Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

Disusun untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester (UAS)


Mata Kuliah Keuangan Negara

Dosen Pengampu :
Dr.Drs. Fadillah Amin, MAP., PhD

Disusun Oleh :
Yuni Novita Sari
195030100111019
Ilmu Administrasi Publik/ Kelas H

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
KOTA MALANG
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya kepada kita semua sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas ini dengan judul Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan
Daerah. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
Bapak Dr.Drs. Fadillah Amin, MAP., PhD pada mata kuliah Keuangan Negara.
Selain itu, makalah ini bertujuan pula guna menambah wawasan bagi penulis dan
pembaca.
Saya ucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.Drs. Fadillah Amin, MAP., PhD
selaku dosen mata kuliah Keuangan Negara karena telah memberikan tugas ini
sehingga saya dapat menambah wawasan beserta pengetahuan sesuai bidang studi
yang saya tekuni. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang
terlibat dan telah membantu saya dalam proses pembuatan makalah ini.
Saya sadar bahwa makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Maka dari itu, saya meminta maaf bila pada makalah ini masih banyak kekurangan.
Apabila terdapat kritik dan saran maka bisa disampaikan kepada saya guna
kesempurnaan makalah ini.

Pacitan, 25 November 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................ i
DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. iii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... iv
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................. 3
1.4 Manfaat ........................................................................................................... 3
1.5 Metode Penulisan ............................................................................................ 3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keuangan Pemerintah Pusat .......................................................................... 4
2.2. Keuangan Pemerintah Daerah........................................................................ 5
2.3. Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah ..................................... 8
III. PEMBAHASAN
3.1 Prinsip Kebijakan Perimbangan Keuangan...................................................11
3.2 Pendanaan Pemerintah Daerah .....................................................................13
3.2.1 Pendapatan Asli Daerah ..................................................................13
3.2.2 Dana Perimbangan ..........................................................................16
3.3 Pengelolaan Keuangan dalam Rangka Desentralisasi ..................................21
3.4 Dana Dekosentrasi .......................................................................................25
3.2 Dana Tugas Pembantuan ..............................................................................26
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan ..................................................................................................27
4.2. Saran ............................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................29

ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Pola Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah ...........................10

iii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Perkembangan Komposisi Alokasi Dana TKDD pada APBN Tahun 2016-
2020................................................................................................................23
Tabel 2. Alokasi TKDD Tahun 2022 ............................................................................23
Tabel 3. Karakteristik Kegiatan Dana Dekosentrasi .....................................................25
Tabel 4. Karakteristik Kegiatan Dana Tugas Pembantuan ...........................................26

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Berdasarkan amanat Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah
provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. Masing-masing
provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan sendiri. Pemerintah
Nasional atau Pemerintah Pusat dalam konteks negara kesatuan, dibentuk terlebih
dahulu sebelum pembentukan Pemerintah Daerah. Dengan demikian, urusan
pemerintahan akan diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, provinsi dan
kabupaten/kota yang masing-masing pemerintahan mempunyai urusan sendiri
namun tanggungjawab akhir dari urusan tersebut tetap ada di tangan Pemerintah
Pusat. Pemerintahan Daerah provinsi, kabupaten dan kota berhak mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan Tugas
Pembantuan.
Urusan pemerintahan yang menjadi tanggungjawab Daerah dilaksanakan
berdasarkan asas otonomi sedangkan urusan pemerintahan yang bukan
merupakan tanggungjawab Pemerintah Daerah dilaksanakan berdasarkan asas
Tugas Pembantuan. Pembagian Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi
provinsi, kabupaten dan kota dan pembagian urusan pemerintahan antar
pemerintahan tersebut menimbulkan adanya hubungan wewenang dan keuangan.
Hubungan-hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki
empat dimensi penting untuk dicermati, yang meliputi hubungan kewenangan,
kelembagaan, keuangan, dan pengawasan. Pasal 18A ayat (2) UndangUndang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan agar hubungan
keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antara Pemerintah Pusat dan Daerah diatur dan dilaksanakan secara
adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang. Dengan demikian, Pasal ini
merupakan landasan filosofis dan landasan konstitusional pembentukan Undang-

1
Undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan
Daerah.
Hubungan keuangan menjadi fokus utama dalam makalah ini, mengingat
eksistensi keuangan demikian vital bagi suatu negara maka segala daya upaya
akan dilakukan oleh pemerintah untuk menciptakan dan memanfaatkan segenap
sumber keuangan yang ada. Awal tahun 1980-an, muncul pemikiran tentang
perlunya undang-undang yang mengatur tentang hubungan keuangan Pusat dan
daerah (HKPD). Namun demikian, regulasi formal yang pertama mengatur
hubungan ini baru bisa dikeluarkan bersamaan dengan adanya tuntutan reformasi
melalui UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah (PKPD). Pemikiran terhadap perlunya undang-undang yang mengatur
hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah timbul atas pengalaman selama
ini khususnya berkaitan dengan pengolaan dana yang berasal dari Pusat kepada
Daerah, terakhir berupa Subsidi (untuk belanja rutin daerah) dan Bantuan berupa
Inpres (untuk belanja pembangunan daerah) sering kurang jelas. Oleh karena itu,
lahirnya UU PKPD tidak bisa lepas kaitannya dengan upaya untuk mendukung
pelaksanaan otonomi daerah, efisiensi penggunaan keuangan negara, serta
prinsip-prinsip good governance seperti partisipasi, transparansi, dan
akuntabilitas.
Berdasarkan penjelasan di atas, makalah ini bertujuan untuk memberikan
pemahaman dasar terkait hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah
yang dilihat dari lima ruang lingkup yaitu prinsip perimbangan keuangan,
pendanaan pemerintah daerah, pengelolaan keuangan dalam rangka desentralisasi.
dana dekosentrasi dan dana tugas pembantuan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan di atas, maka rumusan
masalah dalam makalah ini yaitu:
1.2.1 Apa yang menjadi prinsip-prinsip perimbangan keuangan?
1.2.2 Apa saja yang menjadi sumber pendanaan pemerintah daerah?
1.2.3 Bagaimana pengelolaan keuangan dalam rangka desentralisasi?

2
1.2.4 Apakah yang dimaksud dengan dana dekosentrasi?
1.2.5 Apakah yang dimaksud dengan dana tugas pembantuan?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam makalah ini yaitu untuk :
1. Mengetahui prinsip perimbangan keuangan
2. Mengetahui darimana sumber pendanaan pemerintrah daerah
3. Memahami pengelolaan keuangan dalam rangka desentralsiasi
4. Mengetahui pengertian dan fungsi dana dekosentrasi
5. Mengetahui pengertian dan fungsi dana tugas pembantuan
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat yang diperoleh dari penulisan makalah ini yaitu:
1. Bagi penulis diharapkan makalah ini dapat digunakan sebagai sarana
untuk memberikan penjelasan mengenai hubungan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah.
2. Bagi pembaca diharapkan makalah ini dapat memberikan pengetahuan
dan pemahaman mengenai bagaimana hubungan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah.
1.5 Metode Penulisan
Penulisan ini menggunakan metode penulisan studi literatur atau studi
pustaka, dengan mencari referensi yang sesuai atau relevan dengan materi yang
dibahas. Referensi yang diperoleh dengan jalan penelitian studi literatur
dijadikan sebagai fondasi dasar dan alat utama bagi penulisan makalah. Referensi
berupa buku, jurnal yang sesuai dengan materi ini serta berita-berita yang
diterbitkan oleh media akurat dan terpercaya.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keuangan Pemerintah Pusat


Keuangan Negara (pusat) dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara diartikan sebagai semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang
yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut. Dijelaskan selanjutnya bahwa kekuasaan pengelolaan
keuangan negara (pusat) dipegang oleh Presiden selaku Kepala Pemerintahan
yang kemudian didelegasikan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal
dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan
merupakan pembantu Presiden dalam bidang keuangan, berperan sebagai Chief
Financial of Officer (CFO*) Pemerintah Republik Indonesia, Menteri/Pimpinan
Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang pada hakekatnya
merupakan Chief of Operational Officer (COO*) untuk suatu bidang tertentu
pemerintahan, dan Gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah
untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam
kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Prinsip ini perlu dilaksanakan
secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan
tanggung jawa dalam pengelolaan keuangan negara, guna terlaksananya
mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan
profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan sub bidang
pengelolaan fiscal. Wujud pengelolaan keuangan negara tercermin dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN disusun oleh
pemerintah dan dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan dari
DPD.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Struktur APBN terdiri dari pendapatan
negara dan hibah, belanja negara, keseimbangan primer, surplus/defisit, dan

4
pembiayaan. Sejak tahun anggaran 2000, Indonesia telah mengubah komposisi
APBN dari T-Account menjadi I-Account sesuai dengan standar statistik
keuangan pemerintah atau Government Finance Statistics (GFS). Perbedaan
antara T-Account dan I-Account terletak pada sistem pembayaran bunga dan
cicilan utang. Pada T-Account, pembayaran bunga dan cicilan utang dijadikan
satu dalam pengeluaran rutin. Sedangkan pada I-Account dipisah, yaitu
pembayaran bunga utang termasuk dalam belanja negara (Belanja Pemerintah
Pusat), sedangkan pembayaran utang/cicilan pokok utang termasuk dalam
pembiayaan anggaran.

Fungsi APBN
Berdasarkan Pasal 3 Ayat 4 UU No 17 Tahun 2003, berikut fungsi dari
pengelolaan APBN:
1. Fungsi Otorisasi: anggaran negara sebagai dasar pelaksanaan pendapatan dan
belanja setiap tahun.
2. Fungsi Perencanaan: anggaran negara menjadi pedoman bagi negara untuk
merencanakan kegiatan.
3. Fungsi Pengawasan: anggaran menjadi pedoman dalam menilai kegiatan
penyelenggaraan pemerintah sesuai yang ditetapkan.
4. Fungsi Alokasi: anggaran diarahkan untuk mengurangi pengangguran serta
meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.
5. Fungsi Distribusi: anggaran negara wajib memperhatikan keadilan dan
kepatutan.
6. Fungsi Stabilisasi: anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara serta
mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian negara.
2.2 Keuangan Pemerintah Daerah
Menurut UU Nomor UU Nomor 23 tahun 2014, Keuangan Daerah adalah
semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala
sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang
berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Menurut PP
Nomor 58 tahun 2005 Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah

5
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan
uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan
hak dan kewajiban daerah tersebut.
Pengelolaan dilaksanakan oleh pemegang kekuasaan pengelola keuangan
daerah. Kepala daerah selaku kepala pemerintah daerah adalah pemegang
kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam
kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan (CNN, 2021).
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
APBD merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah daerah di
Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Struktur APBD
terdiri atas:
1. Anggaran pendapatan
- Pendapatan Asli Daerah (PAD)
- Bagian dana perimbangan
- Lain-lain pendapatan yang sah
2. Anggaran belanja, yang digunakan untuk keperluan penyelenggaraan
tugas pemerintahan di daerah.
3. Pembiayaan, yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali
dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun
anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran
berikutnya. Peraturan Daerah. Tahun anggaran APBD meliputi masa
satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31
Desember.
Fungsi APBD :
1. Fungsi otorisasi bermakna bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk
merealisasi pendapatan, dan belanja pada tahun bersangkutan. Tanpa
dianggarkan dalam APBD sebuah kegiatan tidak memiliki kekuatan untuk
dilaksanakan.
2. Fungsi perencanaan bermakna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi
manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.

6
3. Fungsi pengawasan mengandung makna bahwa anggaran daerah menjadi
pedoman untuk menilai keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan
pemerintah daerah.
4. Fungsi alokasi mengandung makna bahwa anggaran daerah harus diarahkan
untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, dan
pemborosan sumberdaya, serta meningkatkan efisiensi, dan efektifitas
perekonomian daerah.
5. Fungsi distribusi memiliki makna bahwa kebijakan-kebijakan dalam
penganggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan, dan kepatutan.
6. Fungsi stabilitasi memiliki makna bahwa anggaran daerah menjadi alat untuk
memelihara, dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian
daerah.
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, khususnya pasal 30-
32 menjelaskan tentang bentuk pertanggungjawaban keuangan negara. Dalam
ketentuan tersebut, baik Presiden maupun Kepala Daerah (Gubernur/Bupati
/Walikota/) diwajibkan untuk menyampaikan pertanggungjawaban pelaksanaan
APBN/APBD kepada DPR/DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa
oleh BPK selambat-lambatnya 6 bulan setelah tahun anggaran berakhir (Bulan
Juni tahun berjalan). Laporan keuangan tersebut setidak-tidaknya berupa Laporan
Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas dan Catatan atas Laporan
Keuangan, yang mana penyajiannya berdasarkan Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP), dengan lampiran laporan keuangan perusahaan
negara/BUMN pada LKPP dan lampiran laporan keuangan perusahaan
daerah/BUMD pada LKPD.
Bentuk pertanggungjawaban keuangan negara dijelaskan secara rinci pada
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pelaporan Keuangan dan
Kinerja Instansi Pemerintah. Khususnya pada pasal 2, dinyatakan bahwa dalam
rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD, setiap Entitas Pelaporan
wajib menyusun dan menyajikan Laporan Keuangan dan Laporan Kinerja.

7
Ketentuan ini tentunya memberikan kejelasan atas hirarki penyusunan laporan
keuangan pemerintah dan keberadaan pihak-pihak yang bertanggung-jawab
didalamnya, serta menjelaskan pentingnya laporan kinerja sebagai tambahan
informasi dalam pertanggungjawaban keuangan negara.
Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang akuntabel dan
transparan, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 mengamanatkan
Pemerintah Daerah wajib menyampaikan pertanggungjawaban berupa:
1. Laporan Realisasi Anggaran
2. Neraca
3. Laporan Arus Kas, dan
4. Catatan atas Laporan Keuangan.
2.3 Hubungan Keuangan Antara Pemeritah Pusat dan Daerah
Berdasarkan amanat Pasal 18 UUD 1945, penyelenggaraan pemerintahan
daerah dilakukan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan, dimana
otonomi daerah dijalankan seluas-luasnya dalam kerangka Negara Kesatuan
untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerah kecuali urusan yang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Penyelenggaraan urusan pemerintah
daerah tersebut baik dalam bentuk asas otonomi daerah, maupun tugas
pembantuan harus diikuti dengan pembagian sumber daya termasuk keuangan.
Pembagian keuangan inilah yang membentuk hubungan keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah sejalan dengan hubungan kewenangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah.
Hubungan keuangan antara pusat dan daerah adalah menyangkut
pembagian tanggungjawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu antara
tingkattingkat pemerintahan dan pembagian sumber penerimaan untuk menutup
pengeluaran akibat kegiatan-kegiatan tersebut (Davey, 1998). Tujuan utamanya
adalah untuk mencapai perimbangan antara berbagai pembagian, di samping itu
antara potensi dan sumber daya masing-masing daerah dapat sesuai. Selanjutnya
Davey (1998) mengemukakan bahwa hubungan pemerintah pusat dan daerah
adalah menyangkut pembagian kekuasaan, tentang hak mengambil keputusan

8
mengenai anggaran pemerintah termasuk bagaimana memperoleh dan
membelanjakannya. Hubungan tersebut mencerminkan tujuan politik yang
mendasar karena perannya menentukan bobot kekuasaan yang dijalankan
Pemerintah Daerah dalam seluruh sistem pemerintahan dalam mana hubungan itu
harus serasi (harmonis) dengan peranan yang dimainkan Pemerintah Daerah yang
bersangkutan. Hubungan antara Pemerintah Pusat dan daerah meliputi hal-hal
yang menyangkut hubungan, kewenangan, pengawasan, keuangan, koordinasi
dam pembinaan.
Sementara itu Kavanagh (dalam Sarundajang, 2001) mengatakan ada dua
model utama dalam hubungan Pemerintah Pusat dan daerah, yakni agency model
dan partnership model. Dalam agency model, Pemerintah Daerah semata-mata
dianggap sebagai pelaksana oleh Pemerintah Pusat. Wewenang yang dimiliki
Pemerintah Daerah dalam model ini sangat terbatas. Dalam partnership model,
Pemerintah Daerah memiliki tingkat kebebasan untuk melakukan pemilihan di
tingkat daerahnya. Model ini tidak memandang Pemerintah Daerah sebagai
pelaksana semata-mata, melainkan dianggap sebagai mitra kerja Dengan
demikian, menurut Kavanagh, penerapan asas desentralisasi merupakan
pencerminan partnership model. Sejalan dengan hal tersebut maka Oates (1999)
mengatakan bahwa hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah ini
terlihat dengan adanya desentalisasi fiskal, dimana menurut Oates (1999) dasar
pelaksanaan desentralisasi fiskal yaitu:
1. Negara yang luas wilayahnya tidak mungkin melakukan sentralisasi
2. Sentralisasi menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan
3. Kebutuhan daerah lebih dikenal dan diketahui oleh orang yang tinggal
di dalamnya
4. Desentralisasi fiskal dan otonomi daerah lebih efisien dari manfaat dan
pembiayaan.
Adapun tujuan hubungan keuangan pusat dan daerah yaitu:
1. Pembagian kekuasaan yang rasional antarberbagai tingkatan
pemerintahan dalam memungut dan membelanjakan sumber dana

9
pemerintah, yakni suatu pembagian yang sesuai dengan pola umum
desentralisasi.
2. Bagian yang memadai dari sumbersumber dana secara keseluruhan
untuk membiayai pelaksanaan fungsifungsi, penyediaan pelayanan dan
pembangunan yang diselenggarakan Pemerintah Daerah.
3. Pembagian yang adil antardaerah atas pengeluaran pemerintah, atau
sekurang-kurangnya ada perkembangan ke arah itu.
4. Suatu upaya perpajakan (tax effort) dalam memungut pajak dan
distribusi oleh Pemerintah Daerah yang sesuai dengan pembagian
yang adil atas beban keseluruhan dari pengeluaran pemerintah dalam
masyarakat.

G
Gambar 1. Pola Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
Sumber : Dirjen Perimbangan Keuangan, Kemenkeu

10
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Prinsip Perimbangan Keuangan
Hubungan antara Pemerintah Pusat dan daerah tercantum dalam Undang-
Undang Dasar 1945 pasal 18 yang dibingkai dalam hubungan kewenangan antara
Pemerintah Pusat dan daerah yang kemudian direalisasikan dalam pembagian
urusan antara Pemerintah Pusat dan daerah. Implikasi dari hubungan ini terjadilah
hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah. Dengan demikian,
perimbangan keuangan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam
penyelenggaraan Pemerintah Pusat dan daerah dalam melaksanakan hubungan
keuangan sebagai konsekuensi karena ada pembagian tugas antara Pemerintah
Pusat dan daerah. Perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan sebuah
sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan,
efisien, dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi dengan
mempertimbangkan potensi, kondisi, kebutuhan daerah, serta besaran-besaran
pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Perimbangan keuangan merupakan sebuah pendanaan yang bersumber dari
pendapatan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang akan
dialokasikan kepada daerah (otonom) untuk mendanai kebutuhan daerah dalam
pelaksanaan desentralisasi. Landasan hukum pembahasan perimbangan keuangan
mengacu pada:
1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 sebagai perimbangan keuangan
pusat dan daerah.
2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.
3. Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
Pembentukan Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk mendukung
pendanaan atas penyerahan urusan kepada Pemerintahan Daerah yang diatur
dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pendanaan tersebut

11
menganut prinsip money follows function, yang mengandung makna bahwa
pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung
jawab masing-masing tingkat pemerintahan. Hubungan keuangan pusat dan
daerah dilakukan sejalan dengan prinsip perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagaimana dijelaskan dalam UU
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah pada pasal 2 dan 3 yakni:
Pasal 2:
1) Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah
merupakan subsistem Keuangan Negara sebagai konsekuensi pembagian
tugas antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
2) Pemberian sumber keuangan Negara kepada Pemerintahan Daerah dalam
rangka pelaksanaan Desentralisasi didasarkan atas penyerahan tugas oleh
Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dengan memperhatikan stabilitas dan
keseimbangan fiskal.
3) Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah
merupakan suatu sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan
penyelenggaraan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan.
Pasal 3:
1) PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk
mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi Daerah sebagai
perwujudan Desentralisasi.
2) Dana Perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara
Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dan antar-Pemerintah Daerah.
3) Pinjaman Daerah bertujuan memperoleh sumber pembiayaan dalam rangka
penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah.
4) Lain-lain Pendapatan bertujuan memberi peluang kepada Daerah untuk
memperoleh pendapatan selain pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3).

12
3.2 Pendanaan Pemerintah Daerah
Penyelenggaraan pemerintahan Pusat dan Daerah diatur akan berjalan
secara efektif dan efisien dengan tidak terjadi tumpang tindih dalam dalam
pembagian urusan pemerintahan dan mengantisipasi ketersediaan dana pada
penyelenggaraan pemerintahan ini, maka diperlukan pengaturan pendanaan
penyelenggaraan pemerintahan yang terwujud dalam UU Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah.
Penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dibiayai dari
APBD, sedangkan penyelenggaraan kewenangan pemerintahan yang menjadi
tanggung jawab pemerintah dibiayai dari APBN, baik kewenangan Pusat yang
didekonsentrasikan kepada Gubernur atau ditugaskan kepada Pemerintah Daerah
dan/atau Desa atau sebutan lainnya dalam rangka Tugas Pembantuan. Pendapatan
Daerah adalah semua penerimaan kas yang menjadi hak daerah dan diakui
sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam satu tahun anggaran dan tidak
perlu dibayar kembali oleh pemerintah. Sumber-sumber pendanaan pelaksanaan
Pemerintahan Daerah terdiri atas Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan,
Pinjaman Daerah, dan Lain-lain Pendapatan Yang Sah.
3.2.1 Pendapatan Asli Daerah
Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 1, Pendapatan Asli Daerah
(selanjutnya disebut PAD) merupakan pendapatan yang
diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Pendapatan asli daerah (PAD) bertujuan
memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai
pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai
perwujudan desentralisasi. Pasal 157 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa kelompok PAD
dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu hasil pajak daerah,
retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan dan PAD lain-
lain yang syah.

13
1. Hasil Pajak Daerah
Merupakan pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
ditetapkan melalui peraturan daerah. Pungutan ini dikenakan
kepada semua objek seperti orang/badan dan benda bergerak/tidak
bergerak, seperti hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak
reklame, pajak parkir, dll. Menurut pasal 1 Ayat 1 Peraturan
Pemerintahan RI Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah,
yang dimaksud pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak adalah
iuran wajib yang dilakukan olej pribadi atau badan kepada daerah
tanpa imbalan iuran yang seimbang yang dapat dipaksakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah
dan pembangunan daerah.
a. Pajak Daerah Provinsi terdiri dari: Pajak Kendaraan Bermotor,
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor, Pajak Pengambilan Dan Pemanfaatan Air
Bawah Tanah dan Permukaan Air.
b. Pajak Daerah Kabupaten terdiri dari: Pajak Hotel Dan Restoran,
Pajak Reklame, Pajak Hiburan, Pajak Penerangan Jalan, Pajak
Penggalian dan Pengolahan Bahan Galian Golongan, serta
Pajak Parkir.
2. Hasil Retribusi Daerah
Menurut UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 1 yang dimaksud
retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas
jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau
diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang
pribadi atau badan. Retribusi Daerah terdiri dari :
a. Retribusi Jasa Umum, terdiri dari: Retribusi Pelayanan
Kesehatan, Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan,

14
Retribusi Pelayanan Pasar, Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi
Jalan Umum.
b. Retribusi Jasa Usaha, terdiri dari: Retribusi Pemakaian
Kekayaan Daerah, Retribusi Tempat Pelelangan, Retribusi
Terminal, dan Retribusi Tempat Khusus Parkir.
c. Retribusi Perizinan Tertentu, terdiri dari: Retribusi Izin
Mendirikan Bangunan, Retribusi Izin Tempat Penjualan
Minuman Beralkohol, Retribusi Izin Gangguan dan Retribusi
Izin Trayek.
3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan
Merupakan penerimaan daerah yang berasal dari pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan, mencakup bagian laba atas
penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD, bagian
laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik negara/BUMN,
bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta
atau kelompok usaha masyarakat.
4. Lain-lain PAD yang sah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang
diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Proporsi
Pendapatan Asli Daerah maksimum hanya sebesar 10% dari total
Pendapatan Daerah, kontribusi terhadap pengalokasian anggaran
cukuo besar, terutama bila dikaitkan 8 dengan kepentingan politis.
Jenis lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah meliputi:
a. Hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan.
b. Hasil pemanfaatan atau pendayagunaan kekayaan daerah yang
tidak dipisahkan.
c. Jasa giro.
d. Bunga deposito.
e. Penerimaan atas tuntutan ganti rugi.

15
f. Penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai
akibat dari penjualan dan/atau pengandaan barang dan/atau jasa
oleh daerah serta keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing.
g. Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan.
h. Pendapatan denda pajak.
i. Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan.
j. Pendapatan dari pengembalian.
k. Fasilitas sosial dan fasilitas umum.
l. Pendapatan dan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan.
Pada dasarnya upaya Pemerintah Daerah dalam mengoptimalkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah dilakukan dengan tiga cara yaitu:
1. Intensifikasi, merupakan suatu upaya mengoptimalkan PAD
dengan cara meningkatkan dari yang sudah ada (diintesifkan).
Diintensifkan dalam arti operasional pemungutannya. Pengawasan
(untuk melihat kebocoran), tertib administrasi dan mengupayakan
Wajib Pajak yang belum kena pajak supaya dapat dikenakan pajak.
2. Ekstensifikasi, yaitu mengoptimalkan PAD dengan cara
mengembangkan subjek dan objek pajak.
3. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat, yaitu merupakan
unsur yang penting mengingat bahwa paradigma yang berkembang
dalam masyarakat saat ini adalah pembayaran pajak dan retribusi
ini sudah merupakan hak dan kewajiban masyarakat terhadap
Negara, untuk itu perlu dikaji kembali pengertian wujud layanan
masyarakat yang bagaimana yang dapat memberikan kepuasan
kepada masyarakat.
3.2.2 Dana Perimbangan
Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Dana
perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam

16
rangka pelaksanaan desentralisasi, yang terdiri atas dana bagi
hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Dana perimbangan
bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dan antar Pemerintah Daerah serta mendukung
pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dalam mencapai tujuan
pemberian otonomi kepada daerah, yaitu terutama peningkatan pelayanan
dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik.
Dana Perimbangan Pada Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah, disebutkan
bahwa dana perimbangan terdiri atas:
1. Dana Bagi Hasil
Dana bagi hasil atau dana bagian daerah merupakan sumber
penerimaan yang ada pada dasarnya memperhatikan potensi
daerah penghasil. Dana bagi hasil atau dana bagian daerah terdiri
atas:
a. Bagian Daerah dari Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) Penerimaan negara dari pajak bumi dan bangunan
dibagi dengan imbalan 10% (sepuluh persen) untuk pemerintah
pusat 90% (sembilan puluh persen) untuk daerah.
b. Bagian Daerah dari Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan Penerimaan negara dari bea perolehan atas tanah
dan bangunan dibagi dengan imbalan 20% untuk pemerintah
pusat dan 80% untuk daerah, dengan rincian sebagai berikut: -
16% untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan
ke rekening kas daerah provinsi. - 64% untuk daerah
kabupaten/kota penghasil, dan disalurkan ke rekening kas
daerah kabupaten/kota.
c. Bagian Daerah dari Penerimaan Sumber Daya Alam
Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor kehutanan,
sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan dibagi

17
dengan imbangan 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk
daerah.
2. Dana Alokasi Umum
Dana alokasi umum (yang selanjutnya disebut DAU)
merupakan bagian dari dana perimbangan yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan
kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU adalah
alokasi (transfer) pusat kepada daerah otonom dalam bentuk block
grant. Artinya, penggunaan dari DAU ditetapkan sendiri oleh
daerah. Walaupun demikian, dalam kerangka dasar UU No.
22/1999 dan UU No. 25/1999, penggunaan DAU tersebut
diutamakan untuk membiayai pelayanan dasar kepada masyarakat
daerah. Dalam UU No. 22/1999, dituangkan bahwa terdapat 11
urusan wajib yang berupa pelayanan dasar kepada masyarakat di
daerah. Diharapkan bahwa penggunaan DAU akan diutamakan
untuk membiayai urusan wajib tersebut. Dalam UU No. 25/ 1999,
disebutkan pula tujuan dari alokasi DAU ini, yaitu menciptakan
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah. Oleh karena itu,
daerah yang kurang mampu dari segi pembiayaan urusannya akan
memperoleh alokasi DAU yang relatif besar.
Menurut Undang-undang No. 33 Tahun 2004, dana alokasi
umum berdasarkan presentase tertentu dari pendapatan dalam
negeri netto yang ditetapkan APBN. Dana alokasi umum untuk
suatu daerah ditetapkan berdasarkan kriteria tertentu yang
menekankan pada aspek pemerataan dan keadilan yang selaras
dengan menyelenggarakan urusan pemerintahan yang formula
dan perhitungan alokasi umum- nya ditetapkan sesuai dengan
Undang-Undang (pasal 161). Besaran DAU ditetapkan sekurang-
kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN) Netto yang

18
ditetapkan dalam APBN. Proporsi DAU untuk daerah provinsi
dan daerah kabupaten/kota ditetapkan sesuai dengan imbangan
kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota.
Formulai DAU diambil dari penjelasan dari Dirjen Jenderal
Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan adalah :
a. Formula DAU
Formula DAU menggunakan pendekatan celah fiscal (fiscal
gap) yaitu selisih diantara kebutuhan fiscal (fiscal needs)
dikurangi dengan kapasitas fiscal (fiscal capacity) daerah dan
alokasi dasar (AD) berupa jumlah gaji PNS daerah.

Rumus : DAU = AD + CF

Keterangan :
• AD : Gaji PNS Daerah. besaran alokasi dasar dihitung
berdasarkan realisasi gaji PNS daerah tahun sebelumnya (t-1)
yang meliputi gaji pokok dan tunjangan-tunjangan yang
melekat sesuai dengan peraturan penggajian PNS yang
berlaku.
• CF : Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal. untuk
mendapatkan alokasi berdasar celah fiscal suatu daerah
dihitung dengan mengalikan bobot celah fiscal daerah
bersangkutan (CF Daerah dibagi dengan total CF nasional)
dengan alokasi DAU CF nasional. Untuk CF suatu daerah
dihitung berdasarkan selisih antara KbF dengan KpF.
b. Variabel DAU
Komponen variable kebutuhan fiscal (fiscal needs) yang
digunakan untuk pendekatan perhitungan kebutuhan daerah
terdiri atas : jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Kemahalan Kontruksi

19
(IKK), dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per
kapita. Sedangkan komponen variable kapasitas fiscal (fiscal
capacity) yang merupakan sumber pendanaan daerah berasal
dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil
(DBH).
3. Dana Alokasi Khusus
Pengertian Dana Alokasi Khusus (selanjutnya disebut DAK) diatur
dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Keuangan Pusat dan Keuangan Daerah,
yang menyebutkan bahwa Dana Alokasi Khusus adalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah
tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang
merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK
dialokasikan dalam APBN untuk daerah tertentu dalam rangka pendanaan
desentralisasi untuk (1) membiayai kegiatan khusus yang ditentukan
Pemerintah Pusat atas dasar prioritas nasional dan (2) membiayai kegiatan
khusus yang diusulkan daerah tertentu. Kebutuhan khusus yang dapat
dibiayai oleh DAK adalah kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara
umum dengan menggunakan rumus DAU, dan kebutuhan yang merupakan
komitmen atau prioritas nasional.
Pelaksanaan DAK sendiri diarahkan pada kegiatan investasi
pembangunan, pengadaan, peningkatan, dan/atau perbaikan sarana dan
prasarana fisik pelayanan masyarakat dengan umur ekonomis yang
panjang, termasuk pengadaan sarana fisik penunjang, dan tidak termasuk
penyertaan modal. DAK dialokasikan untuk membantu Daerah mendanai
kebutuhan fisik sarana dan prasarana dasar yang merupakan prioritas
nasional di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur (jalan, irigasi, dan
air bersih), kelautan dan perikanan, pertanian, prasarana pemerintahan
daerah, serta lingkungan hidup.
Pasal 54 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 mengatur

20
bahwa perhitungan alokasi DAK dilakukan melalui 2 tahap, yaitu:
a. Penentuan daerah tertentu yang menerima DAK. Adapun
penentuan daerah tertentu tersebut harus memenuhi kriteria umum,
kriteria khusus, dan kriteria teknis; dan
b. Penentuan besaran aloksi DAK masing-masing daerah. Ditentukan
dengan perhitungan indeks berdasarkan kriteria umum, kriteria
khusus, dan kriteria teknis.
3.3 Pengelolaam Keuangan dalam Rangka Desentralisasi
Menurut amanat Pasal 1 Angka 7 UU No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah (pusat) kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sejalan dengan desentralisasi tersebut, aspek keuangan juga ikut
terdesentralisasi. Implikasinya, daerah dituntut untuk dapat membiayai sendiri
biaya pembangunanya (Prawoto, 2015). Untuk itu, salah satu wujud pelaksanaan
otonomi daerah adalah otonomi dalam aspek pengelolaan keuangan daerah yang
disebut otonomi fiskal atau desentralisasi fiskal.
Secara konseptual, desentralisasi fiskal didefinisikan sebagai suatu proses
distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada
pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas
pemerintahan yang dilimpahkan (Khusaini, 2006), Pemberian tugas dan
kewenangan kepada pemerintah daerah (expenditure assignment) akan diiringi
oleh pembagian kewenangan kepada daerah dalam hal penerimaan/pendanaan
(revenue assignment). Dengan kata lain, penyerahan atau pelimpahan wewenang
pemerintah akan membawa konsekuensi anggaran yang diperlukan untuk
melaksanakan kewenangan tersebut. Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan
pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa sehingga kebutuhan
pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber-
sumber penerimaan yang ada (Rahmawati, 2008). Prosesnya dapat dilakukan
melalui mekanisme dana perimbangan, yaitu pembagian penerimaan antar

21
tingkatan pemerintahan guna menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dalam
kerangka desentralisasi.
Prinsip dari desentralisasi fiskal adalah money follow functions, dimana
pemerintah daerah mendapat kewenangan dalam melaksanakan fungsi pelayanan
dan pembangunan di daerahnya. Pemerintah Pusat memberikan dukungan dengan
menyerahkan sumber-sumber penerimaan kepada daerah untuk dikelola secara
optimal agar mampu membiayai daerahnya dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya. Pemerintah Pusat juga memberikan dana transfer yang dapat dikelola
daerah dalam pembiayaan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Tujuannya
adalah untuk mengatasi ketimpangan fiskal dengan Pemerintah Pusat dan antar
Pemerintah Daerah lainnya. Untuk meminimilisir ketergantungan Pemerintah
Daerah kepada Pemerintah Pusat melalui dana transfer tersebut, daerah dituntut
dapat mengoptimalkan kemampuannya dalam menggali potensi pendapatannya.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia dimulai pada era Reformasi
sejak 1 Januari 2001. Proses tersebut diawali dengan pengesahan Undang-undang
(UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta UU Nomor 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
(PKPD). Hingga kini, kedua regulasi tersebut sudah mengalami beberapa kali
revisi hingga yang terakhir UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah serta UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Salah satu upaya upaya penguatan desentralisasi fiscal yang dilakukan
pemerintah adalah dengan dialokasikannya Transfer ke Daerah dan Dana Desa
(TKDD) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). TKDD
ransfer ke Daerah adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi yang terdiri dari Dana Perimbangan dan Dana
Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Dana Transfer ke Daerah dialokasikan untuk
mengurangi ketimpangan sumber pendanaan antara pusat dan daerah, mengurangi
kesenjangan pendanaan urusan pemerintahan antar daerah, mengurangi

22
kesenjangan layanan publik antar daerah, mendanai pelaksanaan otonomi khusus
dan keistimewaan daerah. Transfer ke Daerah ditetapkan dalam APBN, Peraturan
Presiden, dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang selanjutnya dituangkan
dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang ditandatangani oleh
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan selaku Kuasa Pengguna Anggaran atas
nama Menteri Keuangan selaku Pengguna Anggaran untuk tiap jenis Transfer ke
Daerah dengan dilampiri rincian alokasi per daerah. Berikut perkembangan
alokasi dana TKDD dalam postur APBN setiap tahunnya :

Tabel 1 : Perkembangan Komposisi Alokasi Dana TKDD pada APBN


Tahun 2016-2020
Sumber : Kemenkeu, diolah.

Dilansir dari website Kementerian Keuangan (2021), Rapat Paripurna DPR


RI tanggal 30 September 2021 telah menyetujui Rancangan Undang-undang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2022 untuk disahkan
menjadi Undang-Undang. Salah satu bagian penting dari belanja negara tersebut
adalah Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD), yang jumlahnya mencapai
Rp769,61 triliun, terdiri atas transfer ke daerah sebesar Rp701,61 triliun dan dana
desa sebesar Rp68,00 triliun yang diarahkan untuk penguatan kualitas
desentralisasi fiskal untuk pemulihan ekonomi dan peningkatan kualitas
pelaksanaan guna mendukung kinerja daerah. Rincian TKDD tersebut meliputi:
JENIS TKDD ALOKASI
Dana Bagi Hasil (DBH) Rp105,26 triliun

23
Dana Alokasi Umum (DAU) Rp378,00 triliun
Dana Alokasi Khusus Fisik Rp60,87 triliun,
Dana Alokasi Khusus Non-Fisik Rp128,72 triliun
Dana Otsus, Dana Tambahan Infrastruktur, dan Dais DIY Rp21,76 triliun
DID Rp7,00 triliun
Dana Desa Rp68,00 triliun
TOTAL Rp769,61 triliun
Tabel 2. Alokasi TKDD Tahun 2022
Sumber : Kemenkeu (2021), diolah.
Dengan jumlah sebesar itu artinya Pemerintah telah menaruh kepercayaan
tinggi bagi daerah untuk secara mandiri menjalankan kewenangan yang
dilimpahkan kepadanya di semua bidang kecuali kewenangan dalam bidang
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal serta
keagamaan. Namun kondisi yang diharapkan ternyata berbanding terbalik dengan
kenyataan. Keadaan tersebut membuat daerah ketergantungan terhadap dana
transfer dari pemerintah pusat. Menurut Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani
Indrawati, ketergantungan daerah terhadap TKDD masih sangat tinggi. Secara
rata-rata nasional, ketergantungan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah
(APBD) terhadap TKDD sebesar 80,1%. Sementara, kontribusi Pendapatan Asli
Daerah (PAD) hanya sekitar 12,87%.
Menurut Halim (2007) ada beberapa hal yang bisa digunakan sebagai
pedoman dalam pelaksanaan desentralisasi fiscal agar berjalan optimal,
diantaranya :
1. Adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan
dan enforcement.
2. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam
melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah.
3. Stabilitas politik yang kondusif.
4. Proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, dimana
pengambilan keputusan tentang manfaat dan biaya harus transparan
serta pihak-pihak yang terkait memiliki kesempatan memengaruhi

24
keputusankeputusan tersebut.
5. Desain kebijakan keputusan yang diambil sepenuhnya merupakan
tanggung jawab masyarakat setempat dengan dukungan institusi dan
kapasitas manajerial yang diinginkan sesuai dengan permintaan
pemerintah, dan
6. Kualitas sumberdaya manusia yang kapabel dalam menggantikan
peran sebelumnya yang merupakan peran pemerintah pusat.
3.4 Dana Dekosentrasi
Pengertian Dekonsentrasi menurut Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun
2008 yaitu pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada gubernur sebagai
wakil Pemerintah dan/atau kepada Instansi Vertikal di wilayah tertentu. Menurut
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yang dimaksud dengan
dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah Pusat,
instansi vertikal di wilayah tertentu dan/atau kepada gubernur dan bupati/walikota
sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum. Dari pelimpahan
kekuasaan tersebut, maka timbulah konsekuensi yang disebut dengan dana
dekonsentrasi.
Dana Dekonsentrasi merupakan dana yang berasal dari APBN yang
dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah yang mencakup semua
penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak
termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah. Di dalam
UU Nomor 33 Tahun 2014 disebutkan bahwa kegiatan dekonsentrasi yang
dibiayai adalah bersifat nonfisik dan mendukung penguatan pemberdayaan
Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat. Karakteristik kegiatan yang dibiayai
dana dekosentrasi tersebut adalah sebagai berikut :
Jenis Kegiatan Akun Keterangan
Kegiatan Utama (Non Fisik): Tidak
Belanja Barang sesuai
Sinkronisasi, Evaluasi, Pengendalian, menambah
peruntukannya
Supervisi, Penyuluhan, Dsb. aset

25
Kegiatan Pendukung/Penunjang: Tidak
Belanja Barang Penunjang
Pengadaan Barang/Jasa, penunjang menambah
Kegiatan Dekonsentrasi
lainnya aset
Tabel 3. Karakteristik Kegiatan Dana Dekosentrasi
3.5 Dana Tugas Pembantuan
Tugas Pembantuan didefinisikan dalam pasal 1 butir 9 UU Nomor 32 Tahun
2004 sebagai Penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan/atau Desa, dari
Pemerintah Propinsi kepada Kabupaten/Kota dan/atau Desa, serta dari Pemerintah
Kabupaten/ Kota kepada Desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Dilanjutkan
bahwa dana tugas pembantuan berarti dana yang berasal dari APBN yang
dilaksanakan oleh Daerah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran
dalam rangka Tugas Pembantuan. Pendanaan dalam rangka tugas pembantuan
dilaksanakan setelah adanya penugasan pemerintah melalui kementerian
negara/lembaga kepada kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota) atas beban
APBN dan dipergunakan untuk kegiatan yang bersifat fisik.
Karakteristik kegiatan yang didanai tugas pembantuan adalah sebagai berikut:
Jenis Kegiatan Akun Keterangan
Kegiatan Utama
Fisik :
Belanja modal
Pengadaan tanah, bangunan, peralatan dan Menambah
1 sesuai
mesin, jalan, irigasi, dan jaringan, serta Aset
peruntukannya
berupa kegiatan yang bersifat fisik lainnya
Barang habis pakai : Tidak
Belanja barang
2 Obat-obatan, vaksin, pengadaan bibit dan menambah
fisik lainnya TP
pupuk yang diserahkan kepada pemda aset
Belanja barang Dapat
Kegiatan Pendukung / Penunjang :
punjang menambah
Pengadaan Barang/Jasa, penunjang lainnya
kegiatan TP aset tetap
Tabel 4. Karakteristik Kegiatan Dana Tugas Pembantuan

26
BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
1. Perimbangan keuangan merupakan sebuah pendanaan yang bersumber dari
pendapatan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang akan
dialokasikan kepada daerah (otonom) untuk mendanai kebutuhan daerah
dalam pelaksanaan desentralisasi. Prinsip-prinsip kebijakan perimbangan
keuangan ini telah dijelaskan dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 2 dan 3
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
2. Agar pendanaan penyelenggaraan pemerintahan terlaksana secara efisien dan
efektif serta untuk mencegah tumpang tindih ataupun tidak tersedianya
pendanaan pada suatu bidang pemerintahan, maka diatur pendanaan
penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui UU nomor 33 tahun 2004.
Sumber-sumber pendanaan pelaksanaan Pemerintahan Daerah terdiri atas
Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan Lain-
lain Pendapatan Yang Sah.
3. Pengelolaan keuangan dalam rangka desentralisasi atau disebut dengan
desentralisasi fiscal merupakan penyerahan wewenang dan tanggung jawab
fiskal dari pemerintah pusat kepada tingkatan pemerintahan sebagai
konsekuensi adanya otonomi daerah berdasarkan konsep money follow
functions. Di Indonesia, salah satu upaya penguatan desentralisasi fiscal yang
dilakukan pemerintah adalah dengan dialokasikannya Transfer ke Daerah
dan Dana Desa (TKDD) dalam postur Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN).
4. Dana dekonsentrasi adalah dana yang dilaksanakan oleh gubernur yang
mencakup semua penerimaan dan pengeluaran yang berasal dari APBN
sebagai konsekuensi pelimpahan wewenang pemerintah pusat kepada
gubernur. Dana dekonsentrasi digunakan untuk kegiatan dekonsentrasi
seperti sinkronisasi dan koordinasi perencanaan, fasilitasi, bimbingan teknis,

27
pelatihan, penyuluhan, supervisi, penelitian dan survei, pembinaan dan
pengawasan, serta pengendalian.
5. Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang
dilaksanakan oleh daerah dan desa yang mencakup semua penerimaan dan
pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan. Pendanaan
dalam rangka tugas pembantuan dilaksanakan setelah adanya penugasan
pemerintah 17 melalui kementerian negara/lembaga kepada kepala daerah
(gubernur/bupati/wali kota) atas beban APBN dan dipergunakan untuk
kegiatan yang bersifat fisik.
4.2 SARAN
Terkait permasalahan yang ditimbulkan dari adanya hubungan keuangan
berupa ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat, maka
berdasarkan hal tersebut penulis memberikan masukan antara lain :
1. Menetapkan batas batas atas belanja pegawai dan batas minimum belanja
modal pada pemeritntah daerah
2. Menerapkan sistem reward and punishment agar atas setiap tindakan yang
dilakukan oleh pemerintah daerah terdapat konsekuensi yang harus
ditanggung, baik itu hadiah maupun hukuman.
3. Mensiasati pelaksanaan transfer DAU dengan memasukkan aspek transisi
demografi pada aspek penduduk.

28
DAFTAR PUSTAKA

CNN. 2021. Mengenal Fungsi APBN dan APBD beserta Tujuannya.


https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210226131620-104-
611272/mengenal-fungsi-apbn-dan-apbd-beserta-tujuannya diakses pada 27
November 2021.
Davey, K.J. 1998. Pembiayaan Pemerintah Daerah Terjemahan. Jakarta : UI-Press.
Halim, A. 2007. Pengelolaan Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Oates, Wallace E. 1999. An Essay on Fiscal Federalism. Journal of Economic
Literature. Vol. 37, No.3.
Sarundajang. 2001. Arus Balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja
Instansi Pemerintah.
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Pengelolaan Keuangan Daerah
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah (PKPD)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

29

Anda mungkin juga menyukai