Anda di halaman 1dari 12

1.

Suku Bajo

Dengan kearifan lokal, masyarakat Suku Bajo di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato,
Kabupaten Pohuwato, menjaga kelestarian pesisir dan laut. Salah satu bukti, terlihat dari
mangrove di pemukiman mereka terjaga baik. Hal ini terungkap dalam penelitian Profesor Ramli
Utina, dari Universitas Negeri Gorontalo.

Ramli mengatakan, di lingkungan sekitar permukiman masyarakat Bajo, ekosistem


mangrove, padang lamun dan terumbu karang masih terpelihara baik. Kondisi ini,  tak tampak
pada permukiman masyarakat pesisir lain. Komunitas Bajo yang mendiami daerah pesisir Desa
Torosiaje,  memiliki kedekatan emosional terhadap sumber daya alam (SDA), yang melahirkan
perilaku nyata mempertimbangkan ekologis.

“Komunitas Bajo ini memiliki kearifan lokal berupa tradisi, aturan atau pantangan turun temurun
yang dipraktikkan, dipelihara dan ditaati masyarakat Bajo.”

Menurut dia, mengatasi krisis ekologi tak semata soal teknis, tetapi perlu ditelusuri seluk-
beluk spiritual manusia, pandangan hidup, kesadaran terhadap alam dan perilaku ekologis. Untuk
itu, perlu kecerdasan ekologis (ecological intelligence) manusia, berupa pemahaman dan
penerjemahan hubungan manusia dengan seluruh unsur beserta mahluk hidup lain.

Manusia cerdas ekologis, katanya, menempatkan diri sebagai kontrol lingkungan yang
dituangkan dalam sikap dan perilaku nyata kala mempelakukan alam. “Alam semesta bukan
hanya sumber eksploitasi tetapi rumah hidup bersama yang terus dilindungi, dirawat, ditata,
bukan dihancurkan.”

Suku Bajo terkenal sebagai pelaut ulung, dan berdiaspora di beberapa wilayah lain di
Indonesia. Di Gorontalo, komunitas ini bermukim di pesisir Desa Torosiaje, Desa Torosiaje Jaya,
Desa Bumi Bahari di Kabupaten Pohuwato, dan Desa Tanjung Bajo di Kabupaten Boalemo.
Permukiman mereka di Desa Torosiaje dibangun di laut sejak 1901, dengan luas lebih kurang
200 hektar. Pembangunan sosial ekonomi dan perkembangan akses penduduk memungkinkan
penyebaran masyarakat Bajo ke wilayah pesisir lain.

Penduduk Desa Torosiaje tahun 2011 terdata 1.334 jiwa meliputi 338 keluarga, lebih dari
99 persen Suku Bajo. Penduduk usia kerja sebagai nelayan 24,1 persen.

Sarana dan prasarana pendidikan tersedia TK dan SD, dan di desa terdekat yaitu
Torosiaje Jaya dan Bumi Bahari ada SMP dan SMK Kelautan. Akses penduduk usia sekolah
terhadap pendidikan terdata 26 persen menempuh pendidikan tingkat dasar hingga pendidikan
tinggi.
Masyarakat Bajo di Desa Torosiaje dan dua desa terdekat membentuk kelompok sadar
lingkungan (KSL), yang memperoleh pendampingan dari LSM. Dampaknya, telihat pada
pelestarian ekosistem pesisir, hutan mangrove sangat baik dan padat.

Dalam tiga tahun terakhir persentase tutupan mangrove mencapai 80-91 persen, dengan
kerapatan 5.700-6.000 pohon per hektar. Padang lamun tersebar hampir merata terutama di luar
kawasan mangrove, kecuali pada jalur lalu lintas perahu pertumbuhan lamun terganggu. Kondisi
terumbu karang di sekitar permukiman penduduk cukup baik.

Perumahan penduduk berupa panggung di atas permukaan air laut di kedalaman antara
satu sampai delapan meter. Antarrumah dihubungkan dengan jembatan kayu. Tiang rumah dan
jembatan dibangun menggunakan kayu dari tanaman tahan air, gopasa, diambil di luar kawasan
mangrove.

Awalnya, masyarakat menggunakan tanaman sudah tua dan mati disebut Posi-posi, yang
diambil dari hutan mangrove. Perahu dayung atau bermotor tempel sebagai sarana angkutan dan
perdagangan bahan makanan pokok.

Pemerintah daerah membangun  jembatan konstruksi beton dari arah pantai melewati
kawasan padat hutan mangrove dan padang lamun. Namun, hanya sebatas area pasang-surut dan
tak mencapai perumahan.

Masyarakat tak menyetujui lanjutan pembangunan jembatan ini, dengan alasan akan
masuk sepeda motor ke permukiman hingga pencaharian ojek perahu penduduk akan hilang.
Alasan lain, makin luas kerusakan mangrove dan padang lamun akibat konstruksi jembatan, dan
tak dapat dihindari kebisingan, asap dan oli buangan mesin sepeda motor bisa mencemari
perairan laut.

“Karena itu perahu motor tempel sebagai sarana angkutan utama antara daratan dengan
permukiman penduduk, waktu tempuh 5-10 menit. Saat ini Desa Torosiaje ditetapkan sebagai
desa wisata,” kata Ramli.

Menurut dia, dukungan suku Bajo menjadikan Desa Torosiaje sebagai desa wisata
menunjukkan kesadaran masyarakat mempertahankan ekosistem pesisir dan eksistensi
permukiman di perairan laut. Konsekuensinya, masyarakat Bajo harus menjaga kelestarian
ekosistem dan SDA pesisir, hingga layanan jasa wisata ini menjadi sumber kehidupan
masyarakat.

Menjaga tradisi

Kedekatan emosional masyarakat Bajo dengan sumberdaya laut memunculkan tradisi


mamia kadialo. Tradisi mamia kadialo berupa pengelompokan orang ketika ikut melaut jangka
waktu tertentu dan perahu yang digunakan.  Ada tiga kelompok tradisi ini: palilibu, bapongka,
dan sasakai. 

Palilibu adalah kebiasaan melaut menggunakan perahu soppe yang digerakkan dayung.
Melaut hanya dalam satu atau dua hari dan kembali ke permukiman menjual hasil tangkapan dan
sebagian dinikmati bersama keluarga.

Bapongka (babangi) adalah kegiatan melaut selama beberapa minggu bahkan bulanan


menggunakan perahu besar berukuran kurang lebih 4×2 meter disebut leppa atau sopek.
Kegiatan inisering mengikutsertakan keluarga, seperti istri dan anak-anak, bahkan ada yang
melahirkan di atas perahu.

Lalu, sasakai, yaitu kebiasaan melaut menggunakan beberapa perahu selama beberapa
bulan dengan wilayah jelajah antar pulau. Selama kelompok menjalani mamia kadialo (melaut)
ada pantangan bagi keluarga yang ditinggal maupun mereka yang melaut.

Pantangan itu, antara lain dilarang membuang ke perairan laut seperti, air cucian teripang,
arang kayu atau abu dapur, puntung dan abu rokok, air cabai, jahe dan air perasan jeruk, dan
larangan mencuci alat memasak (wajan) di perairan laut.

Air cucian maupun bahan-bahan ini hendaknya ditampung dan dibuang di daratan. Ada
pula pantangan memakan daging penyu, jika dilanggar bisa mendatangkan malapetaka, bencana
badai, gangguan roh jahat bahkan tidak mendapatkan hasil apa-apa di laut. Penyu dipercaya
banyak menolong manusia yang mengalami musibah, karena itu satwa ini tidak boleh dibunuh.

“Masyarakat Bajo, khusus generasi tua, masih mempercayai gugusan karang tertentu
sebagai tempat bersemayam arwah para leluhur. Orang tua melarang anggota keluarga
menangkap ikan dan biota lai di sekitar gugusan karang, kecuali terlebih dahulu melakukan ritual
tertentu dengan menyiapkan sajian bagi leluhur.” “Berbagai pantangan itu mengandung nilai
pelestarian ekosistem perairan laut dan pesisir.”

Kedekatan masyarakat Bajo dengan laut dan pesisir memungkinkan mereka memiliki
berbagai pengetahuan lokal tentang gejala-gejala alam. Di tengah kerusakan atmosfer bumi, ada
gejala alam dan tanda-tanda atmosfer yang masih digunakan masyarakat Bajo saat melaut.
Perairan terumbu karang dikenal dari gejala-gejala seperti, permukaan laut sekitar cukup
tenang, arus kurang kencang, banyak buih atau busa putih dan bau anyir, dan ketika dayung
perahu berdesir saat berperahu. Gugusan karang dapat dikenal dari kilauan cahaya bulan pada
malam hari. Peralihan pasang surut alir laut pada siang hari, ketika burung elang turun mendekati
permukaan air laut pertanda air mulai surut.

Pengetahuan masyarakat terhadap gejala alam ini, katanya, memiliki nilai ekologis.
Terumbu karang,  antara lain sebagai penahan arus dan gelombang. Tak heran, di sekitar
kawasan itu yang cukup tenang. Kilauan cahaya bulan akibat pantulan permukaan air cukup
tenang. Aktivitas burung elang mendekati permukaan laut karena ketika air surut lebih banyak
tampak biota laut yang menjadi mangsa burung elang.

“Walau perkembangan ilmu pengetahuan makin maju namun pengetahuan lokal tentang
gejala alam yang dimiliki masyarakat Bajo masih menjadi acuan bagi mereka dalam menjalani
kehidupan di laut,” ucap Ramli.

Refrensi : http://www.mongabay.co.id/2014/01/26/kearifan-suku-bajo-menjaga-kelestarian-
pesisir-dan-laut/

Biota di Wakatobi
Taman Nasional Laut Wakatobi di Sulawesi Tenggara yang luas areanya mencapai
1.390.000 ha (ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 393/Kpts-V/1996) terkenal
di dunia karena kekayaan jenis terumbu karangnya. Wakatobi merupakan kependekan dari nama
empat pulau besar yang ada di kawasan tersebut, yaitu Pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa,
Pulau Tomia dan Pulau Binongko.
Keanekaragaman jenisnya melebihi jenis terumbu karang di laut Karibia (50 jenis) dan
Laut Merah di Mesir (300 jenis) (Kompas, 5/12/08). Secara umum perairan lautnya mempunyai
konfigurasi dari mulai datar sampai melandai kearah laut, dan beberapa daerah perairan terdapat
yang bertubir curam. Kedalaman airnya bervariasi, bagian terdalam mencapai 1.044 meter
dengan dasar perairan sebagian besar berpasir dan berkarang.
Taman nasional ini memiliki 25 buah gugusan terumbu karang dengan keliling pantai
dari pulau-pulau karang sepanjang 600 km. Lebih dari 112 jenis karang dari 13 famili
diantaranya Acropora formosa, A. hyacinthus, Psammocora profundasafla, Pavona cactus,
Leptoseris yabei, Fungia molucensis, Lobophyllia robusta, Merulina ampliata, Platygyra
versifora, Euphyllia glabrescens, Tubastraea frondes, Stylophora pistillata, Sarcophyton
throchelliophorum, dan Sinularia spp.
Di perairan Taman Nasional ini juga terdapat 93 jenis ikan hias bernilai ekonomi tinggi, seperti
peackock grouper (Cephalopholus argus), spotted rabbitfish (Siganus guttatus), ikan Napoleon,
Humphead Wrasse (Cheilinus undulates) dan lain-lain. Belum lagi beberapa jenis penyu seperti
penyu sisik, Hawksbill turtle (eretmochelys imbricate), penyu tempayan, loggerhead turtle
(Caretta caretta) dan penyu lekang, Olive ridley turtle (Lepidochlys clivacea).
Selain terdapat beberapa jenis burung laut seperti angsa-batu coklat (Sula leucogaster
plotus), cerek melayu (Charadrius peronii), raja udang erasia (Alcedo atthis); juga terdapat tiga
jenis penyu yang sering mendarat di pulau-pulau yang ada di taman nasional yaitu penyu sisik
(Eretmochelys imbricata), penyu tempayan (Caretta caretta), dan penyu lekang (Lepidochelys
olivacea).
Refrensi : http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/basisdata-kawasan-konservasi/details/1/12

2. Kearifan Lokal Masyarakat Kaili di Sulawesi Tengah


Suku kaili merupakan suku yang populasinya mendominasi di wilayah Sulawesi Tengah.
Untuk menyatakan "orang Kaili" disebut dalam bahasa Kaili dengan menggunakan panggilan
"To" yaitu To Kaili. Mata pencaharian utama suku Kaili adalah bercocok tanam di sawah, di
ladang dan menanam pohon kelapa. Masyarakat suku Kaili yang hidup di pesisir pantai selain
bertani dan berkebun, mereka juga hidup sebagai nelayan dan berdagang antar pulau ke
kalimantan. Makanan asli suku Kaili pada umumnya adalah Kadang pada musim paceklik
masyarakat menanam jagung, sehingga sering juga mereka memakan nasi dari beras jagung
(campuran beras dan jagung giling). Di daerah Kulawi masih ditemukan adanya pembuatan
bahan pakaian yang diproses dari kulit kayu yang disebut Katevu. Pakaian ini sebagian besar
dipakai oleh para wanita dalam bentuk rok dan baju adat.
Masyarakat kaili memiliki kearifan lokal dalam melestarikan ungkapan-ungkapan,
pantangan atau pamali dan upacara adat. Suku kaili mengenal lebih dari dua puluh bahasa yang
digunakan dalam percakapan sehari-hari. Bahasa yang masih ditemukan dan digunakan dalam
percakapan sesama suku kalili adalah bahasa ledo. Upacara-upacara adat yang ada dalam suku
kaili adalah upacara perkawinan dengan diiringi tarian no-Rego dan kesenian berpantun putra-
putri, upacara kematian (no-Vaino, menuturkan kebaikan-kebaikan orang meninggal), upacara
panen (no-Vunja, penyerahan sesaji untuk dewa kesuburan), upacara penyembuhan penyakit (no-
Balia, ritual penyembuhan melalui orang-orang yang kemasukan roh-roh leluhur yang telah
meninggal). Masyarakat Kaili memiliki pengetahuan lokal dalam pelestarian hutan, perairan
danau Lindu, pantangan atau pemali dalam bertutur atau berucap, dan upacara adat lainnya.

Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan Pesisir Danau Lindu


Kearifan lokal masyarakat nelayan pesisir danau Lindu adalah dengan menggunakan alat
penangkapan ikan teknologi sederhana seperti pukat atau jaring (berukuran 4 jari) dan pancing
atau Kipu. Jenis ikan yang dapat ditangkap dan dikonsumsi oleh penduduk setempat yaitu sumi-
sumi, karper, uru (ikan gabus, ikan kosa, ikan pajanggo (ikan lele), gurami, mujair, belut, ikan
tawes. Ikan yang tidak boleh ditangkap adalah ikan jenis masapi (sugili) yang diyakini sebagai
ikan jadi-jadian. Ikan jenis masapi memiliki panjang kira-sekitar 50 cm, besar dan beratnya
melebihi sugili biasa. Untuk mengatur agar populasi ikan tetap stabil, maka diberlakukan
kearifan lokal berupa masa ombo, yaitu waktu yang dilarang untuk menangkap ikan.
Masa ombo terdiri atas Ombo Ngiki, Ombo Suaka, dan Ombo Pemerintah. Ombo Ngiki
yaitu pantangan menangkap ikan di danau, sedangkan di darat pantangan melakukan pesta,
kecuali aktivitas biasa tiap hari. Waktu ombo Ngiki diberlakukan sampai tiga bulan. Selain itu,
ikan mujair yang kecil tidak boleh ditangkap atau dijual, kalaupun terjaring harus dilepas
kembali ke danau, karena ikan mujair yang kecil dapat memakan jentik nyamuk malaria. Ombo
Suaka, berlaku jika ada salah satu keluarga Madika (bangsawan dan keluarganya) meninggal
dunia. Pada masa ini,penangkapan ikan di sekitar wilayah Madika akan ditutup selama empat
puluh hari. Sedangkan ombo Pemerintah berlaku jika wilayah penangkapn ikan benar-benar
dalam keadaan rusak. Ombo Pemerintah berlaku hingga dua bulan. Pelanggaran ombo berakibat
kena bala seperti, sakit atau meninggal dunia, khususnya pelanggaran ombo suaka. Sanksi
pelarangan omdo adalah ditegur oleh tokoh adat dan yang lainnya berupa denda 10 dulam,(piring
adat) satu buah kain mbesa (kain adat) satu ekor sapi atau kerbau.

Kearifan Lokal Pelestarian Hutan


Jenis kayu yang berada di sekitar danau Lindu seperti kayu tea, kayu beata, kayu mona,
kayu kapa, dan kayu kalibau dilarang ditebang. Pohon-pohon tersebut berfungsi untuk
mengantisipasi longsor dan banjir. Dalam suku Kaili secara adat ada jenis pohon yang harus
dilestarikan,seperti pohon malabano, nokilana,maravola, malasia, dan tanjaibo.
3. Suku Moma
Suku Moma adalah suatu etnis (suku) yang mendiami sebagian besar wilayah kecamatan
Kulawi dan kecamatan Kulawi Selatan kabupaten Sigi provinsi Sulawesi TengahPopulasi suku
Moma diperkirakan sebesar 2.660 orang pada sensus tahun 2012.

Ngata Toro (Desa Toro), adalah pemukiman utama suku Moma ini, yang berada di
kecamatan Kulawi kabupaten Sigi. Desa Toro adalah sebuah desa yang masih asli jauh dari pusat
keramaian kota. Suku Moma ini merupakan suku asli di desa Toro ini. Tapi selain suku Toro,
ada beberapa etnis lain yang juga mendiami desa Toro ini, yaitu suku Rampi dan suku Toraja
yang sejak lama telah bermigrasi ke wilayah ini. Selain itu ada juga beberapa sub-etnis suku
Kaili yang berasal dari lembah Sigi dan kota Palu yang ikut hidup bersama-sama di desa ini.

Suku Moma sangat menjaga hutan mereka, yang telah memberi kehidupan bagi mereka
sejak zaman nenek moyang mereka. Beberapa aturan adat diterapkan pada pola kehidupan, guna
bersama-sama menjaga hutan dari berbagai jenis ancaman kerusakan alam akibat perambahan
lahan. Mereka percaya bahwa dari generasi ke generasi mereka hidup melindungi alam dan
sumberdaya alam yang mereka miliki. Pembagian wilayah dan lahan garapan sudah ditentukan
berdasarkan aturan adat. Mereka sangat menghormati aturan adat peninggalan nenek moyang
mereka, yang tetap menjadi hidup seluruh masyarakat adat suku Moma.

Salah satu tradisi suku Moma di Ngata Toro adalah upacara Wunca Ada Pae, merupakan
upacara yang dilakukan setelah panen, sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang telah
dihasilkan. Hasil panen (makanan) digantung di bambu dan padi yang akan dijadikan bibit
ditempatkan di bawah pohon bambu tersebut. Setelah itu sang ketua adat meniup terompet yang
terbuat dari batang padi dan diikuti oleh tarian Rego yang ditarikan oleh pemuda-pemudi
adat.Moma. Dalam upacara Wunca Ada Pae, adalah membaca mantra-mantra yang dilakukan
oleh ketua adat yang bertujuan untuk penyelamatan tanah, air, udara dan sumber daya alam yang
terdapat di wilayah adat Moma Ngata Toro.
http://protomalayans.blogspot.co.id/2012/10/suku-moma-sulawesi.html

Inisiatif Gerakan Masyarakat Adat Ngata Toro


Sejak tahun 1993 komunitas Toro mulai menggencarkan berbagai prakarsa untuk
menegaskan identitas budaya mereka. Prakarsa ini mencakup aturan adat, lembaga adat, dan
penggalian serta upaya transformasi tradisi dalam rangka pengelolaan sumber daya alam berbasis
komunitas yang lestari dan membawa manfaat bagi seluruh anggota komunitas. Semua tindakan
kolektif ini pada dasarnya memiliki tiga tujuan pokok, yaitu:
• Menjaga keberlanjutan ekosistem hutan tropis di sekeliling komunitas ini yang kini
telah ditetapkan sebagai Taman Nasional Lore Lindu melalui pranata sosial-budaya dan
kepemimpinan lokal. Hal ini dilakukan dengan merevitalisasi sekaligus transformasi berbagai
pengetahuan dan praktik pengelolaan hutan tradisional, pranata system hukum dan peradilan adat
serta kelembagaan untuk mengatur akses, kontrol dan pemanfaatan yang bijak atas sumber daya
alam;
• Memperoleh manfaat optimal dari perlindungan ekosistem hutan tropis dalam rangka
menjamin keberlanjutan komunitas dan seluruh struktursosial politiknya dan aktivitas ekonomi
lokal yang bergantung pada pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam setempat;
• Menjamin keadilan antargenerasi dalam akses, kontrol, dan pemanfaatan atas sumber
daya alam setempat.
Sejak bergulirnya prakarsa ini pada tahun 1993, komunitas Toro secara perlahan namun
pasti kian memantapkan upaya mengembangkan otonomi mereka dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya setempat secara arif dan lestari. Rentang waktu pelaksanaan inisiatif
ini yang telah berlangsung selama lebih dari 10 tahun dapat dikelompokkan menjadi tiga fase
yang berturutan, yakni fase pemantapan landasan, fase pengakuan, dan fase penyebaran.

Toro terletak sekitar 120°1` BT - 120°3`30” BT dan 1°29`30” LS - 1°32` LS, dengan luas
wilayah 229,5 km2 (22.950 ha) dan ketinggian rata-rata 800 m di atas permukaan laut (dpl). Toro
berada dalam wilayah kecamatan Kulawi, Donggala, Sulawesi Tengah, Masyarakatnya dikenal
sebagai komunitas yang memiliki pranata sosial dan kelembagaan adat yang sangat kuat.
Struktur masyarakatnya telah teratur sejak zaman nenek moyang mereka. Masyarakat Toro
memiliki pemerintahan sendiri yang mengatur segala bentuk kehidupan mereka, termasuk dalam
hal pengelolaan sumber daya alam. Dalam pemerintahannya ada tiga unsur yang sama tinggi,
yaitu totua ngata, maradika, dan tina ngata. Ketiganya memiliki fungsi masing-masing tapi tidak
berjalan sendiri-sendiri (Andrian, 2006).

Berdasarkan zona-zona tersebut masyarakat Toro membentuk sistem pengolahan tanah


bergilir. Lahan hutan yang telah di buka disebut popangalea, orang yang membukanya pertama
kali memiliki hak kepe milikan lahan. Lahan terbuka yang produktif disebut bone. Setelah
beberapa kali masa tanam, kesuburan tanah akan menurun seiring dengan menurunnya nutrisi
yang terkandung di dalam tanah, tanah jenis ini disebut balingkea. Apabila memungkinkan
balingkea ditanami lagi untuk satu atau beberapa kali masa tanam (mobalingkea). Balingkea
yang tidak ditanami lagi, dan ditinggalkan (1-25 tahun) untuk mengembalikan kesuburan tanah
disebut Oma.
Selain itu, adat Toro juga melarang adanya perburuan terhadap Anoa (Anoa Quarlesi dan
Anoa Deoressicornis), Babirusa (Babyrousa Babyrusa), Enggang (Alo/rangkong) (Rhyticeros
Cassidix), Maleo (Macrochepalon Maleo). Hal ini dikarenakan Anoa merupakan hewan yang
dilindungi dan dianggap sebagai hewan adat yang hanya boleh dimakan dalam upacara adat,
Babirusa dilindungi karena bentuk fisiknya yang unik, Enggang dilindungi karena warnanya
yang indah, sementara Maleo dilindungi karena telurnya yang unik.
Kearifan lokal masyarakat Toro dalam pemanfaatan sumber daya alam dapat terlihat dari
kegiatan seperti dibawah ini:
Pembukaan Lahan.
Dalam aturan masyarakat adat Toro, lahan yang dapat dibuka adalah oma, terutama Oma
Ngura (telah ditinggalkan 3-5 tahun), dan Oma Ntua (telah ditinggalkan 5-25 tahun) sedangkan
lahan yang tidak diperkenankan untuk dibuka dengan alasan apapun adalah Pangale. Setiap yang
ingin membuka lahan diwajibkan mengajukan permohonan kepada pemerintah desa melalui
LMA (Lembaga Masyarakat Adat) disertai alasan, lokasi yang akan dimanfaatkan dan luasan
yang dibutuhkan. Setelah izin diberikan, pembukaan lahan harus didahului dengan upacara adat
”Mohamele manu bula”.
Pengambilan Kayu
Izin pengambilan kayu dikeluarkan apabila tujuan pemanfaatan semata-mata untuk
kebutuhan domestik. Namun dalam perkembangannya, saat ini telah diperkenankan pula
memanen kayu untuk bahan baku industri meubel dan kusen berskala lokal. setelah mendapatkan
izin penebangan, terlebih dahulu harus dilakukan upacara adat ”Mowurera pu kau”. Selain itu
perlu diperhatikan bahwa kayu yang ditebang berdiameter minimal 60 cm, dan tidak melakukan
penebangan di daerah Taolo, yaitu lokasi yang bertopografi miring sepanjang daerah aliran
sungai dan di tempat yang rawan longsor dan erosi.

Pemanenan Rotan (Calamus sp)


Rotan yang akan dipanen harus berumur lebih dari tiga tahun, dan penetapan lokasi
ditentukan oleh hasil musyawarah lembaga adat dengan memperhatikan prinsip rotasi (ra ombo).
Selain itu, terdapat larangan untuk menarik rotan sepanjang daerah aliran sungai pada saat
tanaman padi di sawah ataupun ladang mulai berbulir.
Masyarakat Toro hingga kini masih menjalankan tradisinya. Perusak hutan dan pemburu
hewan yang dilindungi akan dikenakan hukum adat. Pada mulanya, hukuman adat yang
diberikan berupa satu kerbau, satu kain besa, dan 10 dulang. Namun saat ini hukuman yang
diberikan berupa denda uang disesuaikan dengan kesalahan yang ada. Dari keseluruhan kondisi
hutan Lore Lindu, hutan di Toro termasuk hutan yang paling terlindungi. Perekonomian
masyarakat Toro dapat berkembang tanpa harus merusak hutan ataupun alam. Kehidupan
masyarakat Toro yang selaras dengan alam dapat menjadi contoh yang baik bagi masyarakat
luas.

Denda Adat Pada Pihak Balai Taman Nasional


Libu Bohe (musyarawah adat besar) bagi masyarakat Ngata Toro amat berperan penting.
Seperti hasil Libu Bohe pada tahun 2009 yang mengatur pelarangan pengambilan rotan.
Pengambilan rotan oleh warga ternyata dirasa tidak berdampak pada perubahan hidup orang
Toro. Pelarangan itu kemudian akan dicabut dan pengelolaan rotan diurus oleh Badan Usaha
Milik Ngata.
Sistem pengadilan adat Ngata Toro sangatlah kuat. Ini sudah dirasakan oleh Balai Besar
TN Lore Lindu. Ketika itu tahun 2011. Tanpa sepengetahuan lembaga adat, orang balai
mengajak warga asing masuk hutan Toro.
“Waktu itu yang diajak dari Jepang dua orang. Bisa jadi mereka turis atau dalam rangka
penelitian. Tanpa sepengetahuan lembaga adat mereka masuk daerah Wanangkiki dari Ngata
Toro menuju Ngata Katu, dan ternyata hilang selama dua minggu,” kata Mulyanto Lagimpu.
Orang Balai lalu meminta bantuan kepada para Tondo Ngata untuk melakukan pencarian.
Namun lembaga adat telah memutuskan bahwa ini adalah pelanggaran berat. Beruntung mereka
dapat ditemukan. Setelah itu, dilakukan sidang adat dan memutuskan bahwa pihak Balai TN
Lore Lindu bersalah karena masuk hutan Toro tanpa izin lembaga adat. Pihak balai pun
dikenakan givu atau denda adat.
“Sidang adatnya digelar di Lobo Ngata Toro, dan pihak Balai dikenakan denda yang
sudah dirupiahkan sebesar Rp 7,5 juta,” ungkap Kepala Ngata, Mulyanto Lagimpu.
Menurut Naftali Porentjo, di Ngata Toro sanksi adatnya ada tiga; ringan, sedang, dan
berat. Untuk yang ringan dikenal dengan istilah; hampulu, hangkau, dan hamu atau denda 1 ekor
kerbau, 10 dulang, 1 sarung. Lalu sanksi adat sedang; rompulu, rangkau, rongu atau denda 2 ekor
kerbau, 20 dulang, dan 2 sarung. Dan sanksi adat berat; tolungpulu, tolungkau, toluongu atau 3
ekor kerbau, 30 dulang, dan 3 sarung.

“Selain itu kami juga pernah memberikan givu ini kepada anggota TNI yang mengambil
kayu di Ngata Toro,” tambah Naftali.

Masyarakat Ngata Toro sangat menjunjung tinggi “Maroho Ada, Manimpu Ngata”. Jika
ada warga yang membutuhkan kayu dari hutan untuk pembangunan rumah, maka secara sadar
mereka akan menemui lembaga adat. Meminta izin mengambil kayu di hutan.

“Kalau misalkan membangun rumah, maka akan ditanya: rumah baru atau direhab? Nah,
mengambil kayu itu disesuaikan dengan kebutuhan rumah,” ujar Naftali.

Karena kearifan yang dimiliki dan hutan adat yang terjaga dengan baik, banyak yang
melakukan kunjungan belajar di Ngata Toro kemudian direplikasi ke daerah lain. Tidak hanya
dalam negeri, kunjungan belajar juga datang dari masyarakat adat yang datang jauh dari
Fhilipina, Amerika Latin, Nepal, Myanmar, dan bahkan Afrika.
Suku Moma, suku yang diperkirakan sebesar 2.660 orang ini merupakan salah satu etnis
di provinsi Sulawesi yang mendiami sebagian besar wilayah kecamatan Kulawi, kabupaten Sigi,
provinsi Sulawesi Tengah. Lebih detailnya, suku Moma ini tinggal didesa bernama Toro, Desa
Toro (Ngata Toro). Salah satu tradisi suku Moma di Ngata Toro terdapat upacara Wunca Ada
Pae. Upacara Vunca Ada Mpae merupakan upacara pembacaan mantra-mantra yang dilakukan
oleh ketua adat yang bertujuan untuk penyelamatan tanah, air, udara dan sumber daya alam yang
terdapat di wilayah adat Moma Ngata Toro.

Berikut merupakan beberapa bentuk kearifan lokal masyarakat Toro :

 Larangan perburuan terhadap Anoa, Babirusa, Enggang, dan Maleo. Hal ini dikarenakan
Anoa merupakan hewan yang dilindungi dan dianggap sebagai hewan adat yang hanya
boleh dimakan dalam upacara adat.
 Pembukaan lahan harus mendapatkan izindari LMA (Lembaga Masyarakat Adat) dan
didahului dengan upacara adat ”Mohamele manu bula”.
 Penebangan pohon harus didahului upacara adat ”Mowurera pu kau”. Selain itu kayu
yang ditebang berdiameter minimal 60 cm. Larangan melakukan penebangan di daerah
Taolo, yaitu lokasi yang bertopografi miring sepanjang daerah aliran sungai dan di
tempat yang rawan longsor dan erosi.
 Kegiatan memanen rotan harus berumur lebih dari tiga tahun, dan penetapan lokasi
ditentukan oleh hasil musyawarah lembaga adat dengan memperhatikan prinsip rotasi (ra
ombo). Larangan penarikan rotan sepanjang daerah aliran sungai pada saat tanaman padi
di sawah ataupun ladang mulai berbulir.

Anda mungkin juga menyukai