Anda di halaman 1dari 23

“PERUBAHAN MODEL, STRUKTUR DAN BENTUK

PEMERINTAHAN DAERAH”

Makalah Kelompok 3

“Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pemerintahan Daerah”

Dosen pengampu: Nur Habibi, M.H.

Disusun Oleh:

Muhammad Reza Hidayat (11200453000028)

Nur Hanipa Hasibuan (11200453000003)

Adhi Makayasa (11200453000001)

Daffa Nayudhistira (11200480000042)

Sulthan Mahesa (11200480000081)

PRODI HUKUM TATANEGARA DAN ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2022M/1443H
KATA PENGANTAR
‫ن الرحي هم‬
‫للا الرحم ه‬
‫بسم ه‬

Alhamdulillah, rasa syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha


Kuasa yang telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesehatan, kesempatan serta
pengetahuan sehingga makalah Hukum Pemerintahan Daerah tentang Perubahan
Model, Struktur dan Bentuk Pemerintahan Daerah bisa selesai sesuai dengan waktu
yang telah ditentukan.

Kami berharap agar makalah ini bisa bermanfaat untuk menambah


pengetahuan rekan-rekan mahasiswa pada khususnya dan para pembaca umumnya
tentang Perubahan Model, Struktur dan Bentuk Pemerintahan Daerah yang
merupakan salah satu bagian dari Tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Hukum
Pemerintahan Daerah.

Kami berterima kasih sebanyak-banyaknya kepada dosen pengampu mata


kuliah Hukum Pemerintahan Daerah yaitu Nur Habibi, M.H. yang membimbing
kami dalam memahami mata kuliah ini. Mudah-mudahan makalah sederhana yang
telah berhasil kami susun ini bisa dengan mudah dipahami oleh siapapun yang
membacanya. Sebelumnya kami memohon maaf bilamana terdapat kesalahan kata
atau kalimat yang kurang berkenan. Serta tak lupa kami juga berharap adanya
masukan serta kritikan yang membangun dari pembaca demi terciptanya makalah
yang lebih baik lagi.

Ciputat, 24 September 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii

BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................................... 2
C. Tujuan ....................................................................................................................... 2
BAB II .................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN .................................................................................................... 3
A. Sebelum Amandemen UUD 1945 (Era Orde Baru) .......................................... 3
B. Pasca Amandemen UUD 1945 (Era Reformasi) ................................................. 8
BAB III ................................................................................................................. 17
PENUTUP ............................................................................................................ 17
A. Kesimpulan ............................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 19

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai Negara Kesatuan dengan kedaulatan tertinggi dalam
pemerintahan berada di tangan Presiden. Salah satu asas Negara Kesatuan yang
didesentralisasikan (otonomi), maka ada tugas-tugas tertentu yang diurus oleh
Pemerintah Daerah sendiri. Adanya kewenangan yang diurus sendiri oleh
Pemerintah Daerah, terdapat berbagai bentuk disharmonisasi antara Kabinet
(Pemerintah Pusat) dengan Pemerintah Daerah. Sengketa kewenangan lahan,
masalah harmonisasi regulasi, perimbangan keuangan, merupakan bagian dari
problematika antara Pusat dengan Daerah.

Penataan kembali hubungan pusatdaerah yang lebih harmonis dengan


didasarkan pada kemitraan dan saling ketergantungan sistem pemerintahan.
Konstruksi hubungan tersebut setidaknya memuat pemikiran ulang mengenai
tingkatan pemerintahan, status dan kedudukannya; pembagian wewenang antar
berbagai tingkatan pemerintahan; perimbangan keuangan antar tingkatan
pemerintahan; partisipasi daerah dalam pembuatan keputusan di tingkat nasional;
dan intervensi pusat terhadap daerah.

Struktur kabinet pemerintahan mendatang perlu dipastikan mampu


mendorong adanya koordinasi dan sinkronisasi yang lebih baik dalam
menyelesaikan berbagai persoalan, baik antar-kementerian, lembaga, maupun
hubungan pusat dan daerah. Sebagai bagian dalam penguatan sistem presidensial,
maka hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus harmonis
agar terwujud koordinasi yang baik, sinkronisasi kebijakan, serta kerja sama yang
solid. Dengan demikian, pembangunan yang dirancang pemerintah pusat, provinsi,
dan kabupaten/kota dapat selaras.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,


menyatakan bahwa negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk
Republik. Sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, dalam penyelenggaraan

1
pemerintahan dinyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan.

Prinsip Negara kesatuan ialah pemegang kekuasaan tertinggi atas seluruh


urusan negara adalah pemerintah pusat tanpa ada suatu delegasi atau pelimpahan
kewenangan kepada pemerintahan daerah atau urusan pemerintahan tidak dibagi-
bagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sehingga urusan-urusan
negara dalam negara kesatuan tetap merupakan pemegang kekuasaan tertinggi di
negara adalah pemerintah pusat.

Meskipun memegang kedaulatan tertinggi dalam pemerintahan, tetapi


sistem pemerintahan Indonesia yang menganut asas Negara Kesatuan
didesentralisasikan (otonomi), maka ada tugas-tugas tertentu yang diurus oleh
pemerintah daerah sendiri

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud konsep Perubahan Struktur Pemerintahan daerah?
2. Bagaimana Struktur sebelum amandemen UUD 1945?
3. Bagaimana Struktur Pasca Amandemen UUD 1945?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Konsep Perubahan Struktur Pemerintahan daerah.
2. Untuk mengetahui Struktur sebelum amandemen UUD 1945.
3. Untuk mengetahui Struktur Pasca Amandemen UUD 1945.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sebelum Amandemen UUD 1945 (Era Orde Baru)


Sejarah Indonesia dalam pemerintahan terdapat beberapa masa .
Salah satunya adalah pemerintahan Orde Baru. Masa Orde Baru berlangsung
selama 32 tahun, yakni 1966 sampai dengan 1998. Presiden pada masa itu
adalah Soeharto. Di masa Orde Baru, pemerintah berusaha menciptakan
stabilitas politik dan keamanan nasional pasca peristiwa 1965. Sistem
pemerintahan yang dijalankan pada masa itu adalah sistem pemerintahan
Presidensial dengan bentuk pemerintahan Republik. Walaupun secara sistem
tidak mengalami perubahan dengan era sebelumnya, tetap ada perbedaan di
antara keduanya. Salah satu contoh adalah jabatan Presiden berubah menjadi
seumur hidup. 1 Tentu saja hal tersebut juga mempengaruhi mempengaruhi
struktur, model dan bentuk pemerintahan pada era Orde Baru yang di pimpin
Jend. Purn. Soeharto, Indoensia yang mana pada saat itu masih menerapkan
sentralisasi. Penerapan sentralisasi pada masa itu bertujuan untuk menjaga
stabilitas politik dan ekonomi nasional. 2 Akan tetapi Pelaksanaan otonomi
daerah di Indonesia pada masa orde baru tidak berjalan sesuai dengan tujuan
dan harapan bagi kebutuhan daerah dalam mewujudkan kesejahteraan bagi
masyarakat dalam memberikan pelayanan publik.3
Pengertian otonomi daerah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) berarti bahwa hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. 4 Pemerintah orde baru pada awalnya hadir sebagai
koreksi atas kegagalan pemerintah orde lama.5 Pada masa orde baru otonomi

1
https://kumparan.com/berita-update/sistem-pemerintahan-yang-dijalankan-pada-masa-orde-baru-
1ww9MT6wnoc
2
https://www.dpr.go.id/blog/kegiatan-detail/id/1468/berita/1330
3
Mukhirijal, Jurnal Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia h. 24
4
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 2001. h 805
5
Drs.Josef Riwu Kaho,MPA. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. h 31

3
daerah dititikberat- kan pada daerah tingkat II berdasarkan Undangan-Undang
No. 15 Tahun 1974. Selanjut nya pasal 11 undang-undang ini menyebutkan
bahwa pelaksanaan otonomi dengan titik berat pada daerah tingkat II
dilaksanakan dengan memuat tiga aspek utama, yaitu aspek administrasi; aspek
politik; dan aspek kemandirian. Aspek administrasi merujuk pada pemerataan
dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.
Aspek politik merujuk pada upaya pendemo- krasian pemerintah di daerah,
sedangkan aspek kemandirian dimaksudkan agar daerah mampu mandiri,
khususnya dalam melaksa nakan urusan rumah tangganya sehingga pemerintah
daerah dituntut untuk menciptakan kondisi dimana masyarakat ikut berperan
serta. Kreatif, dan inovatif dalam pemba ngunan daerah. Dengan demikian, isu
mengenal otonomi daerah telah lama diperdebatkan dalam tata pemerintahan
Indonesia, terutama dalam konteks hubungan antara pusat dan daerah.

Konsep ideal yang tercantum dalam masing-masing undang-


undang, terutama UU No. 5 Tahun 1974 yang menjadi patokan pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia pada masa Orde Baru, belum
dapat dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini karena meskipun
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 telah memberikan penekanan pada daerah
tingkat II sebagai basis pelaksanaan otonomi daerah, tetapi pada kenyataannya
pemerintah pusat dan pemerintah daerah tingkat I masih memegang kendali
kekuasaan secara signifikan. 6 Selain itu kehadiran Undang-Undang No. 5
Tahun 1974 tenang pemerintahan daerah diyakini akan mampu menciptakan
stabilitas daerah. Dengan demikian Eksekutif diberi kewenangan yang sangat
besar sebagai penguasa tunggal di daerah. 7 Walaupun demikian Undang-
Undang desentralisasi yang seharusnya menjadi pijakan utama untuk
melaksanakan otonomi daerah berada di bawah bayang-bayang asas
dekosentrasi. Sebagai konsekuensinya sentralisme menjadi ciri khas yang

6
Budi Winamo, Jurnal Implementasi Konsep Reiventing Government dalam Pelaksanaan
Otonomi Daerah h. 176
7
Andi Sagala, Jurnal Model Otonomi Daerah pada Masa Orde Lama Orde Baru dan Reformasi di
Negara Kesatuan Republik Indonesia, h. 3)

4
mewarnai sepanjang pelaksanaan otonomi daerah di masa Orde Baru. Pada
masa ini isu desentralisasi dalam konteks hubungan kekuasaan antara pusat dan
daerah terbatas pada distribusi keuangan ke daerah-daerah tidak pernah
menyentuh masalah pembagian kekuasaan (power sharing) sebagai sesuatu
yang diperlukan dalam menumbuhkan proses pembangunan demokrasi di
daerah, baik antara pusat dengan daerah maupun antara birokrasi dengan
masyarakatnya.

Kuatnya peran pemerintah pusat dalam pelaksanaan otonomi daerah


menimbulkan beberapa akibat. Pertama, pembangunan yang dilakukan gagal
menangkap aspirasi, potensi, dan kebutuhan masyarakat di daerah. Hal ini
terjadi karena kuatnya dominasi pemerintah pusat sehingga para pengambil
keputusan gagal memahami aspirasi dan dinamika yang berkembang di tingkat
grass root. Pada akhirnya, pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah
gagal dalam menjawab persoalan-persoalan yang berada di tengah-tengah
masyarakat karena pada dasamya pemerintah daerah lah yang lebih
mempunyai pemahaman terhadap masalah dan aspirasi yang berkembang di
daerahnya. Kedua, sentralisme pembangunan telah menciptakan
ketergantungan daerah terhadap pusat. Hal ini ditunjukkan terutama dalam hal
pembiayaan proyek-proyek pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.
Setidaknya ada empat faktor yang membuat daerah sangat tergantung pada
pusat menyangkut pembiayaan proyek-proyek pembangunan, yaitu:

(1) kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan;

(2) tingginya tingkat sentralisasi dalam bidang perpajakan. Dalam konteks ini,
pemerintah pusat menguasai sumber-sumber pajak penting yang bersifat
lucrative (pajak bidang usaha dan penghasilan orang, pajak pertambahan nilai,
dan bea cukai);

(3) akibat yang ditimbulkan dari faktor kedua adalah minimnya sumber-
sumber penerimaan daerah yang dapat diandalkan; dan

5
(4) faktor politis. Dalam hal ini ada kekhawatiran pusat jika daerah diberi
kekuasaan yang besar dalam hal keuangan dan pendapatan akan muncul
gerakan disintegrasi dan separatisme.

Sejarah menyebutkan , tuntutan seperti ini muncul justru ketika


daerah tidak diberi otonomi yang memadai sehingga mereka merasa tidak
diberi peran yang signifikan dalam mengelola pembangunan di daerahnya.
Oleh karena itu, banyak daerah yang potensial gagal berkembang karena
sumber daya daerah yang penting sebagai penopang pembangunan daerah
ditarik ke pusat, dan pemerintah daerah hanya mendapatkan sedikit saja dari
hasil- hasil kekayaan daerahnya, akibatnya, banyak daerah merasa tidak puas
dengan kondisi ini sehingga muncul desakan ke arah pembentukan daerah
teritorial sendiri yang lepas dari pemerintahan RI.8 Otonomi daerah, menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974, adalah hak,
wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
1999, otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. UU. No. 32 Tahun 2004 dan UU No.23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah mendefinisikan otonomi daerah sebagai wewenang dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.9

Behubungan dengan pelimpahan kewenangan dari Tap MPR diatas,


sejarah ketatanegaraan Indonesia telah memasuki babak baru dalam
pelaksanaan otonomi daerah dibawah UU No. 22 Tahun 1999 tentang

8
(Budi Winamo, Jurnal Implementasi Konsep Reiventing Government dalam Pelaksanaan Otonomi
Daerah h. 176-177)
9
Taliziduhu Ndraha, 2003. Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru), Rineka Cipta, Jakarta, hal. 23.

6
Pemerintahan Daerah (UUPD) dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU PKPD).
Melalui kedua UU tersebut daerah diberi kesempatan luas untuk mengatur
daerahnya dengan ditopang pendanaan yang lebih memadai. Sejak kelahiran
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang menggantikan Undang-undang No.
5 Tahun 1974, masyarakat di daerah menyambut kehadiran Undang-Undang
tersebut dengan penuh harapan, apalagi setelah disusul dengan kelahiran
UndangUndang No. 25 tahun 1999. Kehadiran dua undang-undang tersebut
seperti saudara kembar yang akan saling melengkapi dan menyempurnakan
pelaksanaan otonomi daerah, khususnya untuk mempersiapkan daerah di masa
depan agar lebih otonom dan demokratis. Ketika suasana hiruk pikuk
terjadinya korupsi menjangkiti parlemen dan eksekutif di daerah, dari Sabang
sampai Merauke, lahirlah undang-undang baru yakni UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, yang mencabut pemberlakuan UU No. 22 Tahun
1999 dan kemudian UU No.32 Tahun 2004 diganti dengan UU No. 23 Tahun
2014.10

Tujuan utama dari kebijakan otonomi daerah adalah, pertama


,membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam
menangani urusan domistik ,sehingga ia berkesempataan untuk mempelajari
,memahami ,merespon berbagai kecenderongan global dan mengambil
manfaat dari padanya ,pemerintah pusat diharapkan lebih mampu
berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat
strategis. Kedua ,dengan adanya otonomi daerah ,maka pemerintah daerah
dapat kewenangan lebih dari pemerintah pusat,maka daerah akan mengalami
proses pembelajaran dan pemberdayaan yang seknifikan.Kemampuan prakarsa
dan kraitivitas mereka akan terpacu ,sehingga kapabilitas dalam mengatasi
berbagai masalah domistik akan semakin kuat.

10
H.A.W Widjaja, 2005. Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta. hal. 35.

7
Istilah otonomi mempunyai arti kebebasan atau kemandirian ,tapi
bukan kemerdekaan sehingga daerah otonomi itu diberi kebebasan atau
kemandirian sebagai wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggung
jawabkan .Oleh sebab itu ,usaha pembangunan keseimbangan harus
diperhatikan dalam konteks hubungan kekuasaan antara pusat dan
daerah.Artinya daerah harus dipandang dalam dua kedudukan ,yaitu :sebagai
organ daerah untuk melaksanakan tugas-tugas otonomi ;dan sebagai agen
pemerintah pusat sebagai agen pemerintahan pusat untuk menyelenggarakan
urusan pusat daerah.11 Pergeesaran peranan pemerintah daerah dalam format
otonomi daerah terbatas dan bertingkat pada masa orde baru menjadi otonomi
daerah seluas luasanya pada era reformasi harus lebih menekannakan pada
peran pemerintah daerah sebagai wahana untuk mewujudkan kesejahteraan dan
memberdayakan masyarakat lokal. 12 Inti dari pelaksanaan otonomi daerah
adalah terdapatnya keleluasaan pemerintah daerah (discretionary power) untuk
menyelenggarakan pemerintah sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas dan
peranserta aktif masyarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan
daerahnya. Memberikan otonomi daerah tidak hanya berarti melaksanakan
demokrasi di lapisan bawah tetapi juga mendorong otoaktivitas untuk
melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungan sendiri.13

B. Pasca Amandemen UUD 1945 (Era Reformasi)


Secara yuridis, perubahan Konstitusi dapat dilakukan apabila dalam
konstitusi itu telah ditetapkan tentang syarat dan prosedur perubahan
konstitusi. Perubahan konstitusi yang ditetapkan dalam konstitusi disebut
dengan perubahan secara formal (formal amandement). Disamping itu,
perubahan konstitusi dapat dilakukan melalui cara tidak formal, yaitu oleh
kekuatan-kekuatan yang bersifat primer (some primary force), penafsiran oleh

11
Drs Yudhiyono Bambang M.Si:Otonomi Daerah. Jakarta .Pustaka Sinar.2001
12
Haris Syamsuddin ,Desentralisasi dan Otonomi Daerah , Jakarta : LIPI Press,2007
13
Ekom Koswara K., 2001. Otonomi Daerah untuk Demokrasi dan Pemberdayaan. Yayasan
Pariba, Jakarta, hal. 25.

8
pengadilan (judical interpretation), dan oleh kebiasaan dalam bidang
ketatanegaraan (usages and conventions).14

Dalam sejarahnya, adanya reformasi hukum di setiap negara


mencakup reformasi kelembagaan (institutional reform), reformasi perundang-
undangan (instrumental reform) dan reformasi budaya hukum (cultural
reform). Hal ini penting dilakukan untuk mendukung berbagai Upaya adanya
perubahan yang lebih baik di suatu negara. Perencanaan dan Pembangunan
hukum pada masa sekarang dan masa yang akan datang harus melalu langkah-
langkah yang strategis. Peningkatan akselerasi reformasi hukum mencakup
materi atau substansi hukum (legal substance), kelembagaan hukum (legal
structure), dan budaya hukum (legal culture). Ketiga aspek ini dianggap
penting dan berkesinambungan untuk membentuk suatu sistem hukum nasional
yang kita inginkan.

Perubahan sistem kekuasaan Negara pasca reformasi tahun 1998


terutama pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
(yang direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004) memberi peluang otonomi
daerah yang luas. Pengertian otonomi daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004
sebagai amandemen UU No. 22 Tahun 1999 adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, orientasi pembangunan diubah dari prinsip efisiensi dan
pertumbuhan menjadi prinsip kemandirian dan keadilan. Dalam kondisi
orientasi pembangunan yang demikian, maka orientasi penyelenggaraan
pembangunan bergeser ke arah desentralisasi. Salah satu implikasi dari

14
UINSGD. “Otonomi Daerah Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Antara Idealita
dan Realita”. Diakses pada: September 2023. https://uinsgd.ac.id/otonomi-daerah-pasca-
amandemen-undang-undang-dasar-1945-antara-idealita-dan-realita/

9
perubahan paradigma penyelenggaraan pembangunan tersebut adalah
timbulnya fenomena pemekaran wilayah.15

Dengan adanya reformasi, penguatan-penguatan kepemerintahan


daerah menjadi titik fokus perubahan. Karena sejak era orde baru, semua
urusan negara maupun kepemerintahan dipindah tangani oleh pusat. Sehingga
sistemnya sangat sentralisasi. Pasca reformasi dikuatkannya kembali metode
desentralisasi untuk kepemerintahan daerah di Indonesia.

Secara etimologis istilah otonomi berasal dari kata “autonomie”


yang berasal dari bahasa Yunani (autos= sendiri; nomos= undang-undang)
yang memiliki arti “perundangan sendiri” (zelfwetgeving). Di Indonesia
otonomi selain mengandung arti “perundangan” (regeling), juga mengandung
arti “pemerintahan” (bestuur). Secara dogmatis arti “pemerintahan” tersebut
dipakai dalam arti luas. Berlandaskan ajaran catur praja C. Van Vollenhoven,
maka otonomi mencakup aktivitas:16

a) Membentuk perundangan sendiri (zelfweetgeving).

b) Melaksanakan sendiri (zelfuitvoering).

c) Melakukan peradilan sendiri (zelfrechtspraak).

d) Melakukan tugas kepolisian sendiri (zelf-politie).

Desentralisasi atau penguatan demokrasi lokal merupakan hal dasar,


ia merupakan instrument penting untuk mencapai kemakmuran masyarakat,
yakni pencapaian nilai-nilai dari suatu komunitas bangsa, terciptanya
pemerintahan demokratis, kemandirian masyarakat sebagai perwujudan dari
otonomi, peningkatan efisiensi administrasi dan pembangunan sosial ekonomi.
(A.F. Leemans 1970)

15
Muqoyyidin, Andik Wahyun. Pemekaran Wilayah dan Otonomi Daerah Pasca Reformasi di
Indonesia : Konsep, Fakta Empiris dan Rekomendasi ke Depan. Volume 10 No 2. Jurnal
Konsititusi. 2013 hal 288.
16
Prof. Amrah Muslimin, S.H. Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah. Bandung; Alumni. 1982.
Hlm. 6

10
Kewenangan yang ada pada daerah adalah merupakan pelimpahan
kewenangan dari Pemerintah Pusat yang berasas kesamaan. Artinya
kewenangan yang dilimpahkan kepada daerah sebagai konsekuensi Otonomi
Daerah harus mempunyai nilai yang sama. Dalam artian tidak ada perbedaan
antara satu daerah dengan daerah yang lain yang menjadi kewenangan pusat.
Demikian pula kesamaan itu diartikan dalam pelaksanaan yang harus sesuai
dengan batas-batas yang telah ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Daerah
sebagai kawasan yang memperoleh pelimpahan kewenangan harus
melaksanakannya dengan tidak mengurangi makna kekuasaan pusat yang
memegang otoritas kedaulatan sebagai cermin dari kekuasaan di dalam Negara
Kesatuan.17

Pengaturan pemerintahan daerah tertuang dalam Pasal 18 UUD


1945.5 Pengaturan pemerintahan daerah dalam Pasal 18 ini sangat singkat,
sehingga tidak mudah diketahui perihal pemerintahan daerah yang bagaimana
dikehendaki oleh UUD 1945. Singkatnya pengaturan ini, menyebabkan
penjelasan Pasal 18 UUD 1945 menjadi rujukan utama dalam memahami
maksud dari pasal tersebut, padahal kedudukan penjelasan UUD 1945
menimbulkan perdebatan akademik perihal keabsahannya sebagai bagian dari
UUD. Perubahan keempat UUD 1945 telah menegaskan bahwa UUD 1945
hanya terdiri dari pembukaan dan pasal-pasalnya.

Perubahan Pasal 18 UUD 1945 melalui perubahan kedua tidak saja


menyebabkan berkembang lebih banyak, baik dari jumlah pasal mapun
ayatnya, tetapi perubahan pasal ini sekaligus membawa konsekuensi bahwa
segala UU yang mengatur pemerintahan daerah harus memiliki politik hukum
yang sama, khsusnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

17
Dr. Suriansyah Murhani, S.H., M.H. Aspek Hukum Pengawasan Pemerintahan Daerah.
Palangkaraya; Laksbang Mediatama. 2008. Hlm.8.

11
Pengaturan pemerintahan daerah yang lebih baik dalam UUD
merupakan salah satu agenda pembaharuan ketatanegaraan dalam perubahan
UUD 1945. Perubahan pertama UUD 1945, Pasal 18 yang mengatur perihal
pemerintahan daerah belum tersentuh perubahan, sebab pada perubahan
pertama ini, yang menjadi sasaran adalah, bagaimana membatasi kekuasaan
yang terlalu besar Presiden (executive heavy).

Pada perubahan kedua UUD 1945 pasal 18 tentang pemerintahan


daerah dikembangkan menjadi pasal 18 ayat (1),(2),(3),(4),(5),(6),(7), Pasal
18A ayat (1) dan (2); Pasal 18B ayat (1) dan (2). Materi muatan Pasal 18, 18A
dan 18B sesungguhnya sudah relatif sama dengan politik hukum Pasal 18 UUD
1945 (naskah asli), perbedaan yang nyata ada pada rincian pengaturan
pemerintahan daerah dalam UUD 1945 perubahan.

Tentunya ada beberapa catatan yang dapat dilihat bila membandingkan pasal
18 UUD 1945 yakni :

A. Pemerintahan daerah hanya menganut asas otonomi dan pembantuan. Hal


ini berbeda dengan asas pemerintah daerah yang sebelumnya yakni yang
berada dalam UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 22 tahun 1999 yaitu asas
Desentralisasi, asas dekonsentrasi dan asas tugas pembantuan.

B. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan


pemerintahan yang oleh UU ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.

C. Gubernur, bupati dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan


daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Bermakna ialah
bahwa dipilih langsung melalui pemilihan umum. Pasal 56 ayat (1) Undang-
undang No. 32 Tahun 2004 sebagai pelaksanaan Pasal 18 UUD 1945, secara
tepat memaknai pemilihan secara demokrasi sebagai suatu pemilihan langsung
dari rakyat.27 Demikian halnya dengan UU No. 23 Tahun 2014 juga
menggunakan mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat.

12
Efek dari jatuhnya presiden soeharto pada tahun 1998, membuat
banyak implikasi terhadap sistem hukum ketatanegaraan Indonesia. Termasuk
juga untuk menjalankan otonomi bagi daerah yang memikirkan, merumuskan
hingga menjalankan rumah tangganya masing-masing. Dalam era reformasi,
semangat Pembangunan daerah sedang tinggi-tingginya sehingga diberikanlah
otonomi seluas-luasnya kepada rakyat dengan berpatokan pasal 18 UUD 1945.

Selanjutnya dampak dari berubahnya pasal 18 UUD 1945,


munculnya UU yang mengatur tentang otonomi daerah. Dari pasca reformasi
hingga sekarang, UU otonomi daerah sudah mengalami beberapa kali
perubahan. perjalanan otonomi daerah ini dimulai dengan berlakunya Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999, UU ini kelihatannya hanya berlaku selama
lima tahun dikarenakan perubahan yang dinamis dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia. Perubahan UU Nomor 22 Tahun 1999 ini akibat adanya amandemen
UUD 1945 dari perubahan pertama hingga keempat.18

Setelah berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang nilai kurang


efektif, maka dikeluarkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Adapun menurut UU No. 32 Tahun 2004 ini, Indonesia dibagi menjadi
daerah otonom dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi menjadi
atas daerah-daerah provinsi dan daerah-daerah provinsi dibagi menjadi daerah-
daerah kabupaten/kota. Negara juga mengakui adanya kehususan ataupun
keistimewaan suatu wilayah tertentu. Setelah berjalannya waktu, UU Nomor
32 Tahun 2004 ini digantikan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah. UU inilah yang masih berlaku sampai saat ini.

Pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor


22 Tahun 1999, di satu sisi telah membuka cakrawala baru bagi proses
demokratisasi penyelenggaraan pemerintah, baik dalam lingkup nasional, juga
terutama dalam konteks lokal-Daerah. Tapi dari sisi lain, hal ini memberikan

18
Siswanto Sunarno. Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2006.
Hlm. 4.

13
implikasi negative, yaitu peluang terciptanya hubungan yang tidak
sehat antara Kepala Daerah dan DPRD. Memang pada prinsipnya,
UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 telah memberikan peluang kepada
DPRD dalam menjalankan tugas pengawasan kepada Kepala Daerah agar tidak
bertindak berlebihan. Hal ini disebabkan oleh adanya Pasal 46 Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 yang mengisyaratkan, bahwa Kepala Daerah dapat
diberhentikan, apabila Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Tahunan ditolak.19

Seiring berjalannya waktu, Undang-Undang ini berdasarkan latar


belakang pertimbangan sebab akibat diberlakukannya UU 22 Tahun 1999 ini
muncul keinginan pemerintah untuk merevisi UU ini, maka munculah Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan UU
Nomor 32 Tahun 2004 ini memberikan definis otonomi daerah ialah hak,
wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

Didalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 yang dimaksud hak


dalam konteks otonomi daerah adalah hak-hak daerah yang 59 dijabarkan pada
Pasal 21. Berkaitan dengan wewenang dalam konteks otonomi daerah, maka
daerah otonom, yaitu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-
batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat (Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang No. 32 tahun 2004).
Selanjutnya urusan yang berkaitan dengan otonomi daerah di daerah otonom
didasarkan pada asas desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintah
oleh pemerintah daerah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 ayat
7 undang-undang No. 32 Tahun 2004). Pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam pasal tersebut adalah Pemerintah Pusat, dalam hal ini Presiden RI yang

19
J.Kaloh. Kepemimpinan Kepala Daerah, Pola Kegiatan, Kekuasaan, Perilaku Kepala Daerah
dalam Pelaksnaan Otonomi Daerah. Jakarta: Sinar Grafika. 2009. Hlm. 86

14
memegang kekuasaan pemerintahan Negara RI, menurut UUD 1945 (pasal 1
angka 1 Undang-undang No. 32 tahun 2004).

Dalam hal penyerahan kewenangan pemerintahan oleh pemerintah


pusat kepada daerah otonom secara delegasi, untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintah memberikan konsekuensi bahwasanya pemerintah pusat
kehilangan kewenangan dimaksud. Semua beralih kepada daerah otonom,
artinya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai urusan pemerintah
pusat. Pasal 10 ayat 3 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 menetapkan,
bahwasanya urusan pemerintah yang menjadi urusan pemerintah pusat
meliputi:

1. Politik luar negeri


2. Pertahanan
3. Keamanan
4. Yustisi
5. Moneter dan Fiskal
6. Agama

Dalam menyelengarakan urusan pemerintah tersebut diatas,


pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian
urusan pemerintah kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di
daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintah daerah dan/atau pemerintah
desa.20

Selanjutnya dalam proses perjalanannya Lahirnya Undang-undang


Nomor 23 Tahunn 2014 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan kesepakatan
antara Komisi II DPR RI dengan Kementerian Dalam Negeri pada awal tahun
2010 silam untuk memecah kedalam tiga Undang-undang Pemerintah Daerah.
Pada naskah akademik RUU Pemerintahan Daerah, menyebutkan bahwa
tujuan RUU tersebut adalah untuk memperbaiki berbagai kelemahan dari

20
Ni’matul huda. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Sinar Grafindo. 2011. Hlm. 345

15
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.Beberapa kelemahan yang dimaksud
adalah konsep kebijakan desntralisasi dalam Negara kesatuan, hubungan
anatara pemerintahan daerah dengan masyarakat sipil dan berbagai aspek
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang belum diatur.

Ketentuan yang baru tersebut diantaranya aalah pembagian antara


urusan daerah dan pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota
tentang penyelenggaraan urusan pemerintah bidang kehutanan, kelautan dan
sumber daya mineral, sedangkan urusan pendidikan pengelolaan pendidikan
menengah dan khusus menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Perbedaan
selajutnya pembagian urusan pemerintahan.Pada undangundang sebelumnya
urusan pemerintah dibagi atas urusan yang menjadi kewenangan pemerintah
pusat (dapat dilimpahkan sebagian urusannya kepada perangkat pemerintah
pusat atau wakil pemerintah pusat didaerah atau dapat menugaskan kepada
pemerintah daerah) dan urusan pemerintah daerah dibagi atas urusan wajib dan
pilihan. Namun, di Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang 81
Pemerintahan Daerah, urusan pemerintahan dibagi atas urusan absolut yang
diselenggarakan oleh pemerintah pusat, urusan pemerintahan kongkruen yang
dibagi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah
daerah kabupaten/kota. Dan dalam proses pelaksanaannya pemerintah dapat
menjalankan sendiri atau melimpahkan wewenang pada instansi vertikal yang
ada di Daerah atau 82 gubernur sebagai wakil dari Pemerintah Pusat
berdasarkan asas Dekonsentrasi. (Pasal 10 ayat 2 Undang-undang Nomor 23
Tahun 2014).

16
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Orde baru satu-satunya pemerintahan yang memeliki kurang waktu
yang paling lama dalam implementasinya melalui UU No. 5 tahun 1975 dan
terus bertahan sampai masuknya era reformasi ,kemudian melahirkan regulasi
yang mengatur hubungan antara pusat dan daerah dengan lahirnya UU No 22
tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Pada hakekatnya kebijakan otonomi
daearah di Indonesia dalam era reformasi merupakan pokok-pokok reformasi
manajemen pemerintah daerah,Secara substansial, reformasi pemerintah
ditingkat sub nasional merupakan planned change, perubahan yang
direncanakan atau intededchange, perubahan yang dikehendaki pada elemen-
elemen utama pemerintah daerah. Perubahan itu dilakukan dengan sengaja dan
secara sadar atau bersifat artificialman made dan tidak terjadi secara otomatis.
Sekalipun tersedia jumlah pilihan pendekatan mengenai rentang dan lingkup
perubahan yang dituju, namun pilihan lebih pada drastic change dari pada
gradual change. Penentuan waktu implementasi kebijakan tergolong cepat lebih
merupakan keinginan sepihak para politisi DPR, pemerintah memperkuat
dianutnya pendekatan drastic change tersebut. Oleh karena itu ada banyak
konflik krisis dan turbulance yang terjadi mengiringi implementasi kebijakan
terasa lebih besar.

Otonomi daerah sebagai suatu konsep desentralisasi pemerintahan


pada hakikatnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara
keseluruhan, yaitu upaya untuk lebih mendekati tujuan-tujuan penyelenggaraan
pemerintahan untuk mewujudkan cita-cita masyarakat yang lebih baik, serta
suatu masyarakat yang lebih adil dan makmur. Tujuan utama dari kebijakan
desentralisasi adalah, di satu pihak, membebaskan pemerintah pusat dari beban-
beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga ia
berkesempatan mempelajari, memahami, merespon berbagai kecenderungan
global dan mengambil manfaat dari padanya. Pada saat yang sama, pemerintah

17
pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro
nasional yang bersifat strategis.dengan desentralisasi kewenangan pemerintah ke
daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan.
Kemampuan prakarsa dan kreativitas mereka akan terpacu, sehingga kapabilitas
dalam mengatasi berbagai masalah domestik akan semakin kuat. Desentralisasi
merupakan simbol dari adanya ’trust’ dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah.

18
DAFTAR PUSTAKA

Andi, Sanggala. Jurnal Model Model Otonomi Daerah pada Masa Orde Lama
Orde Baru dan Reformasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia
Ekom, Koswara. Otonomi Daerah untuk Demokrasi dan Pemberdayaan. Jakarta:
Yayasan Pariba
Haris, Syamsuddin. Desentralisasi dan Otonomi Daerah. 2007. Jakarta: Lipi Pers
Drs Yudhiyono Bambang M.Si. Otonomi Daerah. 2001 Jakarta: Pustaka Sinar
H.A.W Widjaja. Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia, 2005. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, 2001.
Murhani,Suriansyah. Aspek Hukum Pengawasan Pemerintahan Daerah. 2008
Palangkaraya; Laksbang Mediatama.

Sunarno, Siswanto. Hukum Pemerintahan Daerah. 2003 Jakarta: Sinar Grafika.

Yuswanto. Dinamika Penegakan Hukum Pemerintahan Daerah. 2013.


Bandar Lampung : AURA

Mukhirijal. Jurnal Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia

Budi Winamo Jurnal Implementasi Konsep Reiventing Government dalam


Pelaksanaan Otonomi Daerah

Drs.Josef Riwu Kaho,MPA. Prospek Otonomi Daerah di Negara


Republik Indonesia.

Muqoyyidin, Andik Wahyun. Pemekaran Wilayah dan Otonomi Daerah Pasca


Reformasi di Indonesia : Konsep, Fakta Empiris dan Rekomendasi ke
Depan. 2013. Jurnal Konsititusi

Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara. 2011. Jakarta: Raja Grafindo.

J Kaloh. Kepemimpinan Kepala Daearah, Pola Kegiatan, Kekuasaan, Perilaku


Kepala Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. 2009. Jakarta:
Sinar Grafika.

19
Firda, Shabrina Duliyan. 2016. PERLUASAN KEWENANGAN GUBERNUR
DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH MENURUT
UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH. Skripsi. Diterbitkan. Fakultas Hukum.
Universitas Lampung : Bandar Lampung

MPR RI. Hubungan Pusat dan Daerah. 2022. Jakarta : Badan Pengkajian MPR RI

Badan Pengkajian MPR RI. 2020. Otonomi Daerah Serta Hubungan Pusat dan
Daerah. Jakarta : MPR RI

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

- UINSGD. “Otonomi Daerah Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945


Antara Idealita dan Realita”. April 2012. https://uinsgd.ac.id/otonomi-daerah-
pasca-amandemen-undang-undang-dasar-1945-antara-idealita-dan-realita/

- Arifin, Muhammad Zainul. Konsep Dasar Otonomi Daerah di Indonesia Pasca


Reformasi. Academia. Edu.
https://www.academia.edu/38881306/KONSEP_DASAR_OTONOMI_DAERAH
_DI_INDONESIA_PASCA_REFORMASI

- https://kumparan.com/berita-update/sistem-pemerintahan-yang-dijalankan-pada-
masa-orde-baru-1ww9MT6wnoc
- https://www.dpr.go.id/blog/kegiatan-detail/id/1468/berita/1330

20

Anda mungkin juga menyukai