Anda di halaman 1dari 18

ASPEK KEPERILAKUAN PADA ETIKA AKUNTAN

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan  hidayah-Nya
sehingga penulisan tugas makalah  ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Adapun judul
dari tugas makalah ini   “Profesi Akuntan Indonesia (Akuntan Publik)” yang merupakan salah
satu tugas dari mata kuliah Etika Profesi Akuntansi di Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi
Universitas Gunadarma.

Penulis berharap tugas ini dapat digunakan sebagai awal pembelajaran untuk menambah
semangat dalam mencari pengetahuan yang luas dimana saja dan  memberi manfaat dan
menambah wawasan bagi kita semua. Penulis menyadari bahwa isi maupun penyajian tugas
makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran
sebagai penyempurna tugas makalah  ini demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dosen mata kuliah Etika Profesi Akuntansi atas
bimbingan dan arahan dalam pembuatan tugas makalah ini. Tanpa bimbingan dari beliau
mungkin penulis tidak akan dapat menyelesaikan tugas ini.

Baubau, 13 Januari 2020

Penulis

Sudaryatmo
Daftar Isi

JUDUL...................................................................................................................................
KATA PENGANTAR................................................................................................................
DAFTAR ISI............................................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN...........................................................................................................
1.1 Latar belakang.............................................................................................................
1.2 Rumusan masalah.......................................................................................................
1.3 Tujuan penulisan.........................................................................................................

BAB 2 PEMBAHASAN.............................................................................................................
2.1 Penalaran moral ...............................................................................................................
2.2 model pengambilan keputusan etis...................................................................................
1 Teori Penalaran Moral dari Kohlberg.............................................................................
2 Ukuran Moral Reasoning................................................................................................
3.Pendekatan Kognitif Lingkungan Terhadap Pengambilan Keputusan Etis....................
4. Model Alternatif Pengambilan Keputusan Etis.............................................................
2.3 Riset Perilaku Etis Akuntan.................................................................................................
2.4 Studi Pengembangan Etika.................................................................................................
2.5 Studi Keputusan Etis...........................................................................................................
2.6 Studi Etis Lintas Budaya...............................................................................................
2.7 Implikasi bagi Riset Mendatang....................................................................................

BAB 3 PENUTUP ...................................................................................................................


3.1 Kesimpulan..............................................................................................................................

Bab 4 Daftar Pustaka ............................................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1. Pendahuluan

Praktisi akuntansi sering mengalami dilema ketika menghadapi masalah etika pada saat
melakukan aktivitas profesional (Jakubowski et al., 2002). Kegagalan praktisi akuntansi menjaga
kepercayaan publik menyebabkan hilangnya kredibilitas mereka. Oleh karena itu, penting untuk
membekali pendidikan etika pada para praktisi akuntansi (McPhail, 2001). Alasannya, etika
idealnya mendasari pengambilan keputusan oleh pihak manajemen dalam menjalankan proses
bisnis.
Pada saat mengambil keputusan, individu akan mempertimbangkan berbagai kemungkinan
yang dilandasi oleh nilai yang mereka percayai. Situasi yang beragam dapat memberi pengaruh
terhadap pengambilan keputusan individu. Pada kondisi tertentu, individu dihadapkan pada
permasalahan yang membutuhkan pengambilan keputusan terbaik. Oleh sebab itu, pendidikan
etika pada saat menempuh pendidikan merupakan modal untuk menyelesaikan masalah
dengan solusi yang terbaik tanpa melanggar etika bisnis.
Salah satu kasus yang paling terkenal terkait pelanggaran etika adalah kasus Enron yang
melibatkan akuntan profesional di Kantor Akuntan Publik (KAP) Arthur Anderson. Contoh
lainnya adalah perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anggota organisasi misalnya pada
kasus PT Kimia Farma dengan melakukan mark up laba bersih pada laporan keuangan. Perilaku-
perilaku menyimpang tersebut disebabkan karena rendahnya etika yang dimiliki oleh individu.
Lebih lanjut lagi, Knotts et al. (2000) menyebutkan bahwa sekolah bisnis harus meningkatkan
pemahaman mahasiswa mengenai etika. Sebelum terjun ke dunia kerja, individu sebaiknya
memiliki nilai moral yang menjadi landasan dalam mengambil keputusan etis. Perbedaan pada
perilaku etis akan merefleksikan perbedaan dalam persepsi dan pengambilan keputusan etis
(Ponemon, 1992). Studi yang dilakukan oleh Cohen et al. (2001) menunjukkan bahwa tingkat
pendidikan mempengaruhi etika individu. Pendidikan yang semakin tinggi memberikan calon
akuntan profesional bekal mengenai pengetahuan etika yang semakin banyak. Hal tersebut
didukung oleh McPhail (2001) yang memberikan solusi untuk praktisi akuntansi agar terhindar
dari perilaku yang menyimpang yaitu dengan adanya pendidikan etika sejak masa pendidikan.
Nilai moral yang dimiliki oleh individu akan mempengaruhi perilakunya. Semakin tinggi nilai
moral individu maka semakin baik perilaku individu.
B. Rumusan Masalah

1.      apa itu penalaran moral ?

2.      bagaimana model pengambilan keputusan etis ?

3.      bagaiman itu riset perilaku etis akuntan ?

4.      apa saja studi pengembangan etis ?

5.      bagaimana studi keputusan etis ?

6.      Bagaimana implikasi bagi riset mendatang ?

C. Tujuan Pembahasan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1.    Untuk menjelaskan Penalaran moral

2.    Untuk mengetahui model pengambilan keputusan etis

3.    Untuk mengetahui riset perilaku etis akuntan

4.    Untuk mempelajari studi pengembangan etis

5.    Untuk memahami studi keputusan etis

6. Untuk mengetahui studi etis lintas budaya

6.    Untuk mempelajari implikasi riset mendatang


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Dilema Etika

Akuntan di dalam aktivitas auditnya memiliki banyak hal yang harus dipertimbangkan karena
auditor mewakili banyak konflik kepentingan yang melekat dalam proses audit (built in conflict
of interest). Sering kali dalam pelaksanaan aktivitas auditing, seorang auditor berada dalam
konflik audit. Konflik dalam audit akan berkembang pada saat auditor mengungkapkan
informasi yang oleh klien tidak ingin dipublikasikan kepada umum. Konflik ini akan menjadi
sebuah dilemma etika ketika auditor diharuskan membuat keputusan yang menyangkut
independensi dan integritasnya dalam imbalan ekonomis yang mungkin dijanjikan di isi lainnya.
Karena auditor seharusnya secara sosial juga bertanggung jawab kepada masyarakat dan
profesinya daripada mengutamakan kepentingan dan pertimbangan pragmatis pribadi atau
kepentingan ekonomis semata, sering kali diharapkan pada dilemma etika dalam pengambilan
keputusannya.

Dilema etika muncul sebagai konsekuensi konflik audit karena auditor berada dalam situasi
pengambilan keputusan antara yang etis dan tidak etis. Situasi tersebut terbentuk karena dalam
konflik terdapat ada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap keputusan auditor, sehingga
auditor dihadapkan kepada pilihan keputusan antara yang etis dan tidak etis.

2.1 Penalaran Moral

Penalaran moral dan pengembangan memainkan peran kunci dalam seluruh area profesi
akuntansi. Akuntan yang secara kontinu dihadapkan pada dilemma berada pada konflik nilai.
Akuntan pajak, misalnya, ketika memutuskan kebijakan mengenai metode akuntansi yang akan
dipilih, membutuhkan waktu untuk memutuskan antara metode yang mencerminkan sifat
ekonomi sesungguhnya dari transaksi atau metode yang paling sesuai mengambarkan
perusahaan. Auditor harus memeprtimbangkan konsekuensi pengungkapan informasi yang
berlawanan tentang klien yang membayar audit fee mereka. Akuntan yang dihadapkan dengan
konflik etika tersebut harus memutuskan secara khusus kesinambungan dari keseimbangan titik
temu antara niaya dan manfaat pada dirinya, orang lain dan masyarakat secara keseluiruhan.
Ketika keputusan profesional didasarkan pada keyakinan dan nilai individual, maka penalaran
moral memainkan peranan penting dalamn keputusan akhir seseorang.

Masalah etika dalam akuntansi bukanlah hal yang baru meskipun baru-baru ini masalah etika
menjadi perhatian utama. Misalnya, terdapat seruan akan kebijkan-kebijkan etika perusahaan
yang disertai dengan saksi yang lebih keras. Sejalan dengan inisiatif baru ini, minat terhadap
perilaku etis akuntan profesional diperbarui. Misalnya saja, terdapat sejumlah studi akademis
terbaru yang didedikasikan untuk penalaran moral dan pengembangan akuntansi profesional
publik. Arnold dan Ponemon menekankan pentingnya paradigm riset ini karena alasan-alasan
berikut:

1.      Riset tingkat penalaran moral akuntan dapat memberikan pemahaman tambahan


mengenai resolusi konflik etika yang dihadapi oleh akuntan.

2.      Riset dalam area ini memfasilitasi pengakuan masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan
keputusan etika akuntan.

2.2     Model Pengambilan Keputusan Etis

1.      Teori Penalaran Moral dari Kohlberg

Pengembangan psikologi moral dimulai dari karya psikolog Piaget. Berdasarkan pada karya
Piaget, klien kemudian mengembangkan sebuah teori keputusan moral yang memasukkan
serangkaian pengembangan keseimbangan (equilibria) yang ada dalam diri seorang individu.
Menurut teori ini, individu secara berurutan mengalami kemajuan ke tingkat atau tahap moral
reasoning yangv lebih sebagai bagian dari proses pertambahan usia.

Kolhberg menyamakan tiga tingkatan ini dengan tiga jenis hubungan yang berbeda antara diri,
aturan, dan harapan masyarakat. Pada tingkat prakonvensiional, seorang individu terutama
memperhatikan efek aksi yang dipilih terhadap dirinya. Pada tingkat ini karena aturan dan
harapan social bersifat eksternal terhadap dirinya, maka keduanya tidak dipertimbangkan
dalam proses pengambilan keputusan. Seorang individu pada tingkat ini umumnya mengikuti
hukum masyarakat dan memenuhi harapan masyarakat karena hal tersebut menguntungkan.
Seorang individu pada tingkat pascakonvensional mendefiniskan nilai pribadi dalam pengertian
individual yang yang dipilih dari prinsip-prinsip dan membedakan dirinya dari aturan dan
harapan orang lain. Individu tidak harus berada di atas hukum masyarakat dan sesuai dengan
perhatian masyarakat. Pada masing-masing tingkatan terdapat dua tahap perkembangan,
sehingga secara total terdapat enam jenis keseimbangan yang terpisah.

Rest mengakui bahwa model rangkaian tahap dari Kolhberg adalah bagian yang integral dari
model kognitif komprehensif pengambilan keputusan etis. Misalnya, Rest menyatakan
bahwa ethical reasoning hanya merupakan bagian dari kapasitas individu secara keseluruhan
untuk membangun kerangka dan memecahkan masalah etis. Rest selanjutnya
mengidentifikasikan empat kompenen dalam menentukan perilaku moral, yaitu:

Ø  Sensitivitas moral (pengenalan implikasi moral dari sebuah situasi)


Ø  Keputusan moral (keputusan mengenai apakah sebuah aksi benar secara moral)

Ø  Motivasi moral (menempatkan nilai moral di atas nilai lainnya)

Ø  Karakter moral (mempunyai keyakinan untuk mengimplementasikan aksi moral)

Model rangkaian tahap dari Kolhberg tentang tingkat perkembangan moral individual
berhubungan dengan komponen kedua dari model pengambilan keputusan etis. Kolhberg
menyatakan bahwa individu pada tingkat moral reasoning yang lebih tinggi dapat melakukan
tindakan moral yang benar. Hasil empiris adalam konteks akuntansi juga menghubungkan
tingkat moral reasoning yang lebih rendah dengan pertanyaan mengenai independensi dari
penilaian, kegagalan untuk mendeteksi penipuan laporan keuangan, dan tidak terdapatnya
pengungkapan atas temuan audit sensitif melalui pengaduan (whistle blowing). Sebuah
alternatif terhadap teori Kolhberg dikembangkan oleh Gilligan yang mematiskan bahwa model
Kolhberg bias dalam hal gender dalam meneliti perspektif  moralitas perempuan. Sebaliknya, ia
menyampaikan bahwa perempuan mempunyai orientasi untuk ‘merawat’, yang merupakan
suatu orientasi dari tahap pengembangan moral yang terpisah dan berbeda dari laki-laki.
Meskipun perspektif alternatifnya telah didukung oleh bukti anekdot, masih belum ditemukan
dukungan empiris. Selanjutnya, Kolhberg menyatakan bahwa karena wawancarnya dilakukan
semata-mata dengan perempuan tidak berarti bahwa beberapa perbandingan dengan
perspektif laki-laki tidak dibenarkan. Terlepas dari masalah ini, perspektif feminis seharusnya
tidak diabaikan dalam aplikasi riset sekarang. Pertimbangan perspektif feminis penting
terhadap asumsi pertanyaan yang terus menerus yang mendasari teori saat ini.

2.      Ukuran Moral Reasoning

Sebagai alternative dari MJI, Rest mengembangkan pengujian definsi masalah (definition of
issue test-DIT), yang berupa kuesioner pilihan ganda yang dikerjakan sendiri guna memberikan
ukuran objektif Eropa dalam memahami distribusi kemampuan etis (bukan berupa skor
tunggal). DIT menampilkan subjek dengan enam scenario hipotesis, masing-masing
berhubungan dengan dilema etika (misalnya mencuri informasi dari pihak yang berwenang,
kebebasan berbicara, membantu tindakan bunuh diri, diskriminasi rasial, dan kebebasan untuk
mengajukan protes).

Karena MJI terdiri dari wawancara verbal, DIT (sebuah instrument tertulis) lebih sederhana
untuk dilaksanakan pada poin yang ditentukan untuk masing-masing respons. Skor DITP
(prinsip) adalah jumlah respons yang berhubungan dengan tingkat moral reasoning tertinggi
dan mengukur persentase respons tahap lima dan enam (misalnya mereka yang konsisten
reasoning pascakonvensional dan norma masyarakat). Konsekuensinya, semakin tinggi skor P,
maka semakin sedikit jumlah respons tahap satu sampai dengan empat. Skor DIT P telah
terbukti menjadi ukuran objektif dengan skor validitas dan realibilitas statistik sangat tinggi. DIT
telah digunakan secara luas dalam litelatur akuntansi, bukan saja dalam perbandingan antara
akuntan univariate dengan kelompok lain dengan latar belakang sosioekonomi yang berbeda,
tetapi juga covariate dalam studi perilaku (tidak) etis.

Dalam konteks domain spesifik (misalnya akuntansi), pengendalian DIT sebagai ukuran
kapasitas etis menjadi semakin diperdebatkan. Sementara perilaku etis ditemukan
berhubungan degan tingkat moral reasoning yang lebih tinggi (seperti diukur oleh DIT), studi
perbandingan telah menujukkan bahwa tingkat moral reasoning akuntansi profesional secara
konsisten berada jauh di bawah temuan untuk tingkat moral reasoning akuntan yang buruk.
Fogarty, misalnya menyerang penggunan DIT berdasarkan beberapa alasan, menyatakan bahwa
sebagai aebuah kognitif, DIT mengabaikan motivasi dan karakteristik berbasis emosi lainnya. Ia
juga mempertahankan bahwa akuntan seharusnya dianalisis pada tingkat kelompok ndan
bukannya tingkat individual.

Sebuah asumsi implist dalam seluruh studi yang menggunakan DIT adalah bahwa semakin
tingkat skor DIT semakin baik. Misalnya saja, Kolhberg menyatakan bahwa ketika seorang
individu mengalami kemajuan melalui tahapan tersebut, mereka mengatasi gaya pemikiran
lama dan memandang dirinya sebagai individu tidak memadai dan sederhana. Sementara,
Kolhberg menyatakan bahwa individu bergerak di sepanjang tahap naik seperti anak tangga.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah yang menjadi preferensi dari akuntan.

3.      Pendekatan Kognitif Lingkungan Terhadap Pengambilan Keputusan Etis

Ketika banyak riset yang berhubungan dengan perilaku etis individual menggunakan DIT untuk
mengatur tingkat moral reasoning individual (misalnya urutan peringkat dari akternatif moral),
telah berkembang pendekatan tambahan yang membahas komponen lain dari model Rest.
Misalnya, mereka menyebutkan Skala Etis Multidimensional (SEM) sebagai ukuran kesadaran
moral, yang merupakan komponen pertama dari model Rest dan menghubungkan teori
perencanaan perilaku dengan komponen tiga dan empat.

Reidenach mengembangkan SEM untuk fokus pada dinamika pengambilan keputusan yang
melibatkan perilaku etis yang belum diselidiki. Delapan Skala Likert yang bipolar dibagi ke dalam
tiga dimensi, yaitu keadilan moral, relativisme, dan kontraktualisme, yang dimasukkan dalam
ukuran. Skenario etis digunakan dengan memasukkan deskripsi atas sutuasi tunggal sepanjang
100 kata. Flory et al menggunakan SEM untuk mengkaji response tis terhadap 300 akuntan
manajemen yang bersertifikat (certified management accountant-CMA) terhadap empat
skenario manajemen laba. Tujuan utama dari studi tersebut adalah memvalidasi penggunaan
SEM dalam konteks akuntansi. Ketika tujuan ini dicapai, gambaran yang ditampilkan tidak
mendukung variabilitas antar-subjek sehingga menghasilkan perhatian pada validitas eksternal.
Cohen kemudian memperluas riset Reidebach dan Robin terhadap situasi multinasional. Hasil
untuk sampel subjek di Negara-negara Amerika serikat dan lainnya menunjukkan munculnya
konflik tambahan, yaitu utilitarianisme yang penting dalam pengambilan keputusan etis.
Sementara SEM dikritik sebagai gagal untuk memasukkan bagaimana ukuran ini secara teoretis
berbeda dari karya pengembangan moral Kolhberg dan Rest, serta bahwa ukuran ini mungkin
menjadi alat yang lebih baik untuk memahami proses moral reasoning akuntan. Cohen
selanjutnya menunjukkan bahwa SEM adalah sebuah ukuran sensitivitas moral yang merupakan
komponen pertama dari model Rest. Dengan cara yang sama, Shaub membuat model dari
kemampuan auditor untuk mengenali konflik etika sebagai sebuah fungsi dari orientasi etika
lainnya (idealism/relativisme), serta komitmen profesional dan organisasional mereka.

Teori tentang aksi penalaran sangat berhubungan dengan niat sebelumnya dari komitmen
perilaku yang pada gilirannya diperediksi dari sikap pribadi individu terhadap perilaku dan
norma subjektif, misalnya, persepsi individual mengenai sikap masyarakat terhadap perilaku.
Alasannya bahwa teori tersebut telah dihubungkan dengan tiga komponen Rest (motivasi
moral) dan empat karakter moral. Teori penalaran aksi telah memberikan landasan bagi banyak
studi akuntansi, termasuk usaha untuk mengidentifikasikan penyebab dari perilaku agresif
auditor dalam hubungannya dengan klien dan kepatatuhan pembayar pajak.

4.      Model Alternatif Pengambilan Keputusan Etis

Di luar bidang psikologi social, Noreen (1998) memperluas teori agensi dengan membahas
ekonomi etis dalam konteks kontrak. Didasarkan pada minat individual, dia menyatakan bahwa
perilaku etis (tekanan perilaku opportunistis) mungkin sering menghasilkan aksi yang paling
menguntungkan (daya tarik ekonomi). Contoh, kepatuhan akuntan terhadap kode etik dan
perilaku profesional AICPA membatasi seberapa besar inferensi ekternal. Pendekatan teori
agensi dari Noreen bertentangan langsung dengan prinsip keunggulan pengguna, yang
didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, di mana keperntingan pengguna laporan keuangan
menjadi perioritas.

Terdapat model pengambilan keputusan etis lain yang dikembangkan secara spesifik untuk
profesi akuntansi. Misalnya, untuk lebih memahami situasi di mana auditor dianggap melanggar
kode etik dan perilaku profesional AICPA, Lampe dan Finn membuat model dari proses
keputusan etis auditor sebagai proses dengan lima elemen (pemahaman keuntungan,
pengendalian dampak, keputusan lain, penilaian lain, dan pengambilan keputusan final) untuk
dibandingkan dengan model yang berbasis kode etik dan perilaku profesional AICPA. Dengan
cara yang sama, Finn dan Lampe membuat dari keputusann berkaitan dengan penyampaian
pengaduan auditor.
2.3   Riset Perilaku Etis Akuntan

c.    riset perilaku etis akuntan


Bagian berikut mendefinisikan dan menjelaskan empat area riset akuntansi utama yang
menyelidiki tingkat moral reasoning akuntan dan perilaku yang berhubungan, yaitu studi
pendidikan etika, studi pengembangan etika, studi penilaian etika, dan studi etika lintas budaya.
Studi pendidikan etika menyelidiki apakah pendidikan memengaruhi keahlian moral reasonig
siswa dalam program akuntansi. Studi pengembangan etika berusaha meningkatkan poin kerier
mereka. Studi penilaian etika mengkaji hubungan antara ukurn moral reasoning dengan
perilaku spesifik dalam akuntansi, auditing, atau perpajakan. Terakhir, studi etika lintas budaya
menyelidiki perbedaan dalam keahlian moral reasoning dan/atau keputusan etika akuntan dari
belahan dunia yang berbeda.
1. Studi Pendidikan Etika
Studi pendidikan etika berusaha menentukan efek pendidikan terhadap keahlian moral
reasoning dari para praktisi dan mahasiswa akuntansi. Sementara hasil dari banyak studi
umumnya telah menunjukkan bahwa pendidikan kampus secara positif berhubungan dengan
pengaruh tingkat moral reasoning individual, temuan dalam ranah akuntansi telah
menunjukkan bahwa akuntan pada umumnya tidak mengalami kemajuan pada tingkat
perkembangan moral sama seperti lulusan kampus lainnya.
1. M. Armstrong (1987)
Satu studi pertama yang menyelidiki hubungan antara perkembangan moral dan riset
perilaku dilakukan m. Armstrong (1987). Tingkat moral reasoning dari CPA dibandingkan
dengan yang sudah dan belum lulus. Hal yang mengejutkan, skor DIT rata-rata CPA secara
signifikan lebih rendah dari pada kedua kelompok tersebut. M.armstrong (1987) menyimpulkan
bahwa para CPA yang menjadi responden kelihatannya mencapai tingkat kematangan moral
orang dewasa pada umumnya.
2. Ponemon Dan Glazer (1990)
Poneman dan glazer memperluas penyelidikan ke dalam tingkat moral reasoning
akuntan dengan membandingkan mahasiswa dengan alumni untuk dua lembaga pendidikan
yang terletak di daerah timur amerika serikat. Lembaga yang pertama adalah suatu kampus
seni liberal swasta yang menawarkan jurusan akuntansi. Sementara lembaga yang kedua,
american assembly of colligiate school bisiness (AACSB) merupakan lembaga yang terpandang
dalam mengadakan program akuntansi.
3. St. Pierre, Nelson dan Gabbin (1990)
St pierre et al. Mengkaji hubungan tingkat moral reasoning . sampel yang terdiri atas
479 mahasiswa senior dari semua disiplin ilmu  yang berbeda yang terdiri atas jurusan bisnis
dan non bisnis pada universitas ukuran menengah di bagian timur Amerika serikat diminta
untuk melengkapi DIT. Ukuran lain yang dikumpulkan berkaitan dengan sbjek adalah jurusan,
gender, dan paparan awal terhadap etika dalam kurikulum formal.
4. Lampe (1994)
Lampe menyampaikan hasil dari studi akuntansi longitudinal tingkat mahasiswa
sehubungan dengan moral reasoning di Universitas Southwestern, Anerika Serikat. Hasilnya
menunjukkan bahwa ukuran keputusan moral mahasiswa, penalaran dalam situasi dilemma
etika, keputusan dan sikap terhadap perilaku etika tidak berubah. Lampe menyampaikan bahwa
mahasiswa akuntansi tetap berorientasi terhadap aturan yang diimplikasikan oleh kode etik.

2.4     Studi Pengembangan Etika

Diskusi mengenai hasil dari studi ini dan pengembangan etika lainnya dijelaskan di bawah ini.

1. Ponemon (1990)
Ponemon menyelidiki ethical reasoning dan penilaian praktisi akuntansi dalam perusahaan
publik. Lima puluh dua praktisi CPA dari bermacam-macam posisi di perusahaan publik di
daerah timur laut Amerika serikat berpartisipasi dalam studi. Subjek mengisi wawancara
penilain moral atau MJI dan paradigm auditing. Dilemma auditing dikembangkan dari studi
kasus dari kehidupan nyata yang melibatkan kantor akuntan publik dan dua klien audit besar.
Dilemma tersebut digambarkan sebagai serangkaian kejadian yang terjadi dalam situasi krisis
dengan kedua klien. Baik MJI dan dilemma auditing diskor secara serupa, sehingga
memungkinkan untuk membandingkan secara langsung kedua skor tersebut. Hasilnya
menunjukkan bahwa skor subjek tidak berbeda secara signifikan antara kedua dilemma.
Investigasi selanjutnya atas respons verbal terhadap dilemma auditing menunjukkan bahwa
subjek pada tingkat posisi yang berbeda dalam perusahaan menggunakan isu berbeda dengan
frekuensi berbeda dalam resolusi kasus mereka. Tipe isu yang digunakan adalah konsisten
dengan temuan bahwa tingkat posisi dalam perusahaan dan tingkat moral reasoning
berhubungan secara terbalik.

2. Ponemon (1992a)
Ponemon menyelidiki pengaruh dari sosialisasi kantor akuntan publik terhadap tingkat ethical
reasoning masinh-masing CPA. Studi dari sosialisasi perusahaan sebelumnya menunjukkan
bahwa manajemen lebih bias mendorong individu yang mempunyai pandangan organisasi
umum yang sama. Studi dalam profesi akuntansi telah menunjukkan bahwa individu yang tetap
berada dalam profesinya mengasimilasikan budaya perusahaan. Untuk menyelidiki eksitensi
sosialisasi etika dalam profesi akuntansi, Ponemon menggunakan sampel CPA dari bermacam-
macam posisi dari perusahaan akuntansi di seluruh Amerika serikat. Konsisten dengan temuan
sebelumnya, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa skor DIT auditor meningkat pada tingkat
penyedia, tetapi kemudian menurun tajam pada tingkatan manajer dan partner. Selanjutnya,
dalam eksprimen yang menuntut seorang manejer audit untuk memprediski potensi promosi
bagi sekelompok auditor senior, ditemukan bahwa penilaian promosi dari manajer tersebut
cenderung bias terhadap senior yang memilih tingkat ethical reasoning serupa dengannya,
memberikan bukti lebih lanjut tentang eksitensi sosialisasi etika.

3. Shaub (1994)
Shaub menyelidiki perbedaan antara sampel yang terdiri atas 207 auditor dan sampel yang
terdiri atas 91 mahasiswa akuntansi senior dengan enam variabel demogratis. Hasilnya
menunjukkan bahwa usia dan pendidikan tidak secara signifikan berhubungan dengan
tingkat moral reasoning kedua sampel. Tingkat moral reasoning yang lebih tinggi ditemukan
untuk perempuan, individu dengan nilai rata-rata yang lebih tinggi dan individual yang
mengambil mata kuliah etika. Selanjutntya, tingkat moral reasoning meningkat pada tingkat
staf yang telah bekerja selama tiga tahun dan kemudian menurun mulai dari tingkat senior
sampai tingkat partner. Temuan ini konsisten dengan temuan Ponemon.

4. Sweeney (1995)
Sweeney memperluas garis riset ini dengan menyelidiki asosiasi antara faktor-faktor demografis
dan organisasional (misalnya kepuasan kerja, posisi, gender, dan status sosio-ekonomi) dengan
tingkat moral reasoning dari auditor. Sebuah kuesioner dan DIT dikirim kepada auditor dari
delapan kantor akuntan publik di bagian barat tengah  Amerika serikat dan menghasilkan
sampel akhir yang terdiri atas 314 subjek. Konsisten dengan hasil yang disampaikan oleh
Ponemon, studi tersebut menunjukkan bahwa skor DIT menurun seiring dengan peningkatan
tingkat posisi pada perusahaan sampel. Investigasi selanjutnya menunjukkan bahwa keahlian
moral sangat berhubungan dengan orientasi politik auditor (liberal atau konservatif) dan
gender.
5. Jeffrey dan Weatherholt (1996)
Jeffrey dan Weatherholt menyelidiki perbedaan pengembangan etika, komitmen profesional,
dan sikap terhadap aturan antara akuntan pada kantor akuntan publik yang termasuk kategori
6 besar (big 6) dan akuntan pada perusahaan yang termasuk dalam Fortune 500. Mereka
menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan dalam tingkat pengembangan etika di kedua
kelompok tersebut atau peringkat dalam kantor akuntan publik. Namun  demikian, terdapat
perbedaan antara kantor akuntan publik dengan kantor akuntan perseorangan. Komitmen
profesional partner lebih kuat daripada komitmen profesional senior, sementara sikap terhadap
aturan tidak berbeda di antara kedua kelompok atau peringkat di kantor akuntan publik.
Komitmen profesional dan kepatuhan pada aturan secara signifikan dan positif saling
berhubungan. Komitmen profesional dan pengembangan etika berhubungan secara terbalik.
Hasil ini menunjukkan bahwa proses tingkat sosialisasi mungkin berbeda sesuai dengan
limgkungan kerjanya.

6. Kite, Louwer, dan Randtke (1996)


Kite, Louwer dan Randtke mengkaji perbedaan dalam tingkat moral reasoning antara auditor
lingkungan, auditor internal lain, dan akuntan publik dengan asumsi bahwa auditor dengan
tingkat moral reasoning yang lebih tinggi kemungkinan akan memilih sendiri lingkungan
penugasan audit mereka. Lima puluh dua auditor praktik untuk audit lingkungan dan 26 auditor
internal dari 21 perusahaan di Amerika serikat menyelesaikan dan mengembalikan survey
lingkungan dan DIT lingkungan. Hasil dari studi ini tidak mendukung hipotesis bahwa auditor
lingkungan mempunyai skor DIT yang rata-rata lebih tinggi daripada akuntan publik. Analisis
tambahan menunjukkan bahwa auditor yang meminta posisi di bidang audit lingkungan secara
signifikan mempunyai skor DIT lebih tinggi daripada yang ditentukan oleh perusahaan mereka
untuk posisi tersebut.

2.5      Studi Keputusan Etis

Studi keputusan etis berfokus kepada hubungan antara bermacam-macam ukuran dan perilaku
spesifik terhadap bidang akuntansi. Bagian berikut menelaah studi representative yang
mengkaji:

Studi keputusan etis berfokus kepada hubungan antara bermacam-macam ukuran dan
perilaku terhadap bidang akuntansi. Bagian berikut menelaah studi representatif yang
mengkaji:
1. Isu Independensi
Hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Windor dan Ashkanasy (1995) menunjukkan
bahwa budaya organisasional berhubungan dengan pengembangan moral reasoning auditor
dan kepercayaan pribadi, tetapi tidak ada perbedaan di antara ketiga gaya pengambilan
keputusan. Schatzberg, Sevcik, dan Shapiro (1996), menguji validitas dari tiga kondisi ekonomi
umum yang dianggap penting terhadap kerusakan independensi. Shaub dan Lawrence (1996)
memperoleh temuan yang menunjukkan bahwa auditor yang menguasai situasi etis tidak
terlalu skeptis dan tidak terlalu memperhatikan isu etis profesional.
2. Pelanggaran lain kode etik dan perilaku profesional AICPA
Hasilnya penelitian Lampe dan Finn (1992) menunjukkan bahwa model lima elemen
(mendapatkan pemahaman, mengakui dampak, mempertimbangkan keputusan alternatif,
menilai mengunakan nilai lain, mengambil keputusan final) lebih baik dalam mencerminkan
keputusan-keputusan yang dibuat dan lebih baik dalam mengenali alasan terhadap keputusan-
keputusan tersebut dibandingkan dengan model implikasi kode. Shaub, Finn, dan Munter
(1993) menemukan bahwa pengurangan dari tingkat sensitivitas etika dan peningkatan dari
tingkat komitmen profesional berhubungan dengan idealisme. Dreike dan Moeckel (1995)
menemukan bahwa auditor cenderung mendefinisikan isu etis secara sempit dalam pengertian
kode etik dan Perilaku Professional AICPA.
a. Pendeteksian atas penipuan dalam laporan keuangan dan komunikasinya
Hasil penemuan Arnold dan Ponemon (1991) menunjukkan bahwa auditor internal dan
skor DIT lebih tinggi lebih mungkin mengungkapkan temuan audit sensitif, bahkan ketika
tindakan balas dendam oleh manajemen terjadi. Finn dan Lampe (1992) menemukan bahwa
keputusan etis auditor dan keputusan-keputusan whistle-blowing mereka berhubungan secara
signifikan.
b. Ketidakpatuhan pembayaran pajak
Ghosh dan Crain (1996) menunjukkan bahwa faktor-faktor individual dan situasional
secara psikologis merupakan aspek yang menonjol dari keputusan-keputusan dalam
ketidakpatuhan pajak. Penyelidikan Hanno dan Violette (1996) menunjukkan bahwa niat untukn
patuh berhubungan dengan laporan diri dan perilaku keputusan hipotesis.
c. Perilaku disfungsional spesifik dalam profesi akuntansi.
Penemuan Ponemon (1995) menunjukkan bahwa auditor tidak mampu menghubungkan
pengalaman mereka secara eksperimen yang didasarkan pada situasi litigasi atau perilaku etis,
seperti objektivitas dan idependensi yang merupakan peranan yang sudah ditemukan.

2.6     Studi Etis Lintas Budaya

Sebagian besar studi yang berhubungan dengan akntansi dan etika difokuskan kepada
profesi akuntansi di Amerika serikat. Perbedaan budaya mungkin muncul diantara kelompok
profesi akuntansi dari negara berbeda. Meskipun demikian, perbandingan antara profesi
akuntansi di Amerika Serikat dengan kelompok lain dapat memberikan pemahaman yang
berharga tentang penetapan standar organisasi internasional.
Hasil penelitian Ponemon dan Gabhart (1993), Etherington dan Schulting (1995),
membuktikan dalam hal skkor rata-rata DIT, bahwa Auditor di semua tingkatan posisi memiliki
skor rata-rata DIT yang lebih tingi dibandingkan dengan auditor Amerika serikat. Dengan kata
lain, proses seleksi-sosialisasi yang dianggap penting oleh profesi akuntan di Amerika serikat
mungkin terdapat di perusahaan-perusahaan besar Kanada. Penelitian Schultz, Johnson, Morris,
dan Dyrnes (1993) menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan multinasional dengan divisi
yang terletak di Negara-negara berbeda mungkin perlu mengimplementasikan sistem
pengendalian yang berbeda untuk mencapai tingkat reliabilitas yang serupa. Cohen, Pant, dan
Sharp (1995a) menyajikan pengujian empiris pada pernyataan Cohen bahwa kantor akuntan
publik multinasional seharusnya secara jati-hati memperhatikan dampak keragaman

2.7    Implikasi bagi Riset Mendatang

Salah satu masalah yang menonjol yang masih dihadapi oleh peneliti akuntansi dalam
menyelidiki dimensi etika profesi akuntansi berhubungan dengan keputusan apakah akan terus
memperluas dan menyatukan teori konflik dan ukuran dalam kerangka kerja pengambilan
keputusan etika empat komponen dari Rest.

Dengan cara yang sama, Ponemon dan Gabhart dalam bidang etika untuk auditor dan akuntan
mengakui bahwa keputusan-keputusan akuntan telah menjadi subjek dari bermacam-macam
kelompok konstituen termasuk organisasi klien yang membayar pelayanan mereka, kantor
akuntan profesional di mana karyawan menjadi anggota akuntan, profesi akuntan itu sendiri,
dan publik umum. Tanggung jawab yang beragam ini menujukkan bahwa proses resolusi konflik
etika akuntan mungkin tidak cukup sesuai dengan model pengambilan keputusan yang lebih
umum dari Rest.

Berdasarkan fakta bahwa mayoritas riset perilaku etis akuntan didasarkan pada teori moral
reasoning dari Kohlberg (dan DIT yang berhubungan), maka adalah logis untuk memulai diskusi
mengenai pertanyan etis tidak terpecahkan yang memengaruhi profesi akuntan dari titik ini.
Kolhberg menyatakan bahwa individu bergerak disepanjang tahap seperti anak tangga, apakah
hal ini mengimplementasikan bahwa bagi akuntan, tahap yang lebih tinggi merupakan tahap
yang lebih disukai.

Cohen et al., menyampaikan bahwa DIT berhubungan dengan keputusan moral yang
merupakan komponen kedua dari model Rest (1986), dan bahwa MES berhubungan dengan
sensitivitas moral, yang merupakan komponen pertama. Selanjutnya, mereka menyampaikan
hipotesis dari hubungan antara teori Atzen dan Fishbein tentang perencanaan perilaku dan tiga
komponen (motivasi moral) serta empat komponen (karakter moral). Identifikasi ukuran
motivasi dan karakter moral akan menyediakan alat-alat pengukuran terhadap perilaku
etisyang lebih kompresensif.

Salah satu kritik Fogarty terhadap DIT adalah bahwa DIT hanya mengukur tingkat moral
reasoning individu. Sebaliknya, ia menyampaikan bahwa fokus seharusnya diarahkan pada
profesi secara keseluruhan. Argument ini bermanfaat karena sebagian besar bisnis (khususnya
kantor akuntan publik) cenderung bersifat hierarki.

Salah satu penyelasan yang mungkin, namun relatif belum diselidiki oleh riset yang mengkaji
perilaku etis akuntan adalah bahwa peranan yang dimainkan oleh variabel-variabel moderasi
dalam menekan perilaku etis disfungsional. Contoh, profesi akuntansi unik di mana anggotanya
sering kali bertanggung jawab kepada bermacam-macam kelompok konstituen. Beberapa pihak
internal dan eksternal serta lembaga perudang-undangan dengan mana akuntan berinteraksi
untuk mengurangi perilaku yang tidak etis. Selain itu dengan pengecualian Lampe dan Finn,
hubungan antara kepatuhan terhadap kode etik dan perilaku profesional AICPA serta
keputusan-keputusan etika akuntan tetap masih belum diselidiki.

Ringkasnya, banyak riset telah diselesaikan guna menjawab pertanyaan-pertanyaan etika yang
dihadapi oleh akuntan. Meskipun demikian, masih lebih banyak lagi yang masih perlu diteliti.
Peneliti akuntansi keperilakuan beruntung menjadi bagian dari profesi yang kaya dalam
masalah subjek dan ragam subjek. Identifikasi yang kontinu dan eksplorasi terhadap masalah
etika yang unik dalam profesi akuntansi dapat memberikan pedoman bukan saja untuk
mengambarkan model bidang yang spesifik, melainkan juga permahaman tentang pengambilan
keputusan etis pada umumnya.  
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Masalah etika dalam akuntansi bukanlah hal yang baru meskipun baru-baru ini masalah etika
menjadi perhatian utama.

Profesi akuntan memegang peranan yang penting di masyarakat, sehingga menimbulkan


ketergantungan dalam hal tanggung-jawab akuntan terhadap kepentingan publik. Dalam kode
etik diungkapkan, akuntan tidak hanya memiliki tanggung jawab terhadap klien yang
membayarnya saja, akan tetapi memiliki tanggung jawab juga terhadap publik.

Budaya mungkin berperan mengurangi perilaku pengambilan keputusan etis akuntan. Studi etis
lintas budaya telah menunjukkan bahwa akuntan di Negara-negara lain mempunyai
tingkat moral reasoning berbeda dengan akuntan di Amerika serikat. Berdasarkan perbedaan
ini, tidaklah mengherankan bahwa juga terdapat persepsi yang berbeda mengenai tindakan
yang dipertanyakan yang digambarkan dalam vignette kepada subjek dari Negara yang
berbeda.
Daftar Pustaka

Ahmed, M.M., Chung, K.Y. & Eichenseher, J.W. (2003). Business students perception of ethics
and moral judgement: A cross-cultural study. Journal of Business Ethics. 43(1-2), 89-102.

Lubis, Arfan Ikhsan. Akuntansi Keperilakuan. Edisi 2: Salemba empat.

Anda mungkin juga menyukai