Suku Bajo
Dengan kearifan lokal, masyarakat Suku Bajo di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato,
Kabupaten Pohuwato, menjaga kelestarian pesisir dan laut. Salah satu bukti, terlihat dari
mangrove di pemukiman mereka terjaga baik. Hal ini terungkap dalam penelitian Profesor Ramli
Utina, dari Universitas Negeri Gorontalo.
“Komunitas Bajo ini memiliki kearifan lokal berupa tradisi, aturan atau pantangan turun temurun
yang dipraktikkan, dipelihara dan ditaati masyarakat Bajo.”
Menurut dia, mengatasi krisis ekologi tak semata soal teknis, tetapi perlu ditelusuri seluk-
beluk spiritual manusia, pandangan hidup, kesadaran terhadap alam dan perilaku ekologis. Untuk
itu, perlu kecerdasan ekologis (ecological intelligence) manusia, berupa pemahaman dan
penerjemahan hubungan manusia dengan seluruh unsur beserta mahluk hidup lain.
Manusia cerdas ekologis, katanya, menempatkan diri sebagai kontrol lingkungan yang
dituangkan dalam sikap dan perilaku nyata kala mempelakukan alam. “Alam semesta bukan
hanya sumber eksploitasi tetapi rumah hidup bersama yang terus dilindungi, dirawat, ditata,
bukan dihancurkan.”
Suku Bajo terkenal sebagai pelaut ulung, dan berdiaspora di beberapa wilayah lain di
Indonesia. Di Gorontalo, komunitas ini bermukim di pesisir Desa Torosiaje, Desa Torosiaje Jaya,
Desa Bumi Bahari di Kabupaten Pohuwato, dan Desa Tanjung Bajo di Kabupaten Boalemo.
Permukiman mereka di Desa Torosiaje dibangun di laut sejak 1901, dengan luas lebih kurang
200 hektar. Pembangunan sosial ekonomi dan perkembangan akses penduduk memungkinkan
penyebaran masyarakat Bajo ke wilayah pesisir lain.
Penduduk Desa Torosiaje tahun 2011 terdata 1.334 jiwa meliputi 338 keluarga, lebih dari
99 persen Suku Bajo. Penduduk usia kerja sebagai nelayan 24,1 persen.
Sarana dan prasarana pendidikan tersedia TK dan SD, dan di desa terdekat yaitu
Torosiaje Jaya dan Bumi Bahari ada SMP dan SMK Kelautan. Akses penduduk usia sekolah
terhadap pendidikan terdata 26 persen menempuh pendidikan tingkat dasar hingga pendidikan
tinggi.
Masyarakat Bajo di Desa Torosiaje dan dua desa terdekat membentuk kelompok sadar
lingkungan (KSL), yang memperoleh pendampingan dari LSM. Dampaknya, telihat pada
pelestarian ekosistem pesisir, hutan mangrove sangat baik dan padat.
Dalam tiga tahun terakhir persentase tutupan mangrove mencapai 80-91 persen, dengan
kerapatan 5.700-6.000 pohon per hektar. Padang lamun tersebar hampir merata terutama di luar
kawasan mangrove, kecuali pada jalur lalu lintas perahu pertumbuhan lamun terganggu. Kondisi
terumbu karang di sekitar permukiman penduduk cukup baik.
Perumahan penduduk berupa panggung di atas permukaan air laut di kedalaman antara
satu sampai delapan meter. Antarrumah dihubungkan dengan jembatan kayu. Tiang rumah dan
jembatan dibangun menggunakan kayu dari tanaman tahan air, gopasa, diambil di luar kawasan
mangrove.
Awalnya, masyarakat menggunakan tanaman sudah tua dan mati disebut Posi-posi, yang
diambil dari hutan mangrove. Perahu dayung atau bermotor tempel sebagai sarana angkutan dan
perdagangan bahan makanan pokok.
Pemerintah daerah membangun jembatan konstruksi beton dari arah pantai melewati
kawasan padat hutan mangrove dan padang lamun. Namun, hanya sebatas area pasang-surut dan
tak mencapai perumahan.
Masyarakat tak menyetujui lanjutan pembangunan jembatan ini, dengan alasan akan
masuk sepeda motor ke permukiman hingga pencaharian ojek perahu penduduk akan hilang.
Alasan lain, makin luas kerusakan mangrove dan padang lamun akibat konstruksi jembatan, dan
tak dapat dihindari kebisingan, asap dan oli buangan mesin sepeda motor bisa mencemari
perairan laut.
“Karena itu perahu motor tempel sebagai sarana angkutan utama antara daratan dengan
permukiman penduduk, waktu tempuh 5-10 menit. Saat ini Desa Torosiaje ditetapkan sebagai
desa wisata,” kata Ramli.
Menurut dia, dukungan suku Bajo menjadikan Desa Torosiaje sebagai desa wisata
menunjukkan kesadaran masyarakat mempertahankan ekosistem pesisir dan eksistensi
permukiman di perairan laut. Konsekuensinya, masyarakat Bajo harus menjaga kelestarian
ekosistem dan SDA pesisir, hingga layanan jasa wisata ini menjadi sumber kehidupan
masyarakat.
Menjaga tradisi
Palilibu adalah kebiasaan melaut menggunakan perahu soppe yang digerakkan dayung.
Melaut hanya dalam satu atau dua hari dan kembali ke permukiman menjual hasil tangkapan dan
sebagian dinikmati bersama keluarga.
Lalu, sasakai, yaitu kebiasaan melaut menggunakan beberapa perahu selama beberapa
bulan dengan wilayah jelajah antar pulau. Selama kelompok menjalani mamia kadialo (melaut)
ada pantangan bagi keluarga yang ditinggal maupun mereka yang melaut.
Pantangan itu, antara lain dilarang membuang ke perairan laut seperti, air cucian teripang,
arang kayu atau abu dapur, puntung dan abu rokok, air cabai, jahe dan air perasan jeruk, dan
larangan mencuci alat memasak (wajan) di perairan laut.
Air cucian maupun bahan-bahan ini hendaknya ditampung dan dibuang di daratan. Ada
pula pantangan memakan daging penyu, jika dilanggar bisa mendatangkan malapetaka, bencana
badai, gangguan roh jahat bahkan tidak mendapatkan hasil apa-apa di laut. Penyu dipercaya
banyak menolong manusia yang mengalami musibah, karena itu satwa ini tidak boleh dibunuh.
“Masyarakat Bajo, khusus generasi tua, masih mempercayai gugusan karang tertentu
sebagai tempat bersemayam arwah para leluhur. Orang tua melarang anggota keluarga
menangkap ikan dan biota lai di sekitar gugusan karang, kecuali terlebih dahulu melakukan ritual
tertentu dengan menyiapkan sajian bagi leluhur.” “Berbagai pantangan itu mengandung nilai
pelestarian ekosistem perairan laut dan pesisir.”
Kedekatan masyarakat Bajo dengan laut dan pesisir memungkinkan mereka memiliki
berbagai pengetahuan lokal tentang gejala-gejala alam. Di tengah kerusakan atmosfer bumi, ada
gejala alam dan tanda-tanda atmosfer yang masih digunakan masyarakat Bajo saat melaut.
Perairan terumbu karang dikenal dari gejala-gejala seperti, permukaan laut sekitar cukup
tenang, arus kurang kencang, banyak buih atau busa putih dan bau anyir, dan ketika dayung
perahu berdesir saat berperahu. Gugusan karang dapat dikenal dari kilauan cahaya bulan pada
malam hari. Peralihan pasang surut alir laut pada siang hari, ketika burung elang turun mendekati
permukaan air laut pertanda air mulai surut.
Pengetahuan masyarakat terhadap gejala alam ini, katanya, memiliki nilai ekologis.
Terumbu karang, antara lain sebagai penahan arus dan gelombang. Tak heran, di sekitar
kawasan itu yang cukup tenang. Kilauan cahaya bulan akibat pantulan permukaan air cukup
tenang. Aktivitas burung elang mendekati permukaan laut karena ketika air surut lebih banyak
tampak biota laut yang menjadi mangsa burung elang.
“Walau perkembangan ilmu pengetahuan makin maju namun pengetahuan lokal tentang
gejala alam yang dimiliki masyarakat Bajo masih menjadi acuan bagi mereka dalam menjalani
kehidupan di laut,” ucap Ramli.
Refrensi : http://www.mongabay.co.id/2014/01/26/kearifan-suku-bajo-menjaga-kelestarian-
pesisir-dan-laut/
Biota di Wakatobi
Taman Nasional Laut Wakatobi di Sulawesi Tenggara yang luas areanya mencapai
1.390.000 ha (ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 393/Kpts-V/1996) terkenal
di dunia karena kekayaan jenis terumbu karangnya. Wakatobi merupakan kependekan dari nama
empat pulau besar yang ada di kawasan tersebut, yaitu Pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa,
Pulau Tomia dan Pulau Binongko.
Keanekaragaman jenisnya melebihi jenis terumbu karang di laut Karibia (50 jenis) dan
Laut Merah di Mesir (300 jenis) (Kompas, 5/12/08). Secara umum perairan lautnya mempunyai
konfigurasi dari mulai datar sampai melandai kearah laut, dan beberapa daerah perairan terdapat
yang bertubir curam. Kedalaman airnya bervariasi, bagian terdalam mencapai 1.044 meter
dengan dasar perairan sebagian besar berpasir dan berkarang.
Taman nasional ini memiliki 25 buah gugusan terumbu karang dengan keliling pantai
dari pulau-pulau karang sepanjang 600 km. Lebih dari 112 jenis karang dari 13 famili
diantaranya Acropora formosa, A. hyacinthus, Psammocora profundasafla, Pavona cactus,
Leptoseris yabei, Fungia molucensis, Lobophyllia robusta, Merulina ampliata, Platygyra
versifora, Euphyllia glabrescens, Tubastraea frondes, Stylophora pistillata, Sarcophyton
throchelliophorum, dan Sinularia spp.
Di perairan Taman Nasional ini juga terdapat 93 jenis ikan hias bernilai ekonomi tinggi, seperti
peackock grouper (Cephalopholus argus), spotted rabbitfish (Siganus guttatus), ikan Napoleon,
Humphead Wrasse (Cheilinus undulates) dan lain-lain. Belum lagi beberapa jenis penyu seperti
penyu sisik, Hawksbill turtle (eretmochelys imbricate), penyu tempayan, loggerhead turtle
(Caretta caretta) dan penyu lekang, Olive ridley turtle (Lepidochlys clivacea).
Selain terdapat beberapa jenis burung laut seperti angsa-batu coklat (Sula leucogaster
plotus), cerek melayu (Charadrius peronii), raja udang erasia (Alcedo atthis); juga terdapat tiga
jenis penyu yang sering mendarat di pulau-pulau yang ada di taman nasional yaitu penyu sisik
(Eretmochelys imbricata), penyu tempayan (Caretta caretta), dan penyu lekang (Lepidochelys
olivacea).
Refrensi : http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/basisdata-kawasan-konservasi/details/1/12
Ngata Toro (Desa Toro), adalah pemukiman utama suku Moma ini, yang berada di
kecamatan Kulawi kabupaten Sigi. Desa Toro adalah sebuah desa yang masih asli jauh dari pusat
keramaian kota. Suku Moma ini merupakan suku asli di desa Toro ini. Tapi selain suku Toro,
ada beberapa etnis lain yang juga mendiami desa Toro ini, yaitu suku Rampi dan suku Toraja
yang sejak lama telah bermigrasi ke wilayah ini. Selain itu ada juga beberapa sub-etnis suku
Kaili yang berasal dari lembah Sigi dan kota Palu yang ikut hidup bersama-sama di desa ini.
Suku Moma sangat menjaga hutan mereka, yang telah memberi kehidupan bagi mereka
sejak zaman nenek moyang mereka. Beberapa aturan adat diterapkan pada pola kehidupan, guna
bersama-sama menjaga hutan dari berbagai jenis ancaman kerusakan alam akibat perambahan
lahan. Mereka percaya bahwa dari generasi ke generasi mereka hidup melindungi alam dan
sumberdaya alam yang mereka miliki. Pembagian wilayah dan lahan garapan sudah ditentukan
berdasarkan aturan adat. Mereka sangat menghormati aturan adat peninggalan nenek moyang
mereka, yang tetap menjadi hidup seluruh masyarakat adat suku Moma.
Salah satu tradisi suku Moma di Ngata Toro adalah upacara Wunca Ada Pae, merupakan
upacara yang dilakukan setelah panen, sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang telah
dihasilkan. Hasil panen (makanan) digantung di bambu dan padi yang akan dijadikan bibit
ditempatkan di bawah pohon bambu tersebut. Setelah itu sang ketua adat meniup terompet yang
terbuat dari batang padi dan diikuti oleh tarian Rego yang ditarikan oleh pemuda-pemudi
adat.Moma. Dalam upacara Wunca Ada Pae, adalah membaca mantra-mantra yang dilakukan
oleh ketua adat yang bertujuan untuk penyelamatan tanah, air, udara dan sumber daya alam yang
terdapat di wilayah adat Moma Ngata Toro.
http://protomalayans.blogspot.co.id/2012/10/suku-moma-sulawesi.html
Toro terletak sekitar 120°1` BT - 120°3`30” BT dan 1°29`30” LS - 1°32` LS, dengan luas
wilayah 229,5 km2 (22.950 ha) dan ketinggian rata-rata 800 m di atas permukaan laut (dpl). Toro
berada dalam wilayah kecamatan Kulawi, Donggala, Sulawesi Tengah, Masyarakatnya dikenal
sebagai komunitas yang memiliki pranata sosial dan kelembagaan adat yang sangat kuat.
Struktur masyarakatnya telah teratur sejak zaman nenek moyang mereka. Masyarakat Toro
memiliki pemerintahan sendiri yang mengatur segala bentuk kehidupan mereka, termasuk dalam
hal pengelolaan sumber daya alam. Dalam pemerintahannya ada tiga unsur yang sama tinggi,
yaitu totua ngata, maradika, dan tina ngata. Ketiganya memiliki fungsi masing-masing tapi tidak
berjalan sendiri-sendiri (Andrian, 2006).
“Selain itu kami juga pernah memberikan givu ini kepada anggota TNI yang mengambil
kayu di Ngata Toro,” tambah Naftali.
Masyarakat Ngata Toro sangat menjunjung tinggi “Maroho Ada, Manimpu Ngata”. Jika
ada warga yang membutuhkan kayu dari hutan untuk pembangunan rumah, maka secara sadar
mereka akan menemui lembaga adat. Meminta izin mengambil kayu di hutan.
“Kalau misalkan membangun rumah, maka akan ditanya: rumah baru atau direhab? Nah,
mengambil kayu itu disesuaikan dengan kebutuhan rumah,” ujar Naftali.
Karena kearifan yang dimiliki dan hutan adat yang terjaga dengan baik, banyak yang
melakukan kunjungan belajar di Ngata Toro kemudian direplikasi ke daerah lain. Tidak hanya
dalam negeri, kunjungan belajar juga datang dari masyarakat adat yang datang jauh dari
Fhilipina, Amerika Latin, Nepal, Myanmar, dan bahkan Afrika.
Suku Moma, suku yang diperkirakan sebesar 2.660 orang ini merupakan salah satu etnis
di provinsi Sulawesi yang mendiami sebagian besar wilayah kecamatan Kulawi, kabupaten Sigi,
provinsi Sulawesi Tengah. Lebih detailnya, suku Moma ini tinggal didesa bernama Toro, Desa
Toro (Ngata Toro). Salah satu tradisi suku Moma di Ngata Toro terdapat upacara Wunca Ada
Pae. Upacara Vunca Ada Mpae merupakan upacara pembacaan mantra-mantra yang dilakukan
oleh ketua adat yang bertujuan untuk penyelamatan tanah, air, udara dan sumber daya alam yang
terdapat di wilayah adat Moma Ngata Toro.
Larangan perburuan terhadap Anoa, Babirusa, Enggang, dan Maleo. Hal ini dikarenakan
Anoa merupakan hewan yang dilindungi dan dianggap sebagai hewan adat yang hanya
boleh dimakan dalam upacara adat.
Pembukaan lahan harus mendapatkan izindari LMA (Lembaga Masyarakat Adat) dan
didahului dengan upacara adat ”Mohamele manu bula”.
Penebangan pohon harus didahului upacara adat ”Mowurera pu kau”. Selain itu kayu
yang ditebang berdiameter minimal 60 cm. Larangan melakukan penebangan di daerah
Taolo, yaitu lokasi yang bertopografi miring sepanjang daerah aliran sungai dan di
tempat yang rawan longsor dan erosi.
Kegiatan memanen rotan harus berumur lebih dari tiga tahun, dan penetapan lokasi
ditentukan oleh hasil musyawarah lembaga adat dengan memperhatikan prinsip rotasi (ra
ombo). Larangan penarikan rotan sepanjang daerah aliran sungai pada saat tanaman padi
di sawah ataupun ladang mulai berbulir.