Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Dalam sisitem ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat tiga pilar
kekuasaan negara, yaitu Kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif
(Kehakiman). Berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 24 UUD
1945 (Perubahan) Jo. UU No. 4 Tahun 2004, ditegaskan bahwa Kekuasaan
Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai lingkungan peradilan yang
terakhir dibentuk yang ditandai dengan disahkannya Undang-undang No. 5 tahun
1986 pada tanggal 29 Desember 1986, dalam konsideran “Menimbang” undang-
undang tersebut disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Peradilan Tata
Usaha Negara (PTUN) adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan
bangsa yang sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang menjamin kedudukan
warga masyarakat dalam hukum dan menjamin terpeliharanya hubungan yang
serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan
para warga masyarakat. Dengan demikian lahirnya PTUN juga menjadi bukti
bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai
keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Sebagai negara yang demokratis, Indonesia memiliki sistem
ketatanegaraan dengan memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dari
ketiga lembaga tersebut, eksekutif memiliki porsi, peran dan wewenang yang
paling besar apabila dibandingkan dengan lembaga lainnya, oleh karenanya perlu
ada kontrol terhadap pemerintah untuk adanya check and balances. Salah satu
bentuk kontrol yudisial atas tindakan administrasi pemerintah adalah melalui
lembaga peradilan. Dalam konteks inilah maka Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN) dibentuk dengan UU No. 5 tahun 1986, yang kemudian dengan adanya

1
tuntutan reformasi di bidang hukum, telah disahkan UU No. 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas UU No. 5 Tahun1986. Berangkat dari hal inilah kami membuat
sebuah makalah dengan judul “Hukum Acara Peradilan Administrasi Negara ”.

I.2 Tujuan
Berdasarkan uraian di atas, tujuan dari disusunnya makalah ini, yaitu:
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan hukum acara peradilan
administrasi negara.
2. Mengetahui bagaimana proses penyelesaian perkara dalam hukum acara
peradilan administrasi negara.

I.3 Kerangka Pemikiran


Kerangka pemikiran dalam menyusun makalah ini, yakni:
1. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara
2. Keputusan Tata Usaha Negara
3. Praktik Gugatan Tata Usaha Negara
4. Jenis-Jenis Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan Tata Usaha Negara
5. Pembuktian
6. Putusan
7. Upaya Hukum
8. Eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara

2
BAB II
LANDASAN TEORITIS

Keberadaan Hukum Administrasi Negara (selanjutnya disebut Hukum Tata


Usaha Negara) didasari oleh beberapa peraturan perundang-undangan yang
meliputi1:
1. Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yang rumusannya sebagai berikut: “Kekuasaan Kehakiman
dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan
Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
2. Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, bahwa: “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata
Usaha Negara.
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagimana telah diubah untuk
kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.

II.1 Pengertian2
Sebelum membahas mengenai pengertian dari Peradilan Tata Usaha
Negara, ada baiknya disinggung terlebih dahulu mengenai pengertian Tata Usaha
Negara. Pasal 1 Ayat (1) UU. No. 5 Tahun 1986 merumuskan bahwa Tata Usaha
Negara adalah administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan bak di pusat maupun di daerah.
Indroharto menyimpulkan bahwa Tata Usaha Negara dapat diartikan sebagai
1
Dwi Putri Cahyati, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Depok, Gramata Publishing,
2011, hal. 1.
2
_______, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Depok, Gramata Publishing, 2011, hal. 8.

3
berikut:3 Tata Usaha Negara adalah sama dengan Administrasi Negara. Oleh
karena itu, UndangUndang ini menurut Pasal 144 juga dapat disebut “Undang-
Undang Peradilan Administrasi Negara”.
Dengan demikian, Hukum Tata Usaha Negara atau Hukum Administrasi
Negara adalah keseluruhan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan
penyelenggaraan urusan pemerintah (negara). Berkaitan dengan definisi Peradilan
Tata Usaha Negara, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah
diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara tidak merumuskan definisinya. Namun bukan berarti
tidak terdapat kejelasan mengenai definisi dari Peradilan Tata Usaha Negara itu
sendiri, karena definisi/Peradilan Tata Usaha Negara itu sendiri dapat disimpulkan
dari Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah
untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, bahwa yang dimaksud dengan Peradilan Tata Usaha Negara
adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang ditugasi untuk memeriksa,
memutus dan menyelesaikan sengketa dalam bidang Tata Usaha Negara antara
orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang dianggap
melanggar hak orang/badan hukum perdata.
Berdasarkan uraian tersebut, secara sederhana dapat dipahami bahwa
yang menjadi subjek di Peratun adalah Seseorang atau Badan Hukum Perdata
sebagai Penggugat, dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai Tergugat.
Sementara itu yang menjadi objek di Peratun adalah Surat Keputusan Tata Usaha
Negara (beschikking).

3
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta,
Pustaka Sinar Harapan, 1996, hal. 27.

4
II.2 Kedudukan Peradilan Tata Usaha Negara
Kedudukan Peradilan Tata Usaha Negara ditentukan daam Pasal 4
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua
kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
yang rumusannya sebagai berikut: “ Peradilan Tata usaha Negara adalah salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata
Usaha Negara.”
Lebih lanjut, dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara juga ditegaskan bahwa:
“Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan
oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.”
Demikian juga dalam Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, ditegaskan, bahwa “Kekuasaan
Kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara berpuncak pada
Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.”

II.3 Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara


Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara memiliki ciri khas tersendiri.
Ciri khas tersebut tampak dari asas-asas yang melandasinya, yaitu4:
1. Asas Praduga Rechmatig (vernoeden van rechtmatigheid = presumption
iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan
penguasa selalu harus dianggap rechtmatig sampai ada pembatalannya.
Dengan asas ini gugatan menunda pelaksanaan KTUN yang digugat.
2. Asas pembuktian bebas. Hakim yang menetapkan beban pembuktian.

4
Philipus M. Hadjon, et. All., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta, Gadjah
Mada University Press, 2001, hlm. 133.

5
3. Asas keaktifan hakim (dominus litis). Keaktifan hakim dimaksudkan untuk
mengimbangi kedudukan para pihak karena tergugat adalah pejabat Tata
Usaha Negara sedangkan penggugat adalah orang perseorangan atau badan
hukum perdata.
4. Asas Putusan Pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga omnes”.
Sengketa TUN adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian, putusan
pengadilan TUN berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para pihak yang
bersengketa.

II.4 Istilah-Istilah Hukum Tata Usaha Negara5


1. HAN (Hukum Administrasi Negara) atau Staat Administratief recht.
2. Hukum Administrasi (Administratief recht) di Belanda.
3. Hukum Tata Pemerintahan (Bestuur Recht) di UU No. 5 Tahun 1986
sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
4. Hukum Tata Usaha Pemerintahan
5. Hukum Tata Usaha Negara (UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah
diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).
6. Administrative Law (di Inggris).
7. Verwaltungs Recht (di Jerman).
8. Droit Administratief (di Prancis).

II.5 Subjek dan Objek Peradilan Tata Usaha Negara


II.5.1 Subjek
Yang menjadi subjek dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah
1. Penggugat

5
Neng Yani Nurhayani, Pengantar Hukum Indonesia, Lembaga Peneitian UIN Sunan Gunung
Djati, Bandung, 2014, hal. 135.

6
2. Yang disebut penggugat sesuai Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah
seseorang atau badan hukum perdata yang berkedudukan sebagai subjek
hukum saja yang dapat mengajukan gugatan.
3. Tergugat
4. Ketentuan mengenai Tergugat terumus dalam Pasal 1Angka 6 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua
kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara bahwa Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada
padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau
badan hukum perdata.
II.5.2 Objek
Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah
diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara bahwa objek sengketa Tata Usaha Negara adalah
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan
hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

7
BAB III
PEMBAHASAN

III.1 Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara


III.1.1 Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut merupakan wewenang badan pengadilan dalam
memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh
badan pengadilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama (Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi) maupun dalam lingkungan peradilan lain (Pengadilan
Agama). Kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara terdapat dalam Pasal
47 yang menentukan bahwa Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.
Yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara menurut Pasal 1
angka 4 adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara
orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara,
baik di Pusat maupun di Daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata
Usaha Negara, termask sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
III.1.2 Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif Peradilan Tata Usaha Negara tertuang dalam Pasal 54
Undang-Undang No. 5 Tahun1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya
dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
meliputi6:
1. Tempat kedudukan tergugat, yang dimaksud adalah tempat kedudukn
secara nyata atau tempat kedudukan menurut hukum.
2. Tempat kedudukan salah satu tergugat. Jika pihak yang menjadi tergugat
lebih dari satu badan/pejabat Tata Usaha Negara, maka gugatan diajukan
kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan

6
Dwi Putri Cahyati, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Depok, Gramata Publishing,
2011, hal. 19-26.

8
salah satu badan/pejabat Tata Usaha Negara yang menjadi tergugat
tersebut.
3. Tempat kedudukan penggugat untuk diteruskan kepada PTUN di tempat
tergugat. Apabila tempat tergugat berada di luardaerah hukum pengadilan
tempat kediaman penggugat, gugatan dapat disampaikan kepada
Pengadilan Tata Usaha Negara tempat kediaman penggugat untuk
diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan.
4. Tempat kedudukan penggugat, terhadap sengketa tata usaha negara
tertentu yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Gugatan dapat diajukan
di PTUN tempat penggugat berdomisili.
5. PTUN Jakarta, dalam hal penggugat dan tergugat berkedudukan di kuar
negeri, gugatan diajukan pada PTUN Jakarta.

III.2 Keputusan Tata Usaha Negara


III.2.1 Pengertian7
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 bahwa sengketa Tata Usaha Negara itu selalu merupakan akibat dari
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Oleh karena itu pengertian tentang
apa itu Keputusan Tata Usaha Negara sangatlah penting untuk dipahami karena
dengan memberikan pengertian yang lain akan memberikan pengertian yang salah
tentang apa yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara.
Menurut Udang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah
untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubaha Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara bahwa Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi
tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
1. Unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara

7
R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 17.

9
a. Penetapan Tertulis
Unsur ini menentukan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 harus merupakan penetapan tertulis.
Penjelasan Pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa “Istilah penetapan tertulis
terutama menunjuk kepada isi bukan kepada bentuk keputusan yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan tata
Usaha Negara itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan
tertulis bukanlah formalnya seperti surat keputusan pengangkatan dan
sebagainya”.
b. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
Unsur ini menentukan bahwa “penetapan tertulis” itu harus dikeluarkan oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Menurut Pasal 1 angka 2 yang
dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau
Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Atau dengan kata lain, Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku mempunyai wewenang untuk
melaksanakan urusan pemerintahan.
c. Tindakan Hukum Tata Usaha Negara
Adalah perbuatan hukum Badan atau Tata Usaha Negara yang bersumber pada
ketentuan hukum Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak dan
kewajiban pada orang lain. Dengan kata lain, tindakan hukum Tata Usaha
Negara adalah tindakan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
dilakukan atas dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
menimbulkan akibat hukum mengenai peraturan pemerintahan terhadap
seseorang atau badan hukum perdata.
d. Bersifat Konkret
Artinya, objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak
abstrak tetapi terwujud, tertentu atau dapat ditentukan, umpamanya keputusan
mengenai pembongkaran rumah si A, izin usaha si B, pemberhentian si A
sebagai PNS dll.

10
e. Bersifat Individual
Artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan umum, tetaoi
tertentu, baik alamat maupun hal yang dituju, dan
f. Bersifat Final
Artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum.
g. Menimbulkan Akibat Hukum
Maksudnya adalah menimbulkan akibat hukum Tata Usaha Negara, karena
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha yang
menimbulkan akibat hukum tersebut adalah berisi tindakan hukum Tata Usaha
Negara. Akibat hukum Tata Usaha Negara tersebut adalah8 berupa :
1) Mengutakan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah ada
(declaratoir), misalnya surat keterangan PPAT yang isinya menyebutkan
antara A dan B memang telah terjadi jual beli tanah.
2) Menimbulkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang baru
(constitutief), misalnya keputusan jaksa Agung tentang pengangkatan
calon PNS atau surat izin impor ekspor suatu Perseroan Terbatas dari
Kemenperidag.

III.3 Praktik Gugatan Tata Usaha Negara


III.3.1 Gugatan
Gugatan adalah suatu surat yang di ajukan oleh penguasa pada ketua
pengadilan agama yang berwenag, yang memuat tuntutan hak yang didalamnya
mengandung suatu sengketa dan merupakan landasan dasar pemeriksaan perkara
dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak. Berkenaan dengan gugatan, Pasal 1
Angka 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk
kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara bahwa gugatan merupakan permohonan yang berisi tuntutan terhadap

8
Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum
Administrasi, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 118-119.

11
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke Pengadilan untuk
mendapatkan putusan.
Bentuk permohonan dalam Hukum Acara PTUN dapat dijumpai dalam
Pasal 60 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk
kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang
rumusannya sebagai berikut9:
1. Ayat (1) Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua
Pengadilan untuk bersengketa dengan Cuma-Cuma;
2. Ayat (2) Permohonan diajukan pada waktu penggugat mengajukan
gugatannya disertai dengan surat keterangan tidak mampu dari Kepala
Desa atau Lurah di tempat kediaman Pemohon;
3. Ayat (3) Dalam keterangan tersebut harus dinyatakan bahwa pemohon itu
betul-betul tidak mampu membayar biaya perkara.
Selanjutnya lebih dipertegas dalam Pasal 61 Undang-Undang No. 5 Tahun
1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara yang rumusannya sebagai berikut10
1. Ayat (1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 harus
diperiksa dan ditetapkan oleh Pengadilan sebelum pokok sengketa
diperiksa dan ditetapkan oleh Pengadilan sebelum pokok sengketa
diperiksa;
2. Ayat (2) Penetapan ini diambil di tingkat pertama dan terakhir;
3. Ayat (3) Penetapan Pengadilan yang telah mengabulkan permohonan
penggugat untuk bersengketa dengan Cuma-Cuma di tingkat pertama, juga
berlaku di tingkat banding dan kasasi.

9
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU
No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negar
10
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU
No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara

12
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa permohonan untuk beracara
dengan cuma-cuma pada Pengadilan Tata Usaha Negara haruslah diajukan pada
waktu Penggugat mengajukannya dengan disertai surat keterangan tidak mampu
yang menunjukkan bahwa penggugat benar-benar tidak mampu membayar biaya
perkara. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya kewajiban membayar
uang muka biaya perkara sebelum gugatan dicatat dalam daftar perkara oleh
Panitera Pengadilan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 59 Undang-Undang No.
5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Sebelum suatu gugatan diajukan ke PTUN, ada beberapa hal penting yang
perlu diperhatikan oleh Penggugat. Hal dimaksud meliputi11
1. Jangka Waktu Pengajuan Gugatan
Pengajuan gugatan dapat diajukan hanya dalam tempo 90 hari. Pasal 55
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya
dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara menentukan bahwa
gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari
terhitung sejak diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara.
2. Syarat-Syarat Gugatan
Gugatan yag hendak diajukan hendaknya memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut12:
a. Syarat Formal
Syarat formal suatu gugatanTata Usaha Negara ditentukan dalam Pasal 56
Ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk
kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas

11
Dwi Putri Cahyawati, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Depok, Gramata
Publishing, 2011, hal. 43-44.
12
Dwi Putri Cahyawati, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Depok, Gramata Publishing,
2011, hal. 44-46.

13
Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
yaitu meliputi:
1) Identitas Para Pihak yang meliputi nama, kewarganegaraan, domisili dan
pekerjaan Penggugat atau kuasanya sertanama jabatan dan tempat
kedudukan Tergugat.
2) Tenggang waktu pengajuan gugatan. Hal ini perlu dicantumkan karena
berkaitan dengan masa kadaluarsa pengajuan gugatan.
3) Tanggal pengajuan gugatan. Penentuan masa kadaluarsa pengajuan suatu
gugatan dapat dilihat dari tanggal diajukannya gugatan sehingga tanggal
pengajuan gugatan wajib dicantumkan.
4) Tanda tangan Penggugat atau Kuasanya. Untuk keabsahan suatu gugatan
perlu dibubuhi tanda tangan sah dari Penggugat atau kuasanya.
b. Syarat Materiil
Syarat materiil suatu gugatan Tata Usaha Negara adalah :
1) Objek Gugatan, objek gugatan harus disebutkan secara jelas di dalam
suatu gugatan. Misalnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional
No. 05/Kpts.Mendiknas/II/2005, tertanggal 2 Mei 2005.
2) Posita Gugatan (Dasar-Dasar Gugatan). Berisikan dalil-dalil Penggugat
untuk mengajukan gugatan secara ringkas, sederhana dan jelas. Posita
gugatan berisi fakta hukum, kualifikasi perbuatan Tergugat dan uraian
kerugian Penggugat.
3) Petitum. Merupakan kesimpulan dari suatu gugatan, berisikan hal-hal yang
dituntut oleh Penggugat untuk diputuskan oleh hakim.
c. Alasan-alasan Mengajukan Gugatan
Yang dapat dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan Tata Usaha Negara
meliputi13:
1) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku,
2) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-
asas umum pemerintahan yang baik.
13
Dwi Putri Cahyawati, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Depok, Gramata Publishing,
2011, hal. 50-51

14
Dalam penjelasan Pasal tersebut dirumuskan bahwa yang dimaksudkan asas-
asas umum pemerintahan yang baik dalah asas-asas yang dimaksudkan dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme, yakni meliputi
asas kepastian hukum, terti=b penyelenggara negara, kepentingan umum,
keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas dan akuntabilitas.
III.3.2 Mekanisme Pengajuan Gugatan
Setelah gugatan dirumuskan, Penggugat mendaftarkan gugatannya ke
pengadilan yang berwenang memeriksa perkaranya, pendaftaran gugatan dapat
dilakukan melalui tiga cara, yaitu:
1. Daftar langsung di Peradilan Tata Usaha Negara. Setelah Penggugat
membayar uang muka biaya perkara, panitera Pengadilan memberinya
nomor register. Tanggal diterimanya gugatan dianggap sebagai tanggal
diajukannya gugatan kepada Pengadilan.
2. Melalui PTUN tempat kediaman penggugat, dalam haltempat kedudukan
tergugat berada di luar daerah hukum pengadilan tempat kedudukan
penggugat, maka gugatan dapat disampaikan melalui PTUN di tempat
kediaman penggugat untuk diteruskan kepada PTUN yang berwenang
memeriksa perkara itu di tempat kedudukan tergugat.
3. Melalui surat tercatat sesuai Keputusan Badan Litbang Mahkamah Agung,
maka gugatan dapat disampaikan melalui Pos dengan surat tercatat kepada
PTUN.
III.3.3 Pengaruh Keadaan Terhadap Gugatan
Setelah gugatan itu disampaikan ke pengadilan, dalam praktik seringkali
terjadi hal-hal di luar yang direncanakan semula. Keadaan dimaksud meliputi:
1. Perubahan Gugatan
Berkaitan dengan perubahan gugatan, hakim PTUN dapat mengijinkan
penggugat untuk mengubah gugatannya dengan catatan perubahan dimaksud tidak
menyimpang dari kejadian materiil yang menjadi dasar suatu gugatan dengan
memperhatikan kepentingan kedua belah pihak. Dibolehkannya perubahan
gugatan berdasarkan Pasal 75 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah

15
diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
2. Pencabutan Gugatan
Pencabutan gugatan telah diatur di dalam Pasal 76 ayat (1) UU No.b5
Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Namun, dalam praktiknya banyak
penggugat yang terlanjur sakit hati sehingga enggan menacabut gugatannya.
3. Perdamaian
Dalam SEMA Nomor 2 Tahun1991 ditegaskan bahwa dalam perkara tata
usaha negara dimungkinkan adanya perdamaian antara penggugat dan tergugat
namun hanya dapat dilakukan di luar persidangan. Apabila perdamaian telah
disepakati maka perkara di pengadilan dicabut dan dicoret dari daftar perkara di
Pengadilan.

III.4 Jenis-Jenis Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan Tata Usaha Negara


1. Dismissal Process
Dismissal process adalah penelitian terhadap hal-hal yang bersifat formala
adminiatratif yang harus dipenuhi dalam suatu gugatan seperti identitas para
pihak, alamat para pihak dan alamat pengadilan yang dituju. Dismissal Process
tersebut merupakan prosedur khusus yang dilakukan PTUN dalam pemeriksaan
perkara. Dalam Dissmissal Process tersebut ketua pengadilan berwenang
memanggil kedua belah pihak untuk mendengarkan ketetapan Dissmissal Process.
2. Pemeriksaan dengan Acara Singkat
Jika penggugat merasa tidak puas terhadap hasil penetapan Dismissal
precess maka sesuai Pasal 62 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, bahwa penggugat dapat mengajukan perlawanan
kepada pengadilan dalam tenggang waktu empat belas hari setelah diucapkan,

16
setelah itu pengadilan akan memeriksa dan memutus perlawanan dengan acara
singkat sesuai ketentuan Pasal di atas.
3. Pemeriksaan Persiapan
Acara pemerikasaan persiapan dalam hukum Acara Tata Usaha Negara
diatur dalam Pasal 63 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah
diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata bahwa:
(1) Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib
mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang
kurang jelas.
(2) Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Hakim:
a. wajib memberi nasihar kepada penggugat untuk memperbaiki
gugatan dan melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam
jangka waktu tiga puluh hari;
b. dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang bersangkutan.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
huruf a penggugat belum menyempurnakan gugatan, maka Hakim
menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima.
(4) Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat
digunakan upaya hukum, tetapi dapat diajukan gugatan baru.

Tujuan diadakannya pemeriksaan persiapan ini adalah untuk dapat


meletakkan sengketanya dalam peta, baik mengenai obyeknya serta fakta-faktanya
maupun mengenai problema hukum yang harus dijawab nanti.

III.5 Pembuktian
Pembuktian merupakan suatu cara untuk membuktikan apa yang terjadi
dalam suatu peristiwa atau hubungan hukum. Dalam memproleh kepastian bahwa
suatu peristiwa atau hubungan hukum benar-benar telah terjadi, Majelis Hakim

17
memerlukan pembuktian yang meyakinkan agar dapat menerapkan hukum yang
tepat. Dalil-dalil yang menjadi dasar gugatan harus mampu dibuktikan oleh
penggugat sehingga gugatannya dapat dikabulkan oleh Majelis Hakim yang
memeriksa perkaranya. Pembuktian yang berlaku dalam Peradilan Tata Usaha
Negara adalah Pembuktian Bebas yang Terbatas. Dikatakan bebas terbatas karena
alat-alat bukti yang boleh digunakan dalam membuktikan sesuatu sudah
ditentukan secara limitatif dalam Pasal 100.
Adapun alat-alat bukti dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
dicantumkan dalam Pasal 100 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara yang meliputi14:
1. Surat atau Tulisan, menurut Pasal 101 bahwa alat bukti yang dipergunakan
dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha meliputi:
a. Akta Otentik, merupakan surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang
pejabat yang berwenang untuk itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai
alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum.
b. Akta di Bawah Tangan, merupakan surat yang dibuat dan ditandatangani oleh
pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai
alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di
dalamnya. Dikatakan “di bawah tangan” karena tidak dibuat oleh atau di
hadapan pejabat yang berwenang melainkan dibuat sendiri oleh pihak yang
berkepentingan dengan tujuan untuk dijadikan alat bukti.
c. Surat-surat lainnya yang bukan Akta, merupakan surat-surat lain yang dapat
dijadikan sebagai pendukung bukti-bukti yang diajukan. Kekuatan bukti surat
bukan akta diserahkan kepada kebijaksanaan Majelis Hakim, apakah
menganggapnya mempunyai kekuatan bukti sempurna atau menganggapnya
sebagai permulaan bukti tertulis bila surat bukan akta diajukan ke muka
sidang pengadilan.
14
Dwi Putri Cahyawati, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Depok, Gramata
Publishing, 2011, hal. 86-87

18
2. Keterangan Ahli
Untuk memperoleh kepastian tentang kebenaran suatu hal yang tidak
mungkin diketahui oleh hakim berdasarkan ilmu yang dimilikinya, hakim dapat
memerintahkan kepada seorang ahli dalam bidangnya agar memberikan
keterangan/pendapatnya tentang peristiwa yang diperkarakan., baik atas
permintaan salah satu pihak maupun karena jabatannya. Sebelum memberikan
keterangan/pendapatnya lebih dahulu dia harus mengucapkan sumpah promisor,
sehingga keterangan yang diberikannya itu adalah keterangan di bawah sumpah
sah menurut Undang-Undang.
3. Keterangan Saksi
Dalam pembuktian dengan saksi hendaknya digunakan lebih dari satu
saksi karena keterangan seorang saksi saja tanpa alat bukti lain tidak dapat
dipercaya atau unus testis nullus testis artinya satu saksi dianggap bukan saksi.
Agar peristiwa terbukti dengan sempurna menurut hukum, keterangan seorang
saksi harus dilengkapi dengan alat bukti lain, misalnya surat, pengakuan, sumpah.
4. Pengakuan Para Pihak
Pengakuan yang diucapkan di persidangan dapat berupa pengakuan lisan
dapat pula pengakuan tertulis yang dibacakan di persidangan. Pengakuan sifatnya
membenarkan seluruh atau salah satu hak atau hubungan hukum yang
dikemukakan oleh penggugat. Pasal 105 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negaramenjelaskan, bahwa pengakuan para pihak tidak
dapat ditarik kembali kecualin berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima
oleh Hakim.
5. Pengetahuan Hakim
Menurut Pasal 1O6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana
telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, pengetahuan Hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan
diyakini kebenarannya. Salah satu daripadanya adalah hal-hal yang terjadi selama

19
pemeriksaan oleh hakim tersebut, atau hakim lain yang ditunjuknya seperti hasil
pemeriksaan setempat guna melakukan penilaian yang tepat mengenai perkara
yang sedang diperiksa.

III.6 Putusan
Setelah pemeriksaan perkara selesai, Majelis Hakim mengumpulkan
semua hasil pemeriksaan untuk disaring mana yang penting dan mana yang tidak
penting. Berdasarkan hasil pemeriksaan, Majelis Hakim berusaha menemukan
peristiwanya kemudian menentukan apakah terjadi pelanggaran atau tidak, lalu
menentukan peraturan hukum atau menemukan hukum yang akhirnya Hakim
tersebut akan segera menjatuhkan putusannya.
Dalam putusan itu Hakim wajib mengadili semua bagian gugatan
penggugat dan semua alasan yang telah dikemukakan oleh pihak-pihak. Ini berarti
hakim harus memberikan putusan secara nyata untuk setiap bagian tuntutan
penggugat. Putusan dalam Kamus Hukum diartikan sebagai vonis, yaitu Putusan
Pengadilan sebagai akhir dari suatu pengadilan.
1. Jenis-jenis Putusan
a. Putusan Sela atau Putusan Antara (Interlocutoir Vonis) merupakan putusan
yang mendahului dikeluarkannya putusan akhir. Putusan sela ini berguna
dalam hal memperlancar pemeriksaan perkara. Putusan ini meliputi:
1) Putusan Provisi, yaitu putusan yang diambil segera mendahului putusan
akhir tentang pokok perkara, karena adanya alasan-alasan yang mendesak
untuk itu. Misalnya putusan untuk menunda pelaksanaan Putusan Tata
Usaha Negara yang disengketakan atau untuk mengijinkan Penggugat
berperkara secara Prodeo.
2) Putusan Insidentil, yatu putusan sela yang diambil secara insidentil karena
adanya alasan-alasan tertentu. Misalnya karena kematian Kuasa Penggugat
atau Tergugat.
b. Putusan Akhir, merupakan putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau
perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu. Putusan akhir ini terdiri dari:

20
1) Putusan akhir yang bersifat menghukum (condemnatoir), artinya putusan
yang menghuum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi,
meliputi memberi, membuat dan tidak berbuat.
2) Putusan akhir yang bersifat menciptakan (constitusif), artinya putusan
yang meniadakan atau menciptakan hukum.
3) Putusan declaratoir, artinya putusan yang bersifat menerangkan atau
menyatakan apa yang sah.
2. Amar Putusan PTUN
Menurut Pasal 97 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara menerangkan bahwa Amar Putusan PTUN dapat
berupa15:
a. Gugatan ditolak, gugatan Tata Usaha Negara yang diajukan oleh Penggugat
dapat ditolak oleh Majelis Hakim karena Penggugat tidak dapat membuktikan
dalil-dalilnya.
b. Gugatan dikabulkan, gugatan Tata Usaha Negara yang diajukan oleh
Penggugat dapat dikabulkan oleh Majelis Hakim jika Penggugat dapat
membuktikan dalil-dalilnya secara sah dan meyakinkan.
c. Gugatan tidak diterima, jika:
1) Gugatan tidak memenuhi syarat yang ditentukan,
2) Gugatan tidak berdasar hukum,
3) Gugatan diinyatakan kabur,
4) Gugatan bertentangan dengan kesusilaan/ketertiban umum,
5) Objek gugatan tidak jelas,
6) Subjek gugatan tidak lengkap.
d. Gugatan gugur, jika:
1) Para pihak atau kuasanya tidak hadir pada persidangan yang telah
ditentukan dan telah dipanggil secara patut,
15
Dwi Putri Cahyawati, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Depok, Gramata
Publishing, 2011, hal. 98-99

21
2) Gugatan yang diajukan telah daluarsa.
3. Materi Muatan Putusan PTUN
Materi suatu Putusan PTUN harus memuat:
a. Ketuhaan Yang Maha Esa. Kepala putusan ini mempunyai kekuatan
eksekutorial karena kalau tidak dicantumakn maka tidak dapat dilaksanakan
bahkan lebih jauh diancam dengan Pembatalan.
b. Identitas para pihak yang mencakup nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat
kediaman atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa. Pabila
salahsatu di antara itu tidak terpenuhi maka putusan Hakim menjadi batal.
c. Ringkasan gugatan penggugat danjawaban tergugat yang harus dimuat secara
jelas.
d. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi
dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa. Pertimbangan yang
dimaksud adalah pertimbangan tetang duduknya perkara dan pertimbangan
tentang hukumnya.
e. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan harus bersifat yuridis.
f. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara.
g. Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera serta
keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.

III.7 Upaya Hukum


Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh Undang-Undang
kepada seseorang atau Badan Hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan
hakim.
1. Upaya Hukum Biasa
Adalah perlawanan terhadap putusan verstek, banding dan kasasi. Pada
asasnya upaya hukum ini menangguhkan eksekusi. Pengecualiannya adalah
apabila putusan tersebut dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih
dahulu maka meskipun diajukan upaya hukum biasa namun eksekusi akan
berjalan terus.

22
Adapun bentuk-bentuk upaya hukum biasa yang dikenal dalam Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara dimaksud meliputi:
a. Perlawanan Terhadap Dismissal Process
Pasal 162 Ayat (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah
diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara bahwa terhadap putusan Dismissal yang ditetapkan oleh Ketua
Pengadilan dapat diajuan perlawanan kepada pengadilan dalam tenggang
waktu empat belas hari setelah diucapkan.
b. Banding
Sering juga disebut “ulangan pemeriksaan” yang (tingkat) kedua oleh sebuah
pegadilan atasan yang mengulangi seluruh pemeriksaan, baik yang mengenai
fakta-faktanya maupun penerapan hukum atau Undang-Undang. Prosedur
pemeriksaan banding dalam PTUN siatur dalam ketentuan Pasal 122 Undang-
Undang No. 5/1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan
UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5
tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

c. Kasasi
Istilah Kasasi berarti memecahkan atau membatalkan, sehingga apabila suatu
permohonan Kasasi terhadap putusan pengadilan bawahan itu diterima oleh
Mahkamah Agung, maka hal itu berarti, putusan tersebut dibatalkan karena
dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan hukumnya. Ketentuan
Kasasi dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal
131 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk
kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
d. Dalam pemeriksaan di tingkat Kasasi tersebut ditentukan bahwa permohonan
Kasasi dapat diajukan jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan
upaya hukum banding dan hanya dapat diajukan satu kali.
e. Upaya Hukum Luar Biasa

23
Pasal 132 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah
untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
menerangkan bahwa terhadap Putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan
hukum tetap dapat diajukan permohonan Peninjauan Kembali kepada
Mahkamah Agung.

III.8 Eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara


Eksekusi merupakan pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pasal 115 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara merumuskan bahwa hanya putusan
pengadilan yang telah memperolehkekuatan hukum tetap yang dilaksanakan.
1. Bentuk-Bentuk Eksekusi PTUN
Bentuk-bentuk eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat
berupa:
a. Pelaksanaan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara
Sesuai Pasal 97 Ayat (9) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU No. 51 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
b. Ganti Rugi
Kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara dapat disertai pembebanan ganti rugi. Ganti rugi merupakan
pembayaran sejumlah uang kepada orang/Badan Hukum Perdata atas
beban Tata Usaha Negara karena adanya kerugian material yang diderita
penggugat ( PP No. 43 Tahun 1991).
c. Dalam Prosesnya

24
Salinan Putusan yang berisi pembebanan pembayaran ganti rugi
dikirimkan kepada Penggugat dan Tergugat dalam waktu tiga hari setelah
Putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
d. Kompensasi
Merupakan pembayaran sejumlah uang kepada seseorang atas beban
Badan Tata Usaha Negara oleh karena putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara di bidang kepegawaian tidak dapat dilaksanakan oleh Badan Tata
Usaha Negara. Kompensasi diatur dalam Pasal 117bUndang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya
dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
e. Rehabilitasi
Merupakan pemulihan hak-hak Penggugat di bidang kepegawaian dalam
kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya sebagai Pegawai Negeri
seperti semula sebelum diterbitkannya Keputusan Tata Usaha Negara.
Ketentuan mengenai rehabilitasi diatur dalam Pasal 121 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya
dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

25
BAB IV
PENUTUP

IV.1 Kesimpulan
Hukum Acara Peradilan Administrasi Negara atau Hukum Tata Usaha
Negara merupakan hukum yang mengatur tentang tata cara atau prosedur
penyelesaian sengketa tata usaha negara di PTUN, serta mengatur hak dan
kewajiban pihak pihak yang bersengketa (penggugat dan tergugat). Sengketa yang
timbul dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan badan
atau pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya
KTUN.
Secara sederhana Hukum Acara diartikan sebagai Hukum Formil yang
bertujuan untuk mempertahankan Hukum Materil. Hal-hal yang telah dijelaskan
pada bagian sebelumnya di atas, merupakan ketentuan-ketentuan tentang Hukum
Materil di Peratun. Sementara itu mengenai Hukum Formilnya juga diatur dalam
UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, mulai dari Pasal 53 s/d Pasal
132. Penggabungan antara Hukum Materil dan Hukum Formil ini merupakan
karakteristik tersendiri yang membedakan Peradilan TUN dengan Peradilan
lainnya.
Penyelesaian sengketa tun ada dua jalur yaitu jalur administrasi dan jalur
peradilan. Jalur administrasi berdasarkan Pasal 48 ayat (1) : dalam hal suatu badan
atau pejabat TUN diberi wewenang oleh atau berdasarkan peratu utk
menyelesaikan scr administratif sengketa tun tertentu, maka sengketa TUN terebut
harus diselesaikan melalui upaya administrasi yang tersedia.
Upaya administrasi ada dua, pertama Keberatan yaitu penyelesaian
sengketa TUN oleh badan atau pejabat yang membuat KTUN itu sendiri.
Misalnya keberatan wajib pajak atas penetapan besarnya pajak UU-6/1983 Pasal
25, kedua Banding adminsitrasi, yakni jika penyelesaian sengketa TUN oleh
atasan atau instansi lain. Misalnya tentang penyelesaian PHK oleh P4D, P4P, dll.
Kemudian jika tidak puas, banding ke PT TUN (Pasal 51 (3)). Apabila masih tidak
puas, kasasi ke MA.

26
Penyelesaian sengketa melalui jalur peradilan berdasarkan Pasal 48 (2):
Peradilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa
TUN sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, jika seluruh upaya administrasi yang
bersangkutan telah digunakan.

IV.2 Saran
Dalam kekuatan keputusan tata usaha negara dan pencabutan keputusan
tata usaha negara itu tidak dapat dipisahkan karena hal tersebut sudah menjadi hal
yang berkesinanmbungan, sehingga pemerintah atau pejabat pemerintah tidak
boleh bersikap atau bertindak sewenang-wenang terhadap kekuatan dan
pencabutan kepuusan dari tata usaha negara sehingga sistem atau kebijakan dapat
berjalan eektif dan saling melengkapi antara kekuatan dan pencabutan keputusan
tata usaha negara.

27
DAFTAR PUSTAKA

Cahyati Dwi Putri, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Gramata
Publishing, Depok, 2011.
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.
Muslimin Amrah, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang Administrasi dan
Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, 1985.
Neng Yani Nurhayani, Pengantar Hukum Indonesia, Lembaga Peneitian UIN
Sunan Gunung Djati, Bandung, 2014.
Philipus M. Hadjon, et. All., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 2001.
R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Sinar Grafika,
Jakarta, 2008.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya
dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

29

Anda mungkin juga menyukai