Anda di halaman 1dari 36

KEUANGAN NEGARA

DOSEN PEMBIMBING : Dr. EKA NURMALA SARI S.E., M.Si

MATA KULIAH : AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK

DISUSUN OLEH KELOMPOK 1 :

1. ALNI MIRZANI (2105170007)


2. REGYNA AQASHA (2105170006)
3. SRI JULIANINGSIH (2105170037)
4. RENICA ANISA WIDYASTI (2205170269P)
5. CHAIRUL SYAFI’I (2205170271P)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

SUMATERA UTARA
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat-Nya, penulis


dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.Maksud dari penyusunan
makalah ini adalah sebagai salah satu komponen penilaian dan dapat dijadikan
sebagai salah satu pegangan dalam proses belajar mengajar mata kuliah
AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK, serta dengan harapan untuk memotivasi
penulis sehingga mampu memahami segala pembahasan dan aplikasi yang
berkaitan dengan pembelajaran tersebut.

Makalah ini, penulis sajikan untuk mengingatkan kembali akan pentingnya


mempelajari proses pembelajaran, karena konsep-konsep pembelajaran ini akan
sangat membantu dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan cara
belajar atau aspek-aspek pembelajaran. Terima kasih kepada dosen mata kuliah
AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK atas segala bimbingannya, sehingga penulis
bisa menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini tidak luput
dari kesalahan dan kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan makalah ini. Akhir
kata, penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi kami semua dalam
mencapai tujuan pembelajaran.

Medan, 17 Desember
2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 7

1.3 Manfaat Penulisan ..................................................................................................... 7

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 8


2.1 Definisi Keuangan Negara ......................................................................................... 8

2.2 Fungsi Keuangan Negara ........................................................................................... 9

2.3 Manfaat Keuangan Negara ...................................................................................... 11

2.4 Tujuan Keuangan Negara ........................................................................................ 11

2.5 Karakteristik Keuangan Negara ............................................................................... 12

2.6 Ruang Lingkup Keuangan Negara ........................................................................... 12

2.7 Asas – asas Pengelolaan Keuangan Negara .............................................................. 14

2.8 Faktor – faktor Keuangan Negara ............................................................................ 16

BAB III STUDI KASUS .............................................................................................. 18


3.1 Pengertian Korupsi .................................................................................................. 18

3.2 Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi ....................................................................... 19

3.3 Korupsi Proyek Wisma Atlet ................................................................................... 22

3.4 Dampak Masif Korupsi ........................................................................................... 26

3.4 Upaya Melawan Korupsi ......................................................................................... 29

BAB IV KESIMPULAN.............................................................................................. 32
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 33

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Presiden (Pemerintah) merupakan penyelenggara pemeritah negara yang
tertinggi di bawah MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) Negara Republik
Indonesia yang merupakan sebuah Negara Kesatuan, terdapat bagian DPR
(Dewan Perwakilan Rakyat) yang bertugas mengawasi tindakan-tindakan Presiden
, maka ruang lingkup tugas DPR tersebut tentunya tidak terbatas hanya
mengawasi tindakan-tindakan Presiden di tingkat Pusat saja melainkan juga
menjangkau ke seluruh pelosok Tanah Air, termasuk Daerah-Daerah yang otonom
atau tidak. Dan tindakanPresiden yang diawasi oleh DPR itu tidak hanya terbatas
tata cara melakukan pemerintahan saja melainkan juga tata cara
menyelenggarakan keuangan dan lain-lainnya. Sudah tentu pengawasan DPR
dibidang keuangan lebih bersifat politis keuangan daripada pengawasan teknis
karena hal itu dilakukan oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Di samping itu
terdapat banyak pengawasan DPR sesuai oleh pelimpahan wewenang dan
penyerahan urusan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang
bersangkutan. Wewenang dan penyerahan urusan tersebut tidak mengurangi
tanggung jawab Presiden dalam menjalankan tugasnya. Pasal 23 UUD 1945 ayat
(5) menyebutkan bahwa BPK diadakan untuk memeriksa tanggung jawab tentang
keuangan negara. Pada kalimat akhir ayat tersebut disebutkan bahwa hasil
pemeriksaan itu diberitahukan kepada DPR. Diartikan bahwa hasil pemeriksaan
BPK dapat lebih baik agar dijadikan bahan oleh DPR dalam menilai
kebijaksanaan Presiden dalam penyelenggaraan keuangan negara dan mengawasi
tindakan-tindakan Presiden tentang hal tersebut.

Keuangan negara di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003


memiliki ruang lingkup atau cakupan yang luas, yaitu semua hak dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang. Keuangan negara juga meliputi segala
sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara
sehubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pemegang

1
kekuasaan pengelolaan keuangan negara adalah presiden selaku kepala
pemerintahan. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
kekuasaan pengelolaan keuangan negara di daerah diserahkan kepada
gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola
keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan
daerah yang dipisahkan. Otonomi daerah pada dasarnya adalah pengalihan
sebagian dari fungsi-fungsi pemerintah pusat yang dapat ditangani oleh
pemerintah daerah. Namun tidak semua fungsi tersebut dapat dialihkan, sebagian
didelegasikan atau tetap harus ditangani secara langsung oleh pemerintah pusat.

Pengolahan keuangan negara yang demikian sangat perlu dilakukan guna


menghindari timbulnya penyimpangan keuangan negara baik dalam bentuk
pemborosan, ketidakefektifian dan ketidakefisiensinya penggunaan keuangan
yang dimiliki oleh negara, atau bahkan terjadinya tindak pidana korupsi yang
dapat memberikan kerugian bagi negara itu sendiri. Bentuk-bentuk penyimpangan
tersebut akan mengakibatkan timbulnya kerugian keuangan negara yang dalam
kenyataannya jumlahnya masih cukup besar. Kerugian keuangan negara yang
relatif cukup besar haruslah dilakukan pemulihan dengan cara pengembalian
kerugian keuangan negara. Cara ini dapat dilakukan melalui instrumen-instrumen
hukum yang ada baik melalui hukum administrasi negara, perdata maupun
instrumen hukum pidana.

Oleh karena nya pengelolaan keuangan negara di samping harus


mencerminkan asas-asas umum serta harus mencerminkan asas-asas baru sebagai
pencerminan best practice (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam
pengelolaan keuangan negara (Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Tambahan LNRI Nomor 4286, Pressindo,
Jakarta, 2009: 126), yaitu :
1. Akuntabilitas berorientasi pada hasil
2. Profesionalitas
3. Keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara
4. Pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.

2
Bentuk penyimpangan keuangan negara yang mengakibatkan terjadinya
kerugian keuangan negara yang cukup besar biasanya disebabkan oleh tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab
dan haus harta kekayaan. Tindak pidana korupsi (Pertimbangan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, LNRI
Tahun 1999 Nomor : 140, Nuansa Aulia, 2008: 23) sangat memberikan dampak
negatif yang salah satunya ialah menyebabkan kerugian bagi keuangan negara
atau perekonomian negara dan dapat menghambat pembangunan nasional,
sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, di samping itu
juga dapat menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional
yang menuntut efisiensi tinggi.

Permasalahan keuangan negara dan pemberantasan tindak pidana korupsi


secara normatif sebagai nilai ideal yang harus diwujudkan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yaitu :
1. Undang-Undang Dasar 1945, BAB VIII Hal Keuangan, Pasal 23 ayat (1),
mengatur tentang pengelolaan keuangan negara yang harus dilaksanakan
secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat (Sekretariat Jenderal MPR RI, 2007: 96).
2. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, LNRI
Tahun 2003 Nomor : 47, BAB I Ketentuan Umum, Pasal 3 ayat (1),
menentukan pengelolaan keuangan negara dilakukan dengan efisien,
ekonomis, efektif, trasparan dan bertanggungjawab dengan
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan (Pressindo, 2009: 106).
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, LNRI Tahun 1999 Nomor : 140, BAB II Tindak Pidana
Korupsi, Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3), dirumuskan tentang jenis pidana
tambahan dan tata cara pelaksanaan pidana tambahan dalam tindak pidana
korupsi sebagai upaya pengembalian kerugian keuangan negara (Nuansa
Aulia, 2008: 27-28).
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

3
Korupsi, LNRI Tahun 2001 Nomor : 134, BAB IV Penyidikan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan, Pasal 37A ayat (1).
terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya
dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
didakwakan (Nuansa Aulia, 2008: 57).
5. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang secara khusus menginstruksikan
kepada Jaksa Agung Republik Indonesia dan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia untuk bekerja sama dengan lembaga terkait dalam
rangka pemberantasan tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku
dan menyelamatkan uang negara (Nuansa Aulia, 2008: 27).
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang
Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Keppres ini
membentuk Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
diantaranya bertugas mencari dan menangkap para pelaku yang diduga
keras melakukan tindak pidana korupsi, serta menelusuri dan
mengamankan aset-asetnya dalam rangka pengembalian keuangan negara
secara optimal (Nuansa Aulia, 2008: 275).
7. Keputusan Bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Dan Jaksa
Agung Republik Indonesia, Nomor : KEP - 1/12/2005 dan Nomor :
/A/JA/12/2005, tentang Kerjasama Antara Komisi Pemberantasan Korupsi
Dengan Kejaksaan Republik Indonesia Dalam Rangka Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, BAB II Tujuan, Sifat dan Ruang Lingkup, Pasal 2,
menentukan tujuan kerjasama adalah untuk saling membantu dalam upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi secara optimal (Nuansa Aulia, 2008:
282).

Pencapaian tujuan negara selalu berkaitan dengan keuangan negara sebagai


bentuk pembiayaan terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara yang
dilakukan oleh penyelenggara negara. Tanpa keuangan negara, tujuan negara tidak
dapat terselenggara sehingga hanya berupa cita-cita hukum. Untuk mendapatkan
keuangan negara sebagai bentuk pembiayaan tujuan negara, harus tetap berada

4
dalam bingkai hukum yang diperkenankan UUD 1945.Selain dalam Pembukaan
UUD 1945, juga ditemukan pada pasal-pasal UUD 1945 yang berkaitan dengan
keuangan negara. Ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 yang berkaitan dengan
keuangan negara merupakan sumber hukum konstitusional keuangan negara.
Sumber hukum konstitusional keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam
UUD 1945 adalah sebagai berikut :
Pasal 23
1. Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan
keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar
kemakmuran rakyat;
2. Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara
diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat
dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah;
3. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran
pendapatan dan belanja Negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah
menjalankan anggaran pendapatan dan belanja negara tahun lalu.

Pasal 23A
Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluanvnegara diatur
dengan undang-undang.
Pasal 23B
Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 23C
Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.
Pasal 23D
Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan,
tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang.
Pasal 23E
1. Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan
negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri;

5
2. Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah, sesuai dengan kewenangannya;
3. Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan
dan/atau badan sesuai dengan undang-undang.
Ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 tersebut yang merupakan sumber
hukum keuangan negara memerlukan penjabaran lebih lanjut dalam bentuk
undang-undang. Artinya, perumus UUD 1945 memberikan atribusi kepada
pembuat undang-undang untuk mengatur substansi yang berkaitan dengan
keuangan negara dalam bentuk undang-undang. Adapun undang-undang yang
berkaitan dengan keuangan negara adalah:
1. Undang-Undang Nomor 17 tatahun 2003 tentang Keuangan Negara;
2. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
3. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
4. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara;
5. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan;
6. Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang
ditetapkan setiap tahun. Kecuali ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka
Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang lalu tetap
digunakan.

Undang-undang tersebut merupakan dasar hukum operasional keuangan


negara yang diperuntukkan untuk mengelola keuangan negara agar tujuan negara
dapat tercapai. Sekalipun demikian, untuk tidak membuat kebijakan yang dapat
menyimpang dari undang- undang yang berkaitan dengan keuangan negara, hal
tersebut bergantung pada pemerintah. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan
kepastian hukum terhadap pengelolaan keuangan negara yang berakhir pada
pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan
mandiri.

6
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis membatasi dengan hanya
mengkaji masalah - masalah sebagai berikut :

1. Apakah yang dimaksud dengan Keuangan Negara?


2. Apa fungsi dari Keuangan Negara?
3. Apa tujuan dari Keuangan Negara?
4. Apa karakteristik dari Keuangan Negara?
5. Apa faktor faktor Keuangan Negara?
6.

1.3 Manfaat Penulisan


Berdasarkan latar belakang diatas dapat disimpulkan manfaat dari
penulisan makalah ini ialah :

1. Untuk meningkatkan serta menambah wawasan penulis tentang Keuangan


Negara
2. Untuk mengetahui bagaimana keuangan negara yang ada di indonesia

7
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Keuangan Negara

Keuangan Negara menurut Rahayu (2010: 264) adalah hak dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang
maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Keuangan Negara dikelola secara tertib,
taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan,
dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Dalam hal pengelolaan Keuangan Negara maka akan dibentuklah Kementrian
yang akan mengurus segala penerimaan ataupun pengeluaran mulai dari negara
yang disebut APBN hingga ke tingkat daerah yaitu APBD.

Keuangan Negara ialah seluruh hak dan kewajiban negara yang ditaksir
dengan uang, dan merupakan segala sesuatu yang berwujud uang atau produk
yang dapat dijadikan milik negara sehubungan dengan pemenuhan hak dan
kewajiban tersebut (Sugijtanto dkk., 1995). Hak-hak negara adalah setiap hak atau
usaha yang dilakukan oleh suatu pemerintah untuk mengisi perbendaharaannya.
Misalnya, hak suatu pemerintah untuk mengisi perbendaharaannya. Contohnya
saja hak untuk mencetak uang serta mengambil pinjaman serta memungut pajak
dan denda. Tugas negara ialah tugas pemerintah agar melaksanakan tugas negara,
yang tertuang pada RPJP UUD 1945, RPJM dan RKP. UU APBN pada prinsipnya
ialah untuk kesejahteraan rakyat serta melayani masyarakat umum dan bertindak
sebagai agen pembanguanan.

Keuangan negara merupakan instrumen yang sangat vital untuk


menggerakkan roda organisasi pemerintahan. Penyelenggaraan fungsi-fungsi
pemerintahan tidak akan bisa dilaksanakan secara efektif tanpa didukung oleh
sarana keuangan negara. Sedemikan pentingnya arti sarana keuangan negara
menyebabkan penyelenggara negara perlu mengaturnya sejak dari Undang-

8
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai aspek
konstitusionalitas hingga dalam berbagai aturan operasional dalam bentuk
peraturan perundang-undangan (regeling) maupun peraturan kebijaksanaan
(policy rule). Hal ini bermakna pengaturan keuangan negara memerlukan desain
hukum ketatanegaraan yang merupakan kedudukan konstitusional sekaligus
merupakan desain hukum administrasi negara melalui pelaksanaan administratif
dan perbendaharaan.

Keuangan negara adalah kekayaan yang dikelola oleh pemerintah, yang


meliputi uang dan barang yang dimiliki; kertas berharga yang bernilai uang yang
dimiliki; hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang; dana-dana pihak
ketiga yang terkumpul atas dasar potensi yang dimiliki dan/atau yang dijamin baik
oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, badan-badan usaha, yayasan, maupun
institusi lainnya. Secara ringkas, keuangan negara ialah semua hak yang dapat
dinilai dengan uang, yang dapat dijadikan milik negara.

Dari beberapa definisi yang kami ambil, dapat disimpulkan bahwasannya


keuangan negara adalah seluruh hak dan kewajiban negara berupa uang yang
dikelola oleh pemerintahan serta memiliki tujuan untuk memenuhi segala
kebutuhan yang dibutuhkan negara dan diatur dalam bentuk Perundang Undangan
(regeling) maupun peraturan kebijakan (policy rule)

2.2 Fungsi Keuangan Negara

Fungsi administrasi keuangan negara Menurut pendapat lainnya fungsinya


sebagai berikut :

1. Fungsi Investasi

Fungsi investasi ini meliputi bagaimana pengelolaan keuangan ke dalam


aktiva yang akan digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Sumber keuangan
tersebut dapat berasal dari modal sendiri atau dari luar. Secara garis besar
keputusan investasi ini dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :
1) Investasi jangka pendek yang meliputi investasi dalam kas, persediaan,
piutang, dll.

9
2) investasi jangka panjang berupa gedung, tanah, peralatan produksi,
kendaraan, dll.

2. Fungsi Mencari dana

Fungsi Mencari dana ini dapat meliputi fungsi pencarian modal yang
dibutuhkan untuk membelanjai usaha-usaha yang dijalankan. Selain itu juga
administrasi keuangan negara berfungsi untuk memilih sumber dana yang tepat
terhadap berbagai jenis kebutuhan.

3. Fungsi Pembelanjaan

Fungsi Pembelanjaan ini dapat terdiri dari aktivitas penggunaan dana baik
dana dari luar maupun dana milik sendiri yang dipergunakan untuk membiayai
semua kegiatan organisasi. Dalam hal ini pembelanjaan terkait dengan proses
produksi atau pendukung proses produksi.

4. Fungsi Pembagian Laba

Fungsi Pembagian Laba ini dapat memberikan manfaat untuk menentukan


kebijakan dalam mengadakan pembagian laba usaha. Sebenarnya, fungsi
pembagian laba ini dapat dimasukkan di dalam fungsi mencari dana. Artinya
adalah bahwa pengadaan dana diusahakan dapat berasal dari dalam perusahaan itu
sendiri untuk mengembangkan usaha-usaha perusahaan tersebut.

Fungsi Kementerian Keuangan Republik Indonesia ialah :

Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang penganggaran,


penerimaan negara bukan pajak, pajak, kepabeanan dan cukai, perbendaharaan
negara, kekayaan negara, perimbangan keuangan, dan pengelolaan pembiayaan
dan risiko keuangan negara;

1. Perumusan, penetapan, dan pemberian rekomendasi kebijakan fiskal dan


sektor keuangan;
2. Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan dan pemberian dukungan
administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian
Keuangan;

10
3. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab
Kementerian Keuangan;
4. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Keuangan;
5. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan
Kementerian Keuangan di daerah;
6. Pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah;
7. Pelaksanaan pendidikan, pelatihan, sertifikasi kompetensi di bidang keuangan
negara, dan manajemen pengetahuan; dan
8. Pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur
organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan.

Dasar hukum:
1. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 Tentang Kementerian Keuangan.
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 Tentang Organisasi
Dan Tata Kerja Kementerian Keuangan.

2.3 Manfaat Keuangan Negara


Administrasi Keuangan Negara memiliki manfaat sebagai berikut :

1. Membuat teraturnya penerimaan dan pengeluaran sebuah organisasi


2. Penggunaan uang bisa dapat lebih dikendalikan serta dikoordinasikan secara
baik.
3. Terjadinya beberapa keliruan didalam pembuatan laporan keuangan menjadi
berkurang.

2.4 Tujuan Keuangan Negara

Terdapat tujuan Keuangan Negara menurut Administrasi Keuangan Negara


sebagai berikut :

1. Mempermudah beberapa proses keluar dan masuknya uang


2. Transaksi keuangan menjadi lebih mudah
3. Setiap transaksi yang dilakukan akan adanya bukti yang dapat dipertanggung
jawabkan.

11
4. Setiap kondisi keuangan di sebuah perusahaan dalam suatu periode tertentu
dapat diketahui.

2.5 Karakteristik Keuangan Negara

Karakteristik Keuangan negara sebagai berikut :


1. Hidup dengan sarana yang lebih kompleks. Apabila terjadi defisit, maka
negara bisa menetapkan budget defisit untuk mengatasinya.
2. Pinjaman dapat dilakukan baik ke dalam maupun ke luar negeri.
3. Bunga pinjaman bisa lebih rendah dibanding dengan pinjaman yang
dilakukan oleh sektor swasta/sektor keuangan privat.
4. Mempunyai kemampuan untuk menciptakan/mencetak uang.
5. Mengikuti prinsip anggaran (budget principle).
6. Dalam merencanakan kegiatannya, pengeluaran ditetapkan terlebih dahulu,
kemudian penerimaannya.

2.6 Ruang Lingkup Keuangan Negara

Pada hakikatnya, keuangan negara sebagai sumber pembiayaan dalam

rangka pencapaian tujuan negara tidak boleh dipisahkan dengan ruang lingkup

yang dimilikinya. Oleh karena ruang lingkup itu menentukan substansi yang

dikandung dalam keuangan negara. Sebenarnya keuangan negara harus memiliki

ruang lingkup agar terdapat kepastian hukum yang menjadi pegangan bagi pihak-

pihak yang melakukan pengelolaan keuangan negara. Ketika berbicara mengenai

hukum keuangan negara, berarti membicarakan ruang lingkup keuangan negara

dari aspek yuridis. Ruang lingkup keuangan negara menurut Pasal 2 UUKN

adalah sebagai berikut;

1. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang,

dan melakukan pinjaman;

12
2. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum

pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

3. Penerimaan Negara;

4. Pengeluaran Negara;

5. Penerimaan Daerah;

6. Pengeluaran Daerah;

7. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain

berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat

dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan

negara/ perusahaan daerah;

8. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka

penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;

9. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang

diberikan pemerintah.

10. Bidang pengelolaan keuangan negara yang demikian luas dapat

dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan

moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.

Menurut Undang-Undang No.17 Tahun 2003, ruang lingkup keuangan negara

meliputi:

1. Pengelolaan moneter

Hal ini dilakukan melalui serangkaian kebijakan di bidang moneter.

Kebijakan moneter adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah agar ada

13
keseimbangan yang dinamis antara jumlah uang yang beredar dengan barang dan

jasa yang tersedia di masyarakat.

2. Pengelolaan Fiskal

Pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan

kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi

kepabean, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan. Kebijakan fiskal adalah

kebijakan yang dilakukan pemerintah berkaitan dengan penerimaan (pendapatan)

dan pengeluaran (belanja) pemerintah.

3. Pengelolaan Kekayaan Negara

Khusus untuk proses pengadaan barang kekayaan negara, yang termasuk

pengeluaran negara telah diatur secara khusus dalam Keputusan Presiden Nomor

80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Instansi

Pemerintah. Di samping itu terdapat pula kekayaan negara yang dipisahkan

(pengelolaannya diserahkan kepada perusahaan yang seluruh modalnya/

sahamnya dimiliki oleh negara). Perusahaan semacam ini biasa di sebut Badan

Usaha Milik Negara dan Lembaga-Lembaga Keuangan Negara (BUMN/BUMD).

2.7 Asas – asas Pengelolaan Keuangan Negara

Aturan pokok keuangan negara telah dijabarkan ke dalam asas-asas umum, yang
meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan
negara maupun asas-asas baru sebagai pencerminan penerapan kaidah-kaidah
yang baik (best practices) dalam penglolaan keuangan negara.

Sebelum berlakunya UUKN, telah ada beberapa asas- asas yang digunakan dalam
pengelolaan keuangan negara dan diakui keberlakuannya dalam pengelolaan

14
keuangan negara ke depan. Adapun asas- asas pengelolaan keuangan negara
dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Asas kesatuan, menghendaki agar semua pendapatan dan belanja negara


disajikan dalam satu dokumen anggaran;
2. Asas universalitas, mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan
secara utuh dalam dokumen anggaran;
3. Asas tahunan, membatasi masa berlakunya anggaran untuk satu tahun
tertentu; dan
4. Asas spesialitas, mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terinci
secara jelas peruntukannya.
Kemudian, berlakunya UUKN terdapat lagi asas-asas yang bersifat baru dalam
pengelolaan keuangan negara. Asas- asas pengelolaan keuangan negara yang
terdapat dalam UUKN yang bersifat best practice adalah sebagai berikut :
1. Asas akuntanbilitas berorientasi pada hasil adalah asas yang menentukan
bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan pengelolaan keuangan
negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
2. Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara
hak dan kewajiban pengelola keuangan negara;
3. Asas proposionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian berdasarkan
kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
4. Asas keterbukaan dan pengelolaan keuangan negara adalah asas yang
membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang
benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang pengelolaan keuangan negara
dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan,
dan rahasia negara;
5. Asas pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri
adalah asas yang memberikan kebebasan bagi Badan Pemeriksa Keuangan
untuk melakukan pemeriksaan keuangan negara dengan tidak boleh
dipengaruhi oleh siapa pun.

15
2.8 Faktor – faktor Keuangan Negara

1. Pendapatan Negara

Besaran pendapatan negara dalam tahun tertentu dipengaruhi oleh


beberapa faktor, antara lain:

1) Indikator ekonomi makro yang tercermin pada asumsi


2) dasar makro ekonomi
3) Kebijakan pendapatan negara;
4) Kebijakan pembangunan ekonomi
5) Perkembangan pemungutan pendapatan Negara secara umum
6) Kondisi dan kebijakan lainnya.

Contohnya, target penerimaan negara dari SDA migas turut dipengaruhi


oleh besaran asumsi lifting minyak bumi, lifting gas, ICP, dan asumsi nilai tukar.
Target penerimaan perpajakan ditentukan oleh target pertumbuhan inflasi serta
kebijakan pemerintah terkait perpajakan seperti perubahan besaran pendapatan
tidak kena pajak (PTKP), upaya ekstensifikasi peningkatan jumlah wajib pajak,
kebijakan pemberian stimulus fiskal, dan lainnya.

2. Belanja Negara

Besaran belanja negara dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

1) Asumsi dasar makro ekonomi


2) Kebutuhan penyelenggaraan negara
3) Kebijakan pembangunan
4) Risiko (bencana alam, dampak kirisi global), gejolak ekonomi makro,
5) Kebijakan stimulus fiskal, dan
6) Kondisi dan kebijakan lainnya.

Contohnya, besaran belanja subsidi energi dipengaruhi oleh asumsi ICP,


nilai tukar, serta perkiraan volume BBM bersubsidi, dan kebijakan harga BBM
bersubsidi.

16
3. Pembiayaan

Besaran pembiayaan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

1) Asumsi dasar makro ekonomi;


2) Sumber dan kebutuhan pembiayaan
3) Kondisi dan kebijakan lainnya.

17
BAB III

STUDI KASUS

3.1 Pengertian Korupsi

Berbagai kasus dugaan kecurangan yang dilakukan pejabat pemerintah


baik pusat maupun daerah menjadi pemberitaan yang marak baik di media cetak
maupun televisi. Hal tersebut menunjukkan buruknya pengelolaan keuangan yang
dilakukan pada sektor publik. Kecurangan yang terjadi menyebabkan kerugian
atas keuangan negara maupun daerah yang berakibat pada rusaknya sendi-sendi
sosial dan budaya masyarakat. Kecurangan yang terjadi saat ini sudah sangat
mengkhawatirkan karena telah menjangkit hampir di semua lini, mulai dari
tingkat pejabat sampai dengan tingkat pelaksana atau pegawai paling bawah.
Kecurangan tersebut berdampak negatif pada semua sektor baik itu ekonomi
maupun sosial. Dari segi ekonomi sangat merugikan keuangan negara yang pada
akhirnya akan merugikan rakyat banyak. Kecurangan yang dilakukan juga
berdampak besar secara sosial karena menghambat pembangunan yang akhirnya
masyarakat miskin yang sangat dirugikan karena terhambatnya pembangunan
nasional. Bologna, Lindquist dan Wells mendefinisikan kecurangan “Fraud is
criminal deception intended to financially benefit the deceiver” yaitu kecurangan
adalah penipuan kriminal yang bermaksud untuk memberi manfaat keuangan
kepada si penipu. Kecurangan atau perbuatan curang hanyalah salah satu dari
berbagai tindak pidana.

Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), korupsi


merupakan salah satu jenis kecurangan. Korupsi merupakan suatu bentuk
perbuatan yang dikategorikan berupa penyuapan, manipulasi dan lainnya. Dalam
kajian hukum di Indonesia, korupsi tergolong dalam perbuatan tindak pidana
seperti tertuang dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001.
Perilaku yang biasanya dilakukan oleh pejabat publik, baik politikus maupun
pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau
memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan
publik yang dipercayakan kepada mereka. Pemberantasan tindak pidana korupsi

18
yang marak terjadi di Indonesia memerlukan peningkatan transparansi serta
akuntabilitas pengelolaan keuangan negara maupun swasta. Hal tersebut
memerlukan upaya terpadu dalam melakukan perbaikan sistem akuntansi dan
sistem hukum guna meningkatkan mutu kerja serta memadukan pekerjaan
lembaga pemeriksa dan pengawasan keuangan dengan penegak hukum.

3.2 Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi

Korupsi di Indonesia ibarat warisan haram tanpa syarat wasiat, sebab


korupsi tetap saja lestari sekalipun diharamkan oleh aturan hukum yang dibuat
dan berlaku dari satu periode ke periode pemerintahan berikutnya. Secara umum,
penyebab korupsi meliputi dua faktor utama yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal berkaitan dengan diri seseorang, ini berhubungan erat
dengan kualitas kehidupan moral, keimanan, dan kejujuran. Faktor eksternal
mencakup aspek kehidupan keluarga, lingkungan politik, lingkungan organisasi,
dan lingkungan kerja.

 Faktor Pribadi Manusia


Faktor yang mengakibatkan seseorang melakukan korupsi antara lain:
perilaku materialistik, konsumtif dan sifat tamak manusia. Korupsi
merupakan tindakan kejahatan yang biasanya dilakukan oleh orang-orang
profesional yang sudah kecukupan tetapi tetap merasa kurang karena
ketamakan.
Hardjia Pamekas (2008) menjelaskan bahwa sebab-sebab seseorang
melakukan korupsi antara lain karena niat, keinginan atau dorongan dari
dalam diri sendiri untuk melakukan korupsi. Niat ini muncul karena keimanan
dan moralitas (kejujuran, rasa malu dan etika) yang dimiliki seseorang kurang
kuat. Lemahnya keimanan dan moralitas ini membuat seseorang gampang
tergoda oleh gaya hidup konsumtif, tamak, dan ingin memiliki kekayaan
berlebihan yang menghantarnya kepada tindakan korupsi.

 Faktor Keluarga dan Masyarakat


Godaan untuk melakukan korupsi itu bisa juga berasal dari luar (orang
lain dan masyarakat) yang mendorong dan memberi kesempatan kepada

19
seseorang untuk melakukan tindakan korupsi. Faktor-faktor dari luar ini dapat
diuraikan sebagai berikut:
Pertama, perilaku korupsi bisa terjadi karena dorongan keluarga. Aliran
Bihavioral mengatakan bahwa lingkungan sosial termasuk keluarga, sering
memberi dorongan yang sangat kuat bagi seseorang untuk melakukan
korupsi. Dalam kenyataan, lingkungan keluarga sering memberi perlindungan
dan bukannya hukuman pada anggota keluarga yang telah menyalahgunakan
kekuasaan tertentu dalam kaitan kasus korupsi (Karsono, 2011; Indah Sri
Utari. 2011).
Kedua,seseorang terdorong melakukan korupsi karena masyarakat telah
dihinggapi budaya, pandangan dan nilai-nilai kehidupan yang bersifat
koruptif. Budaya dan nilai-nilai kehidupan koruptif ini dapat mendorong
seseorang untuk melakukan perbuatan korupsi. Contoh, masyarakat memiliki
kecenderungan menghargai seseorang karena kekayaaan yang dimilikinya.
Sikap ini sering kali membuat masyarakat tidak kritis terhadap perilaku hidup
koruptif sebab hanya mengagumi kekayaan yang dimiliki seseorang dan tidak
melihat bagaimana kekayaan itu diperoleh (Indah Sri Utari. 2011; Ardyanto,
2002).
Ketiga, kurangnya kesadaran masyarakat bahwa korban utama korupsi
adalah masyarakat itu sendiri. Secara umum, banyak elemen masyarakat
sejauh ini masih beranggapan bahwa tindakan korupsi menyebabkan negara
dirugikan. Padahal jikalau negara dirugikan maka esensinya masyarakat itu
sendiri yang sebetulnya dirugikan. Sebab korupsi mengakibatkan kurangnya
anggaran di sejumlah proyek pembangunan ekonomi, kesehatan dan
pendidikan masyarakat. Akibatnya masyarakat kehilangan akses kepada
pelayanan kesehatan, pendidikan dan pengembangan ekonomi (Karsono,
2011; Indah Sri Utari. 2011; Tanzi, Vito and Hamid Davoodi,1997).

 Faktor Ekonomi dan Politik


Dalam kaitan dengan aspek politik, kontrol sosial merupakan suatu
proses yang perlu dilakukan untuk mempengaruhi setiap orang untuk tidak
melakukan korupsi sebagaimana diharapkan masyarakat (Karsono, 201;

20
Indah Sri Utari. 2011). Kontrol sosial ini dilakukan dengan cara
menggerakkan berbagai aktivitas yang terorganisir secara politis, melalui
lembaga-lembaga negara dan lembaga swadaya masyarakat. Lemahnya
kontrol sosial terhadap korupsi mengakibatkan praktek-praktek korupsi bisa
bertumbuh kembang secara leluasa di tengah masyarakat (Karsono, 2011;
Indah Sri Utari. 2011).

 Faktor Organisasi
Beberapa aspek kehidupan organisasi yang dapat mendorong terjadinya
korupsi. Pertama, kurang adanya sikap keteladanan dari atasan atau pimpinan.
Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal dan informal berpengaruh kuat
terhadap bawahan-nya. Karena itu, bila pemimpin tidak bisa memberikan
teladan yang baik bagi bawahannya dalam hubungan dengan korupsi
(pemimpin melakukan korupsi) maka kemungkinan besar bawahan juga akan
melakukan hal yang sama. Erry Hardjia Pamekas (2008) meng-
ungkapkanbahwatingginyakorupsidisebabkankurangnyaketeladanan para
pemimpin dan elit bangsa.
Kedua, kurangnya akuntabilitas dari organisasi. Organisasi yang kurang
akuntabel disebabkan oleh berbagai faktor di antaranya karena visi, misi,
tujuan dan sasaran organisasi tidak jelas. Ketidakjelasan organisasi ini
mengakibatkan instansi pemerintah atau swasta sulit melakukan penilaian
atas keberhasilan dan kegagalan organisasi atau instansi tersebut dalam
mewujudkan tujuan serta sasarannya pada suatu periode tertentu. Kesulitan
melakukan evaluasi ini mengakibatkan organisasi kurang efisien
menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk mencapai tujuan dan sasaran
yang dikehendaki. Kondisi organisasi seperti ini dapat memberi ruang dan
kesempatan untuk praktek korupsi.
Ketiga,lemahnyasistempengendalianmanajemendanpengawasan
membuka peluang bagi perbuatan korupsi dalam sebuah organisasi. Sering
terjadi bahwa pengawasan internal (fungsional dan langsung dari pimpinan)
dan pengawasan eksternal (masyarakat) dalam suatu organisasi tidak berjalan
secara efektif karena adanya tumpang tindih dalam hal pengawasan,

21
kurangnya kualitas dan profesionalitas pengawasan, dan ketidakpatuhan
pengawas sendiri terhadap etika hukum pemerintahan (Ardyanto, 2002;
Karsona, 2011).

3.3 Korupsi Proyek Wisma Atlet


Satu kasus korupsi yang bisa memberikan gambaran yang jelas tentang
praktik patronase adalah berbagai kasus korupsi Wisma Atlet, dan berbagai kasus
lain, yang dilakukan oleh Muhammad Nazaruddin. Ia adalah mantan Bendahara
Partai Demokrat dan anggota DPR yang bertugas mengatur distribusi sumber daya
publik untuk membiayai kegiatan politik Partai Demokrat. Kedudukannya sebagai
anggota Badan Anggaran DPR memberikan akses kepada Nazaruddin untuk
mengatur rente dari proyek-proyek pemerintah. Dari sekian banyak kasus, tulisan
ini akan mengulas pembangunan Wisma Atlet yang sudah terbongkar dan
sebagian pelakunya sudah dijebloskan ke penjara.

Meskipun dalam pelelangan Kementerian Pemuda dan Olah Raga belum


menerapkan lelang-el, tetapi peraturan yang dipergunakan telah mengikuti aturan
terbaru yang telah direformasi. Kasus ini memberikan gambaran yang cukup
lengkap untuk menunjukkan manipulasi tender sesungguhnya adalah mata rantai
dari perburuan rente yang telah dirancang sejak penyusunan anggaran dan
perencanaan proyek. Ironisnya, penerapan lelang-el tidak mampu menghentikan
Nazaruddin, yang telah mendekam di penjara, untuk kembali memanipulasi tender
dan memburu rente dari proyek-proyek pemerintah.

Salah satu kasus Nazaruddin yang paling jelas adalah korupsi dalam
pembangunan Wisma Atlet di Hambalang dan Palembang. Untuk memanipulasi
tender, Nazaruddin mendirikan sejumlah perusahaan, tercatat paling tidak dia
terafiliasi dengan 37 perusahaan dan “meminjam” 20 perusahaan lain yang
bergerak di jasa konstruksi di Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemuda dan
Olah Raga dan berbagai proyek dari lembaga negara lainnya (Septian, Kristanti,
Fabiana, & Pramono, 2012). Selain di sektor konstruksi, bisnis Nazaruddin juga
merambah ke pengadaan batu bara untuk pembangkit listrik serta berbagai sektor
bisnis lainnya. Kelompok perusahaan itu dikenal dengan Group Permai.

22
Nazaruddin menempatkan nama para pegawainya sebagai Direktur atau
Komisaris di dalam perusahaan perusahaan itu.

Sejatinya, Group Permai bukan kontraktor pemerintah atau perusahaan


yang fokus pada sektor-sektor itu. Lebih tepatnya, Group Permai adalah
sekelompok perusahaan yang bergerak untuk mencari rente dari proyek-proyek
pemerintah. Group Permai memiliki akses untuk mencari rente karena peran
Nazaruddin sebagai anggota Badan Anggaran di DPR dan sekaligus salah satu elit
Partai Demokrat. Peran itu memberikan akses kepada Nazaruddin untuk
mengetahui proyek-proyek yang diusulkan oleh Kementerian guna mendapatkan
pendanaan dari APBN. Perannya sebagai anggota Badan Anggaran membuat
Nazaruddin mampu meloloskan atau menolak usulan dari lembaga-lembaga
pemerintah. Ia juga berperan memberikan informasi kepada perusahaan lain,
termasuk BUMN, tentang proyek proyek konstruksi. Selain itu, sebagai anggota
Badan Anggaran yang terlibat dalam pembahasan proyek-proyek pemerintah,
Nazaruddin juga memiliki akses langsung ke birokrasi yang mengelola proyek.
Bahkan Nazaruddin bisa mengakses langsung Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
seperti dalam kasus pembangunan Wisma Atlet.

Akses langsung ke PPK membuat Nazaruddin mampu mengatur tender


meskipun pemerintah sudah menerapkan lelang-el. Agar proyek yang diincar oleh
Nazaruddin tidak jatuh ke perusahaan lain, maka ia merekayasa tender.
Nazaruddin telah menempatkan perusahaan-perusahaan sebagai pemenang dan
perusahaan lain sebagai pendamping. Keberadaan perusahaan pendamping ini
merupakan persyaratan penting agar tender tampak “sempurna” untuk mengurangi
risiko komplain atau protes dari perusahaan yang kalah.

Dalam kasus korupsi pembangunan Wisma Atlet di Palembang,


Nazaruddin menggunakan PT Duta Graha Indah Tbk (DGI). Sedangkan untuk
pembangunan wisma serupa di Hambalang, Bogor, Nazaruddin menggunakan
BUMN, yakni Kerja Sama Operasi PT Adhi Karya-PT Wijaya Karya. Dalam
proyek ini, Nazaruddin mengambil peran sebagai calo yang menghubungkan
kontraktor dengan birokrasi, selain berperan besar memastikan proyek
mendapatkan anggaran dalam pembahasan di DPR. Kasus ini kemudian terungkap

23
saat KPK menangkap Mindo Rosalina Manullang, salah satu staf kepercayaan
Nazaruddin, bersama dengan Muhamad El Idris dari PT Duta Graha Indah Tbk,
ketika tengah mengantar uang suap untuk Wafid Muharam, Sekretaris
Kementerian Pemuda dan Olah Raga (Aryanto, Febiana, Septian, & Sianipar,
2011).

Seandainya KPK tidak berhasil membongkar penyuapan melalui OTT,


barangkali kasus ini tidak akan pernah terbongkar. Nazaruddin sudah merancang
sedemikian rupa dengan memilih pemenang proyek dan mencari perusahaan dan
BUMN lain sebagai ‘pendamping’ seperti PT Nindya Karya, PT Pembangunan
Perumahan, dan sebagainya. Sebagai pendamping, perusahaan-perusahaan itu
hanya diminta menyiapkan kelengkapan administrasi, sedangkan seluruh
dokumen penawaran dibuat oleh PT DGI (Gabrilin, 2017). Baik PT Duta Graha
Indah maupun BUMN lain adalah perusahaan terkemuka di sektor konstruksi di
Indonesia. Tender proyek besar dimenangi oleh perusahaan besar yang
mengalahkan perusahaan besar lainnya, tentu tidak ada yang mencurigakan,
apalagi tidak ada kesalahan prosedur di balik manipulasi tender itu.

Manipulasi tender itu dilakukan untuk menjadi alibi bahwa proses


pengadaan barang dan jasa telah dilakukan oleh pemerintah memenuhi aturan
yang berlaku. Selain untuk menghindari protes dari kontraktor yang kalah, tender
yang tampak ‘sempurna’ itu juga diperlukan untuk mencegah penegak hukum
turut mengambil bagian dari ‘kue’ korupsi (Tidey, 2012). Bila ada laporan kasus
korupsi dan pelanggaran prosedur yang diduga merugikan keuangan negara,
penegak hukum akan sigap untuk melakukan investigasi. Seringkali, investigasi
itu berhenti di tengah jalan karena penegak hukum pada dasarnya justru hendak
mendapatkan bagian dari kasus korupsi tersebut.

Kasus Wisma Atlet itu juga memberikan informasi menarik tentang


penggunaan uang hasil korupsi. Penghasilan Nazaruddin sebagai anggota DPR
tentu cukup untuk membiayai kehidupannya. Kasus ini memberikan bukti bahwa
korupsi dilakukan tidak untuk sekadar untuk memperkaya diri sendiri dan juga
bukan karena pelakunya tidak bermoral. Nazaruddin memerlukan uang dalam
jumlah besar dari praktik korupsi untuk membangun jaringan patronase politik di

24
dalam Partai Demokrat. Ia menggunakan sebagian besar uang dari rente proyek
tersebut untuk membiayai upaya Anas Urbaningrum dalam pemilihan ketua partai
dalam Kongres Partai Demokrat di Bandung 2010. Dalam persidangan terungkap
bagaimana Nazaruddin membagi-bagikan uang sebesar USD 5.000–10.000 untuk
setiap Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat.

Karena pemilihan dilakukan dua tahap, maka uang yang dikeluarkan


membengkak hingga mencapai USD 15.000 untuk kurang lebih 320 DPC
(Khaerudin, 2012). Selain membiayai akomodasi dan berbagai keperluan delegasi
yang memberikan dukungan, Nazaruddin juga memberikan total 400 telepon
pintar, merk Blackberry yang sangat populer saat itu, untuk pengurus partai yang
mendukung Anas Urbaningrum (Maharani, 2014a). Dalam dakwaan jaksa KPK,
Nazaruddin mengumpulkan uang hingga mencapai Rp. 30 miliar dan USD 8 juta
untuk pemenangan Anas Urbaningrum (Khaerudin, 2012). Uang sebesar itu
ternyata bukan dari proyek pembangunan Wisma Atlet saja. Nazaruddin juga
menjarah uang publik dari proyek-proyek lain, seperti belakangan terungkap
proyek KTP elektronik yang mangkrak (Gabrilin, 2018) dan berbagai proyek
konstruksi lainnya seperti proyek pembangunan rumah sakit Universitas Udayana,
Bali (Belarminus, 2017). Pembagian uang untuk para pengurus partai dari DPC
Partai Demokrat menunjukkan bagaimana uang korupsi tidak lagi dipergunakan
untuk sekadar membiayai kebutuhan hidup para pelaku. Uang itu juga tidak
dipergunakan untuk kampanye partai politik dalam Pemilu.

Uang itu dipergunakan untuk membeli suara dalam kongres internal partai
politik. Kasus ini bukan sekadar membeli suara. Lebih dalam lagi, kasus ini
adalah upaya yang dilakukan oleh Anas Urbaningrum dengan didukung oleh
Muhammad Nazaruddin serta sejumlah politisi lainnya untuk membangun
patronase baru di dalam Partai Demokrat. Anas Urbaningrum sejatinya bukan
kandidat yang mendapatkan dukungan dari Susilo Bambang Yudhoyono.
Pembelian suara itu adalah strategi Anas untuk membangun patronase di dalam
partai yang bukan hanya berguna untuk menduduki jabatan Ketua Partai, tetapi
juga berbagai jabatan publik lainnya kelak. Dengan patronase itu, Anas
Urbaningrum hendak membangun basis sosial untuk posisi politis lain yang lebih

25
strategis. Nazaruddin bahkan sudah merancang Anas akan menjadi kandidat
Presiden Republik Indonesia di masa mendatang, bukan hanya ketua partai politik
(Maharani, 2014b).

Deskripsi kasus korupsi yang melibatkan Nazaruddin menunjukkan


bagaimana reformasi dalam tender pemerintah gagal memberantas korupsi dan
kolusi. Meskipun aturan terus-menerus diperbaiki dan pengawasan diperketat,
praktik korupsi terus menjadi persoalan dalam pengadaan barang dan jasa
pemerintah. Dalam kasus pembangunan Wisma Atlet, tampak korupsi dalam
tender adalah kelanjutan dari perburuan rente yang telah dirancang sejak
perencanaan anggaran. Tender hanya menjadi formalitas agar memenuhi aturan
yang telah direformasi.

Lalu bagaimana setelah inovasi dalam tender diterapkan, terutama setelah


penerapan lelang-el? Sayangnya, penerapan teknologi tidak menghilangkan
praktik korupsi. Nazaruddin yang telah mendekam di dalam penjara masih terus
mampu mengatur proyek-proyek pemerintah menggunakan metode yang hampir
sama tetapi menggunakan lelang-el (Septian et al., 2013). Fakta ini menunjukkan
problem korupsi dalam tender sulit diatasi jika hanya melokalisasi persoalannya
pada saat tender dan melepaskannya dari konteks besar patronase ekonomi-politik

3.4 Dampak Masif Korupsi

 Dampak Ekonomi
Korupsi memiliki efek destruktif terhadap berbagai aspek,
khususnya aspek kehidupan ekonomi sebagai faktor terpenting untuk
kesejahteraan masyarakat. Mauro (2011) mengatakan bahwa korupsi
memiliki korelasi negatif dengan kemajuan ekonomi (peningkatan
investasi, pertumbuhan ekonomi, pendapatan dan pengeluaran pemerintah
untuk program pembangunan sosial dan kesejahteraan masyarakat).
Hubungan langsung-negatif antara korupsi dan kehidupan ekonomi ini
hendaknya dilihat sebagai pemicu bagi pemerintah dan masyarakat pada

26
umumnya untuk bekerja keras menanggulangi korupsi baik secara
preventif, represif maupun kuratif.
Korupsi mengakibatkan terjadinya inefisiensi pembangunan,
meningkatnya biaya barang dan jasa, serta melonjaknya utang
negara.Inefisiensi pembangunan terjadi apabila pemerintah mengeluarkan
banyak kebijakan pembangunan, namun selalu disertai dengan maraknya
praktek korupsi. Contoh, anggaran perusahaan yang sebetulnya
dimanfaatkan untuk kemajuan ekonomi, justru dialokasikan untuk kantong
pribadi pejabat dan birokrat (Kurniadi Y. 2011; Mauro, 2011).

 Dampak Sosial
Praktek korupsi pada dasarnya menciptakan suatu kondisi
kehidupan ekonomi dengan biaya tingg
Hal ini terjadi karena adanya beban (high cost economy) yang
harus ditanggung para pelaku ekonomi akibat korupsi, ini berimbas pada
mahalnya harga kebutuhan pokok, jasa dan pelayanan publik. Sebab harga
yang diterapkan untuk barang-barang kebutuhan pokok, jasa dan
pelayanan publik harus dapat menutupi kerugian yang dialami pelaku
ekonomi akibat perbuatan korupsi dan penyelewengan (Kurniadi Y. 2011;
Tanzi, Vito andHamid Davoodi,1997).
Dalam kaitan dengan kemiskinan, korupsi mengakibatkan rakyat
miskin semakin sulit mendapatkan akses ekonomi, finansial, kesehatan,
pendidikan, informasi, hukum dan lain-lain. Harga bahan pokok seperti
gula, minyak, susu dan sebagainya semakin tinggi saat ini. Kenaikan harga
ini mengakibatkan banyak bayi dan anak-anak harus menderita
kekurangan gizi dan tidak bisa menikmati pendidikan yang baik. Di sini
korupsi menyebabkan rakyat miskin semakin terpinggirkan (Kurniadi Y.
2011).
 Runtuhnya Otoritas Pemerintahan
Korupsi telah memasuki kehidupan yang paling dasar karena
berkaitan langsung dengan etika sosial (kejujuran dan kemanusiaan), sebab
siapa saja yang meneriakkan kejujuran justru akan diberi sanksi sosial,

27
politik, ekonomi dan finansial oleh otoritas pemerintah, aparat penguasa
bahkan oleh masyarakat itu sendiri. Kejujuran pada akhirnya harus
berhadapan dengan rasa takut akan penguasa dan kekuatan politik. Rasa
takut ini sebetulnya bertentangan dengan etika dan moralitas bangsa
(Kurniadi Y. 2011). Saat ini, kekuatan politik masih sangat dominan dan
dengan mudah melindungi anggotanya dengan segala cara walaupun
anggotanya jelas-jelas telah melakukan tindakan korupsi. Melindungi
seorang koruptor dengan kekuatan politik merupakan salah satu indikasi
besar tentang runtuhnya etika sosial dan politik di negeri ini. Banyak
pejabat negara, wakil rakyat atau petinggi partai politik terjerat korupsi.
Namun banyak di antara mereka terus dilindungi, tidak menunjukkan rasa
bersalah dan penyesalan atas perbuatan korupsi yang dilakukan.
Sebaliknya, mereka bertindak seolah-olah tidak ada masalah sama sekali.
Hal ini terjadi karena ada anggapan bahwa mereka akan terbebas dari
tuduhan korupsi atau dengan mudah memberikan upeti kepada penegak
hukum agar diri mereka terhindar dari jerat korupsi (Kurniadi Y. 2011;
Tanzi, Vito andHamid Davoodi, 1997).
 Menurunnya Daya Saing Bangsa
Korupsi menyebabkan menurunnya peringkat indeks daya saing
Indonesia di mata dunia. Pada bulan September 2016,World Economic
Forum(WEF) merilis berita bahwa indeks daya saing Indonesia turun dari
peringkat 37 ke 41. Peringkat indeks daya saing ini masih kalah dari
beberapa negara Asia lainnya seperti Jepang (8), Malaysia (25), Korea
Selatan (26), China (28), dan Thailand (34). Pemeringkatan Indeks Daya
Saing oleh World Economic Forumini memberikan sudut pandang yang
lebih mendalam tentang produktivitas dan kemakmuran masing-masing
negara (Angga Aliya, 2016; Muhamad Idris, 2016). Menanggapi peringkat
indeks daya saing Indonesia ini, Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro mensinyalir bahwa
penyebab utama turunnya daya saing Indonesia berakar pada masalah
klasik yaitu korupsi. Hal yang perlu dibenahi pada tempat pertama untuk
meningkatkan daya saing Indonesia di mata dunia ialah reformasi

28
birokrasi, terutama berkaitan dengan roda pemerintahan. Reformasi
birokrasi perlu dilakukan sebab berkaitan erat dengan kemampuan suatu
negara menciptakan kepercayaan, memperbaiki pelayanan, dan kepastian
usaha demi terciptanya indeks daya saing (Maikel Jefriando, 2016;
Muhamad Idris, 2016).

3.4 Upaya Melawan Korupsi

 Transparency International (2017) melaporkan bahwa mayoritas


masyarakat Indonesia berpendapat, sikap paling penting untuk melawan
korupsi adalah menolak membayar suap. Meskipun demikian, kebanyakan
masyarakat Indonesia merasa tidak berdaya memerangi korupsi karena
merasa takut terhadap konsekuensi yang akan mereka terima. Melihat
adanya kesulitan membasmi korupsi ini, maka Transparency
International(2017) dan Klitgaard Robert (2015) merekomendasikan
beberapa upaya yang bisa ditempuh untuk memerangi korupsi di
Indonesia.

Pertama, perlu adanya usaha serius untuk membenahi sistem


lembaga politik, khususnya DPR dan DPRD. Lembaga politik ini perlu
merumuskan strategi anti-korupsi demi memperkuat akuntabilitas politik
dan perbaikan kinerja lembaga legislatif itu sendiri.

Kedua, perumusan standar etik untuk mengurangi resiko korupsi


dalam partai politik. Tata kelola partai politik sebagai salah satu ujung
tombak demokrasi perlu dibenahi selaras dengan upaya pemberantasan
korupsi. Dengan demikian sistem integritas dan pola kaderisasi partai
politik yang nantinya memberikan sumbangsih pada lembaga legislatif
menjadi garda terdepan dalam menegakkan nilai-nilai integritas dan anti-
korupsi.

Ketiga, reformasi birokrasi yang digaungkan pemerintah


hendaknya diikuti dengan upaya perbaikan sistem rekrutmen pejabat
negara yang berintegritas tinggi dan bebas dari berbagai konflik
kepentingan. Dengan demikian, birokrasi menjadi lebih transparan,

29
partisipatif, akuntabel serta memiliki integritas tinggi dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat.

Keempat, pemerintah perlu lebih mensosialisasikan ruang-ruang


pengaduan kepada masyarakat dengan memastikan prosedur penanganan
pengaduan secara cepat, responsif, murah dan terjangkau oleh masyarakat.
Inisiatif seperti Saber Pungli perlu digalakkan, bukan hanya pada level
teknis (OTT), tetapi juga memberikan kesadaran kepada aparatur birokrasi
agar nilai-nilai anti-korupsi terinternalisasi dalam diri mereka. Pemerintah
juga perlu memper-tegas jaminan keamanan bagi para pelapor, saksi dan
korban korupsi, pungutan liar dan lain-lain (Tranparenacy International,
2017; Klitgaard Robert, 2015).

 Melakukan Audit Forensik


Audit forensik dalam menjalankan peranannya diharapkan mampu secara
efektif mencegah, mengetahui atau mengungkapkan, dan menyelesaikan
kasus korupsi melalui tindakan preventif, detektif, dan represif
(Wiratmaja, 2010). Strategi preventif dibuat dan dilaksanakan dengan
diarahkan pada hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya praktek korupsi
untuk dapat meminimalkan penyebab korupsi serta peluang untuk
melakukan korupsi. Pada strategi detektif dilaksanakan untuk kasus
korupsi yang telah terjadi, maka kasus tersebut dapat diketahui dalam
waktu singkat dan akurat untuk mencegah terjadinya kemungkinan
kerugian yang lebih besar. Strategi reprensif diarahkan untuk memberikan
sanksi hukum kepada pihak yang terlibat dalam praktik korupsi. Audit
forensik sangat dibutuhkan sehubungan dengan gerakan pemberantasan
korupsi. Audit forensik telah dipraktekkan di Indonesia setelah terjadinya
krisis keuangan tahun 1997. Jumansyah (2011) memaparkan kesuksesan
akuntansi forensik di Indonesia mulai terlihat saat munculnya kasus Bank
Bali, di mana Pricewaterhouse Coopers selaku akuntan yang melakukan
pemeriksaan pada Bank Bali berhasil menunjukkan sejumlah aliran dana
dari orang-orang tertentu. Tahun 2005 merupakan tahun kesuksesan bagi
akuntansi forensik dan sistem pengadilan. Kasus korupsi di Komisi

30
Pemilihan Umum berhasil dibongkar oleh BPK (Badan Pemeriksaan
Keuangan) yang bertindak selaku akuntan forensik dan berhasil
diselesaikan di pengadilan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
(Jumansyah, 2011)..

31
BAB IV

KESIMPULAN

Keuangan negara adalah kekayaan yang dikelola oleh pemerintah, yang


meliputi uang dan barang yang dimiliki; kertas berharga yang bernilai uang yang
dimiliki; hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang; dana-dana pihak
ketiga yang terkumpul atas dasar potensi yang dimiliki dan/atau yang dijamin baik
oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, badan-badan usaha, yayasan, maupun
institusi lainnya.

Dari beberapa definisi yang kami ambil, dapat disimpulkan bahwasannya


keuangan negara adalah seluruh hak dan kewajiban negara berupa uang yang
dikelola oleh pemerintahan serta memiliki tujuan untuk memenuhi segala
kebutuhan yang dibutuhkan negara dan diatur dalam bentuk Perundang Undangan
(regeling) maupun peraturan kebijakan (policy rule).

32
DAFTAR PUSTAKA
Anggara, S. (2016). Administrasi keuangan negara. Bandung; CV PUSTAKA SETIA

Amtiran Y. Paulina, Molidya Aldarine. "Pengelolaan Keuangan Negara." Journal Of


Management, Vol 12, No. 2 (2020): hal 203-2014

Attamimi, A. H. (1981). Pengertian Keuangan Negara. Jurnal Hukum & Pembanguna,


11(3), 231-239.

Bahri, S. (2015). Korupsi dalam kajian hukum islam. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 17(3),
603-614.

Lediastuti, V., & Subandijo, U. (2014). Audit Forensik Terhadap Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Negara (Studi Kasus Pada Badan Pemeriksa
Keuangan RI). Jurnal Magister Akuntansi Trisakti, 1(1), 89-108.

Nadifa, H. T. (2017). Analisis Dampak Kelebihan Setoran Pelimpahan Pajak Oleh Bank Ke
Rekening Kas Umum Negara (RKUN) Di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara
Surabaya II (Doctoral dissertation, STIE Perbanas Surabaya).

Prihatno. A "Keuangan Negara". e-journal.uajy.ac.id, http://e


journal:uajy.ac.id/4159/2/1MIH01373.pdf , diakses 17 Desember 2022

WIDIASTUTI, E. R. (2010). PEMASUKAN KEUANGAN NEGARA YANG BERASAL DARI


PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA DENDA TAHUN 2008 DI WILAYAH HUKUM
PENGADILAN NEGERI BANTUL (Doctoral dissertation, UAJY).

Widoyoko, J. D. (2018). Politik, patronase dan pengadaan: Studi kasus korupsi proyek
Wisma Atlet. Integritas: Jurnal Antikorupsi, 4(2), 1-23.

Wilhelmus, O. R. (2017). Korupsi: Teori, Faktor Penyebab, Dampak, Dan Penanganannya.


JPAK: Jurnal Pendidikan Agama Katolik, 17(9), 26-42.

33

Anda mungkin juga menyukai