Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Islam sebagai agama yang tidak hanya mengurusi urusan ibadah,telah
dipraktekan oleh pengikutnya dalam bentuk institusi politik Negara.Semenjak
wafatnya Rasulullah SAW,islam tampil dalam bentuk yang nyata sebagai institusi
Negara.Dalam banyak hal,bias ditemukan kenyataan-kenyataan sejarah yang
menunjuk pada eksitensi Negara,terutama semenjak berdirinya Bani Umayah
hingga hancurnya Khilafah Turki Ustmani.
Sistem pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan yang
menggunakan Al Quran dan Sunnah sebagai rujukan dalam semua aspek
kehidupan. Dasar negaranya adalah al-Quran dan al-Sunnah. Selain berbeda
dengan sistem pemerintahan lain, sistem ini juga mengundang perbedaan
pendapat diantara para ulama. Hal ini sangat menarik untuk di bahas, oleh karena
itu dalam makalah ini kita membahas tentang sistem pemerintahan Islam sehingga
kita mampu mengerti bagaimana sistem pemerintahan itu dari sudut pandang
Islam.
Dari kenyataan yang panjang sejak abad ke-7 hingga abad ke-21 M,
ummat islam telah mempraktekan kehidupan politik yang begitu kaya dan
beragam yang meliputi bentuk Negara dan system pemerintahan,lebih-lebih sejak
terbebasnya dunia islam dari Kolonialisme Barat,dunia islam telah mempraktekan
system polotik yang berbeda dengan masa lalunya.Jika dilihat dari kenyataan
sejarah,ummat islam telah mempraktekan Negara kesatuan dan federal.Kedua
bentuk Negara tersebut hidup dalam konteks sejarah yang berbeda sesuai dengan
komdisi yang dihadapinya.1

1
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah (Jakarta : Erlangga 2008) Hal 198

1
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, rumusan masalah disusunya makalah ini, yaitu:
1. Apa macam dari Bentuk Negara dalam Islam?
2. Bagaimana sistem pemerintahan dalam Islam?
3. Bagaimana pendapat Ulama tentang Sistem Pemerintahan Islam?

3. Tujuan Penulisan
Tujuan pemakalah menyusun makalah ini selain untuk memenuhi tugas
terstruktur juga memiliki tujuan:
1. Mengetahui macam dari Bentuk Pemerintahan dalam Islam.
2. Mengetahui bagaimana Sistem Pemerintahan dalam Islam.
3. Mengetahui berbagai pendapat Ulama Mengenai Sistem Pemerintahan
Islam.

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Bentuk Negara
A. Negara Kesatuan
Negara kesatuan adalah bentuk Negara dimana wewenang kekuasaan
tertinggi dipusatkan dipusat. Kekeuasaan terletak pada pemerintahan pusat dan
tidak pada pemerintahan daerah.Pemerintahan pusat mempunyai wewenang
untuk menyerahkan sebagaian kekuasaanya kepada daerah berdasarkan hak
otonomi (Negara kesatuan dengan system desentralisasi), tetapi pada tahap
terakhir kekuasaan tertinggi tetap berda pada pemerintahan pusat.
Dalam praktik sejarah politik ummat islam, sejak zaman Rasullah SAW
hingga al-khulafa al-Rasyidun jelas tampak bahwa islam dipraktekkan didalam
ketatanegaraan sebagai Negara kesatuan, dimana kekuasaan terletak pada
pemerintahan pusat, gubernur-gubernur dan panglima-panglima diangkat serta
diberhentikan oleh khalifah.2 Hal ini berlangsung sampai jatuhnya Daulah
Umaiyah di Damaskus.Kemudian timbul tiga kerajaan Islam yang tampaknya
terpisah satu sama lain yaitu Daulah Abbasiyah di Baghdad, Daulah Umaiyah di
Mesir dan Daulah Umaiyah di Andalusia. Meskipun ketiga pemerintahan itu
terpisah, tetapi kaum muslimin sebagai ummat dimana saja ia berada, bahasa apa
saja yang ia pakai dan kedalam kebangsaan apapun dia termasuk,dia tetap
mempunyai hak-hak yang sama sebagai kaum muslimin yang lain.Oleh karena itu
walaupun dunia islam pada waktu itu terpercah menjadi tiga pemerintahan akan
tetapi kaum muslimin menganggap atau seharusnya menganggap ketiga-tiganya
ada diwililayah darul Islam.3
Zainal Abidin Ahmad menegasklan bahwa sejak berpuluh-puluh abad
yang lalu, islam telah menentukan pendirianya bahwa bentuk Negara islam adalah

2
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Hal 200
3
Djazuli, Fiqih Siyasah: Implementasi kemaslahatan ummat dalam Rambu-Rambu Syari’ah
(Bandung: Gunung Djati Press, 2000), hal. 150

3
republik. Khilafah adalah seorang presiden yang dipilih oeh rakyat. Dengan
mengutip pendapat Ibnu Rusyd, pemerintah Arab klasik dizaman Islam yang
pertama adalah seperti system republic dari Plato, tetapi Muawiyah meruntuhkan
susunan yang baik itu, menghapuuskan segala keindahan dengan mencabut
seluruh urat akarnya. Kemudian didirikan suatu emerintahan Otokrasi. Akibatnya
adalah runtuhnya seluruh sendi asas pemerintahan Islam dan berjangkit lah anarki
dan kekacauan diseluruh negeri Andalusia.4
Negara kessatuan Islam yang berbentuk republik dalam sejarah Islam awal
kemudian dirubah oleh Muawiyyah menjadi Negara kesatuan Islam yang
berbentuk Monarki (kerajaan) dimana kepala Negara tidak lagi dipilih oleh rakyat
melainkan berdasarkan keturunan.
Dalam kehidupan kenegaraan sekarang, dua model ketatanegaraan ini oleh
ummat Islam dipraktekkan dibeberapa negara. Bentuk Negara kesatuan Ilam yang
berbentuk republik telah dipraktekkan oleh Republik Islam Iran yang beraliran
Syah dan Republik Islam Pakiistan yang beraliran Sunni. Kedua Negara ini telah
menjadi contoh dari Negara kesatuan islam yang berbentuk republik .Sedangkan
bentuk Negara Ikesatuan slam yang berbentuk Monarki dipraktekan oleh Arab
Saudi, Jordania, Uni Emirat Arab, dan lain-lain diman pergantian kekuasaan tidak
ditentukan oleh suara rakyat melainkan oleh keturunan penguasa.

B. NEGARA FEDERAL
Dalam praktek sejarah politik ummat Islam, sejak mulai lahir dizaman
nabi sampai dizaman al-Khulafa al-Rasiydun, Dinasti Umaiyyah dan permulaan
Abbasiyah, Negara Islam masih berbentu Negara kesatuan. Baik dimasa
pemerintahan daerah masih Imarah Khasanah dizaman Nabi dan Khhalifah Abu
bakar, maupun sesudah menjadi Iamarah ‘Ammah yang dimulai oleh Khalifah
Umar , Negara Islam masih tetap merupakan Negara kesatuan. Tetapi, setelah
pemerintahan daerah menjadi Imarah istila; barulah berubah bentuk menjadi
Negara Pederasi. Muhammad Kurdi Ali mengatakan bahwa pemerintahan daerah

4
Zainal Abidin Ahmad, Membangun Negara Islam (Jakarta: Iqra Pustaka, 1956), hal. 120-121

4
dizaman Khalifah Mansur (Abbasiyah), masih tetap desentralisasi atau daerah
otonom-otonom.5
Kebetulan dizaman ini muncul suatu daerah yang ingin menjadi suatu
Negara, yaitu Negara Andalusia, yang didirikan oleh Abdurrahman bin
Mu’awiyah dari bani Umaiyah pada 139H/756M. Namun dinasti Umaiyah masih
belum berani melepaskan diri dari wilayah Abbasiyah, yang terbukti dari
ppanggilan penguasa negarranya adalah Amir yang berarti kepala Negara bagian.6
Baru dizaman Khalifah Harun al-Rasyid (170-193H/789-809M), dimulai
rencana pementukan Negara federasi.Dia menghadapi persoalan yang serupa
dengan kakeknya, Mnsur, yakni berdirinya Negara Idrisiyah (adarisah) dimaroko
pada tahun 177 H.Pada awalnya perestiwa itu disambut dengan kemarahan.Tetapi,
kemudian pemerintah sendiri mengadakan rencana pembentukkan Negara-negara
bagian, dengan menyetujui berdirina Negara Aglabiyah (Agalibah) di Tunis pada
tahun 184 H, yang didirikan oleh Ibrahim bin Aglab.Negara ini berdiri selam satu
abad, dari 184 H/ 800 M- 296 H/908M.
Rencana ini dilanjutkan kembali oleh khalifa Ma’mun (128-218H/813-
833M). Diperintahkan kepada Wazir yang tercakap, Tahir bin Husen, untuk
mendirikan suatu Negara bagian sebagai percobaan (model) di Khurasan dengan
nama Thahiriyah dari 205H/820M-259H/872M.
Dalam sejarah muncul dua jenis Negara bagaian, yaitu Imarah Amamah
tingkat Istila, yakni Negara-negara bagian yang memiliki status Negara
terbatas.Kepala Negara bagian ini dinamakan amir. Dan Imarah Amamah tingkat
istimewa, yang memiliki hak-hak Negara yang sangat luas, keluar dan kedalam.
Kepala Negara dinamakan sultan.

2. Sistem Pemerintahan dalam Islam


Adapun sistem pemerintahan yang pernah diperaktekan dalam islam,
sangat terkait dengan kondisi kontekstual yang dialami oleh masing-masing
ummat. Dalam rentang waktu yang sangat panjang sejak abad ke-7 Masehi

5
Ahmad, Membangun Negara Islam, hal. 120-121
6
Ibid., hal. 183.

5
hingga sekarang, ummat islam pernah mempraktekkan beberapa system
pemerintahan yang meliputi system pemerintahan khilafah (Khalifah berdasarkan
syurra dan khalifah berdasarkan Monarrki), imamah, monarki dan demokrasi.
A. Sistem Pemerintahan Khilafah
Khilafah adalah pemerintahan Islam yang tidak dibatasi oleh wilayah
teritorial, sehingga kekhalifahan islam meliputi berbagai suku dan bangsa. Ikatan
yang mmempersatukan kekhalifahan adalah islam sebagai agama. Pada intinya,
kekhalifahan adalah kepeminpinan umum yang mengurusi agama dan kenegaraan
sebagai wakil dari Nabi SAW. Dalam bahasa Ibn Khaldun, kekhalifahan adalah
kepemimpinan umum bagi kaum muslimin diseluruh penjuru dunia untuk
menegakkan hukum-hukum syari’at Islam dan memikul da’wah Islam keseluruh
dunia. Menegakkan khalifah adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin
diseluruh penjuru dunia. Dan menjalankan kewajiban yang demikian itu, sama
dengan menjalankan kewajiban yang diwajibkan Allah bagi setiap kaum
muslimin.
Berdasarkan Ijma’ Sahabat, wajib hukumnya mendirikan kekhalifahan.
Setelah Rasulullah SAW wafat, mereka sepakat untuk mendirikan kekhalifahan
untuk Abu Bakar, kemudian Umar, Ustman dan Ali, sesudah masing-masung dari
ketiganya wafat.7 Para sahabat telah bersepakat sepanjang hidup mereka atas
kewajiban untuk mendirikan kekhalifahan, meski mereka berbeda pendapat
tentang orang yang akan dipilih sebagai khalifah, tetapi mereka tidak berbeda
pendapat secara mutlak mengenai berdirinya kekhalifahan.8 Oleh karena itu,
kekhalifahan (khilafah) adalah penegak agama dan sebagai pengatur soal-soal
duniawi dipandang dari segi agama.9 Jabatan ini merupakan penggati Nabi
Muhhammad SAW, dengan tugas yang sama, yakni memppertahankan agama dan

7
Samis Athief az-Zain, syari’at Islam: Dalam Perbincangan Ekonomi, Politik dan Sosial sebagai
Studi Perbandingan (Bandung, Husaini, 1988) hal. 18-19
8
Ibid., hal. 19-20
9
Abdulrrahman Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun (Beirut: Dar al Fikr, t.t ), hal. 191

6
menjalankan kepemimpinan dunia. Lembaga ini disebut khilafah (kekhalifahan).
Orang yang menjalankan tugas itu disebut Khalifah.10
Berikut dasar-dasar pemerintah Islam yang wajib menjadi pokok pendirian
negara. Dimanapun pemerintahan Islam itu di susun, dibangun dan di zaman
bagaimanapun umat Islam berada. Dasar ini selain sesuai dengan pemerintahan
yang dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin juga terdapat dalam ayat al-Quran,
yaitu:
1) Kejujuran dan keikhlasan serta bertanggung jawab dalam menyampaikan
amanat kepada ahlinya (rakyat) dengan tidak membeda-bedakan bangsa dan
warna kulit
2) Keadilan yang mutlak terhadap seluruh umat manusia dalam segala sesuatu
3) Tauhid (mengesakan Allah), sebagaimana diperinahkan dalam ayat-ayat al-
Qur’an supaya menaati Allah dan Rasul-Nya
4) Kedaulatan rakyat yang dapat dipahami dari perintah Allah yang mewajibkan
kita taat kepada ulil amri (wakil-wakil rakyat).
Ke empat dasar diatas sesuai dengan firman Allah Swt yang artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-
Qu’ran) dan Rasul-Nya (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (An-Nisa’: 58-59).
B. KHILAFAH BERDASARKAN SYURA
Sistem pemerintahan islam berdasarka syura pernah dipraktekkan pada
masa al-Khulafa al-Rasyidun ketika mereka memerintah islam dibeberapa

10
Ibid., hal. 191

7
kawasan yang didasarkan pada system musyawarah sebagai paradigm dasar
kekuasaan. Abu Bakar Al-Shiddiq, umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan, Ali
bin Abi Thalib telah menjalankan system pemerintahan yang dilandasi oleh
semnagat musyawarah.Ciri yang menonjol dari system pemerintahan yang mereka
jalankan terletak pada mekanisme musyawarah, bukan dengan system
keturunan.Tidak ada satupun dari empat khalifah tersebut yang menurunkan
kekuasaanya kepada sanak kerabatnya. Musyawarah menjadi jalan yang ditempuh
dalam menjalankan kekuasaan sesuai dengan apa yang dijalankan Rasulullah
SAW.
C. KHILAFAH MONARKI
Pasca berakhirnya al-Khulafa al-Rasyidun, kekhalifahan dilanjutkan oleh
khalifah bani Umaiyah dengan Muawiyah bin Abu Sofyan sebagai khalifah
pertama.Sejak saat itulah khilafah Islamiyah yang sudah berdasarkan syura
digantikan dengan system keturunan, menjadi Negara kerajaan (monarki)
mengikuti system yang diperlakukan di Persia dan Romawi.11
Sistem khilafah monarki disebut oleh Antony Black dengan Khilafah
Patrimonial. Patrimonialiisme yang dimaksud disini adalah system pemerintahan
yang memberi hak kepada pemimpin untuk menganggap Negara sebagai miliknya
dan bisa diwariskan kepada keluarganya (turun temurun) sementara rakyat
dipandang sebagai bawahan yang berada dibawah perlindungan dan dukunganya.
Sistem monarki adalah system waris (putra mahkota) dimana singsana kerajaan
akan diwarisi oleh seorang putra mahkota dari orang tuanya. Sistem monarki juga
merupakan sistem pemerintahan yang menjadikan raja sebagai sentral kekuasan,
seorang raja berhak menetapkan aturan bagi rakyatnya .Perkataan raja adalah
undang-undang tertinggi yang harus ditaati. Raja memiliki hak khusus yang tidak
dimiliki oleh rakyat, raja memiliki kekebalan terhadap hukum, dan kekuasaan
kenegaraanya tak terbatas.
Berubahnya khilafah berdasarkan syura menjadi monarki ini terjadi ketika
Muawiyah melantik putranya Yazid sebagai khalifah atas dasar Mughirah bin

11
Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, hal. 27

8
Syu’bah.Sistem khilafah monarki terus berlanjut hingga kerajaan islam dipegang
oleh Turki Ustmani yang timbul di Istambul pada 699 H/ 1299 M yang dipimpin
oleh Ustman l yang kemudian dikenal sebagai dinasti Utsmaniyah. Dinasti ini
memerintah hingga 1342H/1924M dengan khalifah terakhir Abdul Hamid ll. Tak
pelak lagi sejak Dinasji Umaiyyah hingga Dinasti Utsmani, system pemerintahan
Islam sudah sangat jauh dari kekhalifahan yang berbasisi syura menjadi khilafah
monarki.

D. IMAMAH
Kunci utama Imamah dalam politik syi’ah adalah terletak pada posisi
imam. Karena status politik dari para imam adalah bagian yang esensial dalam
mazhab Syi’ah Imamiyah.Mereka dianggap penerus yang dari nabi Muhammad
SAW dan mereka percaya bahwa setiap penerus harus ditunjuk oleh Allah SWT
melalui nabinya.Para Imam dianggap sebagai penerus nabi dan pewaris yang sah
dari otoritasnya. Hal ini bukan dikarenakan mereka dari keluarganya, tetapi
karena mereka merupakan orang-orang yang shaleh taat kepada Allah dan
mempunyai karakteristik yang menjadi prasyarat untuk mengemban tingkat
kepemimpinan politik agama. Demikian juga mereka tidak ditunjuk melalui
consensus rakyat.12
Imamah adalah Institusi yang dilantik secara ilahiyah, hanya Allah yang
paling tau kualitas-kualitas yang diperlukan untuk memenuhi tugas ini, oleh
karena itu hanya Dia-lah yang mampu menunjuk mereka. Syi’ah menganggap
bahwa Imamah seperti kenabian, menjadi kepercayaan yang pundamental, dan
ketaatan kepada otoritas imam adalah sebuah kewajiban agama. Meski para Imam
tidak menerima wahyu ilahi, namun para imam mempunyai kulitas, tugas, dan
otoritas dari nabi. Bimbingan politik dan agama dari mereka dan mereka adalah
wali bagi pengikut mereka.13
Konsep politik Syi’ah yang berpusat pada Imam (yang kemudian
diterjemahkan menjadi wilayat al- afqih) diterjemahkan dalam periode modern

12
Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal. 166.
13
Ahmad Vaezi, Agama politik Nalar Politi Islam (Jakarta: Citra, 2006), hal. 66-67

9
dalam bentuk negarra Ir an. Iran menjadi penjelmaan politik Syi’ah setelah
revolusi Islam Iran tahun 1979 yang dipimpin oleh Imam Khomeini.

E. DEMOKRASI
Kata Demokrasi memiliki berbagai makna. Tetapi pada dunia modern ini
penggunaanya mengandung arti kekuasaan tertinggi dalam urusan politik adalah
hak rakyat. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dimana keputusan-
keputusan penting pemerintah, atau garis kebijakanaan dibelakang keputusan-
keputusan tersebut secara langsung atau tidak langsung, hanya dapat berlangsung
jika disetujui secara bebas oleh mayoritas masyarakat dewasa yang berada dalam
posisi pemerintahan.
Paling tidak ada tiga macam bentuk demokrasi yaitu , demokarasi formal,
permukaan, dan substantive.
1.) Demokrasi Formal
Demokrasi formal ditandai dengan pemilihan umum yang teratur, bebas,
adil, dan kompetitif. Biasanya ditandai dengan tidak digunakanya paksaan secara
berlebihan oleh Negara terhadap terhadap masyarakat, ada kebebasan sipil dan
politik yang cukup untuk menjamin kompetisi dalam pemilihan umum.14
2.) Demokrasi Permukaan
Demokarasi Permukaan merupakan demokrasi yang umum ditetapkan di
dunia ketiga. Tampak luarnya memang demokrasi tapi sama sekali tidak memiliki
substansi demokrasi. Dahulu demokrasi ini lazim terdapat di Amerika latin, Timur
tengah, misalnya Presiden Saddam Hussein (Iraq), Hafez al-Assad (Syria), dan
Husni Mubarak (Mesir) dimana rezim penguasa tidak menginginkan demokrasi
yang sebenarnya.
3.) Demokrasi Substantif
Demokarasi macam ini memperluas ide demokarasi diluar mekanisme
formal, ia mengintensifkan konsef dengan memasukan penekanan pada kebebasan

14
Jeff Hayness, Demokrasai dan Masyarakat Sipil di Dunia ketiga : Gerakan Politik Terbaru
Kaum Tertinggi ( Jakarta: Yasayasan Obor Indonesia, 2000 ), hal. 137

10
dan diwakilinya kepentingan melalui forum public yang dipilih dan dengan
partisipasi kelompok.

F. Monarki dan Monarki Konstitusional


Monarki adalah sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan, dimana
yang berhak menggantikan raja adalah keturunanya. Rakyat tidak memiliki hak
untuk mengggatikan kekuasaan. Titah raja harus diikuti oleh rakyatnya , sehingga
ada ketundukan peneuh dari rakyat yang diperintahnya.
Tetapi ada bentuk lain dari monarki, yaitu monarki Konstitusional yang
secara jelas dalam konstitusinya disebutkan sebagai Negara kerajaan. Maroko dan
Jordania adalah contoh nyata dari monarki konstitusiaonal.

3. Pendapat Ulama Tentang Sistem Pemerintahan Islam


Pandangan ulama klasik dan pertengahan, pada dasarnya menerima
keabsahan sistem pemerintahan Islam (khilafah). Perbedaan pendapat tentang
sistem khilafah terjadi di kalangan ulama kontemporer.
Sarjana Islam pertama yang menuangkan teori politiknya mengenai
pandangan ulama tentang khilafah dalam suatu karya tulis, adalah Syihab al-Din
Ahmad Ibn Abi Rabi’ yang hidup di Baghdad semasa pemerintah Mu’tashim abad
IX Masehi. Kemudian menyusul pemikir-pemikir seperti al-Farabi, al-Mawardi,
al-Ghazali, Ibn Taimiyah dan Ibn Khaldun. Mereka inilah yang kiranya dianggap
cukup untuk mewakili pemikiran politik Islam pada zaman klasik dan
pertengahan.
Ibn Abi Rabi’ berpandangan tentang khilafah, bahwa manusia satu sama
lain saling memerlukan, kemudian berkumpul dan menetap di suatu tempat. Dari
proses ini maka tumbuh kota-kota yang pada akhirnya membentuk pemerintahan
(negara). Sebagai seorang ulama, Ibn Abi Rabi’ memilih sistem monarki di bawah
pimpinan seorang raja serta penguasa tunggal dari sekian banyak bentuk
pemerintahan yang ada. Untuk urusan agama, Ibn Abi Rabi mengatakan bahwa
Allah telah memberikan keistimewaan kepada raja dengan segala keutamaan,

11
telah memperkokoh kedudukan mereka di bumi-Nya, dan mempercayakan
hamba-hamba-Nya kepada mereka.
Adapun al-Mawardi yang terkenal dengan perumus konsep imamah,
menyatakan bahwa khilafah diperlukan karena alasan; pertama adalah untuk
merealisasi ketertiban dan perselisihan. Menurut al-Mawardi, kata ulil amri dalam
al-Quran adalah imamah (kepemimpinan). Lebih dari itu, dalam karyanya al-
Ahkam al-Sultaniyyah al-Mawardi mengemukakan bahwa imamah atau khalifah
adalah penggantian posisi Nabi untuk menjaga kelangsungan agama dan urusan
dunia. Secara tersirat bahwa bentuk negara yang ditawarkan al-Mawardi lebih
kepada teokrasi, menjadikan agama dan Tuhan sebagai pedoman dalam bernegara.
Bahwa pemerintahan merupakan sarana untuk menegakkan hukum-hukum Allah,
sehingga pelaksanaannya pun berdasar dan dibatasi oleh kekuasaan Tuhan.
Sejalan dengan al-Mawardi, al-Ghazali mengemukakan bahwa bentuk
pemerintahan dalam Islam adalah teokrasi atau khilafah. Sebab, kekuasaan kepala
negara tidak datang dari rakyat, melainkan dari Allah. Al-Ghazali berdalil kepada
al-Quran surat Ali Imran ayat 26 yang menyatakan:
“Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan
kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari
orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki
dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki, di tangan Engkaulah segala
kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Adapun Ibn Taimiyah menganggap bahwa mendirikan suatu negara untuk
mengelola urusan umat merupakan kewajiban agama yang paling agung, karena
agama tidak mungkin tegak tanpa negara. Alasan lain adalah Allah
memerintahkan amar ma'ruf dan nahi mungkar, serta misi atau tugas tersebut tidak
mungkin dilaksanakan tanpa kekuatan atau kekuasaan pemerintah. Lebih lanjut ia
mengatakan, pemerintahan pada masa Nabi dinamakan khilafah dan sesudahnya
disebut dengan istilah kerajaan. Meskipun demikian, Ibn Taimiyah tetap
membolehkan kerajaan dengan istilah khilafah (jawaz tasmiyyah al-muluk
khulafa). Dengan kata lain, raja-raja yang berkuasa boleh menggunakan istilah
atau gelar khalifah. Hal ini karena menurut Ibn Taimiyah yang penting ada

12
seorang pemimpin negara ketimbang tidak ada, meskipun bentuknya kerajaan
asalkan para pemimpinnya menjaga agama dan keadilan.
Jika ulama klasik dan pertengahan lebih banyak memberikan pandangan
tentang khilafah kepada usaha perbaikan dan saran-saran terhadap pemerintahan
yang sudah ada, menjelang akhir abad XIX atau yang dikenal masa kontemporer
pemikiran politik Islam mulai mengalami pergeseran yang signifikan dan
berkembanglah pluralitas pemikiran tentang sistem khilafah.
Munculnya pemikiran politik Islam kontemporer, banyak dilatarbelakangi
oleh tiga faktor. Pertama, faktor kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang
disebabkan faktor-faktor internal, dan yang berakibat munculnya gerakan-gerakan
pembaharauan dan pemurnian Islam. Kedua, karena hegemoni Barat terhadap
keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang berujung dengan
dominasi atau penjajahan oleh negara-negara Barat atas sebagian besar wilayah
dunia Islam, hingga runtuhnya kekhilafahan Turkni Utsmani. Ketiga, karena
keunggulan Barat dalam bidang ilmu, teknologi, organisasi dan politik.
Misalnya Jamaluddin al-Afghani yang menyerukan bahwa dalam usaha
pemurnian akidah dan ajaran Islam serta pengembalian keutuhan umat Islam,
perlu dibentuk suatu ikatan politik yang mempersatukan seluruh umat Islam
(Jami’ah Islamiyah) atau Pan-Islamisme. Jami’ah tersebut dibangun atas
solidaritas akidah Islam, dengan tujuan membina kesetiakawanan dan persatuan
umat Islam untuk menentang sistem pemerintahan (di negeri sendiri) yang
despotik dan mengantinya dengan sistem pemerintahan yang diajarkan Islam, juga
menentang kolonialisme dan dominasi Barat, termasuk juga menentang sistem
pemerintahan Utsmaniah yang absolut.
Demikian juga dengan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Tetapi ada
yang menarik dari gagasan Abduh terhadap sistem khilafah. Tidak ada salahnya
umat Islam berkiblat kepada Barat dalam pola pemerintahan, jika pola tersebut
tidak secara jelas dilarang oleh al-Quran maupun sunnah. Artinya, pemerintahan
Islam tidak harus berbentuk khilafah, tapi boleh republik jika dipandang lebih
baik.

13
Gagasan yang hampir sejalan adalah Husain Haikal. Menurut Haikal
prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan yang diberikan oleh al-Quran dan
sunah tidak ada yang langsung berkaitan dengan kekhalifahan. Kehidupan
bernegara bagi umat Islam itu baru mulai pada waktu Nabi berhijrah dan menetap
di Madinah. Nabi mulai meletakkan ketentuan-ketentuan dasar bagi kehidupan
keluarga, pembagian waris, usaha dan jual beli. Ayat-ayat yang diwahyukan
dalam periode Makkah terbatas pada ajakan untuk menegaskan Tuhan dan
keimanan, serta nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Bahkan ketentuan-ketentuan
dasar tentang kehidupan bermasyarakat, kehidupan ekonomi dan budi pekerti
tersebut belum menyentuh secara rinci dasar-dasar bagi kehidupan bernegara,
apalagi langsung menyinggung sistem pemerintahan.
Pandangan Abduh ini kiranya yang mendorong sahabat dan muridnya
cenderung ke arah paham nasionalisme dan sekularisme seperti Lutfi Sayyid,
Thaha Husaen dan Ali Abd al-Raziq. Bahkan Abdul Raziq mempertanyakan dasar
anggapan bahwa mendirikan pemerintahan dengan pola khilafah merupakan
keharusan agama. Apabila ditinjau dari segi agama maupun rasio, pola
pemerintahan khilafah itu tidak relevan. Raziq membedakan antara misi kenabian
dengan pemerintahan. Misi kenabian bui/anlah pemerintahan dan agama itu bukan
negara dan harus dibedakan mana yang Islam dan mana yang Arab, mana yang
agama dan mana yang politik. Raziq tidak sependapat dengan kebanyakan ulama
yang menyatakan bahwa mendirikan khilafah merupakan suatu kewajiban, dan
tidak ada satupun dasar yang mewajibkan itu, baik al- Quran, hadis maupun ijma’.
Sementara pemikir politik Islam lain seperti Maududi berpendapat bahwa
Islam adalah suatu agama yang paripurna, yang mengatur segala aspek kehidupan,
dan mendirikan khilafah Islam merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar.
Demikian juga pendapat Rasyid Ridha, Hasan al-Bana maupun Sayyid Qutb.
Secara umum, teori-teori pemerintahan yang mereka ajukan terdapat kesamaan,
misalnya bahwa pola pemerintahan Islam adalah universal yang tidak mengenal
batas-batas dan ikatan-ikatan geografis, bahasa maupun kebangsaan.
Maududi kemudian mengajukan gagasan-gagasan politiknya secara lebih
rinci, seperti teori kedaulatan. Menurut Maududi, dalam sistem khilafah

14
kedaulatan tertinggi adalah milik Allah, bukan pada rakyat atau yang lazim
disebut demokrasi, tetapi lebih tepat disebut teokrasi meskipun tidak sama dengan
teokrasi di Eropa. Manusia hanyalah pelaksana kedaulatan tersebut, dengan
membentuk badan-badan pemerintah. Pmerintahan hendaknya dilakukan oleh tiga
lembaga, yaitu: badan legislatif, eksekutif dan judikatif. Jabatan kepala negara,
menurut Maududi idealnya diduduki oleh orang yang mempunyai kriteria-kriteria
tertentu seperti: beragama Islam, laki-laki, dewasa, sehat fisik dan mental, warga
negara yang terbaik, shaleh, dan kuat komitmennya kepada Islam.
Hampir sejalan dengan al-Maududi, Taqiyuddin al-Nabhani yang
memandang bahwa untuk mengatur kehidupan politik umat Islam tidak perlu
bahkan tidak boleh meniru pola lain, dan supaya kembali pelaksanaan yang murni
dari ajaran Islam, yaitu kembali kepada pola zaman al-Khulafa’ al-Rasyidin.
Taqiyuddin menganggap bahwa implementasi syariat sangat penting bagi
pemulihan cara hidup Islami dan negara merupakan syarat yang niscaya untuk
mencapai tujuan ini. Bentuk negaranya adalah khilafah. Sesuai karakteristik Islam
yang universal itu, maka sistem khilafah harus supra nasional, dan tidak mengakui
pengkotak-kotakan yang berdasarkan faktor geografis, suku, etnik dan
kebangsaan.15

15
http://rujukanmakalah.blogspot.com/2012/11/pandangan-ulama-tentang-khilafah.html. diakses
pada tanggal 29 September 2016, jam 23:45

15
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Bentuk Negara dalam Islam
A. Negara Kesatuan
Dalam praktik sejarah politik ummat islam,sejak zaman Rasullah
SAW hingga al-khulafa al-Rasyidun jelas tampak bahwa islam
dipraktekkan didalam ketatanegaraan sebagai Negara kesatuan,dimana
kekuasaan terletak pada pemerintahan pusat, gubernur-gubernur dan
panglima-panglima diangkat serta diberhentikan oleh khalifah. Hal ini
berlangsung sampai jatuhnya Daulah Umaiyah di Damaskus.
Kemudian timbul tiga kerajaan Islam yang tampaknya terpisah satu
sama lain yaitu Daulah Abbasiyah di Baghdad, Daulah Umaiyah di
Mesir dan Daulah Umaiyah di Andalusia.
B. Negara Federal
Negara Islam masih berbentu Negara kesatuan. Baik dimasa
pemerintahan daerah masih Imarah Khasanah dizaman Nabi dan
Khhalifah Abu bakar, maupun sesudah menjadi Iamarah ‘Ammah
yang dimulai oleh Khalifah Umar, Negara Islam masih tetap
merupakan Negara kesatuan. Tetapi, setelah pemerintahan daerah
menjadi Imarah istila; barulah berubah bentuk menjadi Negara
Federasi.
2. Sistem pemerintahan dalam Islam
KHALIFAH
Khilafah adalah pemerintahan islam yang tidak dibatasi oleh
wilayah teritorial, sehingga kekhalifahan islam meliputi berbagai suku
dan bangsa. Ikatan yang mempersatukan kekhalifahan adalah islam
sebagai agama. Pada intinya, kekhalifahan adalah kepeminpinan umum
yang mengurusi agama dan kenegaraan sebagai wakil dari Nabi SAW.
A. KHILAFAH BERDASARKAN SYURA

16
Sistem pemerintahan islam berdasarka syura pernah dipraktekkan
pada masa al-Khulafa al-Rasyidun ketika mereka memerintah islam
dibeberapa kawasan yang didasarkan pada system musyawarah sebagai
paradigm dasar kekuasaan.Abu Bakar Al-Shiddiq, umar bin al-Khattab,
Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib telah menjalankan system
pemerintahan yang dilandasi oleh semangat musyawarah.
B. KHILAFAH MONARKI
Pasca berakhirnya al-Khulafa al-Rasyidun, kekhalifahan
dilanjutkan oleh khalifah bani Umaiyah dengan Muawiyah bin Abu
Sofyan sebagai khalifah pertama.Sejak saat itulah khilafah Islamiyah
yang sudah berdasarkan syura digantikan dengan system keturunan,
menjadi Negara kerajaan (monarki) mengikuti system yang diperlakukan
di Persia dan Romawi.
C. IMAMAH
Kunci utama Imamah dalam politik syi’ah adalah terletak pada
posisi imam. Karena status politik dari para imam adalah bagian yang
esensial dalam mazhab Syi’ah Imamiyah.Mereka dianggap penerus yang
dari nabi Muhammad SAW dan mereka percaya bahwa setiap penerus
harus ditunjuk oleh Allah SWT melalui nabinya.Para Imam dianggap
sebagai penerus nabi dan pewaris yang sah dari otoritasnya.
D. DEMOKRASI
Kata Demokrasi memiliki berbagai makna. Tetapi pada dunia
modern ini penggunaanya mengandung arti kekuasaan tertinggi dalam
urusan politik adalah hak rakyat. Demokrasi adalah suatu bentuk
pemerintahan dimana keputusan-keputusan penting pemerintah, atau garis
kebijakanaan dibelakang keputusan-keputusan tersebut secara langsung
atau tidak langsung, hanya dapat berlangsung jika disetujui secara bebas
oleh mayoritas masyarakat dewasa yang berada dalam posisi
pemerintahan.
E. MONARKI KONSTITUSIONAL

17
monarki Konstitusional yang secara jelas dalam konstitusinya
disebutkan sebagai Negara kerajaan. Maroko dan Jordania adalah contoh
nyata dari monarki konstitusiaonal.
3. Pendapat Ulama Tentang Sistem Pemerintahan Islam
Pandangan ulama klasik dan pertengahan, pada dasarnya menerima
keabsahan sistem pemerintahan Islam (khilafah). Perbedaan pendapat
tentang sistem khilafah terjadi di kalangan ulama kontemporer.
Sarjana Islam pertama yang menuangkan teori politiknya mengenai
pandangan ulama tentang khilafah dalam suatu karya tulis, adalah Syihab
al-Din Ahmad Ibn Abi Rabi’ yang hidup di Baghdad semasa pemerintah
Mu’tashim abad IX Masehi. Kemudian menyusul pemikir-pemikir seperti
al-Farabi, al-Mawardi, al-Ghazali, Ibn Taimiyah dan Ibn Khaldun. Mereka
inilah yang kiranya dianggap cukup untuk mewakili pemikiran politik
Islam pada zaman klasik dan pertengahan.

18
DAFTAR PUSTAKA

- Abdulrrahman Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Dar al Fikr,


Beirut t.t.
- Ahmad Vaezi, Agama politik Nalar Politik Islam, Citra, Jakarta,
2006.Djazuli, Fiqih Siyasah: Implementasi kemaslahatan ummat dalam
Rambu-Rambu Syari’ah, Gunung Djati Press, Bandung, 2000.
- Jeff Hayness, Demokrasai dan Masyarakat Sipil di Dunia ketiga :
Gerakan Politik Terbaru Kaum Tertinggi, Yasayasan Obor Indonesia,
Jakarta, 2000.
- Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah, Erlangga, Jakarta,
2008.
- Samis Athief az-Zain, syari’at Islam: Dalam Perbincangan Ekonomi,
Politik dan Sosial sebagai Studi Perbandingan, Husaini, Bandung, 1988.
- Zainal Abidin Ahmad, Membangun Negara Islam, Iqra Pustaka, Jakarta,
1956.
- http://rujukanmakalah.blogspot.com/2012/11/pandangan-ulama-tentang-
khilafah.html. diakses pada tanggal 29 September 2016, jam 23:45.

19

Anda mungkin juga menyukai