Anda di halaman 1dari 29

METODOLOGI PENELITIAN AKUNTANSI

PROPOSAL PENELITIAN

PENGARUH RED FLAGS, SKEPTISME PROFESIONAL DAN


KOMPETENSI TERHADAP KEMAMPUAN AUDITOR MENDETEKSI
KECURANGAN (FRAUD)

Disusun oleh :

Nisrin Mutrif 02320160152

Kelas B5

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
JURUSAN AKUNTANSI
MAKASSAR
2018/2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Profesi akuntan publik merupakan profesi kepercayaan masyarakat, untuk memberikan


keyakinan kepada pihak yang berkepentingan bahwa laporan keuangan telah disusun sesuai
standar yang berlaku serta mencerminkan keadaan yang sebenarnya atas suatu entitas bisnis, dan
memastikan laporan keuangan tidak mengandung salah saji (misstatement) yang material baik
yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan (fraud).
Literature professional membedakan dua jenis salah saji yaitu kekeliruan (error) berarti
salah saji atau hilangnya jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan yang tidak
disengaja, sedangkan kecurangan (fraud) adalah saji saji atau hilangnya jumlah atau
pengungkapan dalam laporan keuangan dengan sengaja. Association Of Certified Fraud
Examiners (ACFE) menggkategorikan kecurangan (fraud) menjadi tiga kelompok, yaitu (1)
korupsi, (2) penyalahgunaan aset, (3) laporan keuangan. Jika kecurangan laporan keuangan
memang sebuah masalah yang signifikan, maka auditor sebagai pihak yang bertanggung jawab
harus dapat mendeteksi aktivitas kecurangan sebelum akhirnya berkembang menjadi skandal
akuntansi yang merugikan (Norbarani, 2012)..
Ada beberapa faktor yang bisa menjadi penyebab terjadinya kecurangan (fraud), seperti
lemahnya pengendalian internal, konflik kepentingan dari para pejabat perusahaan, pegawai atau
pejabat yang tidak jujur, dsb. Untuk mendukung kemampuan auditor dalam mendeteksi
kecurangan (fraud) yang dapat terjadi dalam auditnya, maka auditor perlu mengetahui dan
memahami jenis-jenis kecurangan, penyebab terjadinya kecurangan, dan cara mendeteksinya.
Cara yang dapat digunakan unuk mendeteksi kecurangan, yaitu dengan melihat tanda/sinyal atau
yang sering disebut Red flags. Red flags merupakan suatu kondisi yang diduga dapat
menyebabkan atau berpotensial menimbulkan kecurangan. Dengan kata lain, red flags
merupakan tanda-tanda awal atau indikasi adanya sesuatu yang tidak biasa dan diperlukan
penyidikan yang lebih dalam. Pemahaman yang cukup tentang red flags serta diikuti dengan
analisis yang baik terhadap kejanggalan yang ada disekitar akan membantu auditor dalam
menemukan bukti-bukti yang akan mengindikasikan adanya kecurangan (fraud) (Prasetyo,2015).
Dalam menjalankan tugasnya sebagai auditor independen, khususnya dalam mendeteksi
kecurangan (fraud) auditor perlu mengetahui sinyal red flags, mempunyai sikap skeptisme
professional, dan kompetensi
Seorang auditor dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang auditor dituntut untuk
bersikap skeptisme professional. Standar Profesional Akuntan Publik (IAI, 2001, SA Seksi 316)
mendefinisikan skeptisme professional sebagai sikap auditor yang mencakup pikiran yang selalu
mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit. Auditor yang
memiliki skeptisme profesional yang tinggi tidak dengan mudahnya menerima penjelasan dari
klien, namun ia akan memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk mendapatkan bukti, alasan dan
konfirmasi mengenai obyek yang menjadi permasalahan utama (Prasetyo, 2015). Hal ini
didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sugianto (2017) yang menyatakan bahwa,
skeptisme profesional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemampuan auditor
mendeteksi kecurangan (fraud).
Dalam menjalankan tugasnya, khususnya dalam mendeteksi kecurangan, auditor perlu
didukung oleh kompetensi. Kompetensi yang dimiliki auditor merupakan salah satu komponen
penting yang harus dimiliki dalam melaksanakan audit, karena kompetensi akan mempengaruhi
tingkat keberhasilan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Hal ini didukung dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Sandi Prasetyo (2015) yang menyatakan bahwa, kompetensi
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan (fraud).
Melalui kompetensi yang baik, auditor dapat melaksanakan proses audit dengan lebih efektif dan
efisien sehingga dapat mengasah kepekaan auditor dalam menganalisis laporan keuangan yang
diauditnya. Kompetensi auditor dapat dibentuk diantaranya melalui pengetahuan, dan
pengalaman.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas dan penelitian terdahulu yang
telah dijelaskan diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian selanjutnya dengan
mengambil judul “Pengaruh Red Flags, Skeptisisme Profesional Dan Kompetensi Terhadap
Kemampuan Auditor Dalam Mendeteksi Kecurangan (Fraud)”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti merumuskan masalah penelitian, sebagai


berikut:
1. Bagaimana pengaruh red flags terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan
(fraud)?
2. Bagaimana pengaruh skeptisisme profesional terhadap kemampuan auditor mendeteksi
kecurangan (fraud)?
3. Bagaimana pengaruh kompetensi terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan
(fraud)?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah, sebagai berikut :

1. Mengetahui pengaruh red flags terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan


(fraud).
2. Mengetahui pengaruh skeptisisme profesional terhadap kemampuan auditor mendeteksi
kecurangan (fraud).
3. Mengetahui pengaruh kompetensi terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan
(fraud).

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, sebagai berikut :

1) Manfaat Teoritis
a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan
ilmu akuntansi, khususnya pada bidang auditing.

b) Sebagai tambahan informasi mengenai pengaruh red flags, skeptisisme professional


dan kompetensi terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan (fraud).

2) Manfaat Praktis
a) Bagi Penulis
Dapat menambah dan memperdalam pengetahuan serta pemahaman peneliti
khususnya tentang pengaruh red flags, skeptisisme profesional dan kompetensi jawab
terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan.
b) Bagi Pengembangan Ilmu Akuntansi
Diharapkan dapat memberikan informasi serta dapat dijadikan referensi mengenai
pengaruh red flags, skeptisisme profesional dan kompetensi terhadap kemampuan
auditor mendeteksi kecurangan (fraud).

c) Bagi Peneliti Lain


Dapat dijadikan sebagai bahan tambahan pertimbangan dan pemikiran dalam
penelitian lebih lanjut dalam bidang yang sama, yaitu mengenai pengaruh red flags,
skeptisisme profesional dan kompetensi terhadap kemampuan audit mendeteksi
kecurangan (fraud).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teoritis
1. Auditing

Pengertian audit menurut Messier, Clover dan Prawitt (2014:12) adalah sebagai berikut:
“Auditing adalah proses yang sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti
secara objektif mengenai asersi-asersi tentang kegiatan dan peristiwa ekonomi untuk
menetukan tingkat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dengan kriteria yang
ditetapkan dan mengkomunikasikan hasil-hasilnya kepada pihak-pihak yang
berkepentingan”
Menurut Sukrisno Agoes (2012:4) auditing adalah sebagai berikut:
“Suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang
independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta
catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat
memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut”

Dari definisi di atas, peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa auditing suatu proses
sistematis yang terorganisir dilakukan oleh seorang yang kompeten dan independen dalam hal
mengumpulkan dan mengevaluasi bukti-bukti audit, kemudian hasil akhirnya berupa informasi
yang diberikan kepada pihak berkepentingan seperti kreditor, investor, maupun para pemegang
saham.

2. Jenis-jenis Audit

Menurut Alvin A. Arens, Randal J. Elder, Mark S. Beasley yang dialih bahasakan oleh
Amir Abadi Jusuf (2013:16) Jenis-jenis audit dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
a) Audit Operasional (Operational Audit)
Audit operasional mengevaluasi efisiensi dan efektivitas setiap bagian dari prosedur
dan metode operasi organisasi. Pada akhir audit operasional, manajemen biasanya mengharapkan
saran-saran untuk memperbaiki operasi. Sebagai contoh, auditor mungkin mengevaluasi efisiensi
dan akurasi pemprosesan transaksi penggajian dengan sistem komputer yang baru dipasang.
Mengevaluasi secara objektif apakah efisiensi dan efektifitas operasi sudah memenuhi kriteria
yang ditetapkan jauh lebih sulit dari pada audit ketaatan dan audit keuangan.

b) Audit Ketaatan (Complience audit)


Audit ketaatan dilaksanakan untuk menentukan apakah pihak yang diaudit mengikuti
prosedur, aturan, atau ketentuan tertentu yang ditetapkan oleh otoritas yang lebih tinggi. Hasil
dari audit ketaatan biasanya dilaporkan kepada manajemen, bukan kepada pengguna luar, karena
manajemen adalah kelompok utama yang berkepentingan dengan tingkat ketaatan terhadap
prosedur dan peraturan yang digariskan. Oleh karena itu, sebagia besar pekerjaan jenis ini sering
kali dilakukan oleh auditor yang bekerja pada unit organisasi itu.

c) Audit Laporan Keuangan (Financial Statement Audit)


Audit atas laporan keuangan dilaksanakan untuk menentukan apakah seluruh laporan
keuangan (informasi yang diverifikasi) telah dinyatakan sesuai dengan kriteria tertentu.
Biasanya, kriteria yang berlaku adalah prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum (GAAP),
walaupun auditor mungkin saja melakukan audit atas laporan keuangan yang disusun dengan
menggunakan akuntansi dasar kas atau beberapa dasar lainnya yang cocok untuk organisasi
tersebut. dalam menentukan apakah laporan keuangan telah dinyatakan secara wajar sesuai
dengan standar akuntansi yang berlaku umum, auditor mengumpulkan bukti untuk menetapkan
apakah laporan keuangan itu mengandung kesalahan yang vital atau salah saji lainnya.

3. Jenis-jenis Auditor

Menurut Alvin A. Arens, Mark S. Beasley, Randal J. Elder (2011;4) jenis-jenis auditor
diantaranya auditor independen (kantor akuntan publik), auditor internal pemerintah, auditor
badan pemeriksa keuangan, auditor pajak, dan auditor internal.
a) Akuntan Publik/Auditor Independen
Auditor independen bertindak sebagai praktisi perorangan dan anggota Kantor
Akuntan Publik (KAP) yang memberikan jasa auditing profesional kepada klien. Auditor
independen sering disebut auditor yang bekerja di KAP (Kantor Akuntan Publik). KAP
bertanggung jawab mengaudit laporan keuangan historis yang dipublikasikan oleh perusahaan.
Pada umumnya lisensi diberikan kepada mereka yang telah lulus dalam ujian CPA (Certified
Public Accountant) serta memiliki pengalaman praktik dalam bidang auditing. Auditor
independen memiliki kualifikasi untuk melaksanakan setiap jenis audit karena pendidikan dan
pelatihan yang mereka peroleh serta pengalaman yang mereka miliki.

b) Auditor Pemerintah
Auditor internal pemerintah adalah auditor yang bekerja untuk Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP), guna melayani kebutuhan pemerintah. Porsi utama upaya
audit BPKP adalah dikerahkan untuk mengevaluasi efisiensi dan efektivitas operasional berbagai
program pemerintah.

c) Auditor Badan Pemeriksa Keuangan


Auditor badan pemeriksa keuangan adalah auditor yang bekerja untuk Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia, badan yang didirikan berdasarkan konstitusi
Indonesia. Dipimpin oleh seorang kepala, BPK melapor dan bertanggung jawab sepenuhnya
kepada DPR. Tanggung jawab utama BPK adalah untuk melaksanakan fungsi audit DPR, dan
juga mempunyai banyak tanggung jawab audit seperti KAP. BPK mengaudit sebagian besar
informasi keuangan yang dibuat oleh berbagai macam badan pemerintah baik pusat maupun
daerah sebelum diserahkan kepada DPR. Audit yang dilaksanakan difokuskan pada audit
ketaatan karena kuasa pengeluaran dan penerimaan badan-badan pemerintah ditentukan oleh
undang-undang.

d) Auditor Pajak
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang berada dibawah Departemen Keuangan
Republik Indonesia, bertanggungjawab atas penerimaan negara dari sektor perpajakan dan
penegakan hukum dalam pelaksanaan ketentuan perpajakan. Aparat pelaksanaan DJP di
lapangan adalah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak
(Karikpa). Karikpa mempunyai auditor-auditor khusus. Tanggungjawab Karikpa adalah
melakukan audit terhadap para wajib pajak tertentu untuk menilai apakah telah memenuhi
ketentuan perundangan perpajakan. Audit ini bersifat audit ketaatan. Auditor yang melakukan
pemeriksaan disebut auditor pajak.

e) Auditor Internal
Auditor internal adalah pegawai dari organisasi yang diaudit. Auditor jenis ini
melibatkan diri dalam kegiatan penilaian independen, yang dinamakan audit internal, dalam
lingkungan organisasi sebagai suatu bentuk jasa bagi organisasi. Tujuan audit internal adalah
untuk membentuk manajemen organisasi dalam memberikan pertanggungjawaban yang efektif.
Lingkup fungsi audit internal meliputi semua tahap dalam kegiatan organisasi. Para auditor
internal terutama melibatkan diri pada audit kepatuhan dan operasional.

4. Standar Auditing

Standar auditing merupakan pedoman bagi auditor dalam menjalankan tanggung jawab
profesionalnya.Standar ini meliputi pertimbangan kualitas profesional auditor seperti keahlian
dan independensi, persyaratan pelaporan dan bahan bukti. Standar auditing terdiri dari sepuluh
standar yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar yaitu standar umum, standar
pekerjaan lapangan dan standar pelaporan (SPAP,2011:150.1).

a. Standar umum
1) Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan
pelatihan teknis yang cukup besar sebagai auditor.

2) Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap
mental harus dipertahankan oleh auditor.

3) Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan


kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.

b. Standar pekerjaan lapangan


1) Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus di
supervise dengan semestinya.

2) Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk


merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan
dilakukan.

3) Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pemangatan,
permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan
pendapat atas laporan keuangan yang di audit.

c. Standar pelaporan
1) Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai
dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
2) Laporan auditor harus menunjukkan atau menyatakan jika ada ketidak konsistenan
penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan
dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode
sebelumnya.

3) Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai,


kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor.

4) Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan


keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak
dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan maka
alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan
keuangan, maka laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat
pekerjaan audit yang dilaksanakan jika ada dan tingkat tanggung jawab yang
dipikul oleh auditor.

5. Red Flags
Tanda-tanda awal (symptoms) biasanya muncul dalam kasus kecurangan, walau demikian
munculnya symptoms tersebut belum berarti telah terjadi kecurangan. Symptoms ini dikenal
dengan nama Red Flags, yang seyogyanya dipahami dan digunakan oleh inernal auditor dalam
melakukan analisis dan evaluasi lebih lanjut untuk mendeteksi adanya kecurangan yang mungkin
timbul sebelum dilakukan investigasi (Amrizal, 2004).
Menurut Tuanakotta (2013) menyebutkan bahwa auditor dan investigator menggunakan
tanda bahaya (red flags) sebagai petunjuk atau indikasi terjadinya fraud atau kecurangan pada
sebuah laporan keuangan. Red flags juga bisa dikatakan sebagai suatu kondisi yang janggal atau
berbeda dengan keadaan normal. Red flags merupakan petunjuk adanya kecurangan dan
memerlukan penyidikan lebih lanjut. Red flags tidak selalu menunjukkan apakah seseorang
bersalah atau tidak tetapi merupakan tanda-tanda peringatan bahwa kecuranagan sedang atau
telah terjadi.
Red flags dikatakan penting sebagaimana dikutip dalam SAS 99- Consideration Of Fraud
In A Financial Statement audit yang menyatakan bahwa auditor diminta untuk secara spesifik
menilai risiko salah saji yang disebabkan oleh kecurangan dan SAS 99 ini juga menyediakan
pedoman operasi bagi auditor saat menilai kecurangan ditengah proses audit (Kartika, 2015).
Menurut Singleton (2010) beberapa red flags untuk kecurangan dalam fraud tree adalah sebagai
berikut :
a) Fraud laporan keuangan
Biasanya, red flags yang terkait dengan penipuan laporan keuangan meliputi
1) Anomali akuntansi
2) Pertumbuhan yang sangat cepat
3) Keuntungan yang tidak biasa
4) Kelemahan pengendalian internal
5) Sikap agresif dari manajemen eksekutif
6) Obsesi manajemen eksekutif terhadap harga saham

b) Penyalahgunaan aset
Menurut Lux dan Fitiani, red flags perilaku umum meliputi :
1) Tidak puas dengan atasan atau supervisor
2) Tidak pernah mengambil libur atau cuti
3) Memiliki tekanan keuangan atau masalah utang
4) Memperlihatkan ciri-ciri masalah psikotik
5) Terus mengeluh tentang bagaiman bos atau perusahaa memperlakukan mereka
6) Menunjukkan karakteristik perilaku yang terkait dengan egocentrics atau mereka
yang perlu mengendalikan segala sesuatu
7) Menolak transfer promosi atau penawaran pekerjaan lain

c. Korupsi
1) Red flags untuk korupsi antara lain :
2) Adanya hubungan antara karyawan kunci dengan vendor otoritas
3) Adanya hubungan rahasia dengan pihak ketiga
4) Kurangnya peninjauan terhadap persetujuan manajemen dalam menjalin kerjasama
dengan pihak ketiga
5) Anomali dalam pencatatan transaksi
6) Anomali terhadap menyetujui vendor mana yang akan dipakai
6. Skeptisme Profesional

Skeptisme profesional auditor merupakan sikap (attitude) auditor dalam melakukan


penugasan audit dimana sikap ini mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan
melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit. Bukti audit dikumpulkan dan dinilai
selama proses audit, sehingga selama proses audit seorang auditor harus menerapkan sikap
skeptisme profesional.
American Institude of Certified Public (AICPA) mendefinisikan skeptisme profesional
sebagai :
“Profesional skepticism in auditing implies an attitude that includes a questioning mind
and a critical assessment of audit evidence without being absessively suspicious or
skeptical. The auditors are expected to exercise profesional skepticism in conducting the
audit, and in gethering evidence suffcient to support to refute management’s assetion”
(AU 316 AICPA).
Dapat diartikan pengertian skeptisme profesional menurut AICPA adalah sikap yang
mencakup pikiran yang selalu bertanya dan penilaian kritis atas bukti audit tanpa obsesif
mencurigakan atau skeptis. Auditor diharapkan menggunakan skeptisisme profesional dalam
melakukan audit, dan dalam mengumpulkan bukti yang cukup untuk mendukung atau
menyangkal pernyataan manajemen. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
skeptisme profesional merupakan sikap yang dimiliki auditor untuk berfikir secara kritis
terhadap bukti audit yang dimilikinya selama proses audit.
Secara khusus skeptisme professional auditor merupakan sikap auditor dalam melakukan
penugasan audit dimana sikap ini mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan
melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit. Pernyataan serupa dipaparkan dalam
International Standards on Auditing, skeptisisme profesional adalah sikap yang meliputi selalu
bertanya-tanya (questioning mind), waspada (alert) terhadap kondisi dan keadaan yang
mengindikasikan adanya kemungkinan salah saji material yang disebabkan oleh kesalahan atau
kesengajaan (fraud), dan penilaian (assessment) bukti-bukti audit secara kritis. Konsep
skeptisisme professional yang tercermin dalam standar tersebut adalah sikap selalu bertanya-
tanya, waspada, dan kritis dalam melaksanakan seluruh proses audit (Raya, 2016).
7. Kompetensi Auditor
Kompetensi menunjukkan kredibilitas atau kemampuan yang dimiliki seorang individu
untuk melakukan pekerjaan tertentu. Menurut Standar umum pertama (SA seksi 210 dalam
SPAP, 2001) menyebutkan bahwa audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang
memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor, sedangkan standar umum
ketiga (SA seksi 230 dalam SPAP, 2001) menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan audit dan
penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalitasnya dengan
cermat dan seksama.
Menurut Sukrisno Agoes (2014:146) kompetensi adalah :
“Suatu kecakapan dan kemampuan dalam menjalankan suatu pekerjaan atau profesinya.
Orang yang kompeten berarti orang yang dapat menjalankan pekerjaannya dengan
kualias hasil yang baik. Dalam arti luas kompetensi mencakup penguasaan
ilmu/pengetahuan (knowledge), dan keterampilan (skill) yang mencukupi. serta
mempunyai sikap dan perilaku (attitude) yang sesuai untuk melaksanakan pekerjaan atau
profesinya”.

Menurut Siti Kurnia Rahayu dan Ely Suharyati (2014:3) mendefinisikan kompetensi
sebagai berikut:
“Kompetensi adalah suatu kemampuan, keahlian (pendidikan dan pelatihan) dan
pengalaman dalam memahami kriteria dan dalam menemukan jumlah bahan bukti yang
dibutuhkan untuk dapat mendukung kesimpulan yang akan diambilnya”.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kompetensi auditor adalah
auditor yang dengan pengetahuan dan pengalaman yang cukup dan eksplisit dapat melakukan
audit secara objektif, cermat dan seksama.

Dreyfus dan Dreyfus (1986) dalam Elfarini (2007), mendefinisikan bahwa kompetensi
sebagai keahlian seorang yang berperan secara berkelanjutan yang mana pergerakannya melalui
proses pembelajaran, dari “pengetahuan sesuatu” ke “mengetahui bagaimana”. Lebih spesifik
lagi membedakan proses pemerolehan keahlian menjadi 5 tahap, sebagai berikut :
1) Novice, yaitu tahap pengenalan terhadap kenyataan dan membuat pendapat hanya
berdasarkan aturan-aturan yang tersedia. Keahlian pada tahap pertama ini biasanya
dimiliki oleh staf audit pemula yang baru lulus dari perguruan tinggi.

2) Advanced Beginner, pada tahap ini auditor sangat bergantung pada aturan dan tidak
mempunyai cukup kemampuan untuk merasionalkan segala tindakan audit, namun
demikian, auditor pada tahap ini mulai dapat membedakan aturan yang sesuai dengan
suatu tindakan.

3) Competence, pada tahap ini auditor harus mempunyai cukup pengalaman untuk
menghadapi situasi yang kompleks. Tindakan yang diambil disesuaikan dengan tujuan
yang ada dalam pikirannya dan kurang sadar terhadap pemilihan, penerapan, dan
prosedur aturan audit.

4) Profiency, pada tahap ini segala sesuatu menjadi rutin, sehingga dalam bekerja auditor
cenderung tergantung pada pengalaman yang lalu. Intuisi mulai digunakan dan pada
akhirnya pemikiran audit akan terus berjalan sehingga diperoleh analisis yang substansial.

5) Expertise, pada tahap ini auditor mengetahui sesuatu karena kematangannya dan
pemahamannya terhadap praktek yang ada. Auditor sudah dapat membuat keputusan atau
menyelesaikan suatu permasalahan. Dengan demikian segala tindakan auditor pada tahap
ini sangat rasional dan mereka bergantung pada intuisinya bukan pada peraturan-
peraturan yang ada.

8. Kemampuan Auditor Dalam Mendetekesi Kecurangan (Fraud)


Pengertian Kecurangan (Fraud)
Secara umum, kecurangan merupakan setiap tindakan ketidakjujuran yang disengaja
untuk merampas hak atau kepemilikan orang atau pihak lain. Didalam konteks akuntansi,
kecurangan didefinisikan sebagai salah saji dalam laporan keuangan yang dilakukan secara
sengaja. Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), kecurangan sebagai
tindakan penipuan, tipu daya, kelicikan, mengelabui dan cara tidak jujur lainnya, yang dibuat
seseorang atau badan serta dapat mengakibatkan beberapa manfaat yang tidak baik kepada
individu atau entitas atau pihak lain.
Karyono (2013:4) mengemukakan fraud sebagai berikut:
“Fraud dapat juga diistilahkan sebagai kecurangan yang mengandung makna suatu
penyimpangan dan perbuatan melanggar hukum (illegal act), yang dilakukan dengan
sengaja untuk tujuan tertentu misalnya, menipu atau memberikan gambaran keliru
(mislead) kepada pihak-pihak lain, yang dilakukan oleh orang-orang baik dari dalam
maupun dari luar organisasi. Kecurangan dirancang untuk mendapatkan keuntungan baik
pribadi maupun kelompok yang memanfaatkan peluang-peluang secara tidak jujur, yang
secara langsung maupun tidak langsung merugikan pihak lain.”

Secara umum, kecurangan merupakan setiap tindakan ketidakjujuran yang disengaja


untuk merampas hak atau kepemilikan orang atau pihak lain. Didalam konteks akuntansi,
kecurangan didefinisikan sebagai salah saji dalam laporan keuangan yang dilakukan secara
sengaja. Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), kecurangan sebagai
tindakan penipuan, tipu daya, kelicikan, mengelabui dan cara tidak jujur lainnya, yang dibuat
seseorang atau badan serta dapat mengakibatkan beberapa manfaat yang tidak baik kepada
individu atau entitas atau pihak lain.

Jenis-Jenis Kecurangan (Fraud)


Menurut Examination Manual 2006 dari Association of Certified Fraud Examiner dalam
Karyono (2013: 17-24), kecurangan terdiri atas empat kelompok besar yaitu:
1) Kecurangan Laporan (fraudulent statement), yang terdiri atas kecurangan laporan
keuangan (financial statement) dan kecurangan laporan lain (nonfinancial statem
menyajikan laporan keuangan lebi baik dari sebenarnya dan lebih buruk dari sebenarnya.

2) Penyalahgunaan Aset (asset misappropriation), yang terdiri atas kecurangan kas, dan
kecurangan persediaan dan aset lain.

3) Korupsi (corruption), terdiri atas pertentangan kepentingan, penyuapan, hadiah tidak sah,
dan pemerasan ekonomi. Pengertian korupsi bervarisi, namun secara umum dapat
didefinisikan dengan perbuatan yang merugikan kepentingan umum/publik atau
masyarakat luas untuk kepentingan kelompok tertentu.

4) Kecurangan yang berkaitan dengan komputer, dapat berupa menambah, menghilangkan,


atau mengubah masukan atau memasukan data palsu.
Sedangkan menurut Reksojoedo (2013: 31-33) kecurangan dapat terjadi dalam berbagai
bentuk tindakan, akan tetapi secara umum dapat dibagi menjadi tiga bentuk tindakkan, yaitu:
1) Pencurian (the act) adalah tindakan kecurangan yang dilakukan dengan cara mengambil
aset milik orang atau pihak lain dengan tanpa ijin atau secara melawan hukum dengan
tujuan untuk dimiliki atau digunakan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

2) Penyembunyian (concealment) adalah tindakan kecurangan yang dilakukan dengan cara


menyembunyikan benda, surat data, informasi, atau fakta mengenai suatu transaksi atau
mengenai aset perusahaan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan.

3) Perubahan (convertion) adalah tindakan kecurangan yang dilakukan dengan cara


mengubah suatu benda, surat, data, informasi atau fakta mengenai suatu transaksi atau
mengenai aset perusahaan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan.

Segala bentuk kecurangan menggambarkan setiap upaya penipuan yang disengaja, yang
dimaksudkan untuk mengambil harta hak orang lain atau pihak lain. Kecurangan dalam apapun
bentuknya akan berpotensi merugikan pengguna laporan keuangan, karena menyediakan
informasi laporan yang tidak benar untuk membuat keputusan.

Pemicu Terjadinya Kecurangan (Fraud)


Dalam buku Jasa Audit dan Assurance (2012:375) yang telah diterjemahkan oleh Desti
Fitriani, menjelaskan terdapat fraud triangle yang berisi mengenai tiga kondisi penyebab
terjadinya kecurangan.
1) Tekanan (Pressure)
Tekanan merupakan situasi dimana seseorang merasa atau memiliki kebutuhan untuk melakukan
kecurangan, pengaruh desakan dalam pikiran dan keinginan inilah yang menjadi kekuatan moral.
Tekanan mengacu pada sesuatu yang telah terjadi di kehidupan pribadi pelaku yang menciptakan
kebutuhan yang memotivasinya untuk melakukan kecurangan.

2) Peluang (Opportunity)
Peluang (opportunity) merupakan situasi dimana seseorang percaya adanya kemungkinkan untuk
melakukan kecurangan dan percaya bahwa kecurangan tersebut tidak terdeteksi. Kecurangan
yang disebabkan oleh peluang dapat terjadi karena pengendalian internal yang lemah,
manajemen pengawasan yang kurang baik dan penggunaan posisi. Kegagalan dalam menetapkan
prosedur yang memadai untuk mendeteksi kecurangan juga meningkatkan kesempatan terjadinya
kecurangan.

3) Rasionalisasi (Rationalization)
Rasionalisasi merupakan kondisi dimana seseorang yang telah melakukan kecurangan mencari
pembenaran atas perbuatannya, namun alasan tersebut tidak tepat. Rasionalisasi diperlukan agar
pelaku dapat mencerna perilakunya yang melawan hukum untuk tetap mempertahankan jati
dirinya sebagai orang yang dipercaya. Rasionalisasi merupakan bagian dari fraud triangle yang
paling sulit untuk diukur. Bagi mereka yang umumnya tidak jujur, akan lebih mudah untuk
merasionalisasi penipuan, dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki standar moral yang
tinggi.

B. Penelitian Terdahulu

Variable Yang
No. Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian
Diteliti
Pengabdian pada Pengabdian pada profesi,
Pengaruh
profesi, kewajiban kewajiban sosial,
Profesionalisme,
sosial, kemandirian, kemandirian, keyakinan
Independensi,
keyakinan terhadap terhadap profesi,
Kompetensi Dan
profesi, hubungan hubungan dengan
Julia Fitri Tanggungjawab
dengan sesama sesama profesi,
Hutabarat Auditor Terhadap
1. profesi, independensi,
(2015) Kemampuan Auditor
independensi, kompetensi dan
Dalam Mendeteksi
kompetensi, tanggungjawab memiliki
Kecurangan (Survey
tanggungjawab, pengaruh signifikan
Pada Auditor Di Kap
kemampuan auditor terhadap kemampuan
Wilayah Sumatera)
dalam mendeteksi auditor dalam
kecurangan. mendeteksi kecurangan.
2. Sugianto Pengaruh
(2017) Pengalaman Dan Pengalaman dan
Skeptisisme Pengalaman, skeptisisme profesional
Profesional Auditor skeptisisme auditor, berpengaruh positif
Terhadap kemampuan terhadap pendeteksian
Kemampuan mendeteksi fraud kecurangan,independensi
Mendeteksi Fraud dan independensi. tidak dapat memperkuat
Dengan hubungan antara
Independensi pengalaman maupun
Sebagai Variabel skeptisisme professional
Moderating (Studi dengan pendeteksian
Empiris pada kecurangan.
Auditor BPKP RI
Perwakilan Provinsi
Sulawesi Selatan)

Pengaruh Skeptisme
Profesional,
Independensi Dan Skeptisme profesional,
Skeptisme
Kompetensi terhadap independensi, dan
Trinanda profesional,
Kemampuan Auditor kompetensi secara
Hanum independensi,
Mendeteksi simultan berpengaruh
3. Hartan kompetensi dan
Kecurangan (Studi positif dan signifikan
(2016) kemampuan auditor
Empiris pada terhadap kemampuan
mendeteksi
Inspektorat Daerah auditor mendeteksi
kecurangan
Istimewa kecurangan.
Yogyakarta)

Narisa Pengaruh Tanggung Tanggung jawab Tanggung jawab auditor


Dewik Jawab Auditor dan auditor, red flags, dan red flags
Suratni Red Flags terhadap dan pendeteksian berpengaruh secara
4.
Pujahanty, Pendeteksian kecurangan signifikan terhadap
Pupung Kecurangan (Survey pendeteksian kecurangan
Purnamasari, pada Kantor
Mey Akuntan Publik di
Maemunah Kota Bandung)

Pengaruh Red Flags,


Skeptisme
Red flags, skeptisme
Profesional Auditor,
profesional auditor,
Kompetensi,
kompetensi, dan
Independensi, Dan
Red flags, skeptisme profesionalisme
Profesionalisme
profesional auditor, berpengaruh signifikan
Terhadap
kompetensi, terhadap kemampuan
Sandi Kemampuan Auditor
independensi, auditor dalam
5. Prasetyo Dalam Mendeteksi
profesionalisme,dan mendeteksi
Kecurangan (Studi
kemampuan auditor kecurangan.Sedangkan
Empiris Pada Kantor
dalam mendeteksi Independensi tidak
Akuntan Publik Di
kecurangan berpengaruh signifikan
Pekanbaru, Padang,
terhadap kemampuan
Dan Medan Yang
auditor dalam
Terdaftar Di IAPI
mendeteksi kecurangan.
2013)

Pengaruh
Kompetensi, Kompetensi,
Kompetensi,
Independensi dan independensi dan
Nuri independensi dan
Profesionalisme profesionalisme auditor
fimartsani profesionalisme, dan
6. Terhadap berpengaruh terhadap
(2018) kemampuan audit
Kemampuan Audit kemampuan audit
mendeteksi
Mendeteksi mendeteksi kecurangan
kecurangan (fraud)
Kecurangan (Fraud) (fraud) pada Kantor
pada Kantor Akuntan Publik di Kota
Akuntan Publik di Bandung sebesar 70,8%
Kota Bandung dan sisanya sebesar
29,2% dipengaruhi oleh
factor-faktor lainnya
diluar kompetensi,
independensi dan
profesionalisme auditor
yang tidak diteliti

C. Kerangka Pemikiran

Pengaruh Red Flags Terhadap Kemampuan Auditor Mendeteksi Kecurangan


(Fraud)

Red flags adalah sinyal yang harus dideteksi oleh auditor dalam mengaudit laporan
keuangan. Dalam mendeteksi red flags auditor harus memiliki kahlian dalam mendeteksi dan
menaksir risiko yang ada. Auditor mempunyai tanggung jawab untuk mendeteksi adanya
kecurangan dalam perusahaan klien. Secara spesifik auditor akan menilai risiko dari salah saji
material untuk memperoleh suatu reasonable assurance (Suartana, 2009)

Semakin tinggi tingkat red flags yang ditemukan oleh seorang auditor dalam penugasan
auditnya, maka semakin tinggi kemampuan seorang auditor dalam mendeteksi kecuangan.
Dengan adanya red flags memudahkan seorang auditor dalam mendeteksi kecurangan dan dapat
segera mengambil tindakan pencegahan. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh
Atina Eka Putri (2012) Persepsi Auditor Eksternal Terhadap Efektivitas Red Flags Untuk
Pendeteksian Fraud Laporan Keuangan.

Pengaruh Skeptisme Profesional Terhadap Kemampuan Auditor Mendeteksi


Kecurangan (Fraud)

Seorang auditor dalam menjalankan penugasan audit di lapangan seharusnya tidak hanya
sekedar mengikuti prosedur audit yang tertera dalam program audit, tetapi juga harus disertai
dengan sikap skeptisme profesionalnya. Standar profesional akuntan publik mendefenisikan
skeptisme profesional sebagai sikap auditor yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan
dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit (IAI 2001, SA seksi 230.06 dalam
Noviyanti, 2008).
Semakin tinggi sikap skeptisme profesional yang dimiliki oleh seorang auditor maka
semakin tinggi pula kemampuan seorang auditor dalam mendeteksi kecurangan. Dengan adanya
sikap Skeptisme Profesional yang dimiliki seorang auditor dalam penugasan auditnya, dapat
membuat kemampuan mendeteksi kecurangannya menjadi lebih baik.Hal ini didukung dengan
penelitian yang dilakukan oleh Noviyanti (2008) Skeptisme Profesional Auditor Dalam
Mendeteksi Kecurangan.Skeptisme Profesional Auditor berpengaruh positif.

Pengaruh Kompetensi Terhadap Kemampuan Auditor Mendeteksi Kecurangan


(Fraud)

Auditor harus memiliki pengetahuan untuk memahami entitas yang diaudit, kemudian
auditor harus memiliki kemampuan untuk bekerja sama dalam tim serta kemampuan dalam
menganalisa permasalahan (Ika dkk, 2009). Auditor yang memiliki kompetensi dari segi
pengetahuan, pengalaman, pendidikan dan pelatihan yang memadai dapat melakukan audit
secara objektif dan cermat. Program pelatihan mempunyai pengaruh yang lebih besar dalam
peningkatan keahlian auditor untuk melakukan auditr. Dari segi pengalaman akan mempengaruhi
kemampuan auditor untuk mengetahui kecurangan yang ada di perusahaan yang menjadi
kliennya. (Yulius, 2002).
Semakin tinggi kompetensi yang dimiliki oleh seorang auditor maka semakin tinggi pula
kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.Seorang auditor yang memiliki sikap
Kompetensi dalam penugasan auditnya dapat memudahkannya mendeteksi kecurangan.Hal ini
didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Agustina dan Poerwati (2013) Pengaruh
Independensi, Kompetensi, Pengalaman dan Pengetahuan Terhadap Tanggung Jawab Auditor
Dalam Mendeteksi Kecurangan Laporan Keuangan.Independensi, Pengalaman dan Pengetahuan
berpengaruh positif tidak signifikan Kompetensi berpengaruh positif.
D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan penjelasan mengenai penelitian sebelumnya dan kerangka pemikiran , maka


hipotesis penelitian yang diajukan sebagai jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian ini adalah sebagai berikut :
H1 : Red Flags berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kemampuan Auditor
Mendeteksi Kecurangan.
H2 : Skeptisme Profesional berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kemampuan
Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan.
H3 : Kompetensi berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kemampuan Auditor
Mendeteksi Kecurangan.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Tempat Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kantor Akuntan Publik Kota Makassar. Adapun waktu
yang digunakan untuk meyelesaikan penelitian ini baik dalam tahap mengumpulan data hingga
proses pengolahan data, yaitu dengan waktu penelitian diperkirakan 2 bulan.

B. Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah kausal komparatif (casual comparative research)
yang bertujuan untuk menyelidiki kemungkinan hubungan sebab-akibat antara variable yang
dipengaruhi (variabel dependen) dan variabel yang mempengaruhi (variabel independen).
Penelitian kausal komparatif bersifat expost facto, yang artinya data yang dikumpulkan setelah
semua peristiwa yang dipermasalahkan terjadi.

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Variabel penelitian merupakan suatu atribut atau sifat atau nilai dari suatu objek yang
memiliki variasi tertentu yang telah ditetapkan oleh peneliti untuk mempelajari dan kemudian
ditarik kesimpulannya. Variabel dalam penelitian ini terdapat dua klasifikasi, antara lain :
1. Variabel Independen (Bebas)
Variabel independen merupakan variabel yang diduga mempengaruhi variable terikat.
Variable independen dalam penelitian ini meliputi :
a) Red Flags (X1)
Red flags adalah sinyal yang harus dideteksi oleh auditor dalam mengaudit laporan
keuangan. Red flags merupakan munculnya tanda-tanda atau gejala kurang wajar yang terjai di
pada linkungan sekitar maupun sikap seseorang yang mengindikan kemungkinan adanya fraud
sehingga diperlukan penyelidikan lebih lanjut. Dengan kata lain, red flags adalah petunjuk atau
indikasi adanya sesuatu yang tidak biasa dan memerlukan penyidikan lebih lanjut.
Variabel ini diukur dengan menggunkan skala likert, dengan 5 poin penilaian, yaitu (1)
sangat tidak setuju, (2) tidak setuju, (3) netral, (4) setuju, (5) sangat setuju.
b) Skeptisme Profesional (X2)
Skeptisme profesional auditor merupakan sikap (attitude) auditor dalam melakukan
penugasan audit dimana sikap ini mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan
melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit. Bukti audit dikumpulkan dan dinilai
selama proses audit, sehingga selama proses audit seorang auditor harus menerapkan sikap
skeptisme profesional. Skeptisisme professional auditor dapat diukur dengan pernyataan yang
menggambarkan tingkat persepsi auditor terhadap sikap kritis dalam menanggapi bukti-bukti
audit yang valid maupun kontradiksi.
Variabel ini diukur dengan menggunkan skala likert, dengan 5 poin penilaian, yaitu (1)
sangat tidak setuju, (2) tidak setuju, (3) netral, (4) setuju, (5) sangat setuju.

c) Kompetensi (X3)
Kompetensi auditor adalah auditor yang dengan pengetahuan dan pengalaman yang
cukup dan eksplisit dapat melakukan audit secara objektif, cermat dan seksama, seperti yang
dimaksudkan dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN).
Variabel ini diukur dengan menggunkan skala likert, dengan 5 poin penilaian, yaitu (1)
sangat tidak setuju, (2) tidak setuju, (3) netral, (4) setuju, (5) sangat setuju.

2. Variabel Dependen (Terikat)


Variabel dependen merupakan variable yang dipengaruhi oleh variable lainnya. Variable
dependen dalam penelitian ini meliputi :
Kemampuan Auditor Mendeteksi Kecurangan (Y)
Dalam banyak peraturan mengenai akuntansi dan auditing, menunjukkan bahwa setiap
prosedur audit yang dirancang memberikan keyakinan memadai dari (1) mendeteksi tindakan
illegal yang akan memiliki efek langsung dan material terhadap penentuan dari jumlah laporan
keuangan, dan (2) mendeteksi transaksi yang maerial dari pihak terkait.
Menurut Wind (2014:98) ada empat perilaku dasar dalam kecurangan keuangan yang
akan memengaruhi pelaporan dan informasi keuangan. Empat hal tersebut adalah sebagai
berikut:
a) Skema kecurangan laporan keuangan.
b) Penyalahgunaan asset.
c) Pendapatan dan aset yang diperoleh dari penipuan.
d) Pengeluaran dan kewajiban yang dipergunakan untuk tujuan yang tidak tepat.

Variabel ini diukur dengan menggunkan skala likert, dengan 5 poin penilaian, yaitu (1)
sangat tidak setuju, (2) tidak setuju, (3) netral, (4) setuju, (5) sangat setuju.

D. Populasi Dan Sampel Penelitian

1) Populasi Penelitian
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek yang mempunyai kualitas
dan karakteristik tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya (Sugiyono, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah auditor di Kantor
Akuntan Publik Kota Makassar.

2) Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.
Pengambilan sampel ini harus dilakukan sedemikian rupa sehingga sampel benar-benar dapat
mewakili (representative) dan dapat menggambarkan populasi sebenarnya (Sugiyono, 2010).
Sampel dalam penelitian ini adalah auditor yang diasumsikan telah bekerja di Kantor Akuntan
Publik Kota Makassar minimal 3 tahun.

E. Jenis dan sumber data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif. Berdasarkan
sumbernya, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer adalah
data yang secara langsung bersumber dari responden.

F. Teknik pengumpulan data

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner. Kuesioner


merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberikan seperangkat
pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya.
G. Metode analisis
1) Uji Kualitas Data
Penelitian yang mengukur variabel dengan menggunakan instrumen dalam kuesioner
harus diuji kualitas datanya atau syarat yang penting yang berlaku dalam kuesioner, seperti
keharusan suatu kuesioner untuk valid atau reliable.
a. Uji Validitas Data
Uji validitas dilakukan untuk menguji isi dan validitas konstrtuk dari suatu instrument.
Uju validitas yang dilakukan bertujuan untuk menguji/mengukur sejauh mana valid atau tidak
validnya suatu kuesioner. Pengujian dilakukan dengan membandingkan antara koefisien korelasi
(r) setiap item dengan r tabel, dengan criteria :
 Jika r hitung ≥ r tabel, maka item pertanyaan dinyatakan valid
 Jika r hitung ≤ r tabel, maka item pertanyaan dinyatakan tidak valid

b. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui sejauh mana hasil oengukuran dapat
dipercaya atau tetap konsisten apabila diukur dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama
dengan menggunakan alat ukur yang sama.
Menurut Imam Ghozali (2006) pengukuran reliabilitas dilakukan dengan metode One
Shot. Suatu variabel dikatakan realiabel jika memiliki nilai Cronbach Alpha > 0,6.

2) Uji Asumsi Klasik


a. Uji Normalitas
Menurut Ghozali (2006) uji normalits bertujuan untu bertujuan untuk menguji apakah
dalam regresi variabel terikat dan variabel bebas keduanya mempunyai distribusi normal atau
tidak. Untuk mengetahui hal tersebut dapat digunakan dengan analisis statistic dengan
menggunakan uji kolmogorof-smirnof (K-S). jika diperoleh signifikansi > 0,05 berarti data
normal.

b. Uji Multikolinieritas
Uji multikolinieritas dimaksudkan untuk mendeteksi gejala korelasi antara variabel bebas
yang satu dengan variabel bebas lain. Model regresi yang baik seharusnya tidak erjadi korelasi
antara variabel bebas.
Uji multikolinieritas dapat dilakuka dengan 2 cara yaitu dengan melihat VIF (variance
inflation factors) dan nilai tolerance.
Jika VIF < 5 dan nilai tolerance < 0,10 maka tidak terjadi gejala multikolinieritas.
Jika VIF =1/tolerance, jika VIF = 10 maka tolerance 1/10 = 0,10

c. Uji Heteroskedastisitas
Menurut Ghozali (2006) uji heteroskdastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi
terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain. Criteria yang
mejadi dasar pengambilan keputusan adalah sebagai berikut.

 Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang memberntuk suatu pola tertentu yang
teratur (bergelombang, melebar,, kemudian menyempit), maka terjadi
heterodaksitas.
 Jika tidak ada pola yang jelas, seperti titik-titik menyebar diatas dan dibawah
angka 0 pada sumbu yang dibawah angka 0 pada sumbu, maka tidak terjadi
heterodaksitas.
Daftar Pustaka

Prasetyo, Sandi. (2013). Pengaruh Red Flags, Skeptisme Profesional Auditor, Kompetensi,
Independensi, Dan Profesionalisme Terhadap Kemampuan Auditor Dalam Mendeteksi
Kecurangan (Studi Empiris Pada Kantor Akuntan Publik Di Pekanbaru, Padang, Dan
Medan Yang Terdaftar Di IAPI 2013). Vol. 2

Faturachman, Tb. Aman dan Angga Nugraha. (2015). Pengaruh Due Professional Care
Terhadap Kualitas Audit Pada Kantor Akuntan Publik Di Kota Bandung. Vol.3

Abdika, Cudtia Lizka. Pengaruh Kompetensi, Kompleksitas Tugas, Skeptisisme Profesional,


Independensi Dan Kecerdasan Emosional Terhadap Kualitas Audit Auditor Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia Dan Badan Pengawas Keuangan Dan
Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Riau .Vol. 2

Simanjuntak, Sartika N. Pengaruh Independensi, Kompetensi, Skeptisme Profesional Dan


Profesionalisme Terhadap Kemampuan Mendeteksi Kecurangan (Fraud) Pada Auditor
Di BPK RI Perwakilan Provinsi Sumatera Utara. Vol. 2

Hutabarat, Julia Fitri. Pengaruh Profesionalisme, Independensi, Kompetensi Dan


Tanggungjawab Auditor Terhadap Kemampuan Auditor Dalam Mendeteksi
Kecurangan (Survey Pada Auditor Di KAP Wilayah Sumatera).Vol. 2

Pengaruh Pengalaman, Due Professional Care dan Akuntabilitas Auditor Pada Kualitas Audit
Ni Made Widia Iswara Dewi1 I Putu Sudana.Vol.22

Sulistianto, Denny Tri. Pengaruh Independensi Dan Skeptisisme Profesional Auditor Terhadap
Kualitas Audit (Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Wilayah Bandung yang
terdaftar di BAPEPAMLK)
Hartan, Trinanda Hanum. 2016. Pengaruh Skeptisme Profesional, Independensi Dan
Kompetensiterhadap Kemampuan Auditor Mendeteksi Kecurangan (Studi Empiris Pada
Inspektorat Daerah Istimewa Yogyakarta). Skripsi. DIY Yogyakarta: Universitas
Negeri Yogyakarta

Sugianto. 2017. Pengaruh Pengalaman Dan Skeptisisme Profesional Auditor Terhadap


Kemampuan Mendeteksi Fraud Dengan Independensi Sebagai Variabel Moderating
(Studi Empiris pada Auditor BPKP RI Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan). Skripsi.
Makassar: Universitas Hasanuddin

Fitriany, Hafifah Nasution, 2012. Pengaruh Beban Kerja, Pengalaman Audit Dan Tipe
Kepribadian Terhadap Skeptisme Profesional dan Kemampuan Auditor Dalam
Mendeteksi Kecurangan. Skripsi. Jakarta: Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai