DOSEN PEMBIMBING :
KARMILA Br Karo,MSi
DISUSUN OLEH :
T.A. 2021/2022
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas izin Nya penyusun
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Otonomi Daerah” dengan waktu yang telah di
tentukan.
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I
PENDAHULUAN...........................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG..............................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH.........................................................................................5
C. TUJUAN..................................................................................................................5
BAB II
PEMBAHASAN............................................................................................................5
A. Pengertian Otonomi
Daerah......................................................................................5
A. KESIMPULAN............................................................................................................17
B. SARAN........................................................................................................................18
DAFTAR
PUSTAKA...............................................................................................................19
3
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada jaman penjajahan Jepang semua daerah otonom disebukan memiliki sifat bersifat
misleading. Kemudian pada saatkemerdekaan dan pasca kemerdekaan banyak sekali
dikeluarkan undang-undanguntuk mengatur Otonomi Daerah.Pada era ini Indonesia juga
harus memikirkan hal yang strategis, terutama pemerintah yang ada di pusat, dimana yang
terjadi saat ini pemerintah pusat yangmemiliki urusan yang terlau banya sehingga tidak
satupun yang terselesaikandengan baik, pusat mengurusa sampai pada urusan yang bersifat
tekhnis yang adadi daerah. Pemerintah seharusnya memikirkan yang strategis dan terfokus.
Dengan hal tersebut tujuan dapat tercapai.Hal yang sama sepertinya mulai terulang
lembali, kalau kita memperhatikan pengelolaan pemerintahan yang ada saat ini ada usaha
untuk sentarlisasi kembalimeskipun dengan cara yang berbeda sentarlisasi yang berbeda pada
orde baru,menurut sentralisasi yang ada pada saat ini berada pada sofwer,mencontohkan pada
penganggaran.Disadari atau tidak bahwa watak
4
dasar pemerintah di indonesia adalah sentralistik, sehingga upaya pengelolaan pemerintahan
yang sentralistik bisa saja terjadi, meskipun pada konsep otonomi daerah.
1.3 Tujuan
1. Mengenal apa itu otonomi daerah.
2. Mengetahui sejarah perkembangan otonomi daerah yang ada di Indonesia
3. Mengetahui dasar hukum dan landasan teori otonomi daerah.
4. Mengetahui dampak yang ditimbulkan dari otonomi daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
5
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan (pasal 1 huruf (h) UU NOMOR 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah).
Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1 huruf (i) UU NOMOR 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah).
Kebijakan otonomi daerah lahir ditengah gejolak tuntutan berbagai daerah terhadap
berbagai kewenangan yang selama 20 tahun pemerintahan Orde Baru (OB) menjalankan
mesin sentralistiknya. UU No. 5 tahun 1974 tentang pemerintahan daerah yang kemudian
disusul dengan UU No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa menjadi tiang utama
tegaknya sentralisasi kekuasaan OB. Semua mesin partisipasi dan prakarsa yang sebelumnya
tumbuh sebelum OB berkuasa, secara perlahan dilumpuhkan dibawah kontrol kekuasaan.
Stabilitas politik demi kelangsungan investasi ekonomi (pertumbuhan) menjadi alasan
pertama bagi OB untuk mematahkan setiap gerak prakarsa yang tumbuh dari rakyat.
Otonomi daerah muncul sebagai bentuk veta comply terhadap sentralisasi yang
sangat kuat di masa orde baru. Berpuluh tahun sentralisasi pada era orde baru tidak membawa
perubahan dalam pengembangan kreativitas daerah, baik pemerintah maupun masyarakat
daerah.
Ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi tahun 1997 dan tidak bisa cepat bangkit,
menunjukan sistem pemerintahan nasional Indonesia gagal dalam mengatasi berbagai
persoalan yang ada. Ini dikarenakan aparat pemerintah pusat semua sibuk mengurusi daerah
secara berlebih-lebihan. Semua pejabat Jakarta sibuk melakukan perjalanan dan mengurusi
proyek di daerah.
Dari proyek yang ada ketika itu, ada arus balik antara 10 sampai 20 persen uang
kembali ke Jakarta dalam bentuk komisi, sogokan, penanganan proyek yang keuntungan itu
dinikmati ke Jakarta lagi. Terjadi penggerogotan uang ke dalam dan diikuti dengan kebijakan
6
untuk mengambil hutang secara terus menerus. Akibat perilaku buruk aparat pemerintah
pusat ini, disinyalir terjadi kebocoran 20 sampai 30 persen dari APBN.
Akibat lebih jauh dari terlalu sibuk mengurusi proyek di daerah, membuat pejabat di
pemerintahan nasional tidak ada waktu untuk belajar tentang situasi global, tentang
international relation, international economy dan international finance. Mereka terlalu sibuk
menggunakan waktu dan energinya untuk mengurus masalah-masalah domestik yang
seharusnya bisa diurus pemerintah daerah. Akibatnya mereka tidak bisa mengatasi masalah
ketika krisis ekonomi datang dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Sentralisasi yang sangat kuat telah berdampak pada ketiadaan kreativitas daerah
karena ketiadaan kewenangan dan uang yang cukup. Semua dipusatkan di Jakarta untuk
diurus. Kebijakan ini telah mematikan kemampuan prakarsa dan daya kreativitas daerah, baik
pemerintah maupun masyarakatnya. Akibat lebih lanjut, adalah adanya ketergantungan
daerah kepada pemerintah pusat yang sangat besar.
Bisa dikatakan sentralisasi is absolutely bad. Dan otonomi daerah adalah jawaban
terhadap persoalan sentralisasi yang terlalu kuat di masa orde baru. Caranya adalah
mengalihkan kewenangan ke daerah. Ini berdasarkan paradigma, hakikatnya daerah sudah
ada sebelum Republik Indonesia (RI) berdiri. Jadi ketika RI dibentuk tidak ada kevakuman
pemerintah daerah.
Karena itu, pada dasarnya kewenangan pemerintahan itu ada pada daerah, kecuali
yang dikuatkan oleh UUD menjadi kewenangan nasional. Semua yang bukan kewenangan
pemerintah pusat, asumsinya menjadi kewenangan pemerintah daerah. Maka, tidak ada
penyerahan kewenangan dalam konteks pemberlakuan kebijakan otonomi daerah. Tapi,
pengakuan kewenangan.
7
desentralisasi di Indonesia. Pada masa pemerintahan Presiden Habibie melalui kesepakatan
para anggota Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilu 1999 ditetapkan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah untuk mengoreksi UU No.5 Tahun 1974
yang dianggap sudah tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan dan
perkembangan keadaan.
Paling tidak ada dua faktor yang berperan kuat dalam mendorong lahirnya kebijakan
otonomi daerah berupa UU No. 22/1999. Pertama, faktor internal yang didorong oleh
berbagai protes atas kebijakan politik sentralisme di masa lalu. Kedua, adalah faktor eksternal
yang dipengaruhi oleh dorongan internasional terhadap kepentingan investasi terutama untuk
efisiensi dari biaya investasi yang tinggi sebagai akibat korupsi dan rantai birokrasi yang
panjang.
Selama lima tahun pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999, otonomi daerah telah
menjadi kebutuhan politik yang penting untuk memajukan kehidupan demokrasi. Bukan
hanya kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sangat heterogen dari segi perkembangan
politiknya, namun juga otonomi sudah menjadi alas bagi tumbuhnya dinamika politik yang
diharapkan akan mendorong lahirnya prakarsa dan keadilan. Walaupun ada upaya kritis
bahwa otonomi daerah tetap dipahami sebagai jalan lurus bagi eksploitasi dan investasi ,
namun sebagai upaya membangun prakarsa ditengah-tengah surutnya kemauan baik (good
will) penguasa, maka otonomi daerah dapat menjadi “jalan alternative “ bagi tumbuhnya
harapan bagi kemajuan daerah.
8
Namun demikian, otonomi daerah juga tidak sepi dari kritik. Beberapa diantaranya
adalah; (1) masalah yang berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan yang ditandai dengan
korupsi “berjamaah” di berbagai kabupaten dan propinsi atas alasan apapun. Bukan hanya
modus operandinya yang berkembang, tetapi juga pelaku, jenis dan nilai yang dikorupsi juga
menunjukkan tingkatan yang lebih variatif dan intensif dari masa-masa sebelum otonomi
diberlakukan. (2) persoalan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam untuk
kepentingan (atas nama) Pendapatan Asli Daerah (PAD). Eksploitasi sumber daya alam untuk
memperbesar PAD berlangsung secara masif ketika otonomi daerah di berlakukan. Bukan
hanya itu, alokasi kebijakan anggaran yang dipandang tidak produktif dan berkaitan langsung
dengan kepentingan rakyat juga marak diberbagai daerah. (3) persoalan yang berkaitan
dengan hubungan antara pemerintah propinsi dan kabupaten. Otonomi daerah yang berada di
kabupaten menyebabkan koordinasi dan hirarki kabupaten propinsi berada dalam stagnasi.
Akibatnya posisi dan peran pemerintah propinsi menjadi sekunder dan kurang diberi tempat
dari kabupaten dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya. Tidak hanya menyangkut
hubungan antara propinsi dan kabupaten, tetapi juga antara kabupaten dengan kabupaten.
Keterpaduan pembangunan untuk kepentingan satu kawasan seringkali macet akibat dari
egoisme lokal terhadap kepentingan pembangunan wilayah lain. Konflik lingkungan atau
sumberdaya alam yang kerap terjadi antar kabupaten adalah gambaran bagaimana otonomi
hanya dipahami oleh kabupaten secara sempit dan primordial. (4) persoalan yang
berhubungan dengan hubungan antara legislatif dan eksekutif , terutama berkaitan dengan
wewenang legislatif. Ketegangan yang seringkali terjadi antara legisltif dan eksekutif dalam
pengambilan kebijakan menyebabkan berbagai ketegangan berkembang selama pelaksanaan
otonomi. Legislatif sering dituding sebagai penyebab berkembangnya stagnasi politik
ditingkat lokal.
9
berakhirnya masa jabatan anggota DPR periode 1999-2004, Sidang Paripurna DPR
menyetujui rancangan perubahan (revisi) terhadap UU No. 22 tahun 1999 menjadi UU No.
32 tahun 2004.Tanggal 1 Oktober Anggota DPR baru hasil pemilu 2004 dilantik. Secara
defacto DPR pemilu 1999 sudah kehilangan relevansinya untuk menyusun dan
mengagendakan pembahasan kebijakan yang sangat krusial.
10
prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran masyarakat, mengembangkan peran dan
fungsi DPRD.
Dari ketiga dasar perundang-undangan tersebut di atas tidak diragukan lagi bahwa
pelaksanaan Otonomi Daerah memiliki dasar hukum yang kuat. Tinggal permasalahannya
adalah bagaimana dengan dasar hukum yang kuat tersebut pelaksanaan Otonomi Daerah bisa
dijalankan secara optimal.
Pokok-Pokok Pikiran Otonomi Daerah Isi dan jiwa yang terkandung dalam pasal 18
UUD 1945 beserta penjelasannya menjadi pedoman dalam penyusunan UU No. 22/1999
dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
11
Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan
bertanggung jawab
Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah
Kabupaten dan daerah Kota, sedang Otonomi Daerah Propinsi merupakan
Otonomi Terbatas.
Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan Konstitusi negara sehingga
tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah
Otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota tidak ada lagi
wilayah administrasi.
Kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain seperti Badan
Otorita, Kawasan Pelabuan, Kawasan Pertambangan, Kawasan Kehutanan,
Kawasan Perkotaan Baru, Kawasan Wisata dan semacamnya berlaku ketentuan
peraturan Daerah Otonom.
Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan
legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi
anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah Propinsi dalam
kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk memelaksanakan
kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai
wakil Pemerintah.
Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah
Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana,
serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.
12
UU No. 1 tahun 1945Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih
menitikberatkan pada dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan
pemerintahan pusat.
UU No. 22 tahun 1948Mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah lebih
menitikberatkan pada desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di kepala
daerah, di satu sisi ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat
pemerintah pusat.
UU No. 1 tahun 1957Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat
dualisme, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi
juga masih alat pemerintah pusat.
Penetapan Presiden No.6 tahun 1959Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih
menekankan dekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh
pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja.
UU No. 8 tahun 1965Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitikberatkan
pada desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah,
sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja
UU No. 5 tahun 1974 Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi
kevakuman dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai
dengan dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi
dan tugas perbantuan. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal Ode Baru,
maka pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu
sentral dibanding dengan politik. Pada penerapanya, terasa seolah-olah telah terjadi
proses depolitisasi peran pemerintah daerah dan menggantikannya dengan peran
pembangunan yang menjadi isu nasional.
UU No. 22 tahun 1999 Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan
pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan dengan mengedapankan otonomi luas, nyata dan bertanggung
jawab.
13
Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan
kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
Kewenangan bidang lain tersebut meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional
dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan
keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara,
pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber
daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi
nasional.
Kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka
desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan,
sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang
diserahkan tersebut.
Kewenangan Pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka
ekonsentrasi harus disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang
dilimpahkan tersebut.
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam
bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta kewenangan
dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya.
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom termasuk juga kewenangan yang
tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
Kewenangan Propinsi sebagai Wilayah Administrasi mencakup kewenangan
dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil
Pemerintah.
Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya
dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Kewenangan Daerah di wilayah laut meliputi:
Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas
wilayah laut tersebut;
Pengaturan kepentingan administratif;
Pengaturan tata ruang;
Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau
yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; dan
14
Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayah laut adalah sejauh
sepertiga dari batas laut Daerah Propinsi. Pengaturan lebih lanjut mengenai batas laut
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan
pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan seperti kewenangan dalam
bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,
agama, serta kewenangan bidang lain yang mencakup kebijakan tentang perencanaan
nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan
keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan
dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.
Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mencakup kewenangan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Propinsi. Bidang pemerintahan yang
wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan
umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan
perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga
kerja.
Pemerintah dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertentu dalam rangka tugas
pembantuan disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia
dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya
kepada Pemerintah. Setiap penugasan ditetapkan dengan peraturan perundang-
undangan.
15
Pemerintah yang memilih desentralisasi memandang bahwa dengan penerapan
desentralisasi dapat meningkatkan stabilitas politik dan kesatuan bangsa karena masing-
masing daerah memiliki kebebasan dalam pengambilan keputusan sehingga dapat
meningkatkan keterlibatan dalam sistem politik. Dengan adanya desentralisasi ini, maka
Pemerintah Daerah diberikan wewenang lebih besar dalam pengambilan keputusan bagi
daerahnya dengan pendekatan yang lebih sesuai. Pemberlakuan desentralisasi juga dapat
mengurangi biaya atas penyediaan layanan publik dengan menekan diseconomy of scale.
1. Kelebihan :
16
Dan lain-lain
2. Kekurangan/kerugian
Pemda ada yg mengatur daerahnya dengan menetapkan Perda yang bertentangan
dengan peraturan yg lebih tinggi, sehingga berpotensi menimbulkan kerawanan di
daerah.
Kalau kontrol/pengawasan pemerintah pusat lemah, maka besar peluangnya untuk
munculnya raja-raja kecil yg berpotensi terjadinya disintegrasi bangsa.
Bila terjadi permasalahan di daerah, misalnya KKN, maka bukan hanya pemda yg
disalahkan, akan tetapi pemerintah pusat akan kenah getahnya (kurang
pengawasan).
Peraturan yg ditetapkan pemerintah pusat, kadang-kadang tidak sesuai dengan
kondisi daerah tertentu, sehingga menimbulkan multi tafsir yang dapat merugikan
pemda dan rakyat didaerah itu.
Dan lain-lain
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
17
Sejak proklamasi kemerdekaan hingga sekarang system pemerintahan daerah yang
berlaku di Negara RI mengalami beberapa kali perubahan karena Undang-Undang yang
mengaturnya itu berbeda-beda dan bersumber pada Undang-Undang Dasar tidak menganut
azas yang sama. Selain itu juga system pemerintahan daerah sebelum proklamasi
kemerdekaan sudah dikenal orang pada zaman penjajahan Hindia-Belanda dan Jepang.
Stabilitas politik;
Kesetaraan politik
Akuntabilitas publik.
B. SARAN
18
DAFTA PUSTAKA
19