Anda di halaman 1dari 29

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan penjabaran fakta dariWorld Bank, Indonesia termasuk sebagai negara
yang melaksanakan dentuman besar desentralisasi dan dekonsentrasi(Big Bang
Decentralization), bersama tiga negara lainnya yaitu Filipina, Pakistan dan Ethiopia.
Khusus di Indonesia sendiri saat ini telah melakukan perubahan besar dalam pola
pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.Dari
segi historis, munculnya otonomi daerah merupakan bentuk respon “Veta comply” terhadap
sentralisasi yang sangat kuat di masa orde baru. Telah berpuluh puluh tahun lamanya sistem
sentralisasi pada era orde baru tidak membawa perubahan yang cukup signifikan dalam
pengembangan kreatifitas daerah, baik pemerintah maupun masyarakat daerah.
Pada hakikatnya, pelaksanaan konsep desentralisasi dan dekonsentrasi dalam otonomi
daerahtelah berlangsung cukup lama bahkan sejak sebelum kemerdekaan itu diproklamirkan,
dan mencapai puncaknya pada era reformasi dengan diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang “Pemerintahan Daerah” dan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1999 tentang “Perimbangan Keuangan” yang kemudian direvisi masing-masing
menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004.
Kemudian jika ditinjau dari perspektif konstitusional, Indonesia merupakan negara
unitaris yang terdesentralisasi. Hal tersebut dapat tercermin pada Pasal 1 ayat (1) UUD 1945
yang menyatakan bahwa “ Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk
Republik”.Selanjutnya pada Pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (6) mempertegas
bahwa Indonesia adalah negara yang mengamalkan konsep otonomi daerah dalam
pelaksanaan pemerintahannya.Pada tataran konstitusi, sebenarnya sebagian besar bangsa
Indonesia sudah tidak lagi mempermasalahkan bentuk negara tersebut, meskipun masih
terdapat gerakan-gerakan yangingin mengubahnya menjadi negara federalis. Maka dari itu,
sebenarnya yang menjadi permasalahan utamaakhir akhir ini terdapat pada proses
implementasi dari konstitusi dan undang-undang itu sendiri.
Salah satu contohnya adalah penerapan hukum positif yang berlaku saat ini yaitu UU
Nomor 32 Tahun 2004 , faktanya dalam menjalankan aktivitas pemerintahan sehari-
hari masih banyak pejabat yang tidak mengenal dan menggunakan paradigma yang
berlaku di dalam UU ini. Sebagai contoh, masih banyak pemerintah kabupaten yang
membuat peraturan daerah tentang pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan
desa,yang isinya menyatakan bahwa kepala desa bertanggung jawab kepada bupati.
Padahal sebenarnya UU Nomor 32 Tahun 2004 maupun PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang
Desa tidak menyatakan demikian.

B. Rumusan Masalah
a. Apakah yang dimaksud dengan desentralisasi dan dekonsentrasi?
b. Bagaimana administrasi pemerntahan Indonesia?
c. Apakah yang dimaksud dengan Otonomi Daerah?
d. Bagaimana sejarah desentralisasi di Indonesia?
e. Bagaimana hubungan desentralisasi dan dekonsentrasi terhadap pelaksanaan otonomi
daerah di Indonesia?
f. Apakah solusi yang tepat untuk memperbaiki sistem Otonomi Daerah yang sudah ada?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan umum dari penulisan makalah ini agar penulis lebih mengetahui secara
mendalam bahwa Desentralisasi dan Dekonsentrasi memiliki peranan penting dalam
pelaksanaan Otonomi daerah di Indonesia dalam upaya menciptakan dan meningkatkan
pembangunan suatu Bangsa.
Adapun tujuan khusus disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari
dosen mata kuliah Hukum Administrasi Negara, sebagai salah satu prasyarat kelulusan dan
juga “karcis utama” untuk mengikuti Ujian Akhir Semester.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
1. Pengertian dan Teori Desentralisasi
Desentralisasi saat ini telah menjadi asas penyelenggaraan pemerintahan yang
diterima secara universal di setiap Negara, dengan berbagai macam bentuk penerapan dan
permasalahannya.Hal ini sesuai dengan fakta di lapangan bahwa tidak semua urusan
pemerintahan dapat diselenggarakan secara monopoli oleh sentralisasi, hal ini mengingat
kondisi geografis, kompleksitas perkembangan masyarakat, kemajemukan struktur sosial dan
budaya lokal serta adanya tuntutan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Definisi tentang desentralisasi sendiritelah ditulis oleh para ahli yang jumlahnya
sangatbanyak. Menurut Devas (1997), pengertian dan penafsiran terhadap desentralisasi
ternyata sangat beragam dikarenakan perbedaan latar belakang politik, pengalamandan
pengaruh bentuk negara di mana masing masing mereka tinggal dan berkembang, serta
pendekatan terhadap desentralisasipun juga sangat bervariasi dari negara yang satu ke negara
yang lain.
Pendapat Ahli beberapa diantaranya yaitu, Soenobo Wirjosoegito yang memberikan
definisi Desentralisasi sebagai penyerahan wewenang oleh badan-badan umum yang lebih
tinggi kepada badan-badan umum yang lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan
pertimbangan kepentingan sendiri mengambil keputusan pengaturan dan pemerintahan, serta
struktur wewenang yang terjadi dari itu
Soejito (1990) menjelaskan bahwa desentralisasi sebagai suatu sistem dipakai dalam
bidang pemerintahan merupakan kebalikan dari sentralisasi , dimana sebagian kewenangan
pemerintah pusat dilimpahkan kepada pihak lain untuk dilaksanakan.
Pendapat Bank Dunia (1999) menjelaskan bahwa desentralisasi merupakan alat
mencapai tujuan pemberian pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses
pengambilan keputusan yang lebih demokratis.
Dari pengertian diatas, maka secara umum dapat dijelaskan bahwaDesentralisasi
mengandung beberapa hal yaitu :
a.Adanya pelimpahan wewenang dan urusan dari Pemerintah pusat.
b. Adanya Daerah-Daerah yang menerima pelimpahan wewenang dari penyerahan urusan.
c. Daerah-Daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban untuk mengurus dan mengatur
rumah tangganya sendiri.
d. Kewenangan dari urusan yang dilimpahkan adalah kewenangan dari urusan rumah tangga
Daerah yang bersangkutan.
Agar diperoleh pandangan yang kontekstual dan holistik,didalam menjelaskan
definisi desentralisasi, tim penulis selain mengambil dari beberapa pendapat para ahli ,juga
mengemukakan definisi menurut undang-undang yang saat ini digunakan di Indonesia
yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004. Jika ditinjau dari sudut formal, menurut pasal 1 ayat (7) UU
Nomor 32 Tahun 2004, diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
a. Manfaat Desentralisasi
Para pakar-pakar menyimpulkan bahwa melalui desentralisasi tugas-tugas
pemerintahan dan pembangunan akan dapat memperoleh manfaat sebagai berikut :
1. Efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas pemerintahan.
a. Efisiensi
Melalui desentralisasi, kesejahteraan masyarakat di daerah diharapkanakan lebih
cepat terwujud karena pemerintah daerah akan lebih cepat dan fleksibel untuk bertindak atas
respon perubahan lingkungan dan kebutuhan masyarakat di daerah. Desentralisasi juga lebih
melibatkan partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan ketimbang menunggu keputusan
dari pemerintah pusat sehingga kehidupan demokrasi lebih terwujud, lebih memberi ruang
untuk berkreasi dan berinovasi, dan menghasilkan semangat kerja, komitmen dan
produktivitas yang lebih tinggi

b. Efektivitas
Dengan desentralisasi, ujung tombak pemerintahan yaitu aparat didaerah akan lebih
cepat mengetahui situasi dan masalah sehingga dapat mencarikan jawaban bagi pemecahan
masalah yang ada. Hal ini artinya harus dibarengi dengan penerapan manajemen partisipasi,
yaitu selalu melibatkan aparat tersebut dalam pemecahan masalah.
2. Memungkinkan melakukan inovasi
Dengan diberikannya kepercayaan kepada pemerintah daerah untuk mengurus rumah
tangganya sendiri, secara tidak langsung akan mendorong mereka untuk menggali potensi-
potensi baru yang dapat mendukung pelaksanaan urusan pemerintahan dan pembangunan
sehari-hari terutama dari sisi ekonomi serta penciptaaniklim pelayanan publik yang dapat
memuaskan masyarakat sebagai pembayar pajak atas jasa pelayanan yang disediakan oleh
pemerintah daerah.
3. Meningkatkan motivasi moral, komitmen dan produktivitas.
Melalui desentralisasi, aparat pemerintah daerah diharapkan akan meningkatkan
kesadaran moral untuk memelihara kepercayaan yang diberikan oleh pemerintah pusat,
kemudian akan timbul suatu komitmen dalam diri mereka bagaimana melaksanakan urusan-
urusan yang telah dipercayakan kepada mereka, serta bagaimana menunjukan hasil-hasil
pelaksanaan urusan melalui tingkat produktivitas yang mereka miliki.
b. Tujuan Desentralisasi
Terdapat 3 (tiga) tujuan desentralisasi , yaitu yang pertamatujuan politik, untuk
menciptakan suprastruktur dan infrastruktur politik yang demokratis dan berbasis pada
kedaulatan rakyat. Hal ini diwujudkan dalam bentuk pemilihan kepala daerah, dan legislatif
secara langsung oleh rakyat.

Selanjutnya yaitu tujuan administrasi, agar pemerintahan daerah yang dipimpin oleh
kepala daerah dan bermitra dengan DPRD dapat menjalankan fungsinya untuk
memaksimalkan nilai 4E yakni efektifitas, efisiensi, equity (kesetaraan), dan ekonomi.

Terakhir yaitu tujuan sosial ekonomi, berupaya untuk mewujudkan pendayagunaan


modal sosial, modal intelektual dan modal finansial masyarakat sehingga dapat tercipta
kondisi kesejahteraan masyarakat secara luas

Selain itu, preferensi penduduk lebih terakomodasikan (Oates 1972; Manin,


Przeworski and Stokes 1999), tingkat akuntabilitas ditingkat lokal akan menjadi lebih baik
karena lebih mudah mempertanggungjawabkan kinerja pemerintah daerah terhadap dewan
perwakilan setempat (Peterson, 1997), manajemen fiskal menjadi lebih baik (Meinzen-Dick,
Knox and Gregorio 1999), dan tingkat pertumbuhan ekonomi dan jaminan pasar akan
menjadi lebih baik (Wibbels 2000). Pendek kata, cukup banyak literatur sangat optimis bahwa
tingkat efisiensi menjadi lebih baik, tingkat korupsi juga akan berkurang (Fisman, dkk. 2002),
dan akan terjadi peningkatan demokratisasi dan partisipasi (Crook and Manor 1998).

c. Kategori Desentralisasi

Rondinelli (1989) mengklasifikasikan desentralisasi berdasarkan tujuannya menjadi


empat bentuk, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi fiskal, desentralisasi pasar, dan
desentralisasi administratif

a) Desentralisasi politik, digunakan oleh pakar ilmu politik yang menaruh perhatian
besar di bidang demokratisasi dan masyarakat sipil untuk mengidentifikasi transfer
kewenangan pengambilan keputusan kepada unit pemerintahan yang lebih rendah
atau kepada masyarakat atau kepada lembaga perwakilan rakyat.
b) Dengan demikian desentralisasi politik juga melimpahkan kewenangan pengambilan
keputusan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah, agar mendorong
masyarakat dan perwakilan mereka untuk berpartisipasi di dalam proses pengambilan
keputusan. Dalam suatu struktur desentralisasi, pemerintah tingkat bawahan
merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan secara independen,
tanpa intervensi dan tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi.
c) Desentralisasi politik bertujuan memberikan kekuasaan yang lebih besar dalam
pengambilan keputusan kepada masyarakat melalui perwakilan yang dipilih oleh
masyarakat sehingga dengan demikian masyarakat dapat terlibat dalam penyusunan
dan implementasi kebijakan.Biasanya desentralisasi dalam bidang politik merupakan
bagian dan upaya demokratisasi sistem pemerintahan.
d) Desentralisasi pasar, umumnya digunakan oleh para ekonom untuk menganalisis dan
melakukan promosi barang dan jasa yang diproduksi melalui mekanisme pasar yang
sensitif terhadap keinginan dan melalui desentralisasi pasar barang-barang dan
pelayanan publik diproduksi oleh perusahaan kecil dan menengah, kelompok
masyarakat, koperasi, dan asosiasi swasta sukarela. desentralisasi ekonomi, bertujuan
lebih memberikan tanggungjawab yang berkaitan sektor publik ke sektor swasta.
e) Desentralisasi administratif, memusatkan perhatian pada upaya ahli hukum dan pakar
administrasi publik untuk menggambarkan hierarki dan distribusi kewenangan serta
fungsi-fungsi di antara unit pemerintah pusat dengan unit pemerintah non pusat (sub-
national government). Desentralisasi administratif, memiliki tiga bentuk utama yaitu
dekonsentrasi, delegasi dan devolusi, bertujuan agar penyelenggaraan pemerintahan
dapat berjalan efektif dan efisien
f) Desentralisasi fiskal, bertujuan memberikan kesempatan kepada daerah untuk
menggali berbagai sumber dana, meliputi pembiayaan mandiri, dan pemulihan biaya
dalam pelayanan publik, peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak
dan bukan pajak secara lebih tepat, transfer dana ke daerah, utamanya melalui Dana
Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) secara lebih adil,
kewenangan daerah untuk melakukan pinjaman berdasar kebutuhan daerah

2. Pengertian dan Teori Dekonsentrasi


Dasar diselenggarakannya Dekonsentrasi adalah karena tidak semua wewenang dan tugas
pemerintahan dapat dilakukan dengan menggunakan asas desentralisasi.Disamping itu,
sebagai konsekuensi negara kesatuan, di Indonesia memang tidak dimungkinkan semua
wewenang pemerintah didesentralisasikan dan diotonomkan sekalipun kepada
daerah.Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada wilayah provinsi karena dalam
kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan
pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubenur sebagai wakil pemerintah di wilayah
provinsi. Gubernur sebagai kepala daerah provinsi berfungsi pula selaku wakil Pemerintah di
daerah, dalam pengertian ini adalah untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali
pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan
terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah kabupaten dan kota. Sementara itu,
dasar pertimbangan dan tujuan diselenggarakannya asas dekonsentrasi sendiri adalah
a) Terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b) Terwujudnya pelaksanaan kebijakan nasional dalam mengurangi kesenjangan antar
daerah;
c) Terwujudnya keserasian hubungan antar susunan pemerintahan dan
antarpemerintahan di daerah;
d) Teridentifikasinya potensi dan terpeliharanya keanekaragaman sosial budaya daerah;
e) Tercapainya efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan;
f) Pengelolaan pembangunan dan pelayanan terhadap kepentingan umum masyarakat;
g) Terciptanya komunikasi sosial kemasyarakatan dan sosial budaya dalam sistem
administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menurut Prof. Dr. Mr. F.A.M. Stroink Dekonsentrasi adalah suatu attribrutie /
penyerahan kewenangan menurut hukum publik kepada pejabat-pejabat departemen.Dari
pengertian tersebut, beliau menyimpulkan bahwasanya saripati dari pengertian tersebut
adalah perwakilan dari badan-badan yang didesentralisasikan terdiri dari pejabat-pejabat
departemen. Lebih lanjut, beliau juga menjelaskan bahwasanya badan-badan yang dapat
didekonsentrasikan sendiri antara lain adalah badan-badan yang termasuk dalam kelompok
badan propinsi, kotamadya, badan perairan (waterschap) demikian pula lichamen / badan-
badan yang dibentuk menurut Bab V dan VI Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut Ramlan Surbakti, Dekonsentrasi menggambarkan Pemerintah Lokal sebagai
perpanjangan tangan pemerintah pusat karena pemerintah lokal menerima tugas dan
kewenangan negara dari pemerintah pusat. Maka dari itulah, pemerintah lokal dalam
pelaksanaan tugas dan kewenangan Negara tersebut tunduk dan bertanggung jawab penuh
kepada pemerintah pusat. Walaupun demikian, pemerintah lokal tetap memiliki sejumlah
keleluasaan dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan tersebut sesuai dengan karakteristik
daerah masing-masing. Ciri –ciri dari dekonsentrasi sendiri adalah:
a) Bentuk pemencaran dari dekonsentrasi adalah dalam bentuk pelimpahan;
b) Pemencaran pada dekonsentrasi terjadi kepada pejabat / perseorangan;
c) Yang dipencarkan pada dekonsentrasi bukan urusan pemerintah, tetapi wewenang untuk
melaksanakan sesuatu;
d) Yang dilimpahkan dalam dekonsentrasi tidak menjadi urusan rumah tangga sendiri.
Selain itu, dalam dekonsentrasi segala urusan yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat
kepada pejabatnya didaerah tetap menjadi tanggung jawab daeri pemerintah pusat yang
meliputi:
a) Kebijaksanaan;
b) Perencanaan;
c) Pelaksanaan;
d) Pembiayaan;
e) Perangkat pelaksanaan.
Dalam hal Pelaksanaan dari dekonsentrasi serta ditinjau dari wilayah pembagian negara,
maka dekonsentrasi melahirkan pemerintahan local administratif, yakni daerah administratif
meliputi tingkat provinsi, kabupaten, dan kecamatan.Pemerintahan local administratif ini
diberi tugas atau wewenang menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan pusat yang ada
di daerah.
Dalam peraturan perundang-undangan, tepatnya dalam Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintah daerah, Dekonsentrasi diuraikan dalam pengertian yang lebih
singkat, yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur
sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan
dijelaskan secara lebih rinci bahwasanya selain kepada Gubernur dan Instansi vertikal di
wilayah tertentu, dekonsentrasi dapat pula diberikan kepada pejabat pemerintahan di daerah.
Selain itu pula, dalam Peraturan Pemerintah ini disebutkan pula bahwasanya Prinsip dari
penyelenggaraan dekonsentrasi adalah melalui pelimpahan sebagian urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan kementerian dan lembaga. Dalam hal pendanaan dari
dekonsentrasi, menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah
bahwasanya Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai dengan
pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan, hal ini dapat disebut pula dengan
dana dekonsentrasi. Dana dekonsentrasi ini berasal dari Anggaran Pendapat Belanja Negara.
Mengenai badan-badan yang dapat dikonsentrasikan selain Gubernur, disebut pula
instansi vertikal dapat menjadi badan yang didekonsentrasikan. Instansi vertikal menurut
Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah perangkat departemen dan / atau lembaga
pemerintah non departemen yang mengurus urusan pemerintahan yang tidak diserahkan
kepada daerah dalam wilayah tertentu dalam rangka dekonsentrasi. Tidak layaknya pada
Gubernur dimana dana tersebut dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara
sebagai Dana Dekonsentrasi, Dana untuk keperluan dekonsentrasi pada instansi vertikal yang
didekonsentrasikan dialokasikan secara khusus dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara
sebagai dana instansi vertikal pusat di daerah.
a. Pelaksanaan Dekonsentrasi
Urusan pemerintah yang dapat didekonsentrasikan antara lain adalah urusan pemerintah
yang menjadi wewenang pemerintah di bidang;
a) politik luar negeri, yang termasuk dalam urusan pemerintahan di bidang politik luar
negeri antara lain, mengangkat pejabat diplomatik dan menunjuk warga Negara untuk
duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri,
melakukan perjanjian dengan Negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar
negeri, dan sebagainya.
b) pertahanan, yang termasuk dalam urusan pemerintahan di bidang pertahanan antara
lain, mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata, menyatakan damai dan perang,
menyatakan Negara dalam keadaan bahaya, membangun dan mengembangkan sistem
pertahanan Negara dan persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer bela
Negara bagi setiap warga negara dan sebagainya.
c) keamanan, yang termasuk dalam urusan pemerintahan di bidang keamanan antara
lain, mendirikan dan membentuk kepolisian negara, menetapkan kebijakan keamanan
nasional, menindak setiap orang yang melanggar hukum negara, menindak kelompok
atau organisasi yang kegiatannya mengganggu keaman negara dan sebagainya.
d) yustisi, yang termasuk dalam urusan pemerintahan di bidang yustisi antara lain,
mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan jaksa, mendirikan lembaga
pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian, memberikan
grasi, amnesti, abolisi, membentuk undang-undang, peraturan pemerintah pengganti
undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan lain yang berskala nasional, dan
lain sebagainya.
e) moneter dan fiskal nasional, yang termasuk urusan pemerintahan di bidang moneter
dan fiskal nasional antara lain, mencetak uang dan menentukan nilai mata uang,
menetapkan kebijakan moneter, mengendalikan peredaran uang, dan lain sebagainya.
f) agama, yang termasuk dalam urusan pemerintahan di bidang agama antara lain,
menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan
pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam
penyelenggaran kehidupan keagamaan, dan lain sebagainya.
Yang juga perlu diingat adalah urusan pemerintahan yang dapat dikonsetrasikan tidak
terbatas pada 6 (enam) urusan pemerintahan tersebut.Selain 6 (enam) urusan pemerintahan
tersebut, urusan pemerintahan di luar 6 (enam) urusan pemerintahan, pemerintah pusat dapat
men-dekonsentrasikan-nya kepada wakil pemerintah pusat di daerah ataupun gubernur selaku
wakil pemerintah pusat.
Urusan pemerintah tersebut didekonsentrasikan oleh instansi vertikal di daerah.Sementara
urusan pemerintah lainnya yang didekonsentrasikan kepada perangkat pusat di daerah,
diselenggarakan sendiri oleh instansi vertikal tertentu yang berada di daerah.Sementara itu
Gubernur sebagai pihak yang didekonsentrasikan berwenang dalam sebagian urusan
pemerintah. Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilimpahkan oleh
Pemerintah, gubernur sebagai wakil Pemerintah melakukan:
a) sinkronisasi dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah;
b) penyiapan perangkat daerah yang akan melaksanakan program dan kegiatan
dekonsentrasi;
c) koordinasi, pengendalian, pembinaan, pengawasan dan pelaporan.
Selain daripada itu, dalam hal pelaksanaan dekonsentrasi dapat pula dilakukan penarikan
atas pelaksanaan dekonsentrasi yang dilakukan oleh pihak yang didekonsentrasikan. Hal
tersbeut dapat dilakukan apabila:
a) urusan pemerintahan tidak dapat dilanjutkan karena Pemerintah mengubah kebijakan;
b) pelaksanaan urusan pemerintahan tidak sejalan dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
Dalam pelaksanaan dekosentrasi dikenal pula adanya Satuan Kerja Pelaksana Daerah
(SKPD), satuan kerja ini berfungsi sebagai organisasi/lembaga pada pemerintah daerah
yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan dekonsentrasi/tugas pemerintahan di
bidang tertentu di daerah provinsi, kabupaten, atau kota. Salah satu bentuk pelaksanaan
dari Satuan kerja ini adalah fungsinya dalam hal pelaksanaan urusan pemerintah yang
didekonsentrasikan kepada gubernur melalui penetapan. Selain itu satuan kerja ini juga
bertugas untuk menyusun pertanggung jawaban pelaksanaan dekonsentrasi yang nantinya
akan dilaporkan kepada gubernur dan kementerian dan/atau lembaga terkait.

B. Administrasi pemerintahan
Undang Undang Republik Indonesia No 30 tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.
Produk hukum ini berisi XIV Bab dan 89 Pasal, ditetapkan tanggal 17 Oktober 2014 dan
diundangkan 17 Oktober 2014 di Jakarta. Produk hukum ini tercatat dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 No 292. Penjelasannya tercatat dalam Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5601.

“Administrasi Pemerintahan adalah tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau


tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan”

Penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan berdasarkan:

a) asas legalitas;
b) asas pelindungan terhadap hak asasi manusia;
c) AUPB

Asas asas Umum Pemerintahan yang Baik yang selanjutnya disingkat AUPB adalah prinsip
yang digunakan sebagai acuan penggunaan Wewenang bagi Pejabat Pemerintahan dalam
mengeluarkan Keputusan dan/atau Tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

AUPB meliputi asas:

a) kepastian hukum;
b) kemanfaatan;
c) ketidakberpihakan;
d) kecermatan;
e) tidak menyalahgunakan kewenangan;
f) keterbukaan;
g) kepentingan umum;
h) pelayanan yang baik.
“asas-asas umum lainnya di luar AUPB” adalah asas umum pemerintahan yang baik yang
bersumber dari putusan pengadilan negeri yang tidak dibanding, atau putusan pengadilan
tinggi yang tidak dikasasi atau putusan Mahkamah Agung.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini berarti
bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahan negara Republik Indonesia harus berdasarkan
atas prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum. Berdasarkan prinsip-prinsip
tersebut, segala bentuk Keputusan dan/atau Tindakan Administrasi Pemerintahan harus
berdasarkan atas kedaulatan rakyat dan hukum yang merupakan refleksi dari Pancasila
sebagai ideologi negara. Dengan demikian tidak berdasarkan kekuasaan yang melekat pada
kedudukan penyelenggara pemerintahan itu sendiri.

Penggunaan kekuasaan negara terhadap Warga Masyarakat bukanlah tanpa persyaratan.


Warga Masyarakat tidak dapat diperlakukan secara sewenang-wenang sebagai objek.
Keputusan dan/atau Tindakan terhadap Warga Masyarakat harus sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Pengawasan
terhadap Keputusan dan/atau Tindakan merupakan pengujian terhadap perlakuan kepada
Warga Masyarakat yang terlibat telah diperlakukan sesuai dengan hukum dan memperhatikan
prinsip-prinsip perlindungan hukum yang secara efektif dapat dilakukan oleh lembaga negara
dan Peradilan Tata Usaha Negara yang bebas dan mandiri. Karena itu, sistem dan prosedur
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan harus diatur dalam undang-undang.

Tugas pemerintahan untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana dirumuskan dalam


pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tugas
tersebut merupakan tugas yang sangat luas. Begitu luasnya cakupan tugas Administrasi
Pemerintahan sehingga diperlukan peraturan yang dapat mengarahkan penyelenggaraan
Pemerintahan menjadi lebih sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat (citizen
friendly), guna memberikan landasan dan pedoman bagi Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan dalam menjalankan tugas penyelenggaraan pemerintahan.

Ketentuan penyelenggaraan Pemerintahan tersebut diatur dalam sebuah Undang-Undang


yang disebut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan menjamin hak-hak dasar dan memberikan pelindungan kepada Warga
Masyarakat serta menjamin penyelenggaraan tugas-tugas negara sebagaimana dituntut oleh
suatu negara hukum sesuai dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 F, dan
Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan ketentuan tersebut, Warga Masyarakat tidak menjadi objek, melainkan subjek
yang aktif terlibat dalam penyelenggaraan Pemerintahan.

Dalam rangka memberikan jaminan pelindungan kepada setiap Warga Masyarakat, maka
Undang-Undang ini memungkinkan Warga Masyarakat mengajukan keberatan dan banding
terhadap Keputusan dan/atau Tindakan, kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau
Atasan Pejabat yang bersangkutan. Warga Masyarakat juga dapat mengajukan gugatan
terhadap Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan kepada
Peradilan Tata Usaha Negara, karena Undang-Undang ini merupakan hukum materiil dari
sistem Peradilan Tata Usaha Negara.

Undang-Undang Administrasi Pemerintahan mengaktualisasikan secara khusus norma


konstitusi hubungan antara negara dan Warga Masyarakat. Pengaturan Administrasi
Pemerintahan dalam UndangUndang ini merupakan instrumen penting dari negara hukum
yang demokratis, dimana Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan
oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya yang meliputi
lembaga-lembaga di luar eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang menyelenggarakan fungsi
pemerintahan yang memungkinkan untuk diuji melalui Pengadilan. Hal inilah yang
merupakan nilai-nilai ideal dari sebuah negara hukum. Penyelenggaraan kekuasaan negara
harus berpihak kepada warganya dan bukan sebaliknya.

Undang-Undang ini diperlukan dalam rangka memberikan jaminan kepada Warga


Masyarakat yang semula sebagai objek menjadi subjek dalam sebuah negara hukum yang
merupakan bagian dari perwujudan kedaulatan rakyat. Kedaulatan Warga Masyarakat dalam
sebuah negara tidak dengan sendirinya—baik secara keseluruhan maupun sebagian—dapat
terwujud.

Pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang ini menjamin bahwa


Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan terhadap Warga
Masyarakat tidak dapat dilakukan dengan semena-mena. Dengan Undang-Undang ini, Warga
Masyarakat tidak akan mudah menjadi objek kekuasaan negara. Selain itu, Undang-Undang
ini merupakan transformasi AUPB yang telah dipraktikkan selama berpuluh-puluh tahun
dalam penyelenggaraan Pemerintahan, dan dikonkretkan ke dalam norma hukum yang
mengikat.

AUPB yang baik akan terus berkembang, sesuai dengan perkembangan dan dinamika
masyarakat dalam sebuah negara hukum. Karena itu penormaan asas ke dalam Undang-
Undang ini berpijak pada asas-asas yang berkembang dan telah menjadi dasar dalam
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia selama ini.

Undang-Undang ini menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan di dalam


upaya meningkatkan kepemerintahan yang baik (good governance) dan sebagai upaya untuk
mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan demikian, Undang-Undang ini
harus mampu menciptakan birokrasi yang semakin baik, transparan, dan efisien.

Pengaturan terhadap Administrasi Pemerintahan pada dasarnya adalah upaya untuk


membangun prinsip-prinsip pokok, pola pikir, sikap, perilaku, budaya dan pola tindak
administrasi yang demokratis, objektif, dan profesional dalam rangka menciptakan keadilan
dan kepastian hukum. Undang-Undang ini merupakan keseluruhan upaya untuk mengatur
kembali Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB.

Undang-Undang ini dimaksudkan tidak hanya sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan
pemerintahan, tetapi juga sebagai instrumen untuk meningkatkan kualitas pelayanan
pemerintahan kepada masyarakat sehingga keberadaan Undang-Undang ini benarbenar dapat
mewujudkan pemerintahan yang baik bagi semua Badan atau Pejabat Pemerintahan di Pusat
dan Daerah

C. Pengertian dan Teori Otonomi Daerah


Otonomi daerah diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Menurut Suwandi, filosofi dari otonomi daerah adalah (i) eksistensi pemerintah
daerah dibuat untuk menciptakan kesejahteraan secara demokratis; (ii) setiap kewenangan
yang diserahkan ke daerah harus mampu menciptakan kesejahteraan dan demokrasi; (iii)
kesejahteraan dicapai melalui pelayanan publik; (iv) pelayanan pubik dapat bersifat
pelayanan dasar maupun bersifat pengembangan sektor unggulan
a. Faktor-faktor yang mendukung Otonomi Daerah
Esensi Otonomi Daerah adalah berkembangnya Daerah dengan kemandirian yang
mampu mengatur dan menyelenggarakan urusan-urusan Pemerintahan dan pelaksanaan
pembangunan, sesuai dengan konsep-konsep otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung
jawab. Faktor-faktor yang mendukung otonomi Daerah antara lain :
a.      Sumber Daya Manusia;
b.     Kemampuan Keuangan Daerah;
c.      Sarana dan Prasarana;
d.     Organisasi dan Manajemen.
 Hal ini sesuai dengan Kaho (1988) yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan otonomi Daerah adalah :
a. Manusia pelaksananya harus baik ;
b. Keuangan harus cukup dan baik ;
c. Peralatannya harus cukup dan baik ;
d. Organisasi dan Manajemen harus baik.
 Sedangkan kriteria keberhasilan Daerah Otonom untuk mengurus rumah tangganya
sendiri yaitu :
a. Kemampuan Struktur organisasinya, yaitu Pemerintah Daerah menampung segala aktifitas
dan tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggungjawabnya.  Jumlah unit-unit beserta
macamnya cukup mencerminkan kebutuhan pembagian tugas, wewenang dan
tanggungjawab yang cukup jelas;
b. Kemampuan aparatur Pemerintah, yaitu aparatur Pemerintah Daerah mampu menjalankan
tugasnya dalam mengatur dan mengurus rumah tangga Daerah, keahlian, moral disiplin dan
kejujuran serta saling menunjang tercapainya tujuan;
c. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat, dengan struktur organisasi dan kelincahan
aparatur Pemerintah tetap dituntut agar rakyat mau berperan serta dalam kegiatan
pembangunan;
d. Kemampuan keuangan Daerah, semua kegiatan untuk mencapai tujuan pasti membutuhkan
biaya.  Sehingga Pemerintah Daerah perlu memikirkan biaya untuk semua kegiatan sebagai
pelaksanaan pengaturan rumah tangganya.  Hal ini memerlukan sumber-sumber
pendapatan Daerah atau sebagian mendapat subsidi dari Pemerintah atasannya.     
D. Sejarah Desentralisasi dan Dekonsentrasi di Indonesia

Kurun Waktu Prinsip Otonomi dan Landasan Yuridis


1903 (Belanda) Sentralisasi
Stb 18552/2
Decentralisatie Wet 1903
1942-1945 (Jepang) Sentralisasi
Osamu Sirei No.27 Thn 2602 (1942)
1945-1959 Demokratis, Otonomi Luas, Desentralisasi
UU No.1 Tahun 1945
UU No.22 Tahun 1948
UU No.1 Tahun 1957
1959-1966 Otoriter, Sentralistik,Dekonsentrasi
Penpres No.18/1959
UU No.18/1965
1966 -1969/1971 Demokratis, Otonomi Luas, Desentralisasi
TAP MPRS No.21/1966
1971-1998 Otoriter, Sentralistik, Dekonsentrasi
TAP MPR No.IV/1973
UU No.5/1974
UU No.5/1979
1998- sekarang Demokratis, Otonomi Luas, Desentralisasi
TAP MPR No.IV/1998
UU No.22/1999
UU No.25/1999
UU No.32/2004
UU No.33/2004
Sumber:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30365/4/Chapter%20II.pdf

a. Masa Pemerintahan Hindia Belanda

Peraturan dasar ketatanegaraan Reglement op het Beleid der Regering van Nederlandsch
Indie (Stb 18552/2) menegaskan bahwa pemerintahan saat itu tidak mengenal desentralisasi
hanya sentralisasi dengan menjalankan dekonsentrasi. Secara hirarkis di Jawa dikenal istilah
Gewest (Residentie), Afdeeling, District, dan Onder-district.

Tahun 1903 Pemerintah Kerajaan belanda menetapkan Wethoudende Decentralisatie van


het bestuur in Nederlandsch Indie (Stb.1903/329) yang dikenal dengan istilah Decentralisatie
1903. Dengan terbentuknya peraturan ini terdapat kemungkinkan untuk membentuk Gewest
atau bagian Gewest yang mempunyai pengelolaan keuangan sendiri untuk membiayai segala
kegiatannya.

b. Masa Pendudukan Jepang


a) Pada awalnya pemerintahan bekas wilayah jajahan Belanda di bagi kedalam 3
komando yang dilaksanakan oleh komando angkatan masing masing yang disebut
Gunseikan. Komando tersebut adalah :
b) Sumatera dibawah komando Panglima Angkatan darat XXV yang berkedudukan di
Bukittinggi.
c) Jawa dan Madura berada dibawah Komando Panglima Angkatan darat XVI yang
berkedudukan di Jakarta.
d) Daerah lainnya berada di bawah Komando Panglima Angkatan Laut yang
berkedudukan di Makasar.

Pada tanggal 11 September 1943 kekuasaan pemerintah berada pada satu tangan, yaitu
tangan Saikosikikan yang berkedudukan sebagai Gubernur Jenderal. Dibawah Saikosikikan
segala sesuatu dilakukan oleh Kepala Staf (Gunseikan) yang sekaligus sebagai kepala staf
angkatan perangnya. Aturan yang dikeluarkan oleh Saikosikikan disebut Osamuseirei dan
yang dikeluarkan oleh kepala staf disebut Osamukanrei. Osamuseirei nomor 3 yang
dkeluarkan oleh saikosikikan mengatur pemberian wewenang kepada Walikota yang semula
hanya berhak untuk mengatur rumah tangga, selanjutnya diwajibkan juga untuk menjalankan
urusan Pemerintahan Umum.

c. Masa Orde Lama

Peraturan perundang-undangan pertama kali yang mengatur tentang pemerintahan


daerah pasca proklamasi kemerdekaan adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun
1945.Ditetapkanya undang-undang ini merupakan resultante dari berbagai pertimbangan
tentang sejarah pemerintahan dimasa kerajaan-kerajaan serta pada masa pemerintahan
kolonialisme, undang-undang ini menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui
pengaturan pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah.Didalam undang-undang ini pula
ditetapkan 3 jenis otonom, yaitu Karasidenan, Kabupaten dan Kota.
Pada periode berlakunya undang-undang ini, otonomi daerah diberikan kepada daerah
bersamaan pada saat pembentukan daerah melalui undang-undang berupa kewenangan
pangkal dan sangat terbatas. Sehingga dalam kurun waktu tiga tahun belum ada peraturan
pemerintah yang mengatur mengenai penyerahan urusan ( desentralisasi ) kepada daerah.
Undang-undang ini berumur kurang lebih 3 tahun karena diganti dengan undang-undang
Nomor 22 Tahun 1948.
Sebanyak 33 peraturan pemerintah tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan
yang diterbitkan dalam periode ini meliputi 7 bidang urusan, baik kepada Daerah Tingkat I
dan Daerah Tingkat II.Undang-undang pembentukan Daerah tingkat I dan Daerah Tingkat II,
memberlakukan secara mutadis ketentuan-ketentuan yang menyangkut penyerahan urusan
tersebut kepada Daerah tingkat I dan Daerah tingkat II yang dibentuk berdasarkan Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1948.
Selanjutnya yaitu undang-undang Nomor 18 Tahun 1965, menganut sistem otonomi
yang seluas-luasnya seperti undang-undang yang digantikannya. Undang-undang ini
dinyatakan tidak berlaku berdasarkan undang-undang Nomor 6 Tahun 1969, dengan adanya
pernyataan tidak berlakunya undang-undang ini pada saat ditetapkannya Undang-undang
yang menggantikannya.Dengan adanya pernyataan undang-undang Nomor 6 Tahun
1969.Berbagai ketentuan yang ditetapkan dengan undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
tidak dapat dilaksanakan.Prinsip otonomi yang dianut adalah otonomi yang seluas-
luasnya.Tetapi justru pada periode berlakunya undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 ini
tidak ada peraturan pemeritah yang diterbitkan dalam rangka penyerahan sebagian urusan
pemerintahan kepada daerah.

d. Masa Orde Baru

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di daerah,


dibuat dan diundangkan sebagai pengganti Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965.
Penggantian ini berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XXI/MPRS/1966, yang menyatakan
bahwa pemerintah dan DPR gotong royong ditugaskan untuk meninjau kembali UU No.18
Tahun 1965 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah. Realisasi ketetapan MPRS baru bisa
diwujudkan 9 tahun kemudian dengan diundangkannya undang-undang Nomor 5 Tahun
1974.Undang-undang ini mengatur tentang pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan
yang menjadi tugas pusat didaerah.Kekeliruan yang lebih mengutamakan desentralisasi
pernah diperbaiki, dengan memberikan pengakuan terhadap pentingnya asas dokonsentrasi.
Undang-undang ini berumur paling panjang yaitu 25 tahun dan kemudian digantikan dengan
undang-undang Nomor 22 Tahin 1999 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999.
e. Era Reformasi

Bermula dari Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan


Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang
Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Dilanjutkan dengan 7 Mei 1999, lahirlah UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah
selanjutnya UU No. 25/1999 yang mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah,
menggantikan UU No. 5/1974 yang sentralistik.

Kedua undang-undang ini mengatur wewenang otonomi yang diberikan luas kepada
pemerintah tingkat kabupaten dan kota. Selain itu bupati dan walikota pun dinyatakan bukan
lagi sebagai aparat pemerintah yang hierarkis di bawah gubernur. Jabatan tertinggi di
kabupaten dan kota itu merupakan satu-satunya kepala daerah di tingkat lokal, tanpa
bergantung pada gubernur.

Setiap bupati dan walikota memiliki kewenangan penuh untuk mengelola daerah
kekuasaannya. Keleluasaan atas kekuasaan yang diberikan kepada bupati/walikota dibarengi
dengan mekanisme kontrol (checks and balances) yang memadai antara eksekutif dan
legislatif. Parlemen di daerah tumbuh menjadi sebuah kekuatan politik riil yang baru.
Lembaga legislatif ini secara merdeka dapat melakukan sendiri pemilihan gubernur dan
bupati/walikota tanpa intervensi kepentingan dan pengaruh politik pemerintah pusat.
Kebijakan di daerah juga dapat ditentukan sendiri di tingkat daerah atas kesepakatan
pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Undang-undang yang baru
juga mengatur bahwa setiap peraturan daerah dapat langsung dinyatakan berlaku setelah
disepakati sejauh tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi
tingkatannya. Hal ini kontras berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang mensyaratkan
adanya persetujuan dari penguasa pemerintahan yang lebih tinggi bagi setiap perda yang akan
diberlakukan.

UU No 22/1999 dan UU No 25/1999 juga memberikan kerangka yang cukup ideal bagi
terwujudnya keadaan politik lokal yang dinamis dan demokratis di setiap daerah. Namun,
praktik-praktik politik yang menyusul setelah itu masih belum sepenuhnya memperlihatkan
adanya otonomi yang demokratis.
Hubungan pusat dan daerah juga masih menyimpan ancaman sekaligus harapan. Menjadi
sebuah ancaman karena berbagai tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa
semakin besar. Bermula dari kemerdekaan Timor Timur (atau Timor Leste) pada tanggal 30
Agustus 1999 melalui referendum. Berbagai gelombang tuntutan disintegrasi juga terjadi di
beberapa daerah seperti di Aceh, Papua, Riau dan Kalimantan. Meskipun ada sejumlah
kalangan yang menganggap bahwa kemerdekaan Timor Timur sudah seharusnya diberikan
karena perbedaan sejarah dengan bangsa Indonesia dan merupakan aneksasi rezim Orde
Baru, tetapi efek domino yang timbulkannya masih sangat dirasakan, bahkan dalam MoU
Helsinki yang menghasilkan UU Pemerintahan Aceh.Gejolak terus berlanjut hingga, Aceh
dan Papua akhirnya diberi otonomi khusus.

Menjadi harapan, karena Amandemen kedua konstitusi, telah mengubah wajah


Pemerintahan Daerah menjadi lebih demokratis dan lebih bertanggung jawab. Pasal 18 ayat
(5) UUD 1945 (redaksi baru), Perubahan Kedua, berbunyi, “Pemerintahan Daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemreintahan yang oleh undang-
undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat“. Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 tidak
dapat dibaca secara terpisah dengan Pasal 18 ayat (1) dan (5) UUD 1945 (redaksi baru).

Dalam pemhaman ini, M. Laica Marzuki mengatakan, bentuk negara (de staatsvorm)
RI secara utuh harus dibaca -dan dipahami- dalam makna: Negara Indonesia ialah Negara
Kesatuan yang berbentuk Republik, yang disusun berdasarkan desentralisatie, dijalankan atas
dasar otonomi yang seluas-luasnya, menurut Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 (redaksi
baru) juncto Pasal 18 ayat (1) dan (5) UUD 1945 (redaksi baru).

Lima tahun berlangsung, UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 dipandang perlu
direvisi, hingga lahirlah UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/2004
tentang Perimbangan Keuangan menggantikan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999
tersebut. UU No. 32 Tahun 2004 ini sempat mengalami perubahan berdasarkan UU No. 8
tahun 2005 dan UU No. 12 tahun 2008.

Tahun 2007, kemudian dikeluarkan PP No. 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan.
Walau telah dibagi-bagi kewenangan pusat dan daerah, namun PP ini dipandang telah
menegasikan kewenangan daerah. Revisi lebih komprehensif kemudian diwacanakan kembali
pada UU No. 32/2004 untuk lebih menterjemahkan lebih kongkrit kewenangan pusat dan
daerah. 
E. HUBUNGAN OTONOMI DAERAH DENGAN DESENTRALISASI DAN
DEKONSENTRASI

1. Hubungan Otonomi Daerah dengan Desentralisasi


Penyerahan wewenang pemerintahan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom
bermakna peralihan kewenangan secara delegasi, lazim disebut delegation of
authority.Dengan demikian, pemberi delegasi kehilangan kewenangan itu, semua beralih
kepada penerima delegasi.Berbeda ketika pelimpahan wewenang secara mandatum, pemberi
mandat atau mandator tidak kehilangan kewenangan dimaksud. Mandataris bertindak untuk
dan atas nama mandator. Sebagai konsekuensinya bahwasanya pemerintah pusat kehilangan
kewenangan dimaksud. Semua beralih menjadi tanggungjawab daerah otonom, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai urusan pemerintah pusat,
Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menetapkan, bahwasanya urusan
pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat meliputi a. politik luar negeri, b.
pertahanan, c. keamanan, d. yustisi, e. moneter dan fiskal, f. agama.

Pusat tidak boleh mengurangi, apalagi menegasikan kewenangan pemerintahan yang


telah diserahkan kepada daerah otonom. Namun demikian, daerah otonom-daerah otonom
tidak boleh melepaskan diri dari Negara Kesatuan RI. Betapa pun luasnya cakupan otonomi,
desentralisasi yang mengemban pemerintahan daerah tidaklah boleh meretak-retakkan
bingkai Negara Kesatuan RI.

Secara formal normatif, arah desentralisasi sudah cukup baik. Namun, dalam tataran
empiris komitmen pemerintah pusat tidak konsisten. Praktek-praktek monopoli dan
penguasaan urusan-urusan strategis yang menyangkut pemanfaatan sumber daya alam
termasuk perizinan di daerah, dikuasai pusat.

Intervensi pusat pada daerah begitu besar.Penyerahan urusan/wewenangan yang


semestinya dilakukan dengan penyerahaan sumber keuangan tidak dilakukan.Pusat
melakukan penganggaran pembangunan daerah tanpa melibatkan DPRD sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah. Pembiayaan fungsi-fungsi pemerintahan di daerah lebih
dominan berasal dari APBN, yang semestinya diserahkan sebagai dana perimbangan untuk
APBD
Robert Reinow dalam buku Introduction to Government, mengatakan bahwa ada 2
(dua) alasan pokok dari kebijaksanaan membentuk pemerintahan di daerah.Pertama,
membangun kebiasaan agar rakyat memutuskan sendiri sebagian kepentingannya yang
berkaitan langsung dengan kedaerahan.Kedua, memberi kesempatan kepada masing-masing
komunitas yang mempunyai tuntutan yang bermacam-macam untuk membuat aturan-aturan
dan programnya sendiri. Menurut Bagir Manan, dasar-dasar hubungan antara pusat dan
daerah dalam kerangka desentralisasi ada 4 (empat) macam, yaitu:
1. Dasar-dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara.
2. Dasar pemeliharaan dan pengambangan prinsip-prinsip pemerintahan asli.
3. Dasar kebhinekaan.
4. Dasar negara hukum.

2. Hubungan Otonomi Daerah dengan Dekonsentrasi


Otonomi Daerah yang merupakan suatu pemberian wewenang pemerintahan kepada
pemerintah daerah untuk secara mandiri dan berdaya untuk membuat keputusan mengenai
kepentingan daerahnya terdiri atas dua instrumen, yakni instrumen politik dan instrumen
administrasi / manajemen.Dimana kedua instrumen tersebut secara bersama-sama digunakan
untuk mengoptimalkan sumber daya lokal daerah, sehingga nantinya dapat dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kemajuan masyarakat di daerah.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah, terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 berkenaan dengan pelaksanaan
otonomi daerah di Indonesia, yakni;
a) Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai
kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang
berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia
tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan;
b) Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar
1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa
Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi
sebagai konsep perwujudan otonomi daerah di bidang ketatanegaraan.
Berdasarkan dua nilai dasar tersebut, prinsip-prinsip pelaksanaan otonomi daerah yang dianut
di Indonesia adalah:
a) nyata, bahwa otonomi daerah secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan
kondisi obyektif di daerah;
b) bertanggung jawab, bahwa pemberian otonomi daerah harus diselaraskan/diupayakan
untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air;
c) dinamis, bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah selalu menjadi sarana dan
dorongan untuk lebih baik dan lebih maju.
Dekonsentrasi sendiri adalah konsep perwujudan pelaksanaan dari otonomi
daerah.Pelaksanaan dekonsentrasi dilakukan setelah dilihat bahwasanya tidak semua tugas-
tugas teknis pemerintahan dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah itu sendiri. Hal ini
sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang antara lain adalah untuk mewujudkan
penyelenggaraan pemerintahan yang efisien, dan agar masyarakat luas terutama masyarakat
di daerah dapat turut berpartisipasi dalam pembangunan di daerahnya masing-masing.
Dekonsentrasi sebagai konsep perwujudan pelaksanaan otonomi daerah antara lain diatur
dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Dalam Undang-Undang ini disebutkan bahwa
dekonsentrasi adalah asas penyelenggaraan pemerintah oleh pemerintah pusat. Dalam
Undang-Undang ini disebutkan pula bahwa sesungguhnya otonomi daerah di Indonesia dapat
dikategorikan sebagai “otonomi terkontrol”, hal ini dikarenakan dalam penyelenggaran
urusan pemerintahan dibutuhkan pelaksanaan hubungan kewenangan antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten / kota, ataupun antar
pemerintah daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai suatu sistem
pemerintahan yang utuh.Pelaksanaan “otonomi terkontrol” ini sesungguhnya merupakan
bagian dari kebijakan pemerintah pusat untuk mewujudkan otonomi daerah yang protektif.

F. MASALAH PENERAPAN OTONOMI DAERAH DAN SOLUSI KE DEPAN


1. Masalah Otonomi Daerah
Sejak dicanangkannya otonomi daerah pada tahun 2000, melalui diundangkannya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah terbentuk daerah
otonom baru sebanyak 205 buah yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten dan 34 Kota.
Dengan perkataan lain terjadi peningkatan  68% dari jumlah daerah otonom tahun 1998 atau
secara rata rata dalam satu tahun lahir 20 daerah otonom baru Sehingga daerah otonom
menjadi sebanyak 530 unit (propinsi, kabupaten, kota) .
Hasil evaluasi efektifitas pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan bahwa
pelaksanaan otonomi daerah belum mencapai tujuan yang hakiki dari otonomi daerah yaitu
meningkatkan kesejahteraan rakyat.Kesimpulan ini merupakan hasil kajian Direktorat
Adapun indikator pengukuran efektifitas pelaksanaan otonomi daerah yang
dipergunakan adalah sebagai berikut.
a. Angka Kemiskinan. Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah daerah yang berada di bawah
garis kemiskinan tidak berkurang.
b. Kualitas SDM. Kualitas sumber daya manusia masih belum memadai.
c. Pemenuhan hak dasar. Masih banyak anak-anak putus sekolah, diskriminasi layanan
kesehatan masih banyak dijumpai. Berdasar data BPS, pada tahun 2009 masih banyak
propinsi dengan indeks pembangunan manusia (IPM) jauh dibawah rata-rata nasional
yaitu 19 propinsi.
d. Lapangan kerja dan angka pengangguran. Angka pengangguran masih cukup tinggi.
e. Pengembangan infrastruktur seperti jalan, penerangan dan air minum. Kondisi jalan
dengan kualitas rusak berat, rusak ringan, dan tidak mantap jumlahnya masih signifikan.
Masih terdapat sekitar 7 persen desa yang belum terlayani listrik. Masih sekitar 70 juta
penduduk belum mendapat layanan air minum, bahkan perilaku buang air besar (BAB)
masih dilakukan oleh sekitar 60 juta penduduk.
f. Pemberdayaan ekonomi. Upaya penciptaan lapangan pekerjaan belum menunjukkan hasil
yang menggembirakan.
g. Kualitas pengelolaan pemerintahan berdasar prinsip Kepemerintahan yang Baik (Good
Governance). Manurut hasil riset Booz-Allen dan Hamilton pada tahun 1999,
menunjukkan bahwa Indonesia masih masuk dalam kategori poor governance. Tertinggal
dibanding Negara Asia Tenggara lainnya.
Di sisi lain, dampak negatif juga terjadi diantaranya (i) banyak kebocoran (korupsi) dan
penggunaan anggaran yang tidak efisien dan efektif; (ii) terbukanya potensi kegaduhan yang
disebabkan oleh ketidaksiapan daerah dan ketidaklengkapan desain regulasi untuk
mengimplementasikan proses desentralisasi, berupa desentralisasi KKN dan duplikasi Perda
yang justru berlawanan dengan spirit otonomi daerah. Jika sebelumnya watak KKN lebih
bersifat vertikal dengan institusi di atas mengambil bagian yang paling besar, maka sejak era
otonomi watak KKN lebih bersifat horizontal dengan setiap lini penyelenggara pemerintah
(daerah) mengambil bagian yang sama.
Temuan lain juga mengemukakan bahwa kebijakan desentralisasi tak luput dari
serangkaian permasalahan seperti munculnya pembengkakan organisasi daerah, terjadinya
oligarki politik oleh elit lokal maupun gejala pembangkangan daerah terhadap pemerintah
pusat.
2. Solusi atas Permasalahan

Memperhatikan isu utama dalam pelaksanaan otonomi daerah yang telah banyak
mempengaruhi pelaksanaan otonomi daerah, dibutuhkan langkah nyata dalam menanggapi
isu dimaksud.Beberapa agenda yang dipandang perlu dan segera untuk dilakukan adalah.

a. Penyusunan Desain Besar Otonomi Daerah Tahun 2015-2025

Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah telah berlangsung lama, namun


pelaksanaannya masih terkesan berubah-ubah bahkan pada era reformasi perubahan regulasi
terkait otonomi daerah berlangsung dalam waktu yang singkat. Sebagai ilustrasi, Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 hanya efektif selama 5 tahun dan direvisi menjadi Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004. Untuk itu, perlu disiapkan langkah penyiapan naskah
akademik dengan melibatkan berbagai pihak. Desain Besar ini akan dilengkapi dengan peta
jalan yang sekaligus merupakan masukan bagi penyusunan RPJMN Tahun 2015-2019.

b. Penyempurnaan regulasi otonomi daerah dan sinkronisasi dengan regulasi sektoral


terkait
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian isu terdahulu bahwa salah satu faktor yang
berpengaruh signifikan terhadap hasil pelaksanaan otonomi daerah adalah keberadaan
regulasi sektoral, yang ketika tumpang tindih akan menghambat pelaksanaan otonomi daerah.
Untuk itu, agenda utama yang perlu dilakukan adalah sinkronisasi keseluruhan regulasi
terkait otonomi daerah, baik sektoral maupun yang terkait langsung dengan otonomi daerah,
termasuk regulasi di pusat (undang-undang, PP, permen, juklak, juknis, maupun daerah
(perda). Sebagai konsekuensi logisnya, undang-undang otonomi daerah kemungkinan besar
juga akan direvisi.
Salah satu masukan terkait revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 berasal dari
Hakim Konstutusi Akil Mochtar (2012), yang menyatakan bahwa sesuai dengan Program
Legislasi Nasional (Proglenas) 2010, UU Nomor 32 Tahun 2004 akan direvisi menjadi tiga
Rancangan Undang-Undang (RUU): RUU tentang Pemerintahan Daerah, RUU tentang
Pemilihan Kepala Daerah, dan RUU tentang Desa.
Untuk itu, menurut Mochtar (2012), setidaknya terdapat 22 isu strategis yang
dirumuskan dalam RUU Pemerintahan Daerah antara lain: (1) pembentukan daerah otonom;
(2) pembagian urusan pemerintahan; (3) daerah berciri kepulauan; (4) pemilihan kepala
daerah; (5) peran gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah; (6) Muspida; (7)
perangkat daerah; (8) kecamatan; (9) aparatur daerah; (10) peraturan daerah; (11)
pembangunan daerah; (12) keuangan daerah; (13) pelayanan publik; (14) partisipasi
masyarakat; (15) kawasan perkotaan; (16) kawasan khusus; (17) kerjasama antardaerah; (18)
desa; (19) pembinaan dan pengawasan; (20) tindakan hukum terhadap aparatur Pemda; (21)
inovasi daerah; (22) dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD).

c. Peningkatan kualitas proses perencanaan pembangunan daerah

Pembangunan daerah yang berkualitas masih sulit dicapai, ketika proses perencanaan
pembangunan daerah belum mendapat perhatian. Untuk itu, beberapa hal yang perlu
dilakukan adalah peningkatan kualitas para pimpinan dan staf perencana melalui pendidikan
dan pelatihan perencanaan berkala, dan peningkatan kualitas rapat koordinasi wilayah.,
pembenahan sistem informasi, peningkatan kualitas data, dan pelaksanaan monitoring dan
evaluasi secara berkala dan tepat waktu.

d. Peningkatan kualitas pengendalian program melalui pengembangan sistem informasi


otonomi daerah yang menerapkan manajemen pengetahuan

Salah satu kelemahan pelaksanaan otonomi daerah adalah tidak terpantaunya kegiatan
secara memadai, yang terutama diakibatkan oleh kesulitan mengakses data pencapaian.
Akibatnya hasil evaluasi pelaksanaan otonomi daerah menjadi kurang berkualitas. Untuk itu,
perlu dikembangkan konsep manajemen pengetahuan yang pada intinya menjaga aliran data
dan informasi mulai dari pengumpulan data dasar, pengolahan, pendistribusian dan bahkan
meningkatkan data dan informasi tersebut menjadi pengetahuan. Beberapa hal yang akan
tercakup adalah sistem informasi, mekanisme monitoring dan evaluasi, ketersediaan akses
bagi semua., pusat informasi di tiap daerah..

e. Pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, pemantauan dan evaluasi


secara partisipatif

Selama ini proses desentralisasi dan otonomi daerah terlalu fokus pada aspek
kepemerintahan, dengan melupakan bahwa filosofi otonomi daerah diantaranya adalah
keterlibatan aktif masyarakat dalam proses ini. Akibatnya masyarakat hanya menjadi
obyek.Untuk itu, dibutuhkan upaya bertahap untuk mulai melibatkan masyarakat dimulai
dengan melakukan sosialisasi secara intensif, menyelenggarakan dengan pendapat publik,
melibatkan masyarakat dalam pemantauan dan evaluasi secara partisipatif. Dengan demikian
diharapkan dukungan masyarakat akan membantu meningkatkan kualitas otonomi daerah.

f. Pengembangan alternatif sumber pembiayaan pemerintah daerah


Kesulitan yang dihadapi oleh pemerintah dalam memperoleh sumber pembiayaan di
daerah perlu disikapi dengan menyiapkan terobosan alternative pembiayaan.Diantara yang
dapat dilakukan adalah efisiensi anggaran, revitalisasi perusahaan daerah, dan kerjasama
dengan swasta.

g. Pembenahan forum komunikasi otonomi daerah

Pelaksanaan otonomi daerah menjadi kepentingan semua pihak, sehingga keterlibatan


pemangku kepentingan menjadi suatu keniscayaan. Untuk itu, dibutuhkan suatu forum yang
dapat membantu mengakomodasi semua kepentingan, baik pemerintah, dan pihak di luar
pemerintah termasuk masyarakat. Forum yang ada selama ini dapat dioptimalkan perannya
dalam meningkatkan keterlibatan pemangku kepentingan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Otonomi daerah sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Konstitusi, sebagai dasar dari segala peraturan
perundang-undangan, menghendaki adanya otonomi daerah secara tegas sebagaimana disebut
dalam penjelasan pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Untuk melaksanakan otonomi daerah sendiri terdapat beberapa cara dalam melaksanakannya,
antara lain adalah dengan menggunakan konsep desentralisasi dan dekonsentrasi.

Maka dapat disimpulkan bahwasanya desentralisasi dan dekonsentrasi merupakan


bentuk realisasi pelaksanaan dari otonomi daerah dengan karakteristik masing-masing, yang
diantara kedua hal tersebut mengatur bidangnya masing-masing.Dalam hal pelaksanaannya di
Indonesia, otonomi daerah sebagai konsep awal dari desentralisasi dan dekonsentrasi masih
belum terlaksana dengan baik. Hal ini antara lain karena belum terciptanya suatu grand
design sebagai guideline bagi pemerintah untuk melaksanakan otonomi daerah. Maka dari
itu, grand design tersebut menjadi salah satu solusi untuk memaksimalkan pelaksanaan
desentralisasi dan dekonsentrasi sebagai bentuk pelaksanaan konsep otonomi daerah
sebagaimana telah disinggung sebelumnya bersama pula dengan solusi-solusi lainnya.

B. Saran

Diharapkan dengan adanya makalah ini, kita sebagai mahasiswa bisa memahami
desentralisasi dan otonomi daerah yang telah diberikan wewenang oleh pemerintah pusat.
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Ragawino, Bewa.2003. Makalah : Desentralisasi dalam Kerangka Otonomi Daerah
diIndonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pajajaran,Bandung.
Prof. Dr. Mr. F.A.M. Stroink diterjemahkan oleh Prof. Dr. Ateng Syarifudin, S.H., 2006,
Pemahaman Tentang Dekonsentrasi Bandung: Refika Aditama
Koswara, E. 1999. Otonomi Daerah yang Berorientasi Kepada Kepentingan Rakyat.
Makalah. UNIBRAW. Malang.
Kjellberg, Francesco. 1995. The Chaling Values of Local Government" ANNALS, AAPSS,
540, July 1995. American Academy. p.40-50.
Soenobo Wirjosoegito.2004.Proses & Perencanaan Peraturan Perundangan. Jakarta: Ghalia
Indonesia. Call Number : [340 SOE p (1), 340 SOE p (2)]
Suwandi.2005.Menggagas Otonomi Daerah di Masa Depan,Jakarta:Samitra Media Utama.
Yudoyono, Bambang.2002.Desentralisasi dan Pengembangan SDM aparatur pemda dan
anggota DPRD. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.Call Number : 351.1 BAM

Undang-undang
1. Undang Undang Dasar 1945
2. Ketetapan MPR-RI Nomor IV/MPR-RI/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam
Penyelenggaraan Otonomi Daerah
3. UU Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Indonesia Daerah
4. UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
5. UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
6. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
7. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Desentralisasi dan Tugas
Perbantuan

Anda mungkin juga menyukai