Anda di halaman 1dari 13

Dampak Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang

Terhadap Hasil Penangkapan Ikan Oleh Nelayan


Secara Tradisional Di Pulau Siompu Kabupaten
Buton Propinsi Sulawesi Tenggara
Haruddin. A1., Edi Purwanto, MTh. Sri Budiastuti, M.Si.2
1
Dinas Pendidikan Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Prodi Ilmu Lingkungan Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk : (a). mengevaluasi tingkat kerusakan ekosistem
terumbu karang (kualitas terumbu karang), (b). mengkaji faktor-faktor sosial ekonomi
yang mempengaruhi sikap dan persepsi (perilaku) masyarakat terhadap ekosistem terumbu karang , dan (c). mengkaji pengaruh kerusakan ekosistem terumbu karang terhadap hasil tangkapan ikan oleh nelayan secara tradisional di Pulau Siompu Kabupaten
Buton Propinsi Sulawesi Tenggara. Data yang diteliti meliputi sifat isik-kimia air laut,
persentase tutupan karang, kemelimpahan ikan karang, indeks keanekaragaman dan variabel sosial ekonomi masyarakat yang dapat mempengaruhi kerusakan terhadap ekosistem
terumbu karang. Metode yang digunakan dalam pengamatan terumbu karang adalah dengan menggunakan metode garis transek dan pengamatan ikan karang dengan melakukan
sensus visual.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di perairan desa
Tongali sebagai lokasi penelitian termasuk dalam kategori rusak jelek hingga rusak sedang dengan persentase tutupan karang hidup /karang keras (hard coral) sebesar 11,63 %
sampai 30,25 %. Lokasi pembanding desa Biwinapada dapat dikategorikan rusak sedang
hingga baik dengan persentase tutupan karang hidup/karang keras (hard coral) sebesar
31,45 % hingga 50,81 %. Kerusakan ekosistem terumbu karang pada lokasi penelitian
desa Tongali disebabkan oleh aktivitas manusia terutama penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan peledak (bom). Kegiatan lain yang dapat merusak ekosistem terumbu karang dengan menggunakan jala troll, penambang karang, serta jangkar perahu
tidak terlalu dominan pada lokasi penelitian. 2. Faktor sosial ekonomi seperti tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan kesempatan kerja lain berkorelasi positif terhadap sikap
dan persepsi (perilaku) masyarakat terhadap ekosistem terumbu karang. Tingkat pendidikan yang rendah (53-68 %) dari jumlah responden mempengaruhi persepsi masyarakat
terhadap ekosistem terumbu karang ,bahwa ekosistem terumbu karang tidak mempunyai
manfaat, serta tidak ada hubungannya dengan biota-biota laut lainnya. 3. Kerusakan ekosistem terumbu karang sangat berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan oleh nelayan
secara tradisional yaitu adanya kecenderungan penurunan hasil tangkapan pada lima tahun terakhir yakni 4,30 ton (25,95 %) pada pada tahun 2006 menjadi 2,47 ton (14,91 %)
pada tahun 2010. Hal ini didukung oleh hasil kuesioner, bahwa 100 responden menyatakan hasil tangkapan ikan menurun baik pada musim ikan maupun pada musim paceklik.
Kata Kunci : Terumbu Karang, Penangkapan Ikan, Nelayan Tradisional.
Jurnal EKOSAINS | Vol. III | No. 3 | November 2011

29

Dampak Kerusakan Ekosistem


Terumbu Karang

Haruddin. A., Edi Purwanto, M.Sc., dan


MTH. Sri Budiastuti, M.Si.

A. LATAR BELAKANG
Wilayah pesisir dan lautan merupakan kawasan yang menyimpan kekayaan
sumberdaya alam yang sangat berguna
bagi kepentingan manusia. Secara mikro
sumberdaya kawasan ini dipergunakan
untuk memenuhi kebutuhan hidup esensial penduduk sekitarnya sedangkan secara
makro, merupakan potensi yang sangat
diperlukan dalam rangka menunjang kegiatan pembangunan nasional disegala bidang
(Hutomo,1987). Untuk itu keberadaan
potensi sumberdaya alam hayati dan non
hayati di wilayah ini, perlu dikelola dan
dimanfaatkan secara bijaksana sehingga
dapat lestari dan berkesinambungan. Ekosistem terumbu karang merupakan bagian
dari ekosistem laut yang menjadi tempat kehidupan bagi beraneka ragam biota
laut. Di dalam ekosistem terumbu karang
dapat hidup lebih dari 300 jenis karang,
2000 jenis ikan dan berpuluh puluh jenis
molluska,crustacea, sponge, algae, lamun
dan biota lainnya (Dahuri, 2003).
Menurut Ministery of State for Environment (1986) dalam Supriharyono
(2002), luas terumbu karang di Indonesia
5000 km diperkirakan hanya 7 % terumbu
karang yang kondisinya sangat baik, 33 %
baik, 46 % rusak, dan 15 % dalam kondisi
sangat kritis, sedangkan menurut Moosa
dan Suharsono (1995), secara umum kondisi terumbu karang di kawasan Indonesia
bagian timur dari 31 lokasi hanya 9,80 %
dalam kondisi sangat baik, 29,55 % dalam
kondisi baik, 29,55 % kondisi sedang dan
sisanya 32,74 % dalam kondisi sangat buruk.
Kabupaten Buton merupakan salah
satu kabupaten di Sulawesi Tenggara yang
terdiri dari 6 pulau yang di huni dan 4 pulau
kecil yang tidak di huni, dengan kekayaan
alam lora dan fauna antara lain taman laut
yang menyebar di sekeliling yang di dalamnya hidup berbagai jenis ikan dan tumbuhan laut yang sangat indah, juga jenis
terumbu karang pesisir (fringing reef).
30

Salah satu pulau dengan terumbu karang


yang indah dan masih merupakan sentra
pertemuan nelayan penangkap ikan adalah
Pulau Siompu. Pulau Siompu merupakan
salah satu daerah penangkapan (ishing
ground) yang potensial dari pulau-pulau
kecil lainnya dengan hasil tangkapan ikan
pelagis/permukaan antara lain lemuru (Sardinella longiceps),cumi-cumi (loligo,sp),
tongkol (Nueuthynsattinis), Layang (Decapterus spp), dan ikan domersal seperti
Kakap (Lujtanus spp),dan Kerapu (Plectropomus sp). Penduduk Pulau Siompu
sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan sehingga diasumsikan bahwa
aktiitas masyarakat sehari-hari senantiasa
berhubungan dengan keberadaan lokasi
ekosistem terumbu karang di perairan sekitarnya.
Saat ini masyarakat di pulau siompu
melakukan penangkapan ikan dengan cara
sendiri yang dianggap gampang baik secara langsung maupun tidak langsung terutama sebagian besar masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pantai. sehingga
dikhawatirkan ekosistem terumbu karang
mendapat tekanan terus menerus, sebagai
akibat dari berbagai kegiatan manusia. Hal
ini secara langsung merupakan ancaman
bagi kelestarian sumberdaya wilayah ini,
apabila pengelolaannya tidak sesuai dengan perencanaan dan prinsip pengelolaan
lingkungan hidup yang berkelanjutan (sustainable).
Salah satu penyebab tekanan yang
berlangsung terus menerus terhadap ekosistem terumbu karang serta biota yang
berasosiasi dengannya di pulau Siompu adalah aktivitas masyarakat nelayan
yang menggunakan jaring muromi, bubu
(perangkap tradisional), panah,tombak dan
bahan peledak serta racun ikan (potasium
cyanida) di wilayah perairan ekosistem terumbu karang. Faktor lain yang menyebabkan tekanan pada ekosistem ini adalah
kegiatan pengambilan batu karang (stony
coral) untuk berbagai peruntukan seperti

Jurnal EKOSAINS | Vol. III | No. 3 | November 2011

Dampak Kerusakan Ekosistem


Terumbu Karang

pengerasan jalan, fondasi rumah, pengeringan pantai, penghalang ombak, dan


gelombang laut,serta berbagai keperluan
lainnya yang secara langsung berdampak
negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan karang secara generatif.
Beberapa
daerah
menunjukan
adanya gejala lebih tangkap (over ishing),
penangkapan menggunakan bahan peledak
(bom) dan bahan beracun yang menyebabkan rusaknya ekosisitem perairan daerah
tangkapan ikan, sehingga ada kecenderungan disuatu daerah terjadi peningkatan hasil
tangkapan dan di daerah lain terjadi penurunan hasil tangkapan ikan oleh nelayan
tradisional sebagai akibat intensifnya kegiatan pengeboman ikan oleh nelayan yang
memiliki modal cukup (Pakpaham,1996).
Berdasarkan uraian dan isu utama
di atas untuk memperluas akses informasi
kepada masyarakat, dipandang perlu untuk
melakukan penelitian tentang : Dampak
Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang
Terhadap Hasil Penangkapan Ikan Oleh
Nelayan Secara Tradisional di Pulau Siompu Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi
Tenggara, maka dalam penelitian ini dikaji dan dirumuskan beberapa permasalahan
sebagai berikut :
1. Seberapa besar tingkat kerusakan
ekosistem terumbu karang di Pulau Siompu, Kabupaten Buton dan oleh siapa kerusakan itu terjadi.
2. Bagaimana sikap dan persepsi
(perilaku) masyarakat terhadap kerusakan ekosistem terumbu karang di Pulau
Siompu Kabupaten Buton.
3. Bagaimana dampak kerusakan
ekosistem terumbu karang terhadap hasil
penangkapan ikan oleh nelayan tradisional
di pulau Siompu Kabupaten Buton
B. TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan permasalahan penelitian, maka tujuan yang ingin dicapai adalah
:

Haruddin. A., Edi Purwanto, M.Sc., dan


MTH. Sri Budiastuti, M.Si.

1. Menentukan tingkat kerusakan


ekosistem terumbu karang di Pulau Siompu Kabupaten Buton
2. Mengkaji faktor-faktor ekonomi
yang mempengaruhi sikap dan presepsi
(perilaku) masyarakat terhadap kerusakan
ekosistem terumbu karang di Pulau Siompu, Kabupaten Buton.
3. Mengkaji pengaruh kerusakan
ekosistem terumbu karang terhadap hasil
penangkapan ikan oleh nelayan tradisional
di Pulau Siompu,Kabupaten Buton
C. TINJAUAN PUSTAKA
1. Telaah Pustaka
1.1. Ekosistem Terumbu Karang
Ekosistem perairan adalah suatu
sistem lingkungan perairan yang merupakan tempat berlangsungnya hubungan
timbal balik antara jasad hidup peraiaran
(komponen biotik), dengan lingkungan
isik perairan (komponen abiotik), dan dan
antar komponen itu sendiri, serta merupakan tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan
hidup yang saling mempengaruhi dalam
membentuk keseimbangan, stabisitas dan
produktivitas lingkungan hidup (Mustofa,
2002).
Terumbu karang sebagai suatu
ekosistem merupakan masyarakat organisme yang hidup di dasar perairan dan
berupa bentuk batuan gamping (CaCO3)
yang cukup kuat menahan gelombang laut
(Dawes,1981 dalam Supriharyono,2000).
Terumbu karang merupakan endapan massif kalsium karbonat yang dihasilkan dari
organisme karang pembentuk terumbu
karang (karang hermatiik) dari ilum
Coridaria ordo Scleractinia yang hidup
bersimbiose dengan Zooxanthellae dan
sedikit tambahan alga berkapur serta serta
organisme lain yang mensekresikan kalsium karbonat. Terumbu karang merupakan
suatu komunitas biologi yang tumbuh pada
dasar batu gamping yang resisten terhadap
gelombang (Romimohtarto dan Juana,

Jurnal EKOSAINS | Vol. III | No. 3 | November 2011

31

Dampak Kerusakan Ekosistem


Terumbu Karang

2005).

Haruddin. A., Edi Purwanto, M.Sc., dan


MTH. Sri Budiastuti, M.Si.

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat kompleks


dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, mengingat kondisi atau aspek
biologis, ekologis dan morfologis yang
sangat khas, maka merupakan suatu ekosistem yang sangat sensitif terhadap berbagai gangguan baik yang ditimbulkan secara
alamiah maupun akibat kegiatan manusia
(Dahuri dkk; 2004)
1.2. Aspek Biologi dan Ekologi
Organisme penyusun terumbu
karang (Scleractinia) hidup bersimbiose
dengan alga Zooxanthellae yang dalam
proses biologisnya alga mendapat karbondioksida (CO2) untuk proses photosintesis dan zat hara dari hewan-hewan
terumbu karang (Tanjung,2002). Secara
Biologis sistem reproduksi pada karang
pada karang terjadi secara seksual dan
aseksual, reproduksi seksual terjadi dengan
cara melepaskan sel telur dan sel sperma
yang menghasilkan pembuahan yang bersifat hermafrodit dan reproduksi aseksual
menghasilkan larva planula yang berenang
bebas, bila menetap pada suatu substrat
atau tempat didasar perairan maka akan
berkembang menjadi sebuah koloni baru
(Nybakken,1988).
Secara ekologis Faktor-faktor yang
mempengaruhi disribusi (penyebaran), pertumbuhan dan keanekaragaman ekosistem
terumbu karang sangat tergantung pada
kondisi isik,kimia dan biologi perairan
(lingkungan) yang seringkali kondisinya
berubah baik karena proses alami maupun
karena gangguan akibat aktivitas manusia
secara langsung maupun tidak langsung.
Faktor-faktor tersebut adalah cahaya, suhu,
salinitas, dan sedimentasi (Dahuri, 2003).
1.3. Morfologi Terumbu Karang
Berdasarkan geomorfologinya, ekosistem terumbu karang di Indonesia dapat
dibagi menjadi 4 tipe (Ikawati, dkk, 2001)
yaitu : Terumbu karang tepi atau pantai
(Fringging Reef) tumbu sepanjang tepian
32

pantai dengan kedalaman mencapai 40 meter, tingkat pertumbuhan terbaik di daerah


yang cukup ombak. Terumbu karang penghalang berada pada jarak yang cukup jauh
dari pantai dan dipisahkan dari pantai oeleh
goba (lagone) dengan kedalaman antara
45-47 meter dengan lebar puluhan kilometer, terumbu karang penghalang berakar
pada kedalaman yang melebihi kedalaman
maksimum, dimana bentuk organisme penyusun terumbu karang bisa hidup. Terumbu karang cincin berada pada jarak yang
lebih jauh dari pantai dengan kedalaman
mencapai 45 meter bahkan ada yang mencapai 100 meter, berbentuk melingkar seperti cincin atau oval dan melingkari goba.
Terumbu karang Takat merupakan terumbu
karang yang berada diantara perpotongan
terumbu karang atol (cincin) yang merupakan daerah lekukan (patahan) pada karang
atol, dapat tumbu pada kedalaman yang
sama pada pada karang atol.
1.4.
Produktivitas
Terumbu
Karang
Produktivitas dalam suatu ekosistem
terumbu karang dapat dibedakan menjadi
produktivitas primer dan produktivitas
sekunder. Produktivitas primer dapat diartikan sebagai kemampuan perairan (ekosistem terumbu karang) untuk menghasilkan karbon(C) yang diukur dalam satuan
gram karbon permeter persegi pertahun (C/
m/th), sedangkan produktivitas sekunder
diartikan sebagai kemampuan suatu perairan (ekosistem terumbu karang) untuk
menghasilkan ikan persatuan luas perairan
selama kurun waktu tertentu. Produktivitas primer ekosistem ini mencapai di atas
10.000 gram /m/th (Rither,1995 dalam Suriharyono 2000).
Perkiraan perhitungan nilai produksi perikanan dari terumbu karang dan kulitas pemanfaatan serta pengelolaan oleh
masyarakat disekitarnya bahwa terumbu
karang yang masih asli dengan daerah perlindungan lautnya (marine sanctuary) dapat
menghasilkan $ 24.000/km/tahun, sedan-

Jurnal EKOSAINS | Vol. III | No. 3 | November 2011

Dampak Kerusakan Ekosistem


Terumbu Karang

gkan terumbu karang dengan kondisiyang


sangat baik tanpa daerah perlindungan laut
diatasnya dapat menghasilkan $ 12.000/
km/tahun jika penangkapan dilakukan secara berkelanjutan (sustainable) (Sukmara
dkk; 2001).
1.5. Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang
Berbagai kegiatan manusia yang berakibat pada kerusakan ekosistem terumbu
karang, baik langsung maupun tidak langsung yaitu : Penambangan atau pengambilan karang, penangkapan ikan dengan
penggunaan (bahan peledak, racun, bubu,
jaring, pancing, dan eksploitasi berlebihan), pencemaran (minyak bumi, limbah
industri, dan rumah tangga), pengembangan daerah wisata dan sedimentasi.
Penurunan kondisi terumbu karang
di Indonesia antara tahun 1989-2000, terumbu karang dengan tutpan karang hidup
di Indonesia bagian barat sebesar 50 %
menurun dari 36 % menjadi 29 %, kondisi
karang yang baik hanya 23 %, sedangkan
di bagian timur Indonesia 45 %. Permasalahan utama yang menyebabkan terjadinya
degredasi terumbu karang disebabkan oleh
manusia dan alam (Bruke,dkk,2002).
1.6.
Faktor
Antropogenik
Masyarakat
Pengetahuan adalah suatu daya di
dalam hidup manusia. Dengan pengetahuan manusia mengenal peristiwa dan
permasalahan, menganalisis, mengurai,
mengadakan interpretasi dan menentukan
pilihan pilihan. Dengan daya pengetahuan ini menusia mempertahankan dan
mengembangkan hidup dan kehidupannya. Bersandar kepada daya pengetahuan
itulah manusia membentuk sikap dan nilai
hidup, menentukan pilihan serta tindakan.
Pengetahuan merupakan unsur dasar budaya, sebab dengan adanya pengetahuan
manusia dapat membudayakan alam, diri
dan masyarakatnya (Pranaka 1987 dalam
Hussein 2000).
Perilaku merupakan realisasi dari

Haruddin. A., Edi Purwanto, M.Sc., dan


MTH. Sri Budiastuti, M.Si.

niat untuk melakukan kegiatan dalam bentuk nyata, dan merupakan cerminan dari
sikap seseorang. Grenn,(1980) dalam Su
Ritoharyono (2003), mengatakan bahwa
perilaku manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dibedakan menjadi : (1).
Faktor dasar, yang meliputi pandanganhidup, adat istiadat, kepercayaan dan kebiasaan masyarakat; (2). Faktor pendukung,
meliputi, pendidikan, pekerjaan, budaya,
strata sosial; (3). Faktor pendorong, yaitu
informasi yang merupakan faktor yang datang dari luar diri manusia, sejauh mana
penyerapan informasi tersebut oleh seseorang sangat tergantung pada dimensi
kejiwaan dan presepsi seseorang terhadap
lingkungan, untuk selanjutnya direleksikan dalam tatanan perilaku. Disamping
itu perilaku manusia terhadap lingkungan
sangat dipengaruhi oleh persepsi, sikap
dan niat. Secara identik dapat dikemukakan bahwa, perilaku atau kegiatan manusia
terhadap lingkungannya bergantung pada
persepsi mereka terhadap lingkungan,
sikap seseorang terhadap lingkungan, serta
bagaimana dan berapa besar niat seseorang
untuk melakukan kegiatan terhadap lingkungannya.
Sikap mengandung tiga aspek
pokok, yaitu aspek perasaan (efektif), aspek ikiran (kognitif), dan kecenderungan bertindak (konatif). Bila sikap tidak
dinyatakan dalam perilaku, maka sikap
akan menjadi kehilangan makna. Jadi dapat ditemukan bahwa bagaimana perilaku
masyarakat di dalam atau terhadap lingkungannya, bergantung pada seberapa besar pangetahuan mereka terhadap lingkungan itu sendiri (Azwar,1997).
Secara garis besar persepsi mengandung 2 (dua) pengertian yaitu : (1).
Persepsi merupakan suatu proses aktivitas
seseorang dalam memberi kesan, penilaian, pendapat, merasakan, memahami,
menghayati dan mengieterpretasi serta
mengevaluasi terhadap sesuatu hal berdasar informasi yang ditampilkan, (2).

Jurnal EKOSAINS | Vol. III | No. 3 | November 2011

33

Dampak Kerusakan Ekosistem


Terumbu Karang

Persepsi merupakan reaksi timbal balik


yang dipengaruhi oleh diri reseptor, suatu
hal yang dipresepsi dan situasi sosial yang
melingkupinya sehingga dapat memberikan motivasi tatanan perilaku bagi reseptor. Presepsi mempunyai implikasi yang
sangat penting terhadap tatanan perilaku,
termasuk tatanan sosial yang mempengaruhi kehidupan lingkungan sosial (social
system) maupun lingkungan biogeoisik
(ecosistem).
Sistem sosial dan ekosistem merupakan dwitunggal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena masing-masing
mencakup kesatuan fungsional yang merupakan interaksi holistik kehidupan dengan
lingkungannya. Jika objek persepsi seseorang terhadap lingkungan positif maka
akan dapat memberikan motivasi tatanan
perilaku masyarakat yang juga positif terhadap lingkungannya, sebaliknya persepsi
seseorang terhadap lingkungan negatif
maka akan dapat memberikan tatanan perilaku masyarakat yang negatif pada lingkungannya.
Secara skematis dari uraian di atas
dapat digambarkan dalam diagram alir
kerangka teoritis pada gambar 1 berikut :

Haruddin. A., Edi Purwanto, M.Sc., dan


MTH. Sri Budiastuti, M.Si.

2. Hipotesis
Berdasarkan uraian kajian teori dan
kerangka berpikir di atas, maka hipotesis
penelitian dirumuskan sebagai berikut :
1. Tingkat kerusakan ekosistem terumbu karang yang tinggi disebabkan oleh
kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (bom) di Pulau
Siompu Kabupaten Buton
2. Tingkat pendidikan, tingkat
pendapatan dan kesempatan kerja lain merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi
sikap dan persepsi (perilaku) masyarakat
terhadap kerusakan ekosistem terumbu
karang di pulau Siompu Kabupaten Buton
3. Kerusakan ekosistem terumbu
karang sangat mempengaruhi hasil tangkapan ikan oleh nelayan tradisional di Pulau
Siompu Kabupaten Buton.
METODE PENELITIAN
1. Metode Pengumpulan Data
Data terumbu karang dilakukan
dengan menggunakan transek garis hasil
modiikasi dari Loya (1972) dengan cara
: pemasangan plot transek pada kedalaman masing-masing lokasi pengamatan 3
meter dan 10 meter, sepanjang tali transek
30 meter, penyelam melakukan pencatatan

Keterangan : Secara teoritis kerusakan ekosistem terumbu karang berdampak pada hasil
tangkapan
Gambar. 1. Diagram Kerangka Teoritis Penelitian
34
Jurnal EKOSAINS | Vol. III | No. 3 | November 2011

Dampak Kerusakan Ekosistem


Terumbu Karang

terhadap tutupan karang batu (hard coral),


karang lunak (soft coral), pecahan karang
(rubbele), alga, komponen abiotik dan fauna lain serta komunitas ikan-ikan karang.
Pendataan setiap koloni karang dapat dilakukan langsung diperairan, yang diamati
adalah bentuk pertumbuhan karang. Sedangkan data parameter isik/kimia perairan
yang diperoleh dari pengukuran langsung
di lapangan.
Pengumpulan data sosial ekonomi
dilakukan pada dua desa yaitu desa Tongali
dan desa Biwinapada dengan cara observasi dan data pertanyaan (kuesioner), data
yang diperoleh dilakukan dengan analisis
tabulasi dengan variabel bebas independent

Haruddin. A., Edi Purwanto, M.Sc., dan


MTH. Sri Budiastuti, M.Si.
Percent cover = Panjang total setiap kriteria x 100.(1)
Panjang transek

Penilaian kondisi terumbu karang


menurut Gomes et al,(1981) dalam Soekarno et al (1986) yang disalin dalam Lampiran I Keputusan Mentri Negara Lingkungan Hidup nomor 04 Tahun 2001 tentang
kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang
terlihat pada tabel 4.
2.2. Data Sosial Ekonomi
Data sosial ekonomi dapat dianalisis
secara deskriptif, variabel bebas (independent variabel) adalah tingkat pendidikan
(X1), tingkat pendapatan (X2), dan kesempatan kerja lain (X3) sedangkan (Y)

Tabel 4. Kriteria Baku Mutu Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang

Parameter
Kriteria Baku Kerusakan terumbu Karang (dalam %)
Prosentase Luas
Buruk
0 24,9
Tutupan Terumbu
Rusak
Sedang
25 49,9
Karang Yang Hidup
Baik
50 75,9
Baik
Baik sekali
76 - 100
Sumber : Gomes et,al, dalam Soekarno,et,al, (1986).
variabel) adalah tingkat pengetahuan (X1),
tingkat pendapatan (X2), dan kesempatan
kerja lain (X3). Variabel terikat (dependent
variabel) adalah perilaku (Y).
Untuk mendapatkan nilai masingmasing variabel digunakan metoda pengharkatan model Likert (Gable,1986 dalam
Azwar,1997) yaitu untuk variabel tingkat
pendidikan (X1) skor 1(rendah), skor 2
(sedang),dan skor 3 (tinggi) demikian pula
dengan variabel tingkat pendapatan (X2),
variabel kesempatan kerja lain (X3) diberi
skor 2 yaitu 1 untuk kategori masyarakat
yang tidak memiliki kesempatan kerja lain,
dan skor 2 untuk kategori masyarakat yang
memiliki kesempatan kerja lain.
2. Metode Analisis Data
2.1 Data Terumbu Karang
Penentuan tingkat kualitas terumbu
karang dilakukan dengan menggunakan
presentase tutupan karang hidup (percent
cover) dengan rumus sebagai berikut :

adalah variabel terikat.


2.3. Data Ikan Karang
Penentuan
populasi
ikan-ikan
karang dilakukan bersama-sama dengan
pengukuran prosentase kerusakan karang
dengan melakukan sensus visual pada
transek sepanjang 30 meter dalam batasan
jarak 2,5 meter ke bagian kiri dan kanan
panjang transek. Kemelimpahan ikan dihitung dalam satuan unit jumlah individu/m
sedangkan keanekaragaman adalah suatu
gambaran secara matematis keadaan komunitas organisme untuk mempermudah
menganalisis individu dan biomassa. Indeks keanekaragaman jenis ikan karang dihitung dengan menggunakan indeks Shannom Wiener dengan rumus sebagai berikut
:
H = (ni/N), Ln (ni/N).......................(2)
Dimana :
Ni = Jumlah setiap jenis ikan
N = Jumlah semua jenis ikan

Jurnal EKOSAINS | Vol. III | No. 3 | November 2011

35

Dampak Kerusakan Ekosistem


Terumbu Karang

D. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Deskripsi Wilayah Penelitian
Lokasi penelitian desa Tongali dan
desa Biwinapada yang terletak di pulau
Siompu, dan secara admistratif masuk dalam wilayah Kecamatan Siompu, dengan
status tanahnya adalah tanah negara (TN)
dan tanah milik (TM). Luas wilayah desa
Tongali 2.50 km, jumlah penduduk 1.420
jiwa dengan kepadatan penduduk 568 jiwa
/km, mata pencaharian penduduk sebagai
patani/nelayan. Desa Biwinapada dengan
luas wilayah 3.54 km, jumlah penduduk
1.210 jiwa, kepadatan penduduk 342 jiwa/
km, mata pencaharian penduduk sebagai

Haruddin. A., Edi Purwanto, M.Sc., dan


MTH. Sri Budiastuti, M.Si.

liputi kondisi isik kimia air laut seperti


suhu, salinitas (kadar garam), kecerahan
(clarynitas) dan kecepatan arus. Kondisi
perairan dapat dilihat pada tabel 2.
Dari tabel 2, dapat diketahui bahwa
kondisi isik /kimia diperairan sekitar desa
Tongali dan desa Biwinapada masih di
bawah ambang batas baku mutu air laut
yang sangat sesuai dengan kondisi optimal
pertumbuhan biota laut termasuk binatang
karang, sesuai dengan ketentuan Kementrian Lingkungan Hidup RI No. 51 Kep.
KLH Tahun 2004. Hal ini terjadi karena
kondisi alam lokasi penelitian belum tercemar oleh

Tabel 2. Kondisi Fisik/Kimia Perairan di Lokasi Penelitian.

Sumber : Data Primer, Pebruari, 2011


petani/nelayan.
limbah domestik maupun industri dan ak2. Kondisi Perairan
tivitas manusia yang mengarah kedalam
Keadaan umum perairan menggam- kegiatan yang merusak ekosistem perairan
barkan kondisi perairan di wilayah perairan laut.
ke dua desa yang menjadi objek penelitian
3. Kondisi Terumbu Karang
dibidang isik, masing-masing di perairan
3.1. Prosentase Tutupan Karang
sekitar desa Tongali dan desa BiwinaKualitas terumbu karang di lokasi
pada yang secara representatif mewakili penelitian berdasarkan hasil pengamatan
keadaan umum perairan di pulau Siompu terhadap kondisi tutupan karang hidup dapada umumnya. Gambaran umum ini, me- pat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Presentase Tutupan Karang Pada Lokasi Penelitian

Sumber : Data Primer yang diolah, 2011


36
Jurnal EKOSAINS | Vol. III | No. 3 | November 2011

Dampak Kerusakan Ekosistem


Terumbu Karang

Pada tabel 3 menunjukkan bahwa


kondisi terumbu karang secara umum di
lokasi penelitian termasuk dalam kategori
jelek hingga baik.Pada lokasi penelitian
desa Tongali kondisi karang telah rusak
(jelek/buruk) dengan rata-rata prosentase
tutupan karang hidup 20.93 %, tutupan
biota lain (OT) 10.08 %, tutupan alga (AL)
1.55 %, dan tutupan benda mati (AB) 17.44
%.
Pada lokasi pembanding disekitar
perairan desa Biwinapada kondisi terumbu
karang dalam keadaan rusak sedang dengan rata-rata prosentase tutupan karang
hidup 41.13 %, tutupan biota lain (OT)
6.05 %, tutupan alga (AL) 0.80 %, dan tutupan benda mati (AB) 2.42 %, meskipun
pada kedalaman 3 meter prosentase tutupan
karang hidup sebesar 31.45 % termasuk
dalam kategori rusak sedang, sedangkan
pada kedalaman 10 meter kondisi terumbu karang termasuk dalam kategori baik
ditunjukan dengan karang hidup sebesar

Haruddin. A., Edi Purwanto, M.Sc., dan


MTH. Sri Budiastuti, M.Si.

rusak (sedang). Kerusakan tersebut sangat


dominan disebabkan oleh kegiatan nelayan
yang melakukan penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan peledak (bom), terbukti dengan banyaknya pecahan karang
dan benda mati (AB) 15.49 % pada kedalaman 10 meter.
Penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang di lokasi penelitian dapat dilihat pada tabel 4.
4. Kondisi
Sosial
Ekonomi
Masyarakat
Kondisi sosial ekonomi masyarakat
berdasarkan hasil kuesioner,di lokasi penelitian desa Tongali yang tidak memiliki
pengetahuan tentang ekosistem terumbu
karang 56 %, memiliki pengetahuan tentang ekosistem terumbu karang 44 %,
tingkat pendapatan masyarakat 70 % rendah, 22 % sedang, dan 8 % tinggi sedangkan responden yang memiliki kesempatan
kerja lain 42 % dan tidak memiliki kesempatan kerja lain sebesar 58 %.

Tabel 4. Penyebab Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang di Lokasi Penelitian

Sumber : Data Primer yang diolah, 2011


50.81 %.
3.2. Kerusakan Terumbu Karang dan
Penyebabnya.
Hasil pengamatan pada kedua lokasi kondisi terumbu karang secara umum
pada lokasi penelitian di perairan desa
Tongali dalam keadaan rusak (jelek) dan

Pada lokasi pembanding desa Biwinapada, distribusi tingkat pengetahuan


masyarakat tentang ekosistem terumbu
karang 48 %, tidak memiliki pengetahuan
tentang ekosistem terumbu karang 52 %,
tingkat pendapatan masyarakat 60 % rendah, 20 % sedang, dan 14 % tinggi, sedan-

Jurnal EKOSAINS | Vol. III | No. 3 | November 2011

37

Dampak Kerusakan Ekosistem


Terumbu Karang

Haruddin. A., Edi Purwanto, M.Sc., dan


MTH. Sri Budiastuti, M.Si.

gkan responden yang memiliki kesempatan


kerja lain 48 % dan yang tidak memiliki
kesempatan kerja lain sebesar 52 %.
Dari uraian tersebut di atas diperoleh hubungan masing-masing variabel
indepandent tingkat pendidikan (X1), tingkat pendapatan (X2), dan kesempatan kerja
(X3), terhadap sikap dan persepsi (perilaku) masyarakat (Y) berpengaruh terhadap
kerusakan ekosistem terumbu karang. Dari
ketiga variabel sosial ekonomi, variabel
pendidikan yang sangat berpengaruh pada
sikap dan persepsi masyarakat (perilaku)
terhadap kerusakan ekosistem terumbu
karang.
5. Kondisi Ikan Karang
Hasil Pengamatan terhadap ikan
karang di lokasi penelitian, perairan sekitar desa Tongali secara keseluruhan terdiri
dari 9 family,41 spesies dan 340 individu,
didominasi oleh Pomacentridae 53.82 %
dengan jumlah 183 individu dari 12 spesies, family Seranidae 18.53 % dengan
jumlah 63 individu dari 1 spesies, family
Labridae 5.59 % dengan jumlah 19 individu dari 5 spesies, family Acanthuridae 5
% dengan jumlah 17 individu dari 6 spesies, family Scaridae 4.71 % jumlah 16 individu dari 4 spesies, family Pomacanthidae 4.41 % dengan jumlah 15 individu dari
4 spesies, family Chaetodontidae 3.53 %
dengan jumlah 12 individu dari 4 spesies,
family Balistidae 2.94 % dengan jumlah 10
individu dari 3 spesies, dan family Apongonidae 1.47 % dengan jumlah 5 individu
dari 2 spesies, dengan indeks keanekaragaman jenis ikan adalah 2.91.
Pada lokasi pembanding (perairan
desa Biwinapada) jumlah jenis dan family
ikan-ikan karang lebih bervariasi dibandingkan pada lokasi penelitian (perairan
Desa Tongali) terdiri dari 950 individu
dari 11 family, prosentase terbesar family
Pomacentridae 37.16 % dengan jumlah
353 individu dari 13 spesies, family Labridae 13.58 % dengan jumlah 129 individu
dari 5 spesies, family Scaridae 9.05 %
38

dengan jumlah 86 individu dari 4 spesies,


family Pomacanthidae 8.42 % dengan jumlah 80 individu dari 5 spesies, family Seranidae 7.37 % dengan jumlah 70 individu
dari 1 spesies, family Acanthuridae 7.26 %
dengan jumlah 69 individu dari 6 spesies,
family Balistidae 4.00 % dengan jumlah 38
individu dari 3 spesies, family Apongonidae 3.79 % dengan jumlah 36 individu dari
2 spesies, Sedangkan yang terdapat dalam
jumlah yang kecil adalah family Tetraodontidae 1.79 % dengan jumlah 17 individu dari 1 spesies, family Mulidae 0.74
% dengan jumlah individu 7 dari 2 spesies,
dengan indeks keanekaragaman jenis ikan
adalah 3.60.
Hal ini menunjukan bahwa lokasi
tersebut tingkat perairannya cukup tinggi
selain dijumpai jenis ikan hias ekonomis penting terdapat juga ikan konsumsi
ekonomis penting seperti family Mulidae meskipun dalam jumlah yang sedikit,
hal ini tidak dapat menggambarkan sepenuhnya kondisi perairan bahwa dengan
rendahnya prosentase ikan-ikan karang
ekonomis penting tidak menunjukan korelasi positif dengan kondisi terumbu karang,
demikian pula sebaliknya kualitas terumbu
karang tidak dapat secara langsung menjelaskan bahwa rendahnya populasi ikan
pada ekosistem terumbu karang menunjukan rendahnya kualitas ekosistem terumbu
karang.
Dengan demikian bila memperhatikan faktor kesehatan karang, kompleksitas
karang, prosentase tutupan karang dalam
banyak penelitian dilaporkan bahwa terdapat satu garis linier antara kepadatan
ikan dengan kondisi terumbu karang, sebagaimana hasil penelitian yang dilaporkan
oleh Wagio dan Prahoro (1994), bahwa
diperairan Karimunjawa menunjukan kepadatan ikan semakin tinggi pada terumbu
karang dengan prosentase tutupan karang
yang sangat baik adalah 135 ekor/100 m,
menurun sebesar 37 % pada kondisi baik
menjadi 82 ekor /100m dan pada kondisi

Jurnal EKOSAINS | Vol. III | No. 3 | November 2011

Dampak Kerusakan Ekosistem


Terumbu Karang

terumbu karang yang rusak mengalami


penurunan sebesar 61 % yaitu hanya 51
ekor /m.
5.1.Asosiasi Ikan Karang Dengan
Bentuk Pertumbuhan Karang
Asosiasi penyebaran (distribusi)
spasial temporal ikan karang dengan bentuk pertumbuhan (life form) karang secara
kualitatif dapat memberikan gambaran tentang terjadinya asosiasi secara spasial maupun temporal antara kelompok ikan karang
dengan bentuk pertumbuhan karang tertentu, meskipun sebagian ikan bersifat sementara namun tetap memiliki asosiasi yang
kuat dengan suatu bentuk pertumbuhan
karang tertentu, serta memiliki wilayahwilayahnya. Ikan sebagai organisme yang
bergerak bebas keberadaannya pada suatu
habitat sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, jika suatu saat kondisi lingkungan tidak sesuai bagi ikan maka ikanikan akan berpindah mencari tempat yang
lebih cocok untuk dijadikan habitat sementara maupun tetap, kondisi perairan seperti
arus, gelombang dan kualitas perairan akan
memberikan pengaruh yang cukup besar
terhadap perilaku ikan (Chabanet dan Letourneur, 1995 dalam Karnan, 2001).
Pada lokasi penelitian (desa Tongali) maupun lokasi pembanding (desa Biwinapada) kehadiran ikan penciri didominasi oleh family Pomacentridae sebesar
53.82 % dan 37.16 %, hal ini menunjukan
bahwa family Pomacentridae merupakan
kelompok ikan yang dapat berasosiasi
kuat dengan terumbu karang, merupakan
ikan-ikan berukuran kecil, bersifat teritori
(mempertahankan tempat tinggal), bersifat omnivora (pemakan segala), menyukai tempat hidup yang dekat substrat dan
sangat dipengaruhi olah karakteristik morfologi substrat (Robert dan Ormond 1987
dalam Karnan 2001).
Kelompok ikan ini menjadikan terumbu karang sebagai habitat dan tempat
mencari makan (feeding ground), bahkan
beberapa jenis dari family Pomacentridae

Haruddin. A., Edi Purwanto, M.Sc., dan


MTH. Sri Budiastuti, M.Si.

dapat mengikis lendir pada koloni karang


Seleractinia, kelompok pemakan Alga bersifat sangat teritori, biasanya mengelompok secara longgar, sedangkan pemakan
plankton membentuk kelompok lebih rapat.
Faktor-faktor tersebut di atas diperkirakan
menjadi penjebab family Pomacen tridae
dan family Pomacanthidae dapat berasosiasi dengan berbagai komponen terumbu
karang baik karang keras (hard coral),
karang mati, alga maupun komponen abiotik. Disamping itu disebabkan karena sifat isik habitas dan kompleksitas terumbu
karang sehingga dapat menyediakan ruangan bagi beranekaragam fauna (Chabanet,
1995 dalam Karnan, 2001)
5.2. Pengaruh Ekosistem Terumbu Karang Dengan Hasil Tangkapan
Ikan
Nelayan di lokasi penelitian (desa
Tongali) yang menggunakan alat tangkap
bahan peledak (bom) dengan perbandingan produksi hasil tangkapan ikan selama
5 tahun terakhir, peneliti melakukan pola
pendekatan untuk dapat menjawab hipotesis ke tiga dalam penelitian ini yaitu
kerusakan ekosistem terumbu karang akan
mempengaruhi hasil tangkapan ikan oleh
nelayan tradisional, maka berdasarkan
hasil tangkapan ikan di perairan desa Tongali, yang dapat dikumpulkan dari responden melalui daftar pertanyaan (kuesioner)
diperoleh gambaran tentang hasil tangkapan ikan sebagaimana disajikan dalam tabel 5.
Pada tabel 5 menunjukkan bahwa
dalam 5 tahun terakhir produksi nelayan
tradisional dengan alat tangkap bahan
peledak (bom) di Desa Tongali semakin
menurun dari 4.30 ton pada tahun 2006
menjadi 2.47 ton pada tahun 2010 dengan
prosentase penurunan produksi sebesar
6.26 % sampai 7.42 %. Sedangkan penurunan peoduksi selama 5 tahun (periode
2006 hingga 2010) terjadi penurunan
produksi sebesar 11.04 %.
Berdasarkan kenyataan di atas, gam-

Jurnal EKOSAINS | Vol. III | No. 3 | November 2011

39

Dampak Kerusakan Ekosistem


Terumbu Karang

Haruddin. A., Edi Purwanto, M.Sc., dan


MTH. Sri Budiastuti, M.Si.

Tabel 5. Hasil Tangkapan Ikan Oleh Nelayan Tradisional di Sekitar Perairan Desa
gali Tahun 2006-2010.

Ton-

Sumber : Data Primer yang diolah, 2011


baran yang dapat menjelaskan dan mendukung hipotesis ketiga dalam penelitian ini
adalah bahwa prosentase tutupan karang
berkorelasi positif dengan dengan kemelimpahan ikan, bila dikaitkan dengan hasil
tangkapan ikan maka diasumsikan bahwa
semakin tinggi kualitas ekosistem terumbu
karang semakin tinggi populasi ikan yang
menjadikan terumbu karang sebagai habitat
baik sebagai tempat mencari makan (feeding ground), tempat pengasuhan (nursery
ground) maupun tempat berlindung dan
berkembangbiak (spawning ground).
Sesuai hasil pencatatan data primer yang diperoleh langsung dari nelayan
penangkapan ikan di desa Tongali dengan
menggunakan perahu papan dan perahu
motor, dengan alat tangkap bahan peledak
(bom),pancing,gill net, jala troll dan lainnya diperoleh hasil tangkapan ikan ratarata perhari sebagaimana terlihat dalam
tabel 6 .

Pada tabel 6 menunjukkan bahwa


hasil tangkapan ikan oleh nelayan tradisional di desa Tongali yang menjadikan
perairannya sebagai daerah tangkapan
(ishing ground) dengan jenis ikan yang
tertangkap sebagian besar merupakan ikanikan pelagis, dengan rata-rata hasil tangkapan perhari 16.56 kg, terdiri dari ikan
Tongkol (Euthynnus attinis) 3.15 kg (19.02
%),Lemuru (Sardinella imbriata) 3.25 kg
(19.62%) dan ikan Tenggiri (Scomberomorus guttatus) 3.51 kg (21.20 %), sedangkan
ikan karang 6 jenis yaitu Kakap merah
(Lutjanus argentimaculatus) 1.5 kg (9.06
%), Sunuk/Kerapu (Plectropomus maculatus) 0.8 kg (4.83 %), Keling (Parupeneus)
1.35 kg (8.15 %), Brajanata (Myrispitis sp)
0.2 kg (1.21 %), Giru (Amphiprion) 1.5
kg (7.83 %), Botana (Acanthurus) 1.3 kg
(7.85 %).
Rendahnya hasil tangkapan ikan
oleh nelayan tradisional di desa Tongali

Tabel 6. Komposisi Hasil Tangkapan Ikan Oleh Nelayan di Desa Tongali

Sumber : Data Primer yang diolah, 2011


40

Jurnal EKOSAINS | Vol. III | No. 3 | November 2011

Dampak Kerusakan Ekosistem


Terumbu Karang

diperkuat dengan hasil kuesioner yang


diberikan kepada 100 responden nelayan
di kedua desa penelitian tentang bagaimanakah kecenderungan hasil tangkapan ikan saat ini baik pada musim puncak
(musim ikan) maupun pada musim paceklik (bukan musim ikan), 100 % responden
menjawab kecenderungan hasil tangkapan
ikan semakin menurun.
Dengan demikian hal ini belum
memberikan jawaban secara statistik jawaban hipotesis kedua dalam penelitian ini
yang mengatakan bahwa kerusakan ekositem terumbu karang akan mempengaruhi
hasil tangkapanikan oleh nelayan tradisional diperairan desa Tongali disebabkan
oleh beberapa faktor antara lain (1) Variabel produksi yang diamati belum cukup
untuk mendukung hipotesis tersebut, (2)
Hasil tangkapan ikan oleh nelayan sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor produksi,
dalam kaitannya dengan produksi pada
ekosistem terumbu karang yang terdiri dari
luasan terumbu karang, dan prosentase
tutupan karang hidup (kualitas terumbu
karang), serta teknologi penangkapan
(jenis alat tangkap), sehingga masih perlu
dianalisis dengan analisis fungsi produksi
f(x)=(variabel produksi) namun dalam penelitian ini hanya variabel terumbu karang
yang diamati, (3) Tidak ada data pembanding secara kuantitatif antar produsi ikan
oleh nelayan tradisional di desa Tongali
pada saat terjadi sebelum kerusakan ekosistem terumbu karang dan setelah terjadi
kerusakan ekosistem terumbu karang.

Haruddin. A., Edi Purwanto, M.Sc., dan


MTH. Sri Budiastuti, M.Si.

11.63 % sampai 30.25 %. Selanjutnya di


lokasi pembanding sekitar perairan desa
Biwinapada dapat dikategorikan rusak sedang hingga baik dengan prosentase tutupan karang hidup/karang keras (hard coral)
sebesar 31.45 % hingga 50.81 %.
b. Dampak yang ditimbulkan akibat
kerusakan ekosistem terumbu karang berpengaruh terhadap hasil penangkapan ikan
oleh nelayan tradisional yaitu adanya kecenderungan menurunnya hasil tangkapan
pada lima tahun terakhir yakni 4.30 ton
(25.95 %) pada tahun 2006 dan 2.47 ton
(14.91 %) pada tahun 2010. Hal ini dapat
didukung oleh hasil kuesioner, bahwa 100
responden menyatakan hasil tangkapan
ikan menurun pada musim ikan maupun
pada musim paceklik.
c. Faktor sosial ekonomi tingkat
pendidikan, tingkat pendapatan dan kesempatan kerja lain berkorelasi positif terhadap
sikap dan persepsi (perilaku) masyarakat
terhadap ekosistem terumbu karang. Yang
paling besar pengaruhnya adalah tingkat
pendidikan yaitu 53.33 % sampai 68.57
% masyarakat berpendidikan rendah berpersepsi negatif terhadap ekosistem terumbu karang. Alternatif pemecahan masalah
adalah dengan peningkatan dan pemerataan
kesempatan mendapatkan pendidikan bagi
masyarakat dapat meningkatkan pendapatan dan membuka kesempatan kerja seluasluasnya bagi masyarakat.

KESIMPULAN
a. Kerusakan Ekosistem terumbu
karang terjadi sebagai akibat pengetahuan
nelayan yang kurang memahami dampak
kegiatan yang ditimbulkan, hal ini dapat
dibuktikan dengan kondisi terumbu karang
di perairan desa Tongali sebagai loksi penelitian termasuk rusak jelek hingga rusak
sedang dengan prosentase tutupan karang
hidup/karang keras (hard coral) sebesar
Jurnal EKOSAINS | Vol. III | No. 3 | November 2011

41

Anda mungkin juga menyukai