Anda di halaman 1dari 6

MODUL PERKULIAHAN

Pengetahuan
Lingkungan
Ekosistem Sebagai Modal Alam

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

02
Teknik Teknik Industri 190571001 Annisa Maharani Suyono, S.T., M.M

Abstract Kompetensi
Modul ini membahas mengenai Mahasiswa mampu menjelaskan
ekosistem sebagai modal alam mengenai ekosistem sebagai modal
alam
Ekosistem sebagai Modal Alam

Perubahan iklim merupakan fenomena global, dimana dampaknya akan dirasakan


secara global oleh seluruh belahan bumi. Pemanasan global dipicu oleh adanya efek Gas
Rumah Kaca (GRK) yang menyelubungi atmosfer yang telah mengubah cara atmosfer
menyerap energi. Beberapa gas rumah kaca dapat ditemukan dalam bentuk CO yang
dihasilkan oleh bahan bakar fosil, metana dan N O yang dihasilkan dari kegiatan pertanian
dan perubahan penggunaan lahan, serta CFCs, HFCs dan PFCs yang dihasilkan oleh gas
buangan kendaraan dan industri (Ginoga, dkk., 2007). Menurut IPCC (2007) emisi gas rumah
kaca pada tahun 2004 mencapai 49 giga ton (milyar ton) CO e. Peningkatan emisi
diperkirakan akan terus terjadi dan mencapai 25-90% pada periode tahun 2000-2030.

Beberapa dampak perubahan iklim yang dirasakan antara lain adalah pergantian
musim yang tidak teratur dan bencana ekologis seperti banjir dan kekeringan yang datang
silih berganti menimbulkan dampak kerugian yang nyata (Ahmad, 2007). Perubahan iklim
juga menyebabkan sebagian pola kehidupan masyarakat mengalami perubahan. Musim
kemarau yang semakin panjang dan musim hujan yang lebih pendek menyebabkan
berkurangnya beberapa sumber air yang berasal dari mata air di kawasan hutan. Akibatnya
sumber pasokan air bagi masyarakat juga berkurang sehingga memaksa masyarakat untuk
beradaptasi terhadap perubahan tersebut. Dari segi sumberdaya lahan, adanya kekeringan
yang berlebihan menyebabkan tanaman pertanian menjadi kering dan berdampak pada
ancaman ketahanan pangan bagi masyarakat. Dari segi sumberdaya hayati, musim kemarau
yang berkepanjangan sering kali menyebabkan kebakaran hutan sehingga masyarakat
menjadi kekurangan pasokan kayu bakar dan dari segi keanekaragaman hayati, beberapa jenis
vegetasi menjadi hilang akibat kebakaran hutan

Dampak perubahan iklim terhadap Ekosistem


Kemungkinan punahnya 20-30% spesies tanaman dan hewan bila terjadi kenaikan suhu rata-
rata global sebesar 1,5-2,5oC. Meningkatnya tingkat keasaman laut karena bertambahnya
Karbondioksida di atmosfer diperkirakan akan membawa dampak negatif pada organisme-
organisme laut seperti terumbu karang serta spesies-spesies yang hidupnya bergantung pada
organisme tersebut. Dampak lainnya yaitu hilangnya berbagai jenis flaura dan fauna

‘20 Nama Mata Kuliah dari Modul


2 Dosen Pengampu
Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
khususnya di Indonesia yang memiliki aneka ragam jenis seperti pemutihan karang seluas
30% atau sebanyak 90-95% karang mati di Kepulauan Seribu akibat naiknya suhu air laut.

Definisi Ekosistem Akuatik


Pengertian Ekosistem akuatik (perairan) adalah merupakan tipe ekosistem yang sebagian
lingkungan fisiknya didominasi oleh air. Ekosistem akuatik dipengaruhi oleh empat factor,
yaitu penetrasi cahaya matahari, substrat, temperatur, dan jumlah material terlarut. Akan
tetapi, factor penentu utama dari ekosistem perairan adalah jumlah garam terlarut di dalam
air. Jika perairan tersebut sedikit mengandung garam terlarut, maka disebut ekosistem air
tawar . Sebaliknya, jika mengandung kadar garam tinggi, maka disebut ekosistem laut.

Jenis Ekosistem Akuatik

1. Air Tawar. Ekosistem air tawar dibagi menjadi dua, yaitu lotik dan lentik. Ekosistem
air tawar lotik memiliki ciri airnya berarus. Contohnya adalah sungai. Organisme
yang hidup pada ekosistem ini dapat menyesuaikan diri dengan arus air. Produsen
utama pada ekosistem ini adalah ganggang. Akan tetapi, umumnya organisme lotik
memakan detritus yang berasal dari ekosistem darat di sekitarnya. Ekosistem air tawar
lentik memiliki ciri airnya tidak berarus. Ekosistem air tawar lentik meliputi rawa air
tawar, rawa gambut, kolam, dan danau. Rawa didominasi oleh lumut Spaghnum.
Ekosistem danau dan kolam terdiri dari tiga wilayah horizontal, yaitu litoral, limnetik,
dan profundal.

2. Laut. Hampir 71% dari permukaan bumi tertutup oleh laut. Rata-rata salinitas (kadar
garam) laut adalah 3%, tetapi angka ini bervariasi dari satu wilayah ke wilayah yang
lain sesuai dengan kedalaman dan geografinya. Salinitas tertinggi terdapat di daerah
tropis. Pada daerah tropis suhu yang tinggi menyebebkan laju penguapan berlangsung
cepat sehingga salinitas laut menjadi tinggi. Contohnya, Laut Merah memiliki
salinitas 4%. Sebaliknya, pada geografi yang lebih tinggi, proses penguapan
berkurang sehingga salinitasnya rendah. Contohnya, Laut Baltik dengan salinitas
0,7%.

3. Estuari. Ekosistem estuary terdapat pada wilayah pertemuan antara sungai dan laut
atau disebut muara sungai. Muara sungai disebut juga pantai Lumpur. Esturi mamiliki
cirri berair payau dengan tingkat salinitas di antarsa air tawar dan laut. Vegetasi
didominasi oleh tumbuhan bakau. Beberapa organisme laut melakukan

‘20 Nama Mata Kuliah dari Modul


3 Dosen Pengampu
Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
perkembangbiakan di wilayah ini seperti ikan, udang, dan moluska yang dapat
dimakan.

4. Pantai Batu. Ekosistem pantai batu tersusun dari komponen abiotik, berupa batu-
batuan kecil maupun bongkahan batu yang besar. Pada ekosistem pantai batu terdapat
organisme seperti ganggang Eucheuma dan Sargassum, serta beberapa jenis moluska
yang dapat melekat di batu. Ekosistem pantai batu antara lain terdapat di Pantai
Selatan Jawa, Pantai Barat Sumatera, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku.

5. Terumbu Karang. Ekosistem terumbu karang hanya dapat tumbuh di dasar perairan
yang jernih. Terumbu karang terbentuk dari rangka hewan kelompok Coelenterata.
Pada ekosistem ini terdapat berbagai jenis organisme laut dari kelompok Porifera,
Coelenterata, ganggang, berbagai jenis ikan, serta udang. Ekosistem terumbu karang
antara lain terdapat di perairan Nusa Tenggara dan Maluku.

6. Laut Dalam. Ekosistem laut dalam merupakan zona pelagic laut. Ekosistem ini berada
pada kedalaman 76.000 m dari permukaan laut, sehingga tidak ada lagi cahaya
matahari. Oleh karena itu, produsen utama di ekosistem ini merupakan organisme
kemoautotrof.

Kondisi Lahan Basah di Indonesia

Lahan Basah di Indonesia mengalami berbagai tekanan menuju kehancuran dan


deforestasi secara drastis. Laju degradasi hutan mencapai 2 juta hektar per tahun. Konversi
hutan, illegal logging, dan kebakaran hutan merupakan ancaman utama lahan basah di
Indonesia. Konversi hutan dalam skala besar, terutama dilakukan untuk perkebunan
monokulter, terutama sawit, HTI, pertambangan, dan pertambakan udang.

Kebakaran hutan menjadi isu nasional setiap tahun sejak 1996. Musim kemarau dan
pembukaan ladang berpindah dituduhkan sebagai penyebab kebakaran hutan. Kebakaran
hutan yang merupakan kombinasi faktor kelalaian dan kekeringan terjadi di kawasan gambut.
Bekas lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan, yang kini berubah menjadi kering
kerontang di musim kemarau, menjadi langganan kebakaran hutan tiap tahunnya.

Lahan basah memiliki peranan yang penting dalam menyumbang keragaman hayati,
pengatur iklim dunia, sumber pangan, sumber sirkulasi air, sumber perikanan, dan obat-
obatan bagi masyarakat setempat. Masyarakat lokal memiliki tingkat ketergantungan

‘20 Nama Mata Kuliah dari Modul


4 Dosen Pengampu
Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
kehidupan yang cukup besar pada ekosistem lahan basah. Di beberapa tempat, terdapat
kearifan lokal dan sistem pengelolaan dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada. Namun
demikian, tidak semua masyarakat yang hidup bergantung pada ekosistem lahan basah
memiliki pengaturan dan kepedulian terhadap keberlanjutan ekosistem lahan basah. Pola
pemanfaatan yang bersifat merusak dan eksploitatif berlangsung, baik oleh masyarakat
setempat maupun pendatang, tanpa ada upaya pencegahan.

Lahan basah sebagai sumber :


1. Kesejahteraan
Lahan basah seringkali dijadikan sebagai penggerak ekonomi lokal. Dengan
menggunakan lahan basah secara bijaksana dan diversifikasi mata pencaharian
masyarakat lokal akan memungkinkan bagi kita untuk mngurangi laju tren penurunan
lahan basah, sekaligus mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial.
2. Mencukupi air bersih
Kebutuhan akan air telah meningkat dua kali lipat lebih banyak dari laju pertambahan
penduduk. Kebutuhan air untuk konsumsi manusia, pertanian dan energi semakin
meningkat. Dengan meningkatkan pengelolaan air dan pemulihan lahan basah,
persediaan air dapat terjaga.
3. Makanan yang melimpah
Dengan memperbaiki praktek pengelolaan air dan pertanian di lahan basah yang
disertai dengan mengintegrasikan pengelolaan berbasiskan lahan basah kedalam
kawasan pertanian, ketahanan pangan jangka panjang dapat terjamin dan
keanekaragaman hayati pun meningkat.
4. Melindungi dari bencana
Dampak bencana alam maupun bencana buatan manusia semakin meningkat karena
terjadinya perubahan iklim, adanya pembangunan yang tidak terencana dan semakin
rusaknya kondisi lingkungan. 90% dari bencana yang terjadi tersebut berhubungan
dengan air. Untuk mengurangi kerusakan dan kehilangan akibat bencana,
mengembalikan lahan basah yang hilang dan memperbaiki lahan basah yang telah
rusak merupakan salha satu solusinya.
5. Penyimpan karbon
Lahan basah merupakan salah satu penyimpan karbon permukaan (top carbon) bumi.
Dengan melestarikan dan memulihkan lahan basah kita bisa mengurangi emisi karbon

‘20 Nama Mata Kuliah dari Modul


5 Dosen Pengampu
Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
dan meningkatkan kemampuan kita untuk beradaptasi dengan perubahan iklim,
meningkatkan keanekaragaman hayati, keatahanan air dan kesejahteraan manusia.
6. Keanekaragaman hayati dan keindahan alam
Lahan basah mendukung kekayaan alam yang berlimpah dan unik, tetapi
keanekaragaman hayati air tawar telah menurun drastis sejak tahun 1970-an. Tindakan
bersama baik individu, kelompok masyarakat, pemerintah dan sektor swasta sangat
dibutuhkan untuk membalikkan tren ini.

Daftar Pustaka

1. Notohadiprawiro, T., 1998. Tanah dan lingkungan. Direktorat Jendral Pendidikan


Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta, 237.
2. Indonesia, P.R. and Nusantara, W., 1997. Undang Undang No. 23 Tahun 1997
Tentang: Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sekretariat Negara, Jakarta.
3. Utomo, S.W., Si, M., Sutriyono, I. and Rizal, R., 2012. Pengertian, Ruang Lingkup
Ekologi dan Ekosistem.
4. Lubis, D.P., 2011. Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Keanekaragaman Hayati di
Indonesia. Jurnal Geografi, 3(2), pp.107-117.
5. Nandini, R. and Narendra, B.H., 2011. Kajian Perubahan Curah Hujan, Suhu dan Tipe
Iklim Pada Zone Ekosistem di Pulau Lombok. Jurnal Analisis Kebijakan
Kehutanan, 8(3), pp.228-244.

‘20 Nama Mata Kuliah dari Modul


6 Dosen Pengampu
Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id

Anda mungkin juga menyukai