Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

“MASALAH LINGKUNGAN DALAM AKUNTANSI


KONVENSIONAL DAN URGENSI AKUNTANSI
LINGKUNGAN”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK IV

 FILDA C 301 15 133

 FATMAWATI C 301 17 028

 VICA ILINTRIA SAMADA C 301 17 033

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS TADULAKO

2020
KATA PENGANTAR

Segala Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah ini tepat
pada waktunya. Sholawat serta salam semoga senantiasa di anugerahkan kepada nabi besar
muhammad SAW. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan Makalah ini tentunya tidak
lepas dari berbagai pihak yang telah membantu kami, untuk itu kami mengucapkan banyak
terima kasih kepada semua pihak terkait yang telah membantu terselesaikannya tugas ini.

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan Makalah ini masih terdapat kesalahan, oleh
karena itu kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga Makalah yang kami buat
nantinya dapat bermanfaat bagi semua, saran dan kritik yang membangun akan sangat kami
nantikan.

Palu, 24 Februari 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

JUDUL .........................................................................................................................i

KATA PENGANTAR....................................................................................................ii

DAFTAR ISI...................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1

1.1 Latar Belakang...............................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................2
1.3 Tujuan............................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................3

2.1 Kelemahan dan Keunggulan Akuntansi Konvensional ................................3


2.2 Akuntansi untuk Dampak Keuangan yang Disebabkan Lingkungan.............8
2.3 Urgensi Akuntansi Lingkungan.....................................................................11
2.4 Reformasi Menuju Akuntansi Lingkungan....................................................13

BAB III PENUTUP.......................................................................................................17

3.1 Kesimpulan....................................................................................................17
3.2 Saran..............................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................19
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam satu dekade terakhir, orientasi dari visi, tujuan, sasaran, strategi,
kebijakan, tanggung jawab dan perilaku serta tolok ukur penilaian kinerja dari entitas
korporasi di Indonesia sedang mengalami transformasi besar. Orientasi visi, tujuan,
sasaran, tanggung jawab dan perilaku bisnis dari entitas korporasi yang sebelumnya
hanya berfokus pada upaya-upaya untuk memaksimalkan laba sehingga mendorong
korporasi berperilaku tamak, serakah dan merusak, sejak tahun 2007 hingga saat ini
mulai bertransformasi ke arah yang lebih hijau (green) atau ramah terhadap masyarakat
dan lingkungan. Dalam penilaian kinerja dan pengambilan keputusan investasi, operasi
dan pendanaan, para pelaku bisnis dan stakeholder juga mulai menggunakan
indikatorindikator kinerja tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSLP) yang bersifat
wajib karena melekat dalam dokumen Amdal perusahaan dan kinerja corporate social
responsibility (CSR) yang bersifat sukarela sebagai dasar pertimbangan.
Proses transformasi tersebut tampaknya dipicu oleh intervensi negara melalui
sejumlah regulasi. Melalui sejumlah regulasi, seperti UU No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, UU No.25 Tahun 2007 tentang Penaman Modal, PP No.47/2012
tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas, Perda TJSLP di
sejumlah daerah dan sejumlah regulasi lainnya, pemerintah memaksa entitas-entitas
korporasi di Indonesia untuk mereformasi, merekonstruksi dan mentransformasi
paradigma tanggung jawab korporasi atau bisnis ke arah yang lebih ramah masyarakat
dan lingkungan. Dalam sejumlah regulasi tersebut, entitas korporasi diminta untuk
mengintegrasikan dan mensinergiskan visi dan tanggung jawab perseroan untuk
memaksimumkan laba (profit maximize) dengan visi dan tanggung jawab perseroan
untuk meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat dan menjaga kelestarian
lingkungan alam. Pemerintah bahkan mewajibkan korporasi mendesain dan
melaksanakan sistem tatakelola korporasi yang baik (good corporate governance/GCG)
yang mengintegrasikan dan mensinergiskan ketiga tanggung jawab tersebut.
Harapannya, dengan mengintegrasikan visi, tujuan, sasaran, strategi, kebijakan
dan tatakelola dari ketiga tanggung jawab tersebut maka pada level makro negara akan
tercipta stabilitas dan keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan yang mendukung
terwujudnya Pembangunan Berkelanjutan dan pengurangan kemiskinan. Kerusakan dan
degradasi lingkungan pun akan dapat dicegah atau diminimalisir. Krisis sosial
(kemiskinan, kemelaratan, kesenjangan sosial-ekonomi, penderitaan dan lainnya) akibat
perilaku serakah dan tamak korporasi juga dapat diminimalisir. Pada akhirnya, integrasi
ketiga tanggung jawab tersebut akan menciptakan kondisi lingkungan alam yang
kondusif dan lestari, meningkatkan kualitas kehidupan dan kesejahteraan sosialekonomi
masyarakat, dan memperkuat fondasi perekonomian serta mendorong pertumbuhan
ekonomi nasional secara berkelanjutan.
Sementara pada level mikro korporasi, integrasi dan sinergisitas antar ketiga
tanggung jawab tersebut diharapkan akan semakin memperkokoh fondasi dari tiga pilar
dasar bisnis korporasi (triple bottom-line of business: planet, people, profit). Pada
akhirnya, intergrasi dan sinergitas tersebut akan mendukung keberlanjutan
pertumbuhan bisnis, laba, nilai ekuitas pemilik dan nilai perusahaan serta kesejahteraan
para stakeholder dan kelestarian lingkungan setempat.

1.2. Rumusan Masalah

1. Kelemahan dan Keunggulan Akuntansi Konvensional


2. Akuntansi untuk Dampak Keuangan yang Disebabkan Lingkungan
3. Urgensi Akuntansi Lingkungan
4. Reformasi Menuju Akuntansi Lingkungan

1.3. Tujuan

1. Untuk Mengetahui Kelemahan dan Keunggulan Akuntansi Konvensional


2. Untuk Mengetahui Akuntansi untuk Dampak Keuangan yang Disebabkan
Lingkungan
3. Untuk Mengetahui Urgensi Akuntansi Lingkungan
4. Untuk Mengetahui Reformasi Menuju Akuntansi Lingkungan
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Kelemahan dan Keunggulan Akuntansi Konvensional

Kelemahan Akuntansi konvensional


Meskipun paradigma pembangunan nasional mulai bertransformasi dari
paradigma pembangunan konvensional yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi ke
paradigma baru yaitu Pembangunan Berkelanjutan dan Ekonomi Hijau, dan paradigma
bisnis dan korporasi juga telah mulai bertransformasi ke paradigma bisnis hijau dan
korporasi hijau sehingga menyebabkan paradigma manajemen dan tatakelola korporasi
juga bertransformasi ke arah manajemen hijau dan tatakelola hijau, namun respon
profesi akuntansi terhadap sejumlah pergeseran paradigma tersebut ternyata sangat
lamban, konservatif dan bahkan tidak mau berubah. Hingga kini, profesi akuntansi
umumnya masih masih tetap bertahan dengan paradigma akuntansi konvensional yang
konservatif dan berpusat pada perspektif akuntansi keuangan.
Ada dua fakta menarik sekaligus memprihatinkan yang mencerminkan respon
konservatif dari profesi akuntansi Indonesia terhadap dinamika lingkungan bisnis
eksternal yang sedang bertransformasi ke arah go green dan sustainability.
Pertama, ketika UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan PP
No.47/2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas
(TJSLP) mewajibkan perusahaan melaksanakan TJSLP dan menganggarkannya sebagai
biaya perseroan sesuai dengan asas kepatutan dan kewajaran, profesi akuntansi justru
merespon kewajiban biaya perseroan tersebut sebagai biaya periodik. Akibatnya, semua
pengorbanan sumberdaya ekonomik perseroan untuk melaksanakan TJSLP tersebut
secara akuntansi diperlakukan sebagai biaya periodik (expenses) yang mengurangi aset,
laba dan nilai ekuitas pemilik perseroan, serta penerimaan pajak bagi negara.
Akibatnya, banyak pelaku bisnis kemudian enggan atau berusaha meminimalisir
pelaksanakan TJSLP karena dinilai merugikan kepentingan perseroan dan pemegang
saham. Pasca diwajibkannya TJSLP sebagai kewajiban korporasi, banyak perusahaan
juga semakin gencar melaksanakan aktivitas CSR yang bersifat sukarela sebagai suatu
strategi investasi bisnis untuk memperkuat pilar dasar bisnis dan meningkatkan pangsa
pasar serta pertumbahan laba dan nilai ekuitas pemilik. Dalam pengamatan penulis
(Lako, 2011a, 2015b, 2016a), jumlah perusahaan yang peduli dan aktif melaksanakan
beragam program CSR yang bersifat sukarela juga terus meningkat dari tahun ke tahun.
Namun, respon profesi akuntansi terhadap fenomena pelaksanaan CSR tersebut juga
sangat konservatif.
Perlakuan akuntansi dan pelaporan informasi akuntansi terhadap pengorbanan
sumberdaya ekonomi untuk melaksanakan CSR tersebut adalah sebagai beban periodik
(expense) yang mengurangi laba, nilai ekuitas pemilik dan aset perusahaan. Alasannya,
karena pengorbanan untuk CSR dianggap tidak memiliki manfaat ekonomik masa
datang yang cukup pasti dan sulit diukur nilai costs-benefits-nya. Padahal, sejumlah
hasil riset empiris telah menunjukkan bahwa pelaksanaan CSR dan TJSL merupakan
suatu investasi strategis karena mendatangkan banyak manfaat ekonomi dan
nonekonomi bagi korporasi. Pengorbanan sumberdaya ekonomik dan segala daya-
upaya yang dicurahkan untuk melaksanakan TJSL dan CSR berdampak positif
meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, serta menurunkan corporate risks (Lako,
2015b).
Kedua, meskipun banyak korporasi telah melakukan berbagai upaya untuk
menghijaukan bisnis dan korporasi, dan tren kepedulian pelaku bisnis terhadap
pengelolaan bisnis dan korporasi hijau terus meningkat pesat dalam satu dekade
terakhir, namun respon profesi akuntansi terhadap tren tersebut masih sangat
konservatif. Sama seperti perlakuan akuntansi terhadap biaya-biaya untuk
melaksanakan TJSLP dan CSR sebagai beban periodik, pengorbanan sumber daya
ekonomik untuk melaksanakan program-program bisnis hijau dan korporasi hijau juga
kebanyakan diperlukan sebagai biaya periodik yang mengurangi laba periodik, nilai
ekuitas pemilik dan aset korporasi serta juga mengurangi pajak kepada negara.
Alasannya, karena pengorbanan tersebut dinilai tidak memiliki nilai manfaat ekonomi
yang cukup pasti di masa datang. Kalaupun ada manfaat ekonomiknya, namun nilai
manfaat ekonomik tersebut juga sulit diukur secara pasti dengan pendekatan-
pendekatan pengukuran akuntansi maupun keuangan.
Padahal, secara empiris telah terbukti bahwa perusahaan-perusahaan yang peduli pada
bisnis dan korporasi hijau mendapatkan banyak manfaat ekonomi dan nonekonomi di
masa datang. Perusahaan-perusahaan tersebut menikmati pertumbuhan pendapatan,
laba, ekuitas dan nilai aset yang fantastik. Harga pasar sekuritas dari perusahaan-
perusahaan yang green juga meningkat signifikan. Secara empiris, sejumlah hasil riset
juga telah mengkonfirmasi bahwa upaya-upaya manajemen untuk menghijaukan
korporasi dan operasi bisnisnya mendatangkan banyak manfaat ekonomi dan
nonekonomi (intangible benefits) di masa datang (Lako, 2015a).
Pertanyaannya adalah mengapa akuntansi dan profesi akuntansi bersikap
konservatif dalam perlakuan akuntansi dan pelaporan informasi akuntansi terhadap
biaya-biaya investasi untuk TJSL, CSR, green business dan green corporation? Apa
faktor penyebabnya?
Menurut Deegan (2003) dan Lako (2011a), ada lima keterbatasan mendasar yang
menyebabkan akuntansi konvensional bersikap konservatif dalam merespon dinamika
isu-isu CSR atau TJSL dan eksternalitas, khususnya berkaitan dengan perlakuan
akuntansi terhadap obyek-obyek, peristiwa-peristiwa dan atau transaksi-transaksi sosial
dan lingkungan dalam proses akuntansi dan pelaporan keuangan.
Pertama, akuntansi keuangan hanya memfokuskan pada kebutuhan informasi
dari para pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan alokasi sumberdaya
ekonomi entitas. Fokus tersebut cenderung terbatas pada para stakeholder yang
memiliki kepentingan atau relasi keuangan dengan entitas korporasi. Karena itu, fokus
pelaporan informasi akuntansi dalam pelaporan keuangan adalah untuk pihak-pihak
yang memiliki relasi keuangan dengan korporasi seperti manajemen, pemegang saham,
kreditor, pemasok, konsumen, karyawan, pemerintah dan mitra bisnis lainnya.
Sementara masyarakat dan lingkungan di sekitarnya dianggap bukan bagian dari
stakeholder karena diasumsikan tidak memiliki relasi keuangan dengan entitas
korporasi.
Kedua, pertimbangan utama dalam proses akuntansi dan pelaporan informasi
keuangan adalah “materialitas” dari suatu informasi yang disajikan. Artinya, hanya
informasi yang dinilai material yang boleh disajikan dalam laporan keuangan.
Sementara informasi terkait TJSL, CSR dan dampak-dampak sosial-lingkungan dari
aktivitas operasi perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan dianggap tidak
material untuk disajikan dalam laporan keuangan karena sulit dikuantifisir dan
diperbandingkan (matching) antara costs dan benefits-nya.
Ketiga, pelaporan akuntansi cenderung memperlakukan pengorbanan sumberdaya
ekonomik yang tidak jelas manfaat ekonomiknya di masa datang sebagai beban
periodik (expense). Pengorbanan sumberdaya ekonomik untuk TJSL atau CSR
dianggap tidak memiliki umur manfaat ekonomik masa datang yang cukup tersebut
sehingga harus diperlakukan segera sebagai beban periodik. Konsekuensinya adalah
kepedulian korporasi pada TJSL atau CSR dinilai berdampak negatif mengurangi laba,
ekuitas pemilik, dividen, kompensasi manajemen, likuiditas dan solvabilitas korporasi.
Inilah yang menyebabkan kebanyakan pelaku bisnis enggan melaksanakan TJSL atau
CSR.
Keempat, akuntansi mengadopsi asumsi ”entitas bisnis” yang mengharuskan
perusahaan diperlakukan sebagai suatu entitas yang berbeda dari para stakeholder-nya.
Implikasinya, jika suatu transaksi atau peristiwa tidak berdampak langsung pada
korporasi maka harus diabaikan untuk tujuan akuntansi. Karena itu, informasi TJSL,
CSR atau eksternalitas yang disebabkan oleh tindakan dan pelaporan perusahaan
umumnya diabaikan dalam pelaporan akuntansi karena dinilai tidak memberi dampak
langsung pada ukuran-ukuran kinerja keuangan.
Kelima, proses akuntansi hanya terfokus pada item-item yang dapat “dikontrol”
perusahaan. Item-item itu harus lolos seleksi “recognition criteria” akuntansi, yaitu: (1)
memenuhi syarat “definition” sebagai item laporan keuangan, (2) dapat diukur nilainya
secara handal (measurability), (3) informasinya relevan untuk pemakai (relevance), dan
(4) keakuratan dan kehandalan informasinya dapat dipercaya (reliability). Informasi
sosial dan lingkungan dianggap tidak memenuhi empat kriteria tersebut sehingga tidak
bisa diakui dan sajikan dalam laporan keuangan.

Keunggulan Akuntansi Konvensional


Mengingat kritik yang relevan dari akuntansi konvensional ini, bagaimanapun
juga harus mengakui bahwa sistem akuntansi yang ada menawarkan keuntungan
tertentu yang tidak terbantahkan untuk semua pemangku kepentingan:
a. Seiring waktu, sistem akuntansi menyediakan perangkat informasi keuangan yang
sistematis tentang perusahaan kepada para pemangku kepentingan. Pemangku
kepentingan internal dan eksternal perlu sistem informasi yang mengurangi
kompleksitas dunia untuk membantu mereka membuat keputusan dalam kondisi
rasionalitas terbatas. Dalam hubungan ini, kuantifikasi dapat dilihat sebagai cara
yang diterima secara luas untuk menambah presisi pada alasan tentang dunia tetapi,
yang lebih penting, kuantifikasi memungkinkan dasar untuk membandingkan
tindakan alternatif. Tentu saja, kuantifikasi tidak dapat menangani masalah
moralitas, keindahan dan cinta, tetapi itu adalah instrumen yang kuat ketika
masyarakat mencari untuk memeriksa alternatif yang tersedia untuk mengatasi
kemiskinan, defisit fiskal atau lingkungan degradasi. Aturan yang diterima dari
sistem akuntansi konvensional hari ini digunakan oleh bisnis di seluruh dunia
industri.
b. Sistem akuntansi konvensional dimaksudkan untuk mewakili pihak luar suatu
organisasi posisi keuangan pada tanggal yang ditentukan dan perubahan posisi
keuangannya selama periode waktu tertentu, diberikan satu set transaksi,
transformasi fisik dan peristiwa eksternal. Secara khusus, akuntansi akrual
konvensional sistem mengenali, mengukur, mengungkapkan dan memfasilitasi
pengelolaan aset dan kewajiban. Tantangan untuk akuntansi lingkungan adalah
untuk memasukkan ke dalam proses akuntansi dan laporan terkait aspek keuangan
perusahaan kegiatan yang berdampak pada lingkungan.
c. Profesi akuntansi diwakili di seluruh dunia dan apa saja perubahan dalam praktik
akuntansi memiliki potensi untuk menghasilkan efek flow-on semua negara. Oleh
karena itu akuntansi dapat dianggap sebagai salah satu yang paling internasional
'Bahasa' dituturkan oleh banyak pemangku kepentingan di seluruh dunia. Ini adalah
tercermin dalam semakin pentingnya ekonomi profesi akuntansi. Pentingnya dan
pengaruh profesi akuntansi tercermin oleh ukuran. Sebagai contoh, pada tahun 1994
perusahaan akuntansi 'enam besar' mempekerjakan lebih dari 400.000 orang dan
mencapai omset sekitar US $ 30 miliar.
Pesannya adalah bahwa sistem akuntansi yang ada perlu ditingkatkan secara
substansial bukannya sepenuhnya dihilangkan. Begitu pula dengan bentuk bisnis dan
kegiatan bisnis tetap harus dikerjakan, ditingkatkan, daripada sepenuhnya dihancurkan
karena mereka berdampak pada lingkungan. Sistem akuntansi konvensional
mencerminkan sifat manusia dari akumulasi kekayaan, kekayaan dan kekuatan yang
terukur dari segi moneter. Tidak ada akuntan yang akan menyarankan itu perubahan
pada sistem akuntansi konvensional cukup untuk memecahkan lingkungan yang sangat
besar masalah hari ini dan masa depan. Meskipun demikian, akuntansi diperlukan dan
bagian penting dari pendekatan pragmatis untuk pengakuan dan resolusi lingkungan
masalah dengan bisnis. Tentu saja, perubahan inkremental yang diperlukan dalam
praktik akuntansi akan mendefinisikan ulang dan menegakkan hubungan kekuasaan
baru antara para pemangku kepentingan dalam organisasi.
Di antara manfaat utama yang dapat diperoleh dari menyesuaikan akuntansi
konvensional untuk masalah lingkungan adalah:
a. Penyediaan informasi dasar untuk mempertimbangkan yang aktual dan potensial
konsekuensi ekonomi dari masalah lingkungan,
b. Penyediaan informasi yang dapat memfasilitasi adaptasi oleh bisnis dalam
menghadapi pengenaan peraturan lingkungan baru, dan instrumen ekonomi baru
dirancang untuk mempengaruhi hasil lingkungan,
c. Fasilitasi filosofi manajemen yang dirancang untuk transparan dan mendorong
langkah-langkah perlindungan lingkungan yang menguntungkan secara ekonomi,
dan
d. Peningkatan respons terhadap masalah lingkungan yang diangkat oleh para
pemangku kepentingan.
Dengan kekuatan, kritik, dan potensi akuntansi ini, pertanyaan-pertanyaan berikut
tetap:
a. Bagaimana sistem akuntansi konvensional dapat diubah sehingga mereka efektif
mencerminkan dampak keuangan yang disebabkan oleh lingkungan ?
b. Bagaimana sistem akuntansi konvensional dapat diperluas sehingga mereka
mempertimbangkan, dengan cara yang efektif dan efisien, dampak kegiatan
perusahaan terhadap alam lingkungan ?

2.2. Akuntansi untuk Dampak Keuangan yang Disebabkan Lingkungan

Manajer bisnis dan pemangku kepentingan lainnya mencari akuntansi


konvensional untuk membantu menyediakan informasi yang relevan tentang
meningkatnya konsekuensi ekonomi dari peluang lingkungan dan biaya lingkungan,
seperti yang terkait dengan langkah-langkah untuk mencegah polusi. Hanya dengan
informasi yang relevan yang dapat dipertimbangkan oleh manajer, pemegang saham,
dan kreditor konsekuensi ekonomi aktual dan potensial dari masalah lingkungan,
beradaptasi dengan efek ekonomi dari peraturan lingkungan baru dan memiliki diskusi
yang saling bermanfaat dengan pemangku kepentingan tentang cara terbaik untuk
menerapkan pencegahan polusi (mis. untuk mengurangi emisi gas rumah kaca) dan cara
mengatasi peluang yang terkait dengan meningkatnya permintaan untuk produk dan
proses bersih (mis. bagaimana perusahaan listrik harus merespons pengenaan kebijakan
pemerintah dan sinyal untuk masa depan bahwa dengan tanggal yang ditetapkan 2%
dari pasokan listrik harus bersumber dari sumber terbarukan).
Akuntansi konvensional yang memasukkan informasi keuangan yang diinduksi
oleh lingkungan disebut akuntansi konvensional ramah lingkungan. Ini menyatukan
masalah lingkungan dalam akuntansi manajemen, keuangan akuntansi dan dalam
sistem akuntansi lainnya. Idealnya, semua dampak, termasuk yang ditanggung oleh
masyarakat dan lingkungan alam, akan terjadi dimasukkan dalam sistem akuntansi
konvensional. Dalam praktiknya, karena hanya sedikit eksternalitas diinternalisasi, baik
secara sukarela atau melalui regulasi langsung dan tidak langsung, strategis keputusan
manajemen dapat didasarkan pada informasi yang tidak lengkap itu, dari masyarakat
perspektif, mungkin menyesatkan secara ekonomi (mis. ketika biaya eksternal
diinternalisasi mengikuti kelambatan kebijakan). Namun, akan lebih menyesatkan jika
manajemen menginternalisasi eksternalitas dalam akuntansi konvensional ketika
mereka bukan bagian dari dampak ekonomi aktual pada bisnis. Akuntansi
konvensional adalah sistem informasi yang dirancang untuk mengukur masa lalu
kinerja ekonomi suatu perusahaan (yaitu profitabilitas ekonomi, likuiditas dan
solvabilitas — singkatnya, sekelompok keadaan keuangan yang relevan bagi para
pemangku kepentingan). Mencampur transaksi keuangan eksternal dan internal (mis.
Biaya eksternal dan internal) di akun bisnis akan mendistorsi angka aktual sehingga
mereka akan kehilangan angka mereka relevansi untuk pengambilan keputusan
ekonomi dan tujuan akuntabilitas. Beberapa eksternal Peristiwa memang berdampak
pada bisnis. Sebagai contoh, inflasi mengurangi pembelian kekuatan modal perusahaan
dari waktu ke waktu sehingga penyesuaian perlu dilakukan terhadap modal dasar untuk
mencerminkan situasi ini. Namun, akuntansi konvensional belum sangat mahir di
mengatasi dampak dari peristiwa eksternal ini di akun. Memang akuntansi kinerja
profesi dengan akuntansi inflasi tidak konsisten dan lambat, meskipun 'suara' yang
cukup diekspresikan selama periode 70 tahun, meskipun manfaatnya dari angka
ekonomi 'nyata' (disesuaikan dengan inflasi) untuk analisis tidak tertandingi.
Akuntansi manajemen lingkungan berkaitan dengan biaya yang disebabkan oleh
lingkungan, pendapatan dan, jika sesuai, nilai aset (mis. untuk menentukan basis modal
yang dapat dikontrol di pusat investasi). Biaya yang disebabkan oleh lingkungan akan
diperiksa secara rinci dalam Bagian 6.1. Biaya yang disebabkan oleh lingkungan dapat
ditingkatkan atau dikurangi melalui upaya untuk mencapai perlindungan lingkungan.
Biaya keuangan khas terkait dengan masalah lingkungan termasuk: peningkatan biaya
bahan baku ramah lingkungan; biaya pengaturan seperti denda, biaya, dan biaya
pembersihan; dan peningkatan produksi limbah. Di samping itu, penghematan dapat
dicapai melalui penggunaan sumber daya yang lebih baik, pengurangan limbah dan
lebih sedikit denda dan biaya lisensi. Manfaat atau pendapatan yang diinduksi
lingkungan dapat dibagi menjadi langsung dan tidak langsung manfaat atau pendapatan.
Pendapatan langsung, misalnya, termasuk keuntungan dari penjualan ‘Barang daur
ulang’ (barang daur ulang), peningkatan volume penjualan produk konsumen dan lebih
tinggi harga produk yang dijual, penjualan teknologi ramah lingkungan dan bahkan
keuntungan dari perdagangan kredit polusi (mis. penjualan kredit sulfur dioksida,
terkait dengan kualitas udara, atau penjualan kredit garam, terkait dengan kualitas air).
Efek tidak langsung tidak berwujud dan bisa, untuk contoh, termasuk gambar yang
disempurnakan, peningkatan kepuasan pelanggan dan karyawan, transfer pengetahuan
(modal intelektual) dan pengembangan pasar baru untuk produk ramah lingkungan.
Aset yang diinduksi oleh lingkungan tidak sering diakui sebagai penting dalam
manajemen akuntansi tetapi, dalam praktiknya, pengeluaran untuk aset membentuk
bagian penting dari investasi sistem penilaian, dan basis aset juga dapat diperlakukan
sebagai bagian dari tanggung jawab keuangan manajer divisi di perusahaan yang lebih
besar. Sejauh basis aset dapat mencakup modal alam, akuntansi manajemen lingkungan
perlu memperhitungkan aset.
Akuntansi keuangan lingkungan berkaitan dengan pendapatan dan pengeluaran
(ditunjukkan pada laporan laba rugi berkala, juga disebut akun untung-rugi) dan
dengan aset dan kewajiban (ditunjukkan dalam neraca tanggal). Berdasarkan konvensi
biaya historis, biaya diklasifikasikan sebagai pengeluaran jika ada memberikan manfaat
yang kini telah kedaluwarsa. Biaya tidak kadaluarsa yang dapat memberikan manfaat di
masa depan adalah didefinisikan sebagai aset, sedangkan hak properti kreditor
diklasifikasikan sebagai liabilitas. Kewajiban yang hanya dapat diperkirakan biasa
disebut 'ketentuan'. Jika kejadiannya tidak pasti, kewajiban diungkapkan sebagai
'kewajiban kontinjensi' (juga disebut 'kewajiban potensial'). Pengeluaran yang
disebabkan oleh lingkungan termasuk, misalnya, denda untuk pembuangan limbah
ilegal, atau biaya pembersihan yang diperlukan untuk memulihkan tanah. Misalnya,
scrubber dapat dikenali sebagai aset yang diinduksi lingkungan jika mengamankan
manfaat ekonomi masa depan (melalui lanjutan produksi, menurut IASC 1995, IAS 14
dan IAS 16).
Liabilitas lingkungan adalah biaya masa depan, seperti yang terjadi untuk
remediasi masa depan tempat pembuangan sampah atau untuk membela tindakan
hukum yang diajukan terhadap perusahaan. Sistem akuntansi konvensional lain yang
berbeda lingkungan menetapkan sistem khusus, sebagian besar peraturan, hubungan
akuntansi. Akuntansi pajak, contoh paling penting, berurusan dengan implikasi pajak
dari pengeluaran yang disebabkan oleh lingkungan (termasuk topiknya) netralitas
fiskal), aset, provisi dan pengeluaran pajak (pajak) dan subsidi pajak. Mereka juga
melayani tujuan lain: misalnya, penyediaan dasar untuk penggantian biaya oleh klien
atau pelanggan.
Pajak yang disebabkan lingkungan termasuk, misalnya, pengeluaran untuk karbon
dioksida (CO2) pajak emisi, sedangkan subsidi untuk teknologi bersih diklasifikasikan
sebagai lingkungan pendapatan pajak yang diinduksi. Masalah lainnya termasuk
percepatan depresiasi bersih teknologi. Informasi yang dikumpulkan melalui sistem
akuntansi manajemen lingkungan seringkali dikomunikasikan kepada pemangku
kepentingan eksternal melalui akuntansi keuangan. Demikian juga lainnya sistem
akuntansi lingkungan memperoleh sebagian besar informasi mereka dari manajemen
sistem akuntansi. Konsekuensinya, bab selanjutnya membahas manajemen lingkungan
akuntansi.

2.3. Urgensi Akuntansi Lingkungan

Reformasi dan transformasi akuntansi konservatif atau akuntansi konvensional


yang fokus pada akuntansi keuangan menuju Akuntansi Hijau yang fokus pada
pelaporan infoemasi akuntansi lingkungan, akuntansi sosial, dan akuntansi keuangan
secara terpadu dalam satu paket pelaporan akuntansi dirasakan semakin penting dan
mendesak. Ada beberapa alasan krusial yang mendasarinya.
Pertama, sama seperti negara lain, Indonesia sedang menghadapi krisis ekologi
yang serius dan menakutkan. Krisis ini telah menimbulkan berbagai bencana ekologi
dan bencana sosial yang sangat merugikan dan mengancam keberlangsungan kehidupan
manusia. Perubahan iklim dan pemanasan global, serta kerusakan lingkungan telah
menimbulkan berbagai bencana alam, bencana sosial, dan bencana ekonomi yang
serius. Bencana-bencana tersebut juga telah menyebabkan krisis energi dan kelangkaan
sumber daya, kemiskinan, kesenjangan sosial, dan penderitaan rakyat yang semakin
parah.
Secara umum, sejumlah literatur menyebutkan bahwa penyebab utamanya adalah
akibat perilaku keserakahan dan ketamakan manusia. Sejumlah literatur menyatakan
bahwa krisis tersebut dipicu dan dipacu oleh keserakahan dan ketamakan dari
pemerintah yang mengelola negara, korporasi dan rumah tangga. Mereka
mengeksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan untuk memajukan taraf hidup
ekonomi, meningkatkan kesejahteraan sosial dan mendorong kemajuan serta
kemakmuran bangsa. Secara khusus, krisis tersebut disebabkan oleh hasrat pemerintah
dan para pelaku ekonomi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meraup laba
yang sebesar-besarnya demi mendorong kemajuan perekonomian dan peningkatan
kesejahteraan sosial masyarakat. Pemerintah dan para pelaku ekonomi tersebut
menghalalkan segala cara, baik yang etis maupun tidak etis, untuk mewujudkan hasrat
atau kepentingan ekonomi mereka (Mauders dan Burritt, 1991; Elkington, 1997 &
2001; Gore, 2013).
Secara khusus, akuntansi juga dituding turut mendorong perilaku buruk tersebut
sehingga menyebabkan krisis. Akuntansi dituding menjadi pemicu dan pemacu
terjadinya krisis ekologi dan krisis sosial karena mendorong negara dan pelaku
ekonomi-bisnis untuk berperilaku serakah dalam melakukan aktivitas perekonomian.
Alasannya, karena prinsip-prinsip dan standar akuntansi yang mendasari praktik
akuntansi konvensional entitas korporasi dan negara mengabaikan pengakuan,
pengukuran nilai, pencatatan, dan pelaporan informasi; serta pengungkapan informasi
akuntansi sosial dan lingkungan dalam pelaporan informasi akuntansi. Pengakuan,
pengukuran nilai, dan pencatatan; serta pelaporan akuntansi yang berhubungan dengan
entitas korporasi cenderung diabaikan (Munders dan Burrit, 1991; Thornton, 2013).
Kedua, pada Juli 2007, DPR telah mengesahkan Undang-Undang No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Pasal 74 menyatakan bahwa perseroan
terbatas yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan
sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan (ayat 1).
Tanggung jawab tersebut merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran (ayat 2). Bagi perseroan yang tidak
melaksanakannya akan dikenakan sanksi sesuai perundang-undangan yang berlaku
(ayat 3). Sementara pada Pasal 66 dinyatakan bahwa semua perseroan wajib
menyajikan informasi kinerja tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) dalam
Laporan Tahunan Direksi kepada RUPS. Pada April 2012, pemerintah telah
menerbitkan PP No. 47 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan Perseroan (TJSLP). Dengan adanya Pp tersebut, sejak tahun 2012, TJSLP
telah menjadi kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya
perseroan, dan dilaksanakan secara periodik dan dipertanggungjawabkan kinerjanya
kepada publik (Lako, 2015b).
Ketiga, pasca-KTT Bumi 20+ di Rio de Janeiro pada Juni 2012, di mana
Indonesia turut berperan aktif dalam merumuskan dokumen “The Future We Want” dan
konsep ekonomi hijau untuk mendukung terwujudnya pembangunan berkelanjutan dan
penghapusan kemiskinan, maka dalam beberapa tahun terakhir ini pemerintah dan
pelaku ekonomi gencar mengampanyekan gerakan ekonomi hijau dan bisnis hijau
dalam praktik ekonomi dan bisnis. Dalam praktiknya, banyak korporasi yang merespon
gerakan go green dengan mengadopsi dan menerapkan prinsip-prinsip green business,
green industry, green corporation, green management, green producyion, green
finance dan sebagainya untuk menjadikan korporasi semakin efisien, efektif, dan
bertumbuh kembang secara berkelanjutan, serta berkontribusi besar pada upaya
mencegah krisis sosial dan ekologi. Informasi terkait dengan berbagai upaya tersebut
diungkapkan dalam pelaporan tahunan dan pelaporan berkelanjutan korporasi (Lako,
2015a).

2.4. Reformasi Menuju Akuntansi Lingkungan

Berdasarkan paparan di atas maka reformasi, rekonstruksi dan transformasi


terhadap rerangka konseptual, prinsip-prinsip dasar dan standar akuntansi keuangan
konvensional menuju ke paradigma baru akuntansi yang lebih sensitif, responsif dan
akuntabel terhadap isu- isu sosial dan lingkungan dalam proses akuntansi menjadi
sangat penting dan mendesak untuk dilakukan.
Secara umum, gagasan pengembangan Akuntansi Hijau berfokus pada empat isu
utama. Pertama, alasan mengapa Akuntansi Hijau perlu segera dikontruksi dan
dikembangkan secara serius serta diaplikasikan dalam praktik akuntansi entitas
korporasi. Aspek kemendesakan untuk mengatasi krisis ekologi dan krisis sosial serta
citra buruk akuntansi konvensional yang dituding sebagai pemicu-pemacu krisis sosial
dan lingkungan menjadi alasan utamanya. Pengembangan dan aplikasi Akuntansi Hijau
diharapkan dapat membantu mengatasi krisis tersebut dan meningkatkan peran
strategis, relevansi nilai dan citra positif akuntansi dan profesi akuntansi di masa
datang.
Kedua, strategi menghijaukan akuntansi dan akuntan. Untuk menuju era praktik
Akuntansi Hijau maka penghijauan (greening) terhadap akuntansi dan akuntan menjadi
sangat penting. Strategi penghijauan akuntansi dapat diawali dengan mengevaluasi dan
mereformasi rerangka konseptual dan prinsip-prinsip dasar akuntansi konvensional ke
arah yang lebih progresif, yaitu lebih sensitif, responsif dan akuntabel terhadap isu-isu
sosial dan lingkungan yang selama ini cenderung diabaikan. Kemudian dilakukan
konstruksi dan pengembangan terhadap rerangka konseptual dan prinsip-prinsip
Akuntansi Hijau. Apabila rerangka konseptual dan prinsip-prinsip Akuntansi Hijau
telah dikonstruksi maka selanjutnya baru dilakukan reformasi dan konstruksi terhadap
Standar Akuntansi Hijau (SAH) untuk mendasari praktik akuntansi entitas korporasi
atau organisasi.
Sementara penghijauan terhadap akuntan dapat diawali dengan mereformasi dan
menghijaukan visi, misi, tujuan, sasaran dan strategi pendidikan akuntansi di Indonesia.
Reformasi dan transformasi terhadap kurikulum akuntansi konvensional menuju ke
kurikulum berbasis Akuntansi Hijau juga menjadi sangat penting. Setelah itu,
penghijauan terhadap profesi akuntansi seperti akuntan pendidik, akuntan publik,
akuntan manajemen, akuntan pemerintah dan lainnya melalui pendidikan dan pelatihan
yang berkelanjutan juga menjadi sangat penting untuk menghijaukan akuntan dalam
menjalankan profesinya masing-masing. Penghijauan terhadap para akuntan pendidik di
perguruan tinggi juga menjadi sangat krusial dalam upaya menghijaukan pendidikan
akuntansi dan menghasilkan para akuntan hijau (green accountant).
Ketiga, transformasi menuju Akuntansi Hijau. Proses reformasi dan transformasi
akuntansi dapat diawali dengan mereformasi atau merekonstruksi kembali definisi,
tujuan dan ruang lingkup akuntansi. Selanjutnya, dilakukan reformasi dan konstruksi
terhadap prinsip-prinsip dasar dan rerangka konseptual Akuntansi Hijau. Apabila
konstruksi terhadap rerangka konseptual dan prinsip-prinsip dasar Akuntansi Hijau
telah dilakukan maka langkah selanjutnya adalah mereformasi Standar Akuntansi
Keuangan (SAK) dan mengkonstruksi Standar Akuntansi Hijau (SAH).
Keempat, konstruksi rerangka konseptual dan aplikasi Akuntansi Hijau. Secara
lebih rinci, Rerangka konseptual Akuntansi Hijau mencakup: 1) definisi, tujuan dan
sasaran Akuntansi Hijau; 2) model Akuntansi Hijau; 3) karakteristik kualitatif
informasi Akuntansi Hijau; 4) elemen-elemen laporan Akuntansi Hijau; dan 5) prinsip-
prinsip dasar Akuntansi Hijau.
Selain mengkritisi kelemahan-kelemahan dan dampak-dampak negatif dari
perlakuan akuntansi konvensional yang cenderung mengabaikan atau salah kaprah
dalam perlakuan akuntansi terhadap obyek, peristiwa, kejadian dan transaksi-transaksi
sosial-lingkungan, terutama terkait dengan aset sumberdaya alam dan pengorbanan
sumberdaya ekonomik entitas untuk biaya investasi TJSL (bersifat wajib), CSR
(bersifat sukarela) serta green business atau green company, Artikel 10 juga berupaya
mengindentifikasi komponen-komponen biaya yang termasuk dalam kategori biaya
hijau (green costs) dan yang bukan termasuk green costs.
Setelah komponen biaya dikategorikan, pendekatan Akuntansi Hijau dalam
perlakuan akuntansi terhadap biaya-biaya tersebut dan menganalisis dampak positif-
negatif dari perlakuan akuntansi tersebut terhadap besaran nilai akuntansi dalam neraca
(posisi keuangan) dan laporan laba/rugi (laporan kinerja keuangan). Dari hasil analisis
tersebut, disimpulkan bahwa pendekatan Akuntansi Hijau jauh lebih baik, relevan,
reliabel dan fair dibanding pendekatan akuntansi konvensional yang berbasiskan pada
akuntansi keuangan.
Secara keseluruhan, empat isu utama yang dibahas dalam buku ini dimaksudkan
untuk memberikan penalaran logis, basis teoritis, rerangka konseptual dan praktis
kepada profesi akuntansi Indonesia dalam menghadapi berbagai dilemma dan tantangan
dalam pengembangan dan aplikasi Akuntansi Hijau. Menurut Lako (2016a), ada lima
tantangan yang dihadapi profesi akuntansi dalam mereformasi dan mentransformasi
akuntansi konvesional menuju Akuntansi Hijau. Lima tantangan tersebut adalah:
1. Tantangan dalam meformasi rerangka konseptual akuntansi dan prinsip-prinsip
akuntansi berterima umum (PABU) dari akuntansi konvensional menuju ke
Akuntansi Hijau.
2. Tantangan dalam mereformasi Standar Akuntansi Keuangan (SAK) menuju
Standar Akuntansi Hijau.
3. Tantangan dalam mereformasi proses akuntansi dan format pelaporan akuntansi
menuju proses Akuntansi Hijau dan Pelaporan Akuntansi Hijau (PAH) yang
mengintegrasikan aspek-aspek informasi finansial dan informasi nonfinansial yang
berkaitan dengan informasi sosial dan lingkungan.
4. Tantangan dalam mereformasi visi, misi, tujuan, sasaran dan sasaran dari
pendidikan dan pengajaran akuntansi di perguruan tinggi dalam upaya
menghijaukan akuntansi dan akuntan.
5. Tantangan dalam mereformasi paradigma pebisnis dan manajemen korporasi
dalam menerapkan tatakelola korporasi hijau dan tatakelola keuangan-akuntansi
hijau untuk mendukung keberhasilan praktik Akuntansi Hijau pada level entitas
korporasi.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Reformasi dan transformasi akuntansi konservatif atau akuntansi konvensional


yang fokus pada akuntansi keuangan menuju Akuntansi Hijau yang fokus pada
pelaporan infoemasi akuntansi lingkungan, akuntansi sosial, dan akuntansi keuangan
secara terpadu dalam satu paket pelaporan akuntansi dirasakan semakin penting dan
mendesak. Ada beberapa alasan krusial yang mendasarinya.
Pertama, sama seperti negara lain, Indonesia sedang menghadapi krisis ekologi
yang serius dan menakutkan.
Kedua, pada Juli 2007, DPR telah mengesahkan Undang-Undang No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Pasal 74 menyatakan bahwa perseroan
terbatas yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan
sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan (ayat 1).
Ketiga, pasca-KTT Bumi 20+ di Rio de Janeiro pada Juni 2012, di mana
Indonesia turut berperan aktif dalam merumuskan dokumen “The Future We Want” dan
konsep ekonomi hijau untuk mendukung terwujudnya pembangunan berkelanjutan dan
penghapusan kemiskinan, maka dalam beberapa tahun terakhir ini pemerintah dan
pelaku ekonomi gencar mengampanyekan gerakan ekonomi hijau dan bisnis hijau
dalam praktik ekonomi dan bisnis.
Menurut Lako (2016a), ada lima tantangan yang dihadapi profesi akuntansi dalam
mereformasi dan mentransformasi akuntansi konvesional menuju Akuntansi Hijau.
Lima tantangan tersebut adalah:
a. Tantangan dalam meformasi rerangka konseptual akuntansi dan prinsip-prinsip
akuntansi berterima umum (PABU) dari akuntansi konvensional menuju ke
Akuntansi Hijau.
b. Tantangan dalam mereformasi Standar Akuntansi Keuangan (SAK) menuju Standar
Akuntansi Hijau.
c. Tantangan dalam mereformasi proses akuntansi dan format pelaporan akuntansi
menuju proses Akuntansi Hijau dan Pelaporan Akuntansi Hijau (PAH) yang
mengintegrasikan aspek-aspek informasi finansial dan informasi nonfinansial yang
berkaitan dengan informasi sosial dan lingkungan.
d. Tantangan dalam mereformasi visi, misi, tujuan, sasaran dan sasaran dari
pendidikan dan pengajaran akuntansi di perguruan tinggi dalam upaya
menghijaukan akuntansi dan akuntan.

3.2. Saran

Setelah membaca makalah ini, diharapkan para pembaca dapat memahami dan
mengerti akan isi dan maksud dari judul tersebut diatas. Para pembaca bisa
mendapatkan pelajaran serta dapat menambah wawasan mengenai “Masalah
Lingkungan dalam Akuntansi Konvensional dan Urgensi Akuntansi Lingkungan”.
DAFTAR PUSTAKA

Lako, Andreas. 2018. Akuntansi Hijau: Isu, Teori, dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Empat.

Schaltegger, S dan Roger Burrit, 2000. Contemporary Environmental Accounting: Issues,


conceptand practice. Greanleaf Publishing Limited. UK.

Anda mungkin juga menyukai