Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen Pengampu:
Disusun oleh:
Kelompok 10
KELAS AKS 2D
JUNI 2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Otonomi Daerah
dan Perkembangannya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dosen pada mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang ilmu kewarganegaraan bagi para pembaca
dan juga bagi penulis. Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Syamsul Umam,
SHI, MH. selaku dosen mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai
dengan mata kuliah yang sedang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi
Sebagian pengetahuannyasehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami
menyadari bahwa makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangunkan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.
Kelompok 10
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 LatarBelakang...............................................................................................1
1.3 Tujuan...........................................................................................................2
BAB 2 PEMBAHASAN........................................................................................3
BAB 3 PENUTUP..............................................................................................19
3.1 KESIMPULAN.............................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................20
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dipaparkan beberapa rumusan masalah yang berkaitan
dengan permasalahan yang ada dalam makalah ini sebagai berikut:
1.3 Tujuan
2
BAB 2
PEMBAHASAN
Dalam penerapan asas desentralisasi terdapat konsekuensi logis yang mana menuntut
pemerintah daerah untuk siap menata keseluruhan perangkat organisasi daerah, serta
kemampuan untuk menyesuaikan terhadap perubahan lingkungan eksternal agar mampu
melaksanakan amanat yang diberikan rakyat. Tuntutan tersebut dihadapi oleh setiap
pemerintah daerah, terutama di tingkat kabupaten yang merupakan ujung tombak
pelaksanaan asas desentralisasi daerah otonom yang mandiri dan memiliki kewenangan
dalam mengatur daerah masing-masing. Di pihak lain, daerah baik masyarakat maupun
pemerintahnya harus benar-benar mempersiapkan diri agar mampu melaksanakan tugas,
hak dan kewajibannya tersebut dengan baik, sehingga pembangunan daerah dapat
dilaksanakan secara mandiri dengan menggali potensi-potensi yang dimiliki secara
optimal dengan tanpa mengabaikan kepentingan nasional
3
Tujuan utama dari kebijakan desentralisasi adalah untuk membebaskan pemerintah
pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga
pemerintah pusat berkesempatan mempelajari, memahami, dan merespon berbagai
kecenderungan global dan mengambil manfaat darinya, artinya pemerintah pusat
diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang
bersifat strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi kewenangan pemerintahan ke
daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan, kemampuan
prakarsa dan kreatifitas mereka akan terpacu sehingga kapabilitasnya dalam menghadapi
berbagai masalah domestik akan semakin kuat.
Secara akademik konsep dan urgensi pemberian otonomi kepada daerah didasarkan
pada berbagai faktor, baik bersifat instrumental maupun environmental yang
mempengaruhi pelaksaan otonomi daerah menurut UU.No.22 Tahun 1999 jo UU.No.5
Tahun 1974.
4
Sedangkan faktor instrumental dalam terminologi Ilmu Kebijakan diwujudkan dalam
bentuk perundang-undangan yang menyangkut falsafah dan dasar negara, Tap MPR,
wawasan nusantara, ketahanan nasional, perundangan-undangan tentang otonomi daerah
dan peraturan pelaksanaannya. Dan faktor lingkungan berkenaan dengan infra struktur
politik, implementasi kebijakan hubungan pusat dengan daerah, hubungan antar
organisasi pemerintah, kemampuan keuangan daerah, peranan subsidi pemerintah,
karakteristik pemerintah, dan potensi ekonomi daerah.
-KELEBIHAN:
1. Prioritas Pembangunan
Memasuki bagian kelebihan yang pertama dari otonomi daerah adalah masalah prioritas
di dalam pembangunan sehingga lebih tepat sasaran.Karena apabila diatur oleh
pemerintah pusat, dikhawatirkan akan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat,
aspirasi yang diinginkan dan juga kebutuhan masyarakat itu sendiri.Dengan adanya
otonomi daerah juga pemerintah pusat bebas mengatur dan menyesuaikan pembangunan
berdasarkan kondisi daerahnya.
Hal ini terjadi karena adanya peningkatan pelayanan dan juga kesejahteraan sehingga
pembangunan daerah yang terkait akan lebih maju.Peningkatan pembangunan yang lebih
tetap sasaran mengakibatkan pelayanan dan kesejahteraan.
5
berbeda, pengeluaran dan penerimaan dalam pembiayaan harus dikelola sendiri.Hal ini
juga memberikan keuntungan tersendiri buat wilayah tersebut.
Secara tidak langsung juga akan nada kerja sama yang terjalin antara pemerintah dan
juga rakyat. Dengan begitu pun akan mudah mengatur sebagai masalah dan problematika
yang dialami oleh daerah tersebut, sehingga masalah di wilayah kamu bisa teratasi.
Pemerintah daerah lebih mudah menyesuaikan diri pada kebutuhan khusus daerah
dengan adanya otonomi daerah.
-KEKURANGAN
1. Pertentangan Peraturan
Dengan otonomi daerah yang sudah ditetapkan pada beberapa wilayah juga bisa terjadi
pertentangan. Tapi, walaupun begitu selama peraturan yang ada saling melengkapi, tidak
akan menimbulkan masalah.
Pengawasan menjadi lemah dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Sehingga bisa
dibilang akan memungkinkan muncul adanya penguasa – penguasa di daerah tersebut
yang semena – mena. Untuk mencegah hal ini terjadi perlu adanya peran aktif bagi
masyarakat untuk mengawasi hal – hal yang sekiranya dapat memberikan kerugian
semacam ini.
Karena tidak semua wilayah memiliki sumber daya yang banyak dan juga potensi yang
dimiliki dibanding wilayah lain. Bisa juga wilayah tersebut memiliki tenaga sumber daya
yang banyak tetapi masih kurang baik dalam pengelolaannya. Sehingga hasil yang di
dapat tidak sesuai harapan dan terbilang jauh dari sasaran. Dalam hal ini, banyak upaya
6
yang dilakukan oleh kementerian untuk mengatasinya. Salah satu yang dilakukan adalah
dengan melakukan pembangunan Infrastruktur Berbasis Masyarakat (IBM).
Korupsi dana di daerah paling banyak dilakukan dalam bentuk kolusi dan nepotisme.
Dimana adanya bentuk yang tidak profesional dalam menjalankan pekerjaan. Tanpa
melalui proses seharusnya banyak yang bisa dilakukan setiap proyek pembangunan yang
diserahkan kepada perusahaan. Salah satu hal utama yang bisa dilakukan untuk
mencegah hal ini terjadi adalah dengan mendorong faktor – faktor internal yang dimiliki
setiap orang. Dan perlu adanya sistem akuntabilitas yang memadai di setiap organisasi
yang dijalankan.
Pendekatan historis ini akan memberikan titik tolak dalam menganalisa perkembangan
otonomi di Indonesia Pendekatan sejarah dimaksudkan untuk menunjukkan sekuen
perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Ada
dua tahap utama perubahan sistem pemerintahan daerah di Indonesia yaitu sistem
pemerintahan daerah sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan
Pemerintah Daerah yang bersifat relatif otonom pertama kali didirikan oleh Pemerintah
Kolonial Belanda pada awal abad ke 20 melalui Desentralisasi Wet 1903. Undang-
undang ini dimaksudkan hanya mencakup wilayah Jawa dan Madura saja. Sebelum tahun
1903, seluruh wilayah Indonesia diperintah secara sentral dibawah Gubernur Jenderal
sebagai Wakil Raja Belanda ditanah jajahan. Disamping pemerintahan yang dijalankan
oleh pihak kolonial Belanda, terdapat juga daerah-daerah yang disebut ‘Swapraja’ yang
diperintah oleh raja-raja pribumi setempat. Raja-raja tersebut diakui haknya untuk
memerintah di wilayahnya asalkan mereka mengakui dan tunduk kepada kekuasaan
Pemerintah kolonial atas wilayah mereka. Raja-raja tersebut diberi kewenangan untuk
memerintah wilayahnya menurut adat dan tradisi daerah yang bersangkutan, sepanjang
mereka tunduk kepada pemerintah Kolonial Belanda. Raja-Raja tersebut memerintah
7
wilayahnya berdasarkan kontrak politik yang ditanda tangani dengan Belanda dan
diberikan tugas untuk menjalankan beberapa tugas pusat atas nama pemerintah kolonial.
Beberapa diantara kerajaan tersebut adalah Yogyakarta, Surakarta, Deli, Bone dal lain-
lainnya.
8
Deskripsi sistem pemerintahan daerah di Indonesia pasca proklamasi ditandai dengan
diberlakukannya berbagai perundang-undangan tentang pemerintahan daerah. Setiap
Undang-Undang yang diberlakukan akan menandai terjadinya perubahan dalam sistem
pemerintahan daerah dan ini sangat erat kaitannya dengan situasi politik nasional. Pada
dasarnya terdapat lima kali perubahan yang bersifat pokok terhadap sistem pemerintahan
daerah pasca kemerdekaan. Setiap perubahan sistem tersebut dituangkan dalam Undang-
Undang tentang Pemerintahan Daerah yang memuat pengaturan yag berbeda satu sama
lainnya. Adapun sekuen perubahan tersebut adalah sebagaimana terurai berikut ini.
9
Pemerintah untuk mengangkat orang-orang, yang umumnya diambil dari Pamong Praja
untuk menjadi Kepala Daerah. Melalui klausul tersebut pemerintah sering menempatkan
para calon yang dikehendaki tanpa harus mendapatkan persetujuan DPRD.
10
bertindak selaku ketua DPD, namun kekuasaan tertinggi d daerah terletak ditangan
DPRD. DPRD membuat kebijakan daerah dan DPD bertugas untuk melaksanakannya.
Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959 Pada tanggal 16 Nopember 1959,
sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden, Pemerintah mengeluarkan Penpres 6/1959
untuk mengatur Pemerintahan Daerah agar sejalan dengan UUD 1945. Dalam Penpres
tersebut diatur bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. Kepala
Daerah mengemban dua fungsi yaitu sebagai eksekutip daerah dan wakil Pusat di daerah.
Kepala Daerah juga bertindak selaku Ketua DPRD. Sebagai eksekutip daerah ia
bertanggung jawab kepada DPRD, namun tidak bisa dipecat oleh DPRD. Sedangkan
sebagai wakil Pusat dia bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat.
Pada pertengahan dekade 1960an telah timbul tntutan yang semakin kuat untuk
merevisi sistem Pemerintahan Daerah agar sejalan dengan semangat Demokrasi
Terpimpin dan Nasakom yaitu konsep politik yang dikeluarkan oleh Presiden Sukarno
untuk mengakomodasikan tiga kekuatan politik terbesar pada waktu itu yaitu kelompok
partai Nasionalis, Agama dan Komunis. Berdasarkan UU 18/1965, Kepala Daerah tetap
memegang peran ganda yaitu sebagai pimpinan daerah dan wakil Pusat di daerah.
Meskipun prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi dianut dalam sistem tersebut, namun
Dekonsentrasi hanyalah dianggap sebagai pelengkap (supplement) saja walaupun diberi
embel-embel vital. UU 18/1965 merupakan arus balik dari kecenderungan sentralisasi
menuju ke desentralisasi. Hal ini nampak dari kebebasan yang diberikan kepada Kepala
Daerah dan BPH untuk menjadi anggota partai politik tertentu. Dengan demikian
kesetiaan atau loyalitas dari para eksekutip daerah tidak lagi semata-mata hanya kepada
Pemerintah Pusat.
Keadaan politik secara nasional pada waktu itu menunjukkan bahwa partai-partai
politik mendapatkan kekuasaannya kembali setelah hampir bangkrut pada akhir tahun
1950an. Partai Politik berusaha memperoleh akses ke kelompok eksekutif daerah melalui
adanya ketentuan yang membolehkan para eksekutip tersebut untuk menjadi anggota
partai. Telah terjadi tuntutan yang kuat untuk memberikan otonomi yang seluas-luasnya
kepada Daerah dan tuntutan pendirian Daerah Otonomi Tingkat III yang berbasis pada
Kecamatan. Kondisi tersebut akan memungkinkan Parpol untuk mendapatkan dukungan
politis dari grass-roots dimana sebagian terbesar dari masyarakat bertempat tinggal.
11
Dua hal pokok dapat ditarik dari pemahaman sistem pemerintahan daerah berdasarkan
pendekatan historis. Pertama, pada masa sebelum kemerdekaan, basis pemerintahan
daerah yang relatif modern dibentuk oleh Pemerintah Kolonial Belanda, namun karakter
pemerintahan daerah tersebut lebih menekankan pada penerapan konsep dekonsentrasi
dibandingkan desentralisasi. Walaupun kemudian diperkenalkan adanya Dewan Daerah
yang anggota-anggotanya diangkat dari tokoh-tokoh masyarakat dan golongan
berpendidikan, namun konsep pemilihan belum diadakan. Ini berarti Pemerintah
Kolonial Belanda lebih menekankan pada tujuan efisiensi dibandingkan pada tujuan
politis dengan menjadikan pemerintah daerah sebagai wahana pendidikan politik
masyarakat. Pada sisi berikutnya, ketika tentara pendudukan Jepang berkuasa, mereka
secara prinsip tidak mengadakan perubahan sistem yang mendasar, namun lebih bersifat
mneruskan sistem yang diwariskan oleh pihak belanda.
Ciri penting mengenai otonomi daerah sejak kemerdekaan 1945 adalah adanya
perubahan titik berat kebijaksanaan pada desentralisasi dan dekonsentrasi. Perubahan
titik berat ini tidak terlepas dari perubahan politik nasional yang terjadi. Setelah
12
terjadinya G.30.S PKI, pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam pengaturan
penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkannya UU.5/1974.
Tiga prinsip utama yang mendasari UU.5/1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan
tugas perbantuan (medebewind). Isu pembangunan menjadi isu sentral dibandingkan isu
politik. Terasa seolah-olah telah terjadi proses depolitisasi Pemda dengan
menggantikannya dengan isu pembangunan.
Dari pendekatan historis ini isu sentral yang dapat ditarik adalah bagaimana pemerintah
pusat selalu berusaha memegang kendali/ kontrol terhadap daerah. Dalam banyak hal,
pemerintah pusat berusaha mengontrol daerah melalui figur Kepala Daerah yang
didudukkan sebagai alat pusat dan alat daerah. Untuk memenangkan kesetiaan Kepala
Daerah kepada pusat dalam menjalankan dual roles nya, pusat seringkali sangat dominan
dalam penentuan/ pengangkatan Kepala Daerah. Kuatnya bargaining position pusat
dalam penentuan Kepala Daerah ini telah mendorong loyalitas Kepala Daerah yang lebih
tinggi kepada pusat dibandingkan kepada daerah. Aspek positip dari kebijaksanaan ini
adalah adanya kepastian bahwa program2 ataupun arahan pusat akan terlaksana secara
aman di daerah. Pada tahap2 awal kemerdekaan pendekatan ini sangat berguna untuk
menggalang persatuan dan kesatuan bangsa yang masih sangat rawan pada waktu itu
(tujuan integratif). Aspek negatipnya (terutama setelah tujuan integratif tercapai) adalah
pada diri Kepala Daerah sendiri, yang akan sering dihadapkan pada suatu dilemma
manakala dihadapkan pada situasi harus memilih antara kepentingan pusat dan daerah.
Ke-Pusat dia dituntut akan loyalitas, ke daerah dia dihadapkan pada akauntabilitas.
14
atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan
industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan
perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan semacamnya berlaku Ketentuan peraturan
Daerah Otonom.
(6) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan
legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi
anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
(7) Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam kedudukannya
sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertetu
yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pernerintah.
(8) Pelaksanaan asas tugas pcmbantuan dimungkinkan, tidak hanya.dari Pemerintah kepada
Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah Kepada Desa yang disertai dengan
pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban
melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Pembagian Daerah di luar Daerah Propinsi dibagi habis ke dalam Daerah Otonom.
Dengan demikian, Wilayah Administrasi yang berada dalam Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota dapat dijadikan Daerah Otonom atau dihapus. Kecamatan yang menurut
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 sebagai Wilayah Administrasi dalam rangka
dekonsentrasi, menurut undang-undang ini kedudukannya diubah menjadi perangkat
Daerah Kabupaten atau Daerah Kota. Prinsip Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
15
b. penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat yang dilaksanakan di Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota; dan
Susunan Pemerintahan Daerah Otonom meliputi DPRD dan Pemerintah Daerah. DPRD
dipisahkan dari Pemerintah Daerah dengan maksud untuk lebih memberdayakan DPRD
dan meningkatkan pertanggungjawaban Pemerintah Daerah kepada rakyat. Oleh karena
itu, hak-hak DPRD cukup luas dan diarahkan untuk menyerap serta menyalurkan aspirasi
masyarakat menjadi kcbijakan Daerah dan melakukan fungsi pengawasan.
Upaya untuk mewujudkan system pemerintahan yang demokratis dan tidak nsentralistik
serta otoritarian telah diterapkan dengan konsep otonomi daerah yanhg diterapkan sejak
tahun 1999. Dari sisi manajemen pemerintahan, penerapan desentralisasi dan otonomi
daerah merupakan instrument utama untuk mencapai suatu Negara yang mampu
menghadapi kondisi sentralisme dan tidak efektifnya pemerintahan. Di samping itu,
penerapan desentralisasi kewenangan dan otonomi daerah juga merupakan prasyarat
dalam rangka mewujudkan demokrasi dan pemerintahan yang menjunjung tinggi
kedaulatan rakyat. Namun dalam pelaksanaannya selama ini, kebijakan otonomi daerah
masih menghadapi beberapa kelemahan seperti : otonomi daerah hanya dipahami sebagai
kebijakan yang bersifat institusional belaka, perhatian dalam otonomi daerah hanya pada
masalah pengalihan kewenangan dari pusat ke daerah, tetapi mengabaikan esensi dan
tujuan kebijakan tersebut, otonomi daerah tidak dibarengi dengan peningkatan
kemandirian dan prakarsa masyarakat di daerah sesuai tuntutan alam demokrasi.
Sementara itu, berkembangnya sistem kepartaian dalam pemilihan umu baik di tingkat
pusat maupun daerah telah mengubah karakteristik dan kondisi demokratisasi di
Indonesia selama ini. Pemilihan umum yang langsung dilakukan oleh rakyat, sebenarnya
merupakan upaya pemerintah untuk mewujudkan system politik yang demokratis, tetapi
pada kenyataannya, rakyat hanya menjadi bagian pasif dari pesta demokrasi tadi. Di
16
daerah apalagi, harapan bahwa pemilu dan pemilihan pemimpin daerah adalah orang-
orang yang dekat dengan rakyat, pada praktisnya rakyat tidak kenal dan tidak tahu calon
pemimpon dan bahkan pemimpin daerah mereka sendiri. Elit-elit politik yang telah
berkuasa melebar sayapnya dengan merekrut keluarga dan sanak saudaranya menjadi
pemimpin daerah dan “membiayai” partai-partai politik pendukungnya. Mereka adalah
pemain-pemain lama di daerah, atau orang-orang yang selama ini berada di Jakarta dan
yang selama ini tidak turut memebesarkan daerah, tiba-tiba atas nama “ putra daerah “,
mereka pulang dan menjajal kekuatannya untuk menjadi pemimpin daerah. Akibatnya,
para putra daerah yang berfrofesi sebagai pemain sinetron dan telah lama menetap di
Jakarta pun menjadi bupati atau gubernur daerah yang sama sekali tidak dikuasainya.
Kacung Marijann (2010) dalam bukunya Sistem Politik Indonesia juga menjelaskan
bahwa ototnomi daerah sekaligus merupakan upaya pelaksanaan system desentralisasi
politik, dimana telah terjadi perubahan relasi antara pemerintahan pusat dan daerah. JIka
sebelumnya, kewenangan terpusat di pusat datau desenttralisasi kekuasaan dan
kewenangan, dalam system otonomi daerah kemudian, urusan pemerintah di transfer ke
daerah. Tambahan lagi, relasi antar lembaga eksekutif dan legislative di daerah pun
berubah. Saat ini lembaga DPRD dan bupati atau gubernur dalam posisi yang sejajar.
Kedua lembaga ini, saat ini dijuluki sebagai “unsure pimpinan daerah”. Hak dan
kewenangan DPRD dalam otonomi daerah menjadi diperbesar. Dalam konteks inilah
DPRD tidak lagi menjadi subordinasi dari eksekutif atau sebaliknya didaerah-daerah.
Reformasi terhadap hak dan kewajiban dua lembaga dalam sistem pemerintahan daerah
ini menjadi semacam harapan baik bagi bangunan sistem politik yang demokratis. Lebih
dari itu, sistem politik local di daerah pun akan mengalami perubahan dan perbaikan ke
arah yang lebih baik.
17
BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan yang dapat kami ambil adalah sebagai berikut:
1) Hakikat otonomi daerah adalah mengembangkan daerah-daerah Indonesia yang
mandiri, memberikan keleluasaan bagi terkuaknya potensi-potensi terbaik yang
dimiliki oleh setiap daerah secara optimal.
18
2) Secara akademik konsep dan urgensi pemberian otonomi kepada daerah didasarkan
pada berbagai faktor, baik bersifat instrumental maupun environmental yang
mempengaruhi pelaksaan otonomi daerah.
3) Kelebihan Otoda diantaranya prioritas pembangunan, pembangunan daerah lebih
maju, mengatur pengelolaan sendiri, kerjasama lebih terjalin, dan mudah
menyesuaikan kebutuhan. Sedangkan kekurangannya adalah prtentangan peraturan,
pengawasan yang lemah, kesenjangan antar daerah, dan rentan korupsi, kolusi, dan
nepotisme.
4) Otonomi daerah mempunyai sejarah yang terbagi menjadi fase sebelum merdeka dan
sesudah merdeka
5) Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan
yang luas, nyata, dan bertanggung jawab Kepada Daerah secara proporsional yang
diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional
yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah.
6) Pembagian Daerah di luar Daerah Propinsi dibagi habis ke dalam Daerah Otonom.
Dengan demikian, Wilayah Administrasi yang berada dalam Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota dapat dijadikan Daerah Otonom atau dihapus.
7) Reformasi terhadap hak dan kewajiban dua lembaga dalam sistem pemerintahan
daerah ini menjadi semacam harapan baik bagi bangunan sistem politik yang
demokratis. Lebih dari itu, sistem politik local di daerah pun akan mengalami
perubahan dan perbaikan ke arah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
https://bengkulu.kemenag.go.id/opini/315-demokratisasi-politik-lokal-dalam-perspektif-
otonomi-daerah
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.dpr.go.id/dokjdih/
document/uu/UU_1999_22.pdf&ved=2ahUKEwjf-
19
KKlhrrxAhVCQH0KHaMLArUQFjACegQIBRAC&usg=AOvVaw3wprG5sWr_-
G39ih5ZX0GX
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://scholar.unand.ac.id/
33742/2/BAB
%2520I.pdf&ved=2ahUKEwi6q6bSprnxAhVBT30KHVsODrwQFjACegQIDRAC&us
g=AOvVaw2B2VETwpkIpZTdu8bzjynC&cshid=1624848644570
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://cerdika.com/kelebihan-
dan-kekurangan-otonomi-daerah/
%3Famp&ved=2ahUKEwjMsMrOq7nxAhVjlOYKHWNvDPsQFjACegQIBBAG&usg
=AOvVaw3X_ke32_vpHwXCqNbMugUu&cf=1
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://
trimongalah.wordpress.com/2018/05/28/sejarah-otonomi-daerah-di-indonesia/amp/
&ved=2ahUKEwiQmNOjrrnxAhWI7HMBHbp2CUEQFjABegQIBBAG&usg=AOvVa
w0WMV2JO-FMrxfGAhBjiyNb&cf=1
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://file.upi.edu/Direktori/FIP/
JUR._ADMINISTRASI_PENDIDIKAN/196210011991021-
YOYON_BAHTIAR_IRIANTO/
Konsep_Desentralisasi.pdf&ved=2ahUKEwiH9MWhs7nxAhWf8XMBHStwDfEQFjA
BegQIBBAG&usg=AOvVaw0ZYYKbg1RZUyAen6CiXLVT&cshid=1624851967642
20