Anda di halaman 1dari 23

OTONOMI DAERAH DAN PERKEMBANGANNYA

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan

Dosen Pengampu:

Syamsul Umam, SHI, MH.

Disusun oleh:

Kelompok 10

FATHIYA IKRIMAH (126403203182)

FATKHU ROZAQ MUDZAKI (126403202157)

FEBRIANI DIENDYARSA PUTRI (126403203183)

SYAFINA PRIMA ANANDA (126403202164)

KELAS AKS 2D

JURUSAN AKUNTANSI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG

JUNI 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Otonomi Daerah
dan Perkembangannya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dosen pada mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang ilmu kewarganegaraan bagi para pembaca
dan juga bagi penulis. Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Syamsul Umam,
SHI, MH. selaku dosen mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai
dengan mata kuliah yang sedang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi
Sebagian pengetahuannyasehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami
menyadari bahwa makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangunkan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Tulungagung, 28 Juni 2021

Kelompok 10

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1

1.1 LatarBelakang...............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................2

1.3 Tujuan...........................................................................................................2

BAB 2 PEMBAHASAN........................................................................................3

2.1 Hakekat Ekonomi Daerah...............................................................................3

2.2 Urgensi Ekonomi Daerah................................................................................4

2.3 Kelebihan Dan Kekurangan Otoda..................................................................5

2.4 Sejarah Otoda Di Indonesia............................................................................7

2.5 Prinsip-Prinsip Otoda dalam UU No.22/1999..................................................13

2.6 Pembagian Kekuasaan Pusat Dan Daerah dalam UU No.22/1999.....................15

2.7 Otoda Dan Demokrasi..................................................................................16

BAB 3 PENUTUP..............................................................................................19

3.1 KESIMPULAN.............................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................20

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia menggunakan sistem otonomi daerah dalam melaksanakan pemerintahannya.
Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan
mengurus ekonomi rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-
undangan nomor 22 tahun 1999. Dari pengertian tersebut tampak bahwa daerah di beri
hak otonom oleh pemerintah pusat untuk mengatur dan mengurus kepentingan
sendiri.Dalam hal ini hak dan wewenang yang diberikan terutama mengelola kekayaan
alam dan ekonomi rumah tangganya sendiri Implementasi otonomi daerah telah
memasuki era baru setelah pemerintah dan DPR sepakat unuk mengesahkan UU nomer
32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU nomer 33 tahun 2004 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Sejalan dengan di
berlakukanya undang-undang otonomi tersebut memberikan kewenangan
penyelenggaraan pemerintah daerah yang lebih luas, nyata, dan bertanggung jawab.
Adanya perimbangan tugas fungsi dan peran antar pemerintah pusat dan pemerintah
daerahtersebut menyebabkan masing-masing daerah harus memiliki penghasilan yang
cukup, daerah harus memiliki sumber pembiayaan yang memadai untuk memikul
tanggung jaawab penyelenggaraan pemerintah daerah. Dengan demikian di harapkan
masing-masing daerah akan dapat lebih maju,mandiri,sejahtera dan kompetetif di dalam
pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan daerahnya masing-masing. Memang
harapan dan kenyataaan tidak akan selau sejalan. Tujuan atau harapan tentu akan
berakhir baik biloa pelaksanaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan juga berjalan
baik. Namun ktidaktercapain harapan itu tampak nya mulai terlihat dalam otonomi
daerah yang ada di Indonesia. Masih banyak permasalahan yang mengiring berjalanya
otonomi daerah di Indonesia.

1
1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, dapat dipaparkan beberapa rumusan masalah yang berkaitan
dengan permasalahan yang ada dalam makalah ini sebagai berikut:

1. Apa hakekat ekonomi daerah?


2. Bagaimana urgensi ekonomi daerah?
3. Apa kelebihan dan kekurangan otoda?
4. Bagaimana sejarah otoda di indonesia?
5. Apa prinsip-prinsip otoda dalam uu no.22/1999?
6. Bagaimana pembagian kekuasaan pusat dan daerah dalam uu no.22/1999?
7. Apa otoda dan demokrasi?

1.3 Tujuan

1. Memberikan informasi tentang hakekat ekonomi daerah.


2. Untuk mengetahui tentang urgensi ekonomi daerah.
3. Memberikan informasi tentang kelebihan dan kekurangan otoda.
4. Untuk mengetahui tentang sejarah otoda di indonesia
5. Memberikan informasi tentang prinsip-prinsip otoda dalam uu no.22/1999.
6. Untuk mengetahui pembagian kekuasaan pusat dan daerah dalam uu no.22/1999.
7. Untuk mengetahui otoda dan demokrasi.

2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 HAKEKAT OTONOMI DAERAH

Hakikat otonomi daerah adalah mengembangkan daerah-daerah Indonesia yang


mandiri, memberikan keleluasaan bagi terkuaknya potensi-potensi terbaik yang dimiliki
oleh setiap daerah secara optimal. Otonomi daerah juga berarti kesempatan membangun
struktur pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan daerah, membangun sistem dan
pola karier politik, administratif yang kompetitif, serta mengembangkan sistem
manajemen pemerintahan yang efektif. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, UU
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dimana melalui Undang-undang
tersebut diharapkan bahwa Pemerintahan daerah khususnya pemerintahan kabupaten
akan berperan aktif melaksanakan tugas-tugas pemerintahan maupun tugas pelaksanaan
pembangunan di segala bidang. Daerah provinsi mempunyai kedudukan sebagai daerah
otonom sekaligus wilayah administrasi, otonomi untuk daerah provinsi diberikan secara
terbatas yang meliputi kewenangan lintas kabupaten dan kota, kewenangan yang tidak
atau belum dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan kota, serta kewenangan bidang
pemerintahan tertentu lainnya. Untuk mewujudkan hal tersebut di perlukan adanya
komitmen yang kuat dari pemerintah dengan political will yang tinggi untuk memberikan
kewenangannya kepada daerah.

Dalam penerapan asas desentralisasi terdapat konsekuensi logis yang mana menuntut
pemerintah daerah untuk siap menata keseluruhan perangkat organisasi daerah, serta
kemampuan untuk menyesuaikan terhadap perubahan lingkungan eksternal agar mampu
melaksanakan amanat yang diberikan rakyat. Tuntutan tersebut dihadapi oleh setiap
pemerintah daerah, terutama di tingkat kabupaten yang merupakan ujung tombak
pelaksanaan asas desentralisasi daerah otonom yang mandiri dan memiliki kewenangan
dalam mengatur daerah masing-masing. Di pihak lain, daerah baik masyarakat maupun
pemerintahnya harus benar-benar mempersiapkan diri agar mampu melaksanakan tugas,
hak dan kewajibannya tersebut dengan baik, sehingga pembangunan daerah dapat
dilaksanakan secara mandiri dengan menggali potensi-potensi yang dimiliki secara
optimal dengan tanpa mengabaikan kepentingan nasional

3
Tujuan utama dari kebijakan desentralisasi adalah untuk membebaskan pemerintah
pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga
pemerintah pusat berkesempatan mempelajari, memahami, dan merespon berbagai
kecenderungan global dan mengambil manfaat darinya, artinya pemerintah pusat
diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang
bersifat strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi kewenangan pemerintahan ke
daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan, kemampuan
prakarsa dan kreatifitas mereka akan terpacu sehingga kapabilitasnya dalam menghadapi
berbagai masalah domestik akan semakin kuat.

Berdasarkan pembahasan mengenai hakikat otonomi daerah pada sistem ketatanegaraan


Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya otonomi daerah dalam sistem
ketatanegaraan di Indonesia adalah kewenangan yang diberikan kepada pemerintah
daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.2 URGENSI OTONOMI DAERAH

Secara akademik konsep dan urgensi pemberian otonomi kepada daerah didasarkan
pada berbagai faktor, baik bersifat instrumental maupun environmental yang
mempengaruhi pelaksaan otonomi daerah menurut UU.No.22 Tahun 1999 jo UU.No.5
Tahun 1974.

Faktor instrumental berwujud tuntunan yang bersifat normatif, ideologis, transedental


dan nilai. Faktor instrumental bermula dari kepercayaan, keyakinan yang kemudian
diikuti oleh nilai, wawasan pandangan dan dokrin (Rusadi Kartaprawira, 1990:24).
Faktor lingkungan berujud pengaruh dari segala hal yang barada di luar suatu sistem,
baik yang bersifat fisik maupun non-fisik, manusia maupun bukan manusia dilihat dari
sudut lokasi, jarak, dan intensi pengaruh, faktor lingkungan ini diklasifikasikan
menjadikan lingkungan dalam masyarakat (intra-societal environment) dan lingkungan
luar masyarakat (extra-societal environment) (Rusadi Kartaprawira, 1990:25-26).

4
Sedangkan faktor instrumental dalam terminologi Ilmu Kebijakan diwujudkan dalam
bentuk perundang-undangan yang menyangkut falsafah dan dasar negara, Tap MPR,
wawasan nusantara, ketahanan nasional, perundangan-undangan tentang otonomi daerah
dan peraturan pelaksanaannya. Dan faktor lingkungan berkenaan dengan infra struktur
politik, implementasi kebijakan hubungan pusat dengan daerah, hubungan antar
organisasi pemerintah, kemampuan keuangan daerah, peranan subsidi pemerintah,
karakteristik pemerintah, dan potensi ekonomi daerah.

2.3 KELEBIHAN DAN KEKURANGAN OTODA

-KELEBIHAN:

1. Prioritas Pembangunan

Memasuki bagian kelebihan yang pertama dari otonomi daerah adalah masalah prioritas
di dalam pembangunan sehingga lebih tepat sasaran.Karena apabila diatur oleh
pemerintah pusat, dikhawatirkan akan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat,
aspirasi yang diinginkan dan juga kebutuhan masyarakat itu sendiri.Dengan adanya
otonomi daerah juga pemerintah pusat bebas mengatur dan menyesuaikan pembangunan
berdasarkan kondisi daerahnya.

2. Pembangunan Daerah Lebih Maju

Hal ini terjadi karena adanya peningkatan pelayanan dan juga kesejahteraan sehingga
pembangunan daerah yang terkait akan lebih maju.Peningkatan pembangunan yang lebih
tetap sasaran mengakibatkan pelayanan dan kesejahteraan.

3. Mengatur Pengelolaan Sendiri

Berdasarkan potensi masing – masing pengelolaan dapat disesuaikan sehingga tidak


ada daerah yang memaksakan melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan
kemampuannya. Biasanya daerah yang banyak tenaga sumber daya alam lebih
berkontribusi dalam pembangunan nasional. Baik pada tahun yang sama atau pun

5
berbeda, pengeluaran dan penerimaan dalam pembiayaan harus dikelola sendiri.Hal ini
juga memberikan keuntungan tersendiri buat wilayah tersebut.

4. Kerjasama Lebih Terjalin

Secara tidak langsung juga akan nada kerja sama yang terjalin antara pemerintah dan
juga rakyat. Dengan begitu pun akan mudah mengatur sebagai masalah dan problematika
yang dialami oleh daerah tersebut, sehingga masalah di wilayah kamu bisa teratasi.

5. Mudah Menyesuaikan Kebutuhan

Pemerintah daerah lebih mudah menyesuaikan diri pada kebutuhan khusus daerah
dengan adanya otonomi daerah.

-KEKURANGAN

1. Pertentangan Peraturan

Dengan otonomi daerah yang sudah ditetapkan pada beberapa wilayah juga bisa terjadi
pertentangan. Tapi, walaupun begitu selama peraturan yang ada saling melengkapi, tidak
akan menimbulkan masalah.

2. Pengawasan yang Lemah

Pengawasan menjadi lemah dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Sehingga bisa
dibilang akan memungkinkan muncul adanya penguasa – penguasa di daerah tersebut
yang semena – mena. Untuk mencegah hal ini terjadi perlu adanya peran aktif bagi
masyarakat untuk mengawasi hal – hal yang sekiranya dapat memberikan kerugian
semacam ini.

3. Kesenjangan antar Daerah

Karena tidak semua wilayah memiliki sumber daya yang banyak dan juga potensi yang
dimiliki dibanding wilayah lain. Bisa juga wilayah tersebut memiliki tenaga sumber daya
yang banyak tetapi masih kurang baik dalam pengelolaannya. Sehingga hasil yang di
dapat tidak sesuai harapan dan terbilang jauh dari sasaran. Dalam hal ini, banyak upaya

6
yang dilakukan oleh kementerian untuk mengatasinya. Salah satu yang dilakukan adalah
dengan melakukan pembangunan Infrastruktur Berbasis Masyarakat (IBM).

4. Rentan Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme

Korupsi dana di daerah paling banyak dilakukan dalam bentuk kolusi dan nepotisme.
Dimana adanya bentuk yang tidak profesional dalam menjalankan pekerjaan. Tanpa
melalui proses seharusnya banyak yang bisa dilakukan setiap proyek pembangunan yang
diserahkan kepada perusahaan. Salah satu hal utama yang bisa dilakukan untuk
mencegah hal ini terjadi adalah dengan mendorong faktor – faktor internal yang dimiliki
setiap orang. Dan perlu adanya sistem akuntabilitas yang memadai di setiap organisasi
yang dijalankan.

2.4 SEJARAH OTODA DI INDONESIA

Pendekatan historis ini akan memberikan titik tolak dalam menganalisa perkembangan
otonomi di Indonesia Pendekatan sejarah dimaksudkan untuk menunjukkan sekuen
perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Ada
dua tahap utama perubahan sistem pemerintahan daerah di Indonesia yaitu sistem
pemerintahan daerah sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan

1. Sistem Pemerintahan Daerah Sebelum Kemerdekaan

Pemerintah Daerah yang bersifat relatif otonom pertama kali didirikan oleh Pemerintah
Kolonial Belanda pada awal abad ke 20 melalui Desentralisasi Wet 1903. Undang-
undang ini dimaksudkan hanya mencakup wilayah Jawa dan Madura saja. Sebelum tahun
1903, seluruh wilayah Indonesia diperintah secara sentral dibawah Gubernur Jenderal
sebagai Wakil Raja Belanda ditanah jajahan. Disamping pemerintahan yang dijalankan
oleh pihak kolonial Belanda, terdapat juga daerah-daerah yang disebut ‘Swapraja’ yang
diperintah oleh raja-raja pribumi setempat. Raja-raja tersebut diakui haknya untuk
memerintah di wilayahnya asalkan mereka mengakui dan tunduk kepada kekuasaan
Pemerintah kolonial atas wilayah mereka. Raja-raja tersebut diberi kewenangan untuk
memerintah wilayahnya menurut adat dan tradisi daerah yang bersangkutan, sepanjang
mereka tunduk kepada pemerintah Kolonial Belanda. Raja-Raja tersebut memerintah

7
wilayahnya berdasarkan kontrak politik yang ditanda tangani dengan Belanda dan
diberikan tugas untuk menjalankan beberapa tugas pusat atas nama pemerintah kolonial.
Beberapa diantara kerajaan tersebut adalah Yogyakarta, Surakarta, Deli, Bone dal lain-
lainnya.

Pada tahun 1922, Pemerintah Kolonial Belanda mengadakan pembaharuan dengan


maksud untuk memberikan kewenangan yang lebih besar kepada Pemerintah daerah
untuk menjadikannya lebih efektip dalam menjalankan aktivitasnya. Perbedaan sistem
pemerintahan daerah sebelum dan sesudah UU 1903 terletak pada ada tidaknya dewan
daerah. Sebelum UU 1903, tidak terdapat sama sekali otonomi pemerintah daerah.
Semua unit pemerintahan bersifat administratip atas dasar prinsip dekonsentrasi. Namun
setelah UU 1903 dikeluarkan, didirikanlah sejenis Dewan Daerah pada unit-unit
pemerintahan tertentu dan mereka diberikan kewenangan untuk menggali pendapatan
daerah untuk membiayai pemerintahan daerah. Anggota Dewan Daerah diangkat dari
tokoh-tokoh masyarakat setempat, namun Kepala Pemerintahan seperti Gubernur,
Residen, atau Bupati tetap diangkat oleh pemerintah pusat. Pemerintah Kolonial Belanda
digantikan oleh pendudukan Jepang dari tahun 1942 sampai dengan 1945. Sistem
pemerintahan dibawah tentara pendudukan Jepang diatur secara militer. Sumatra dan
Jawa diperintah dibawah angkatan darat yang masing-masing bermarkas di Bukittinggi
dan Jakarta. Diluar Jawa dan Sumatra dibawah angkatan laut dengan markas besarnya di
Ujungpandang (Makassar). Pada dasarnya sistem pemerintahan dibawah tentara
pendudukan Jepang meneruskan sistem pemerintahan yang diwariskan oleh pemerintah
kolonial Belanda. Unit-unit pemerintahan daerah diatur berdasarkan prinsip
dekonsentrasi dan semua kegiatan politik dilarang.

Ketika Jepang mendekati kekalahan, mereka mengijinkan pendirian Dewan Daerah


dengan tujuan untuk menggalang dukungan kepada bala tentara Jepang. Bahkan sebelum
mereka menyerah, Jepang mendirikan suatu Komite beranggotakan pemimpin-pemimpin
nasional untuk persiapan kemerdekaan Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang
berakhir seiring dengan kekalahan mereka dalam perang Asia Timur Raya dan rakyat
Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Dengan proklamasi kemerdekaan
tersebut dimulailah era pemerintahan daerah pasca kemerdekaan.

2. Sistem Pemerintahan Daerah Pasca Kemerdekaan

8
Deskripsi sistem pemerintahan daerah di Indonesia pasca proklamasi ditandai dengan
diberlakukannya berbagai perundang-undangan tentang pemerintahan daerah. Setiap
Undang-Undang yang diberlakukan akan menandai terjadinya perubahan dalam sistem
pemerintahan daerah dan ini sangat erat kaitannya dengan situasi politik nasional. Pada
dasarnya terdapat lima kali perubahan yang bersifat pokok terhadap sistem pemerintahan
daerah pasca kemerdekaan. Setiap perubahan sistem tersebut dituangkan dalam Undang-
Undang tentang Pemerintahan Daerah yang memuat pengaturan yag berbeda satu sama
lainnya. Adapun sekuen perubahan tersebut adalah sebagaimana terurai berikut ini.

1). Undang Undang No.1/ 1945

Undang-Undang ini dikeluarkan pada tanggal 23 Nopember 1945 dan merupakan UU


Pemerintahan Daerah yang pertama setelah kemerdekaan. Undang-Undang tersebut
didasarkan pasa pasal 18 UUD 1945. Pada dasarnya pengaturan-pengaturan yang dimuat
dalam Undang-Undang 1/1945 tersebut, meneruskan sistem yang diwariskan oleh
Pemerintah Kolonial Belanda. Sebuah Komite National Daerah didirikan pada setiap
level terkecuali di tingkat Propinsi. Komite tersebut bertindak selaku badan legislatip dan
anggota-anggotanya diangkat oleh Pemerintah Pusat. Komite tersebut memilih lima
orang dari anggotanya untuk bertindak selaku badan eksekutip yang dipimpin oleh
Kepala Daerah untuk menjalankan roda pemerintahan daerah. Kepala Daerah
memjalankan dua fungsi utama yaitu sebagai Kepala Daerah Otonom dan sebagai Wakil
Pemerintah Pusat di daerah yang bersangkutan.

2). Undang Undang Nomor 22 Tahun 1948

Undang-Undang No.22/1948 dikeluarkan pada tanggal 10 Juli 1948 yang dimaksudkan


sebagai pengganti UU 1/1945 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan semangat
kebebasan setelah kemerdekaan. Undang-Undang No.22/1948 hanya mengatur mengenai
daerah otonom dan sama sekali tidak menyinggung daerah administratip. UU tersebut
hanya mengakui 3 tingkatan daerah otonom yaitu; Provinsi, Kabupaten atau Kotamadya
dan terakhir Desa atau Kota Kecil. Kekuasaan Eksekutip dipegang oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh
Dewan Pemerintahan Daerah (DPD). Kepala Daerah bertindak selaku Ketua DPD.
Kepala Daerah diangkat oleh Pemerintah dari calon-calon yang diusulkan oleh DPRD. 
Walaupun demikian terdapat klausul dalam pasal 46 UU 22/1948 yang memungkinkan

9
Pemerintah untuk mengangkat orang-orang, yang umumnya diambil dari Pamong Praja
untuk menjadi Kepala Daerah. Melalui klausul tersebut pemerintah sering menempatkan
para calon yang dikehendaki tanpa harus mendapatkan persetujuan DPRD.

Tidak seperti UU 1/1945, UU 22/1948 secara jelas menyatakan urusan-urusan yang


dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah (otonomi materiil) seperti prinsip Ultra Vares
yang diterapkan pada Pemerintah Daerah di Inggris. Terdapat 15 jenis urusan yang
diserahkan kepada Pemerintah Daerah tanpa melihat tingkatannya. Bahkan kota Kecil
sebagai Pemerintah Daerah Tingkat III mempunyai urusan yang sama dengan urusan
Pemerintah Daerah tingkat atasnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian otonomi
mengenyampingkan kemampuan riil dari pemerintah daerah. Keinginan memberikan
otonomi lebih didasarkan kepada pertimbangan politis dibandingkan pertimbangan
efisiensi dan efektifitas.

3). Undang Undang Nomor.1 Tahun 1957

Apabila UU 1/1945 lebih menekankan pada aspek Dekonsentrasi, dan UU 22/1948


pada aspek desentralisasi, maka UU 1/1957 ditandai dengan penekanan yang lebih jauh
lagi kearah Desentralisasi. UU 1/1957 adalah produk dari sistem parlemen Liberal hasil
dari Pemilihan Umum pertama tahun 1955. Partai-Partai politik di Parlemen menuntut
adanya pemerintah daerah yang lebih demokratik. Keadaan tersebut telah menimbulkan
keresahan di kalangan Pamong Praja yang bertugas melaksanakan urusan-urusan
Pemerintah Pusat di daerah. Kelompok Pamong Praja menurut Peraturan Pemerintah
No.27 tahun 1956 terdiri dari Gubernur, Residen, Bupati, Wedana, dan Asisten Wedana
atau Camat (Suryaningrat, 1980). Meskipun terdapat dorongan yang sangat kuat untuk
meluaskan otonomi daerah, pada kenyataannya kewenangan yang dilimpahkan kepada
pemerintah Daerah tetaplah terbatas. Dari 15 urusan yang telah diserahkan ke daerah
sama seperti urusan yang dilimpahkan berdasarkan UU 22/1948, sampai dengan tahun
1958 hanya baru 7 urusan yang sebenarnya diserahkan kepada Propinsi. Penyebabnya
adalah bahwa pelimpahan urusan harus dilakukan dengan Peraturan Pemerintah dan
prosedur tersebut memakan waktu yang sangat lama.

Sistem Pemerintahan Daerah menurut UU 1/1957 adalah hampir sama dengan


pengaturan dalam UU 22/1948. Pemerintah Daerah terdiri dari DPRD dan DPD.
Anggota DPD dipilih dari DPRD dan bertanggung jawab kepada DPRD. Kepala Daerah

10
bertindak selaku ketua DPD, namun kekuasaan tertinggi d daerah terletak ditangan
DPRD. DPRD membuat kebijakan daerah dan DPD bertugas untuk melaksanakannya.
Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959 Pada tanggal 16 Nopember 1959,
sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden, Pemerintah mengeluarkan Penpres 6/1959
untuk mengatur Pemerintahan Daerah agar sejalan dengan UUD 1945. Dalam Penpres
tersebut diatur bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. Kepala
Daerah mengemban dua fungsi yaitu sebagai eksekutip daerah dan wakil Pusat di daerah.
Kepala Daerah juga bertindak selaku Ketua DPRD. Sebagai eksekutip daerah ia
bertanggung jawab kepada DPRD, namun tidak bisa dipecat oleh DPRD. Sedangkan
sebagai wakil Pusat dia bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat.

4.) Undang Undang Nomor 18 tahun 1965

Pada pertengahan dekade 1960an telah timbul tntutan yang semakin kuat untuk
merevisi sistem Pemerintahan Daerah agar sejalan dengan semangat Demokrasi
Terpimpin dan Nasakom yaitu konsep politik yang dikeluarkan oleh Presiden Sukarno
untuk mengakomodasikan tiga kekuatan politik terbesar pada waktu itu yaitu kelompok
partai Nasionalis, Agama dan Komunis. Berdasarkan UU 18/1965, Kepala Daerah tetap
memegang peran ganda yaitu sebagai pimpinan daerah dan wakil Pusat di daerah.
Meskipun prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi dianut dalam sistem tersebut, namun
Dekonsentrasi hanyalah dianggap sebagai pelengkap (supplement) saja walaupun diberi
embel-embel vital. UU 18/1965 merupakan arus balik dari kecenderungan sentralisasi
menuju ke desentralisasi. Hal ini nampak dari kebebasan yang diberikan kepada Kepala
Daerah dan BPH untuk menjadi anggota partai politik tertentu. Dengan demikian
kesetiaan atau loyalitas dari para eksekutip daerah tidak lagi semata-mata hanya kepada
Pemerintah Pusat.

Keadaan politik secara nasional pada waktu itu menunjukkan bahwa partai-partai
politik mendapatkan kekuasaannya kembali setelah hampir bangkrut pada akhir tahun
1950an. Partai Politik berusaha memperoleh akses ke kelompok eksekutif daerah melalui
adanya ketentuan yang membolehkan para eksekutip tersebut untuk menjadi anggota
partai. Telah terjadi tuntutan yang kuat untuk memberikan  otonomi yang seluas-luasnya
kepada Daerah dan tuntutan pendirian Daerah Otonomi Tingkat III yang berbasis pada
Kecamatan. Kondisi tersebut akan memungkinkan Parpol untuk mendapatkan dukungan
politis dari grass-roots dimana sebagian terbesar dari masyarakat bertempat tinggal.
11
Dua hal pokok dapat ditarik dari pemahaman sistem pemerintahan daerah berdasarkan
pendekatan historis. Pertama, pada masa sebelum kemerdekaan, basis pemerintahan
daerah yang relatif modern dibentuk oleh Pemerintah Kolonial Belanda, namun karakter
pemerintahan daerah tersebut lebih menekankan pada penerapan konsep dekonsentrasi
dibandingkan desentralisasi. Walaupun kemudian diperkenalkan adanya Dewan Daerah
yang anggota-anggotanya diangkat dari tokoh-tokoh masyarakat dan golongan
berpendidikan, namun konsep pemilihan belum diadakan. Ini berarti Pemerintah
Kolonial Belanda lebih menekankan pada tujuan efisiensi dibandingkan pada tujuan
politis dengan menjadikan pemerintah daerah sebagai wahana  pendidikan politik
masyarakat. Pada sisi berikutnya, ketika tentara pendudukan Jepang berkuasa, mereka
secara prinsip tidak mengadakan perubahan sistem yang mendasar, namun lebih bersifat
mneruskan sistem yang diwariskan oleh pihak belanda.

Sistem pemerintahan daerah setelah masa kemerdekaan lebih menekankan kepada


tujuan-tujuan politis dibandingkan efisiensi. Hal ini disebabkan karena sebagian besar
dari para pejabat yang memegang posisi-posisi penting di pemerintahan daerah belum
mempunyai pengalaman yang memadai karena terbatasnya karir yang mereka peroleh
pada masa sebelum kemerdekaan. Kurangnya profesionalisme namun kuat dalam ide-ide
politis telah menyebabkan tidak efisiennya penyelenggaraan pemerintahan daerah pada
waktu itu. Kuntjaraningrat mengatakan bahwa terjadi sikap-sikap menerabas dari
pejabat-pejabat Indonesia setelah perang kemerdekaan. Sifat-sifat ini merupakan warisan
dari jaman pendudukan Jepang, ketika banyak jabatan-jabatan penting yang dulunya
dipegang oleh pejabat Belanda telah diambil alih oleh orang-orang Indonesia tanpa
pengalaman dan profesionalisme yang memadai. Sifat-sifat tersebut muncul lagi pada
masa pemerintahan Sukarno yang memungkinkan pejabat-pejabat yang kurang
berpengalaman menduduki jabatan-jabatan yang lebih tinggi (Kuntjaraningrat, 1987).
Pejabat-pejabat tersebut berusaha membuat perubahan-perubahan dalam sistem
pemerintahan dengan memasukkan ide-ide demokrasi, namun hasilnya jauh dari
memuaskan yang pada gilirannya menyebabkan kegagalan baik di tingkat nasional
maupun daerah.

Ciri penting mengenai otonomi daerah sejak kemerdekaan 1945 adalah adanya
perubahan titik berat kebijaksanaan pada desentralisasi dan dekonsentrasi. Perubahan
titik berat ini tidak terlepas dari perubahan politik nasional yang terjadi. Setelah

12
terjadinya G.30.S PKI, pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam pengaturan
penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkannya UU.5/1974.
Tiga prinsip utama yang mendasari UU.5/1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan
tugas perbantuan (medebewind). Isu pembangunan menjadi isu sentral dibandingkan isu
politik. Terasa seolah-olah telah terjadi proses depolitisasi Pemda dengan
menggantikannya dengan isu pembangunan.

Dari pendekatan historis ini isu sentral yang dapat ditarik adalah bagaimana pemerintah
pusat selalu berusaha memegang kendali/ kontrol terhadap daerah. Dalam banyak hal,
pemerintah pusat berusaha mengontrol daerah melalui figur Kepala Daerah yang
didudukkan sebagai alat pusat dan alat daerah. Untuk memenangkan kesetiaan Kepala
Daerah kepada pusat dalam menjalankan dual roles nya, pusat seringkali sangat dominan
dalam penentuan/ pengangkatan Kepala Daerah. Kuatnya bargaining position pusat
dalam penentuan Kepala Daerah ini telah mendorong loyalitas Kepala Daerah yang lebih
tinggi kepada pusat dibandingkan kepada daerah. Aspek positip dari kebijaksanaan ini
adalah adanya kepastian bahwa program2 ataupun arahan pusat akan terlaksana secara
aman di daerah. Pada tahap2 awal kemerdekaan pendekatan ini sangat berguna untuk
menggalang persatuan dan kesatuan bangsa yang masih sangat rawan pada waktu itu
(tujuan integratif). Aspek negatipnya (terutama setelah tujuan integratif tercapai) adalah
pada diri Kepala Daerah sendiri, yang akan sering dihadapkan pada suatu dilemma
manakala dihadapkan pada situasi harus memilih antara kepentingan pusat dan daerah.
Ke-Pusat dia dituntut akan loyalitas, ke daerah dia dihadapkan pada akauntabilitas.

2.5 PRINSIP-PRINSIP OTODA DALAM UU NO.22/1999


Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang
luas, nyata, dan bertanggung jawab Kepada Daerah secara proporsional yang diwujudkan
dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang
berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Di samping itu,
penyelenggaraan Otonomi Daerah juga dilaksanakan dengan prinsip- prinsip demokrasi,
peran-serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan
keanekaragaman Daerah.
Dengan memperhatikan pengalaman penyelenggaraan Otonomi Daerah pada masa
lampau yang menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab dengan
13
penekanan pada otonomi yang lebih merupakan kewajiban daripada hak, maka dalam
Undang-undang ini pemberian kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas,
nyata, dan bertanggung jawab Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan Daerah
untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang
pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang, pertahanan
keamanan,Peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang
akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Yang dimaksud dengan otonomi nyata
adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di
bidang tertentu yang secara nyata ada diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang
di Daerah. Yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa
penyuluhan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan
kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah dalam
mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahtentan
masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan ,
pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta
antar-Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Otonomi untuk Daerah Propinsi diberikat secara terbatas yang meliputi kewenangan
lintas Kabupaten dan Kota, dan kewenangan yang tidak atau belum dilaksanakan oleh
Daerah Kabupaten dan Daerah Kota,serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu
lainnya.
Prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah yang dijadikan pedoman dalam Undang-undang
ini adalah sebagai berikut:
(1) Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek
demokrasi, keadilan,pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah.
(2) Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan
bertanggungjawab.
(3) Pelaksanaan otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah kabupaten dan
Daerah Kota, sedang Otonomi Daerah Propinsi merupakan otonomi yang terbatas.
(4) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara, sehingga tetap
terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah scrta antar-Daerah.
(5) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandiriada Daerah Otonomi,
dan karenanya dalam Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi Wilayah
Adminitrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah

14
atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan
industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan
perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan semacamnya berlaku Ketentuan peraturan
Daerah Otonom.
(6) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan
legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi
anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
(7) Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam kedudukannya
sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertetu
yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pernerintah.
(8) Pelaksanaan asas tugas pcmbantuan dimungkinkan, tidak hanya.dari Pemerintah kepada
Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah Kepada Desa yang disertai dengan
pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban
melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.

2.6 PEMBAGIAN KEKUASAAN PUSAT DAN DAERAH DALAM UU NO.22/1999

Ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembinaan kewenangan


berdasarkan asas dekosentrasi dan desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Daerah yang dibcntuk berdasarkan asas desentralisasi dan
dekonsentrasi adalah Daerah Propinsi, sedangkan Daerah yang dibentuk berdasarkan
asas desentralisasi adalah Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Daerah yang dibentuk
dengan asas desentralisasi berwenang untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan
atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Pembagian Daerah di luar Daerah Propinsi dibagi habis ke dalam Daerah Otonom.
Dengan demikian, Wilayah Administrasi yang berada dalam Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota dapat dijadikan Daerah Otonom atau dihapus. Kecamatan yang menurut
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 sebagai Wilayah Administrasi dalam rangka
dekonsentrasi, menurut undang-undang ini kedudukannya diubah menjadi perangkat
Daerah Kabupaten atau Daerah Kota. Prinsip Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Prinsip penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah:

a. digunakannya asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan;

15
b. penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat yang dilaksanakan di Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota; dan

c. asas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan di Daerah Propinsi,

Daerah Kabupaten, Daerah Kota dan Desa.

4. Susunan Pemerintahan Daerah dan Hak DPRD

Susunan Pemerintahan Daerah Otonom meliputi DPRD dan Pemerintah Daerah. DPRD
dipisahkan dari Pemerintah Daerah dengan maksud untuk lebih memberdayakan DPRD
dan meningkatkan pertanggungjawaban Pemerintah Daerah kepada rakyat. Oleh karena
itu, hak-hak DPRD cukup luas dan diarahkan untuk menyerap serta menyalurkan aspirasi
masyarakat menjadi kcbijakan Daerah dan melakukan fungsi pengawasan.

2.7 OTODA DAN DEMOKRATIS

Upaya untuk mewujudkan system pemerintahan yang demokratis dan tidak nsentralistik
serta otoritarian telah diterapkan dengan konsep otonomi daerah yanhg diterapkan sejak
tahun 1999. Dari sisi manajemen pemerintahan, penerapan desentralisasi dan otonomi
daerah merupakan instrument utama untuk mencapai suatu Negara yang mampu
menghadapi kondisi sentralisme dan tidak efektifnya pemerintahan. Di samping itu,
penerapan desentralisasi kewenangan dan otonomi daerah juga merupakan prasyarat
dalam rangka mewujudkan demokrasi dan pemerintahan yang menjunjung tinggi
kedaulatan rakyat. Namun dalam pelaksanaannya selama ini, kebijakan otonomi daerah
masih menghadapi beberapa kelemahan seperti : otonomi daerah hanya dipahami sebagai
kebijakan yang bersifat institusional belaka, perhatian dalam otonomi daerah hanya pada
masalah pengalihan kewenangan dari pusat ke daerah, tetapi mengabaikan esensi dan
tujuan kebijakan tersebut, otonomi daerah tidak dibarengi dengan peningkatan
kemandirian dan prakarsa masyarakat di daerah sesuai tuntutan alam demokrasi.

Sementara itu, berkembangnya sistem kepartaian dalam pemilihan umu baik di tingkat
pusat maupun daerah telah mengubah karakteristik dan kondisi demokratisasi di
Indonesia selama ini. Pemilihan umum yang langsung dilakukan oleh rakyat, sebenarnya
merupakan upaya pemerintah untuk mewujudkan system politik yang demokratis, tetapi
pada kenyataannya, rakyat hanya menjadi bagian pasif dari pesta demokrasi tadi. Di

16
daerah apalagi, harapan bahwa pemilu dan pemilihan pemimpin daerah adalah orang-
orang yang dekat dengan rakyat, pada praktisnya rakyat tidak kenal dan tidak tahu calon
pemimpon dan bahkan pemimpin daerah mereka sendiri. Elit-elit politik yang telah
berkuasa melebar sayapnya dengan merekrut keluarga dan sanak saudaranya menjadi
pemimpin daerah dan “membiayai” partai-partai politik pendukungnya. Mereka adalah
pemain-pemain lama di daerah,  atau orang-orang yang selama ini berada di Jakarta dan
yang selama ini tidak turut memebesarkan daerah, tiba-tiba atas nama “ putra daerah “,
mereka pulang dan menjajal kekuatannya untuk menjadi pemimpin daerah. Akibatnya,
para putra daerah yang berfrofesi sebagai pemain sinetron dan telah lama menetap di
Jakarta pun menjadi bupati atau gubernur daerah yang sama sekali tidak dikuasainya.

Pemberian otonomi yang luas kepada daerah-daerah di Indonesia seperti yang


tercantum dalam UU nomor 22 dan 25 tahun 1999, yang diperbaharui dalam UU nomor
32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah merupaka bagian rekayasa kelembagaan untuk
mempercepat proses demokratisasi di Indonesia dan di daerah (Marijan, 2010). Undang-
undang tersebut tidak hanya mengatur tentang system administrasi daerah pelimpahan
kewenangan dari pusat kepada daerah untuk mengatur dirinya sendiri.

Kacung Marijann (2010)  dalam bukunya Sistem Politik Indonesia juga menjelaskan
bahwa ototnomi daerah sekaligus merupakan upaya pelaksanaan system desentralisasi
politik, dimana telah terjadi perubahan relasi antara pemerintahan pusat dan daerah. JIka
sebelumnya, kewenangan terpusat di pusat datau desenttralisasi kekuasaan dan
kewenangan, dalam system otonomi daerah kemudian, urusan pemerintah di transfer ke
daerah. Tambahan lagi, relasi antar lembaga eksekutif dan legislative di daerah pun
berubah. Saat ini lembaga DPRD dan bupati atau gubernur dalam posisi yang sejajar.
Kedua lembaga ini, saat ini dijuluki sebagai “unsure pimpinan daerah”. Hak dan
kewenangan DPRD dalam otonomi daerah menjadi diperbesar. Dalam konteks inilah
DPRD tidak lagi menjadi subordinasi dari eksekutif atau sebaliknya didaerah-daerah.

Reformasi terhadap hak dan kewajiban dua lembaga dalam sistem pemerintahan daerah
ini menjadi semacam harapan baik bagi bangunan sistem politik yang demokratis. Lebih
dari itu, sistem politik local di daerah pun akan mengalami perubahan dan perbaikan ke
arah yang lebih baik.

17
BAB 3
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan yang dapat kami ambil adalah sebagai berikut:
1) Hakikat otonomi daerah adalah mengembangkan daerah-daerah Indonesia yang
mandiri, memberikan keleluasaan bagi terkuaknya potensi-potensi terbaik yang
dimiliki oleh setiap daerah secara optimal.

18
2) Secara akademik konsep dan urgensi pemberian otonomi kepada daerah didasarkan
pada berbagai faktor, baik bersifat instrumental maupun environmental yang
mempengaruhi pelaksaan otonomi daerah.
3) Kelebihan Otoda diantaranya prioritas pembangunan, pembangunan daerah lebih
maju, mengatur pengelolaan sendiri, kerjasama lebih terjalin, dan mudah
menyesuaikan kebutuhan. Sedangkan kekurangannya adalah prtentangan peraturan,
pengawasan yang lemah, kesenjangan antar daerah, dan rentan korupsi, kolusi, dan
nepotisme.
4) Otonomi daerah mempunyai sejarah yang terbagi menjadi fase sebelum merdeka dan
sesudah merdeka
5) Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan
yang luas, nyata, dan bertanggung jawab Kepada Daerah secara proporsional yang
diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional
yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah.
6) Pembagian Daerah di luar Daerah Propinsi dibagi habis ke dalam Daerah Otonom.
Dengan demikian, Wilayah Administrasi yang berada dalam Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota dapat dijadikan Daerah Otonom atau dihapus.

7) Reformasi terhadap hak dan kewajiban dua lembaga dalam sistem pemerintahan
daerah ini menjadi semacam harapan baik bagi bangunan sistem politik yang
demokratis. Lebih dari itu, sistem politik local di daerah pun akan mengalami
perubahan dan perbaikan ke arah yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

https://bengkulu.kemenag.go.id/opini/315-demokratisasi-politik-lokal-dalam-perspektif-
otonomi-daerah

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.dpr.go.id/dokjdih/
document/uu/UU_1999_22.pdf&ved=2ahUKEwjf-

19
KKlhrrxAhVCQH0KHaMLArUQFjACegQIBRAC&usg=AOvVaw3wprG5sWr_-
G39ih5ZX0GX

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://scholar.unand.ac.id/
33742/2/BAB
%2520I.pdf&ved=2ahUKEwi6q6bSprnxAhVBT30KHVsODrwQFjACegQIDRAC&us
g=AOvVaw2B2VETwpkIpZTdu8bzjynC&cshid=1624848644570

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://cerdika.com/kelebihan-
dan-kekurangan-otonomi-daerah/
%3Famp&ved=2ahUKEwjMsMrOq7nxAhVjlOYKHWNvDPsQFjACegQIBBAG&usg
=AOvVaw3X_ke32_vpHwXCqNbMugUu&ampcf=1

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://
trimongalah.wordpress.com/2018/05/28/sejarah-otonomi-daerah-di-indonesia/amp/
&ved=2ahUKEwiQmNOjrrnxAhWI7HMBHbp2CUEQFjABegQIBBAG&usg=AOvVa
w0WMV2JO-FMrxfGAhBjiyNb&ampcf=1

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://file.upi.edu/Direktori/FIP/
JUR._ADMINISTRASI_PENDIDIKAN/196210011991021-
YOYON_BAHTIAR_IRIANTO/
Konsep_Desentralisasi.pdf&ved=2ahUKEwiH9MWhs7nxAhWf8XMBHStwDfEQFjA
BegQIBBAG&usg=AOvVaw0ZYYKbg1RZUyAen6CiXLVT&cshid=1624851967642

20

Anda mungkin juga menyukai