Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

TATA KELOLA YANG BAIK DALAM BINGKAI PEMERINTAHAN

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pancasila

Dosen Pengampu:

Muhamad Nashrulloh, M.Pd.

Disusun Oleh:

1. Aris Asfiyatul Mufida 1860202222067


2. Elsa Lailatul Fitriana 1860202222070
3. Qurrotul A’yun 1860202223083

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH
TULUNGAGUNG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kesehatan dan rahmat-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan sebaik-baiknya. Makalah dengan judul “Tata Kelola Yang Baik Dalam
Bingkai Pemerintahan” ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan tugas mata
kuliah Pancasila. Makalah ini dapat diselesaikan dengan baik, dengan bantuan berbagai pihak.
Oleh karena itu, saya menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Maftukhin, M. Ag. Selaku Rektor Universitas Negeri Sayyid Ali
Rahmatullah Tulungagung.
2. Ibu Prof. Dr. Hj. Binti Maunah, M. Pd. I. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan.
3. Bapak Dr. Nuryani, S. Ag., M. Pd. I. selaku Koordinator Program Studi Pendidikan
Bahasa Arab.
4. Bapak Muhamad Nashrullah, M.Pd. selaku dosen mata kuliah Pancasila.
5. Kedua orang tua yang telah memberi dukungan moral maupun materil sehingga kami
memiliki semangat untuk dapat menyelesaikan makalah ini.
6. Teman-teman yang ikut mendukung dan memberi masukan-masukan kepada kami,
sehingga makalah ini dapat diselesaikan.

Demikian pula kami menyadari dalam penulisan makalah ini kami masih banyak
kekurangan dan kesalahan baik dalam segi substansi maupun tata bahasa. Namun, kami
tetap berharap agar makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Oleh karena itu,
kritik dan saran dari penulisan makalah ini sangat kami harapkan, dengan harapan sebagai
masukan dalam perbaikan dan penyempurnaan pada makalah kami berikutnya. Untuk itu
kami ucapkan terimakasih.

Tulungagung, 14 November 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………..……i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………..…..ii

BAB I : PENDAHULUAN…………………………………………………..……1

A. Latar Belakang……………………………………………………..…….…1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………..……2
C. Tujuan Penulisan……………………………………………………..……..2

BAB II : PEMBAHASAN……………………………………………………..…..3

A. Pengertian Otonomi Daerah……………………………………………..….3


B. Latar Belakang Otonomi Daerah……………………………………….…...3
C. Tujuan Otonomi Daerah………………………………………………….…7
D. Perkembangan Undang-Undang Otonomi Daerah di Indonesia……………8
E. Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah di Indonesia…………………..…………10
F. Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Bersih..........................................11

BAB III : PENUTUP………………………………………………………..…….14

A. Kesimpulan……………………………………………………….……..….14
B. Saran………………………………………………………………………..15

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..……16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Otonomi Daerah bukanlah merupakan suatu kebijakan yang baru dalam


penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia karena sejak berdirinya negara kesatuan
Republik Indonesia sudah dikenal adanya otonomi daerah yang dipayungi oleh Pasal 18
Undang-Undang Dasar 1945 . Sedangkan inti dari pelaksanaan otonomi daerah adalah
terdapatnya keleluasaan pemerintah daerah (dioscretionary power) untuk
menyelenggarakan pemerintahan sendiri atas dasar prakarsa, kreatifitas, dan peran serta
masyarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya. Tujuan pemberian
otonomi daerah adalah untuk menjamin mekanisme demokrasi ditingkat daerah untuk
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat baik untuk kepentingan daerah setempat
maupun untuk mendukung kebijaksanaan politik nasional dalam era reformasi saat ini.

Praktik penyelenggaraan pemerintahan di negara-negara kesatuan pada umumnya


menggunakan asas sentralisasi dan desentralisasi. Di negara-negara yang menggunakan
asas sentralisasi ekstrem, semua urusan pemerintahan dijalankan oleh pemerintah pusat,
sedangkan pemerintah daerah hanya berperan sebagai pelaksana saja. Sekarang,
pelaksanaan asas seperti itu sudah sangat jarang digunakan, kecuali di negara-negara yang
sangat kecil dengan jumlah penduduk yang sedikit. Pada masa sekarang penggunaan asas
sentralisasi telah diperlunak dengan asas dekonsentrasi, yakni pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada aparatnya yang ada di daerah. Selain dengan asas itu, digunakan
pula asas desentralisasi (teritorial), yakni penyerahan wewenang dari pemerintah pusat
kepada daerah sehingga menghadirkan otonomi daerah.

Otonomi daerah di Indonesia telah ada sejak dikeluarkan Decentralisatiewet S


1903/329 oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1903. Namun, banyak orang yang tidak
mengetahui hal ini. Era otonomi daerah seakanakan baru dimulai tahun 1999 sejak
pemerintah RI mengeluarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Selain
itu, tidak sedikit pula orang menduga bahwa dengan otonomi daerah segala urusan
pemerintahan dapat dikelola oleh daerah.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari otonomi daerah?
2. Apa latar belakang adanya otonomi daerah?
3. Apa tujuan dari otonomi daerah?
4. Bagaimana perkembangan undang-undang otonomi daerah di Indonesia?
5. Apa saja prinsip-prinsip otonomi daerah di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penulisan makalah
ini untuk mengetahui:
1. Pengertian dari otonomi daerah
2. Latar belakang adanya otonomi daerah
3. Tujuan dari otonomi daerah
4. Perkembangan undang-undang otonomi daerah di Indonesia
5. Prinsip-prinsip otonomi daerah di Indonesia.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Otonomi Daerah


Luasnya wilayah Indonesia yang terdiri dari beberapa pulau dan daerah
menjadikan Indonesia tidak bisa terpisah dengan prinsip disentralisasi atau otonomi
daerah. Menurut KBBI otonomi merupakan politik pemerintahan sendiri. Sedangkan
daerah adalah lingkungan atau wilayah pemerintahan. Otonomi daerah merupakan
suatu hak, wewenang, serta kewajiban yang dimiliki suatu daerah untuk mengatur dan
mengurus sendiri pemerintahan dan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang ada.
Keterkaitan antara negara dan otonomi daerah ini dikuatkan dalam Pasal 1 ayat
(1) UUD 1945 dan Pasal 18 UUD 1945 baik sebelum maupun sesudah amandemen,
maka dapat di simpulkan antara lain “Dalam rangka Negara kesatuan Republik
Indonesia dan memperhatikan tujuan pemberian otonomi kepada Daerah, maka
penyelenggaraan otonomi daerah oleh pemerintah daerah merupakan sub sistem dari
sistem pemerintahan Negara, khususnya pemerintahan eksekutif diselenggarakan oleh
pemerintah pusat, pemerintah daerah sampai pemerintah desa, dengan sistem
pembagian kekuasaan sesuai dengan kewenangannya."
Disentralisasi merupakan konsekuensi dari demokrasi yang bertujuan
membangun pemerintahan yang baik dari akar politik itu sendiri. Ada beberapa
perbedaan konsep dalam memahami makna otonomi daerah itu sendiri. Ada yang
mengarahkan pada makna devolusi (politik) ada juga yang mengarahkan pada makna
dekosentrasi (administrasif). Perbedaan ini muncul dari makna istilah desentralisasi itu
sendiri. Dalam konteks ini, seharusnya otonomi daerah dipahami secara fungsional
tidak secara kedaerahan agar pemerintahan daerah tepat sasaran, serta sesuai dengan
kondisi wilayah serta kondisi masyarakat setempat.

B. Latar Belakang Otonomi Daerah

3
Tidak sedikit orang yang mengira bahwa otonomi daerah baru mulai ada di
Indonesia setelah UU No. 22 tahun 2009 tentang Pemerintahan Daerah ditetapkan.
Padahal tidak demikian, Otonomi daerah telah ada sejak masa penjajahan Belanda.

Dari beberapa sumber, antara lain hasil penelitian The Liang Gie tahun 1962-
1965 tentang desentralisasi di bidang pemerintahan, diperoleh pengetahuan mengenai
riwayat otonomi daerah di Indonesia, yaitu pada masa penjajahan Belanda, masa
penjajahan Jepang, dan masa setelah NKRI berdiri sampai sekarang.

1. Masa Penjajahan Belanda


Sebagaimana di ketahui dalam sejarah Indonesia sebelum di jajah Belanda, di
Jawa berlangsung masa Pemerintahan Kerajaan Mataram, Pada masa tersebut,
pemerintahan Mataram telah mengenal istilah Pekerjaan di suatu daerah yang disebut
dengan Bupati. tapi dengan nama jabatan “Toemenggoeng” yang kemudian pada masa
Hindia Belanda, nama Bupati telah diresmikan sebagai nama jabatan Pimpinan
Kabupaten.
Dalam sejarah Indonesia, yaitu sekitar 2000 tahun yang lalu telah berlangsung
masa pemerintahan Kerajaan yang berkuasa meliputi seluruh wilayah Indonesia, dan
menjadi awal kelahiran Idealisme Kesatuan dalam wilayah Pemerintahan Kerajaan
waktu itu, yaitu Negara Kesatuan(Kerajaan Sriwijaya) yang berpusat di Sumatera
dengan masa kekuasaan sekitar 1000 tahun sejak tahun 392 dan Negara
Keprabon(Kerajaan Majapahit), yang berdaulat sekitar 232 tahun sejak 1293 sampai
tahun 1525, dan setelah itu bangsa Indonesia di kuasai oleh VOC.
Masa Pemerintahan Hindia Belanda diberikan kekuasaan untuk mengatur
urusan-urusan di wilayah Hindia Belanda (yang kemudian menjadi wilayah Republik
Indonesia) akan tetapi badan ini belum juga memikirkan untuk mengadakan
pembahasan susunan pemerintahan/Desentralisasi semacam UUD bagi Hindia
Belanda, yang disebut Regeerings Reglement/RR yang di dalamnya terlihat sistem
“Sentralistis”, namun terdapat ketentuan Pokok dari pemerintahan dalam negeri
Hindia Belanda yang menyebutkan Kabupaten-Kabupaten di Jawa dan Madura, jika
di pandang oleh Gubernur Jenderal perlu untuk di bagi dalam distrik-distrik. Hal itu
menunjukkan dan membuktikan adanya struktur Pemerintahan di Indonesia yang asli,
sejak sebelum kedatangan Belanda.
Ketentuan Regeerings Reglement (RR) kemudian di ganti menjadi Indishe
Siaatsregeling (IS), dengan ketentuan yang sama dengan mengadakan perubahan

4
walaupun tambahan yang menjadi landasan adanya Desentralisasi, kemudian setelah
adanya pergeseran dari paradigma pemerintahan sentralisasi ke desentralisasi, seluruh
wilayah Hindia Belanda dibagi dalam lingkungan kerja yang disebut wilayah (gewest),
untuk kepentingan penyelenggaraan, Gewest merupakan kesatuan geografis tanpa
perangkat sendiri dan tanpa keuangan sendiri, jadi pemerintahan dilaksanakan secara
sentralistis ekstrim, jalurnya hanya dekonsentrasi.
Kemudian di Jawa dan Madura diberlakukan Bestuurs hervormings wet (UU
penyesuaian pemerintahan), yang berupa suatu Undang-Undang yang bermaksud
menyesuaikan pemerintah wilayah dengan berlakunya Undang-Undang desentralisasi
bermaksud membentuk Dewan Lokal yang mempunyai otonomi, kemudian di
bentuklah Provinsi (Province), Kabupaten (Regentschap) dan Kotamadya / kota
(stads/genente), di Jawa dan Madura di bagi dalam 3 provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur dan 2 Gubernemen terdiri dari Surakarta dan Yogyakarta.
Mengenai penyelenggaraan sistem desentralisasi pada masa pemerintahan Hindia
Belanda, dilaksanakan pada tahun 1905, selanjutnya mulai tahun 1938 terdapat 3
wilayah gubernemen di Sumatera, Kalimantan dan Timur Raya (Groote Oost), tiap
gubernemen di kepalai oleh seorang gubernur yang bertugas melaksanakan urusan
Pemerintah Hindia Belanda. Departemen-Departemen Gubernur melaksanakan
pengawasan atas pemerintah otonomi dan swapraja-swapraja gewesten lama tetap
pada pengawasan wilayah administratif yaitu kesatuan-kesatuan Pemerintahan dengan
sebutan keresidenan yang dikepalai oleh seorang Residen yang tugasnya mengurus
jalan, jembatan, bangunan, pekerjaan umum, pengairan, kesehatan rakyat, pemerataan
pertanian, pendidikan (pribumi), dan peternakan.
Pada daerah kotamadya/kota adalah sama tingkatannya dengan kabupaten,
demikian juga dengan otonominya, jenis pemerintahan yang merupakan Daerah
Otonomi, diluar Jawa Madura langsung di perintah oleh gubernemen, secara
ketatanegaraan berada pada tahap/ tatanan antara provinsi dan kabupaten yang
mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.Berdasarkan uraian diatas mengenai
sistem pemerintahan Indonesia masa penjajahan Belanda dengan corak sentralisistis,
sehingga semua urusan pusat/pemerintahan Hindia Belanda kepada Gubernur
Jenderal, kemudian mulai ada desentralisasi terbatas, yang mulanya diawali dengan
adanya desentralisasi urusan terbatas dan bersifat lokal yaitu dengan pembentukan
wilayah administratif, keresidenan, kabupaten, dan kota di Jawa serta satuan wilayah
dan masyarakat di luar Jawa.
5
2. Masa Penjajahan Jepang
Sebagaimana diketahui, setelah ratusan tahun Belanda berkuasa di Indonesia,
kemudian diambil alih oleh Penjajah Jepang yang berkuasa di Indonesia selama 3,5
tahun, dengan melakukan perubahan-perubahan yang cukup fundamental, dengan
membagi wilayah Sumatera dan Jawa Madura sebagai wilayah angkatan darat,
pemerintahan melakukan penetrasi kedalam kehidupan masyarakat jauh lebih intensif
dibandingkan dengan pemerintahan Hindia Belanda.
Masa penjajahan Jepang, pemerintahan yang di bentuk adalah Pemerintahan
Militer, yang melaksanakan pemerintahan di Indonesia, dengan penyelenggaraan yang
sesuai dengan kepentingan angkatan perang Jepang yang bersangkutan, dengan
melanjutkan pemerintahan yang telah ada, yaitu pemerintahan dari masa Hindia
Belanda. Pemegang kekuasaan pemerintahan militer tertinggi adalah Dai Nippon yang
juga memegang kekuasaan yang dahulu ada ditangan Gubernur Jenderal, dengan
sistem pemerintahan menghapus jalur dekonsentrasi.
Dengan demikian pada masa penjajahan Jepang tersebut Indonesia
diperintah dengan pembagian urusan dari Jepang, yaitu Pimpinan Bala Tentara Jepang
sebagai pemerintah pusat yang dikuasai Angkatan Darat dan Angkatan Laut,
sedangkan pemerintah Daerah tetap diserahkan Kenco / Bupati dan Si-Co/Walikota,
semuanya di bawah Syuucokan/Residen, susunan Pemerintah di Daerah diatur dalam
Osamu Seirei No. 27 tahun 1942.

3. Masa Kemerdekaan Republik Indonesia


Sebelum proklamasi dikumandangkan telah berdiri sebuah lembaga di
Indonesia setingkat Lembaga Kenegaraan berupa Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI), yang telah terbentuk sebagai Lembaga Kebangsaan Indonesia pada
tanggal 9 Agustus 1945 oleh tokoh-tokoh Bangsa Indonesia, dan sejak tanggal 15
Agustus 1945 yang dipimpin oleh Soekarno-Hatta, kemudian secara normative Negara
Indonesia terbentuk setelah pengucapan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia
oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, dan sejak saat
itu dalam menjalankan pemerintahan Negara Republik Indonesia harus berpijak pada
UUD 1945, sebagai konstitusi tertinggi di negara Republik Indonesia.

6
Perkembangan kebijakan dan landasan hukum penyelenggaraan pemerintahan
daerah, hal-hal yang berkaitan dengan prinsip dan sistem pembagian urusan
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dalam rangka penerapan asas
desentralisasi di Indonesia, tertuang dalam Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan
yang menjelaskan mengenai Pembagian daerah Indonesia atas dasar besar dan kecil
dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengan
memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan
Negara dan hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa.

Bahwa dari isi dan jiwa Pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya, menurut
Solly Lubis, menyatakan bahwa pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik
Desentralisasi dan Dekonsentrasi dibidang ketatanegaraan”, sebenarnya pasal tersebut
lebih banyak mengandung ketentuan tentang penyelenggaraan pemerintah, dalam hal
ini pemerintah daerah. Hal itu didasarkan atas pembagian wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang begitu luas dan kecil serta beraneka suku bangsa, dengan
semboyan Bhineka Tunggal Ika untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Sejarah perkembangan pengaturan tentang pelaksanaan


Desentralisasi/otonomi daerah di Indonesia sejak kemerdekaan 1945 sampai masa
berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1974 telah mengalami berbagai pengaturan,
Perubahan secara prinsip dalam pengaturannya, sehingga dalam kenyataannya di
Indonesia memang belum pernah terjadi Penyelenggaraan Pemerintah Lokal
(Pemerintah Daerah) yang relatif kuat, hal itu pula yang menjadi hambatan
pelaksanaan otonomi daerah, Namun demikian sejak berlakunya UU Nomor 22 Tahun
1999 dan seterusnya sampai sekarang pelaksanaan otonomi daerah sudah mengalami
perkembangan yang begitu pusat, dan tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

C. Tujuan Otonomi Daerah


Pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu harapan cerah bagi pelaksanaan
pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki kesempatan
untuk mengelola, mengembangkan dan membangun daerahnya masing-masing sesuai

7
kebutuhan dan potensi yang dimilikinya.1 Untuk merealisasikan hal tersebut,
ditetapkanlah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pelaksanaan otonomi
daerah.
Tujuan adanya otonomi daerah ini adalah untuk mewujudkan otonomi daerah
yang nyata, dinamis, dan bertanggung jawab. Maksud dari otonomi daerah yang nyata
yaitu pemberian otonomi kepada daerah didasarkan pada faktor-faktor, perhitungan,
dan tindakan atau kebijakan yang benar-benar menjamin daerah untuk mengurus rumah
tangga didaerahnya. Pemberian otonomi daerah juga diharapkan supaya daerah dapat
mengurus dan mengelola sumber daya yang ada di daerah tersebut.
Adanya otonomi daerah ini juga berdampak positif yaitu memunculkan
kesempatan identitas local yang ada di masyarakat, mendapat respon tinggi dari
pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri, dana
yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dari dana tersebut
memungkinkan pemerintah lokal untuk membangun program promosi kebudayaan dan
pariwisata.

D. Perkembangan Undang-Undang Otonomi Daerah di Indonesia


Perkembangan otonomi daerah di Indonesia mengalami pasang surut dengan corak
yang berbeda-beda. Yang tentunya dilandasi oleh perundang-undangan yang berbeda-
beda juga. Karena undang-undang yang mendasari otonomi daerah itu dilatar belakangi
oleh kondisi politik yang berkembang pada saat itu. Dibawah ini akan diuraikan tentang
perkembangan perundang-undangan yang mengatur otonomi daerah mulai dari tahun
1945.
1. Masa berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan
Komite Nasional Daerah
Dalam undang-undang ini menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan
rakyat melalui pengaturan pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dalam undang-undang ini ditentukan tiga jenis daerah otonomi, yaitu
keresidenan, kabupaten dan kota. Otonomi daerah diberikan kepada daerah
bersamaan dengan pembentukan daerah melalui undang-undang berupa
kewenangan yang sangat terbatas dan dalam waktu tiga tahun belum ada

1Wahono, Atsar Abdul. (2019). Buku Ajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Yokyakarta: Deepublish.
Hlm.99.

8
peraturan pemerintah yang mengaturnya. Undang-undang ini belum bisa
dilaksanakan sepenuhnya.

2. Masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan


Daerah
Dalam undang-undang ini hanya fokus pada pengaturan tentang susunan
pemerintahan daerah yang demokrasi. Dalam undang-undang ini ditentukan
dua jenis daerah otonom, yaitu daerah otonomi biasa dan daerah otonomi
istimewa. Dan dalam undang-undang ini juga menentukan tiga tingkatan
daerah otonomi, yaitu propinsi, kabupaten atau kota besar dan desa atau
kota kecil. Undang-undang ini juga belum bisa dilaksanakan sepenuhnya.

3. Masa berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok


Pemerintahan Daerah
Di dalam undang-undang ini ditetapkan ada tiga tingkatan daerah
otonomi, yaitu daerah tingkat I, daerah tingkat II dan daerah tingkat III.
Dalam pelaksanaan ini otonomi daerah semakin mendapat perhatian
pemerintah pusat. Namun saat berlakunya undang-undang ini belum bisa
dilaksanakan sepenuhnya, bahkan sentralisasi masih sangat kelihatan.

4. Masa berlakunya Undang-Undang Nomor l8 Tahun l965 tentang Pokok-pokok


Pemerintahan Daerah
Dalam undang-undang ini pembagian daerah otonom sebanyak tiga
tingkatan, yaitu propinsi sebagai daerah tingkat I, kabupaten sebagai daerah
tingkat II dan kecamatan sebagai daerah tingkat III. Pembagian tersebut
sudah menganut sistem otonomi yang seluas-luasnya. Walaupun undang-
undang ini sudah menganut sistem otonomi yang seluas-luasnya tetapi tida
ada satupun peraturan pemerintah yang diterbitkan dalam rangka
penyerahan sebagian urusan pemerintahan atau desentralisasi kepada
daerah. Oleh karena itu, undanf-undang ini belum bisa dilaksanakan
sepenuhnya. Kemudian undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku
berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969.

9
5. Masa berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Ketentuanketentuan Pokok Pemerintahan Daerah
Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa kewenangan daerah
otonom terbatas dan semuanya tergantung pada kebijakan pemerintah pusat
yang bersifat seragam. Dalam mengelola sumber daya alam sepenuhnya
menjadi wewenang pemerintah pusat, tidak ada kewenangan yang diberikan
kepada pemerintah daerah, termasuk rekruting pejabat politik, proses
legislasi daerah melalui izin dan petunjuk dari pemerintahan pusat.

6. Masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan


Daerah
Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa pemerintah daerah adalah
kepala daerah dan perangkat daerah otonom sebagai badan eksekutif daerah,
sedangkan DPRD sebagai badan legislatif daerah, termasuk menjalankan
pemilihan kepala daerah menjadi kewenangan DPRD. Maka pada saat itu,
kedudukan DPRD sangat kuat.

7. Masa berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan


Daerah
Pada periode ini hampir mirip seperti Undang-undang Nomor 5 Tahun
1974 yaitu menempatkan DPRD sebagai bagian pemerintahan Daerah.
Kepala daerah tidak lagi bertanggungjawab kepada DPRD tetapi
bertanggungjawab kepada presiden melalui menteri dalam negeri. Dan
dalam undang-undang ini sudah mengatur tentang pemilihan kepala daerah
langsung oleh rakyat. Sehingga demokrasi ada pada rakyat.

E. Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah di Indonesia


Otonomi daerah sangat diperlukan dalam suatu negara untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat, menggalakkan peran aktif masyarakat secara nyata, dinamis dan
bertanggung jawab sehingga dapat mempererat kesatuan bangsa. Melalui otonomi
daerah ini diharapkan suatu daerah bisa mandiri dalam menentukan semua kegiatannya
dan pemerintahan pusat diharapkan bisa menjalakan perannya dalam memajukan
daerah.

10
Dalam undang-undang nomor 23 tahun 2014 perubahan kedua pada undang-
undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah telah menggariskan bahwa
otonomi daerah tetap dalam prinsip otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
1. Prinsip otonomi daerah yang luas adalah daerah diberikan kewenangan
untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang
menjadi urusan dari pemerintahan pusat. Artinya daerah mempunyai
kewenangan untuk membuat kebijakan memberi pelayanan umum,
peningkatan peran, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya sudah muncul pasa
saat BPUPKI menyusun rancangan undang-undang dasar. Dalam hal ini,
pemerintah pusat memberikan hak seluas-luasnya pada daerah untuk
mengatur dan mengurus kehidupan warganya. Dan pemerintahan pusat
dalam membentuk kebijakan harus tetap memperhatikan kearifan lokal juga
sebaliknya pada daerah yang membentuk suatu peraturan atau kebijakan
daerah harus tetap memperhatikan kepentingan nasional.
2. Prinsip otonomi daerah yang nyata adalah suatu prinsip untuk menangani
urusan pemerintah yang dilaksanakan berdasarkan dengan tugas, wewenang
dan kewajiban yang nyata telah ada serta dapat berpotensi untuk tumbuh,
hidup dan berkembang sesuai dengan ciri khas daerahnya. Prinsip otonomi
yang nyata adalah untuk mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah,
menciptakan kesatuan dan kerukunan, mengembangkan hidup demokratis,
mewujudkan keadilan dan pemerataan, mengembangkan sumber daya
produktif daerah dan melestarikan nilai sosial budaya.
3. Prinsip otonomi daerah yang bertanggung jawab artinya dalam
penyelenggaraan harus sejalan dengan maksud dan tujuan pemberian
otonomi daerah. Maka dari itu, penyelenggaraan otonomi daerah ini harus
berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan tetap
memperhatikan kepentingan serta aspirasi masyarakat. Maksud otonomi
daerah yang bertanggung jawab itu berupa pertanggungjawaban kepala
daerah berupa tugas dan kewajiban yang dipikul oleh daerah agar mencapai
tujuan dari diberikannya otonomi yaitu untuk peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat, pengembangan hidup demokrasi, pemerataan
dan keadilan serta pemeliharaan hubungan antara daerah dengan
11
pemerintahan pusat dalam menjaga keutuhan negara kesatuan republik
Indonesia.
F. Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Bersih

Istilah good and clean governance merupakan wacana baru dalam kosakata ilmu
politik dan muncul pada awal 1990-an. Secara umum, istilah good and clean
governance memiliki pengertian akan segala hal yang terkait dengan tindakan atau
tingkah laku yang bersifat mengarahkan, mengendalikan, atau mempengaruhi urusan
publik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Government atau pemerintah adalah nama yang diberikan kepada pihak yang
menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara. Menurut World Bank
Institute, kata governance diartikan sebagai “the way state power is used in managing
economic and social resource for development society”,yakni cara bagaimana
kekuasaan negara digunakan untuk mengelola sumber daya ekonomi dan sosial guna
pembangunan masyarakat. Clean government berasal dari kata “clean” dalam bahasa
Indonesia“bersih” dan“government ” adalah “pemerintah” Jadi Clean government
mengandung makna bahwa sekelompok orang yang Bersama-sama mendapat amanah
untuk menyelenggarakan pemerintahan dengan tanggung jawab Bersama elemen yang
terkait.

Tata Kepemerintahan yang baik merupakan isu sentral yang paling mengemuka
dalam pengelolaan administrasi publik, dewasa ini. Sadu Wasistiono mengemukakan
bahwa tuntutan akan good governance timbul karena adanya penyimpangan dalam
penyelenggaraan negara dari nilai demokratis sehingga mendorong kesadaran warga
negara untuk menciptakan sistem atau paradigma baru untuk mengawasi jalannya
pemerintahan agar tidak melenceng dari tujuan semula. Tuntutan untuk mewujudkan
administrasi negara yang mampu mendukung kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan
tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan dapat
diwujudkan dengan mempraktekkan good governance.

Governance dapat tercipta dengan baik apabila unsur-unsur dimaksud yaitu


pemerintah, rakyat dan swasta sebagai kekuatan yang sinergi saling mendukung, namun
sebaliknya governance menjadi buruk jika salah satu dari kekuatan tersebut tidak
bersinergi satu sama lain yang berakibat pada gagalnya proses penyelenggaraan
governance. Agar proses governance yang melibatkan pemerintah, rakyat dan pihak

12
swasta dapat bersinergi satu sama lain maka dalam penyelenggaraannya menghendaki
adanya partisipasi, akuntabilitas, keterbukaan dan pertanggungjawaban. Menurut
pendapat dari Ngaire Woods dalam artikel yang berjudul “Good Governance in
international Organisations” dan termuat dalam Global Governance edisi Januari-Maret
1999, ketiga hal tersebut yaitu partisipasi, akuntabilitas, terbuka dan bertanggung jawab
merupakan prinsip utama dalam good governance. Untuk mewujudkan pemerintahan
yang baik dan bersih berdasarkan prinsip-prinsip pokok good governance, setidaknya
dapat dilakukan memalui pelaksanaan prioritas program, yaitu:

1. Penguatan fungi dan peran lembaga perwakilan.

Penguatan peran lembaga perwakilan rakyat, MPR, DPR, dan DPRD, mutlak
dilakukan dalam rangka meningkatkan fungsi mereka sebagai pengontrol jalannya
pemerintahan. Selain melakukan check and balance, lembaga legislatif harus mampu
menyerap dan mengartikulasikan aspirasi masyarakat dalam bentuk usulan
pembangunan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat kepada Lembaga
Eksekutif.

2. Kemandirian lembaga peradilan.

Untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan beribawa berdasarkan


prinsip good and clean governence peningkatan profesionalitas aparat penegak hukum
dan kemandirian lembaga peradian mutlak dilakukan. Selain itu akuntabilitasaparat
penegak hukum dan lembaga yudikatif juga menjadi pilar yang dapat menentukan
dalam penegakan asas rule of law (penegakan hukum) dan perwujudan peradilan.

3. Profesionalitas dan integritas aparatur pemerintah.

Perubahan paradigma aparatur negara dari birokrasi elitis menjadi birokrasi


populis (pelayanan rakyat) harus dibarengi dengan peningkatan profesionalitas dan
integritas moral jajaran birokrasi pemerintah. Akuntablitas jajaran birokrasi akan
berdampak pada naiknya akuntabiltas dan legitimasi birokrasi itu sendiri. Aparatur
birokrasi yang mempunyai karakter tersebut dapat menjadikan pelayanan birokrasi
secara cepat dan berkualitas, serta efektif.

4. Penguatan partisipasi masyarakat madani (civil socity).

13
Peningkatan partisipasi masyarakat adalah unsur penting lainnya dalam
merealisasikan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Partisipasi masyarakat sipil
dalam proses kebijakan publik mutlak harus dilakuakan dan difasilitasi oleh
negara(pemerintah). Tanpa partisipasi masyarakat dalam pembangunan sama saja
membiarkan eksistensi pemerintahan kurang, bahkan tidak legitimate.

5. Peningkatan kesejahteraan rakyat dalam kerangka otonomi daerah.

Pengelolaan pemerintahan yang bersih dan beribawa dapat dilakukan disemua


tingkatan, baik pusat maupun daerah. Untuk merealisasikan prinsip-prinsip clean and
good governence, kebijakan otonomi daerah dapat dijadikan sebagai media
transformasi perwujudan modal pemerintah yang menopang tumbuhnya culture
demokrasi di indonesia.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Otonomi daerah merupakan suatu hak, wewenang, serta kewajiban yang
dimiliki suatu daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan dan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Keterkaitan antara negara dan otonomi daerah ini dikuatkan dalam Pasal 1 ayat (1)
UUD 1945 dan Pasal 18 UUD 1945 baik sebelum maupun sesudah amandemen.
Riwayat otonomi daerah di Indonesia dimulai dari masa penjajahan Belanda, masa
penjajahan Jepang, dan masa setelah NKRI berdiri sampai sekarang.
Tujuan adanya otonomi daerah ini adalah untuk mewujudkan otonomi daerah
yang nyata, dinamis, dan bertanggung jawab. Adanya otonomi daerah juga
membawa dampak positif yaitu memunculkan kesempatan identitas local yang ada
di masyarakat, mendapat respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi
masalah yang berada di daerahnya sendiri, dana yang didapatkan melalui jalur

14
birokrasi dari pemerintah pusat. Dari dana tersebut memungkinkan pemerintah
lokal untuk membangun program promosi kebudayaan dan pariwisata.
Perkembangan otonomi daerah di Indonesia mengalami pasang surut dengan
corak yang berbeda-beda. Yang tentunya dilandasi oleh perundang-undangan yang
berbeda-beda disesuaikan dengan latar belakang kondisi politik yang berkembang
pada saat itu. Untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera, menggalakkan peran
aktif masyarakat secara nyata, dinamis dan bertanggung jawab otonomi daerah
menganut prinsip otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab agar tercipta
persatuan bangsa.
Tata kepemerintahan yang baik dan bersih dapat tercipta apabila unsur-
unsur yang dimaksud yaitu pemerintah, rakyat dan swasta sebagai kekuatan yang
sinergi saling mendukung, namun sebaliknya tata pemerintahan menjadi buruk jika
salah satu dari kekuatan tersebut tidak bersinergi satu sama lain yang berakibat pada
gagalnya proses penyelenggaraan tata kepemerintahan. Untuk mewujudkan
pemerintahan yang baik dan bersih berdasarkan prinsip-prinsip pokok good
governance, setidaknya dapat dilakukan melalui beberapa cara diantaranya:
penguatan fungi dan peran lembaga perwakilan, kemandirian lembaga peradilan,
profesionalitas dan integritas aparatur pemerintah, penguatan partisipasi
masyarakat madani (civil socity), serta peningkatan kesejahteraan rakyat dalam
kerangka otonomi daerah.

B. Saran
Demikian makalah yang kami susun. Semoga dapat membawa
kebermanfaatan bagi para pembaca dan pihak yang berkepentingan. Penyusun
menyadari bahwasannya dalam proses penyusunan makalah ini terdapat
ketidaksempurnaan, Maka dari itu kami selaku penyusun makalah menerima
dengan terbuka kritik dan saran guna kesempurnaan makalah ini.

15
DAFTAR PUSTAKA
Wahono, Atsar Abdul. (2019). Buku Ajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
Yokyakarta: Deepublish. Hlm. 99-101.
Santoso Agus M.(2009). ”Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Jurnal
Ilmu administrasi. Hlm. 422-424.
Haris Syamsuddin. (2007). Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press. Hlm. 39-
40.
Haris Syamsuddin. (2005). Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press. Hlm. 101.
Sufianto Dadang.(2020). “Pasang Surut Otonomi Daerah di Indonesia”. Jurnal Academia
Praja, Vol 3, 2. Hlm. 271-272.
Siregar Syaputra M. (2021). “Prinsip-prinsip Otonomi Daerah Indonesia dalam Perspektif
Siyasah”. Jurnal Pesquisa Veterinaria Brasileira, Vol 26. Hlm. 46-49.

16
17

Anda mungkin juga menyukai