Anda di halaman 1dari 12

TRADISI PERBURUAN PAUS DI KUPANG, NTT DAN

UPAYA KONSERVASI YANG DILAKUKAN

Disusun Guna Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester


Mata Kuliah Geografi Budaya
Dosen Pengampu: Nurhadi, M.Si.

Disusun oleh :
Nathasya Justika Kartika (17405241027)

JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2018

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Keberadaan laut di bumi sangat penting adanya, sekitar 50% oksigen yang
ada di udara dihasilkan oleh aktivitas laut dan menyimpan karbon dioksida
50x lebih banyak dibandingkan atmosfer. Karene laut memenuhi sekitar 70%
permukaan bumi, maka laut juga berperan dalam regulasi iklim di dunia.
Indonesia merupakan negara meritim terbesar di dunia dengan 2/3 dari
wilayahnya merupakan laut dan sisanya merupakan kepulauan.
Pada salah satu pulau di Indonesia terdapat tradisi yang sudah ada di
mayarakat sejak lama, tradisi tersebut dilakukan oleh masyarakat yang
bermukim pada gugus kepulauan di Kabupaten Flores Timur yaitu Desa
Lamalera. Desa Lamalera adalah sebuah Desa perkampungan nelayan di
Pulau Lembata, NTT yang memiliki tradisi menangkap dan memburu ikan
Paus.
Paus adalah salah satu hewan mamalia yang hidup di dalam air. Sebagai
mamalia laut terbesar, Paus memiliki peran besar didalam ekosistem. Paus
memakan sejenis udang kecil yang disebut dengan krill. Setelah itu, paus
akan melakukan proses sekresi terhadap makanannya. Terdapat penelitian
yang mengatakan bahwa kotoran paus membawa 23.000 metrik ton nitrogen
ke permukaan setiap tahun di Teluk Maine. Nitrogen sendiri merupakan zat
yang dapat mempertahankan tanaman mikroskopis yang merupakan makanan
plankton. Pada tahap selanjutnya, plankton akan menjadi sumber makanan
berbagai biota laut, termasuk ikan paus itu sendiri. Kotoran 120.000 Paus
Sperma dapat memberi makan populasi fitoplankton yang menyimpan
240.000 metrik ton lebih karbon di laut. Dalam hal ini, hewan mamalia
terbesar di dunia ini membantu dalam menyeimbangkan lingkungan dengan
mengunci karbon. Jenis paus yang menjadi buruan nelayan Lamalera
merupaka Paus Sperma atau cetacean yang masuk dalam daftar spesies yang
terancam punah. Dikarenakan perburuan paus yang dilakukan ini dapat
mengancam keseimbangan ekosistem, maka oleh pemerintah dikeluarkan

1
Keputusan Menteri Republik Indonesia nomor 6 tahun 2014 tentang rencana
pengelolaan dan zonasi taman nasional perairan Laut Sawu, sehingga dapat
dilakukan upaya konservasi terhadap paus di Lamalera.
 
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan kondisi di atas, penulis ingin meneliti:
1. Bagaimana hubungan antara kondisi geomorfologis di Lamelera
terhadap tradisi masyarakat Lamalere?
2. Bagaimana dampak dari tradisi perburuan paus di Lamalera terhadap
upaya konservasi paus di Lamalera?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui bagaimana kondisi geomorfologis di Lamelera
terhadap tradisi masyarakat Lamalere.
2. Untuk mengetahui bagaimana dampak dari tradisi perburuan paus di
Lamalera upaya konservasi paus di Lamalera.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
sebagai pengetahuan atau literatur ilmiah yang dapat dijadikan bahan
kajian akademisi yang sedang mempelajari geografi budaya di tingkat
perguruan tinggi.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini disusun guna memenuhi tugas ujian akhir semester
mata kuliah geografi budaya.

2
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. KONDISI GEOGRAFIS DESA LAMALERA


Menurut Desrianti (2011:68-69) Perairan timur Indonesia, khususnya di
beberapa terusan dalam antar pulau berfungsi sebagai pintu masuk jalur
migrasi cetacean. Salah satu terusan dalam tersebut adalah Laut Sawu di Nusa
Tenggara Timur. Laut Sawu menjadi habitat yang sangat penting untuk
cetacean di perairan Indonesia. Hal ini dicirikan dengan keanekaragaman
habitat dan jenis cetacean baik di laut dalam maupun dekat pantainya.
Sebaran cetacean besar yang konsisten seperti paus biru (Balaenoptera
musculus) dan paus sperma (Physeter macrocephalus) yang relatif dekat
dengan pantai, kelimpahan paus biru yang relatif tinggi serta tingkat interaksi
yang tinggi antara kelompok yang saling bercampur dan hubungan predator-
pemangsaan seperti serangan paus pembunuh (Orcinus orca) – paus sperma
menunjukkan pentingnya perairan ini bagi beberapa spesies cetacean.
Laut Sawu memiliki luas sekitar 400 mil atau 650 km. Posisi Laut Sawu
sangat strategis karena berada di tepi Samudra Hindia yang menjadi jalur
penghubung dengan massa air Samudra Pasifik. Perairan ini sangat kaya
dengan nutrient dan memiliki potensi keanekaragaman hayati yang tinggi.
Hal ini didukung oleh letaknya yang dikelilingi oleh pulau-pulau sehingga
membentuk seperti danau dengan inlet berupa selat-selat kecil yang berarus
kuat. Pengaruh iklim yang kuat menyebabkan perairan ini menjadi daerah
umbalan untuk menopang sumber daya ikan (upwelling), menjadi daerah
pusaran serta menjaga habitat ikan-ikan pelagis. Bagian utara Laut Sawu di
batasi oleh gugusan kepulauan yang membentang dari Pulau Flores sampai ke
Kepulauan Alor. Lembata merupakan satu pulau yang terdapat diantaranya.
Secara geografis Lembata terletak pada posisi 8°10' - 8°11' LS dan 123°12' -
123°57' BT. Pulau ini memiliki beberapa teluk yang dicirikan dengan
ketidakteraturan garis pantai sepanjang hampir 500 km. Pantai selatan
Lembata adalah pantai yang cukup curam dengan kemiringan melebihi 40º.

3
Secara morfologi, daratan Lembata bisa dibagi atas dua yaitu daerah
pedataran dan pegunungan dengan gunung api yang masih aktif (Ile Boleng,
Ile Lewotolo, dan Gunung Topaki).
Desa Lamalera terletak di sisi selatan pulau Lembata di provinsi Nusa
Tenggara Timur, Indonesia (Setiawan 2017: 33). Pater Alex dalam Aslam
(2013:3-5) mendeskripsikan Lamalera sebagai berikut ini: Di pantai selatan
pulau Lembata, pada sebuah teluk kecil dengan pantai berpasir kira-kira 300
m panjangnya, di situ terletak kampung Lamalera. Perkampungan itu terletak
di atas batubatu wadas, sehingga hampir tidak ada kemungkinan bagi
penduduknya untuk bercocok tanam Di latar belakang tampak puncak sebuah
gunung yang tinggi, yakni gunung Labalekang (tingginya 1.664 mdpl),
sehingga kampung ini terletak di kaki gunung itu. Kampung nelayan
Lamalera, terbagi menjadi dua kampung, yakni Lamalera A dan Lamalera B.
pembagian dua kampung nelayan ini dilakukan oleh pemerintah, sebagai
bentuk respon terhadap perkembangan jumlah orang-orang Lamalera yang
semakin banyak.
Dari luas wilayah sekitar 1300 km2, 12% lahan di daratan Lembata
digunakan untuk pertanian, 36% merupakan semak belukar, 33% hutan dan
19% adalah padang rumput. Tanaman pangan utama adalah padi, ubi kayu,
ubi jalar, jagung dan kedelai. Sedangkan tanaman pohon utama adalah kemiri,
kelapa, jambu mete dan kopi. Iklim di Lembata relatif kering dengan 5-8
bulan menerima kurang dari 100-mm hujan per bulan. Musim hujan
berlangsung dari bulan November - April. (Soede, 2002: 8). Lamalera berada
di pesisir bagian selatan Pulau Lembata. Seperti daerah lainnya, daratan
Lamalera tersusun atas karang batu kapur yang terangkat. Keterbatasan
daerah daratan dengan sedikit lapisan tanah di atas batu karang digantikan
dengan kekayaan Laut Sawu yang membentang di depannya. Orang Lamalera
menyebut Laut Sawu sebagai ladang mereka karena laut inilah yang menjadi
penopang kehidupan serta menjadi sentral bagi seluruh aspek kehidupan
mereka (Desrianti 2011:69).

B. TRADISI PERBURUAN PAUS DI DESA LAMALERA

4
Kearifan lokal yang berkembang di masyarakat Lamalera mengenai norma
berburu paus telah berusia ratusan tahun. Kearifan itu merupakan perbauran
yang kental antara tradisi dan ajaran Katolik. Penduduk Lamalera terkenal di
seluruh dunia sebagai pemburu paus (koteklema) yang unik, karena berburu
hanya dengan menggunakan peralatan yang serba tradisional (Reswati dan
Kurniasari 2011: 29,31).
Menurut (Setiawan 2017: 27-28) Komunitas perburuan paus di Lamalera
dan Lamakera, Indonesia sampai saat ini, keduanya mempraktikkan perburuan
paus secara tradisional. Penduduk desa Lamalera masih mengandalkan
perburuan ikan paus sebagai mata pencaharian. Penduduk desa Lamakera
sesekali berburu paus, namun sekarang dengan cepat bergerak menuju
ekonomi yang lebih beragam. Secara tradisional, keduanya bekerjasama
melakukan perburuan skala besar untuk mamalia laut bertubuh besar, terutama
ikan paus dan pari. Secara tradisional kegiatan berburu dilakukan pada siang
hari dengan seperangkat alat tangkap sederhana tanpa menggunakan peralatan
modern. Tenalaja (perahu layar) adalah alat produksi utama, yaitu perahu
tradisional dengan layar dan seperangkat tali serta tombak bambu yang
digunakan untuk menikam ikan. Saat ini, tenalaja bukan satu-satunya alat
produksi. Beberapa pergeseran mulai terjadi ketika nelayan Lamalera
dikenalkan dengan mesin (disebut johnson) pada tahun 1973 oleh FAO
(Desrianti, 2011).
Anggota dalam setiap operasi penangkapan ikan paus dibagi menjadi tiga
kategori umum: awak kapal, anggota penombak, dan teknisi. Téna diawaki
oleh 8- 14 pria. Di dalam kru, biasanya terdapat peran khusus meski tidak
memiliki hak prerogatif khusus satu orang. Ini termasuk, penombak (lama fa),
pembantu penombak (beréun alep), dan juru mudi (lama uri). Anggota kru,
termasuk dua penguras air (fai matã), dan pendayung. (Alvard, 2002b).
Keterampilan dan tugas anggota kru pada dasarnya seragam kecuali untuk juru
mudi dan Penombak. Perintah kru tidak secara khusus diberikan kepada satu
orang saja, namun sesepuh yang berpengalaman menjadi orang yang paling
paham tentang petunjuk berlayar dan beban maksimal perahu. Saat mereka
secara aktif mengejar buruan, penombak memberi perintah. Dia mungkin

5
berdiri diujung anjungan bambu yang memanjang satu meter di depan. perahu
sambil menyeimbangkan tongkat harpun ke atas, atau pada saat lain
meletakkan tongkat itu dan memberi isyarat dengan menggerakan lengan agar
awak kapal bisa mendayung lebih cepat atau juru mudi untuk mengubah arah
(R.H. Barnes, 1986) dalam Setiawan (2017: 28-29).
Terdapat dua musim perburuan laut di Lamalera. Léfa mengacu pada
musim berburu ikan paus utama dari bulan Mei sampai September. Pada
musim kemarau dan periode dimana kondisi laut paling baik. Selama léfa,
kapal berangkat setiap hari kecuali hari Minggu, saat cuaca memungkinkan.
Baléo mengacu pada pencarian oportunistik paus selama pertengahan tahun
dari bulan Oktober sampai April. Perahu sandar didermaga dan perburuan
hanya terjadi jika buruan terlihat dari pantai. Jika seekor ikan paus terlihat dari
pantai (biasanya oleh anakanak), rona dan seruan "Baléo, baléo!" Dibuat dan
orang-orang bergegas ke pantai untuk membentuk kru dadakan (Nolin &
Alvard, 2000 dalam Alvard, 2002). Informan melaporkan bahwa hujan yang
biasa terjadi selama musim Baléo menghancurkan layar anyaman pelepah, dan
kontrol kapal penangkap ikan paus lebih sulit karena lautan yang
bergelombang. Buruan juga sulit untuk ditemui. (Alvard, 2002a) Buruan
utama untuk kedua musim adalah paus sperma (Physeter catadon) dan pari
(Mantis birostris, Mobula kuhlii, and Mobula diabolus). Mereka juga
mengejar paus bergigi lainnya, termasuk paus pembunuh (Orcinus orca), paus
pilot (Globicephala macrohynchus), beberapa spesies porpoise
(Pepononcephala electra, Globicephala macrorhyncus, Grampus griseus, dsb.),
Hiu, dan penyu (Alvard, 2002a) dalam Setiawan (2017: 28-29).
Proses pengolahan hasil tangkapan paus sperma dilakukan dengan
teknologi yang masih sangat tradisional. Daging dan kulit yang sudah
dipotong, dijemur dengan memanfaatkan panas matahari secara langsung.
Kegiatan pengolahan dilakukan dalam skala rumah tangga. Keterbatasan
untuk memanfaatkan daging atau kulit paus dalam bentuk segar karena tidak
30 adanya sarana penyimpanan atau pendingin, sehingga satu-satunya cara
adalah dilakukan pengawetan dengan cara pengeringan. Proses pengolahan
yang sederhana menghasilkan beberapa produk seperti daging kering atau

6
dendeng, kulit kering, dan minyak. Minyak yang dihasilkan dari proses
penjemuran dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk memasak dan
penerangan sedangkan minyak yang berasal dari kepala (lala) akan diolah
dengan cara dimasak dan dimanfaatkan sebagai minyak goreng. Selain
produk-produk olahan tersebut, bagian tubuh paus seperti tulang dan gigi juga
dimanfaatkan sebagai bahan baku kerajinan dan perhiasan (Ramadhan, 2015)
dalam Setiawan (2017: 29-30).

C. PAUS BURUAN DAN PERATURAN MENGENAI PERBURUAN PAUS


Menurut Desrianti (2011:6) Paus sperma merupakan salah satu mamalia
laut buruan nelayan Lamalera. Secara umum, paus merupakan cetacean yang
masuk dalam daftar spesies yang terancam punah. Hal ini mendorong
kelompok pecinta lingkungan hidup semakin aktif menyerukan penyelamatan
paus. Pada tahun 1986 kesepakatan internasional mengenai moratorium
penangkapan paus telah menetapkan pelarangan perburuan paus untuk tujuan
komersial dan mengizinkan sebagian masyarakat asli memburu sejumlah
terbatas paus berdasarkan izin penangkapan paus untuk mencari nafkah.
International Whale Commision (IWC) mengakui bahwa perburuan paus oleh
masyarakat tradisional berbeda dengan perburuan paus untuk keperluan
komersial.
Konvensi Genewa mengenai Peraturan Penangkapan Paus tahun 1931
menetapkan bahwa masyarakat tradisional yang diperbolehkan menangkap
paus adalah masyarakat yang hanya menggunakan kano, perahu atau alat
tangkap lokal yang menggunakan dayung dan layar, tidak menggunakan
senjata api, dilakukan sendiri oleh masyarakat asli dan tidak terikat kerjasama
dengan pihak ketiga untuk menerima hasil tangkapan (Revees 2002). Dalam
kategori yang ditetapkan IWC, penangkapan paus di Lamalera tergolong pada
subsistence whaling, karena penangkapan paus dilakukan dalam skala kecil,
berkesinambungan dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
lokal serta tidak ada tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari kegiatan
perburuan tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan kategori yang ditetapkan

7
oleh IWC, maka masyarakat nelayan Lamalera termasuk dalam kategori
masyarakat adat yang tidak menjadi subjek pengawasan IWC.

D. UPAYA KONSERVASI PAUS DI LAMALERA


Masyarakat Lamalera memiliki kearifan tradisional sendiri dalam
menggunakan sumberdaya lautnya. Kearifan ini bisa dikategorikan pada
bentuk konservasi tradisional yang didasarkan pada pemanfaatan dan
pelestarian. Kearifan masyarakat Lamalera ditandai dengan beberapa hal.
Pertama teknologi tradisional yang digunakan untuk mengeksploitasi
sumberdaya. Sebagaimana yang dikemukakan dalam Konvensi Genewa
mengenai Peraturan Penangkapan Paus pada tahun 1931, bahwa penangkapan
paus hanya boleh dilakukan pada masyarakat yang menggunakan kano,
perahu atau alat tangkap lokal, tidak menggunakan senjata api. Tena laja
milik masyarakat Lamalera masuk ke dalam kategori perahu tradisional.
Sangat sedikit perubahan di tena laja dan perubahan tersebut tidak merubah
dasar konstruksinya. Perubahan yang paling berarti adalah penggunaan mesin
di tena laja. Tetapi pada dasarnya mesin di tena laja membawa nilai hanya
sebagai alat bantu untuk mempercepat laju perahu saja. Sementara alat tikam
masih mamakai tempuling yang terdiri dari mata tombak dan bambu
(Desrianti, 2011:113).
Dalam Setiawan (2017:34) Kearifan kedua berkaitan dengan teritorial
lautnya yang membatasi area penangkapan (fishing ground). Nelayan
mengenal beberapa batasan jarak dalam melaut yang disebut kajo. Area
penangkapan nelayan Lamalera ditandai dengan:
1. Koli Buka, tanda di bagian barat dengan melihat tanjung sebelah Folofutu
2. Penutu Buka, tanda di bagian timur dengan melihat tanjung setelah
Atadei.
3. Kebili Bela Buka, tanda di bagian timur
4. Bobu Buka, tanda dibagian timur
5. Lambote buka dan,

8
6. Suba Duk, batas terluar melaut ke sebelah barat.
Semua tanda tersebut menentukan jarak perjalanan yang boleh dilalui
selama melaut dilihat dari kampung. Nelayan tidak akan melaut melebihi
batas-batas yang ada atau tanda alam yang masih terlihat dan membantu
mereka dalam mengenali arah dimana kampung mereka berada. Bentuk
kearifan lain yaitu penetapan musim. Khusus penangkapan mamalia dan ikan
besar dibatasi dengan menetapkan masa resmi turun ke laut dan masa
selingan. Lefa merupakan saat dimana mereka memang bersama-sama keluar
untuk mencari tangkapan yang besar. Di musim lefa juga terdapat masa
khusus yang disebut blelagering yaitu saat dimana koteklema (paus sperma)
dibiarkan dan tidak diburu karena ketika itu ikan pari sedang naik/banyak.
Memilih pari lebih diutamakan untuk menghindari kecelakaan dan resiko
yang lebih besar ketika berburu koteklema (Desrianti 2011:113).

9
BAB III

METODE PENELITIAN

A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN


Penelitian ini dilakukan di tempat terjadinya Tradisi Perburuan Paus di
Desa Lamalera, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sementara waktu penelitian dapat
dilakukan saat sudah mendekati masanya masyarakat Desa Lamalera melakukan
perburuan paus.
B. JENIS PENELITIAN
Merupakan penelitian korelasional yang meneliti mengenai korelasi
adanya tradisi perburuan paus di desa Lamalera terhadap upaya konservasi paus di
Lamalera.
C. POPULASI DAN SAMPEL
Populasi penelitian adalah seluruh wilayah di Desa Lamalera, Kupang,
Nusa Tenggara Timur, sementara sampelnya adalah beberapa lokasi konservasi
paus di Lamalera.
D. JENIS DAN SUMBER DATA
1. Jenis Data
Data pada penelitian ini merupakan data kualitatif yang disajikan
dalam bentuk kalimat-kalimat.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian merupakan data primer
yang didapatkan langsung berdasarkan kondisi di lapangan dan juga
data sekunder yang diambil dari literatur-literatur yang tersedia.
E. METODE PENGAMBILAN SAMPEL

10
Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling yaitu
pengambilan sampel terhadap tokoh-tokoh yang berperan serta dalam
melestarika tradisi perburuan paus dan pihak yang terlibat dalam konservasi.

F. METODE PENGUMPULAN DATA


1. Wawancara
Wawancara digunakan untuk mendapatkan data ataupun faka tentang
tradisi perburuan paus dan juga upaya konservasi terhadap paus yang
dilakukan.
2. Observasi
Observasi dilakukan untuk mendapatkan data-data geomorfologi di
sekitar sungai yang memungkinkan untuk melakukan kegiatan mandi
bongen.
G. METODE ANALISIS DATA
Karena data penelitian bersifat kualitatif, maka analisis data penelitian juga
berupa teknik analisis data deskriptif kualitatif.
H. Daftar Pustaka
Aslam Nurhidayah. 2013. Tradisi Berburu Paus Desa Lamalera NTT.
Universitas Hassanudin. Diakses di https://www.academia.edu/37911503/
TRADISI_BERBURU_PAUS_DESA_LAMALERA_NTT_1 (Pada 15
Mei 2019 pukul 20.00)
Desrianti, F. 2011. Masyarakat Nelayan Lamalera (Sudut Pandang Sosiologi
Ekonomi dan Ekologi). Thesis: Institut Pertanian Bogor
Reswati, Elly dan Kurniasar, Nendah. 2011. Kearifan Lokal Masyarakat
Lamalera: Sebuah Ekspresi Hubungan Manusia Dengan Laut. Jurnal Vol.
6 No. 2
Setiawan, Jeyeng Ferdi. 2017. Perburuan Paus Di Lamalera, Kupang, Nusa
Tenggara Timur. Paper: Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta

11

Anda mungkin juga menyukai