Dosen Pembimbing: Dr. Ir. H. Suparto, S.H., S.IP., MM., M.Si., M.H.
Oleh:
TRIANISA HANUM
NPM: 221010126
Sebuah Negara baru bisa dikatakan sebagai negara apabila memenuhi 3 unsur dalam
sebuah Negara yaitu wilayah, rakyat, dan pemerintahan yang berdaulat. Adapun
pemerintahan itu mempunyai peran penting dalam sebuah Negara. Tanpa pemerintah dan
adanya pemerintahan maka roda kehidupan, dasar aturan, dan apapun yang ada dalam
sebuah Negara yang dibutuhkan dalam terselangaranya proses kenegaraan. Maka disini
penulis akan memaparkan kajian penulis mengenai tentang pemerintahan dan teori sendi-
sendi pemerintahan.
Karya ilmiah ini dibuat dengan bertujuan untuk memaparkan, mengenal lebih dalam,
meningkatkan pemahaman tentang materi teori sendi-sendi pemerintahan.
segala sesuatu bagi warganya, termasuk kekuasaan dalam menentukan tujuan negara dan cara-
cara mencapai tujuan tersebut. Selanjutnya dalam melaksanakan tugas pemerintahan,
kekuasaannya ada yang bersifat:
A. Terhimpun, dalam arti terkumpul dalam bentuk ditumpuk yaitu kekuasaan berada di tangan
seorang/beberapa orang yang terbatas jumlahnya. Bentuk yang ke dua adalah dipusatkan, artinya
kekuasaan berada pada sejumlah orang yang secara bersama-sama merupakan pusat kekuasaan;
B. Tersebar, artinya kekuasaan pemerintahan dibagi berdasar dua cara pembagian yaitu secara
horizontal dan vertikal. Secara horizontal tugas pemerintahan dibagi atas sifat tugas yang berbeda
jenisnya dan menimbulkan lembaga-lembaga negara. Sedangkan secara vertikal akan
membentuk garis hubung antara pemerintahan pusat dan daerah.29
Dalam melaksanakan tugas pemerintahan dengan sifat kekuasaan yang tersebar, secara umum
kita mengenal dua macam sendi pemerintahan yaitu sendi keahlian dan sendi wilayah.
a. Sendi Keahlian
pemerintahan pusat yang berada di ibukota negara. Sedangkan pemerintahan daerah menjadi
kekurangan tenaga-tenaga ahli yang baik dalam melaksanakan tugas pemerintahan daerah.
Selain itu dalam melaksanakan tugasnya kadang timbul masalah/problem antar Kementerian
karena antara beberapa Kementerian ternyata mempunyai bidang tugas yang saling berkaitan.
Secara umum masalah ini kemudian diselesaikan dengan cara membentuk suatu kerja sama atau
Panitia antar Kementerian yang dalam teori kenegaraaan disebut dengan istilah Government by
Committee. Misalnya untuk menyelesaikan masalah penyelundupan di negara Indonesia, maka
dibentuk suatu kerja sama antara Kementerian Kehakiman, Kementerian Keuangan (Bea Cukai)
dan Lembaga Kepolisian.
Selanjutnya pelaksanaan tugas pemerintahan berdasar sendi keahlian juga dapat dibagi secara
vertikal. Dalam hal ini pemerintah pusat membagi tugasnya ke daerah-daerah, sehingga
menimbulkan perwakilan-perwakilan pusat di daerah yang kedudukannya bertingkat-tingkat
dengan berdasar pada prinsip keahlian. Akan tetapi dalam perkembangannya karena wilayah
negara dalam zaman modern sudah amat luas, maka pemerintah pusat tidak lagi mempunyai
kemampuan untuk melaksanakan tugas pemerintahan secara baik dan efesien yang meliputi
seluruh wilayah negara. Oleh karena itu pemerintah pusat dalam melaksanakan tugas
pemerintahan tidak hanya berdasar pada sendi keahlian saja tetapi juga menggunakan dasar sendi
wilayah.
b. Sendi Wilayah.
Dengan dekonsentrasi, wilayah negara dibagi dalam beberapa daerah besar dan kecil dan masing-
masing daerah mempunyai wakil-wakil dari pemerintah pusat.
Para wakil tersebut mempunyai kewenangan atas nama pemerintah pusat dalam batas-batas
tertentu.30
Amrah Muslim, S.H., menyatakan dekonsentrasi adalah penyerahan sebagian dari kekuasaan
pemerintah pusat pada alat-alat pemerintah pusat yang ada di daerah.31 Para wakil atau alat
pemerintah pusat di daerah mempunyai kewenangan untuk bertindak dan mengambil keputusan
atas inisiatif sendiri yang berkaitan dengan wilayahnya masing-masing. Meskipun demikian
mereka tetap merupakan unsur pelaksana di daerah yang mempunyai hubungan hirarkhi antara
atasan dan bawahan dengan pemerintah pusat. Para unsur pelaksana ini melaksanakan tugas
pemerintahan pusat di daerah menurut kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh pemerintah
pusat. Dengan demikian tanggung jawab tetap berada pada pemerintah pusat baik menyangkut
masalah pembiayaan, perencanaan serta cara-cara pelaksanaannya. Sebagai unsur pelaksana di
daerah khususnya yang menyangkut instansi vertikal, mereka dikoordinasikan pada Kepala
Daerah setempat dalam kedudukannya sebagai perangkat pusat. Akan tetapi dalam masalah
kebijakan yang berkaitan dengan pelaksanaan urusan dekonsentrasi tetap terikat pada
kebijaksanaan yang telah digariskan oleh pemerintah pusat. Mereka yang bertugas di daerah atas
dasar dekonsentrasi merupakan pegawai pemerintah pusat yang ditetapkan di daerah, sedangkan
wilayahnya disebut wilayah administrasi.
Desentralisasi bearti wilayah negara dibagi dalam beberapa daerah besar dan kecil, dan masing-
masing daerah mempunyai beberapa kewenangan tertentu semacam kewenangan pemerintah
pusat dalam batas-batas tertentu yang ditetapkan berdasar undang-undang. Menurut Prof. Dr.
Prajudi, S.H., masalah desentralisasi menunjuk kepada proses pendelegasian tanggung jawab
terhadap sebagian dari administrasi negara kepada badan-badan otonom (bukan kepada jabatan)
dan tidak mengenai kewenangan dari sesuatu urusan tertentu. Sebagai perbandingan dapat
dikemukakan pendapat dari Amrah Muslim, S.H., yang merumuskan bahwa desentralisasi adalah
pembagian kekuasaan pada badan-badan dan golongan dalam masyarakat untuk mengurusi
rumah tangganya
sendiri. Pendapat lain menyatakan bahwa hubungan pusat dan daerah berdasar asas desentralisasi
merupakan pelimpahan sebagian kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
yang dipilih oleh rakyat dalam daerah yang bersangkutan, untuk secara bertingkat dengan alat
perlengkapan sendiri mengurus kepentingan rumah tangga sendiri atas inisiatif dan beban biaya
sendiri sejauh tidak menyimpang dari kebijaksanaan pemerintah pusat.
Berbagai pendapat mengenai arti desentralisasi tersebut di atas merupakan rumusan tentang
pengertian desentralisasi dalam arti politis. Secara teoritis kita mengenal pula beberapa arti
desentralisasi, yaitu:
2) Desentralisasi kebudayaan, pemberian kesempatan atau hak kepada golongan minoritas dalam
masyarakat untuk mengatur sendiri kepentingannya dalam bidang kebudayaan. Umumnya
menyangkut bidang pendidikan dan agama 3)
Desentralisasi teknis, adalah pelimpahan hak kepada suatu badan yang terdiri
dari para ahli untuk mengurus suatu tugas tertentu yang bersifat teknis. Badan tersebut umumnya
berbetuk panitia yang diberi hak penuh untuk menyelesaikan tugas yang bersifat teknis tersebut;
4) Desentralisasi kolaboratif, merupakan pemberian hak kepada pihak swasta untuk turut serta
melaksanakan tugas pemerintahan bagi kepentingan umum/rakyat. Pada umumnya mereka
mempunyai kedudukan ekonomis yang kuat, dan duduk dalam badan-badan pemerintah sebagai
suatu kehormatan tanpa menerima gaji.
Pelimpahan tugas pemerintahan pusat pada daerah berdasar asas desentralisasi selain
menimbulkan hak otonomi juga tugas medebewind kepada pemerintahan daerah. Otonomi
berasal dari kata auto yaitu sendiri, dan kata nomos yang bearti pemerintahan. Dengan demikian
otonomi adalah pemerintahan sendiri
atau menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri. Sedangkan Logemann berpendapat bahwa
kekuasaan bertindak merdeka (vrije beweging) yang diberikan kepada satuan-satuan kenegaraan
yang memerintah sendiri daerahnya, yakni kekuasaan yang berdasarkan inisiatif sendiri, yang
dapat dipergunakannya untuk menyelenggarakan kepentingan umum, maka pemerintahan yang
demikian disebut otonomi. Dengan cara ini diharapkan kebutuhan masyarakat setempat dapat
terpenuhi secara baik melalui pembagian tugas dan kewajiban antara pemerintahan pusat dan
daerah.
Menurut Maddick pengertian desentralisasi mengandung dua elemen yang saling bertalian.
Pertama pembentukan daerah otonomi dan kedua menyerahkan kekuasaan secara hukum untuk
menangani bidang-bidang pemerintahan tertentu, baik yang dirinci maupun yang dirumuskan
secara umum. Dalam rangka desentralisasi daerah otonomi berada di luar hirarkhi organisasi
pemerintahan pusat. Sedangkan dalam sendi dekonsentrasi unsur wilayah jabatan/wilayah
administrasi berada dalam hirarhi organisasi pemerintahan pusat. Melalui konsep otonomi maka
setiap pemerintahan daerah pada dasarnya mempunyai kebebasan untuk mengambil keputusan,
mempunyai insiatif sendiri terlepas dari kontrol pemerintahan pusat. Karena itu sendi
desentralisasi yang menimbulkan konsep otonomi daerah mempunyai kaitan yang erat dengan
demokrasi. Dengan mampu mengambil prakasa/insiatif sendiri mengenai kepentingan
masyarakat setempat berarti pemerintah daerah juga telah mampu menentukan serta
memperbaiki nasibnya sendiri. Para pakar administrasi publik kerap kali beranggapan bahwa
secara konseptual sendi desentralisasi merupakan instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu, seperti dikemukakan oleh James W. Feslert dan A.F. Leemans. Tujuan-tujuan yang
ingin dicapai adalah kesatuan bangsa, pemerintahan yang demokratis, kemandirian sebagai
kemandirian sebagai penjelmaan dari otonomi, efisiensi administrasi dan pembangunan sosial
ekonomi.
Dalam menyelenggarakan tugas pemeritahan daerah kita jumpai pula tugas yang disebut tugas
pembantuan (medebewind), artinya tugas dari pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan
pemerintah pusat atau pemerintah daerah di atasnya dengan kewajiban memberikan pertanggung
jawab kepada yang memberi tugas. Perbedannya dengan fungsi otonomi terletak dalam
wewenang membentuk peraturan daerah. Dalam hak otonomi pemerintah daerah berhak
membuat peraturan daerah berdasar garis kebijaksanaan sendiri. Sedangkan dalam tugas
pembantuan atau medebewind hak tersebut harus berdasar pada kebijaksanaan pemerintah pusat.
Dengan demikian secara keseluruhan pelaksanaan tugas pemerintahan berdasar asas sendi
wilayah, dapat dibedakan dalam tiga bentuk/sistem pemerintahan daerah, yaitu:
2) pemerintahan daerah yang bertugas melaksanakan peraturan dari pemerintah pusat atau
pemerintahan daerah setingkat di atasnya atas dasar asas pembantuan (medewind);
3) pemerintahan daerah berdasar atas asas dekonsentrasi yang menimbulkan wilayah jabatan atau
wilayah administrasi.
Ketentuan mengaenai masalah sendi-sendi pemerintahan di negara Indonesia dapat kita lihat
dalam pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal ini pada
dasarnya mengatur mengenai kehidupan negara dan secara tidak langsung juga mengatur
mengenai masalah kesejahteraan sosial. Wilayah Indonesia dalam hal ini akan dibagi dalam
daerah besar dan kecil yang bentuk serta susunan pemerintahannya harus memperhatikan dan
berdasar pada asas permusyawaratan dalam sistim pemerintahan negara. Untuk melaksanakan
Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dibentuk Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang
Pemerintahan Daerah. Hal-hal pokok yang dapat dicatat dari Undang-Undang Nomor 5/1974
adalah bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan maka tidak akan ada daerah dalam
wilayahnya ayang bersifat negara. Adapun yang dimaksud dengan daerah besar dan kecil adalah
Propinsi dan daerah-daerah yang lebih kecil lagi, yang akan merupakan daerah otonomi dan
daerah administrasi. Dalam daerah yang bersifat otonomi akan ada perwakilan daerah yang
pemerintahannya bersendi atas dasar musyawarah. Selain itu ada daerah-daerah yang secara
historis mempunyai susunan asli, dapat dianggap sebagai daerah istimewa dengan
memperhatikan hak asal usul daerah tersebut. Undang-Undang tentang pemerintah Daerah ini
juga menetapkan menganut prinsip bahwa bentuk serta sistim yang berlaku di pemerintahan
pusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga berlaku bagi pemerintahan di
daerah sesuai dengan proporsi dan keadaan lingkungan masing-masing. Undang-Undang Nomor
5/1974 kemudian disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979.
Sebenarnya para The founding fathers telah mencapai konsensus nasional mengenai bangunan
negara kita, yaitu negara kesatuan dan sendi desentralisasi. Dalam melaksanakan tugas
pemerintahan ada bidang-bidang pemerintahan yang diselenggarakan atas dasar sentralisasi oleh
pemerintah pusat dengan penghalusannya secara dekonsentrasi, dan ada pula pelaksanaan secara
desentralisasi. Dengan menganut sendi desentralisasi yang perwujudannya adalah otonomi
daerah diharapkan aspek kemajemukan masyarakat daerah dan unsur demokrasi akan terpenuhi
secara baik. Akan tetapi dalam pelaksanaannya Undang-Undang Pemerintah Daerah telah
menyelenggarakan sendi dekonsentrasi yang cenderung menganut model Integrated Field
Administration. Model ini menyeragamkan batas-batas wilayah kerja antara Instansi Vertikal dari
berbagai departemen dengan batas wilayah kerja dari Kepala Wilayah yang berada di daerah.
Kondisi ini menimbulkan kecenderungan berhimpitnya wilayah kerja dari Instansi Vertikal
dengan Wilayah Administrasi. Selain itu berhimpitnya pula wilayah dari daerah otonomi dalam
rangka desentralisasi dengan wilayah Administrasi. Dalam hal ini terdapat tuntutan untuk
mengemban peran ganda dari Kepala Daerah dan Kepala Wilayah selaku wakil dari pemerintah
pusat. Strategi yang ditempuh oleh pemerintah pusat ini dengan menyelenggarakan model
sentralisasi, dekonsentrasi dan desentralisasi melalui Undang-Undang Pemerintahan Daerah
ternyata menimbulkan kondisi kurang menguntungkan bagi pengembangan otonomi daerah di
wilayah negara Indonesia.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sendi-sendi dapat berarti metode, cara yang teratur (untuk melakukan sesuatu).Untuk
mencapai keteraturan, sistem menghendaki adanya bagian-bagian terorganisir yang
bulat sekaligus menyeluruh guna menjalankan sebuah fungsi. Dengan begitu, sendi-
sendi pemerintahan di artikan dengan dibahas mengenai cara apa yang dipakai penguasa
dalam menyelenggarakan pemerintahan. Hingga akhirnya sendi-sendi pemerintahan
tersebut di bagi dalam dua bentuk yaitu sendi keahlian dan sendi wilayah.
3.2 SARAN
Dengan mengucapkan puji syukur, akhirnya dapat menyelesaikan tugas ini dengan
lancar. Oleh karena itu tiada kata yang pantas diucapkan dengan ketulusan hati kecuali
hanya memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan dan pembahasan tugas ini
masih banyak kekurangan karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki. Penulis
mengharap kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini.
REFERENSI
[1] H. Abubakar Busro, S.H., Abu Daud Busroh, S.H., Hukum Tata Negara, cet.1, (Jakarta :
Ghalia Indonesia, 1985), hal. 145.
[2] Padmo Wahyono, S.H., Negara Republik Indonesia, cet. 2, (Jakarta : CV. Rajawali,
1986 ), hal. 76.
LAPORAN Analisis Pelaksanaan Wajib Daftar Perusahaan di Era Otonomi Daerah (Halaman 59-67)