktu yang tepat untuk
memilih mana dari fakta yang diamati yang merupakan masalah utama".
Bagi para ahli, pertimbangan adalah suatu usaha untuk mengembangkan
dalam pikiran mereka "suatu gambaran dari apa yang sebenarnya terjadi”.
Mereka mencapai hal ini melalui penggunaan yang sistematis dari teknik-
teknik yang menghasilkan jalan pintas tanpa mengorbankan urutan logis
dalam analisis mereka. Para pakar tidak menyimpan catatan atas setiap
temuan individual, tetapi meringkasnya ke dalam kelompok- kelompok
yang berhubungan dan memformulasikan hipotesis yang akan diuji.
Mereka menggunakan daftar dari masalah- masalah umum yang
ditemukan di masa lalu sebagai titik referensi dalam mengenali masalah
sekarang dan dalam mengembangkan solusi.

F. Peran Kepribadian dan Gaya-Kognitif dalam Pengambilan


Keputusan

Karena maausia membuat keputusan, banyak riset telah diarahkan


pada bagaimana perbedaan psikologis memengaruhi keputusan.

Perbedaan psikologis individu dapat dibagi menjadi dua kategori:


kepribadian dan gaya kognitif. Kepribadian mengacu pada sikap atau
keyakinan individu, sementara gaya kognitif mengacu pada cara atau
metode seseorang menerima, menyimpan, memproses serta meneruskan
informasi. Individu-individu dengan jenis kepribadian yang sama dapat
memiliki gaya kognitif yang berbeda dan menggunakan metode yang sama
sekali berbeda ketika menerima, menyimpan, dan meneruskan informasi.
Melalui hal yang sama, individ- individu dengan sikap dan keyakinan
yeng sangat berbeda dapat menunjukan gaya kognitif yang saling
berinteraksi dan memengaruhi (menambah atau mengurangi) dampak dari
informasi akuntansi.

Pada bab ini, pembahasan mengenai interaksi dan dampak yang


memodifikasi dari kepribadian dan gaya kognitif dibatasi pada dampak
dari toleransi terhadap ambiguitas (variabel pribadi) dan kebebasan
wilayah (gaya kognitif).

Toleransi terhadap ambiguitas mengukur tingkat sampai mana


individu merasa terancam oleh ambiguitas dalam situasi pengambilan
keputusan dan bagainmana ambiguitas memengaruhi keyakinan mereka
dalam keputusan- keputusan tersebut.. Beberapa penulis merasa bahwa
orang yang tidak toleran terhadap ambiguitas diperkirakan akan kurang
yakin dengan keputusan mereka. Mereka akan mencari lebih banyak
informasi dalam situasi yang ambigu dibandingkan dengan rekan kerja
mereka yang toleran. Penulis yang lain menyarankan bahwa intoleransi
dapat mengurangi persepsi mereka mengenai ketidakpastian, sehingga
menyebabkan mereka mengabaikan ketidakpastian. Oleh karena itu,
mereka dapat menunjukkan keyakinan yang lebilh besar dan mencari lebih
sedikit informasi dibandingkan dengan individu yang toleran.

Kebebasan wilayah adalah Kemapuan seorang individu untuk


sampai pada persepsi yang benar dengan mengabaikan konteks- konteks
yang mengintervensi. Ketergantungan wilayah adalah ketidakmampuan
seseorang untuk mengesampingkan informasi yang tidak relevan dan
menyesatkan ketika beruasaha untuk membentuk suatu pendapat.
Individu- individu yang mengalami kebebasan wilayah terhadap informasi
dan situasi masalah yang ambigu. Akan tetapi, ketika mereka telah
mencapai suatu keputusan, mereka akan lebih yakin dalam penilaian
mereka dibandingkan dengan rekannya bahwa “ketergantungan wilayah
dapat dengan sendirinya menjadi dimensi yang berguna dalam
memprediksikan perilaku” dalam situasi penyelesaian masalah dan
pengambilan keputusan dan dapat memungkinkan seseorang untuk
“menyentuh dimensi tertentu dari perbedaan kognitif individual yang
sensitif terhadap informasi akuntansi”.

Dalam kaitannya dampak interaksi dari toleransi terhadap


ambiguitas dan ketergantungan wilayah ditemukan bahwa individu-
individu yang mengalami ketergantungan wilayah lebih yakin dalam
pilihan keputusan mereka dibandingkan dengan individu yang mengalami
kebebasan wilayah, tanpa memedulikan tingkat toleransi mereka terhadap
ambiguitas. Akan tetapi, perbedaannya lebih terlihat bagi individu dengan
toleransi rendah dibandingkan dengan mereka yang memiliki toleransi
tinggi.

G. Peran Informasi Akuntansi dalam Pengambilan Keputusan

Untuk meningkatkan relevansi informasi akuntansi, para akuntan


semakin tertarik untuk memahami peranan yang dimainkan oleh akuntansi
dalam proses pengambilan keputusan dari seluruh organisasi.

Secara definisi, keputusan manajemen memengaruhi kejadian atau


tindakan masa depan. Keputusan tersebut dapat memengaruhi hanya satu
peristiwa masa depan atau memengaruhi semua kejadian atau tindakan
setelah keputusan itu dibuat. Tidak ada kejadian atau tindakan yang dapat
diubah oleh suatu keputusan ketika kejadian atau tindakan tersebuttelah
selesai. Informasi akuntansıi yang memfokuskan pada peristiwa- peristiwa
di masa lalu tidak dengan sendirinya dapat mengubah kejadian atau
dampaknya kecuali jika hal itu dilakukan melalui proses pengambilan
keputusan dengan mana kejadian masa depan serta konsekuensinya
ditentukan. Karena pengambilan keputusan dan Infomasi mengenai hasil
kinerja akuntansi berfokus pada periode waku yang berbeda, keduanya
hanya dihubungkan oleh fakta bahwa proses pengambilan keputusan
menggunakan data akuntansi tertentu yang dimodifikasi selain informasi
non- keuangan. Oleh karena itu, pertanyaan pentingnya adalah, "Kapan
informasi akuntansi relevan untuk digunakan dalam pengambilan
keputusan?"

Menurut Hopwood, informasi akuntansi dapat “menyediakan


beberapa stimuli yang mengenali dan mendefinisikan msalah (dan peluag),
mengisolasi tindakan alternatif dan menjelaskan konsekuensinya” dan
“memainkan peran dalam analisis serta penilaan alternatif”.

Data Akuntansi sebagai Stimuli untuk Pengaduan Masalah

Akuntansi dapat berfungsi sebagai stimuli dalam pengenalan


masalah melalui pelaporan devisiasi kinerja aktual dari sasaran standar
atau anggaran atau melalui pemberian informasi kepada manajer bahwa
mereka gagal untuk mencapai target output atau laba yang ditentukan
sebelumnya. Penurunan dalam rasio perputaran persediaan akan
mengarahkan perhatian manajemen terhadap tingkat persediaan dan
penjualan. Melemahnya rasio penagihan piutang dapat menunjukkan
kekurangan dalam prosedur pemberian kredit dan/ atau penagihan piutang.
Rasio akuntansi periodic, laporan kinerja, dan data akuntansi lainnya yang
mengarahkan perhatian sebenarnya merangsangsang solusi yang
bergantung pada sejumlah faktor. Pertama, hal tersebut akan bergantung
pada seberapa cepat kondisi lingkurgan internal dan eksternal
memungkinkan suatu stimuli. Misalnya saja, seorang pengusaha ritel
memiliki fleksibilias yang cukup besar untuk beraksi terhadap kondsi yang
berubah dalam permintaan dan biaya. Ia dapat menurunkan harga atas
sebagian atau seluruh persediaan tersebut dan melakukan obral. la dapat
menggunakan iklan-iklan khusus untuk meningkatkan penjualaan.
Sebaliknya, perusahaan manufaktur akan menemukan bahwa waktu
reaksinya dibatasi olet faktor-faktor, seperti kapasitas yang tersedia,
komitmen terhadap fasilitas operasi tertentu, dan/ atau ukuran produksi.
Manajer manufaktur mampu segera berekasi terhadap devisiasi dari
anggran atau standar, tetapi reaksi mereka terhadap peningkatan
pemesanan kembali , perubahan ukuran produksi, dan perubahan
permintaan untuk suatu produk atau lini produk tertentu akan tertunda.
Penundaan ini terjadi karena perusahaan telah berkomitmen pada suatu
kapasitas tertentu, fasilias manufaktur tertentu, dan produk pelengkap
tertentu. Perubahan dalam komponen mana pun akan membutuhkan
pemikiran kembali yang fundamental mengenai komitmen investasi jargka
panjang.

Tingkat stimulus juga bergantung pada kapabilitas manajemen


(para pengambil keputusan) untuk mengelola serta menggunakan
informasi akuntansi dan pada preferensi pribadi mereka untuk informasi
kualitatif dan kuantitatif. Manajer yang cenderung untuk mengikuti
perasaan mereka (dan bukannya menggunakan dokumentasi kuantitatif
ketika mengamati gejala- gejala defisiensi) jarang sekali menggunakan
informasi akuntansi. Sementara, manajer yang cenderung kuantitatif
kemungkinan besar akan memandang informasi akuntansi sebagai alat
pengarah perhatian yang penting. Tingkat penggunaan yang bermanfaat
akan sangat bervariasi. Analis rasio dan penggunaan yang berarti dari
laporan kinerja atau data komparatif lainnya memerlukan keterampilan
dan pemahaman khusus tentang prinsip- prinsip dan pendekatan akunansi.
Ketika digunakan secara salah, informasi tersebut akan mengarah pada
kesimpulan dan pemahaman yang salah dengan konsekuensi yang mahal
terhadap masalah yang dihadapi. Agar dapat berfungsi sebagai stimuli
dalam pengenalan dan penyelesaian masalah, data akuntansi yang
mengarahkan perhatian tersebut harus diselesaikan dengan latar belakang
pendidikan dan keahlian khusus dari manajer tersebut. Perubahan apa pun
dalam alat dan pendekatan pengarah perhatian harus dikuti dengan
pendidikan yang hati-hati dari para pengguna informasi manfaat dan
kekurangan yang mungkin.

Hal yang sama pentingnya adalah ukuran perusahaan dan tingkat


desentralisasinya. Di perusahaan kecil, manajer (pemilik) tidak mengambil
keputusan, tetapi juga menerapkannya. Dalam kebanyakan kasus,
observasi di tempat dan intuisi akan menyediakan stimuli yang lebih kuat
dibandingkan dengan data akuntansi periodik. Dalam perusahaan yang
besar dan tersentralisasi di mana perencanaan, pengendalian, dapat
evaluasi kinerja dilakukan dari kantor korporat atau sentral, informasi
akuntansi akan menjadi stimulus yang kuat karena merupakan satu-
satunya sesuai alat pengarah perhatian yang tersedia. Pada organisasi yang
sangat terdesentralisasi, dampak stimuli sangat bergantung pada system
evaluasi kinerja yang digunakan. Jika kepatuhan terhadap standar dan
anggaran, demikian pula dengan pencapaian tingkat pengembalian
dipandang oleh manajer sebagai kriteria kinerja yang paling penting, maka
data akuntansi periodik akan diawasi dengan hati- hati dan akan
mendorong reaksi segera

Elemen lain dari dampak tersebut adalah data industri yang


langsung tersedia. Di mana data eksternal yang relevan (misalnya
informasi harga, rasio perputaran, tingkat penegmbalian rata-rata) langung
ternedia, manajer dapat mempertimbangkan data tersebut sebagai data
yang penting dan menggunakannya sebagai sumber utama untuk
mergarahkun perhatian. Data akuntansi internal akan digunakan hanya
untuk menunjukkan di mana perusahaan tersebut dalam perbandingan
dengan pesaing dan rata-rata industri.

Ketika informasi akuntansi digunakan sebagai alat pengenalan


masalah, informasi tersebut juga digunakan sebagai dasar untuk
menentukan konsekuensi yang dapat dikuantifikasi atas tindakan alternatif
yang perlu diperhitungkan lebih lanjut.

Dampak Data Akuntansi dalam Pilihan Keputusan

Tidak semua manajer menggunakan data akuntansi untuk


menganalisis profitabilitas relatif. Bobot yang diberikan kepada informasi
akuntansi dalam pilihan akhir sangat bervariasi. Hal itu bergantung pada
sampai sejauh mana hal itu dipandang mengurangi ketidakpastian yang
meneglilingi proses pengambilan keputusan. Data penjualan dan biaya
masa lalu, misalnya akan digunakan sebagai perdekatan pertama terhadap
permintaan masa depan untuk produk-produk yang dijual di masa lalu.
Untuk produk- produk yang baru yang akan ditambahkan, manajer tidak
dapat bergantung pada informasi akuntansi, tetapi kemungkinan besar
akan mencari informasi eksternal, seperti pengalaman pesaing dengan
produk yang serupa atau kemungkinan menciptakan permintaan pelanggan
untuk produk produk yang benar- benar baru (komputer, perekam video,
telepon mobil, dan lain- lain). Jika produk baru itu melibatkan metode
produksi yang sama atau serupa dengan produk yang sudah ada, maka data
akuntansi yang dimodifikasi akan digunakan. Jika karakteristik produksi
sangat bervariasi, maka informasi akuntansi internal hanya memiliki
sedikit kegunaan. Jika tingkat ketidakpastian sangat tinggi dan inforomasi
non akuntansi dan informasi eksternal adalah langka dan mahal, maka
perusahaan harus menggunakan informasi akuntansi sebagi pengganti,
hanya karena informasi tersebut tersedia dan menyediakan alat untuk
menurunkan ketidakpastian. Dua elemen lainnya yang memengaruhi
permintaan yang diberikan peda informasi akuntansi adalah permintaan
dan persaingan. Perusahaan yang menghadapi sedikit persaingan dan
memliki permintaan yang tidak elastis akan lebih banyak bergantung pada
data biaya yang disediakan oleh sistem akuntansinnya ketika membuat
keputusan mengenai penentuan harga dan lini produk dibandingkan
dengan perusahaan yang beroperasi dalam yang kompetitif. Bobot yang
diberikan pada informasi akuntansi dalampilihan akhir juga bergantung
pada tingkat akurasi yang diberikan manajemen kepada data akuntansi.
Telah ditemukan bahwa semakin penting kebutuhan akan suatu keputusan,
maka semakin besar pendekatan yang diberikan pada data akuntansi yang
langsung tersedia. Informasi akuntansi juga memainkan peranan yang
lebih penting dalam keputusan jangka pendek dibandingkan dalam
keputusan yang melibatkan konsekuensi jangka panjang karena informasi
akuntansi hanya mencerminkan biaya dan pendapatan yang berkaitan
dengan operasi sekarang. Lebih lanjut lagi, para pengambil keputusan
kelihatannya lebih memilih informasi eksternal ketika akuntansi yang
dikembangkan secara internal. Fakta lain yang mengurangi dampak
informasiakuntansi adalah ketidakmampuannya untuk mengukur biaya
kesempatan (opportunity cost). Paling tidak, data akuntansi dapat
menyediakan titik awal untuk mengestimasikan biaya kesempatan. Oleh
karena itu, tidak mengherankan bahwa dalam situasi di mana biaya
kesempatan sangat penting, informasi akuntansi akan memainkan peran
minor dalam pilihan keputusan terakhir.

Hipotesis Keperilakuan dari Dampak Data Akuntansi

Selama lebih dari dua dekade yang lalu, para peneliti telah
membuat hipotesis mengenai kondisi informasi akuntansi memengaruhi
pengambilan keputusan.

Seperi yang telah dinyatakan sebelumnya, informasi akuntansi


merupakan salah satu input dalam model pengambilan keputusan. Input
tersebut dapat bersifat keuangan, non-keuangan atau bahkan tidak dapat
dikuantifikasi. Hal ini bergantung pada pengambilan keputusan untuk
memutuskan apakah input tertentu relevan atau tidak. Hanya jika
pengambil keputusaan memandang informasi akuntansi sebagai informasi
yang relevan untuk jenis keputusan yang akan diambil, maka informasi
tersebut akan memengaruhi hasil keputusan.
Apakah pengambil keputusan menganggap informasi akuntansi
relevan bergantung pada persepsi mereka mengenai akuatansi. Para
pengambil keputusan dapat menyadari bahwa aura otentisitas akuntansi
tidak berdasar dan bahwa akuntansi, paling tidak, adalah proses dengan
mana dampak dari kejadian ekonomi dilaporkan seakurat mungkin, tetapi
tanpa kepura-puraan akan kesempurnaan. Mereka memandang akuntansi
sebagai "ukuran yang tidak sempurna” dengan kemungkinan besar bahwa
nilai yang sesunguhnya akan berbeda dengan nilai yang dilaporkan, karena
kesalahan dan inakurasi dalam proses pengukuran dan pelaporan tidak
dapat dihindari. Dalam bebrapa kasus, pernyataaan ini dapat memengaruhi
bobot yang diberikan kepada informasi akuntansi sebagai pilihan input.

Akan tetapi, jika informasl akuntansi meniadi tujuan yang ingin


dicapai, maka perbedan dalam persepsi menjadi tidak relevan lagi.
Informasi akuntansi menjadi tujuan ketika penghargaan atau sanksi
dikaitkan dengan hasilnya. Misalnya, jika seseorang manajer berharap
untuk dipromosikan jika ia dapat mengurangi biaya, maka manajer
tersebut akan melihat informasi akuntansi sebagai dassr untuk menentukan
apakah ia telah berhasil atau tidak. Hal yang sama berlaku ketiaka
manjemen diberikan penghargaan oleh pemegang saham dalam bentuk
kenaikan gaji atau bonus berdasarkan pertumbuhan laba yang dilaporkan.
Laporan yang menghasilkan penghargaan ini dapat menjadi tujuan jangka
pendek dari para pengambil keputusan dan menjadi lebih penting
dibandingkan dengan laba jangka panjang dari pertumbuhan yang sehat
yang sebenarnya dimaksudkan untuk dihargai oleh pemegang saham.

Tingkat pengaruh informasi akuntansi juga bervariasi berdasarkan


jenis pengambil keputusan. Bruns (1981) mengelonmpokan para
pengambil keputusan ke dalim tiga kelompok:

1. Para pembuat keputusan dalam perusahan yang mengambil keputusun


yang mengenal operasi dan sistem akuntansi digunakan untuk
menyusun laporan (manajemen puncak).
2. Para pengambil keputusan dalam perusahaan yang hanya dapat
membuat keputusan mengenai operasi saja (manajer operasi).
3. Mereka yang berada di luar perusaan yang membuat keputusan
mengenai perusahaan tersbut yang dapat memengaruhi lingkungan dan
operasirnya, tetapi yang tidak memiliki kendali langsung atas operasi
perusahaan atau aktivitas apa pun yang dilakukannya.
Perbedaan antara manajemen puncak yang dapat memengaruhi
informasi akuntansi dan pengambilan keputusan internal lainnya yang
tidak dapat melalakukan hal tersebut adalah paling penting ketika
informssi akuntansi dipandang sebagai tujuan. Fungsi pengambilan
keputusan untuk manajemen puncak dapat ruengharuskan dibuatnya
pilihan penting antara keputusan operasi dan keputusan untuk mengubah
metode dengan mana informasi akuntansi disusun. Kebutuhan akan audit
independen dan sertifikasi konsistensi dalam metode yang digunakan
periode ke periode agak mengurangi signifikansi dari kedua tingkatan
manajemen tersebut.

Suatu studi baru- baru ini mengonfirmasikan bahwa penggunaan


eksternal atas informasi akuntansi yang dilaporkan dapat memengaruhi
pengambilan keputusan manajerial internal.

Semakin manajemen memandang para pengambil keputusan


eksternal menggunakan informasi akuntansi keuangan dalam proses
pengambilan keputusan, semakin besar informasi ini cenderung untuk
memengaruhi proses pengambilan keputusan manajemen.

Bruns merangkum beragam hipotesis yang disusunnya dalam


model dampak sebagai berikut:

1. Informasi akuntansi akan memengaruhi keputusan atau memengaruhi


keputusan mengenai sistemn akuntansi, jika:
a. informasi akuntansi relevan untuk keputusan itu,
b. pengambil keputusan memandang akuntansi sebagai tujuan, dan
c. pengambil keputusan adalah anggota perusahaan yang
mengendalikan seleksi dan operasi dari sistem akuniansi.
2. Informasi akuntansi akan mempengaruhi keputusan jika:
a. informasi akuntaasi itu relevan untuk keputusan tersebut,
b. pengambil keputusan memandang akuntansi sebagai tujuan,
c. pengambil keputusan adalah anggota perusahan yang tidak dapat
mengendalikan seleksi dan operasi sistem akuntansi,
d. pengambil keputusan adalah orang-orang di luar perusahaan,
e. pengambil keputusan memandang akuntansi sebagai ukuran yang
sempurna, dan
f. informasi non-akuntansi tidak relevan untuk keputusan tersebut.
3. Informasi akuntansi mungkin memengaruhi keputusan jika:
a. informasi akuntansi relevan untuk kepatusan itu,
b. pengambil keputusan memandang akuntansi sebagai ukuran yang
sempuna,
c. informasi non-akuntansi relevan untuk keputusan itu,
d. pengambil keputusan memandang akuntansi sebagai ukuran yang
tidak sempurna, dan
e. informasi akuntansi tidak relevan untuk keputusan itu.
4. Informasi akuntansi tidak akan memengaruhi keputusan jika:
a. informasi akuntansi tidak relevan untuk keputusin itu,
b. informasi akuntansi relevan untuk keputusan itu, tetapi pengambil
keputusan memandang informasi akuntansi sebagai ukuran yang
tidak sempurna, dan
c. informasi non-akuntansi relevan untuk keputusan itu.
Para peneliti lain mempelajari pertanyaan- pertanyaan mengenai
bagaimana para pengambil keputusan menyesuaikan terhadap perubahan
dalam metode dan terminologi akuntansi. Mereka menemukan bahwa ada
dua faktor yang menentukan tingkat penyesuaian, yaitu umpan balik dan
fiksasi fungsional.
Umpan Balik

Untuk memahami perubahan dalam metode istilah akuntansi dan


untuk menyesuaikan aturan pengambilan keputusan sesuai dengan itu,
maka pengambil keputusan harus menerima informasi mengenai
perubahan tersebut atau memiliki umpan balik tidak langsung mengenai
perubahan tersebut. Pengunaan audit internal dan eksternal untuk
memeriksa setiap perubahan yang signifikan dalam metode atau
terminologi akuntansi merupakan salah satu cara untuk menemukan bahwa
sistem akuntansi berjalan secara berbeda dengan apa yang seharusnya atau
dimaksudkan.

Untuk membayangkan suatu situasi di mana seorang pengambil


keputusan sama sekali tidak memiliki umpan balik apa pun mengenai
perubahan tersebut adalah mustahil. Jika seseorang mengabaikan dampak
jangka pendek yangmungkin akibat selang waktu antara perubahan dan
indikasinya, maka kecil kemungkinannya bahwa tidak terdapat umpan
balik sama sekali.

Fiksasi Fungsional

Hal ini merupakan Fenomena keperilakuan yang


mengimplikasikan ketidakmampuan di pihak pengguna informasi
akuntansi untuk memahami apa yang tersirat dibalik label yang diberikan
kepada suatu angka. Ketika mereka menerima suatu istilah atau
pendekatan pengukuran akuntansi sebagai alat untuk mengelola proses
pengambilan keputusan mereka, maka perilaku mereka jarrang sekali akan
dipengaruhi oleh perubahan dalam metode atau terminologi akuntansi
yang digunakan. Jika output dari metode akutansi berbeda memiliki nama
yang sama (misalnya laba, biaya, dan lain-lain) orang yang tidak
memahami akuntansi akan cenderung untuk mengabaikan fakta bahwa
metode alternatif yang digunakan dalam membuat output tersebut.
Contoh yang lebih spesifik adalah perusahaan konsultan yang
merupakan praktik standar untuk membebankan ke lien 300 persen dari
biaya langsung setiap proyek Melalui perubahan dalamı sistem akuntansi
biaya, total biaya untuk proyek sekarang memasukkan alokasi overhead
tertentu 100% dari biaya langsung. Dalam metode perhitungan biaya yang
baru, klien hanya akan dibebankan 150 persen dari total keseluruhan yang
baru dari setiap proyek. Akan tetapi, selama audit operasional berikutnya
ditemukan bahwa manajer tetap menggunakan aturan lama yang bersifat
karena mungkin mereka tidak melihat arti lain dari biaya (fiksasi
fungsional yarg bersifat endogen) atau karena mereka takut penyelia
mereka tidak mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan dan mungkin
menyalahkan merela karena tidak membebankan cukup banyak klien
(fiksasi fungsional yang eksogen).

Sebagai suatu atribut dari pengambilan keputusan, fiksasi


fungsional bervariasi tingkatnya dari situasi yang satu ke situasi yang lain,
namun tidak pernah tidak ada sama sekali. Suatu studi baru-baru ini
melakukan investigasi atas respons dari individu dan kelompok terhadap
perubahan kosmetik yang sepenuhnya diungkapkan dalam metode
penyusutan pada keputusan penetapan harga produk. Ditemukan bahwa,
baik individu maupun kelompok gagal untuk menyesuaikan diri secara
mamadai terhadap perbedaan dalam metode penyusutan, tetapi bahwa
kelompok menunjukan tingkat fiksasi fungsional yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pengambil keputusan individual.
DAFTAR PUSTAKA

Lubis, Arfan Ikhsan. 2017. Akuntansi Keperilakuan : Akuntansi Multiparadigma.


Edisi 3. Jakarta: Salemba Empat.

Anda mungkin juga menyukai