Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Lembaga Perwakilan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah
Sistem Politik Indonesia

Disusun Oleh :
 Nama : Amar Muhaimin
 NPP : 27.0557
 Kelas / No. Absen : H.1 / 02

INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI


Jatinangor, Sumedang
2017

1 | Lembaga Perwakilan
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa karena atas
limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“Lembaga Perwakilan”. Pada makalah ini kami banyak mengambil dari berbagai sumber dan
refrensi dan pengarahan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini kami
mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaat
untuk semua pihak yang membaca.

Jatinangor, November 2017

Amar Muhaimin

2 | Lembaga Perwakilan
DAFTAR ISI

COVER ………………………………………………………………………………. 1
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………… 2
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………... 3
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………... 4
A. Latar Belakang …………………………………………………………………… 4
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………... 4
C. Tujuan…………………………………………………………………………….. 4
BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………………….... 5
A. Pengertian lembaga perwakilan…………………………………………………... 5
B. Sistem lembaga perwakilan yang dianut Indonesia ……………………………… 5
C. Lembaga perwakilan yang ada di Indonesia (DPR, DPD, MPR)………………... 5
BAB III PENUTUP………………………………………………………………………. 15
A. Kesimpulan……………………………………………………………………….. 15
B. Saran ……………………………………………………………………………... 16
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………….. 17

3 | Lembaga Perwakilan
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbicara mengenai lembaga negara berarti berbicara mengenai alat kelengkapan yang ada
dalam sebuah negara. Alat kelengkapan negara berdasarkan teori klasik hukum negara meliputi,
kekuasaan eksekutif, dalam hal ini bisa Presiden atau Perdana Menteri atau Raja; kekuasaan
legislatif, dalam hal ini bisa disebut parlemen atau dengan nama lain seperti Dewan Perwakilan
Rakyat; dan kekuasaan yudikatif seperti Mahkamah Agung atau supreme court. Setiap alat
kelengkapan negara tersebut bisa memiliki organ-organ lain untuk membantu melaksanakan
fungsinya.
Kekuasaan eksekutif, misalnya, dibantu oleh menteri-menteri yang biasanya memiliki
suatu depertemen tertentu. Meskipun demikian, dalam kenyataanya, tipe-tipe lembaga yang
diadopsi setiap negara berbeda-beda sesuai dengan perkembangan sejarah politik kenegaraan dan
juga sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam negara yang bersangkutan. Secara konseptual,
tujuan diadakan lembaga-lembaga negara atau alat kelengkapan negara adalah selain untuk
menjalankan fungsi negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual.
Secara praktis fungsi negara dan ideologis mewujudkan tujuan negara jangka panjang.
Dalam negara hukum yang demokratik, hubungan antara infra struktur
politik (Socio Political Sphere) selaku pemilik kedaulatan (Political Sovereignty) dengan
supra struktur politik (Governmental Political Sphere) sebagai pemegang atau pelaku kedaulatan
rakyat menurut hukum (Legal
Sovereignty), terdapat hubungan yang saling menentukan dan saling mempengaruhi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu lembaga perwakilan?
2. Apa sistem lembaga perwakilan yang dianut Indonesia ?
3. Bagaimana sejarah dan tugas masing-masing dari lembaga perwakilan (DPR, DPD,
MPR) yang ada di Indonesia?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu lembaga perwakilan
2. Untuk mengetahui sistem lembaga perwakilan yang dianut Indonesia
3. Untuk mengetahui sejarah dan tugas dari masing-masing lembaga perwakilan (DPR,
DPD, MPR) yang ada di Indonesia.

4 | Lembaga Perwakilan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Lembaga Perwakilan
Lembaga perwakilan negara adalah lembaga pemerintahan atau "Civilizated Organization"
Dimana lembaga tersebut dibuat oleh negara, dari negara, dan untuk negara dimana bertujuan
untuk membangun negara itu sendiri. Lembaga perwakilan Negara mewakili pemerintahan yang
bertindak untuk kepentingan Negara tersebut.
B. Sistem Lembaga Perwakilan yang dianut Indonesia
Terdapat tiga sistem lembaga perwakilan yang dikenal umum, yaitu unikameral, bikameral,
dan trikameral. Keefektifan sistem lembaga perwakilan ini ditentukan oleh keseimbangan
kewenangan masing-masing kamar dalam menjalankan berbagai fungsinya, seperti rekrutmen
politik, anggaran, perwakilan, kontrol, dan fungsi legilasilah yang palingpenting. Berpacu
kepada amandemen UUD 1945, Indonesia menganut sistem perwakilanbikameral, yaitu DPR
dan DPD. Namun menurut Deputi Bidang Persidangan dan KerjasamaAntar Parlemen DPR RI,
Achmad Juned, Indonesia menganut sistem perwakilan unikameralwalaupun Indonesia terlihat
menganut bikameral dengan adanya DPR dan DPD. Namun sangatdisayangkan disini fungsi
DPD terbilang minim dengan hanya diikutsertakan dalam perumusankebijakan dan hanya
memberi pertimbangan atas penetapan tersebut, dimana hal ini sangatmencerminkan
ketidakseimbangan antara DPR dan DPD.
Namun terdapat pendapat lain juga yang menyatakan bahwa Indonesia menganutsistem
perwakilan trikameral, yaitu dengan adanya MPR, DPR, dan DPD. Sebelum amandemenUUD
1945, sistem perwakilan Indonesia menganut bikameral, yaitu MPR dan DPR. Namunsetelah
amandemen UUD 1945, bertambah dengan DPD.Pendapat lain juga mengatakan bahwa
Indonesia menganut sistem perwakilan bikamerallemah/soft bicameral, dimana kamar pertama
dalam hal ini DPR, lebih kuat daripada kamarkedua, yaitu DPD. Sedangkan sebenarnya dalam
sistem perwakilan bikameral ini seharusnyaterdapat checks and balances antara keduanya untuk
saling mengawasi dan jika kita melihatpada fakta hukumnya bahwa kesenjangan wewenang DPR
yang lebih berkuasa daripada DPD.Ketidakseimbangan antara ide/teori dengan praktek yang
terjadi dalam kehidupan sehari-harimemang sudah umum terjadi, bahkan dalam hal sentral
hukum seperti ini.

C. Lembaga Perwakilan Negara di Indonesia

A. Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR )


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat. DPR terdiri atas anggota
partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.

5 | Lembaga Perwakilan
 Sejarah terbentuknya DPR :
 Masa awal kemerdekaan (1945–1949)
Pada awal kemerdekaan, lembaga-lembaga negara yang diamanatkan UUD 1945 belum
dibentuk. Dengan demikian, Sesuai dengan pasal 4 aturan peralihan dalam UUD 1945,
dibentuklah Komite Nasional Pusat (KNIP). Komite ini merupakan cikal bakal badan legislatif di
Indonesia.
Anggota KNIP tersebut berjumlah 60 orang tetapi sumber yang lain menyatakan terdapat 103
anggota KNIP. KNIP sebagai MPR sempat bersidang sebanyak 6 kali, dalam melakukan kerja
DPR dibentuk Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, Badan Pekerja tersebut berhasil
menyetujui 133 RUU disamping pengajuan mosi, resolusi, usul dan lain-lain.
 Masa Republik Indonesia Serikat (1949–1950)
Badan legislatif pada masa Republik Indonesia Serikat terbagi menjadi dua majelis, yaitu
Senat yang beranggotakan 32 orang, dan Dewan Perwakilan Rakyat yang beranggotakan 146
orang (di mana 49 orang adalah perwakilan Republik Indonesia-Yogyakarta).Hak yang dimiliki
DPR adalah hak budget, inisiatif, dan amendemen, serta wewenang untuk menyusun RUU
bersama pemerintah. Selain itu DPR juga memiliki hak bertanya, hak interpelasi dan hak angket,
namun tidak memiliki hak untuk menjatuhkan kabinet. Dalam masa kerja yang amat singkat itu,
kurang lebih setahun, berhasil diselesaikan 7 buah undang-undang, yang di antaranya adalah UU
No. 7 tahun 1950 tentang perubahan Konstitusi Sementara RIS menjadi Undang-Undang Dasar
Sementara Republik Indonesia; diajukan 16 mosi, dan 1 interpelasi, baik oleh Senat maupun
DPR.
 Masa Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (1950–1956)
Pada tanggal 14 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS menyetujui Rancangan UUDS NKRI
(UU No. 7/1850, LN No. 56/1950). Pada tanggal 15 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS
mengadakan rapat dimana dibacakan piagam pernyataan terbentuknya NKRI yang bertujuan: 1.
Pembubaran secara resmi negara RIS yang berbentuk federasi; 2. Pembentukan NKRI yang
meliputi seluruh daerah Indonesia dengan UUDS yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus
1950.
Sesuai isi Pasal 77 UUDS, ditetapkan jumlah anggota DPRS adalah 236 orang, yaitu 148
anggota dari DPR-RIS, 29 anggota dari Senat RIS, 46 anggota dari Badan Pekerja Komite
Nasional Pusat, dan 13 anggota dari DPA RI Yogyakarta.
 Masa DPR hasil pemilu 20 Maret 1956 (1956–1959)
DPR ini adalah hasil pemilu 1956 yang jumlah anggota yang dipilih sebanyak 272 orang.
Pemilu 1956 juga memilih 542 orang anggota konstituante.
Tugas dan wewenang DPR hasil pemilu 1955 samadengan posisi DPRS secara keseluruhan,
karena landasan hukum yang berlaku adalah UUDS. Banyaknya jumlah fraksi di DPR serta tidak
adanya satu dua partai yang kuat, telah memberi bayangan bahwa pemerintah merupakan hasil
koalisi. Dalam masa ini terdapat 3 kabinet yaitu kabinet Burhanuddin Harahap, kabinet Ali
Sastroamidjojo, dan kabinet Djuanda.
 Masa DPR hasil Dekret Presiden 1959 berdasarkan UUD 1945 (1959–1965)

6 | Lembaga Perwakilan
Jumlah anggota sebanyak 262 orang kembali aktif setelah mengangkat sumpah. Dalam DPR
terdapat 19 fraksi, didominasi PNI, Masjumi, NU, dan PKI.
Dengan Penpres No. 3 tahun 1960, Presiden membubarkan DPR karena DPR hanya
menyetujui 36 miliar rupiah APBN dari 44 miliar yang diajukan. Sehubungan dengan hal
tersebut, presiden mengeluarkan Penpres No. 4 tahun 1960 yang mengatur Susunan DPR-GR.
DPR-GR beranggotakan 283 orang yang semuanya diangkat oleh Presiden dengan Keppres
No. 156 tahun 1960. Adapun salah satu kewajiban pimpinan DPR-GR adalah memberikan
laporan kepada Presiden pada waktu-waktu tertentu, yang mana menyimpang dari pasal 5, 20, 21
UUD 1945. Selama 1960-1965, DPR-GR menghasilkan 117 UU dan 26 usul pernyataan
pendapat.
 Masa DPR Gotong Royong tanpa Partai Komunis Indonesia (1965–1966)
Setelah peristiwa G.30.S/PKI, DPR-GR membekukan sementara 62 orang anggota DPR-GR
eks PKI dan ormas-ormasnya. DPR-GR tanpa PKI dalam masa kerjanya 1 tahun, telah
mengalami 4 kali perubahan komposisi pimpinan, yaitu: a. Periode 15 November 1965 – 26
Februari 1966. b. Periode 26 Februari 1966 – 2 Mei 1966. c. Periode 2 Mei 1966 – 16 Mei 1966.
d. Periode 17 Mei 1966 – 19 November 1966. Secara hukum, kedudukan pimpinan DPR-GR
masih berstatus sebagai pembantu Presiden sepanjang Peraturan Presiden No. 32 tahun 1964
belum dicabut.
Dalam rangka menanggapi situasi masa transisi, DPR-GR memutuskan untuk membentuk 2
buah panitia: a. Panitia politik, berfungsi mengikuti perkembangan dalam berbagai masalah
bidang politik. b. Panitia ekonomi, keuangan dan pembangunan, bertugas memonitor situasi
ekonomi dan keuangan serta membuat konsepsi tentang pokok-pokok pemikiran ke arah
pemecahannya.
 Masa Orde Baru (1966–1999)
Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang kemudian dikukuhkan dalam UU
No. 10/1966, maka DPR-GR Masa Orde Baru memulai kerjanya dengan menyesuaikan diri dari
Orde Lama ke Orde Baru. Kedudukan, tugas dan wewenang DPR-GR 1966–1971 yang
bertanggung jawab dan berwewenang untuk menjalankan tugas-tugas utama sebagai berikut:

1. Bersama-sama dengan pemerintah menetapkan APBN sesuai dengan pasal 23 ayat 1


UUD 1945 beserta penjelasannya.
2. Bersama-sama dengan pemerintah membentuk UU sesuai dengan pasal 5 ayat 1, pasal
20, pasal 21 ayat 1 dan pasal 22 UUD 1945 beserta penjelasannya.
3. Melakukan pengawasan atas tindakan-tindakan pemerintah sesuai dengan UUD 1945 dan
penjelasannya, khususnya penjelasan bab 7.
Selama masa orde baru DPR dianggap sebagai "tukang s tempel" kebijakan pemerintah yang
berkuasa karena DPR dikuasai oleh Golkar yang merupakan pendukung pemerintah.[butuh rujukan]
 Masa reformasi (1999–sekarang)
Banyaknya skandal korupsi, penyuapan dan kasus pelecehan seksual merupakan bentuk
nyata bahwa DPR tidak lebih baik dibandingkan dengan yang sebelumnya. Mantan ketua MPR-
RI 1999–2004, Amien Rais, bahkan mengatakan DPR yang sekarang hanya merupakan stempel
dari pemerintah karena tidak bisa melakukan fungsi pengawasannya demi membela kepentingan

7 | Lembaga Perwakilan
rakyat. Hal itu tercermin dari ketidakmampuan DPR dalam mengkritisi kebijakan pemerintah
yang terbilang tidak pro rakyat seperti kenaikan BBM, kasus lumpur Lapindo, dan banyak kasus
lagi. Selain itu, DPR masih menyisakan pekerjaan yakni belum terselesaikannya pembahasan
beberapa undang-undang. Buruknya kinerja DPR pada era reformasi membuat rakyat sangat
tidak puas terhadap para anggota legislatif. Ketidakpuasan rakyat tersebut dapat dilihat dari
banyaknya aksi demonstrasi yang menentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak
dikritisi oleh DPR. Banyaknya judicial review yang diajukan oleh masyarakat dalam menuntut
keabsahan undang-undang yang dibuat oleh DPR saat ini juga mencerminkan bahwa produk
hukum yang dihasilkan mereka tidak memuaskan rakyat.
DPR juga kerap dikritik oleh sebagian besar masyarakat Indonesia karena dianggap malas
dalam bekerja. Hal ini terbukti dari pemberian fasilitas mewah, seperti gaji besar, kendaraan, dan
perumahan, namun tidak sebanding dengan hasil yang diberikan. Hal lain yang sudah menjadi
rahasia umum adalah banyaknya anggota yang "bolos" dalam sidang paripurna, atau sekadar
"menitip absen", sehingga seolah-olah hadir, namun kenyataannya tidak. Kalaupun hadir,
sebagian oknum anggota ternyata tidur saat sidang, main game, atau melakukan tindakan lain
selain mengikuti proses rapat paripurna.
Dalam konsep Trias Politika, di mana DPR berperan sebagai lembaga legislatif yang
berfungsi untuk membuat undang-undang dan mengawasi jalannya pelaksanaan undang-undang
yang dilakukan oleh pemerintah sebagai lembaga eksekutif. Fungsi pengawasan dapat dikatakan
telah berjalan dengan baik apabila DPR dapat melakukan tindakan kritis atas kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah yang tidak sesuai dengan kepentingan rakyat. Sementara itu, fungsi
legislasi dapat dikatakan berjalan dengan baik apabila produk hukum yang dikeluarkan oleh DPR
dapat memenuhi aspirasi dan kepentingan seluruh rakyat.

 Fungsi DPR :
 Legislasi
Fungsi Legislasi dilaksanakan untuk membentuk undang-undang bersama presiden.
 Anggaran
Fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak
memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh
Presiden.
 Pengawasan
Fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan
APBN.

 DPR mempunyai beberapa hak, yaitu; hak interpelasi, hak angket, hak imunitas, dan hak
menyatakan pendapat.
 Hak interpelasi

8 | Lembaga Perwakilan
Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai
kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
 Hak angket
Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu
undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
 Hak imunitas
Hak imunitas adalah kekebalan hukum dimana setiap anggota DPR tidak dapat dituntut di
hadapan dan di luar pengadilan karena pernyataan, pertanyaan/pendapat yang dikemukakan
secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat DPR, sepanjang tidak bertentangan dengan
Peraturan Tata Tertib dan kode etik.
 Hak menyatakan pendapat
Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:

 Kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di
dunia internasional
 Tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket
 Dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

B. Dewan Perwakilan Daerah ( DPD )


Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (disingkat DPD RI atau DPD), sebelum
2004 disebut Utusan Daerah, adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang anggotanya merupakan perwakilan dari setiap provinsi yang
dipilih melalui Pemilihan Umum.uud 1945.

 Sejarah DPD :
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lahir pada tanggal 1 Oktober 2004, ketika 128 anggota
DPD yang terpilih untuk pertama kalinya dilantik dan diambil sumpahnya. Pada awal
pembentukannya, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh DPD. Tantangan tersebut mulai
dari wewenangnya yang dianggap jauh dari memadai untuk menjadi kamar kedua yang efektif
dalam sebuah parlemen bikameral, sampai dengan persoalan kelembagaannya yang juga jauh
dari memadai. Tantangan-tantangan tersebut timbul terutama karena tidak banyak
dukungan politik yang diberikan kepada lembaga baru ini.

9 | Lembaga Perwakilan
Keberadaan lembaga seperti DPD, yang mewakili daerah di parlemen nasional,
sesungguhnya sudah terpikirkan dan dapat dilacak sejak sebelum masa kemerdekaan. Gagsan
tersebut dikemukakan oleh Moh. Yamin dalam rapat perumusan UUD 1945 oleh Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Gagasan-gagasan akan pentingnya keberadaan perwakilan daerah di parlemen, pada awalnya
diakomodasi dalam konstitusi pertama Indonesia, UUD 1945, dengan konsep “utusan daerah” di
dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang bersanding dengan “utusan golongan” dan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 UUD 1945, yang
menyatakan bahwa “MPR terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-
daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.”
Pengaturan yang longgar dalam UUD 1945 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam berbagai
peraturan perundang-undangan.
Dalam periode konstitusi berikutnya, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS), gagasan
tersebut diwujudkan dalam bentuk Senat Republik Indonesia Serikat yang mewakili negara
bagian dan bekerja bersisian dengan DPR-RIS.

 DPD memiliki fungsi:

 Pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan
dengan bidang legislasi tertentu
 Pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang tertentu. Anggota DPD dari setiap provinsi
adalah 4 orang. Dengan demikian jumlah anggota DPD saat ini adalah seharusnya 136 orang.
Masa jabatan anggota DPD adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPD
yang baru mengucapkan sumpah/janji.

C. Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR )

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia atau cukup disebut Majelis


Permusyawaratan Rakyat (disingkat MPR-RIatau MPR) adalah lembaga
legislatif bikameral yang merupakan salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia.

 Sejarah MPR :
 Masa Orde Lama (1945-1965) dan Orde Baru (1965-1999)
Pada awal masa Orde Lama, MPR belum dapat dibentuk secara utuh karena gentingnya
situasi saat itu. Hal ini telah diantispasi oleh para pendiri bangsa dengan Pasal IV Aturan
Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amendemen)
menyebutkan, Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala
kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional.

10 | Lembaga Perwakilan
Sejak diterbitkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X, terjadi perubahan-perubahan yang
mendasar atas kedudukan, tugas, dan wewenang KNIP. Sejak saat itu mulailah lembaran baru
dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut
menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Dengan demikian, pada awal berlakunya Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amendemen) dimulailah lembaran
pertama sejarah MPR, yakni terbentuknya KNIP sebagai embrio MPR.
Pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950) dan Undang-
Undang Dasar Sementara (1950-1959), lembaga MPR tidak dikenal dalam konfigurasi
ketatanegaraan Republik Indonesia. Pada tanggal 15 Desember 1955 diselenggarakan pemilihan
umum untuk memilih anggota Konstituante yang diserahi tugas membuat Undang-Undang
Dasar.
Namun, Konstituante yang semula diharapkan dapat menetapkan Undang-Undang Dasar
ternyata menemui jalan buntu. Di tengah perdebatan yang tak berujung pangkal, pada tanggal 22
April 1959 Pemerintah menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945, tetapi anjuran ini pun tidak
mencapai kesepakatan di antara anggota Konstituante.
Dalam suasana yang tidak menguntungkan itu, tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekret Presiden yang berisikan :

 Pembubaran Konstituante,
 Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara 1950,
 Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan
Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Untuk melaksanakan Pembentukan MPRS sebagaimana diperintahkan oleh Dekret Presiden 5
Juli 1959, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yang mengatur
Pembentukan MPRS sebagai berikut :

 MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan dari
daerah-daerah dan golongan-golongan.
 Jumlah Anggota MPR ditetapkan oleh Presiden.
 Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra Tingkat I dan
Golongan Karya.
 Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah menurut
agamanya di hadapan Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh Presiden.
 MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang diangkat oleh Presiden.
Jumlah anggota MPRS pada waktu dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 199
Tahun 1960 berjumlah 616 orang yang terdiri dari 257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan
Karya, dan 118 Utusan Daerah.
Pada tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI. Sebagai
akibat logis dari peristiwa pengkhianatan G-30-S/PKI, mutlak diperlukan adanya koreksi total
atas seluruh kebijaksanaan yang telah diambil sebelumnya dalam kehidupan kenegaraan. MPRS
yang pembentukannya didasarkan pada Dekret Presiden 5 Juli 1959 dan selanjutnya diatur
dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959, setelah terjadi pemberontakan G-30-S/PKI,
Penetapan Presiden tersebut dipandang tidak memadai lagi.

11 | Lembaga Perwakilan
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka diadakan langkah pemurnian keanggotaan MPRS
dari unsur PKI, dan ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1966 bahwa sebelum
terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dipilih oleh rakyat, maka MPRS
menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan UUD 1945 sampai MPR hasil Pemilihan
Umum terbentuk.
Rakyat yang merasa telah dikhianati oleh peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI
mengharapkan kejelasan pertangungjawaban Presiden Soekarno mengenai pemberontakan G-30-
S/PKI berikut epilognya serta kemunduran ekonomi dan akhlak. Tetapi, pidato
pertanggungjawaban Presiden Soerkarno yang diberi judul ”Nawaksara” ternyata tidak
memuaskan MPRS sebagai pemberi mandat. Ketidakpuasan MPRS diwujudkan dalam
Keputusan MPRS Nomor 5 Tahun 1966 yang meminta Presiden Soekarno melengkapi pidato
pertanggungjawabannya.
Walaupun kemudian Presiden Soekarno memenuhi permintaan MPRS dalam suratnya
tertangal 10 januari 1967 yang diberi nama “Pelengkap Nawaksara”, tetapi ternyata tidak juga
memenuhi harapan rakyat. Setalah membahas surat Presiden tersebut, Pimpinan MPRS
berkesimpulan bahwa Presiden Soekarno telah alpa dalam memenuhi kewajiban Konstitusional.
Sementara itu DPR-GR dalam Resolusi dan Memorandumnya tertanggal 9 Februari 1967 dalam
menilai “Nawaksara” beserta pelengkapnya berpendapat bahwa “Kepemimpinan Presiden
Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa, negara,
dan Pancasila”.
Dalam kaitan itu, MPRS mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden
Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS dan memilih/mengangkat Letnan Jenderal
Soeharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor
IX/MPRS/1966, serta memerintahkan Badan Kehakiman yang berwenang untuk mengadakan
pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan secara hukum.
Sejak saat itu, maka semangat Orde Baru telah menggantikan Orde Lama yang tidak sesuai
dengan Demokrasi Pancasila.
 Masa Reformasi (1999-sekarang)
Bergulirnya reformasi yang menghasilkan perubahan konstitusi telah mendorong para
pengambil keputusan untuk tidak menempatkan MPR dalam posisi sebagai lembaga tertinggi.
Setelah reformasi, MPR menjadi lembaga negara yang sejajar kedudukannya dengan lembaga-
lembaga negara lainnya, bukan lagi penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang melaksanakan
kedaulatan rakyat. Perubahan Undang-Undang Dasar telah mendorong penataan ulang posisi
lembaga-lembaga negara terutama mengubah kedudukan, fungsi dan kewenangan MPR yang
dianggap tidak selaras dengan pelaksanaan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat sehingga
sistem ketatanegaraan dapat berjalan optimal.
Pasal 1 ayat (2) yang semula berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” , setelah perubahan Undang-Undang Dasar
diubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar.” Dengan demikian pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh
sebuah lembaga negara, yaitu MPR, tetapi melalui cara-cara dan oleh berbagai lembaga negara
yang ditentukan oleh UUD 1945.

12 | Lembaga Perwakilan
Tugas, dan wewenang MPR secara konstitusional diatur dalam Pasal 3 UUD 1945, yang
sebelum maupun setelah perubahan salah satunya mempunyai tugas mengubah dan menetapkan
Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar negara yang mengatur hal-hal penting dan
mendasar. Oleh karena itu dalam perkembangan sejarahnya MPR dan konstitusi yaitu Undang-
Undang Dasar mempunyai keterkaitan yang erat seiring dengan perkembangan ketatanegaraan
Indonesia.

 Tugas dan wewenang DPR :


a. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar
MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Dalam mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, anggota MPR tidak dapat mengusulkan pengubahan terhadap Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum
MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum dalam sidang paripurna MPR.
Sebelum reformasi, MPR yang merupakan lembaga tertinggi negara memiliki kewenangan untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden dengan suara terbanyak, namun sejak reformasi bergulir,
kewenangan itu dicabut sendiri oleh MPR. Perubahan kewenangan tersebut diputuskan dalam
Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-7 (lanjutan 2) tanggal 09
November 2001, yang memutuskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung
oleh rakyat, Pasal 6A ayat (1).
c. Memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
masa jabatannya.
MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk memutuskan usul DPR mengenai
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada masa jabatannya paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak MPR menerima usul. Usul DPR harus dilengkapi dengan putusan Mahkamah
Konstitusi bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum baik
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun
perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
d. Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden
Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya
dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai berakhir masa jabatannya.
Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera menyelenggarakan sidang paripurna
MPR untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden. Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan
sidang, Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan
rapat paripurna DPR. Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat,Presiden bersumpah menurut
agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh
pimpinan Mahkamah Agung.

e. Memilih Wakil Presiden


Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, MPR menyelenggarakan sidang paripurna dalam
waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari untuk memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang
diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
f. Memilih Presiden dan Wakil Presiden

13 | Lembaga Perwakilan
Apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, MPR menyelenggarakan
sidang paripurna paling lambat 30 (tiga puluh) hari untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, dari
2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara
terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa
jabatannya.
Dalam hal Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas
kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara
bersama-sama.

Keanggotaan MPR
MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum.
Keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan Presiden. Sebelum reformasi, MPR terdiri atas
anggota DPR, utusan daerah, dan utusan golongan, menurut aturan yang ditetapkan undang-
undang. Jumlah anggota MPR periode 2009–2014 adalah 692 orang yang terdiri atas 560
Anggota DPR dan 132 anggota DPD. Masa jabatan anggota MPR adalah 5 tahun, dan berakhir
bersamaan pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Anggota MPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara
bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang paripurna MPR.
Anggota MPR yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama,
mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan MPR.

14 | Lembaga Perwakilan
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab terdahulu, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa selain bertujuan untuk menutup penyalahgunaan atau penyimpangan praktek
ketatanegaraan dari kehendak yang telah diatur dalam UUD, perubahan kedudukan,
keanggotaan, dan mekanisme keanggotaan MPR, DPR dan keberadaan lembaga baru DPD,
dimaksudkan sebagai jalan untuk mewujudkan gagasan meniadakan kedudukan MPR sebagai
lembaga tertinggi negara.
Gagasan itu secara konseptual ingin menegaskan bahwa MPR bukan satu satunya
lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat, setiap lembaga yang mengemban tugas-tugas
politik negara dan pemerintahan adalah pelaksana kedaulatan rakyat, harus tunduk dan
bertanggung jawab kepada rakyat. Secara praktis, pembaruan dimaksudkan untuk meniadakan
penyalahgunaan kadudukan MPR sebagai lembaga tertingi negara yang pada prakteknya telah
digunakan sebagai alat kepanjangan tangan Presiden untuk melanggengkan kekuasaannya.
Bila para pencetus ide atau gagasan perwakilan ingin menerapkan system perwakilan
yang terdiri dari dua kamar atau sistem bikameral, maka Indonesia pasca perubahan UUD saat
ini menerapkan sistem perwakilan dua kamar atau bikameral yang bersifat soft atau lemahkrena
adanya perbedaan mengenai kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga perwakilan
yang ada di Indonesia, adanya perbedaan kekuasaan dan kewenangan antara para lembaga
perwakilan yang ada, di mana kekuasaan dan kewenangan DPR lebih kuat dibandingkan dengan
DPD.
Dewan Perwakilan Daerah dalam proses legislasi atau proses pembentukan undang-
undang hanya memiliki hak usul dan pertimbangan, itupun hanya yang berkaitan dengan
kepentingan daerah. DPD hanya dapat ikut membahas dan melakukan pengawasan undang-
undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
pelaksanaan anggaran dan pendapatan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama. Akan tetapi
hak legislatif yang dimiliki DPD, sangat tergantung kepada DPR, yang mau menyetujui atau
tidak usul atau pertimbangan, pembahasan, dan pengawasan yang diajukan oleh DPD.
DPD saat ini mempunyai peran yang kurang penting, sehingga tidak dapat menjalankan
fungsi checks and balances dengan sempurna, tidak adanya hak veto terhadap RUU, dan hanya
memiliki hak usul terhadap RUU tertentu saja, serta fungsi pertimbangan dan pengawasannya
sangat tergantung dan mengandalkan pihak lain yaitu DPR.
Seharusnya para penggagas ide perwakilan dua kamar memperhatikan bahwa
pembentukan kamar-kamar dalam sistem perwakilan dua kamar adalah, untuk memberikan
kontribusi politik bagi suatu sistem politik yang demokratis. Dibentuknya DPD seharusnya
dimaksudkan untuk pertimbangan dalam mempengaruhi proses legislasi, dan sebagai simbol

15 | Lembaga Perwakilan
untuk mempertinggi legitimasi demokrasi di Indonesia sehingga tercipta system mekanisme
checks and balances seperti yang diharapkan oleh para pembuat undang-undang.

B. Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang telah saya buat, maka saya memberikan
saran agar fungsi kelembagaan MPR perlu diperjelas bukan hanya sebagai lembaga tempat
bertemunya anggota-anggota DPR dengan DPD. Selain untuk menerapkan mekanisme cheks and
balances, sebaiknya sistem bicameral yang diterapkan di Indonesia lebih memperhatikan kepada
kemauan dan partisipasi seluruh rakyatnya yang diwakili oleh DPD sebagai pewakilan dari
daerah-daerah di Indonesia. Dengan kata lain sebaiknya pemerintah dan DPR lebih
memperhatikan kepentingan daerah agar usul yang diajukan oleh DPD yang menguntungkan
bagi daerah tetapi tidak mengganggu atau merugikan kepentingan nasional ditindaklanjuti.
Demikian pula dengan fungsi pertimbangan dan pengawasan DPD, untuk lebih
diperhatikan terutama yang bermanfaat bagi kepentingan bangsa dan Negara. Sebaiknya dalam
proses lagislasi, DPD diberikan hak usul RUU yang tidak hanya menyangkut kewenangan
daerah dan ada baiknya juga jika DPD juga diberikan hak untuk dapat menolak RUU yang
diajukan oleh pemerintah dan DPR. Karena sebenarnya DPD memiliki peran yang sangat besar
dalam mencegah perpecahan dan disintegrasi bangsa dan agar tidak hanya menjadi asesoris
demokrasi dalam lembaga MPR. Sebaiknya juga diatur ketentuan mengenai kedudukan DPD jika
dalam Pasal 7C UUD 1945 perubahan menjelaskan bahwa Presiden tidak dapat membubarkan
DPR, maka sebaiknya juga ada Pasal yang menjelaskan bahwa Presiden tidak dapat
membubarkan DPD.

16 | Lembaga Perwakilan
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Permusyawaratan_Rakyat_Republik_Indonesia
http://www.dpr.go.id/tentang/sejarah-dpr
https://id.wikipedia.org/wiki/Dewan_Perwakilan_Daerah_Republik_Indonesia
https://id.wikipedia.org/wiki/Dewan_Perwakilan_Rakyat_Republik_Indonesia

17 | Lembaga Perwakilan

Anda mungkin juga menyukai