Anda di halaman 1dari 2

Mengapa Nelayan Kecil dan Tradisonal

harus ikut menjaga ekosistem Pesisir dan Laut ?

Sekitar 2,22 juta orang nelayan kecil dan tradisional Indonesia berperan penting dalam
pemenuhan pangan dan gizi yang penting bagi masyarakat. Secara ekonomi, kontribusinya
juga sangat besar terhadap pemenuhan kesejahteraan rumah tangga nelayan dan
mendukung pembangunan ekonomi nasional. Namun, di sisi lain Nelayan kecil dan
tradisional berada dalam kondisi memprihatinkan. Amanat UU No. 7 Tahun 2016 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam belum
sepenuhnya diimplementasikan. Sehingga, Nelayan Kecil masih dihadapkan dengan
berbagai persoalan. Salah satunya tentang penurunan kualitas kesehatan laut yang menjadi
ruang tangkap Nelayan serta rusaknya lingkungan pesisir yang menopang kehidupan dan
penghidupannya.

Menurunnya kualitas kesehatan ekosistem laut dan pesisir sangat merugikan Nelayan Kecil,
karena menyebabkan berkurangnya hasil tangkapan. Sementara rusaknya lingkungan
pesisir menyebabkan pemukiman nelayan terganggu, salah satunya terendam banjir rob.
Semua itu akan merugikan nelayan baik secara ekonomi maupun sosial. Perlu dilakukan
langkah-langkah segera dari komunitas nelayan, perempuan, dan pemuda pesisir untuk
menyelamatkan lingkungan laut dan pesisir. Salah satunya melakukan
pemulihan/rehabilitasi mangrove atau tanaman bakau.

Setiap tahun Indonesia kehilangan tutupan lahan hutan bakau atau mangrove seluas kota
New York, Amerika Serikat. Dalam 30 tahun, Indonesia telah kehilangan 900 ribu hektare
mangrove yang semula seluar 4,2 juta hektare menjadi 3,3 juta hektar. Kondisi ini dapat
semakin parah, jika tidak segera dilakukan penanganan dari seluruh pihak.

Mangrove sendiri merupakan salah satu ekosistem yang tumbuh di daerah pantai berair
tenang dan terlindungi dari hempasan ombak. Hutan mangrove tumbuh berbatasan
langsung dengan daratan sehingga biasa dinamakan daerah transisi antara darat dan laut.
Secara umum, hutan mangrove berfungsi untuk memecah ombak sebelum mengenai
daratan, mencegah erosi air pantai, menjadi habitat laut, dan juga sebagai sumber nutrisi.
Begitu juga bagi Nelayan, Mangrove berfungsi sebagai habitat perikanan sehingga dapat
menjadi tempat untuk membudidayakan ikan, udang, dan produk laut lainnya.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI; sekarang BRIN) melaporkan bahwa cakupan
kanopi ekosistem mangrove hasil pemantauan hutan bakau selama 2015-2019 mengalami
sedikit peningkatan pada rata-rata. Daerah Barat menunjukan tingkat kerapatan tinggi
dengan dominasi spesies Rhizophora sp. Spesies ini memiliki tingkat toleransi kerapatan
antar pohon yang cukup rapat. Sementara itu, berdasarkan Peta Mangrove Nasional yang
dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2021, total kawasan
mangrove yang ada di Indonesia seluas 3.364. 076 Ha. dari total kawasan tersebut, hutan
mangrove diklasifikasikan menjadi 3 berdasarkan persentase tutupan tajuk yakni,
mangrove lebat, mangrove sedang, dan mangrove jarang.

Perubahan iklim menjadi salah satu masalah serius bagi masyarakat pesisir khususnya
nelayan. Wilayah pesisir adalah wilayah yang paling terkena dampak dari perubahan iklim.
Letak geografis wilayah pesisir menjadikan-nya sangat rentan terhadap kejadian ekstrim
seperti badai, topan tropis, hingga naiknya permukaan laut. Apalagi, 75% kota besar di
Indonesia berada di kawasan pesisir.

Dampak perubahan iklim juga sangat berdampak bagi nelayan kecil dan tradisional yang
kesehariannya berdekatan dengan laut. Karena perubahan iklim, nelayan menjadi sulit
untuk melaut karena faktor cuaca yang tidak menentu. Selain itu, banjir dan erosi pantai
berpotensi merusak mangrove, tambak ikan, udang, serta ladang garam sehingga
menurunkan produktivitas masyarakat pesisir.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melaporkan bahwa, periode 2021-2030


menjadi kesempatan terakhir untuk mencegah bencana akibat perubahan iklim dan
menjaga keanekaragaman hayati. Karena itu, konservasi ekosistem pesisir dan laut mutlak
dilaksanakan demi menjamin ketersediaan sumber daya bagi generasi di masa mendatang,
termasuk menjaga kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Hari ini 65 tahun yang lalu, 13 Desember 1957, Indonesia pernah menggetarkan dunia.
Deklarasi Djuanda, sebuah peneguhan atas politik kewilayahan Indonesia sebagai negara
kepulauan terbesar di dunia. Sebuah lompatan pendekatan baru dalam hukum laut
internasional. Sikap kebudayaan yang menegaskan identitas yang unik wilayah nusantara
dengan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dan kedaulatan yang paripurna atas
klaim teritorial yang sama sekali berbeda dari sistem hukum warisan kolonial. Deklarasi
Djuanda adalah sebuah pernyataan bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di
antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).

Oleh karena itu, sebagai ikhtiar dalam upaya penyelamatan lingkungan laut dan kelestarian
bumi, sekaligus merawat semangat Hari Nusantara, Kesatuan Nelayan Tradisional
Indonesia (KNTI) mengadakan Peringatan Hari Nusantara melalui penanaman mangrove
dan seminar peringatan Hari Nusantara bertema “Nelayan Mendinginkan Planet” di 43
kota/kabupaten seluruh Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai