Disusun oleh :
Nathasya Justika Kartika (17405241027)
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Keberadaan laut di bumi sangat penting adanya, sekitar 50% oksigen yang
ada di udara dihasilkan oleh aktivitas laut dan menyimpan karbon dioksida
50x lebih banyak dibandingkan atmosfer. Karene laut memenuhi sekitar 70%
permukaan bumi, maka laut juga berperan dalam regulasi iklim di dunia.
Indonesia merupakan negara meritim terbesar di dunia dengan 2/3 dari
wilayahnya merupakan laut dan sisanya merupakan kepulauan.
Pada salah satu pulau di Indonesia terdapat tradisi yang sudah ada di
mayarakat sejak lama, tradisi tersebut dilakukan oleh masyarakat yang
bermukim pada gugus kepulauan di Kabupaten Flores Timur yaitu Desa
Lamalera. Desa Lamalera adalah sebuah Desa perkampungan nelayan di
Pulau Lembata, NTT yang memiliki tradisi menangkap dan memburu ikan
Paus.
Paus adalah salah satu hewan mamalia yang hidup di dalam air. Sebagai
mamalia laut terbesar, Paus memiliki peran besar didalam ekosistem. Paus
memakan sejenis udang kecil yang disebut dengan krill. Setelah itu, paus
akan melakukan proses sekresi terhadap makanannya. Terdapat penelitian
yang mengatakan bahwa kotoran paus membawa 23.000 metrik ton nitrogen
ke permukaan setiap tahun di Teluk Maine. Nitrogen sendiri merupakan zat
yang dapat mempertahankan tanaman mikroskopis yang merupakan makanan
plankton. Pada tahap selanjutnya, plankton akan menjadi sumber makanan
berbagai biota laut, termasuk ikan paus itu sendiri. Kotoran 120.000 Paus
Sperma dapat memberi makan populasi fitoplankton yang menyimpan
240.000 metrik ton lebih karbon di laut. Dalam hal ini, hewan mamalia
terbesar di dunia ini membantu dalam menyeimbangkan lingkungan dengan
mengunci karbon. Jenis paus yang menjadi buruan nelayan Lamalera
merupaka Paus Sperma atau cetacean yang masuk dalam daftar spesies yang
terancam punah. Dikarenakan perburuan paus yang dilakukan ini dapat
mengancam keseimbangan ekosistem, maka oleh pemerintah dikeluarkan
1
Keputusan Menteri Republik Indonesia nomor 6 tahun 2014 tentang rencana
pengelolaan dan zonasi taman nasional perairan Laut Sawu, sehingga dapat
dilakukan upaya konservasi terhadap paus di Lamalera.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan kondisi di atas, penulis ingin meneliti:
1. Bagaimana hubungan antara kondisi geomorfologis di Lamelera
terhadap tradisi masyarakat Lamalere?
2. Bagaimana dampak dari tradisi perburuan paus di Lamalera terhadap
upaya konservasi paus di Lamalera?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui bagaimana kondisi geomorfologis di Lamelera
terhadap tradisi masyarakat Lamalere.
2. Untuk mengetahui bagaimana dampak dari tradisi perburuan paus di
Lamalera upaya konservasi paus di Lamalera.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
sebagai pengetahuan atau literatur ilmiah yang dapat dijadikan bahan
kajian akademisi yang sedang mempelajari geografi budaya di tingkat
perguruan tinggi.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini disusun guna memenuhi tugas ujian akhir semester
mata kuliah geografi budaya.
2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
3
Secara morfologi, daratan Lembata bisa dibagi atas dua yaitu daerah
pedataran dan pegunungan dengan gunung api yang masih aktif (Ile Boleng,
Ile Lewotolo, dan Gunung Topaki).
Desa Lamalera terletak di sisi selatan pulau Lembata di provinsi Nusa
Tenggara Timur, Indonesia (Setiawan 2017: 33). Pater Alex dalam Aslam
(2013:3-5) mendeskripsikan Lamalera sebagai berikut ini: Di pantai selatan
pulau Lembata, pada sebuah teluk kecil dengan pantai berpasir kira-kira 300
m panjangnya, di situ terletak kampung Lamalera. Perkampungan itu terletak
di atas batubatu wadas, sehingga hampir tidak ada kemungkinan bagi
penduduknya untuk bercocok tanam Di latar belakang tampak puncak sebuah
gunung yang tinggi, yakni gunung Labalekang (tingginya 1.664 mdpl),
sehingga kampung ini terletak di kaki gunung itu. Kampung nelayan
Lamalera, terbagi menjadi dua kampung, yakni Lamalera A dan Lamalera B.
pembagian dua kampung nelayan ini dilakukan oleh pemerintah, sebagai
bentuk respon terhadap perkembangan jumlah orang-orang Lamalera yang
semakin banyak.
Dari luas wilayah sekitar 1300 km2, 12% lahan di daratan Lembata
digunakan untuk pertanian, 36% merupakan semak belukar, 33% hutan dan
19% adalah padang rumput. Tanaman pangan utama adalah padi, ubi kayu,
ubi jalar, jagung dan kedelai. Sedangkan tanaman pohon utama adalah kemiri,
kelapa, jambu mete dan kopi. Iklim di Lembata relatif kering dengan 5-8
bulan menerima kurang dari 100-mm hujan per bulan. Musim hujan
berlangsung dari bulan November - April. (Soede, 2002: 8). Lamalera berada
di pesisir bagian selatan Pulau Lembata. Seperti daerah lainnya, daratan
Lamalera tersusun atas karang batu kapur yang terangkat. Keterbatasan
daerah daratan dengan sedikit lapisan tanah di atas batu karang digantikan
dengan kekayaan Laut Sawu yang membentang di depannya. Orang Lamalera
menyebut Laut Sawu sebagai ladang mereka karena laut inilah yang menjadi
penopang kehidupan serta menjadi sentral bagi seluruh aspek kehidupan
mereka (Desrianti 2011:69).
4
Kearifan lokal yang berkembang di masyarakat Lamalera mengenai norma
berburu paus telah berusia ratusan tahun. Kearifan itu merupakan perbauran
yang kental antara tradisi dan ajaran Katolik. Penduduk Lamalera terkenal di
seluruh dunia sebagai pemburu paus (koteklema) yang unik, karena berburu
hanya dengan menggunakan peralatan yang serba tradisional (Reswati dan
Kurniasari 2011: 29,31).
Menurut (Setiawan 2017: 27-28) Komunitas perburuan paus di Lamalera
dan Lamakera, Indonesia sampai saat ini, keduanya mempraktikkan perburuan
paus secara tradisional. Penduduk desa Lamalera masih mengandalkan
perburuan ikan paus sebagai mata pencaharian. Penduduk desa Lamakera
sesekali berburu paus, namun sekarang dengan cepat bergerak menuju
ekonomi yang lebih beragam. Secara tradisional, keduanya bekerjasama
melakukan perburuan skala besar untuk mamalia laut bertubuh besar, terutama
ikan paus dan pari. Secara tradisional kegiatan berburu dilakukan pada siang
hari dengan seperangkat alat tangkap sederhana tanpa menggunakan peralatan
modern. Tenalaja (perahu layar) adalah alat produksi utama, yaitu perahu
tradisional dengan layar dan seperangkat tali serta tombak bambu yang
digunakan untuk menikam ikan. Saat ini, tenalaja bukan satu-satunya alat
produksi. Beberapa pergeseran mulai terjadi ketika nelayan Lamalera
dikenalkan dengan mesin (disebut johnson) pada tahun 1973 oleh FAO
(Desrianti, 2011).
Anggota dalam setiap operasi penangkapan ikan paus dibagi menjadi tiga
kategori umum: awak kapal, anggota penombak, dan teknisi. Téna diawaki
oleh 8- 14 pria. Di dalam kru, biasanya terdapat peran khusus meski tidak
memiliki hak prerogatif khusus satu orang. Ini termasuk, penombak (lama fa),
pembantu penombak (beréun alep), dan juru mudi (lama uri). Anggota kru,
termasuk dua penguras air (fai matã), dan pendayung. (Alvard, 2002b).
Keterampilan dan tugas anggota kru pada dasarnya seragam kecuali untuk juru
mudi dan Penombak. Perintah kru tidak secara khusus diberikan kepada satu
orang saja, namun sesepuh yang berpengalaman menjadi orang yang paling
paham tentang petunjuk berlayar dan beban maksimal perahu. Saat mereka
secara aktif mengejar buruan, penombak memberi perintah. Dia mungkin
5
berdiri diujung anjungan bambu yang memanjang satu meter di depan. perahu
sambil menyeimbangkan tongkat harpun ke atas, atau pada saat lain
meletakkan tongkat itu dan memberi isyarat dengan menggerakan lengan agar
awak kapal bisa mendayung lebih cepat atau juru mudi untuk mengubah arah
(R.H. Barnes, 1986) dalam Setiawan (2017: 28-29).
Terdapat dua musim perburuan laut di Lamalera. Léfa mengacu pada
musim berburu ikan paus utama dari bulan Mei sampai September. Pada
musim kemarau dan periode dimana kondisi laut paling baik. Selama léfa,
kapal berangkat setiap hari kecuali hari Minggu, saat cuaca memungkinkan.
Baléo mengacu pada pencarian oportunistik paus selama pertengahan tahun
dari bulan Oktober sampai April. Perahu sandar didermaga dan perburuan
hanya terjadi jika buruan terlihat dari pantai. Jika seekor ikan paus terlihat dari
pantai (biasanya oleh anakanak), rona dan seruan "Baléo, baléo!" Dibuat dan
orang-orang bergegas ke pantai untuk membentuk kru dadakan (Nolin &
Alvard, 2000 dalam Alvard, 2002). Informan melaporkan bahwa hujan yang
biasa terjadi selama musim Baléo menghancurkan layar anyaman pelepah, dan
kontrol kapal penangkap ikan paus lebih sulit karena lautan yang
bergelombang. Buruan juga sulit untuk ditemui. (Alvard, 2002a) Buruan
utama untuk kedua musim adalah paus sperma (Physeter catadon) dan pari
(Mantis birostris, Mobula kuhlii, and Mobula diabolus). Mereka juga
mengejar paus bergigi lainnya, termasuk paus pembunuh (Orcinus orca), paus
pilot (Globicephala macrohynchus), beberapa spesies porpoise
(Pepononcephala electra, Globicephala macrorhyncus, Grampus griseus, dsb.),
Hiu, dan penyu (Alvard, 2002a) dalam Setiawan (2017: 28-29).
Proses pengolahan hasil tangkapan paus sperma dilakukan dengan
teknologi yang masih sangat tradisional. Daging dan kulit yang sudah
dipotong, dijemur dengan memanfaatkan panas matahari secara langsung.
Kegiatan pengolahan dilakukan dalam skala rumah tangga. Keterbatasan
untuk memanfaatkan daging atau kulit paus dalam bentuk segar karena tidak
30 adanya sarana penyimpanan atau pendingin, sehingga satu-satunya cara
adalah dilakukan pengawetan dengan cara pengeringan. Proses pengolahan
yang sederhana menghasilkan beberapa produk seperti daging kering atau
6
dendeng, kulit kering, dan minyak. Minyak yang dihasilkan dari proses
penjemuran dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk memasak dan
penerangan sedangkan minyak yang berasal dari kepala (lala) akan diolah
dengan cara dimasak dan dimanfaatkan sebagai minyak goreng. Selain
produk-produk olahan tersebut, bagian tubuh paus seperti tulang dan gigi juga
dimanfaatkan sebagai bahan baku kerajinan dan perhiasan (Ramadhan, 2015)
dalam Setiawan (2017: 29-30).
7
oleh IWC, maka masyarakat nelayan Lamalera termasuk dalam kategori
masyarakat adat yang tidak menjadi subjek pengawasan IWC.
8
6. Suba Duk, batas terluar melaut ke sebelah barat.
Semua tanda tersebut menentukan jarak perjalanan yang boleh dilalui
selama melaut dilihat dari kampung. Nelayan tidak akan melaut melebihi
batas-batas yang ada atau tanda alam yang masih terlihat dan membantu
mereka dalam mengenali arah dimana kampung mereka berada. Bentuk
kearifan lain yaitu penetapan musim. Khusus penangkapan mamalia dan ikan
besar dibatasi dengan menetapkan masa resmi turun ke laut dan masa
selingan. Lefa merupakan saat dimana mereka memang bersama-sama keluar
untuk mencari tangkapan yang besar. Di musim lefa juga terdapat masa
khusus yang disebut blelagering yaitu saat dimana koteklema (paus sperma)
dibiarkan dan tidak diburu karena ketika itu ikan pari sedang naik/banyak.
Memilih pari lebih diutamakan untuk menghindari kecelakaan dan resiko
yang lebih besar ketika berburu koteklema (Desrianti 2011:113).
9
BAB III
METODE PENELITIAN
10
Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling yaitu
pengambilan sampel terhadap tokoh-tokoh yang berperan serta dalam
melestarika tradisi perburuan paus dan pihak yang terlibat dalam konservasi.
11