PENDAHULUAN
1
Panduan Praktikum Peradilan Agama hlm. 1-10
BAB II
2
http/www.pa-kuningan.go.id diakses pada tanggal 8 agustus
Perjuangan No.63 Ancaran – Kuningan. Berikut silsilah Ketua Pengadilan
Agama Kuningan yang pernah menjabat
1. K.H. Muhtaruddin, SH. (1974-1985)
2. Drs. Malik Ibrahim, SH. (1985-1995)
3. H.T. Muhsin, S.Ag. (1995-2001)
4. Drs. H. A. Najmuddin, SH., MH. (2002-2004)
5. H. Komari, SH., M.Hum. (2004-2006)
6. H. Asril Nasution, SH., M.Hum. (2006-2008)
7. Drs. H. Amar Komaruddin, SH. (2008-2011)
8. H. Muhammad Darin, S.H., M.Si. (2011-2013)
9. Drs. H. Abd. Basyir, M.Ag. (2013-2016)
10. Drs. H. Asep Saepudin, M.S.Q. (2016 – sekarang )
VISI
MISI
3
ibid
C. Tujuan Pengadilan Agama Kuningan
Tujuan dari Pengadilan Agama Kuningan adalah untuk menjadi lembaga
yang profesional dan terintegrasi bagi para pencari keadilan. Pengadilan Agama
Kuningan Kelas I A, merupakan salah satu lembaga yang melaksanakan amanat
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, dalam melaksanakan tugasnya guna menegakkan hukum dan
keadilan harus memenuhi harapan dari para pencari keadilan yang selalu
menghendaki peradilan yang sederhana, cepat, tepat, dan biaya ringan.
Pengadilan Agama Kuningan mempunyai wilayah hukum Daerah Tingkat II
Kota Kuningan terdiri dari 32 Kecamatan, 361 Desa dan 15 Kelurahan, dengan
jumlah penduduk sebanyak +- 1.120.000 jiwa dengan beban kerja rata-rata tiap
bulan menerima 160 perkara. Dalam melaksanakan tugasnya didukung dengan
kekuatan pegawai sebanyak 30 orang dengan menempati gedung seluas 500 m2,
di atas tanah sewa seluas 600 m2. Untuk mewujudkan harapan dari para pencari
keadilan tersebut, Pengadilan Agama Kuningan dalam rangka melaksanakan
tugasnya terlebih dahulu harus membuat suatu perencanaan yang mantap,
pelaksanaan yang tepat dan pengawasan yang ketat diikuti dengan evaluasi yang
cermat. Secara formal pelaksanaan tugas Pengadilan Agama tersebut harus
dipertanggung jawabkan dalam bentuk laporan ke Pengadilan Tinggi Agama
Jawa Barat selaku atasan.
4
Ibid 2
BAB III
5
Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: kencana 2008),
Hlm. 13
3. Dispensasi kawin;
4. Pencegahan perkawinan;
5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6. Pembatalan perkawinan;
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri;
8. Perceraian karena talak;
9. Gugatan perceraian;
10. Penyelesaian harta bersama;
11. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak
bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak
memenuhinya;
12. Penguasaan anak-anak;
13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami
kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas
isteri;
14. Putusan tentang sah tidaknya seorang anak;
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16. Pencabutan kekuasaan wali;
17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut;
18. Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup
umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya,
padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya;
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang
ada di bawah kekuasaannya;
20. Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak
berdasarkan hukum Islam;
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk
melakukan perkawinan campur; dan
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan
dijalankan menurut peraturan yang lain.
b. Waris.
Dalam perkara waris, yang menjadi tugas dan wewenang Pengadilan
Agama disebutkan berdasarkan penjelasan Pasal 49 huruf b Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah sebagai berikut;
Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, Penentuan mengenai harta
peninggalan, Penentuan bagian masing-masing ahli waris, Melaksanakan
pembagian harta peninggalan tersebut, Penetapan Pengadilan atas
permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris,
dan penentuan bagian-bagiannya. Dalam penjelasan umum Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama terdapat kalimat
yang berbunyi: “Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan
untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”.
Kini, dengan adanya amandemen terhadap Undang-Undang tersebut,
kalimat itu dinyatakan dihapus.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama dijelaskan, bilamana pewarisan itu dilakukan
berdasarkan hukum Islam, maka penyelesaiannya dilaksanakan oleh
Pengadilan Agama. Selanjutnya dikemukakan pula mengenai keseragaman
kekuasaan Pengadilan Agama di seluruh wilayah nusantara yang selama ini
berbeda satu sama lain, karena perbedaan dasar hukumnya. Selain dari itu,
berdasarkan pasal 107 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, Pengadilan Agama juga diberi tugas dan wewenang
untuk menyelesaikan permohonan pembagian harta peninggalan di luar
sengketa antara orang-orang agama yang beragama Islam yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam.
c. Wasiat
Mengenai wasiat, wewenang Pengadilan Agama diatur dalam
penjelasan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Peradilan Agama dijelaskan bahwa definisi wasiat adalah:
“Perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau
lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut
meninggal dunia.” Namun, Undang-Undang tersebut tidak mengatur lebih
jauh tentang wasiat. Ketentuan lebih detail diatur dalam Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam KHI,
wasiat ditempatkan pada bab V, dan diatur melalui 16 pasal.
Ketentuan mendasar yang diatur di dalamnya adalah tentang: syarat
orang membuat wasiat, harta benda yang diwasiatkan, kapan wasiat mulai
berlaku, di mana wasiat dilakukan, seberapa banyak maksimal wasiat dapat
diberikan, bagaimana kedudukan wasiat kepada ahli waris, dalam wasiat
harus disebut dengan jelas siapa yang akan menerima harta benda wasiat,
kapan wasiat batal, wasiat mengenai hasil investasi, pencabutan wasiat,
bagaimana jika harta wasiat menyusut, wasiat melebihi sepertiga sedang
ahli waris tidak setuju, di mana surat wasiat disimpan, bagaimana jika
wasiat dicabut, bagaimana jika pewasiat meninggal dunia, wasiat dalam
kondisi perang, wasiat dalam perjalanan, kepada siapa tidak diperbolehkan
wasiat, bagi siapa wasiat tidak berlaku, wasiat wajibah bagi orang tua angkat
dan besarnya, dan wasiat wajibah bagi anak angkat serta besarnya.
d. Hibah
Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 memberikan definisi
tentang hibah sebagai: “pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa
imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan
hukum untuk dimiliki.”
Hibah juga tidak diregulasi secara rinci dalam Undang-Undang a quo. Ia
secara garis besar diatur dalam KHI, dengan menempati bab VI, dan hanya
diatur dalam lima pasal. Secara garis besar pasal-pasal ini berisi: Subjek
hukum hibah, besarnya hibah, di mana hibah dilakukan, harta benda yang
dihibahkan, hibah orang tua kepada anak, kapan hibah harus mendapat
persetujuan ahli waris, dan hibah yang dilakukan di luar wilayah Republik
Indonesia.
e. Wakaf
Wakaf dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
dimaknai sebagai: “perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif)
untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya
untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai
dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut syari’ah.” Tentang wakaf ini tidak dijelaskan secara rinci dalam
Undang-Undang ini. Ketentuan lebih luas tercantum dalam KHI, Buku III,
Bab I hingga Bab V, yang mencakup 14 pasal. Pasal-pasal tersebut mengatur:
Ketentuan umum, yaitu definisi wakaf, wakif, ikrar, benda wakaf, nadzir,
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf; fungsi wakaf; subjek hukum yang dapat
mewakafkan harta bendanya; syarat benda wakaf; prosedur mewakafkan;
syarat-syarat nadzir; kewajiban dan hak-hak nadzir; pendaftaran benda
wakaf; perubahan, penyelesaian dan pengawasan benda wakaf. Khusus
mengenai perwakafan tanah milik, KHI tidak mengaturnya. Ia telah diregulasi
empat tahun sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977,
lembaran negara No. 38 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
f. Zakat
Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorag Muslim atau
badan hukum yang dimiliki oleh orang Muslim sesuai dengan ketentuan
syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. KHI tidak
menyinggung pengaturan zakat. Regulasi mengenai zakat telah diatur
tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Lembaran Negara
Nomor 164 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Secara garis besar, isi
Undang-Undang ini adalah: Pemerintah memandang perlu untuk campur
tangan dalam bidang zakat, yang mencakup: perlindungan, pembinaan, dan
pelayanan kepada muzakki, mustahiq dan amil zakat; tujuan pengelolaan
zakat; organisasi pengelolaan zakat; pengumpulan zakat; pendayagunaan
zakat; pengawasan pengelolaan zakat; dan sanksi terhadap pelanggaran
regulasi pengelolaan zakat.
g. Infaq.
Infaq dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 diartikan
dengan: “perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna
menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan,
memberikan rizqi (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain
berdasarkan rasa ikhlash, dan karena Allah Subhanahu Wata’ala.”
Kewenangan Pengadilan Agama ini belum pernah diatur secara tersendiri
dalam bentuk peraturan perundang-undangan, dan dalam Undang-Undang ini
juga tak diatur lebih lanjut.
h. Shadaqah.
Mengenai shadaqah diartikan sebagai: “Perbuatan seseorang memberikan
sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan
sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap
ridha Allah dan pahala semata.” Sama seperti infaq, shadaqah juga tidak
diatur dalam regulasi khusus. Dan hingga kini belum ada peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya.
i. Ekonomi Syari’ah.
Ekonomi syari’ah diartikan dengan: “Perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syari’ah.” Kewenangan itu antara lain:
1. Bank Syari’ah;
2. Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah;
3. Asuransi Syari’ah;
4. Reasuransi Syari’ah;
5. Reksadana Syari’ah;
6. Obligasi Syari’ah dan Surat Berharga Berjangka Menengah
Syari’ah;
7. Sekuritas Syari’ah;
8. Pembiayaan Syari’ah;
9. Pegadaian Syari’ah;
10. Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syari’ah; dan
11. Bisnis Syari’ah.
Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan yang
berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan6 .Kekuasaan
pengadilan di lingkungan Peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu
orang-orang yang beragama Islam. Dengan kata lain, kekuasaan absolut adalah
kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis
pengadilan atau tingkatan pengadilan dalam perbedaannya dengan jenis perkara
atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya, seperti contoh: 7
6
. Retnowulan Soetantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktek (Bandung: Mandar Maju, 1997), hal. 11.
7
Umar Mansyur Syah, Hukum Acara Peradilan Agama Menurut Teori dan Praktek
(Garut al umaro, 2007) hal .98.
BAB IV
Sementara itu, untuk Gugatan yang sifatnya Voluntair harus dengan prosedur
sebagai berikut :
1. Pengangkatan Anak
a. Menyerahkan Surat Permohonan;
b. Menyerahkan foto copy Kutipan/Duplikat Akta Nikah;
c. Menyerahkan foto copy KTP;
d. Akta Kelahiran Calon Anak Angkat;
e. Menyerahkan pernyataan dari orang tua kandung dari calon anak
angkat;
f. Membayar biaya perkara sesuai radius.
2. Itsbat Nikah
a. Menyerahkan Surat Permohonan;
b. Menyerahkan foto copy KTP;
c. Menyerahkan Surat Keterangan dari Desa/Kelurahan yang menyatakan
Pemohon pernah menikah;
d. Menyerahkan Surat Keterangan dari KUA bahwa pernikahan Pemohon
tidak/register nikah tahun pernikahan Pemohon tidak ditemukan;
e. Membayar biaya perkara sesuai radius.
3. Wali Adhal
a. Menyerahkan Surat Permohonan;
b. Menyerahkan foto copy KTP;
c. Pemberitahuan adanya halangan/kekurangan persyaratan dari KUA;
d. Penolakan pernikahan dari KUA;
e. Surat Keterangan dari Kepala Desa/Kelurahan;
f. Akta Kelahiran Pemohon/Surat Keterangan wali Pemohon;
g. Membayar biaya perkara sesuai radius.
5. Dispensasi Nikah
a. Menyerahkan Surat Permohonan;
b. Foto copy KTP ayah dan ibu Calon Suami/Istri yang dimintakan
dispensi (Pemohon I dan Pemohon II);
c. Menyerahkan Akta Kelahiran Calon Suami/Istri yang dimintakan
dispensasi;
d. Penolakan pernikahan dari KUA;
e. Membayar biaya perkara sesuai dengan radius.
6. Poligami
a. Menyerahkan Surat Permohonan;
b. Foto copy KTP Pemohon;
c. Foto copy Kutipan Akta Nikah Pemohon;
d. Surat pernyataan tidak keberatan untuk dimadu, yang dibuat dan
ditandatangani oleh Termohon;
e. Surat pernyataan berlaku adil yang dibuat dan ditandatangani oleh
Pemohon;
f. Surat pernyataan tidak keberatan untuk dimadu, yang dibuat dan
ditandatangani olehCalon Istri kedua Pemohon;
g. Surat Keterangan penghasilan yang dibuat dan ditandatangani oleh
Kepala Desa/Bendaharawan Gaji (jika Pemohon PEgawai
Negeri/Pegawai Swasta);
h. Foto copy Akta Cerai yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama (jika
Calon Istrikedua janda cerai);
i. Membayar biaya perkara sesuai dengan radius.
Dengan kata lain Prosedur Pengajuan Perkara di Pengadilan Agama Kuningan bisa
dengan cara sebagai berikut :
a. Secara Lisan.
1. Melalui telepon (0232) 871652, yakni pada saat jam kerja mulai pukul
08.00 s/d 16.30 WIB.
2. Datang langsung ke kantor Pengadilan Agama Kuningan Jln
Perjuangan No. 63 Ancaran Kuningan pada saat jam kerja mulai pukul
08.00 s/d 16.30 WIB.
b. Secara Tulisan.
a. Menyampaikan surat resmi yang ditujukan kepada pimpinan dalam hal
ini Ketua Pengadilan Agama Kuningan, dengan cara diantar langsung,
dikirim melalui faxsimile, atau melalui pos ke alamat kantor di Jln
Perjuangan No. 63 Ancaran Kuningan.
b. Melalui e-mail : pa.Kuningan_ptabdg@yahoo.co.id atau website
Pengadilan Agama Kuningan dengan klik tautan ini : www.pa-
Kuningan.go.id
c. Pengaduan secara tertulis wajib dilengkapi fotokopi identitas dan
dokumen pendukung lainnya seperti dokumen yang berkaitan dengan
pengaduan yang akan disampaikan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
- Syah Umar Mansyur, Hukum Acara Peradilan Agama Menurut Teori dan
Praktek Garut : al umaro, 2007.
- http/www.pa-kuningan.go.id.
LAMPIRAN
Lampiran 1