&
Ikeda
(1995)
dan
Rich
(1996)
dalam
Chwastiak(1999)].
hidup
perusahaan.
Hal
ini
disebabkan
hubungan
perusahaan
dengan
lingkungannya bersifat non reciprocal yaitu transaksi antara keduanya tidak menimbulkan
prestasi
timbal
balik.
Tuntutan terhadap perusahaan untuk memberikan informasi yang transparan, organisasi yang
akuntabel serta tata kelola perusahaan yang semakin bagus (good corporate governance) semakin
memaksa perusahaan untuk memberikan informasi mengenai aktivitas sosialnya. Masyarakat
membutuhkan informasi mengenai sejauh mana perusahaan sudah melaksanakan aktivitas
sosialnya sehingga hak masyarakat untuk hidup aman dan tentram, kesejahteraan karyawan, dan
keamanan mengkonsumsi makanan dapat terpenuhi. Oleh karena itu dalam perkembangan
sekarang ini akuntansi konvensional telah banyak dikritik karena tidak dapat mengakomodir
kepentingan masyarakat secara luas, sehingga kemudian muncul konsep akuntansi baru yang
disebut sebagai Social Responsibility Accounting (SRA) atau Akuntansi Pertanggungjawaban
Sosial.
Owen (2005) mengatakan bahwa kasus Enron di Amerika telah menyebabkan perusahaanperusahaan lebih memberikan perhatian yang besar terhadap pelaporan sustainabilitas dan
pertanggungjawaban sosial perusahaan. Isu-isu yang berkaitan dengan reputasi, manajemen
risiko dan keunggulan kompetitif nampak menjadi kekuatan yang mendorong perusahaan untuk
melakukan pengungkapan informasi sosial. Dari hasil studi literatur yang dilakukan oleh Finch
(2005) menunjukkan bahwa motivasi perusahaan untuk melakukan pengungkapan sosial lebih
banyak dipengaruhi oleh usaha untuk mengkomunikasikan kepada stakeholder mengenai kinerja
manajemen
dalam
mencapai
manfaat
bagi
perusahaan
dalam
jangka
panjang.
laba di masa depan. Supaya perusahaan dapat menyajikan laba yang lebih tinggi, maka
perusahaan harus mengurangi biaya-biaya (termasuk biaya- biaya untuk mengungkapkan
informasi
sosial).
Eipstein & Freedman (1994) menemukan bahwa investor individual tertarik terhadap informasi
sosial yang dilaporkan dalam laporan keuangan. Informasi tersebut berupa keamanan dan
kualitas produk serta aktivitas lingkungan. Selain itu mereka menginginkan informasi mengenai
etika, hubungan dengan karyawan dan masyarakat. Hackston & Milne (1996) menyajikan bukti
empiris mengenai praktik pengungkapan lingkungan dan sosial pada perusahaan-perusahaan di
New Zealand serta menguji beberapa hubungan potensial antara karakteristik perusahaan dengan
pengungkapan sosial dan lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan adanya konsistensi
penelitiannya dengan penelitian yang sudah dilakukan di negara lain. Ukuran perusahaan dan
industri berhubungan dengan jumlah pengungkapan sedangkan profitabilitas tidak. Interaksi
antara ukuran perusahaan dan industri menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan yang lebih
kuat antara perusahaan dalam industri yang high-profile dibandingkan dengan industri yang lowprofile.
HUBUNGAN
ANTARA
PERUSAHAAN
DAN
LINGKUNGAN
Selama ini perusahaan dianggap sebagai lembaga yang dapat memberikan banyak keuntungan
bagi masyarakat, di mana menurut pendekatan teori akuntansi tradisional, perusahaan harus
memaksimalkan labanya agar dapat memberikan sumbangan yang maksimum kepada
masyarakat sesuai konsep trickle down kapitalisme. Namun seiring dengan perjalanan waktu,
masyarakat semakin menyadari adanya dampak-dampak sosial yang ditimbulkan oleh
perusahaan dalam menjalankan operasinya untuk mencapai laba yang maksimal, yang semakin
besar dan semakin sulit untuk dikendalikan. Oleh karena itu, masyarakat pun menuntut agar
perusahaan senantiasa memperhatikan dampak-dampak sosial yang ditimbulkannya dan
berupaya
mengatasinya.
Aksi protes terhadap perusahaan sering dilakukan oleh para karyawan dan buruh dalam rangka
menuntut kebijakan upah dan pemberian fasilitas kesejahteraan lainnya yang dirasakan kurang
mencerminkan keadilan. Aksi yang serupa juga tidak jarang dilakukan oleh pihak masyarakat,
baik masyarakat sebagai konsumen, maupun masyarakat di lingkungan sekitar pabrik.
Masyarakat sebagai konsumen seringkali melakukan protes terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan mutu produk sehubungan dengan kesehatan, keselamatan, dan kehalalan suatu produk
bagi konsumennya. Sedangkan protes yang dilakukan masyarakat di sekitar pabrik biasanya
berkaitan
dengan
pencemaran
lingkungan
yang
disebabkan
limbah
pabrik.
Pendekatan modern menyebutkan bahwa organisasi sebagai suatu sistem terbuka, yang berarti
bahwa organisasi merupakan bagian (sub sistem) dari lingkungannya, sehingga organisasi dapat
dipengaruhi maupun mempengaruhi lingkungannya (Lubis dan Huseini, 1987). Selanjutnya
dalam Lubis dan Huseini (1987) menyebutkan bahwa ada sembilan segmen lingkungan yang
mempengaruhi perusahaan, yaitu: 1) industri, 2) bahan baku, 3) tenaga kerja, 4) keuangan, 5)
pasar,
6)
teknologi,
7)
kondisi
ekonomi,
8)
pemerintah
dan
9)
kebudayaan.
Pengaruh lingkungan terhadap sebuah organisasi menjadi sangat kental, hal ini terjadi karena
adanya ketergantungan organisasi terhadap sumber-sumber yang terdapat pada lingkungan. Hal
ini ditegaskan oleh Lubis dan Huseini (1987) yang menyebutkan bahwa organisasi mempunyai
ketergantungan ganda terhadap lingkungannya, karena produk dan jasa yang merupatkan output
organisasi dikonsumsi oleh pemakai yang terdapat dalam lingkungannya. Dari pihak lain,
organisasi juga mendapatkan berbagai jenis input dari lingkungannya. Posisi input dan output ini
menjadi
berbahaya
jika
pertukaran
input
dan
output
menjadi
tidak
seimbang.
Menurut Grayson dan Hodges ( 2004), bahwa perusahaan tidak beroperasi di dalam ruang
kosong, melainkan dalam kondisi interaksi yang kompleks dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, situasi politik, pembangunan sosial dan ekonomi, juga risiko-risiko
yang mungkin timbul. Jonker dan Witte (2004) menyebutkan bahwa Organisasi sekarang ini
tidak hanya bertanggung jawab bagaimana menghasilkan kualitas produk dan jasa yang baik,
tetapi juga harus dapat memenuhi kebutuhan para external stakeholders sebagai suatu cara untuk
mencegah
timbulnya
dampak
negatif
sosial.
CORPORATE
SOCIAL
RESPONSIBILITY
(CSR)
Seperti angin semilir kemudian bertiup kencang, begitulah gambaran hembusan wacana
Corporate Social Responsibility (CSR) seiring dengan kesadaran akan hubungan perusahaan
dengan lingkungannya. Bahkan aktivitas CSR kini ditempatkan diposisi terhormat. Hingga
tampaknya wacana CSR ini akan menjadi tren perusahaan-perusahaan berskala nasional maupun
multisnasional. Tidak sedikit perusahaan-perusahaan raksasa maupun menengah, baik yang
multinasional maupun domestik, kini telah mengklaim bahwa CSR ini telah diimplementasikan
dengan baik dalam perusahaan mereka. Banyak perusahaan telah menggeser paradigma sempit
yang
menyatakan
bahwa
orientasi
seluruh
kegiatan
hanyalah
berorientasi
profit.
Salah satu definisi CSR yang dikembangkan dan diimplementasikan dalam aktivitas CSR adalah
definisi yang dikemukakan oleh The World Business Council For Sustainable Development
(WBCSD)
dalam
Wibisono
(2007:7),
mengemunkakan
bahwa:
CSR is the continuing commitment by business to be have ethically and contribute to economic
development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of
the local community and society at large, yaitu komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam
pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga
karyawan tersebut, berikut komuniti-komuniti setempat (lokal) dan masyarakat secara
keseluruhan dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan. Peningkatan kualitas kehidupan
mempunyai arti adanya kemampuan manusia sebagai individu anggota masyarakat untuk dapat
menanggapi keadaan sosial yang ada dan dapat menikmati serta memanfaatkan lingkungan hidup
termasuk
perubahan-perubahan
yang
ada
sekaligus
memelihara
Terobosan terbesar dalam kontek CSR ini dilakukan oleh John Elkington melalui konsep 3P
(profit, people, dan planet) yang dituangkan dalam bukunya Cannibals with Forks, the Triple
Bottom Line of Twentieth Century Business yang dirilis pada tahun 1997. Ia berpendapat
bahwa jika perusahaan ingin sustain, maka ia perlu memperhatikan 3P, yakni, bukan cuma profit
yang diburu, namun juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people) dan
ikut
aktif
dalam
menjaga
kelestarian
lingkungan
(planet).
Perusahaan sebagai entitas ekonomi, bertujuan untuk mencetak laba yang optimal guna
meningkatkan kekayaan para pemilik saham. Namun itu saja belum cukup, keberlanjutan bisnis
perusahaan (sustainable business) tidak terjamin bila hanya mengandalkan laba yang tinggi
semata, tetapi perusahaan juga harus memiliki komitmen yang tinggi dalam menjalankan
program CSR (Darwin, 2006:115). Jadi, jika ditelaah lebih lanjut, ternyata tidak ada
pertentangan antara motif perusahaan untuk meraih laba dan di satu sisi juga turut aktif
melaksanakan program-program CSR. Bahkan program CSR merupakan investasi bagi
perusahaan demi pertumbuhan dan keberlanjutan (sustainability) perusahaan. Artinya, CSR
bukan lagi dilihat sebagai sentra biaya (cost center) melainkan sebagai sentra laba (profit center)
di
masa
mendatang.
hidup
jangka
panjang.
Ada tiga komponen utama dalam suistainability yaitu keadaan ekonomi, lingkungan dan
masyarakat. Ketika pertimbangan lingkungan dan masyarakat dilakukan dalam sebuah bisnis,
ada dua komponen terpisah lainnya yang sering teridentifikasi yaitu peertimbangan eco-
efficiency dan eco-justice. Dimana saat perusahaan memilih untuk membuat laporan
lingkungannya sendiri maka perusahaan tersebut akan cenderung hanya fokus pada ecoefficiency. Sedangkan dalam suistainability dua komponen ini harus terlibat. Eco-efficiency
fokus untuk memaksimalkan kegunaan jumlah sumber daya yang digunakan dan meminimalkan
keterlibatan lingkungan dalam menggunakan sumber daya. Sedangkan eco-justice akan
memperlihatkan bagaimana entitas menggunakan sumber daya yang terbatas untuk memastikan
bahwa kelompok tertentu yang dirugikan tidak dilupakan. Hal lain yang dipertimbangkan adalah
kepedulian terhadap keselamatan, pendidikan dan peluang karyawan, ketaatan atas hak-hak
manusia dan kesamaan peluang, keterlibatan orang-orang pribumi serta dukungan atas kemajuan
negara.
Perubahan menuju suistainability memiliki syarat yang cukup mendasar untuk mengubah pola
konsumsi dan produksi telah disampaikan oleh berbagai pihak sebagai kebutuhan global. Dengan
menggunakan perspektif yang berasal dari teori legitimacy kita dapat mengatakan bahwa jika
suistainability menjadi bagian dari harapan utama masyarakat, maka ia akan menjadi sebuah
tujuan bisnis. Bila konsep dari suistainability development berkembang menjadi bagian dari
berbagai harapan komunitas, maka komunitas itu akan mengharapkan berbagai informasi tentang
bagaimana organisasi, perusahaan, dan entitas melaksanakan syarat utama dari suistainabilty.
Selain itu penyediaan informasi tentang keadaan sosial akan meningkatkan kepercayaan berbagai
komunitas
yang
ada
dalam
organisasi.
perusahaan
kepada
lingkungannya.
Menyangkut pelaporan (reporting), di Eropa sendiri telah cukup lama mengeluarkan praktik dan
pelaporan CSR. Pada 1975, misalnya, The Accounting Standards Steering Committee of The
Institute of Chartered Accountant di Inggris, mengeluarkan pedoman bagi perusahaan untuk
pelaporan informasi tentang sosial dan lingkungan. Namun, aspek pelaporan sosial baru
bergaung di tahun 1990-an setelah stakeholders kian menuntut agar perusahaan tak hanya
membuat laporan keuangan menyangkut profit, tapi juga laporan yang transparan seputar
hubungan perusahaan dengan aspek sosial dan lingkungan. Seperti halnya definisi CSR yang tak
tunggal, dalam membuat laporan pun masingmasing perusahaan menempuh cara yang beragam.
Tujuannya pun berbeda; ada yang untuk kepentingan internal, ada juga yang eksternal.
Menimbang hal itu, maka berinisiatiflah sejumlah institusi guna menciptakan sistem pelaporan
yang bisa berlaku universal untuk semua perusahaan. Salah satu yang terkenal adalah Global
Reporting Initiative (GRI) yang diluncurkan tahun 1997. GRI membuat sustainability reporting
guideline yang memberi petunjuk pembuatan laporan dengan memperhatikan aspek ekonomisosial-lingkungan, atau yang dikenal dengan aspek triple bottom line. Hanya saja, GRI pun tak
bisa mewajibkan perusahaan membuat laporan. Sebagai pelaporan yang paling banyak dijadikan
rujukan dalam CSR reporting saat ini, GRI memberi pilihan dan fleksibilitas bagi penggunanya.
Perusahaan berhak memilih bentuk pelaporan yang sesuai dengan kebutuhan atau kompleksitas
organisasinya. Kendati sukarela, namun pelaporan CSR ini amatlah bermanfaat untuk masa
depan. Mengingat kalangan mitra dan investor-khususnya internaional-kian melihat aktivitas
CSR sebagai rujukan untuk menilai potensi keberlanjutan (going concern) suatu perusahaan.
KETERBATASAN
DALAM
AKUNTANSI
TRADISIONAL
Akuntansi keuangan focus pada informasi yang dibutuhkan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan dalam membuat keputusan terhadap alokasi sumber daya yang ada. Sehingga
hanya
focus
kepada
kepentingan
keuangan
stakeholders
dalam
entitas.
Sehubungan dengan focus informasi tersebut, salah satu landasan dari akuntansi keuangan
adalah prinsip materialis, yang akan menghalangi informasi pelaporan lingkungan dan
masyarakat dan memberikan kesulitan dalam mengukur biaya sosial dan lingkungan.
Hal penting yang dinyatakan oleh Gray, Owen dan Adams (1996) hal lain yang muncul bahwa
ternyata pelaporan entitas sering mengabaikan liability, khususnya yang tidak dapat diselesaikan
dalam beberapa tahun dengan menggunakan present value. Hal ini cenderung membuat
expenditure
yang
akan
datang
sedikit
lebih
signifikan
pada
periode
saat
ini.
atau
pandangan
masyarakat
luas.
Expences didefinisikan sebagai cara untuk meniadakan pengeluaran atas berbagai dampak pada
sumber
penghasilan
yang
tidak
dapat
dikendalikan
oleh
entitas.
Keterbatasan lain terkait dengan pengukuran. Dimana setiap item yang dicatat dalam akuntansi
keuangan
AKUNTANSI
harus
dapat
diukur
dengan
SOSIAL
alasan
yang
tepat.
EKONOMI
Akuntansi sosial ekonomi merupakan alat yang sangat berguna bagi perusahaan dalam
mengungkapan aktivitas sosialnya di dalam laporan keuangan. Pengungkapan tanggung jawab
sosial dalam laporan keuangan penting karena melalui social reporting disclosure, pemakai
laporan keuangan akan dapat menganalisis sejauh mana perhatian dan tanggung jawab sosial
perusahaan dalam menjalankan bisnis. Diharapkan melalui media ini tingkat tanggung jawab
sosial perusahaan dapat mempengaruhi secara positif perilaku investor. Investor seharusnya tidak
hanya melihat aspek keuangan saja, tetapi juga tanggung jawab sosial perusahaan harus
mendapatkan
pertimbangan
dalam
pengambilan
keputusan
bisnis.
Akan tetapi sampai saat ini pengungkapan tanggung jawab sosial dalam laporan keuangan masih
bersifat sukalera, dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 1 Paragraf ke
sembilan
dinyatakan:
Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan
hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri di mana faktorfaktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap
pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting. PSAK tersebut
tidak secara tegas mengharuskan perusahaan untuk melaporkan tanggung jawab sosial mereka.
Pengelompokan, pengukuran dan pelaporan juga belum diatur, jadi untuk pelaporan tanggung
jawab
sosial
diserahkan
pada
masing-masing
perusahaan.
Akuntansi Social Economi (ASE) menurut Belkaoui (1984) lahir dari anggapan bahwa akuntansi
sebagai alat manusia dalam kehidupannya harus juga sejalan dengan tujuan sosial hidup
manusia. ASE berfungsi untuk memberikan informasi social report tentang sejauh mana unit
organisasi, Negara dan dunia memberikan kontribusi yang positive dan negative terhadap
kualitas hidup manusia. ASE sebagai suatu penerapan akuntansi di bidang ilmu sosial termasuk
bidang sosiologi, politik ekonomi. Ada juga yang memberikan istilah lain dari ASE yaitu
Akuntansi Sosial yang terdiri dari Akuntansi Mikro Sosial dan Akuntansi Makro Sosial.
Beberapa
ahli
telah
mendefinisikan
akuntansi
sosial
ekonomi,
antara
lain:
a. Menurut Mathews dan Perera akuntansi sosial ekonomi (Rusmanto, 2004: 85) adalah:
To describe a comprehensive form of accounting which takes into account externalities the cost
imposed on the public by private sector organizations as well as the more usual public costs.
b.
Menurut
Linowes
akuntansi
sosial
ekonomi
(Belkaoui,
1998:
339)
adalah:
Penerapan akuntansi di bidang ilmu sosial yang meliputi ilmu pengetahuan masyarakat, ilmu
pengetahuan
c.
Menurut
politik
Ahmed
dan
Belkaoui
ilmu
(1998:
339)
pengetahuan
akuntansi
sosial
ekonomi.
ekonomi
adalah:
Proses pengurutan, pengukuran, dan pengungkapan pengaruh yang kuat dari pertukaran antara
suatu
perusahaan
dan
lingkungan
sosialnya.
d. Menurut Lee D. Parker et. al (1989: 169-170) akuntansi sosial ekonomi adalah:
The construction and maintenance of organizational social information system designed to
evaluate an organizations social impact, assess the effectiveness of its social programs, and
report
upon
the
overall
discharge
of
its
social
responsibilities.
Menurut
the
Haniffa
akuntansi
sosial
ekonomi
firm.
(Rusmanto,
2004:
87)
adalah:
Ekspresi dari tanggung jawab sosial perusahaan, melalui pengungkapan pelaporan aktivitas
sosial perusahaan dapat menunjukkan apa yang telah mereka capai dan penuhi dalam
pelaksanaan
tanggung
jawab
sosial.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa akuntansi sosial ekonomi adalah alat
yang berfungsi untuk mengidentifikasi, mengukur, dan menilai dampak sosial yang ditimbulkan
oleh perusahaan, baik social cost maupun social benefit, dan mengkomunikasikannya kepada
stakeholder, yaitu stockholder, karyawan, masyarakat, pemasok dan pemerintah dalam bentuk
pelaporan
pertanggungjawaban
sosial.
Gray et. al. mengelompokkan teori yang dipergunakan oleh para peneliti untuk menjelaskan
kecendrungan pengungkapan sosial ke dalam tiga kelompok (Henny dan Murtanto, 2001: 26-27)
yaitu:
a. Decision usefullness studies: pengungkapan sosial dilakukan karena informasi tersebut
dibutuhkan oleh para pemakai laporan keuangan dan ditempatkan pada posisi yang moderatly
important.
b. Economy theory studies: sebagai agen dari suatu prinsipal yang mewakili seluruh intrest group
perusahaan, pihak manajemen melakukan pengungkapan sosial sebagai upaya untuk memenuhi
tuntutan
publik.
c. Social and political theory studies: pengungkapan sosial dilakukan sebagai reaksi terhadap
tekanan-tekanan dari lingkungannya agar perusahaan merasa eksistensi dan aktifitasnya
terlegitimasi.
Menurut Harahap (2003: 351-352) ada beberapa paradigma yang menimbulkan kecendrungan
perusahaan
untuk
mengungkapkan
tanggung
jawab
sosialnya:
sosial
perusahaan
terhadap
lingkungan
sosialnya.
sosial
kepada
stakeholder.
c. Perspektif Ekosistem: dalam perspektif ini perusahaan sadar bahwa kegiatan ekonomi yang
dilakukan
akan
menimbulkan
dampak
bagi
ekosistem yang
berada
di
sekitarnya.
dan
selalu
memperhatikan
efek
sosial
yang
ditimbulkan
oleh
kegiatannya.
Pengungkapan kinerja sosial pada laporan tahunan perusahaan seringkali dilakukan secara
sukarela oleh perusahaan. Menurut Henderson dan Peirson, adapun alasan-alasan perusahaan
mengungkapan kinerja sosial secara sukalera (Henny dan Murtanto, 2001: 27) antara lain:
a. Internal decision making: manajemen membutuhkan informasi untuk menentukan efektivitas
dari informasi sosial tertentu dalam mencapai tujuan sosial perusahaan. Data harus tersedia agar
biaya dari pengungkapan tersebut dapat diperbandingkan dengan manfaatnya bagi perusahaan.
Walaupun hal ini sulit diidentifikasi dan diukur namun analisis secara sederhana lebih baik
daripada
tidak
sama
sekali.
b. Product differentiation: manajer dari perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial
memiliki insentif untuk membedakan diri dari pesaing yang tidak bertanggung jawab secara
sosial
kepada
masyarakat.
pelanggan, pemerintah dan masyarakat karena dapat mempengaruhi pendapatan penjualan dan
harga
saham
perusahaan.
Menurut Mathews dan Perera (Rusmanto, 2004: 83) terdapat beberapa alasan perusahaan
mencantumkan kegiatan sosial mereka dalam laporan keuangan, antara lain ialah:
a.
b.
Mencoba
Sebagai
c.
wujud
mempengaruhi
dari
kontrak
sosial
antara
Pelaksanaan
pasar
perusahaan
dan
modal
masyarakat,
legistimasi
dan
organisasi
Pengungkapan kinerja akuntansi sosial perusahaan, baik secara internal maupun eksternal, dapat
ditempuh
melalui
beberapa
pendekatan,
yaitu:
(1) Audit sosial, yaitu mengukur dan melaporkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan dari
program-program yang berorientasi sosial dan operasi perusahaan yang reguler. Mulanya,
manajer perusahaan diminta membuat daftar aktivitas dengan konsekuensi sosial. Setelah daftar
tersebut dihasilkan, auditor sosial kemudian menilai dan mengukur dampak-dampak dari
kegiatan sosial perusahaan. Audit sosial dilaksanakan secara rutin oleh kelompok konsultan
internal maupun eksternal, sebagai bagian dari pemeriksaan internal biasa, sehingga manajer
mengetahui
(2)
konsekuensi
Laporan-Laporan
Sosial.
sosial
Laporan
dari
eksternal
terpisah
tndakan
yang
mereka.
menggambarkan
hubungan perusahaan dengan komunitasnya, dikembangkan salah satunya oleh David Linowes.
Ia membagi laporannya dalam tiga kategori: hubungan dengan manusia, hubungan dengan
lingkungan, dan hubungan dengan produk. Pada setiap kategori, ia membuat daftar mengenai
konstribusi sukarela perusahaan dan kemudian mengurangkannya dengan kerugian yang
disebabkan oleh aktivitas perusahaan itu. Linowes memoneterisasi segala sesuatunya dalam
laporan tersebut, sampai pada saldo akhir, yang disebutnya sebagai tindakan sosio-ekonomi netto
untuk tahun tersebut. Dalam laporan Linowes, seluruh kontribusi dan kerugian harus dihitung
secara moneter. Selain Linowes, Ralph Estes juga mengembangkan suatu model pelaporan
mengenai manfaat dan biaya sosial. Ia menghitung manfaat sosial sebagai seluruh kontribusi
kepada masyarakat yang berasal dari operasi perusahaan (misalnya, lapangan kerja yang
disediakan, sumbangan, pajak, perbaikan lingkungan). Sedangkan biaya sosial, meliputi seluruh
biaya operasi perusahaan (bahan baku yang dibeli, utang kerusakan lingkungan, luka-luka dan
penyakit yang berkaitan dengan pekerjaan). Manfaat sosial dikurangkan dengan biaya social
untuk
memperoleh
manfaat
atau
biaya
netto.
(3) Pengungkapan dalam laporan tahunan. Beberapa perusahaan menerbitkan laporan tahunan
kepada pemegang saham disertai beberapa informasi sosial yang dilakukan. Namun, melalui
informasi yang dicantumkan dalam laporan tahunan tersebut, belum dapat dinilai kinerja sosial
perusahaan secara komprehensif, karena kebanyakan informasi yang diungkapkan dalam laporan
tahunan bersifat sukarela dan selektif. Dalam artian, bisa jadi perusahaan hanya menyoroti
kontribusi positifnya dan mengabaikan dampak negatif yang ditimbulkan dari aktivitas usahanya.
MASALAH-MASALAH
PELAPORAN
AKUNTANSI
SOSIAL
Dalam pelaporan akuntansi sosial, diinformasikan seberapa besar manfaat sosial netto yang
diberikan perusahaan pada masyarakat. Manfaat sosial netto tersebut, diperoleh dari selisih
antara kontribusi suatu perusahaan kepada masyarakat (manfaat sosial) dengan kerugian yang
ditimbulkan (biaya sosial). Namun dalam menentukan manfaat sosial netto tersebut tidaklah
semudah menyajikan laporan keuangan biasa. Masalah yang muncul, terkait (1) bagaimana
menentukan apa yang menjadi pos-pos biaya ataupun manfaat sosial perusahaan, (2) bagaimana
mengukur (nilai moneter) biaya dan manfaat sosial yang ditimbulkan perusahaan.