Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Praktik Peradilan

Sebagaimana diketahui, bahwa pendidikan program sarjana diarahkan


untuk menguasai dasar-dasar ilmiah dan keterampilan dalam bidang keahlian
tertentu, sehingga mampu menemukan, memahami, menjelaskan, dan merumuskan
cara penyelesaian masalah yang ada didalam kawasan keahliannya. Disamping itu,
mampu menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya sesuai
dengan bidang keahliannya dalam kegiatan produktif dan pelayanana kepada
masyarakat dengan sikap dan perilaku yang sesuai dengan tata kehidupan bersama.
Sejalan dengan arah pendidikan tersebut, pendidkan yang diselenggarakan oleh
Fakultas Syari’ah Dan Hukum adalah untuk menyiapkan para mahasiswa agar
memiliki kemampuan akademik dan bidang hukum yang sesuai dengan
keahliannya. Karena itu, diperlukan pembekalan dan pengenalan pengetahuan
tentang berbagai masalah hukum dalam masyarakat, termasuk masalah-masalah
penyelesaian perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama.

Untuk tujuan tersebut diperlukan adanya kegiatan kurikuler yang terencana


dan terarah diluar kegiatan perkuliahan berupa praktik lapangan, yang
bersinggunan dan menunjang kegiatan belajar mengajar. Dalam hal ini, praktik
peradilan menjadi salah satu jenis praktik yang harus diikuti oleh seluruh
mahasiswa jurusan di linkungan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Gunung
Djati Bandung.

B. Dasar Penyelengaraan Praktik Peradilan.


Dasar Penyelenggaraan Praktik Peradilan mahasiswa Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung adalah :
1. UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional;
2. UU Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan;
3. UU Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 Tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan
Pendidikan;
5. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2007 Tentang Perubahan Status
IAIN Sunan Gunung Djati Bandung menjadi UIN Sunan Gunung
Djati Bandung;
6. Peraturan Menteri Agama RI Nomor 07 Tahun 2013 Tentang
Organisasi dan Tata Kerja UIN Sunan Gunung Djati Bandung;
7. Peraturan Menteri Agama RI Nomor 39 Tahun 2010 Tentang Statuta
UIN Sunan Gunung Djati Bandung ;
8. Keputusan Menteri Agama RI Nomor B.II/3/06361 tanggal 6 juli
Tahun 2015 Tentang Pengangkatan Rektor UIN Sunan Gunung Djati
Bandung ;
9. Keputusan Rektor UIN Sunan Gunung Djati Nomor
Un.05/III.3/PP.00.9/1083/2015. Tentang pengangkatan Dekan
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung ;
10. Perjanjian Kerjasama antara Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Sunan Gunung Djati Bandung dengan Direktorat Jenderal Badan
Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang
Pendidikan, Penelitian, Penyuluhan, dan Pengawasan Kinerja Hakim
Pengadilan Agama Nomor : Un.05/III.3/PP.00.9/617/2012 dan
Nomor : 0995/DJA/PP.00/V/2012.
11. Pernanjian Kerjasama antara Pengadilan Tinggi Agama Bandung
dengan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati
Bandung tentang Penyediaan Pemberi Bantuan dan Layanan Hukum
di Pengadilan Agama dalam Lingkup PTA Bandung Nomor: W10-
A/0778/HK.05/III/2014 dan Nomor : UN.05/III.3/00/.09/160/2014.

C. Tujuan Praktik Peradilan Agama.


Tujuan Praktik Peradilan adalah untuk :
1. Membekali mahasiswa, agar memiliki pemahaman dan apresiasi
tentang administrasi peradilan.
2. Membekali mahasiswa, agar memiliki pengalaman praktis dalam
penyelenggaraan administrasi peradilan.
3. Membekali mahasiswa agar memiliki pengalaman praktis dalam
menyelesaikan perkara.
4. Membekali mahasiswa agar memiliki keterampilan dalam
menyelesaikan perkara.

D. Bentuk dan Jenis Kegiatan Praktik Peradilan.


Kegiatan Praktik Peradilan Agama dilakukan dalam bentuk :
1. Pengamatan lapangan yang dilakukan di pengadilan agama dengan
sasaran pengamatan meliputi : administrasi umum, administrasi
peradilan, dan proses penyelesaian perkara.
2. Simulasi persidangan, yang dilakukan diruang simulasi persidanan
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
E. Tempat dan waktu Kegiatan Praktik Peradilan.
Adapun waktu penyelenggaraan praktik peradilan dilaksanakan mulai 06
April sampai 15 Agustus 2016, dengan uraian sebagai berikut :
1. Penyearan bagi dosen pembimbing praktik peradilan agama di
Fakultas Syari’ah dan Hukum pada tanggal 27 Mei 2016.
2. Kegiatan Pembekalan dilaksanakan di gedung Anwar Musaddad UIN
Sunan Gunung Djati Bandung pada tanggal 30 Mei 2016.
3. Pengamatan dilaksanakan di Pengadilan Agama di Lingkungan
Pengadilan Agama Kuningan Pada tanggal 01 Juni sampai dengan 17
Juni 2016.
4. Kegiatan Simulasi Persidangan dilaksanakan pada di ruang Moot
Court Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati
Bandung pada tanggal 20 Juni sampai dengan 30 Juni 2016.
5. Kegiatan Pengamatan dan orientasi lapangan dilaksanakan di 24
Pengadilan Agama yang tersebar di wilayah Jawa Barat. 1

1
Panduan Praktikum Peradilan Agama hlm. 1-10
BAB II

DESKRIPSI UMUM PERADILAN AGAMA


A. Sejarah Berdirinya Pengadilan Agama Kuningan.

Pada tahun 1940 di Kuningan telah berdiri kantor-kantor pemerintah


diantaranya kantor penghulu landraad, yang wilayah hukumnya sama dengan
daerah hukum Pengadilan Negeri. Penghulu landraad pada waktu itu ada
diwilayah naungan Bupati sebagai kepala daerah dan penghasilannya mendapat
persentase dari biaya NTR. Pada jaman pemerintah Jepang tepatnya pada bulan
Maret tahun 1942, kantor penghulu landraad di sebut suryo kocin (Raad Agama)
dan ketika pemerintah Republik Indonesia berdiri/merdeka pada tahun 1945
penghulu landraad berubah nama menjadi Kantor Raad Agama. Untuk
memudahkan pelayanan terhadap masyarakat maka dibuat distrik/perwakilan
daerah yaitu distrik Ciawigebang, distrik Luragung dan distrik Cilimus. Pada
tanggal 1 September 1951 Raad Agama berubah nama menjadi Pengadilan
Agama sesuai dengan peraturan tentang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura
( statsblaad tahun 1882 no. 152 dan statsblaad tahun 1937 No. 116 dan no. 610).
Pemuka agama/alim ulama dan masyarakat Kuningan bertanya-tanya siapa yang
cakap dan mampu serta dipandang layak untuk memimpin penghulu landraad
dan pemuka agama/alim ulama dan masyarakat menunjuk RD Hasan Buchori
sebagai ketuanya dan paniteranya Mas Endoy Hidayat serta didampingi dua
anggotanya bernama K.Hasan Ilyas dan KH.Madtohir. Pada tahun 1941 RD.
Hasan Buchori wafat maka penggantinya diangkat Mas Ahmad Saleh sebagai
Penghulu distrik Ciawigebang.2
Sekitar tahun 1947, tentara Belanda menyerang kota Kuningan dan
pemerintahan Kuningan mengungsi ke daerah yang aman, sehingga
pemerintahan Kuningan termasuk landraad agama vakum atau terjadi
kekosongan kekuasaan. Selama landraad agama vakum lalu pada tanggal 1
September 1951 raad agama berubah nama menjadi Pengadilan Agama sesuai
dengan peraturan tentang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura ( statsblaad
tahun 1882 no. 152 dan statsblaad tahun 1937 No. 116 dan No. 610). Dengan
resmi SK Kementrian Agama RI menunjuk KH.Moh.Irfan sebagai ketuanya
yang berkantor di sebelah utara Mesjid Agung Kabupaten Kuningan dan pada
tahun1978 di bangun gedung Pengadilan Agama yang terletak di Jalan Aria
Kamuning Nomor 05 Kuningan kemudian pada tanggal 4 Maret 1998
Pengadilan Agama Kuningan Kelas IB pindah ke Gedung baru di Jalan

2
http/www.pa-kuningan.go.id diakses pada tanggal 8 agustus
Perjuangan No.63 Ancaran – Kuningan. Berikut silsilah Ketua Pengadilan
Agama Kuningan yang pernah menjabat
1. K.H. Muhtaruddin, SH. (1974-1985)
2. Drs. Malik Ibrahim, SH. (1985-1995)
3. H.T. Muhsin, S.Ag. (1995-2001)
4. Drs. H. A. Najmuddin, SH., MH. (2002-2004)
5. H. Komari, SH., M.Hum. (2004-2006)
6. H. Asril Nasution, SH., M.Hum. (2006-2008)
7. Drs. H. Amar Komaruddin, SH. (2008-2011)
8. H. Muhammad Darin, S.H., M.Si. (2011-2013)
9. Drs. H. Abd. Basyir, M.Ag. (2013-2016)
10. Drs. H. Asep Saepudin, M.S.Q. (2016 – sekarang )

B. Visi dan Misi Pengadilan Agama Kuningan


Setiap Instansi atau lembaga tentu memiliki Visi dan Misi yang akan
menjadi Panduan kemana Instasnsi atau lembaga ini mencapai Tujuan dan
kebermanfaatan terhadap oran banyak begitupunPengadilan Agama Kuningan
sebagai pelaksana Visi Dan Misi dan Mahkamah Agung Republik Indonesia
yang menjabarkan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, yaitu :3

VISI

Terwujudnya Pengadilan Agama Kuningan Kelas 1.A yang Agung

MISI

1. Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan Undang-undang dan peraturan


serta keadilan masyarakat ;
2. Mewujudkan Peradilan yang mandiri dan independen dari campur tangan
pihak lain ;
3. Memperbaiki akses pelayanan di bidang Peradilan kepada masyarakat ;
4. Memperbaiki kualitas input internal pada proses Peradilan;
5. Mewujudkan Institusi Peradilan yang efektif, efisien, bermartabat dan
dihormati ;
6. Melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri, tidak memihak dan
transparan;

3
ibid
C. Tujuan Pengadilan Agama Kuningan
Tujuan dari Pengadilan Agama Kuningan adalah untuk menjadi lembaga
yang profesional dan terintegrasi bagi para pencari keadilan. Pengadilan Agama
Kuningan Kelas I A, merupakan salah satu lembaga yang melaksanakan amanat
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, dalam melaksanakan tugasnya guna menegakkan hukum dan
keadilan harus memenuhi harapan dari para pencari keadilan yang selalu
menghendaki peradilan yang sederhana, cepat, tepat, dan biaya ringan.
Pengadilan Agama Kuningan mempunyai wilayah hukum Daerah Tingkat II
Kota Kuningan terdiri dari 32 Kecamatan, 361 Desa dan 15 Kelurahan, dengan
jumlah penduduk sebanyak +- 1.120.000 jiwa dengan beban kerja rata-rata tiap
bulan menerima 160 perkara. Dalam melaksanakan tugasnya didukung dengan
kekuatan pegawai sebanyak 30 orang dengan menempati gedung seluas 500 m2,
di atas tanah sewa seluas 600 m2. Untuk mewujudkan harapan dari para pencari
keadilan tersebut, Pengadilan Agama Kuningan dalam rangka melaksanakan
tugasnya terlebih dahulu harus membuat suatu perencanaan yang mantap,
pelaksanaan yang tepat dan pengawasan yang ketat diikuti dengan evaluasi yang
cermat. Secara formal pelaksanaan tugas Pengadilan Agama tersebut harus
dipertanggung jawabkan dalam bentuk laporan ke Pengadilan Tinggi Agama
Jawa Barat selaku atasan.

D. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Kuningan

Struktur organisasi Pengadilan Agama Kuningan yaitu sebagai berikut:

1. Ketua : Drs. H. Asep saepudin, M.S.Q


2. Hakim : a. Dra. Hj. Mulfah Sirry
b. Dra. Hj. Nining Yuningsih, S.H., M.H,
c. Drs. Fuad sakir. S.H.
d. Dra. H. Suna’eah, S.H.,S.H.
e. Drs. H. Abddul Aziz, S.H.,M.H.
f. Dra. Hidayaturrahman. S.H.,M.H.
g. Drs. H. Hamiduddin.
h. Dr. Asadurrahman, S.H.,M.H.
i. Drs. H. Suryana. S.H.
j. Drs. Usep Gunawan. S.H.

3. Panitera : Drs. Iin Solihin, S,H,


4. Wakil Panitera : Dra. Aan Sahal Mansur, S.H.
5. Panmud Gugatan : Suandi, S.H.
6. Panmud Permohonan : Gendi Sirojul Munir, S.H.
7. Panmud Hukum : Drs. Ikin Sodikin
8. Sekertaris : H. Latifah, S.H., M.H.
9. Kasubag Kepegawaian : Aah Nurjanah, S.E.
10. Kasubag Perencanaan TI : Rini Iriani, S.E.
11. Kasubag Keuangan : Iyamin Mubarok, S.HI.
12. Panitera Pengganti : a. Saepuddin, S.Ag,
b. H. Zaenal Hasan
c. Agus Heryanto, SH.
d. Uum Umi Kulsum, S.HI.
e. Muhaemin, S.Ag.

E. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Agama Kuningan


Sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan ialah menerima, memeriksa dan memutuskan setiap perkara yang
diajukan kepadanya, termasuk didalamnya menyelesaikan perkara voluntair.
Peradilan Agama juga adalah salah satu diantara 3 Peradilan Khusus di
Indonesia. Dikatakan Peradilan Khusus karena Peradilan Agama mengadili
perkara-perkara perdata tertentu dan mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam
struktur 0rganisasi Peradilan Agama, ada Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama yang secara langsung bersentuhan dengan penyelesaian perkara
di tingkat pertama dan banding sebagai manifestasi dari fungsi kekuasaan
kehakiman. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan
oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Tugas-tugas lain
Pengadilan Agama Kuningan ialah :
1. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum
Islam kepada instansi Pemerintah didaerah hukumnya apabila diminta.
2. Melaksanakan hisab dan rukyatul hilal.
3. Melaksanakan tugas-tugas lain pelayanan seperti pelayanan
riset/penelitian, pengawasan terhadap penasehat hukum dan
sebagainya.
4. Menyelesaikan permohonan pembagian harta peninggalan diluar
sengketa antara orang-orang yang beraga Islam.

Dengan demikian, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang untuk


menyelesaikan semua masalah dan sengketa yang termasuk di
bidang perkawinan, kewarisan, perwakafan, hibah, infaq, shadaqah, dan
ekonomi syariah.

Fungsi Pengadilan Agama Kuningan.

1. Melakukan pembinaan terhadap pejabat struktural dan fungsional dan


pegawai lainnya baik menyangkut administrasi, teknis, yustisial
maupun administrasi umum
2. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim
dan pegawai lainnya (pasal 53 ayat 1 dan 2, UU No.3 Tahun 2006)
3. Menyelenggarakan sebagian kekuasaan negara dibidang kehakiman.4

4
Ibid 2
BAB III

KEDUDUKAN, TUGAS, WEWENANG PENYELESAIAN


PERKARA PENGADILAN AGAMA.
A. Kedudukan Pengadilan Agama.
Pada UUD 1945 Pasal 24 ayat (2) menyatakan bahwa Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
ada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan
Agama, lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. UU Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU
Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, Pasal 2
menyatakan:
“Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata
tertentu yang diatur dalam undang-undang ini”. Pasal 3 Undang-Undang
Peradilan Agama tersebut menyatakan :
1. Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan
oleh
a) Pengadilan Agama
b) Pengadilan Tinggi Agama
2. Kekuasaan kehakiman di lingkungan Pengadilan Agama berpuncak
pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.

Menurut ketentuan pasal 6 UU No. 7 Tahun 1989, lingkungan peradilan


agama terdiri dari dua tingkat yaitu: pengadilan agama sebagai pengadilan tingkat
pertama dan pengadilan tinggi agama sebagai pengadilan tingkat banding.
Pengadilan agama sebagai panggilan tingkat pertama berarti pengadila ini bertindak
menerima, memeriksa dan memutuskan setiap permohonan atau gugatan pada
tahap awal dan paling bawah. Pengadilan agama berindak sebagai peradilan sehari-
hari menampung, memutus, dan mengadili pada tahap awal dan paling awal setiap
perkara yang diajukan oleh setiap pencari keadilan. Jadi, terhadap permohonan atau
gugatan perkara yang diajukan kepadanya dalam kedudukan sebagai instans
pengadilan tingkat pertama dia harus menerima, memeriksa, memutus perkara atas
permohonan tersebut. Pengadilan agama dilarang menolak untuk menerima,
memeriksa, dan memutuskan perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan
apapun.
B. Tugas Pengadilan Agama.
Sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
ialah menerima, memeriksa dan memutuskan setiap perkara yang diajukan
kepadanya, termasuk didalamnya menyelesaikan perkara voluntair. Peradilan
Agama juga adalah salah satu diantara 3 Peradilan Khusus di Indonesia. Dikatakan
Peradilan Khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara perdata
tertentu dan mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam struktur organisasi
Peradilan Agama, ada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang
secara langsung bersentuhan dengan penyelesaian perkara di tingkat pertama dan
banding sebagai manifestasi dari fungsi kekuasaan kehakiman. Kekuasaan
kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama
dan Pengadilan Tinggi Agama. Tugas-tugas lain Pengadilan Agama
Kuningan ialah :
1. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum Islam
kepada instansi Pemerintah didaerah hukumnya apabila diminta.
2. Melaksanakan hisab dan rukyatul hilal.
3. Melaksanakan tugas-tugas lain pelayanan seperti pelayanan riset/penelitian,
pengawasan terhadap penasehat hukum dan sebagainya.
4. Menyelesaikan permohonan pembagian harta peninggalan diluar sengketa
antara orang-orang yang beraga Islam.

C. Kewenangan Pengadilan Agama.

Wewenang Pengadilan Agama berdasarkan penjelasan pasal 49 Undang-


Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah5 :
a. Perkawinan
Dalam perkawinan, wewenang Pengadilan Agama diatur dalam atau
berdasarkan Undang-Undang mengenai perkawinan yang berlaku yang
dilakukan menurut syari’ah, antara lain:

1. Ijin beristeri lebih dari seorang;


2. Ijin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia
21 tahun dalam hal orang tua, wali, atau keluarga dalam garis
lurus ada perbedaan pendapat;

5
Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: kencana 2008),
Hlm. 13
3. Dispensasi kawin;
4. Pencegahan perkawinan;
5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6. Pembatalan perkawinan;
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri;
8. Perceraian karena talak;
9. Gugatan perceraian;
10. Penyelesaian harta bersama;
11. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak
bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak
memenuhinya;
12. Penguasaan anak-anak;
13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami
kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas
isteri;
14. Putusan tentang sah tidaknya seorang anak;
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16. Pencabutan kekuasaan wali;
17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut;
18. Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup
umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya,
padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya;
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang
ada di bawah kekuasaannya;
20. Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak
berdasarkan hukum Islam;
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk
melakukan perkawinan campur; dan
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan
dijalankan menurut peraturan yang lain.
b. Waris.
Dalam perkara waris, yang menjadi tugas dan wewenang Pengadilan
Agama disebutkan berdasarkan penjelasan Pasal 49 huruf b Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah sebagai berikut;
Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, Penentuan mengenai harta
peninggalan, Penentuan bagian masing-masing ahli waris, Melaksanakan
pembagian harta peninggalan tersebut, Penetapan Pengadilan atas
permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris,
dan penentuan bagian-bagiannya. Dalam penjelasan umum Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama terdapat kalimat
yang berbunyi: “Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan
untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”.
Kini, dengan adanya amandemen terhadap Undang-Undang tersebut,
kalimat itu dinyatakan dihapus.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama dijelaskan, bilamana pewarisan itu dilakukan
berdasarkan hukum Islam, maka penyelesaiannya dilaksanakan oleh
Pengadilan Agama. Selanjutnya dikemukakan pula mengenai keseragaman
kekuasaan Pengadilan Agama di seluruh wilayah nusantara yang selama ini
berbeda satu sama lain, karena perbedaan dasar hukumnya. Selain dari itu,
berdasarkan pasal 107 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, Pengadilan Agama juga diberi tugas dan wewenang
untuk menyelesaikan permohonan pembagian harta peninggalan di luar
sengketa antara orang-orang agama yang beragama Islam yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam.
c. Wasiat
Mengenai wasiat, wewenang Pengadilan Agama diatur dalam
penjelasan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Peradilan Agama dijelaskan bahwa definisi wasiat adalah:
“Perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau
lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut
meninggal dunia.” Namun, Undang-Undang tersebut tidak mengatur lebih
jauh tentang wasiat. Ketentuan lebih detail diatur dalam Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam KHI,
wasiat ditempatkan pada bab V, dan diatur melalui 16 pasal.
Ketentuan mendasar yang diatur di dalamnya adalah tentang: syarat
orang membuat wasiat, harta benda yang diwasiatkan, kapan wasiat mulai
berlaku, di mana wasiat dilakukan, seberapa banyak maksimal wasiat dapat
diberikan, bagaimana kedudukan wasiat kepada ahli waris, dalam wasiat
harus disebut dengan jelas siapa yang akan menerima harta benda wasiat,
kapan wasiat batal, wasiat mengenai hasil investasi, pencabutan wasiat,
bagaimana jika harta wasiat menyusut, wasiat melebihi sepertiga sedang
ahli waris tidak setuju, di mana surat wasiat disimpan, bagaimana jika
wasiat dicabut, bagaimana jika pewasiat meninggal dunia, wasiat dalam
kondisi perang, wasiat dalam perjalanan, kepada siapa tidak diperbolehkan
wasiat, bagi siapa wasiat tidak berlaku, wasiat wajibah bagi orang tua angkat
dan besarnya, dan wasiat wajibah bagi anak angkat serta besarnya.
d. Hibah
Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 memberikan definisi
tentang hibah sebagai: “pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa
imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan
hukum untuk dimiliki.”
Hibah juga tidak diregulasi secara rinci dalam Undang-Undang a quo. Ia
secara garis besar diatur dalam KHI, dengan menempati bab VI, dan hanya
diatur dalam lima pasal. Secara garis besar pasal-pasal ini berisi: Subjek
hukum hibah, besarnya hibah, di mana hibah dilakukan, harta benda yang
dihibahkan, hibah orang tua kepada anak, kapan hibah harus mendapat
persetujuan ahli waris, dan hibah yang dilakukan di luar wilayah Republik
Indonesia.
e. Wakaf
Wakaf dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
dimaknai sebagai: “perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif)
untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya
untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai
dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut syari’ah.” Tentang wakaf ini tidak dijelaskan secara rinci dalam
Undang-Undang ini. Ketentuan lebih luas tercantum dalam KHI, Buku III,
Bab I hingga Bab V, yang mencakup 14 pasal. Pasal-pasal tersebut mengatur:
Ketentuan umum, yaitu definisi wakaf, wakif, ikrar, benda wakaf, nadzir,
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf; fungsi wakaf; subjek hukum yang dapat
mewakafkan harta bendanya; syarat benda wakaf; prosedur mewakafkan;
syarat-syarat nadzir; kewajiban dan hak-hak nadzir; pendaftaran benda
wakaf; perubahan, penyelesaian dan pengawasan benda wakaf. Khusus
mengenai perwakafan tanah milik, KHI tidak mengaturnya. Ia telah diregulasi
empat tahun sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977,
lembaran negara No. 38 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
f. Zakat
Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorag Muslim atau
badan hukum yang dimiliki oleh orang Muslim sesuai dengan ketentuan
syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. KHI tidak
menyinggung pengaturan zakat. Regulasi mengenai zakat telah diatur
tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Lembaran Negara
Nomor 164 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Secara garis besar, isi
Undang-Undang ini adalah: Pemerintah memandang perlu untuk campur
tangan dalam bidang zakat, yang mencakup: perlindungan, pembinaan, dan
pelayanan kepada muzakki, mustahiq dan amil zakat; tujuan pengelolaan
zakat; organisasi pengelolaan zakat; pengumpulan zakat; pendayagunaan
zakat; pengawasan pengelolaan zakat; dan sanksi terhadap pelanggaran
regulasi pengelolaan zakat.
g. Infaq.
Infaq dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 diartikan
dengan: “perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna
menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan,
memberikan rizqi (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain
berdasarkan rasa ikhlash, dan karena Allah Subhanahu Wata’ala.”
Kewenangan Pengadilan Agama ini belum pernah diatur secara tersendiri
dalam bentuk peraturan perundang-undangan, dan dalam Undang-Undang ini
juga tak diatur lebih lanjut.
h. Shadaqah.
Mengenai shadaqah diartikan sebagai: “Perbuatan seseorang memberikan
sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan
sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap
ridha Allah dan pahala semata.” Sama seperti infaq, shadaqah juga tidak
diatur dalam regulasi khusus. Dan hingga kini belum ada peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya.
i. Ekonomi Syari’ah.
Ekonomi syari’ah diartikan dengan: “Perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syari’ah.” Kewenangan itu antara lain:
1. Bank Syari’ah;
2. Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah;
3. Asuransi Syari’ah;
4. Reasuransi Syari’ah;
5. Reksadana Syari’ah;
6. Obligasi Syari’ah dan Surat Berharga Berjangka Menengah
Syari’ah;
7. Sekuritas Syari’ah;
8. Pembiayaan Syari’ah;
9. Pegadaian Syari’ah;
10. Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syari’ah; dan
11. Bisnis Syari’ah.
Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan yang
berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan6 .Kekuasaan
pengadilan di lingkungan Peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu
orang-orang yang beragama Islam. Dengan kata lain, kekuasaan absolut adalah
kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis
pengadilan atau tingkatan pengadilan dalam perbedaannya dengan jenis perkara
atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya, seperti contoh: 7

a) Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang


beragama Islam, sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan
Peradilan Umum.
b) Pengadilan Agamalah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara
dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara ke Pengadilan
Tinggi Agama atau di Mahkamah Agung.
c) Banding dari Pengadilan Agama diajukan ke Pengadilan Tinggi Agama,
tidak boleh diajukan ke Pengadilan Tinggi.
Terhadap kekuasaan absolut ini Pengadilan Agama harus meneliti perkara yang
diajukan kepadanya, apakah termasuk kekuasaan absolutnya atau bukan. Kalau
bukan, maka dilarang menerimanya. Kalaupun diterima, maka tergugat dapat
mengajukan keberatan (eksepsi absolut) dan jenis eksepsi ini boleh diajukan sejak
tergugat menjawab pertama dan boleh kapan saja, baik tingkat banding maupun
kasasi. Jenis perkara yang menjadi kekuasaan Peradilan Agama (kekuasaan
absolut) diatur dalam Pasal 49 dan 50 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama yang telah diamendemen dengan UU No. 3 Tahun 2006.

6
. Retnowulan Soetantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktek (Bandung: Mandar Maju, 1997), hal. 11.
7
Umar Mansyur Syah, Hukum Acara Peradilan Agama Menurut Teori dan Praktek
(Garut al umaro, 2007) hal .98.
BAB IV

HASIL PENGAMATAN DAN ANALISIS TEMUAN


LAPANGAN DI PENGADILAN AGAMA
A. Prosedur Pengajuan Perkara di Pengadilan Agama.
a. Perkara Perceraian Talak ( Perceraian yang diajukan oleh suami )
1. Menyerahkan surat permohonan atau gugatan;
2. Menyerahkan Fotocopy/Duplikat akta Pernikahan;
3. Menyerahkan Fotocopy KTP;
4. Membayar Biaya perkara sesuai dengan radius;
5. Apabila Termohon tidak diketahui tempat tinggalnya, maka
menyerahkan Surat Keterangan dari Desa/Kelurahan, yang
menerangkan Termohon tidak diketahui tempat tinggalnya.

Secara rinci alur masuknya perkara adalah sebagai berikut :

1. Pemohon membuat surat gugatan/permohonan kemudian datang ke


Pengadilan Agama ke meja 1 dimana surat gugatan/permohonan
diperiksa bersamaan dengan itu identitas juga di periksa, kemudian
ditaksir untuk pembayaran biaya perkara.
2. Pemohon membayar ke kasir kemudian Kasir akan mengarahkan
Pemohon untuk membayar biaya perkara yang tertera di kwitansi ke
Bank, setelah melaksanakan pembayaran di Bank maka Pemohon akan
mendapat Nomor perkara.
3. Pemohon menuju meja 2 dimana surat gugatan dibaca, dan di rinci
kembali. Kemudian Surat Gugatan/Permohonan tersebut diberikan
kepada Panitera, dan Panitera akan mengeluarkan surat untuk Jurusita
Pengganti dan di tanda tanganinya untuk memanggil para pihak.
4. Setelah itu surat Gugatan/Permohonan diserahkan kepada Ketua
Pengadilan dimana Ketua Pengadilan menentukan Susunan Majelis
Hakim dan ditanda tangani oleh Ketua Pengadilan Agama tersebut.
Setelah itu dibuatlah Instrumen Panggilan yang akan masuk ke dalam
Buku Register dan Komputer.
5. Kemudian surat Gugatan/Permohonan tersebut diserahkan Kepada
Majelis Hakim yang telah ditentukan dan akan dipelajari kasusnya dan
tidak boleh lebih dari 30 ( Tiga Puluh hari) sejak perkara masuk.
6. Instrumen panggilan yang telah dibuat oleh Panitera Pengganti tadi,
kemudian diserahkan kepada Juru Sita Pengganti untuk memanggil para
pihak dan setelah itu para pihak menunggu untuk persidangan.
b. Perkara Perceraian Gugat/Cerai Gugat ( Perceraian yang diajukan
oleh Istri ).
1. Menyerahkan surat permohonan atau gugatan;
2. Menyerahkan Fotocopy/Duplikat akta Pernikahan;
3. Menyerahkan Fotocopy KTP;
4. Membayar Biaya perkara sesuai dengan radius;
5. Apabila Termohon tidak diketahui tempat tinggalnya, maka
menyerahkan Surat Keterangan dari Desa/Kelurahan, yang
menerangkan Termohon tidak diketahui tempat tinggalnya.

c. Gugatan/Permohonan Perkara Lain.


Langkah-langkah yang harus dilakukan Penggugat :
1. Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan
Agama/Mahkamah Syari’ah (pasal 118 HIR, 142 R.Bg);
2. Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama Mahkamah Syari'ah :
a. Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat;
b. Bila tempat kediaman Tergugat tidak diketahui, maka gugatan
diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat;
c. Bila mengenai benda tetap, maka gugatan dapat diajukan kepada
Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah yang daerah hukumnya
meliputi tempat letak benda tersebut. Bila benda tetap tersebut
terletak dalam wilayah beberapa Pengadilan Agama/Mahkamah
Syari'ah, maka gugatan dapat diajukan kepada salah satu
Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah yang dipilih oleh
PEnggugat (pasal 118 HIR, 142 R.Bg);
3. Membayar biaya perkara (pasal 121 ayat (4) HI, 145 ayat (4) R.Bg jo.
pasal 89 UU No. 7 Th. 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Th.
2006), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara Cuma-cuma
(Prodeo) (pasal 237 HIR, 273 R.Bg);
4. Penggugat dan Tergugat atau Kuasanya menghadiri sidang
pemeriksaan berdasarkan panggilan Pengadilan Agam/Mahkamah
Syari'ah (pasal 121, 124 dan 125 HIR, 145 R.Bg).

Sementara itu, untuk Gugatan yang sifatnya Voluntair harus dengan prosedur
sebagai berikut :

1. Pengangkatan Anak
a. Menyerahkan Surat Permohonan;
b. Menyerahkan foto copy Kutipan/Duplikat Akta Nikah;
c. Menyerahkan foto copy KTP;
d. Akta Kelahiran Calon Anak Angkat;
e. Menyerahkan pernyataan dari orang tua kandung dari calon anak
angkat;
f. Membayar biaya perkara sesuai radius.

2. Itsbat Nikah
a. Menyerahkan Surat Permohonan;
b. Menyerahkan foto copy KTP;
c. Menyerahkan Surat Keterangan dari Desa/Kelurahan yang menyatakan
Pemohon pernah menikah;
d. Menyerahkan Surat Keterangan dari KUA bahwa pernikahan Pemohon
tidak/register nikah tahun pernikahan Pemohon tidak ditemukan;
e. Membayar biaya perkara sesuai radius.
3. Wali Adhal
a. Menyerahkan Surat Permohonan;
b. Menyerahkan foto copy KTP;
c. Pemberitahuan adanya halangan/kekurangan persyaratan dari KUA;
d. Penolakan pernikahan dari KUA;
e. Surat Keterangan dari Kepala Desa/Kelurahan;
f. Akta Kelahiran Pemohon/Surat Keterangan wali Pemohon;
g. Membayar biaya perkara sesuai radius.

4. Hadhana/Hak Asuh Anak


a. Menyerahkan Surat Permohonan;
b. Menyerahkan foto copy Kutipan Akta Nikah/Akta Cerai;
c. Menyerahkan foto copy Akta Kelahiran Anak;
d. Membayar biaya perkara sesuai radius.

5. Dispensasi Nikah
a. Menyerahkan Surat Permohonan;
b. Foto copy KTP ayah dan ibu Calon Suami/Istri yang dimintakan
dispensi (Pemohon I dan Pemohon II);
c. Menyerahkan Akta Kelahiran Calon Suami/Istri yang dimintakan
dispensasi;
d. Penolakan pernikahan dari KUA;
e. Membayar biaya perkara sesuai dengan radius.

6. Poligami
a. Menyerahkan Surat Permohonan;
b. Foto copy KTP Pemohon;
c. Foto copy Kutipan Akta Nikah Pemohon;
d. Surat pernyataan tidak keberatan untuk dimadu, yang dibuat dan
ditandatangani oleh Termohon;
e. Surat pernyataan berlaku adil yang dibuat dan ditandatangani oleh
Pemohon;
f. Surat pernyataan tidak keberatan untuk dimadu, yang dibuat dan
ditandatangani olehCalon Istri kedua Pemohon;
g. Surat Keterangan penghasilan yang dibuat dan ditandatangani oleh
Kepala Desa/Bendaharawan Gaji (jika Pemohon PEgawai
Negeri/Pegawai Swasta);
h. Foto copy Akta Cerai yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama (jika
Calon Istrikedua janda cerai);
i. Membayar biaya perkara sesuai dengan radius.

B. Mekanisme Penyelesaian Perkara di Pengadilan Agama.


a. Perkara Perceraian Talak ( Perceraian yang diajukan oleh suami )
1. Pemohon mendaftarkan permohonan cerai talak ke pengadilan
agama/mahkamah syari’ah
2. Pemohon dan Termohon dipanggil oleh pengadilan agama/mahkamah
syar’iah untuk menghadiri persidangan.
3. Tahapan persidangan :
 Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan
kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal
82 UU No. 7 Tahun 1989);
 Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah
pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1)
PERMA No. 2 Tahun 2003);
 Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara
dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab
menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab
menjawab (sebelum pembuktian) Termohon dapat mengajukan
gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132 a HIR, 158 R.Bg);

Putusan pengadilan agama/mahkamah syar’iyah atas permohonan cerai


talak sebagai berikut :

 Permohonan dikabulkan. Apabila Termohon tidak puas dapat


mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syari’ah
tersebut;
 Permohonan ditolak. Pemohon dapat mengajukan banding melalui
pengadilan agama/mahkamah syari’ah tersebut;
 Permohonan tidak diterima. Pemohon dapat mengajukan permohonan
baru.
4. Apabila permohonan dikabulkan dan putusan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, maka :
a. Pengadilan agama/mahkamah syar’iah menentukan hari sidang
penyaksian ikrar talak;
b. Pengadilan agama/mahkamah syar’iah memanggil Pemohon dan
Termohon untuk melaksanakan ikrar talak;
c. Jika dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan sidang
penyaksian ikrar talak, suami atau kuasanya tidak melaksanakan
ikrar talak didepan sidang, maka gugurlah kekuatan hukum
penetapan tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan lagi
berdasarkan alasan hukum yang sama (Pasal 70 ayat (6) UU No. 7
Tahun 1989).
5. Setelah ikrar talak diucapkan panitera berkewajiban memberikan Akta
Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari setelah penetapan ikrar talak (Pasal 84 ayat (4)
UU No. 7 Tahun 1989);

b. Perkara Cerai Gugat (Perceraian yang diajukan oleh Istri ).


1. Penggugat mendaftarkan gugatan perceraian ke pengadilan
agama/mahkamah syari’ah.
2. Penggugat dan Tergugat dipanggil oleh pengadilan
agama/mahkamah syar’iah untuk menghadiri persidangan
3. Tahapan persidangan :
a. Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha
mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang
secara pribadi (Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989);
b. Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua
belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat
(1) PERMA No. 2 Tahun 2003);
c. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara
dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban,
jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap
jawab menjawab (sebelum pembuktian) Termohon dapat
mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132 a HIR,
158 R.Bg);

Putusan pengadilan agama/mahkamah syar’iyah atas permohonan


cerai gugat sebagai berikut :
a. Gugatan dikabulkan. Apabila Tergugat tidak puas dapat
mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah
syar’iah tersebut;
b. Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui
pengadilan agama/mahkamah syar’iah tersebut;
c. Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan gugatan
baru.
4. Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap maka panitera
pengadilan agama/mahkamah syar’iah memberikan Akta Cerai
sebagai surat bukti cerai kepada kedua belah pihak selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut diberitahukan
kepada para pihak.

c. Proses Penyelesaian Perkara Lain


1. Penggugat atau kuasanya mendaftarkan gugatan ke pengadilan
agama/mahkamah syari’ah.
2. Penggugat dan Tergugat dipanggil oleh pengadilan agama/mahkamah
syar’iah untuk menghadiri persidangan.
3. Tahapan Persidangan :
a. Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan
kedua belah pihak
b. Apabila tidak berhasil,maka hakim mewajibkan kedua belah pihak
agar lebih dahulu menempuh mediasi (PERMA No. 2 Tahun 2003);
c. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara
dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan, jawaban, jawab
menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab
menjawab (sebelum pembuktian) Tergugat dapat mengajukan
gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132 HIR, 158 R.Bg).

Putusan Pengadilan Agama/mahkamah syar'iyah atas permohonan


tersebut sebagai berikut :

a. Gugatan dikabulkan. Apabila Tergugat tidak puas dapat


mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah
syar’iah tersebut;
b. Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui
pengadilan agama/mahkamah syar’iah tersebut;
c. Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan gugatan baru.
4. Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, kedua belah pihak
dapat meminta salinan putusan (Pasal 185 HIR,196 R.Bg).
5. Apabila pihak yang kalah dihukum untuk menyerahkan obyek
sengketa, kemudian tidak mau menyerahkan secara suka rela, maka
pihak yang menang dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada
pengadilan agama/mahkamah syar’iah yang memutus perkara tersebut.

Dengan kata lain Prosedur Pengajuan Perkara di Pengadilan Agama Kuningan bisa
dengan cara sebagai berikut :

a. Secara Lisan.
1. Melalui telepon (0232) 871652, yakni pada saat jam kerja mulai pukul
08.00 s/d 16.30 WIB.
2. Datang langsung ke kantor Pengadilan Agama Kuningan Jln
Perjuangan No. 63 Ancaran Kuningan pada saat jam kerja mulai pukul
08.00 s/d 16.30 WIB.

b. Secara Tulisan.
a. Menyampaikan surat resmi yang ditujukan kepada pimpinan dalam hal
ini Ketua Pengadilan Agama Kuningan, dengan cara diantar langsung,
dikirim melalui faxsimile, atau melalui pos ke alamat kantor di Jln
Perjuangan No. 63 Ancaran Kuningan.
b. Melalui e-mail : pa.Kuningan_ptabdg@yahoo.co.id atau website
Pengadilan Agama Kuningan dengan klik tautan ini : www.pa-
Kuningan.go.id
c. Pengaduan secara tertulis wajib dilengkapi fotokopi identitas dan
dokumen pendukung lainnya seperti dokumen yang berkaitan dengan
pengaduan yang akan disampaikan.

C. Jumlah Penyelesaian Perkara atau Kasus di Pengadilan Agama

Selama melalui proses pengamatan di Pengadilan Agama Kota Kuningan,


jumlah penyelesaian perkara sebanyak lebih 20 perkara atau kasus, yaitu:

1. Gugatan istri terhadap suami : 13 Perkara


2. Cerai Talak suami terhadap istri : 9 Perkara
3. Putusan Verstek antara Gugatan dan Cerai Talak : 18 Perkara
4. Kedua belah pihak hadir : 4 Perkara
5. Dispensasi Nikah : 1 Perkara
6. Pembagian Waris : 1 Perkara
D. Hasil Temuan Produk-Produk Putusan Hakim Di Pengadilan Agama
Kuningan

Hasil temuan produk putusan hakim di Pengadilan Agama Kuningan


perkara cerai gugat langkah-langkah yang harus dilakukan dalam perkara cerai
gugat yaitu Penggugat (istri) atau kuasanya harus:
1. Langkah pertama pembuatan surat gugatan
a. Mengajukan Gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan
Agama/mahkamah syar’iyah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo Pasal 73 UU
No. 7 Tahun 1989);
b. Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan
Agama/mahkamah syar’iah tentang tata cara membuat surat Gugatan
(Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo. Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1989);
c. Surat Gugatan dapat dirubah sepanjang tidak merubah posita dan
petitum. Jika Tergugat telah menjawab surat Gugatan ternyata ada
perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Tergugat.
2. Langkah kedua tempat mengajukan gugatan
1) Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama Kota
Banjar/mahkamah syar’iyah :
2) Bila Penggugat meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati
bersama tanpa izin Tergugat, maka Gugatan diajukan kepada
Pengadilan Agama/mahkamah syar’iah yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat (1) UU No. 7 Tahun
1989 jo Pasal 32 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974);
3) Bila Penggugat bertempat kediaman di luar negeri, maka Gugatan
diajukan kepada Pengadilan Agama/mahkamah syar’iyah yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat (2) UU
No.7 Tahun 1989);
4) Bila Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka
Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama/mahkamah syar’iah yang
daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan dilangsungkan atau
kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 73 ayat (3) UU No.7
Tahun 1989).
3. Langkah ketiga permohonan atau Gugatan tersebut memuat :
1) Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon dan
Termohon;
2) Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
3) Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
4. Langakah keempat gugatan soal penguasan anak, nafkah anak, nafkah istri
dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan Gugatan perceraian
atau sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal
86 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989).
5. Langkah kelima membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat
(4) R.Bg. Jo Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat
berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg).
6. Langkah keenam Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri
persidangan berdasarkan panggilan Pengadilan Agama/mahkamah syar’iah
(Pasal 121, 124, dan 125 HIR, 145 R.Bg).
Proses Penyelesaian Perkara cerai gugat di Pengadilan agama kuningan
setelah penggugat mendaftarkan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama/
mahkamah syar’iah yaitu:
1. Penggugat dan Tergugat dipanggil oleh Pengadilan Agama/mahkamah
syar’iah untuk menghadiri persidangan
2. Tahapan persidangan :
a. Pada pemeriksaan sidang pertama, Hakim berusaha mendamaikan
kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82
UU No. 7 Tahun 1989);
b. Apabila tidak berhasil, maka Hakim mewajibkan kepada kedua belah
pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA
No. 2 Tahun 2003);
c. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan
dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab,
pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum
pembuktian) Termohon dapat mengajukan Gugatan rekonvensi (gugat
balik) (Pasal 132 a HIR, 158 R.Bg);
d. Putusan Pengadilan Agama/mahkamah syar’iyah atas permohonan
cerai gugat sebagai berikut :
e. Gugatan dikabulkan. Apabila Tergugat tidak puas dapat mengajukan
banding melalui Pengadilan Agama/mahkamah syar’iah tersebut;
f. Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui
Pengadilan Agama/mahkamah syar’iah tersebut;
g. Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan Gugatan baru.
3. Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap maka panitera
Pengadilan Agama/mahkamah syar’iah memberikan Akta Cerai sebagai
surat bukti cerai kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak.
E. Aplikasi Hasil Temuan Di Lapangan Dalam Simulasi Persidangan
Tahapan persidangan dalam Lapangan yang disimulasikan dalam
persidangan cerai talak;
1. Pembukaan persidangan sebelum bersidang hakim ketua mengucapkan
“Dengan mengucapkan Bismillahirrohmanirrohim, sidang Pengadilan
Agama Kuningan, hari ..... tanggal..... bulan.... tahun.... dibuka dan terbuka
untuk umum.”
2. Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan untuk
kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 88 UU
No.7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2009 dan
Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989 yang diubah dengan UU No. 50 Tahun
2009);
3. Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kedua belah pihak agar
lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA NO. 3 Tahun
2016);
4. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan
dengan membacakan surat gugatan/permohonan, jawaban, jawab menjawab
(replik dan dublik), pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab
menjawab (sebelum pembuktian) Tergugat.
a. Pada pembuktian keterangan saksi. Sebelum saksi memberikan
keterangan saksi disumpah terlebih dahulu. Hakim mengatakan dan
saksi yang disumpah mengikuti : “Demi Allah saya bersumpah akan
memberikan keterangan yang sebenar-benarnya tidak lain dari yang
sebenarnya.” Pemeriksaan saksi-saksi dilakukan satu persatu, saksi lain
menunggu di luar ruang sidang.
b. Setelah pembuktian, hakim bertanya kepada Pemohon mengenai
kesanggufan nafkah iddah dan nafkah mut’ah yang dapat disanggupi
oleh Pemohon untuk membayar.
5. Musyawarah Majelis Hakim.
6. Simpulan.
7. Putusan Pengadilan Agama atas permohonan cerai / gugatan persecarain
berikut:
a. Permohonan/Gugatan dikabulkan. Apabila Termohon/Tergugat tidak
puas dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama tesebut.
b. Permohonan/Gugatan ditolak. Pemohon/Penggugat dapat mengajukan
banding melalui Pengadilan Agama tersebut.
c. Permohonan/Gugatan dapat diterima. Pemohon/Penggugat dapat
mengajukan gugatan baru.
8. Apabila permohonan dikabulkan dan putusan telah memperoleh kekuatan
hukum yang tetap, maka untuk cerai talak
a. Pengadilan Agama menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak;
b. Pengadilan Agama memanggil Pemohon dan Termohon untuk
melaksanakan Ikrar Talak;
c. Jika dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan sidang
penyaksian ikrar talak, suami atau kuasanya tidak melaksanakan ikrar
talak didepan sidang, maka gugurlah kekuatan hukum penetapan
tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan
yang sama (Pasal 70 ayat (6) UU No.7 Tahun 1989 yang telah diubah
dengan UU No.50 Tahun 2009).
9. Penutupan persidangan setelah persidangan selesai satu hari, hakim ketua
mengucapkan “Dengan mengucapkan Alhamdulillahirobila’lamin, sidang
Pengadilan Agama Kuningan hari ..... tanggal..... bulan.... tahun.... ditutup.”
Meskipun terdapat sedikit perbedaan antara teori dan praktek dalam
Acara Peradilan Agama. Hal tersebut terjadi karena jumlah perkara banyak
yang membutuhkan percepatan proses penyelesaian perkara namun tidak
menghilangkan prosedur dalam beracara Pengadilan Agama dengan cara
yang baik dan benar.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa Kekuasaan kehakiman


dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di
bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama,
lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. Peradilan Agama merupakan salah satu badan
peradilan yang melaksanakan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Pengadilan
Agama merupakan badan Peradilan Khusus yang secara tugas dan fungsi hanya
melayani perkara orang-orang Islam. Peradilan Agama juga adalah salah satu
diantara 3 Peradilan Khusus di Indonesia. Dikatakan Peradilan Khusus karena
Peradilan Agama mengadili perkara-perkara perdata tertentu dan mengenai
golongan rakyat tertentu, selain dari itu Pengadilan Agama tidak berwenang untuk
menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang tidak berhubungan
dengan orang Islam. Sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan ialah menerima, memeriksa dan memutuskan setiap perkara yang
diajukan kepadanya, termasuk didalamnya menyelesaikan perkara voluntair.

Secara hierarki, Peradilan Agama sama kedudukannya dengan Badan Peradilan


Umum dan Khusus lainnya di Mahkamah Agung, oleh sebab itu Peradilan Agama
memiliki prosedur dan pedoman tersendiri yang diatur oleh Undang-undang Nomor
7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dan ditambah
dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.
Menurut ketentuan pasal 6 UU No. 7 Tahun 1989, lingkungan peradilan agama
terdiri dari dua tingkat yaitu: pengadilan agama sebagai pengadilan tingkat pertama
dan pengadilan tinggi agama sebagai pengadilan tingkat banding. Pengadilan
agama dilarang menolak untuk menerima, memeriksa, dan memutuskan perkara
yang diajukan kepadanya dengan alasan apapun, kecuali Undang-Undang
menentukan lain. Dalam struktur organisasi Peradilan Agama, ada Pengadilan
Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang secara langsung bersentuhan dengan
penyelesaian perkara di tingkat pertama dan banding sebagai manifestasi dari
fungsi kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan
agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.

B. Saran

Setelah melihat dan mengikuti seluruh rangkaian kegiatan Praktik Peradilan


Agama di Pengadilan Agama Kuningan, penyusun tidak lupa menyampaikan
beberapa saran, dengan harapan akan memberikan manfaat bagi semua pihak
sekaligus sebagai bahan evaluasi agar kegiatan berikutnya dapan menjadi lebih
baik lagi, berikut beberapa saran:

1. Saran Untuk Internal Kampus.


a. Untuk pihak kampus sendiri dalam hal ini Fakultas dan Jurusan agar
mempersiapkan secara matang untuk Praktik Peradilan Agama ini,
mengingat bukan hal yang mudah untuk mengadakan PPA ini, terlebih
menjalin komunikasi yang baik dengan instansi terkait.
b. Untuk Dosen Pembimbing yang memiliki tanggung jawab untuk
membimbing mahasiswanya agar lebih memperhatikan dan mengawasi
kesiapan mahasiswa yang menjadi tanggun jawabnya untuk mengikuti
Praktik Peradilan Agama ini.
c. Untuk kedepannya diharapkan pihak kampus memberikan sosialisasi
yan menyeluruh tentang teknis penulisan laporan sehingga mahasiswa
mampu membuat laporan secara baik dan benar. Apalagi pembuatan
laporan yang menggunakan data-data dan analisis atau penelitian yang
memakan waktu.
2. Saran Untuk Mahasiswa
Untuk mahasiswa sendiri harus mempersiapkan segala sesuatu yang
menjadi kebutuhan ketika Praktk Peradilan Agama ini berjalan.
a. mengingat daerah yang menjadi tujuan PPA ini benar-benar belum
pernah disinggahi sama sekali, sehingga kesiapan mental,fisik, juga
sarana dan prasarana penunjang menjadi hal wajib yang harus
diperhatikan.
b. Memanfaatkan waktu semaksimal mungkin agar memiliki kegiatan
lebih banyak. Sehingga tidak terkesan menganggur di tempat praktik.
c. Membawa alat tulis dan mencatat hal-hal yang dianggap penting, ketika
mengikuti persidangan guna mencatat tata acara sidang, sehingga bisa
dijadikan bahan acuan dalam melaksanakan simulasi sidang.
d. Jangan lupakan orang-orang yang telah memberikan sekian banyak
pengalaman dan sumbangsihnya untuk kelancaran praktik peradilan
agama ini dan menjalin koneksi dengan mereka.
3. Saran Untuk Institusi Pengadilan Agama
a. Meningkatkan etos kerja dan kerjasama antar sataff dan pegawai.
b. Mencantumkan menu panggilan di Web resmi Pengadilan Agama
Kuningan, sehingga jangkauan panggilan menjadi lebih luas dan bisa
diakses dari seluruh wilayah, juga dapat saling berkomunikasi dengan
staff dan pegawai.
c. Meningkatkan semangat kerja dan menjalin komunikasi yang baik,
entah itu dengan sesama pegawai atau dengan yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

- Lubis Sulaikin, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia Jakarta:


kencana 2008

- Soetantio Retnowulan dan Oeripkartawinata Iskandar, Hukum Acara Perdata


dalam Teori dan Praktek Bandung: Mandar Maju, 1997

- Harahap Yahya, kedudukan kewenangan dan acara perdata agama, Jakarta:


pustaka kartini 1993

- Syah Umar Mansyur, Hukum Acara Peradilan Agama Menurut Teori dan
Praktek Garut : al umaro, 2007.

- Wildan Suyuthi. Beberapa Permasalahan Acara Perdata Peradilan Agama


Dalam Tanya Jawab, Jakarta: Puslitbang diklat Mahkamah Agung RI, 2004.

- Panduan Praktikum Peradilan Agama.

- http/www.pa-kuningan.go.id.
LAMPIRAN

Lampiran 1

NO WAKTU JENIS KEGIATAN


1 6 April - 22 April 2016 Penyusunan pedoman praktikum peradilan
2 25 April – 26 Mei 2016 Konsultasi ke pengadilan agama
3 27 Mei 2016 Penyegaran bagi pemantau dan
pembimbing
4 30 Mei 2016 Pembekalan praktikum dan persiapan
sertaq koordinasi antara pembimbing
dengan peserta
5 1 Juni 2016 Penyerahan praktikum di pengadilan
agama
6 1 Juni – 16 Juni 2016 Pengamatan di pengadilan agama
7 17 Juni 2016 Penutupan kegiatan pengamatan di
pengadilan agama

8 20 Juni – 30 juni 2016 Simulasi persidangan


9 11 juli – 5 Agustus 2016 Penyusunan laporan individual
10 8 Juli – 12 Juli 2016 Penyerahan laporan individual ke
pembimbing
11 15 Agustus 2016 Penyerahan laporan dan nilai individual
kepada panitia
Lampiran 2

Anda mungkin juga menyukai