PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan penjabaran fakta dariWorld Bank, Indonesia termasuk sebagai negara
yang melaksanakan dentuman besar desentralisasi dan dekonsentrasi(Big Bang
Decentralization), bersama tiga negara lainnya yaitu Filipina, Pakistan dan Ethiopia.
Khusus di Indonesia sendiri saat ini telah melakukan perubahan besar dalam pola
pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.Dari
segi historis, munculnya otonomi daerah merupakan bentuk respon “Veta comply” terhadap
sentralisasi yang sangat kuat di masa orde baru. Telah berpuluh puluh tahun lamanya sistem
sentralisasi pada era orde baru tidak membawa perubahan yang cukup signifikan dalam
pengembangan kreatifitas daerah, baik pemerintah maupun masyarakat daerah.
Pada hakikatnya, pelaksanaan konsep desentralisasi dan dekonsentrasi dalam otonomi
daerahtelah berlangsung cukup lama bahkan sejak sebelum kemerdekaan itu diproklamirkan,
dan mencapai puncaknya pada era reformasi dengan diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang “Pemerintahan Daerah” dan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1999 tentang “Perimbangan Keuangan” yang kemudian direvisi masing-masing
menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004.
Kemudian jika ditinjau dari perspektif konstitusional, Indonesia merupakan negara
unitaris yang terdesentralisasi. Hal tersebut dapat tercermin pada Pasal 1 ayat (1) UUD 1945
yang menyatakan bahwa “ Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk
Republik”.Selanjutnya pada Pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (6) mempertegas
bahwa Indonesia adalah negara yang mengamalkan konsep otonomi daerah dalam
pelaksanaan pemerintahannya.Pada tataran konstitusi, sebenarnya sebagian besar bangsa
Indonesia sudah tidak lagi mempermasalahkan bentuk negara tersebut, meskipun masih
terdapat gerakan-gerakan yangingin mengubahnya menjadi negara federalis. Maka dari itu,
sebenarnya yang menjadi permasalahan utamaakhir akhir ini terdapat pada proses
implementasi dari konstitusi dan undang-undang itu sendiri.
Salah satu contohnya adalah penerapan hukum positif yang berlaku saat ini yaitu UU
Nomor 32 Tahun 2004 , faktanya dalam menjalankan aktivitas pemerintahan sehari-
hari masih banyak pejabat yang tidak mengenal dan menggunakan paradigma yang
berlaku di dalam UU ini. Sebagai contoh, masih banyak pemerintah kabupaten yang
membuat peraturan daerah tentang pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan
desa,yang isinya menyatakan bahwa kepala desa bertanggung jawab kepada bupati.
Padahal sebenarnya UU Nomor 32 Tahun 2004 maupun PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang
Desa tidak menyatakan demikian.
B. Rumusan Masalah
a. Apakah yang dimaksud dengan desentralisasi dan dekonsentrasi?
b. Bagaimana administrasi pemerntahan Indonesia?
c. Apakah yang dimaksud dengan Otonomi Daerah?
d. Bagaimana sejarah desentralisasi di Indonesia?
e. Bagaimana hubungan desentralisasi dan dekonsentrasi terhadap pelaksanaan otonomi
daerah di Indonesia?
f. Apakah solusi yang tepat untuk memperbaiki sistem Otonomi Daerah yang sudah ada?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan umum dari penulisan makalah ini agar penulis lebih mengetahui secara
mendalam bahwa Desentralisasi dan Dekonsentrasi memiliki peranan penting dalam
pelaksanaan Otonomi daerah di Indonesia dalam upaya menciptakan dan meningkatkan
pembangunan suatu Bangsa.
Adapun tujuan khusus disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari
dosen mata kuliah Hukum Administrasi Negara, sebagai salah satu prasyarat kelulusan dan
juga “karcis utama” untuk mengikuti Ujian Akhir Semester.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
1. Pengertian dan Teori Desentralisasi
Desentralisasi saat ini telah menjadi asas penyelenggaraan pemerintahan yang
diterima secara universal di setiap Negara, dengan berbagai macam bentuk penerapan dan
permasalahannya.Hal ini sesuai dengan fakta di lapangan bahwa tidak semua urusan
pemerintahan dapat diselenggarakan secara monopoli oleh sentralisasi, hal ini mengingat
kondisi geografis, kompleksitas perkembangan masyarakat, kemajemukan struktur sosial dan
budaya lokal serta adanya tuntutan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Definisi tentang desentralisasi sendiritelah ditulis oleh para ahli yang jumlahnya
sangatbanyak. Menurut Devas (1997), pengertian dan penafsiran terhadap desentralisasi
ternyata sangat beragam dikarenakan perbedaan latar belakang politik, pengalamandan
pengaruh bentuk negara di mana masing masing mereka tinggal dan berkembang, serta
pendekatan terhadap desentralisasipun juga sangat bervariasi dari negara yang satu ke negara
yang lain.
Pendapat Ahli beberapa diantaranya yaitu, Soenobo Wirjosoegito yang memberikan
definisi Desentralisasi sebagai penyerahan wewenang oleh badan-badan umum yang lebih
tinggi kepada badan-badan umum yang lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan
pertimbangan kepentingan sendiri mengambil keputusan pengaturan dan pemerintahan, serta
struktur wewenang yang terjadi dari itu
Soejito (1990) menjelaskan bahwa desentralisasi sebagai suatu sistem dipakai dalam
bidang pemerintahan merupakan kebalikan dari sentralisasi , dimana sebagian kewenangan
pemerintah pusat dilimpahkan kepada pihak lain untuk dilaksanakan.
Pendapat Bank Dunia (1999) menjelaskan bahwa desentralisasi merupakan alat
mencapai tujuan pemberian pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses
pengambilan keputusan yang lebih demokratis.
Dari pengertian diatas, maka secara umum dapat dijelaskan bahwaDesentralisasi
mengandung beberapa hal yaitu :
a.Adanya pelimpahan wewenang dan urusan dari Pemerintah pusat.
b. Adanya Daerah-Daerah yang menerima pelimpahan wewenang dari penyerahan urusan.
c. Daerah-Daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban untuk mengurus dan mengatur
rumah tangganya sendiri.
d. Kewenangan dari urusan yang dilimpahkan adalah kewenangan dari urusan rumah tangga
Daerah yang bersangkutan.
Agar diperoleh pandangan yang kontekstual dan holistik,didalam menjelaskan
definisi desentralisasi, tim penulis selain mengambil dari beberapa pendapat para ahli ,juga
mengemukakan definisi menurut undang-undang yang saat ini digunakan di Indonesia
yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004. Jika ditinjau dari sudut formal, menurut pasal 1 ayat (7) UU
Nomor 32 Tahun 2004, diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
a. Manfaat Desentralisasi
Para pakar-pakar menyimpulkan bahwa melalui desentralisasi tugas-tugas
pemerintahan dan pembangunan akan dapat memperoleh manfaat sebagai berikut :
1. Efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas pemerintahan.
a. Efisiensi
Melalui desentralisasi, kesejahteraan masyarakat di daerah diharapkanakan lebih
cepat terwujud karena pemerintah daerah akan lebih cepat dan fleksibel untuk bertindak atas
respon perubahan lingkungan dan kebutuhan masyarakat di daerah. Desentralisasi juga lebih
melibatkan partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan ketimbang menunggu keputusan
dari pemerintah pusat sehingga kehidupan demokrasi lebih terwujud, lebih memberi ruang
untuk berkreasi dan berinovasi, dan menghasilkan semangat kerja, komitmen dan
produktivitas yang lebih tinggi
b. Efektivitas
Dengan desentralisasi, ujung tombak pemerintahan yaitu aparat didaerah akan lebih
cepat mengetahui situasi dan masalah sehingga dapat mencarikan jawaban bagi pemecahan
masalah yang ada. Hal ini artinya harus dibarengi dengan penerapan manajemen partisipasi,
yaitu selalu melibatkan aparat tersebut dalam pemecahan masalah.
2. Memungkinkan melakukan inovasi
Dengan diberikannya kepercayaan kepada pemerintah daerah untuk mengurus rumah
tangganya sendiri, secara tidak langsung akan mendorong mereka untuk menggali potensi-
potensi baru yang dapat mendukung pelaksanaan urusan pemerintahan dan pembangunan
sehari-hari terutama dari sisi ekonomi serta penciptaaniklim pelayanan publik yang dapat
memuaskan masyarakat sebagai pembayar pajak atas jasa pelayanan yang disediakan oleh
pemerintah daerah.
3. Meningkatkan motivasi moral, komitmen dan produktivitas.
Melalui desentralisasi, aparat pemerintah daerah diharapkan akan meningkatkan
kesadaran moral untuk memelihara kepercayaan yang diberikan oleh pemerintah pusat,
kemudian akan timbul suatu komitmen dalam diri mereka bagaimana melaksanakan urusan-
urusan yang telah dipercayakan kepada mereka, serta bagaimana menunjukan hasil-hasil
pelaksanaan urusan melalui tingkat produktivitas yang mereka miliki.
b. Tujuan Desentralisasi
Terdapat 3 (tiga) tujuan desentralisasi , yaitu yang pertamatujuan politik, untuk
menciptakan suprastruktur dan infrastruktur politik yang demokratis dan berbasis pada
kedaulatan rakyat. Hal ini diwujudkan dalam bentuk pemilihan kepala daerah, dan legislatif
secara langsung oleh rakyat.
Selanjutnya yaitu tujuan administrasi, agar pemerintahan daerah yang dipimpin oleh
kepala daerah dan bermitra dengan DPRD dapat menjalankan fungsinya untuk
memaksimalkan nilai 4E yakni efektifitas, efisiensi, equity (kesetaraan), dan ekonomi.
c. Kategori Desentralisasi
a) Desentralisasi politik, digunakan oleh pakar ilmu politik yang menaruh perhatian
besar di bidang demokratisasi dan masyarakat sipil untuk mengidentifikasi transfer
kewenangan pengambilan keputusan kepada unit pemerintahan yang lebih rendah
atau kepada masyarakat atau kepada lembaga perwakilan rakyat.
b) Dengan demikian desentralisasi politik juga melimpahkan kewenangan pengambilan
keputusan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah, agar mendorong
masyarakat dan perwakilan mereka untuk berpartisipasi di dalam proses pengambilan
keputusan. Dalam suatu struktur desentralisasi, pemerintah tingkat bawahan
merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan secara independen,
tanpa intervensi dan tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi.
c) Desentralisasi politik bertujuan memberikan kekuasaan yang lebih besar dalam
pengambilan keputusan kepada masyarakat melalui perwakilan yang dipilih oleh
masyarakat sehingga dengan demikian masyarakat dapat terlibat dalam penyusunan
dan implementasi kebijakan.Biasanya desentralisasi dalam bidang politik merupakan
bagian dan upaya demokratisasi sistem pemerintahan.
d) Desentralisasi pasar, umumnya digunakan oleh para ekonom untuk menganalisis dan
melakukan promosi barang dan jasa yang diproduksi melalui mekanisme pasar yang
sensitif terhadap keinginan dan melalui desentralisasi pasar barang-barang dan
pelayanan publik diproduksi oleh perusahaan kecil dan menengah, kelompok
masyarakat, koperasi, dan asosiasi swasta sukarela. desentralisasi ekonomi, bertujuan
lebih memberikan tanggungjawab yang berkaitan sektor publik ke sektor swasta.
e) Desentralisasi administratif, memusatkan perhatian pada upaya ahli hukum dan pakar
administrasi publik untuk menggambarkan hierarki dan distribusi kewenangan serta
fungsi-fungsi di antara unit pemerintah pusat dengan unit pemerintah non pusat (sub-
national government). Desentralisasi administratif, memiliki tiga bentuk utama yaitu
dekonsentrasi, delegasi dan devolusi, bertujuan agar penyelenggaraan pemerintahan
dapat berjalan efektif dan efisien
f) Desentralisasi fiskal, bertujuan memberikan kesempatan kepada daerah untuk
menggali berbagai sumber dana, meliputi pembiayaan mandiri, dan pemulihan biaya
dalam pelayanan publik, peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak
dan bukan pajak secara lebih tepat, transfer dana ke daerah, utamanya melalui Dana
Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) secara lebih adil,
kewenangan daerah untuk melakukan pinjaman berdasar kebutuhan daerah
Menurut Prof. Dr. Mr. F.A.M. Stroink Dekonsentrasi adalah suatu attribrutie /
penyerahan kewenangan menurut hukum publik kepada pejabat-pejabat departemen.Dari
pengertian tersebut, beliau menyimpulkan bahwasanya saripati dari pengertian tersebut
adalah perwakilan dari badan-badan yang didesentralisasikan terdiri dari pejabat-pejabat
departemen. Lebih lanjut, beliau juga menjelaskan bahwasanya badan-badan yang dapat
didekonsentrasikan sendiri antara lain adalah badan-badan yang termasuk dalam kelompok
badan propinsi, kotamadya, badan perairan (waterschap) demikian pula lichamen / badan-
badan yang dibentuk menurut Bab V dan VI Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut Ramlan Surbakti, Dekonsentrasi menggambarkan Pemerintah Lokal sebagai
perpanjangan tangan pemerintah pusat karena pemerintah lokal menerima tugas dan
kewenangan negara dari pemerintah pusat. Maka dari itulah, pemerintah lokal dalam
pelaksanaan tugas dan kewenangan Negara tersebut tunduk dan bertanggung jawab penuh
kepada pemerintah pusat. Walaupun demikian, pemerintah lokal tetap memiliki sejumlah
keleluasaan dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan tersebut sesuai dengan karakteristik
daerah masing-masing. Ciri –ciri dari dekonsentrasi sendiri adalah:
a) Bentuk pemencaran dari dekonsentrasi adalah dalam bentuk pelimpahan;
b) Pemencaran pada dekonsentrasi terjadi kepada pejabat / perseorangan;
c) Yang dipencarkan pada dekonsentrasi bukan urusan pemerintah, tetapi wewenang untuk
melaksanakan sesuatu;
d) Yang dilimpahkan dalam dekonsentrasi tidak menjadi urusan rumah tangga sendiri.
Selain itu, dalam dekonsentrasi segala urusan yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat
kepada pejabatnya didaerah tetap menjadi tanggung jawab daeri pemerintah pusat yang
meliputi:
a) Kebijaksanaan;
b) Perencanaan;
c) Pelaksanaan;
d) Pembiayaan;
e) Perangkat pelaksanaan.
Dalam hal Pelaksanaan dari dekonsentrasi serta ditinjau dari wilayah pembagian negara,
maka dekonsentrasi melahirkan pemerintahan local administratif, yakni daerah administratif
meliputi tingkat provinsi, kabupaten, dan kecamatan.Pemerintahan local administratif ini
diberi tugas atau wewenang menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan pusat yang ada
di daerah.
Dalam peraturan perundang-undangan, tepatnya dalam Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintah daerah, Dekonsentrasi diuraikan dalam pengertian yang lebih
singkat, yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur
sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan
dijelaskan secara lebih rinci bahwasanya selain kepada Gubernur dan Instansi vertikal di
wilayah tertentu, dekonsentrasi dapat pula diberikan kepada pejabat pemerintahan di daerah.
Selain itu pula, dalam Peraturan Pemerintah ini disebutkan pula bahwasanya Prinsip dari
penyelenggaraan dekonsentrasi adalah melalui pelimpahan sebagian urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan kementerian dan lembaga. Dalam hal pendanaan dari
dekonsentrasi, menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah
bahwasanya Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai dengan
pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan, hal ini dapat disebut pula dengan
dana dekonsentrasi. Dana dekonsentrasi ini berasal dari Anggaran Pendapat Belanja Negara.
Mengenai badan-badan yang dapat dikonsentrasikan selain Gubernur, disebut pula
instansi vertikal dapat menjadi badan yang didekonsentrasikan. Instansi vertikal menurut
Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah perangkat departemen dan / atau lembaga
pemerintah non departemen yang mengurus urusan pemerintahan yang tidak diserahkan
kepada daerah dalam wilayah tertentu dalam rangka dekonsentrasi. Tidak layaknya pada
Gubernur dimana dana tersebut dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara
sebagai Dana Dekonsentrasi, Dana untuk keperluan dekonsentrasi pada instansi vertikal yang
didekonsentrasikan dialokasikan secara khusus dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara
sebagai dana instansi vertikal pusat di daerah.
a. Pelaksanaan Dekonsentrasi
Urusan pemerintah yang dapat didekonsentrasikan antara lain adalah urusan pemerintah
yang menjadi wewenang pemerintah di bidang;
a) politik luar negeri, yang termasuk dalam urusan pemerintahan di bidang politik luar
negeri antara lain, mengangkat pejabat diplomatik dan menunjuk warga Negara untuk
duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri,
melakukan perjanjian dengan Negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar
negeri, dan sebagainya.
b) pertahanan, yang termasuk dalam urusan pemerintahan di bidang pertahanan antara
lain, mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata, menyatakan damai dan perang,
menyatakan Negara dalam keadaan bahaya, membangun dan mengembangkan sistem
pertahanan Negara dan persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer bela
Negara bagi setiap warga negara dan sebagainya.
c) keamanan, yang termasuk dalam urusan pemerintahan di bidang keamanan antara
lain, mendirikan dan membentuk kepolisian negara, menetapkan kebijakan keamanan
nasional, menindak setiap orang yang melanggar hukum negara, menindak kelompok
atau organisasi yang kegiatannya mengganggu keaman negara dan sebagainya.
d) yustisi, yang termasuk dalam urusan pemerintahan di bidang yustisi antara lain,
mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan jaksa, mendirikan lembaga
pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian, memberikan
grasi, amnesti, abolisi, membentuk undang-undang, peraturan pemerintah pengganti
undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan lain yang berskala nasional, dan
lain sebagainya.
e) moneter dan fiskal nasional, yang termasuk urusan pemerintahan di bidang moneter
dan fiskal nasional antara lain, mencetak uang dan menentukan nilai mata uang,
menetapkan kebijakan moneter, mengendalikan peredaran uang, dan lain sebagainya.
f) agama, yang termasuk dalam urusan pemerintahan di bidang agama antara lain,
menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan
pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam
penyelenggaran kehidupan keagamaan, dan lain sebagainya.
Yang juga perlu diingat adalah urusan pemerintahan yang dapat dikonsetrasikan tidak
terbatas pada 6 (enam) urusan pemerintahan tersebut.Selain 6 (enam) urusan pemerintahan
tersebut, urusan pemerintahan di luar 6 (enam) urusan pemerintahan, pemerintah pusat dapat
men-dekonsentrasikan-nya kepada wakil pemerintah pusat di daerah ataupun gubernur selaku
wakil pemerintah pusat.
Urusan pemerintah tersebut didekonsentrasikan oleh instansi vertikal di daerah.Sementara
urusan pemerintah lainnya yang didekonsentrasikan kepada perangkat pusat di daerah,
diselenggarakan sendiri oleh instansi vertikal tertentu yang berada di daerah.Sementara itu
Gubernur sebagai pihak yang didekonsentrasikan berwenang dalam sebagian urusan
pemerintah. Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilimpahkan oleh
Pemerintah, gubernur sebagai wakil Pemerintah melakukan:
a) sinkronisasi dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah;
b) penyiapan perangkat daerah yang akan melaksanakan program dan kegiatan
dekonsentrasi;
c) koordinasi, pengendalian, pembinaan, pengawasan dan pelaporan.
Selain daripada itu, dalam hal pelaksanaan dekonsentrasi dapat pula dilakukan penarikan
atas pelaksanaan dekonsentrasi yang dilakukan oleh pihak yang didekonsentrasikan. Hal
tersbeut dapat dilakukan apabila:
a) urusan pemerintahan tidak dapat dilanjutkan karena Pemerintah mengubah kebijakan;
b) pelaksanaan urusan pemerintahan tidak sejalan dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
Dalam pelaksanaan dekosentrasi dikenal pula adanya Satuan Kerja Pelaksana Daerah
(SKPD), satuan kerja ini berfungsi sebagai organisasi/lembaga pada pemerintah daerah
yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan dekonsentrasi/tugas pemerintahan di
bidang tertentu di daerah provinsi, kabupaten, atau kota. Salah satu bentuk pelaksanaan
dari Satuan kerja ini adalah fungsinya dalam hal pelaksanaan urusan pemerintah yang
didekonsentrasikan kepada gubernur melalui penetapan. Selain itu satuan kerja ini juga
bertugas untuk menyusun pertanggung jawaban pelaksanaan dekonsentrasi yang nantinya
akan dilaporkan kepada gubernur dan kementerian dan/atau lembaga terkait.
B. Administrasi pemerintahan
Undang Undang Republik Indonesia No 30 tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.
Produk hukum ini berisi XIV Bab dan 89 Pasal, ditetapkan tanggal 17 Oktober 2014 dan
diundangkan 17 Oktober 2014 di Jakarta. Produk hukum ini tercatat dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 No 292. Penjelasannya tercatat dalam Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5601.
a) asas legalitas;
b) asas pelindungan terhadap hak asasi manusia;
c) AUPB
Asas asas Umum Pemerintahan yang Baik yang selanjutnya disingkat AUPB adalah prinsip
yang digunakan sebagai acuan penggunaan Wewenang bagi Pejabat Pemerintahan dalam
mengeluarkan Keputusan dan/atau Tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
a) kepastian hukum;
b) kemanfaatan;
c) ketidakberpihakan;
d) kecermatan;
e) tidak menyalahgunakan kewenangan;
f) keterbukaan;
g) kepentingan umum;
h) pelayanan yang baik.
“asas-asas umum lainnya di luar AUPB” adalah asas umum pemerintahan yang baik yang
bersumber dari putusan pengadilan negeri yang tidak dibanding, atau putusan pengadilan
tinggi yang tidak dikasasi atau putusan Mahkamah Agung.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini berarti
bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahan negara Republik Indonesia harus berdasarkan
atas prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum. Berdasarkan prinsip-prinsip
tersebut, segala bentuk Keputusan dan/atau Tindakan Administrasi Pemerintahan harus
berdasarkan atas kedaulatan rakyat dan hukum yang merupakan refleksi dari Pancasila
sebagai ideologi negara. Dengan demikian tidak berdasarkan kekuasaan yang melekat pada
kedudukan penyelenggara pemerintahan itu sendiri.
Dalam rangka memberikan jaminan pelindungan kepada setiap Warga Masyarakat, maka
Undang-Undang ini memungkinkan Warga Masyarakat mengajukan keberatan dan banding
terhadap Keputusan dan/atau Tindakan, kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau
Atasan Pejabat yang bersangkutan. Warga Masyarakat juga dapat mengajukan gugatan
terhadap Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan kepada
Peradilan Tata Usaha Negara, karena Undang-Undang ini merupakan hukum materiil dari
sistem Peradilan Tata Usaha Negara.
AUPB yang baik akan terus berkembang, sesuai dengan perkembangan dan dinamika
masyarakat dalam sebuah negara hukum. Karena itu penormaan asas ke dalam Undang-
Undang ini berpijak pada asas-asas yang berkembang dan telah menjadi dasar dalam
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia selama ini.
Undang-Undang ini dimaksudkan tidak hanya sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan
pemerintahan, tetapi juga sebagai instrumen untuk meningkatkan kualitas pelayanan
pemerintahan kepada masyarakat sehingga keberadaan Undang-Undang ini benarbenar dapat
mewujudkan pemerintahan yang baik bagi semua Badan atau Pejabat Pemerintahan di Pusat
dan Daerah
Peraturan dasar ketatanegaraan Reglement op het Beleid der Regering van Nederlandsch
Indie (Stb 18552/2) menegaskan bahwa pemerintahan saat itu tidak mengenal desentralisasi
hanya sentralisasi dengan menjalankan dekonsentrasi. Secara hirarkis di Jawa dikenal istilah
Gewest (Residentie), Afdeeling, District, dan Onder-district.
Pada tanggal 11 September 1943 kekuasaan pemerintah berada pada satu tangan, yaitu
tangan Saikosikikan yang berkedudukan sebagai Gubernur Jenderal. Dibawah Saikosikikan
segala sesuatu dilakukan oleh Kepala Staf (Gunseikan) yang sekaligus sebagai kepala staf
angkatan perangnya. Aturan yang dikeluarkan oleh Saikosikikan disebut Osamuseirei dan
yang dikeluarkan oleh kepala staf disebut Osamukanrei. Osamuseirei nomor 3 yang
dkeluarkan oleh saikosikikan mengatur pemberian wewenang kepada Walikota yang semula
hanya berhak untuk mengatur rumah tangga, selanjutnya diwajibkan juga untuk menjalankan
urusan Pemerintahan Umum.
Dilanjutkan dengan 7 Mei 1999, lahirlah UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah
selanjutnya UU No. 25/1999 yang mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah,
menggantikan UU No. 5/1974 yang sentralistik.
Kedua undang-undang ini mengatur wewenang otonomi yang diberikan luas kepada
pemerintah tingkat kabupaten dan kota. Selain itu bupati dan walikota pun dinyatakan bukan
lagi sebagai aparat pemerintah yang hierarkis di bawah gubernur. Jabatan tertinggi di
kabupaten dan kota itu merupakan satu-satunya kepala daerah di tingkat lokal, tanpa
bergantung pada gubernur.
Setiap bupati dan walikota memiliki kewenangan penuh untuk mengelola daerah
kekuasaannya. Keleluasaan atas kekuasaan yang diberikan kepada bupati/walikota dibarengi
dengan mekanisme kontrol (checks and balances) yang memadai antara eksekutif dan
legislatif. Parlemen di daerah tumbuh menjadi sebuah kekuatan politik riil yang baru.
Lembaga legislatif ini secara merdeka dapat melakukan sendiri pemilihan gubernur dan
bupati/walikota tanpa intervensi kepentingan dan pengaruh politik pemerintah pusat.
Kebijakan di daerah juga dapat ditentukan sendiri di tingkat daerah atas kesepakatan
pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Undang-undang yang baru
juga mengatur bahwa setiap peraturan daerah dapat langsung dinyatakan berlaku setelah
disepakati sejauh tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi
tingkatannya. Hal ini kontras berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang mensyaratkan
adanya persetujuan dari penguasa pemerintahan yang lebih tinggi bagi setiap perda yang akan
diberlakukan.
UU No 22/1999 dan UU No 25/1999 juga memberikan kerangka yang cukup ideal bagi
terwujudnya keadaan politik lokal yang dinamis dan demokratis di setiap daerah. Namun,
praktik-praktik politik yang menyusul setelah itu masih belum sepenuhnya memperlihatkan
adanya otonomi yang demokratis.
Hubungan pusat dan daerah juga masih menyimpan ancaman sekaligus harapan. Menjadi
sebuah ancaman karena berbagai tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa
semakin besar. Bermula dari kemerdekaan Timor Timur (atau Timor Leste) pada tanggal 30
Agustus 1999 melalui referendum. Berbagai gelombang tuntutan disintegrasi juga terjadi di
beberapa daerah seperti di Aceh, Papua, Riau dan Kalimantan. Meskipun ada sejumlah
kalangan yang menganggap bahwa kemerdekaan Timor Timur sudah seharusnya diberikan
karena perbedaan sejarah dengan bangsa Indonesia dan merupakan aneksasi rezim Orde
Baru, tetapi efek domino yang timbulkannya masih sangat dirasakan, bahkan dalam MoU
Helsinki yang menghasilkan UU Pemerintahan Aceh.Gejolak terus berlanjut hingga, Aceh
dan Papua akhirnya diberi otonomi khusus.
Dalam pemhaman ini, M. Laica Marzuki mengatakan, bentuk negara (de staatsvorm)
RI secara utuh harus dibaca -dan dipahami- dalam makna: Negara Indonesia ialah Negara
Kesatuan yang berbentuk Republik, yang disusun berdasarkan desentralisatie, dijalankan atas
dasar otonomi yang seluas-luasnya, menurut Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 (redaksi
baru) juncto Pasal 18 ayat (1) dan (5) UUD 1945 (redaksi baru).
Lima tahun berlangsung, UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 dipandang perlu
direvisi, hingga lahirlah UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/2004
tentang Perimbangan Keuangan menggantikan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999
tersebut. UU No. 32 Tahun 2004 ini sempat mengalami perubahan berdasarkan UU No. 8
tahun 2005 dan UU No. 12 tahun 2008.
Tahun 2007, kemudian dikeluarkan PP No. 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan.
Walau telah dibagi-bagi kewenangan pusat dan daerah, namun PP ini dipandang telah
menegasikan kewenangan daerah. Revisi lebih komprehensif kemudian diwacanakan kembali
pada UU No. 32/2004 untuk lebih menterjemahkan lebih kongkrit kewenangan pusat dan
daerah.
E. HUBUNGAN OTONOMI DAERAH DENGAN DESENTRALISASI DAN
DEKONSENTRASI
Secara formal normatif, arah desentralisasi sudah cukup baik. Namun, dalam tataran
empiris komitmen pemerintah pusat tidak konsisten. Praktek-praktek monopoli dan
penguasaan urusan-urusan strategis yang menyangkut pemanfaatan sumber daya alam
termasuk perizinan di daerah, dikuasai pusat.
Memperhatikan isu utama dalam pelaksanaan otonomi daerah yang telah banyak
mempengaruhi pelaksanaan otonomi daerah, dibutuhkan langkah nyata dalam menanggapi
isu dimaksud.Beberapa agenda yang dipandang perlu dan segera untuk dilakukan adalah.
Pembangunan daerah yang berkualitas masih sulit dicapai, ketika proses perencanaan
pembangunan daerah belum mendapat perhatian. Untuk itu, beberapa hal yang perlu
dilakukan adalah peningkatan kualitas para pimpinan dan staf perencana melalui pendidikan
dan pelatihan perencanaan berkala, dan peningkatan kualitas rapat koordinasi wilayah.,
pembenahan sistem informasi, peningkatan kualitas data, dan pelaksanaan monitoring dan
evaluasi secara berkala dan tepat waktu.
Salah satu kelemahan pelaksanaan otonomi daerah adalah tidak terpantaunya kegiatan
secara memadai, yang terutama diakibatkan oleh kesulitan mengakses data pencapaian.
Akibatnya hasil evaluasi pelaksanaan otonomi daerah menjadi kurang berkualitas. Untuk itu,
perlu dikembangkan konsep manajemen pengetahuan yang pada intinya menjaga aliran data
dan informasi mulai dari pengumpulan data dasar, pengolahan, pendistribusian dan bahkan
meningkatkan data dan informasi tersebut menjadi pengetahuan. Beberapa hal yang akan
tercakup adalah sistem informasi, mekanisme monitoring dan evaluasi, ketersediaan akses
bagi semua., pusat informasi di tiap daerah..
Selama ini proses desentralisasi dan otonomi daerah terlalu fokus pada aspek
kepemerintahan, dengan melupakan bahwa filosofi otonomi daerah diantaranya adalah
keterlibatan aktif masyarakat dalam proses ini. Akibatnya masyarakat hanya menjadi
obyek.Untuk itu, dibutuhkan upaya bertahap untuk mulai melibatkan masyarakat dimulai
dengan melakukan sosialisasi secara intensif, menyelenggarakan dengan pendapat publik,
melibatkan masyarakat dalam pemantauan dan evaluasi secara partisipatif. Dengan demikian
diharapkan dukungan masyarakat akan membantu meningkatkan kualitas otonomi daerah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Otonomi daerah sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Konstitusi, sebagai dasar dari segala peraturan
perundang-undangan, menghendaki adanya otonomi daerah secara tegas sebagaimana disebut
dalam penjelasan pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Untuk melaksanakan otonomi daerah sendiri terdapat beberapa cara dalam melaksanakannya,
antara lain adalah dengan menggunakan konsep desentralisasi dan dekonsentrasi.
B. Saran
Diharapkan dengan adanya makalah ini, kita sebagai mahasiswa bisa memahami
desentralisasi dan otonomi daerah yang telah diberikan wewenang oleh pemerintah pusat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ragawino, Bewa.2003. Makalah : Desentralisasi dalam Kerangka Otonomi Daerah
diIndonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pajajaran,Bandung.
Prof. Dr. Mr. F.A.M. Stroink diterjemahkan oleh Prof. Dr. Ateng Syarifudin, S.H., 2006,
Pemahaman Tentang Dekonsentrasi Bandung: Refika Aditama
Koswara, E. 1999. Otonomi Daerah yang Berorientasi Kepada Kepentingan Rakyat.
Makalah. UNIBRAW. Malang.
Kjellberg, Francesco. 1995. The Chaling Values of Local Government" ANNALS, AAPSS,
540, July 1995. American Academy. p.40-50.
Soenobo Wirjosoegito.2004.Proses & Perencanaan Peraturan Perundangan. Jakarta: Ghalia
Indonesia. Call Number : [340 SOE p (1), 340 SOE p (2)]
Suwandi.2005.Menggagas Otonomi Daerah di Masa Depan,Jakarta:Samitra Media Utama.
Yudoyono, Bambang.2002.Desentralisasi dan Pengembangan SDM aparatur pemda dan
anggota DPRD. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.Call Number : 351.1 BAM
Undang-undang
1. Undang Undang Dasar 1945
2. Ketetapan MPR-RI Nomor IV/MPR-RI/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam
Penyelenggaraan Otonomi Daerah
3. UU Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Indonesia Daerah
4. UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
5. UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
6. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
7. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Desentralisasi dan Tugas
Perbantuan