Anda di halaman 1dari 12

POTENSI DAN KASUS PERMASALAHAN WILAYAH

PESISIR DI PROVINSI BENGKULU


Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Lingkungan Hidup Sumatera

Dosen Pengampu : Muhammad Hakiem Sedo Putra, S.T.,M.T.

Disusun oleh :

Aderani Yeusy Manurung-121190099

Anindya Annisa Agung - 121190110

Dinda Salsa Wurihastuti - 121400065

Michael Ronaldinho Manalu – 121190103


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bengkulu merupakan salah satu provinsi di Pulau Sumatra. Kota Bengkulu merupakan
kota terbesar kedua yang ada di pantai barat Pulau Sumatra. Banyak orang mengenal Bengkulu
dengan Raflesia nya dan sebagai salah satu tempat wisata sejarah yang terkenal karena salah
satu The Founding Father of Indonesia pernah diasingkan dan menikah di sini. Namun,
sesungguhnya Bengkulu memiliki daya tarik lebih dari itu yang tak banyak orang ketahui. Salah
satunya wisata dan potensi alam yang melimpah, salah satunya potensi wilayah pesisir.

Pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat meliputi bagian
daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang
surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang
masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran
air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan
hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976; Dahuri et al, 2001). Provinsi Bengkulu secara
geografis memiliki luas wilayah pesisir yang hampir sama dengan luas daratannya dengan dua
pertiga wilayah Kota Bengkulu adalah wilayah pesisir. Luas wilayah Provinsi Bengkulu
mencapai ± 32.254,53 km² dengan luas daratan ± 19.919,33 km² dan luas perairan (laut)
mencapai ± 12.335,2 km² dengan panjang garis pantai mencapai ± 525 km. Saat ini Provinsi
Bengkulu terdiri dari 9 Kabupaten dan 1 kota, dimana 6 kabupaten dan 1 kota termasuk dalam
wilayah pesisir. Dengan luas wilayah yang dimiliki, tidak mengherankan jika Provinsi Bengkulu
memiliki potensi sumber daya wilayah pesisir yang begitu besar. Hal ini jika bisa dimanfaatkan
dengan baik akan menjadi peluang investasi yang menjanjikan serta dapat dijadikan salah satu
sentral produksi baru selama menumbuhkembangkan perekonomian daerah.

Komoditi andalan wilayah pesisir Kota Bengkulu diantaranya adalah ikan hasil
tangkapan dan pohon kelapa. Berbagai agroindustri berbasis sumberdaya pesisir telah
berkembang dengan baik, diantaranya adalah industri pengolahan ikan kering, gula kelapa,
kelapa parut, santan kelapa, dan ikan goreng krispi siap santap dalam kemasan. Agroindustri-
agroindustri tersebut sudah lama berkembang di Kota Bengkulu secara turun temurun. Selain itu
juga Agroindustri berbasis sumberdaya pesisir di Kota Bengkulu berkembang dengan berbagai
variasi keragaman produk, dan dari waktu ke waktu terlihat terus mengalami pertumbuhan.

Namun, sayangnya potensi wilayah pesisir di Bengkulu belum dikelola secara optimal.
Jika diidentifikasi secara saksama, Bengkulu belum bisa mendeskripsikan dengan jelas apa saja
agroindustri unggulannya. Hal ini antara lain disebabkan belum pernah ada kajian yang
mengidentifikasi secara komparatif kekuatan dan kelemahan antar agroindustri-agroindustri
tersebut. Sebagai contoh, berdasarkan survai dan pengamatan visual dapat diketahui bahwa
sebagian besar produk olahan, yaitu ikan kering/asin sudah memiliki kualitas yang cukup baik,
namun pengemasan produk masih sangat kurang diperhatikan (Asriani, 2013). Hampir sebagian
besar produk dijual dalam bentuk curah, walaupun sebagian sudah melalui proses sortasi dan
grading.

Tentunya untuk bisa mengembangkan itu semua diperukan sarana dan prasarana yang
memadai dan dukungan dari berbagai pihak. Sinergi pembangunan antara provinsi dan
kabupaten/kota juga menjadi salah satu kunci utama keberhasilan pengembangan ekonomi
wilayah pesisir provinsi Bengkulu sehingga pada akhirnya nanti dapat berdampak langsung
kepada peningkatan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Bengkulu.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana keadaan ekosistem terumbu karang di Provinsi Bengkulu?


2. Bagaimana keadaan ekosistem mangrove di Provinsi Bengkulu?
3. Bagaimana keadaan ekosistem lamun di Provinsi Bengkulu ?
4. Apa saja kasus permasalahan wilayah pesesir yang terjadi di Provinsi Bengkulu?

1.3 Tujuan

1. Menjelaskan keadaan ekosistem mangrove di Provinsi Bengkulu


2. Menjelaskan keadaan ekosistem lamun di Provinsi Bengkulu
3. Menjelaskan keadaan ekosistem terumbu karang di Provinsi Bengkulu
4. Apa saja kasus permasalahan wilayah pesesir yang terjadi di Provinsi Bengkulu?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Ekosistem Terumbu Karang di Provinsi Bengkulu


Terumbu karang atau yang disebut juga dengan hutan hujan laut adalah ekosistem bawah
laut yang ditandai dengan bangunan karang. Mereka terbentuk dari koloni karang polip yang
tersusun atas kalsium karbonat. Di permukaan yang dangkal, terumbu karang dapat membentuk
beberapa ekosistem yang paling beragam di permukaan bumi.

Habitat Terumbu karang pada umumnya hidup di pinggir pantai atau daerah yang masih
terkena cahaya matahari kurang lebih 50 m di bawah permukaan laut. Beberapa tipe terumbu
karang dapat hidup jauh di dalam laut dan tidak memerlukan cahaya, namun terumbu karang
tersebut tidak bersimbiosis dengan zooxanhellae dan tidak membentuk karang.

Ekosistem terumbu karang sebagian besar terdapat di perairan tropis, sangat sensitif terhadap
perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi, Eutrofikasi dan
memerlukan kualitas perairan alami (pristine). Demikian halnya dengan perubahan suhu
lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis pada tahun 1998 telah
menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan kematian massal
mencapai 90-95%. Selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di
perairan Indonesia adalah 2-3 °C di atas suhu normal.

Di Bengkulu sendiri, ada daerah yang menjadikan ekosistem terumbu karang sebagai
salah satu tumpuan utama penghidupan masyarakat, yaitu Pulau Enggano. Kondisi fisik
perairan di Kawasan Pulau Enggano yang masih sangat mendukung keberadaan ekosistem
terumbu karang dan kehidupan berbagai biota perairan menciptakan simbiosis mutualis antara
berbagai objek yang ada di sekitarnya dan saling berasosiasi dengan ekosistem terumbu
karang. Di pulau ini, penangkapan ikan oleh nelayan sudah di eksploitasu sejak lama dan
menunjukkan intensitas yang semakin tinggi dari waktu ke waktu. Ekosistem terumbu karang
di Pulau Enggano, keberadaannya merupakan aset yang sangat berharga bagi manusia baik
sekarang ini maupun untuk masa yang akan datang. Keberadaan ekosistem terumbu karang
tersebut dianggap sebagai sebuah warisan yang mempunyai nilai.

Jika disimpulkan, nilai manfaat total dari ekosistem terumbu karang di kawasan Pulau
Enggano terbagi menjadi tiga bagian, nilai manfaat langsung yang terdiri dari nilai manfaat
komoditas, penelitian, pariwisata, dan nilai manfaat tidak langsung yang terdiri dari penahan
gelombang, dan penyerapan karbon.
Nilai manfaat langsung komoditas yang didapat berasal dari perikanan tangkap dan
perikanan teripang. Selain itu, nilai manfaat langsung dari pariwisata juga dirasakan oleh
masyarakat sekitar. Saat ini yang menjadi tujuan wisata utama di Pulau Enggano adalah
ekosistem terumbu karang dan ekosistem hutan mangrove. Setidaknya, tiap bulannya terdapat 10
orang turis yang berkunjung selama 1-4 hari. Ada juga nilai manfaat langsung dari penelitian.
Tercatat, pada tahun 2013 ada 11 orang peneliti yang datang untuk meneliti ekosistem terumbu
karang di kawasan Pulau Enggano.

Sedangkan, untuk nilai manfaat tidak langsung ada yang berperan sebagai penahan
gelombang. Hal ini dilihat dari manfaat terumbu karang sebagai pengganti bangunan fisik untuk
menahan gelombang di wilayah pesisir pantai Enggano. Jika tidak ada terumbu karang, biaya
yang harus dikeluarkan akan sangat besar hanya untuk membangun sebuah bangunan agar bisa
menahan gelombang. Selain itu juga ada nilai manfaat tidak langsung sebagai penyerap karbon.
Ekosistem terumbu karang juga diketahui dapat menyimpan kandungan Karbon dan
menyerap gas Karbon Dioksida (CO2), yang berdampak menghambat pamanasan global
(Global Warming).

2.2 Ekosistem Mangrove di Provinsi Bengkulu


Ekosistem hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di
pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari
genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Menurut
FAO, hutan mangrove adalah komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Kondisi
habitat tanah berlumpur, berpasir, atau lumpur berpasir. Ekosistem tersebut merupakan
ekosistem yang khas untuk daerah tropis dan sub tropis, terdapat di derah pantai yang berlumpur
dan airnya tenang (gelombang laut tidak besar). Ekosistern hutan itu disebut ekosistem hutan
payau karena terdapat di daerah payau (estuarin), yaitu daerah perairan dengan kadar
garam/salinitas antara 0,5 °/oo dan 30°/oo disebut juga ekosistem hutan pasang surut karena
terdapat di daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.

Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis ”Mangue” dan bahasa
Inggris ”grove” (Macnae, 1968 dalam Kusmana et al, 2003). Dalam bahasa inggris kata
mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang
surut maupun untuk individu-individu jenis tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut.

Di Indonesia, tercatat 202 jenis tumbuhan yang tumbuh di hutan mangrove. Tumbuhan
ini terdiri dari 89 jenis pohon, 5 jenis palm, 19 jenis pemanjat, 44 jenis terna, 44 jenis epifit, dan
1 jenis paku-pakuan. Dari tanaman yang telah disebutkan, hanya 43 jenis tumbuhan mangrove
sejati. Sisanya merupakan jenis yang tumbuhnya berasosiasi dengan tumbuhan lainnya.
Sayangnya, di Provinsi Bengkulu ekosistem Mangrove mengalami penyusutan. Penybab
terjadinya beragam, mulai dari alih fungsi tanah untuk pemukiman, tambak dan ladang, hingga
perambahan. Berdasarkan Buku Sebaran Mangrove Kritis Indonesia terbitan Kementerian
Koordinator Bidang Kemaritiman dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2018,
Provinsi Bengkulu termasuk wilayah dengan kerusakan mangrove memprihatinkan, baik di
kawasan konservasi maupun di luar. Dijelaskan pula, Bengkulu memiliki ekosistem mangrove
dengan kondisi baik hanya seluas 4.393 hektar, dari panjang pesisirnya yang mencapai 345
kilometer. Sebarannya mulai dari Kabupaten Mukomuko, Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah,
Kota Bengkulu, hingga Kabupaten Seluma

Dosen Kehutanan Universitas Bengkulu [Unib], Gunggung Sunoaji mengingatkan,


kritisnya mangrove akan berpengaruh pada banyaknya karbon dioksida di atmosfer, sehingga
mempercepat pemanasan global dan perubahan iklim. Penelitian Gunggung Sunoaji dan
Muhammad Fajrin Hidayat berjudul “Peranan Ekosistem Mangrove di Pesisir Kota Bengkulu
Dalam Mitigasi Pemanasan Global Melalui Penyimpanan Karbon” di Jurnal Manusia dan
Lingkungan Universitas Gajah Mada [UGM] pada September 2016, menunjukkan, kandungan
biomassa pada tegakan mangrove di pesisir Kota Bengkulu sebesar 37,06 ton per hektar. Jumlah
kandungan karbon tersimpannya sebesar 18,53 ton per hektar. Artinya, untuk luasan ekosistem
mangrove yang berkerapatan sedang sampai tinggi luasnya sekitar 136 hektar. Terdata juga
jumlah kandungan karbon tersimpan pada tegakan sebesar 2.532,50 ton karbon.

Saat ini, Pegiat Komunitas Mangrove Bengkulu sedang melakukan usaha sebaik
mungkin untuk mengembalikan ekosistem hutang mangrove yang kian lama semakin berkurang.
Namun mereka mengakui, hal ini sulit dilakukan karena perlunya dukungan dari banyak pihak.
Sejatinya, Perlindungan terhadap ekosistem mangrove perlu dilakukan dengan menetapkan
sebagai kawasan lindung. Pemerintah perlu membuat regulasi untuk menyelamatkan ekosistem
mangrove yang berperan terhadap perlindungan pesisir pantai. Salah satu strateginya,
membentuk kawasan hutan lindung mangrove yang tidak dapat diganggu.

2.3 Ekosistem Padang Lamun di Provinsi Bengkulu


Padang lamun adalah ekosistem khas di laut dangkal pada wilayah perairan hangat
dengan dasar pasir dan didominasi oleh tumbuhan lamun, sekelompok tumbuhan anggota bangsa
Alismatales yang beradaptasi di air asin. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga
(angiospermae) yang berbiji satu (monokotil) dan mempunyai akar rimpang, daun, bunga dan
buah. Tumbuhan lamun sangat berbeda dengan rumput laut (algae). (Wood et al. 1996;
Thomlinson 1974; Askab 1999).
Lamun dapat ditemukan di seluruh dunia kecuali di daerah kutub. Lebih dari 52 jenis
lamun yang telah ditemukan. Di Indonesia hanya terdapat 7 genus dan sekitar 15 jenis yang
termasuk ke dalam 2 famili yaitu : Hydrocharitacea ( 9 marga, 35 jenis ) dan
Potamogetonaceae (3 marga, 15 jenis). Jenis yang membentuk komunitas padang lamun
tunggal, antara lain : Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Cymodoceae
serulata, dan Thallasiadendron ciliatum. Dari beberapa jenis lamun, Thalasiadendron ciliatum
mempunyai sebaran yang terbatas, sedangkan Halophila spinulosa tercatat di daerah Riau,
Anyer, Baluran, Irian Jaya, Belitung dan Lombok. Begitu pula Halophila decipiens baru
ditemukan di Teluk Jakarta, Teluk Moti-Moti dan Kepulaun Aru. (Den Hartog, 1970; Askab,
1999; Bengen 2001).

Padang lamun biasanya hanya dapat terbentuk pada bagian perairan laut yang dangkal
(kurang dari tiga meter), namun dasarnya tidak pernah terbuka dari perairan (selalu tergenang).
Ia dapat dianggap sebagai bagian dari ekosistem mangrove, walaupun padang lamun dapat
berdiri sendiri. Padang lamun juga dapat dilihat sebagai ekosistem antara ekosistem mangrove
dan ekosistem terumbu karang.

Padang lamun menjadi tempat yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup terumbu
karang, karena sebelum zat-zat halus dan berbahaya menuju permukaan terumbu karang akan
terlebih dahulu disaring oleh padang lamun. Selain bermanfaat bagi kelangsungan hidup terumbu
karang padang lamun juga bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia karena dapat
dimanfaatkan sebagai bahan makanan dari alam. Wilayah penyebaran padang lamun terdapat di
seluruh perairan dangkal termasuk Indonesia.

Faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan padang lamun antara lain adalah sebagai
berikut:

a. Perairan laut dangkal berlumpur dan mengandung pasir.

b. Kedalaman tidak lebih dari 10 m agar cahaya dapat menembus.

c. Suhu antara 20-30°C.

d. Kadar garam antara 25-35/mil.

e. Kecepatan arus sekitar 0,5 m/detik.

Menurut Azkab (1988), ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di laut
dangkal yang paling produktif. Di samping itu ekosistem lamun mempunyai peranan penting
dalam menunjang kehidupan dan perkembangan makhluk hidup di laut dangkal, menurut hasil
penelitian diketahui bahwa peranan lamun di lingkungan perairan laut dangkal sebagai berikut:

1. Sebagai Produsen Primer


Lamun mempunyai tingkat produktifitas primer tertinggi bila dibandingkan dengan
ekosistem lainnya yang ada di laut dangkal seperti ekosistem terumbu karang (Thayer et al.
1975).

2. Sebagai Habitat Biota Laut

Lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat menempel berbagai hewan dan
tumbuh-tumbuhan (alga). Di samping itu, padang lamun (seagrass beds) dapat juga sebagai
daerah asuhan, padang pengembalaan dan makanan dari berbagai jenis ikan herbivora dan
ikan–ikan karang (coral fishes). (Kikuchi & Peres, 1977).

3. Sebagai Penangkap Sedimen

Daun lamun yang lebat akan memperlambat air yang disebabkan oleh arus dan ombak,
sehingga perairan di sekitarnya menjadi tenang. Di samping itu, rimpang dan akar lamun dapat
menahan dan mengikat sedimen, sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar
permukaaan. Jadi padang lamun yang berfungsi sebagai penangkap sedimen dapat mencegah
erosi. ( Gingsburg & Lowestan 1958).

4. Sebagai Pendaur Ulang Zat Hara

Lamun memegang peranan penting dalam pendaur ulang barbagai zat hara dan elemen-
elemen yang langka di lingkungan laut. Khususnya zat-zat hara yang dibutuhkan oleh algae
epifit atau

2.4 Studi Kasus Permasalahan Wilayah Pesisir di Provinsi Bengkulu


Kota Bengkulu adalah ibukota dari Provinsi Bengkulu yang mempunyai wilayah pesisir
dengan panjang garis pantai hanya ± 17,22 km. Wilayah pesisir Kota Bengkulu memanjang dari
Sungai Hitam di Kecamatan Muara Bangkahulu hingga Pulau Baai di Kecamatan Kampung
Melayu. Kondisi wilayah pesisir Kota Bengkulu di beberapa tempat juga sudah mengalami
degradasi, baik yang disebabkan oleh dinamika alam maupun karena pengaruh dari intervensi
manusia. Pada data penelitian yang kami ambil ini bertujuan untuk mengindentifikasi kerusakan
yang terjadi di sepanjang wilayah pesisir Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu dan memetakan
lokasi wilayah pesisir yang mengalamai kerusakan. Penelitian yang dilakukan pada bulan
Oktober 2014 dilakukan dengan metode survei. Kegiatan penelitian ini meliputi observasi
lapangan, wawancara dan pengambilan dokumentasi kerusakan yang terjadi sepanjang wilayah
pesisir Kota Bengkulu.

Sumber daya wilayah pesisir Kota Bengkulu terdiri dari ekosistem hutan pantai
(termasuk ekosistem hutan mangrove), ekosistem perairan laut, sumber daya perikanan, potensi
jasa-jasa pariwisata dan pulau kecil (Pulau Tikus). Ekosistem hutan mangrove tidak begitu
banyak dan letaknya terpencar-pencar, tidak pada suatu hamparan yang luas. Ekosistem hutan
mangrove terdapat di Kawasan TWA (Taman Wisata Alam) Pantai Panjang, Dusun Kandang,
Pulau Baai, Padang Serai dan Sungai Jenggalu. Untuk saat ini, keberadaan ekosistem hutan
mangrove di Kota Bengkulu tetap mempunyai fungsi dan peranan yang besar, baik bagi
masyarakat maupun sebagai daerah penyangga. Kondisi ekosistem hutan mangrove ini sendiri
sudah mengalamai degradasi, karena sudah dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan seperti
pertambakan, pemukiman dan perluasan wilayah Kota Bengkulu.

Menurut Dirjen P3K DKP (2004), ekosistem mangrove potensial mendapat tekanan dari
kegiatan manusia dan pembangunan, terlebih lagi pesisir merupakan wilayah dengan tingkat
aktivitas perekonomian tinggi. Kustanti (2011) mengemukakan, bahwa konversi hutan mangrove
untuk budidaya perikanan, terutama untuk tambak udang windu dan tambak ikan telah
menyebabkan terdegradasinya hutan mangrove yang subur dalam skala yang cukup luas. Hutan
pantai di wilayah pesisir Kota Bengkulu, sebagian besar sudah banyak berubah fungsinya dari
ekosistem penyangga (buffer region) atau sebagai jalur hijau, menjadi pemukiman dan
pengembangan wilayah pariwisata serta pembangunan berbagai fasilitas umum dan pemerintah.
Kota Bengkulu memiliki areal TWA (Taman Wisata Alam) Pantai Panjang - Pulau Baai mulai
dari Muara Sungai Jenggalu sampai ke Bangkahan Ujung, dengan luas ± 967 hektar dan saat ini
kondisinya rusak parah akibat perambah liar dan tumpang tindih dengan kebijakan pembangunan
kota. Menurut Juralis (2008), beberapa spesies burung yang sedikit ditemukan diduga karena
kawasan TWA Pantai Panjang Kota Bengkulu sudah terganggu yang disebabkan kegiatan
masyarakat sekitar yang menggunakan TWA untuk lahan pertanian, perkebunan, pemukiman
dan pembukaan jalan.

Alternatif penanggulangan kerusakan wilayah pesisir di Kota Bengkulu secara umum


memerlukan adanya penguatan regulasi pemanfaatan lahan melalui peraturan daerah. Hal ini
mungkin masih lemahnya pengaturan tata ruang wilayah pesisir. Penelitian Salim (2011)
menyimpulkan, bahwa pemanfaatan ruang yang tidak terkendali karena zonasi ruang yang tidak
jelas sementara masyarakat dalam memanfaatkan lahan hanya didasarkan pada kepemilikan
tanah yang dimiliki secara turun temurun. Kondisi ini makin menimbulkan dampak pemanfaatan
ruang yang semakin tidak terkendali. Lasabuda (2013) juga menyatakan bahwa beberapa
kegiatan yang diduga menyebabkan erosi pantai antara lain : pengambilan pasir untuk reklamasi,
pembangunan pelabuhan/jetty/marina, pembangunan hotel. Hal ini terjadi karena perencanaan
dan pengembangan wilayah pesisir yang tidak tepat. Abrasi di wilayah pesisir pantai Kota
Bengkulu juga mengancam pemukiman, bangunan fasilitas umum dan obyek-obyek wisata,
seperti wisata pantai.Penelitian Dewi (2013) menjelaskan, bahwa adanya bangunan jetty pada
kawasan Tapak Paderi menyebabkan gelombang yang menghampiri ujung jetty mengalami
proses difraksi sehingga terjadi pembelokan sedimen masuk kedalam alur yang menyebabkan
pendangkalan pada alur pelabuhan dan terus dilanjutkan hungga mencapai dermaga PPI Pondok
Besi sehingga terjadi pendangkalan.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Bengkulu merupakan salah satu provinsi di Pulau Sumatra. Kota Bengkulu merupakan
kota terbesar kedua yang ada di pantai barat Pulau Sumatra. Provinsi Bengkulu sendiri potensi
alam yang melimpah, salah satunya potensi di wilayah pesisir. Provinsi Bengkulu secara
geografis memiliki luas wilayah pesisir yang hampir sama dengan luas daratannya dengan dua
pertiga wilayah Kota Bengkulu adalah wilayah pesisir. Luas wilayah Provinsi Bengkulu
mencapai ± 32.254,53 km² dengan luas daratan ± 19.919,33 km² dan luas perairan (laut)
mencapai ± 12.335,2 km² dengan panjang garis pantai mencapai ± 525 km. Saat ini Provinsi
Bengkulu terdiri dari 9 Kabupaten dan 1 kota, dimana 6 kabupaten dan 1 kota termasuk dalam
wilayah pesisir. Dengan luas wilayah yang dimiliki, tidak mengherankan jika Provinsi Bengkulu
memiliki potensi sumber daya wilayah pesisir yang begitu besar. Hal ini jika bisa dimanfaatkan
dengan baik akan menjadi peluang investasi yang menjanjikan serta dapat dijadikan salah satu
sentral produksi baru selama menumbuhkembangkan perekonomian daerah. Pada daerah pesisir
di Provinsi Bengkulu juga terdapat ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, dan
ekosistem padang lamun.

3.2 Saran
Kerusakan pantai dan kerusakan hutan pantai yang disebabkan oleh abrasi, sedimentasi
dan alih fungsi lahan merupakan permasalahan utama yang dihadapi oleh daerah pesisir Provinsi
Bengkulu. Alih fungsi lahan menjadi tempat wisata, tempat usaha dan pemukiman merupakan
resiko yang harus bisa dihadapi oleh daerah pesisir yang menjadi pusat pariwisata. Namun,
apabila resiko yang ada dapat dikelola dengan baik, maka kerusakan daerah pesisir dapat
diminimalisir. Sebagaimana yang dikemukan oleh Tuheteru dan Mahfudz (2012) bahwa aktivitas
pariwisata dan rekreasi dapat berdampak negatif terhadap kelestarian ekosistem pantai.
Pembangunan sarana prasarana pariwisata seperti pembangunan hotel, resort, pembangunan
dermaga dan sarana lalu lintas turut berkontribusi terhadap menurunnya stabilitas fisik dan
meningkatnya mobilitas pasir.

Untuk permasalahan tersebut alternatif penanggulangannya yaitu :


1. Pembuatan bangunan pantai untuk mencegah abrasi.

2. Penataan lokasi tempat usaha agar tidak merusak/menggangu hutan pantai.

3. Penyusunan manajemen pengelolaan sampah.


Daftar Pustaka

Asriani, Putri Suci, dan Ellys Yulianti. 2015. Kajian Agroindustri Unggulan Wilayah Pesisir
Kota Bengkulu. Bonodikum. 14(1), 79-82.

APS. 2020. Potensi Kemaritiman Bengkulu Sangat Besar. https://bengkuluprov.go.id/potensi-


kemaritiman-bengkulu-sangat-besar/ (diakses 19 Oktober 2021)

Zamdial, Dede Hartono, Ari Anggoro, dan Ali Muqsit. 2019. Valuasi Ekonomi Ekosistem
Terumbu Karang di Pualu Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Jurnal
Enggano, 4(2), 160-170.

Nur, Yus. 2006. Buku Pengenalan Mangrove Di Indonesia

Kompas. 2021. Fungsi Hutan Mangrove bagi Kehidupan di Pesisir.


https://www.kompas.com/sains/read/2021/08/20/194500023/ini-fungsi-hutan-mangrove-bagi-
kehidupan-di-pesisir (diakses pada 19 Oktober 2021)

Supardi, Ahmad. 2020. Rehabilitasi Mangrove Kritis di Bengkulu Belum Terlihat.


https://www.mongabay.co.id/2020/03/10/rehabilitasi-mangrove-kritis-di-bengkulu-belum-
terlihat/ (diakses pada 19 Oktober 2021)

Kusnadi. 2013. Permasalahan dan Pengelolaan Ekosistem Padang Lamun di Provinsi Bengkulu.
kusnadikosasih: Padang Lamun di Provinsi Bengkulu. (diakses pada 20 Oktober 2021)

Kompas. 2021. Padang Lamun: Definisi, Ciri-Ciri, Manfaat, dan Peranannya. Padang Lamun:
Definisi, Ciri-Ciri, Manfaat, dan Peranannya (kompas.com). (diakses pada 20 Oktober 2021)

Zamdial, Dede Hartono, Deddy Bakhtiar, Eko Nofridiansyah. 2018. Studi Identifikasi
Kerusakan Wilayah Pesisir di Kota Bengkulu. Jurnal Enggano, (3)1, 65-80.

Anda mungkin juga menyukai