Anda di halaman 1dari 13

Mata Kuliah Antropologi Hukum

 Silahkan membaca ringkasan hasil riset di 5 desa berikut ini


 Lakukan identifikasi berdasarkan pendekatan kajian antropologo hukum
 Identifikasi dilakukan dengan alur sebagai berikut:
 Pendekatan/metode kajian apa yang digunakan dalam laporan riset ini
 Berikan alasannya dan kemukakan ciri-cirinya berdasarkan pendekatan
antropologi hukum
 Pelajaran apa yang bisa diperoleh dari ringkasan hasil riset ini

Hak Pengelolaan Sumber Daya Alam dan


Aksesnya Bagi Masyarakat Adat

Area Kelola Masyarakat Adat dalam penggunaan sumber daya alam

Pengakuan masyarakat hukum adat cukup tegas dijamin oleh konstitusi, selain itu juga
terdapat pengaturan dan penyebutan keberadaan masyarakat hukum adat yang
berkaitan dengan pemanfaatan SDA dalam undang-undang. misalnya bidang pesisir
dan kelautan diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau pulau kecil jo. UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Bidang kehutanan diatur dalam UU Nomor 41 Tahun 1999, juga dalam bidang
perkebunan yang diataur dalam UU Perkebunan nomor 18 Tahun 2014.
Regulasi yang ada seharusnya memberikan ruang bagi masyarakat hukum adat
untuk memiliki area kelola dalam penggunaan sumber daya alam, namun prakteknya
terjadi kesenjangan kaitannya dengan pengakuan dan perlindungan masyarakat
hukum adat, sebagaimana terpotret di Kabupaten Paser dan Kabupaten Kutai
Kartanegara yang mewakili bidang pesisir dan kelautan, kehutanan dan perkebunan.

Pengelolaan Sumber daya Alam bidang pesisir dan kelautan

Pada masyarakat di Desa Pasir Mayang mewakili masyarakat yang memiliki


akses terhadap perkebunan sekaligus pesisir dan kelautan. Desa Pasir Mayang
merupakan salah satu desa di kecamatan kuaro dengan luas 96,90 km atau 12,97% luas
kecamatan kuaro. Jarak desa ke ibu kota kecamatan 30 km dapat menggunakan jalur
darat atau laut. Desa ini terdiri dari 11 RT dengan 879 KK yang sumber penghasilan
utamanya di sektor pertanian, perikanan dan perkebunan.
Masyarakat desa pasir mayang secara geografis ada yang tinggal di pesisir laut
yang dihuni oleh orang bajo yang mengandalkan laut sebagai mata pencahariannya.
Ada pula masyarakat yang tinggal di darat, mayoritasnya adalah orang paser yang
menggarap kebun. Sawit menjadi pemandangan di sepanjang perjalanan menuju Desa
Pasir Mayang, Sawit dikelola oleh perusahaan dan sebagian kecil dikelola sendiri oleh
masyarakat. Hal ini memang sejalan dengan hasil komoditi di kecamatan kuaro
dimana sawit merupakan hasil terbanyak tanaman perkebunannya. Luas tanaman
perkebunan Kelapa sawit mencapai 23.010 Ha, unggul jauh dari komoditi karet yang
hanya 1.063 Ha.1
Secara historis Orang bajo dan Orang paser lah yang pertama kali mendiami
desa pasir mayang. Menurut cerita orang bajo, masyarakat asli paser telah ada sekitar
300 tahun yang lalu. Masyarakat mempercayai legenda bahwa asal usulnya dari raja
dan ratu yang pernah mendiami kawasan ini, bahkan hingga kini masih mempercayai
kebenaran cerita itu melalui suara gendang yang hanya terdengar di malam tertentu
khsuusnya pada saat purnama. Cerita ini memberikan kesan kepada peneliti bahwa
orang paser dan orang bajo ingin benar-benar diakui sebagai masyarakat asli yang
mendiami desa paser mayang, sehingga berhak mengambil, memanfaatkan, mengelola
sumber daya alam disana. Orang Bajo kemudian memanfaatkan daerah pesisir laut
sebagai tempat tinggal, mencari ikan, udang, dan kekayaan laut lainnya
Pesan masyarakat asli dan pendatang ini begitu kental ketika menceritakan
kondisi mereka yang semakin kesulitan mengakses laut, meskipun nasibnya tidak
seperti Desa Pondong yang menurut mereka sama sekali tidak memiliki akses
terhadap laut terdekat, karena telah dikuasai oleh orang-orang pendatang sebagai
tempat tinggal dan tempat usaha.2 Meskipun orang Bajo di Desa Pasir mayang masih
bisa mengakses laut namun area kelolanya menjadi terpinggirkan bahkan semakin
terancam dengan hadirnya perusahaan batu bara yang menjadikan laut sebagai jalur
pengangkutan batubara. Tongkang tongkang yang lewat di sekitar jalur tangkapan
ikan, menjadikan orang bajo terpinggirkan dan harus mengalah mencari wilayah lain
untuk dapat mengakses sumber daya laut yang ada. “Seandainya laut ini seperti darat,
mungkin sudah habis dikavling-kavling sama orang” begitu ungkapan tokoh
masyarakat untuk menggambarkan kesulitan akses mereka terhadap laut. 3 Masyarakat
tidak mendapat informasi apapun mengenai jalur batubara yang melewati area
kelolanya.
Melihat hal ini masyarakat tidak tinggal diam, ada protes khususnya dari
kelompok nelayan dan kelompok mahasiswa4, hingga kemudian ada kesepakatan
mengatur waktu lalu lalang kapal pengangkut batubara tersebut. Namun ada semacam
fenomena untuk membungkam orang-orang yang vocal tersebut dengan memberikan
pekerjaan.
Ketika ditanya apakah ada kontribusi perusahaan kepada masyarakat, dikatakan
bahwa perusahaan memang memberikan bantuan setiap tahun di 11 RT yang ada,
1
Kecamatan kuaro dalam angka tahun 2017
2
Cerita dari Pak yakub Biasa dipanggil guru Yakub, merupakan salah satu tokoh yang ada di paser
mayang. Beliau orang Paser, namun tinggal di pinggir laut bersama dengan orang bajo yang lebih dulu
tinggal disana. Keberadaan guru yakub bersama dengan suku bajo menjadikan beliau salah satu yang
ditokohkan. (Peneliti tinggal di rumah guru yakub selama di lapangan)menceritakan bahwa
masyarakat di Desa Pondong, berada di seberang desa (terpisah laut). Yang dimaksud tidak bisa
mengakses laut adalah Orang Bajo sudah tidak bisa menambatkan perahu mereka di tepian, meski
disadari oleh mereka bahwa itu terjadi karena mereka menjualnya ke pendatang.
3
Sebagaimana diceritakan Guru Yakub dan Pak Aneng yang merupakan ketua RT
4
Nafis ; (Mahasiswa) Anak Guru yakub yang menemani peneliti untuk menelusuri laut menuju
desa ponding, dan perusahaan. Beberapa kali terlibat dalam pertemuan warga dengan pemerintah dan
anggota DPRD terkait protes warga akan keberadaan lalu lintas tongkang batu bara yang melewati laut
di depan area rumah warga
misalnya tenda atau masyarakat sini menyebutnya serobong, mesin “ketinting” dan
alat-alat lain yang dibutuhkan masyarakat.5
Masalah ini juga telah direkam oleh aparatur desa, Informasi ini diterima peneliti
ketika berkunjung ke kantor BPD Paser Mayang dan bertemu dengan perangkat BPD.
Pada saat ke lapangan sedang mempersiapkan rapat perdana setelah BPD terbentuk.
Sebagai bentuk mempertahankan diri orang bajo memanfaatkan wilayah laut lain yang
leboh jauh dari tempat biasa, bahkan ada yang pindah mencari hasil laut hingga masuk
wilayah perairan kabupaten Berau. Selain itu dua tahun terakhir ini ada pula yang
menjadi petani sarang burung wallet karena tidak bisa jika hanya mengandalkan hasil
laut saja. Tentu saja sebuah peruntungan karena hasilnya masih belum bisa dirasarkan,
lagi lagi ini adalah urusan kesejahteraan.
Perlu juga dicatat bahwa Orang Bajo di Desa paser mayang tidak memiliki
pengaturan khusus dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir dan laut seperi
adanya tempat dan waktu terlarang, atau adanya hak komuneal (bersama), jadi setiap
orang diperbolehkan mengambil manfaat dari hasil laut sepanjang mampu
mengusahakannya.6
Selain terganggunya akses pemanfaatan laut karena jalur pengangkutan
batubara, masalah lama yang belum tuntas adalah ditetapkannya wilayah desa paser
mayang sebagai cagar alam (CA) berdasarkan SK Gubernur Kaltim No. 46/1982
menjadikan mereka serba salah, karena mereka tinggal di kawasan yang tidak boleh
diganggu. Hak hidup orang bajo dan orang Paser seakan dikesampingkan atas nama
penyelamatan alam, bahkan mereka berujar jika monyet lebih dilindungi daripada
manusia. Pernyataan ini adalah ekspresi kekecewaan atas apa yang menimpa mereka,
karena konsekuensi penetapan cagar alam adalah tidak dibolehkannya aktivitas selain
konservasi.
Kekecewaan semakin nampak ketika menceritakan perlakuan berbeda kepada
perusahaan yang juga melewati kawasan cagar alam. Padahal kerusakan mangrove
justru dari aktivitas lalu lintas tongkang pengangkut batubara. Sering didapati
tongkang tersebut berhenti/sandar di tepi mangrove sambil antri menunggu proses
muat batubara tongkang lainnya.

Sumber Daya Alam bidang Kehutanan

Selain desa Paser Mayang, Peneliti juga melakukan riset di Desa Muara
Lambakan yang mewakili Masyarakat dengan area kelola kehutanan dan Perkebunan.
Muara Lambakan adalah salah satu desa di kecamatan longkali, jarak ke ibukota
kecamatan 64 Km menggunakan jalur darat, terdiri dari 3 RT.
Kecamatan long kali cukup mengandalkan sawit dan karet sebagai
komoditasnya, terbukti luas tanaman perkebunan karet 2.889 Ha dengan produksi
5
Diskusi dengan beberapa warga di paser mayang yang sedang berkumpul (pada saat peneliti di
lapangan sedang ada hajatan pernikahan di rumah guru yakub, sehingga terbentuk diskusi yang
berjalan santai)
6
Dalam diskusi kecil bersama orang Bajo di rumah guru yakub, mereka membandingkan
keberadaannya dengan orang Bajo di daerah lain yang memang masih kuat dengan pengaturan adatnya
dalam memanfaatkan dan mengelola laut.
4.529 ton atau 1,57 Ton/Ha dan luas perkebunan kelapa sawit 24,027 Ha, dengan
produksi 334.084 ton atau 13,90 Ton/Ha. Pantas saja di sepanjang jalan menuju desa
muara lambakan akan sering kita jumpai truck besar pengangkut kelapa sawit dan
kayu, peneliti menjadi maklum dengan kondisi jalan yang sebagian besar rusak,
beruntung ketika perjalanan tim peneliti menuju lokasi tidak dalam kondisi hujan.
Namun harapan bahwa limpahan sumber daya alam di sektor kehutanan dan
perkebunan akan mensejahterakan masyarakat desa muara lambakan sepertinya masih
menjadi angan-angan, justru konflik lahan dengan perusahaan terus berulang. Pelan
tapi pasti masyarakat kehilangan akses terhadap hutan sebagai sumber kehidupan.
Terpenuhinya kebutuhan sehari hari yang berasal dari hutan dan alam
menunjukkan seberapa besar ketergantungan hidup mereka pada hutan. Namun
masuknya perusahaan kayu dan perusahaan hutan tanaman industri, menjadikan
mereka kehilangan akses hutan. Belum lagi godaan ekspansi kelapa sawit yang
hasilnya nampak begitu menggiurkan. Bukan tanpa perlawanan, masyarakat dibawah
kelembagaan adat sudah melakukan berbagai upaya, diberikannya semacam fee oleh
perusahaan menunjukkan bahwa keberadaan masyarakat dan lembaga adat itu diakui,
sekalipun akhirnya setelah itu “selesai urusan”.7
Secara umum masyarakat adat Paser mengelompokkan diri dan wilayahnya
berdasarkan aliran sungai, termasuk di Muara Lambakan. Masyarakat disini meyakini
keberadaan mereka sebagai orang asli yang lebih dahulu mendiami wilayah sekitar
sungai lambakan, ditandai dengan adanya kuburan tua yang diketahui silsilahnya.
karena itu berhak untuk tetap mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam sekitar
hutan.8 Cerita sejarah adat juga diungkapkan kepala adat yang mengatakan bahwa
mereka sudah menempati wilayah ini tahun 1018 dibawah penemban dan benua (paser
tengah), mereka terpencar mengikuti kepala sungai, keberadaan desa muara lambakan
ditandai dengan kuburan tua yang sampai saat ini masih dapat ditemukan. Pada tahun
1948 mulai berkumpul di muara lambakan dan membuka hutan, lalu pada tahun 1970
mereka dikumpulkan oleh kepala desa.
Hak kelola masayarakat atas tanah dan hutan ditandai dengan batas batas kebun
berupa kayu sungkai, laban dan pinang. Tidak pernah ada perebutan lahan baik
internal masyarakat maupun dengan pendatang/eksternal. Tidak ada orang luar yang
mau mengambil lahan atau kebun. Dalam prakteknya masyarakat boleh mengambil
kayu di sekitar hutan namun tidak untuk dijual, jika ada yang mau membeli kayu maka
harus izin dengan adat dan hasilnya diserahkan kepada adar. Aktivitas mengambil
kayu di hutan menggunakan Chainsaw untuk membangun rumah, tidak ada yang
membeli lahan, sebagian besar karena waris dan hibah.9
Hal serupa disampaikan kepala adat desa muara lambakan, awalnya masyarakat
mengandalkan padi, rotan dengan pola ladang berpindah dan tumpang sari,
kepemilikan tidak ditandai dengan surat menyurat Namunbukan berarti tidak ada
mekanisme verifikasi kepemilikan, setiap orang dikatakan menguasai atau memiliki

7
Selesai urusan
8
Cerita Pak Jamhari, Salah satu tokoh di Muara lembakan, Beliau Orang Paser yang sejak kecil
tinggal di muara lambakan dan salah satu pengurus lembaga adat
9
Orang di rumah peneliti tinggal
lahan mampu menunjukkan batas penguasaannya yang ditandai dengan adanya
tanaman keras seperti aren, durian, cempedak dan pohon buah lainnya. 10 Hal ini terjadi
dibawah kepemimpinan kepala adat yang telah empat kali berganti, antara lain
dibawah kepemimpinan
1. Kanyeyeh (tahun 1965an)
2. Sudam (tahun 1980an)
3. H jaman (tahun 200an)
4. Basri (tahun 2010)
Secara struktural, adat memiliki ketua, wakil ketua, sekretaris dan 4 orang
anggota. Tugas kepala adat adalah mengatur orang baik kelompok ataupun sendiri-
sendiri. Kehidupan gotong royong masih nampak dalam interaksi mereka, kepala adat
ikut dalam pembahasan desa bersama RT dan aparatur desa, khususnya dalam
pembuatan sekat bakar pada saat membuka lahan. Masih berlaku aturan adat dalam
pembukaan lahan, misalnya larangan membakar jika ada atau berdekatan dengan
ladang milik orang lain dan belum diinformasikan rencana membuka lahan, juga
memulai prosesi pembukaan lahan dengan upacara adat (dengan tujuan agar tidak
diganggu leluhur bukan untuk persembahan).11
Hal ini menunjukkan adanya keterlibatan adat dalam pengambilan keputusan
oleh struktur pemerintahan desa,12 namun demikian kepala adat menyadari bahwa
masyarakat adat ini belum diakui oleh pemerintah secara legal, padahal desa telah lama
ada sebelum merdeka. Namun keberadaan mereka beserta wilayah kelola tidak diakui
dalam regulasi daerah yang ada seperti dalam RTRW, justru wilayah adat ditetapkan
menjadi kawasan kehutanan. Memang benar sudah ada beberapa yang dialihkan
menjadi area penggunaan lain (APL), namun prosesnya rumit dan membutuhkan
waktu yang lama.
Lemahnya posisi masyarakat adat yang belum diakui secara legal oleh
pemerintah daerah semakin nyata dibuktikan dengan masuknya perusahaan di
wilayah kelola masyarakat. Perusahaan kayu pada tahun 1970-an yang berada di
sekitar area kelola dan Perusahaan Hutan Tanaman Industri yang persis mengambil
area kelola masyarakat terhadap hutan.
Kondisi yang demikian bukan hanya menjadikan masyarakat adat tidak
sejahtera, lebih dari itu masyarakat tidak berdaya melawan kekuatan negara, sehingga
wilayah kelola dan kehidupan mereka semakin sempit. Mau tidak mau masyarakat
melakukan berbagai cara perlawanan ketika perusahaan datang membawa surat surat
sebagai bentuk perizinan dan mulai membuka hutan di wilayah hidup mereka. Salah
satunya dengan melakukan penolakan terhadap PT. Fajar Surya Swadaya yang
memperluas wilayah kerja Hutan Tanaman Industri dalam hal ini penanaman akasisa
dengan luas garapan 5.300 Ha.13

10
Basri, Kepala adat di muara lambakan sekitar tahun 2010, menjadi ketua adat melalui proses
pemilihan.

11
Peneliti sempat menyaksikan proses membuka lahan dengan cara dibakar
12
Pada saat berkunjung ke rumah kepala adat baru selesai menghadiri pertemuan komite sekolah
dasar di desa muara lambakan.
Selain itu masyarakat juga melakukan adaptasi karena mulai kehilangan sumber
kehidupan, Tahun 1999 ketika komoditi rotan mengalami penurunan, kemudian
masyarakat beralih mengandalkan karet, belakangan karet juga mulai ditinggalkan
karena tidak ada pasar yang mau membeli.
Kini kelapa sawit- lah yang menjadi andalan masyarakat di muara lambakan.
Umumnya mereka memiliki kebun sendiri, masyarakat (masyarakat adat) difasilitasi
oleh pemerintah desa dengan pemberian bibit dan pupuk. Bolehkah ini dipandang
sebagai bentuk kekalahan telak masyarakat dalam mempertahankan wilayah kelola
termasuk kearifan lokal yang telah lama hidup?14
Hal lain yang dapat dipotret selama di lapangan adalah adanya kegelisahan
masyarakat dengan wacana membangun bendungan dan akan menenggelamkan
seluruh wilayah desa muara lambakan. Isu ini dibicarakan hampir seluruh kalangan
baik tua-muda di berbagai tempat, rumah warga, warung, kantor hingga di sungai pun
tak luput membicarakannya. pro kontra bermunculan dengan berbagai
argumentasinya.
Setuju dengan pembangunan bendungan dengan syarat adanya jaminan
penggantian yang menjadikan taraf hidup lebih baik, perhitungannya harus
berdasarkan jumlah anggota dalam keluarga. sebaliknya jika tidak ada jaminan tersebut
maka ditolak pembangunannya. Hal ini disamping alasan kebutuhan terhadap
bendungan sebagai penyedia air bagi kabupaten paser.15
Sementara pihak yang tidak setuju menganggap bahwa pembangunan
bendungan tidak boleh hanya sekedar mempertimbangkan kebutuhan, namun perlu
mempertimbangkan hal yang lebih komprehensif. Hilangnya wilayah kelola hutan dan
kebun, hilangnya keanekaragaman hayati yang khas, hilangnya kuburan tua yang
menjadi situs sejarah, budaya dan kearifan lokal masyarakat, belum lagi harus memulai
adaptasi dengan wilayah yang baru. Hal seperti ini perlu kiranya diperhatikan dalam
rencana pembangunan bendungan.16 Menarik ketika pro dan kontra ini bertemu dalam
satu tempat, saling menanggapi dengan berbagai argumentasi, hingga peneliti
mendapat informasi bagaimana persepsi dan sikap warga menanggapi fakta tersebut. 17

Fakta di desa paser mayang dan muara lambakan menunjukkan lemahnya posisi
orang bajo dan orang paser atas akses sumber daya alam di sekitarnya. Keberadaan
lembaga adat juga tidak berperan maksimal untuk mempertahankan hak mereka,
beralihnya masyarakat di muara lambakan mengikuti trend menanam sawit atau

13
http://gaung.aman.or.id/2016/01/20/masyarakat-adat-muara-lambakan-tolak-pt-fajar-surya-
swadaya-masuk-wilayahnya/
14
Peneliti bertemu dengan ibu separuh baya yang menunggu pembagian racun/pupuk di kantor
desa, pada saat mengantar beliau pulang, cerita mengalir bahwa beliau beralih ke sawit karena mudah
merawat dan mudah menjual hasilnya.
15
Pak Musdam (Ketua RT, Mantan ketua BPD Muara Lambakan)
16
Pak Aswad Saka, orang yang dipercaya untuk mengurus hidrologi oleh BMKG
17
Pak Tarsan (Guru), Pak Ardi, dan Pak slang (warga desa muara lambakan) yang ditemui peneliti
pada saat istirahat di warung, terlibat diskusi tentang kondisi faktual muara lambakan.
berpindahnya orang bajo untuk mencari wilayah tangkapan ikan yang lain atau
mencoba peruntungan dengan mendirikan bangunan untuk sarang burung wallet
membuktikan hal itu.

Sumber Daya Alam bidang Perkebunan

Wilayah kecamatan kenohan terdiri dari 9 desa, 3 desa terpilih menjadi lokasi
riset karena telah mengidentifikasi diri sebagai masyarakat adat. Desa yang mewakili
pengelolaan sumber daya alam pada sektor perkebunan, yaitu Desa lamin telihan, Desa
lamin pulut dan Desa teluk bingkai.
Desa lamin telihan merupakan desa dengan luas 146,18 km, jaraknya paling jauh
dari ibu kota kecamatan yakni 39 kilometer, memiliki 1 Dusun dengan 1.711 jiwa. Luas
desa lamin pulut adalah 129,77 km, berjarak 32 km dan jumlah penduduk 312 jiwa.
Sementara desa teluk bingkai lebih dekat jaraknya dari ibu kota kecamatan yakni 20
km, memiliki luas 171,54 km dan total penduduk 917 jiwa.
Secara umum ketiga desa memiliki persamaan dalam area kelola sumber daya
alam, yakni bertumpu pada sektor perkebunan. Hal ini sejalan dengan komoditas
utama di kecamatan kenohan, tanaman perkebunan yang dominan antara lain kelapa,
kelapa sawit, kakao dan aren. Pada tahun 2016 produksi yang paling tinggi adalah
kelapa sawit dengan total produkai 500 ton di lahan seluas 15.625 hektar dan jumlah
petani sebanyak 187 orang. Sejarahnya desa Lamin Telihan awalnya bernama brambai
yang mengikuti nama sungai yang artinya berhantu kemudian diganti dengan nama
lamin telihan (rumah ulin), sekitar tahun 1956 masih bernama “singa” selanjutnya
menjadi desa sejak tahun 1964. Kepala Desa (Kades) sekarang adalah kades ke 9 yang
diangkat tahun 2012, mayoritas penduduknya adalah suku dayak tunjung. Masyarakat
dayak tunjung merupakan migrasi dari kutai barat,tidak diketahui persis kapan mula
berada di desa tersebut, namun dari cerita keberadaan mereka awalnya berakar
animism.18
Pada awalnya masyarakat beraktivitas mencari rotan dan damar, ada juga di
ladang namun tidak banyak karena memang kondisi tanahnya tidak subur, hingga
berkembang saat ini mengandalkan usaha dengan berkebun, bekerja di perusahaan
sawit dan memelihara burung wallet. Sudah banyak masyarakat yang memiliki kebun
sawit, kepala desa contohnya memiliki kebun sawit sejak tahun 2010 dengan luas 4 Ha.
Ada 3 Perusahaan sawit yang berada di sekitar desa lamin telihan yaitu: PT MAJ,
PT Damar dan PT Agro Bumi Kaltim. Keberadaan perusahaan sawit memang sempat
mendapat reaksi penolakan masyarakat yang menguasai lahan. Namun penolakan ini
sudah selesai dengan adanya ganti rugi dan model plasma.19
Hukum adat masih digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat, hukum
adat digunakan untuk menyelesaian perselisihan atau perkelahian antar warga dengan
memberikan sanksi atau denda adat. Kepala adat diangkat oleh desa dan memiliki

18
Cerita kepala desa (Pak Imanuel) dan Pak Martinus (Staf desa): Tim Peneliti tinggal di rumah pak
martinus, informasi awal tentang desa lamin telihan langsung diperoleh melalui interaksi dengan beliau.
19
Meskipun begiu, ada proses yang telah dilalui masyarakat salah satunya masyarat diminta
membuktikan surat menyurat tanahnya.
masa kepemimpinan 5 (lima) tahun.20 Pola hubungan kepala adat, kepala dusun dan
kepala desa adalah saling bekerjasama. Lembaga adat berperan jika diperlukan, hal ini
terlihat ketika ada warga ditangkap oleh perusahaan karena tuduhan mencuri sawit,
penangkapan itu tanpa sepengetahuan adat, kemudian dilakukan mediasi adat. 21
Tidak ada pengakuan resmi dari pemerintah terhadap keberadaan masyarakat
adat, namun mereka dilibatkan dalam beberapa proses, misalnya konsultasi publik,
mereka pernah ada pertemuan di kecamatan Tabang dengan PT Fajar Bumi Sakti yang
berencana membangun jalan 100 km sebagai jalur angkutan batubara, dan ada yang
melintasi desa.
Cerita di Dusun Malong yang juga berada di desa Lamin Telihan
mengkonfirmasi informasi bahwa dulu memang ada lamin namun karena tidak terjaga
dan tidak ada yang rawat akhirnya hilang. Dusun dihuni oleh 318 KK dengan 1.300
jiwa terbagi dalam 7 RT, ada pula 30 KK yang terpisah agak jauh dari dusun.
Masyoritasnya adalah dayak tunjung, namun sekarang sudah heterogen dengan
adanya orang timor dan Sulawesi yang datang bekerja.
Terkait area kelola masyarakat (dalam penguasaan tanah)22 yang berhubungan
dengan perusahaan masyarakat tidak pernah dilibatkan, tanpa negosiasi perusahaan
langsung datang membawa surat dari pemerintah. 23 Ada beberapa konflik ketika
membuka lahan perkebunan, PT ABK (sawit) brkonflik dengan masyarakat karena
lahannya menggusur kuburan yang ada, begitupula dengan MAJ (sawit) masyarakat
sering berkonflik lahan, sementara dengan MAU (Hutan Tanaman Industri) tidak
pernah berkonflik dengan masyarakat karena area kelola nya termasuk kawasan
hutan.24 Konflik yang terjadi sering “berakhir” begitu saja tanpa kejelasan. Disisi lain
masyarakat juga merasakan manfaat dari keberadaan perusahaan misalnya masyarakat
punya kebun sendiri, ada yang kerja di perusahaan, juga ikut skelam plasma.
Menarik apa yang disampaikan Kepada Desa Lamin Pulut ketika bertemu
dengan peneliti, bahwa jika MHA hidup sendiri tanpa perusahaan maka tidak akan
maju, karena itu dengan insiatif sendiri orang desa lamin pulut menwarkan proposal
kerjasama untuk mau berinverstasi ke desa lamin pulut. Salah satu lembaga yang
didatangi adalah DPR.25

20
Pak Yohanes, Kepala adat desa lamin telihan
21
Dijelaskan kemudian peristiwa ini mengindikasikan bahwa perusahaan tidak menghargai
keberadaan adat disana, pernah dilaporkan ke polisi namun polisi mengembalikan ke adat untuk
diselesaikan.
22
Penguasaan tanah oleh masyarakat ditandai dengan SKT atau SPPT yang dibuat oleh camat.
Kepala adat menjelaskan tidak ada kepemilikan kolektif.
23
Cerita kepala dusun malong, Kepala Dusun Malong (bukan orang asli di desa lamin telihan)
namun sudah lama tinggal dan menetap disana.
24
Dari cerita kepala dusun nampak bahwa ada pengetahuan tentang kawasan hutan yang berarti
tidak ada hak bagi masyarakat di dalamnya. Ada proses perubahan persepsi mengingat cerita pada
tahun 1846 sudah ada desa pelai sungai lingkit dibuktikan dengan adanya lamin, kemudian kami
mengalah keluar dari hutan dengan kesepakatan kepada dinas kehutanan.
25
Pak Japardi (Kepala Desa) Lamin Pulut; merupakan kepala desa periode yang kedua (dengan jarak
yang cukup lama ketika menjadi kepala desa periode 1)
Tahun 2006 sawit mulai masuk, yang kemudian pada tahun 2015 investor
kembali datang yakni PT Manunggal adi jaya. Respon awal adalah penolakan warga,
namun karena menyadari bahwa ada kontribusi perusahaan maka akhirnya mau
menerima. Jika tidak ada perusahaan maka tidak ada jalan, buktinya tahun 2000 pernah
dibuka jalan namun tidak layak pakai.

Komoditi andalan adalah nanas, namun sekarang sawit dengan sistem plasma
20:80, dengan mekanisme bagi rata dengan syarat KTP dan 1.000.000 per 3 bulan, awal
masuknya tidak ada ganti rugi lahan, kurang lebih 200 ha dengan 112 peserta. Saat ini
ABK masih proses untuk masuk ke desa.
Adat ada tapi mengikuti pemerintah, namun untuk pengaturan internal seperti
budaya masih ada dan dipertahankan. Kalo untuk tanah tidak ada informasi itu. Sejak
tahun penjajah dan masuknya agama maka mulai terpecah belah, semua peran adat
dalam SDA sudah tidak ada. Lebih setuju dengan adanya perusahaan karena manfaat
yang dirasakan dan lebih baik memfungsikan kawasan.26
Adapun kepala adat desa lamin pulut yang sudah menjadi kepala adat selama 20
tahun (kepala adat ketiga) menjelaskan bahwa hukum adat hadir untuk mengatasi
masalah atau kasus-kasus yang ada di desa, 27 dalam konteks pengakuan lahan ketika
berhadapan dengan perusahaan, bermunculan orang yang mengakui tanah leluhur di
wilayah desa lamin pulut, namun kepala adat tidak mengetahui. Skema plasma juga
menjadi pengetahuan masyarakat adat, sitem pembagiannya adalah bagi rata karena
meyakini hal itu adalah hak bersama. 28
Kondisi Desa Teluk Bingkai tidak jauh berbeda dengan dua desa sebelumnya,
telah ada perusahaan kelapa sawit yang masuk seperti PT Tunas Bima Sejahtera dan
Manunggal Adi Jaya dengan luas kurang lebih 3.000 hektar. Teluk Bingkai menjadi
desa definitif tahun 1958, penduduknya mayoritas dayak tunjung. Dalam
kesehariannya sebagian bekerja di perusahaan, ada pula yang memiliki kebun sendiri,
belakangan sejak tahun 2012 masyarakat juga mulai membangun sarang burung wallet
yang terlihat di sebagian wilayah desa.29
Kepala adat teluk bingkai yang terpilih tahun 2013 merupakan kepala adat ke
enam. Secara umum peran, tugas dan kewenangan kepala adat adalah berkaitan
dengan masalah interaksi sosial seperti pernikahan, perceraian termasuk ketika terjadi
perkelahian dan sebagainya yang akan diselesaikan secara adat. Sementara berkaitan
dengan penguasaan tanah, adat mengetahui persebaran penguasaan dan pemilikan
tanah oleh masyarakat.30
Ketika perusahaan masuk ke wilayah desa, masyarakat adat (yang disimbolkan
oleh kepala adat) tidak dilibatkan dalam kesepakatan. Jika ada masalah atau konflik

26
Kepala Desa Lamin Pulut
27
Misalnya ada yang disebut ulek atau semacam asuransi yang dilakukan dengan upacara adat
28
Pak Sundi (Kepala adat Desa Lamin Pulut)
29
Pak Pir (Sekretaris Desa)
30
Kepala adat (Pak Pordi) menjelaskan bahwa terjadi pergeseran nilai tanah, bahwa dulu tanah tidak
memiliki nilai atau harga seperti sekarang
antara masyarakat dan perusahaan baru menghadirkan lembaga adat. 31 Pola atau
skema plasma juga dilakukan oleh perusahaan dan masyarakat. Mekanismenya
tergantung kesepakatan, namun semacam ada konsep bahwa kompensasi harus
dirasakaan semua, namun saat ini ada rencana perusahaan ingin mendistribusikan
kompensasinya secara perorangan (tidak bagi rata). Dari sekitar 285 KK ada klaim
tanah adat yang ikut skema plasma.32
Berdasarkan uraian diatas jelas bahwa ketiga desa di kecamatan kenohan
kabupaten kutai kartanegara memiliki persamaan terkait posisi masyarakat adat ketika
berhubungan dengan sumber daya alam. Bahwa setiap desa memiliki lembaga adat
yang diketuai oleh kepala adat yang dipilih oleh masyarakat, kepala adat diangkat
melalui SK kepala desa dan membantu penyelenggaraan pemerintahan desa yang
dikoordinir oleh kepala desa. Telah ada perusahaan perkebunan di wilayah
administrasi desa dan diterima oleh masyarakat dengan model atau skema plasma.
Terlihat bahwa aspek komunal terhadap tanah menjadi hilang karena mensyaratkan
hak atas tanah yang bersifat individual sebagai syarat skema plasma.
Konflik yang masih berlangsung terhadap pengelolaan sumber daya alam
khususnya perkebunan memang tidak (bisa dibilang belum) nampak terjadi saat ini,
terlebih masyarakat masih bisa merasakan hasil dari model plasma meskipun
jumlahnya kecil. Namun demikian hal tersebut bukan berarti tanpa konflik, justru
lembaga adat merasa bahwa keberadaan mereka hanya dibutuhkan ketika terjadi
konflik antara perusahaan dengan masyarakat. Penggalian informasi diperoleh bahwa
masyarakat tidak mengetahui persis lokasi tanah, surat tanah, dan bagaimana skenario
jika plasma berakhir dan lain laian. Ketiadaan informasi ini merupakan ruang-ruang
potensi konflik antara MHA dan pemegang izin.
Kondisi faktual lima desa pada dua kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur
yang menjadi lokasi penelitian menegaskan bahwa masyarakat hukum adat semakin
sulit mengakses pemanfaatan sumber daya alam bahkan kehilangan area kelola. Relasi
masyarakat adat atas sumber daya alam khususnya bidang perkebunan bagi
masyarakat dayak tunjung di kabupaten kutai kartanegara terwujud dalam
kepemilikan kebun,33 adanya masyarakat yang menjadi pekerja bagi perusahaan, atau
kerjasama melalui pola kemitraan/plasma. Begitupula dengan Orang Bajo dan Orang
Paser yang mengandalkan kekayaan laut dan hutan sebagai sumber kehidupan
menggambarkan relasi masyarakat hukum adat terhadap sumber daya alam di
Kabupaten Paser. Posisi masyarakat yang belum mendapatkan pengakuan berbanding
lurus dengan tingkat perlindungan yang diberikan negara.
31
Secara tersirat pengakuan masyarakat adat di desa teluk bingkai dari eksternal baru nampak
dengan dilibatkannya kepala adat dalam penyelesaian masalah. Selain itu juga nampak dengan
diundang dalam rapat konsultasi public.
32
Kepala desa Teluk Bingkai (Pak Cus)
33
Selain itu bisa juga dilihat dalam penguasaan lahan oleh masyarakat yang dibuktikan melalui surat
keterangan yang dikeluarkan oleh camat, yang mengindikasikan adanya hak individual atas SDA.
Pengakuan identitas masyarakat hukum adat muncul dari internal masyarakat
(pengakuan sendiri) dengan argumentasi sejarah dan asal usul mereka yang telah ada
bahkan sebelum negara ada, namun ketika berkaitan dengan pemanfaatan sumber
daya alam sifat komunal menjadi cair bahkan hampir tidak ada pengaturan adat dan
prakteknya. Akhirnya peran adat dan hukumnya menjadi tereduksi hanya pada aspek
tertentu yang mengatur interaksi antar anggota masyarakat.
Adapun pengakuan dari pihak lain terhadap identitas masyarakat adat
tercermin dalam pelibatan kepala adat dalam menyelesaikan permasalahan atau
konflik lahan dengan perusahaan, konsultasi publik, aspek legal kepala adat dibuktikan
dengan surat keputusan (SK) kepala desa sebagai representasi negara termasuk gaji
yang diberikan setiap tiga bulan.
Hanya saja bentuk pengakuan baik internal dan eksternal ini perlu terklarifikasi
regulasi terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, pada level
nasional regulasi mengenai sumber daya alam dan relasinya dengan MHA memberikan
syarat tertentu kepada masyarakat jika ingin diakui sebagai suatu kesatuan masyarakat
hukum adat. Hal ini kemudian diturunkan dalam peraturan teknis melalui peraturan
menteri dalam negeri nomor 52 tahun 2014 tentang pedoman pengakuan dan
perlindungan masyarakat hukum adat.
Masyarakat hukum adat di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Paser
belum melalui proses pengakuan sebagaimana yang disyaratkan dalam permendagri
tersebut. Belum ada pengakuan apapun dari pemerintah kabupaten kutai kartanegara
terkait hak ulayat masyarakat adat.34 Provinsi Kalimantan Timur memang telah
memiliki peraturan daerah nomor 1 tahun 2015 tentang Pedoman pengakuan dan
perlindungan masyarakat adat di Provinsi Kalimantan Timur. Namun sifatnya sama
seperti permendagri berupa pedoman, yang berarti hanyalah alat kerja untuk mengakui
belum bsia dikatakan secara substantif pemerintah provinsi mengakui dan melindungi.
Sama halnya ketika membaca perda RTRW Kaltim nomor 1 tahun 2016, memang
disebutkan istilah masyarakat hukum adat sebagai bagian dari masyarakat, namun
tidak ditemukan adanya pengaturan mengenai pengakuan ruang wilayah masyarakat
adat sebagai legitimasi wilayah kelolanya. Begitupula kesimpulan yang diperoleh
ketika membaca bijakan provinsi lainnya yang tertuang dalam perda 15 tahun 2008
tentang RPJP Tahun 2005-2025 dan Perda Nomor 7 Tahun 2014 tentang RPJMD Tahun
2013-2018.
Dalam konteks pada level kabupaten/kotan, peraturan daerah provinsi
Kalimantan timur Nomor 1 tahun 2015 tentang Pedoman pengakuan dan perlindungan
masyarakat adat di Provinsi Kalimantan Timur telah memerintahkan pemerintah
kabupaten/kota menetapkan peraturan daerah Kabupaten/Kota sesuai
kewenangannya dan penyesuaian perda dalam jangka waktu paling lama 12 bulan
sejak diundangkan. Namun hingga tahun 2017 tidak ditemukan produk hukum daerah
mengenai hal tersebut, hanya ada peraturan daerah kabupaten Paser nomor 3 tahun
2000 tentang pemberdayaan pelestarian perlindungan dan pengembangan adat istiadat

34
Sebagaimana disampaikan camat kenohan bapak Lukman Budiono, bahwa klaim adat memang
muncul di 3 desa yang diteliti. Namun sebenarnya secara umum masyarakat di kecamatan kenohan ini
mengalami masalah serupa terkait skema plasma dengan perusahaan.
dan lembaga adat, dan peraturan daerah kabupaten kutai kartanegara Nomor 13 Tahun
2006 tentang lembaga kemasyarakatan dan lembaga adat.
Hal ini baru dilihat dari sisi regulasi tentang pengakuan dan perlindungan
masyarakat hukum adat, belum dipotret dari sisi relasi terhadap sumber daya alam.
Dalam pengelolaan bidang kehutanan misalnya otoritas kebijakannya ada pada
pemerintah pusat dan provinsi, karena itu regulasi pada level kabupaten/kota tidak
boleh melampaui kewenangannya. Selain soal otoritas, juga terkait dengan substansi
pengaturan yang berbeda-beda, contoh dalam hal pertanahan (tanah adat atau hak
ulayat) memiliki peraturan tersendiri bahwa tanah adat merupkan tanah yang dimiliki
secara turun temurun dan sifatnya tidak boleh diperjualbelikan. 35 Belum lagi secara
faktual hak wilayah kelola masyarakat hukum adat justru menjadi area perusahaan
yang telah mendapatkan izin.
Oleh karena itu setidaknya perlu ada regulasi pada level daerah berupa
peraturan Bupati untuk memastikan keberadaan masyarakat hukum adat. Regulasinya
tidak boleh hanya sekedar peraturan yang bersifat pedoman (karena sudah ada pada
peraturan pmeneteri dalam negeri dan peraturan daerah provinsi Kalimantan timur)
lebih dari perlu regulasi yang bersifat teknis berkaitan dengan cara kerja dan standar
yang harus dipenuhi untuk bisa mengidentifikasi dan mengklarifikasi masyarakat
hukum adat. Dengan regulasi yang ada mampu meberikan jaminan kepastian hukum
terhadap posisi masyarakat hukum adat yang akan berkorelasi dengan perlindungan
hukum termasuk terhadap pengelolaan Sumber Daya Alam.36
Jika hasil proses identifikasi masyarakat hukum adat pun akhirnya menyatakan
tidak memenuhi syarat untuk dikatakan sebagai masyarakat hukum adat bukan berarti
pemerintah tidak membutuhkan regulasi, karena secara faktual di lokasi riset
memberikan indikasi adanya cikal bakal konflik atau konflik laten dalam pengelolaan
sumber daya alam oleh masyarakat hukum adat. Fakta bahwa tidak ada informasi
berkaitan dengan skema plasma yang diperoleh masyarakat, karena tidak memegang
dokumen apapun dalam keikutsertaan mereka, dalam perspektif hukum kondisi
seperti ini menciptakan ketidakpastian atas perlindungan masyarakat yang berpotensi
kuat menciptakan konflik di kemudian hari.
Dengan demikian tidak hanya memerlukan regulasi teknis pada level kabupaten
berkaitan dengan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, diperlukan
juga regulasi berkaitan dengan perlindungan masyarakat dalam pengelolaan sumber
daya alam yang secara substansi menegaskan pola pengawasan terhadap perusahaan
dan penegasan hak bagi masyarakat

35
Di Kabupaten Paser, ada atau tidaknya hak ulayat sampai sekarang Kantor Pertanahan Kabupaten
Paser belum bisa menjadaw karena memang harus ada penelitian untuk itu. Hal senada disampaikan
oleh camat di Kabupaten Paser, disadari bahwa sekalipun sama sama membahas MHA namun dasar
hukum antar kementerian berbeda. Adanya permendagri dan peraturan kepala BPN No.Tahun 1999
tentu memiliki konsekuensi bagi masyarakat hukum adat.
36
Perlunya regulasi teknis untuk menidentifikasi masyarakat hukum adat sebagai tahap awal
pengakuan dan perlindungan haknya juga disampaikan oleh asisten 1 kabupaten kutai karatanegara
bapak Chairil Anwar, sudah lama cukup lama masalah klaim masyarakat adat ini terjadi, sehingga
saatnya diberikan kepastian hukum.

Anda mungkin juga menyukai