Anda di halaman 1dari 17

MARINE FISH DI ZONA INTERTIDAL

Disusun untuk memenuhi tugas Biologi Laut semester genap


Tahun Ajar 2018/2019

Disusun oleh :

Sarra Corni 230210160002

Rizky Ghena Oktafira 230210160034

Ilma Almira Wahdini 230210160050

Muhammad Ali Haidar 230210160053

Saeful Anwari 230210160060

Muhammad Fauzan 230210160078

Kholid Agil 230210160083

Kelas :

Kelautan / Kelompok 5

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR
2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ekosistem pesisir dan laut merupakan ekosistem alamiah yang produktif,
unik dan mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Kawasan pesisir
memilki sejumlah fungsi ekologis berupa penghasil sumberdaya, penyedia jasa
kenyamanan, penydia kebutuhan pokok hidup dan penerima limbah (Bengen,
2002). Tata ruang sebagai wujud struktural ruang dan pola penggunaannya secara
terencana atau tidak dari bagian permukaan bumi di laut dan pesisir, dikenal selama
ini sebagai objek dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Selain
mengandung beraneka ragam sumber daya alam dan jasa lingkungan yang telah dan
sementara dimanfaatkan manusia, ruang laut dan pesisir menampilkan berbagai isu
menyangkut keterbatasan dan konflik dalam pemanfaatannya.
Untuk mengharapkan keberlanjutan fungsi dimensi ekologis yang dimiliki
oleh kawasan pesisir, selayaknya digiatkan upaya pelestarian dan pemanfaatan
segenap sumberdaya yang ada di dalamnya secara berkelanjutan. Ekosistem pesisir
dan lautan merupakan sistim akuatik yang terbesar diplanet bumi. Ukuran dan
kerumitannya menyulitkan kita untuk dapat membicarakannya secara utuh sebagai
suatu kesatuan. Akibatnya dirasa lebih mudah jika membaginya menjadi sub-
bagian yang dapat dikelola, selanjutnya masing-masing dapat dibicarakan
berdasarkan prisip-prinsip ekologi yang menentukkan kemampuan adaptasi
organisme dari suatu komunitas.
Tidak ada suatu cara pembagian laut yang telah diajukan yang dapat
diterima secara universal. Cara pembagiannya telah banyak dipakai oleh para
ilmuwan dan pakar kelautan diseluruh dunia. Salah satu bagian dari pembagian
ekosistem di kawasan pesisir dan laut adalah kawasan intertidal (intertidal zone).
Wilayah pesisir atau coastal adalah salah satu sistim lingkungan yang ada, dimana
zona intertidal atau lebih dikenal dengan zona pasang surut adalah merupakan
daerah yang terkecildari semua daerah yang terdapat di samudera dunia, merupakan
pinggiran yang sempit sekali – hanya beberapa meter luasnya – terletak di antara
air tinggi (high water) dan air rendah (lowwater).
Zona ini merupakan bagian laut yang paling dikenal dan paling dekat
dengan kegiatan kitaapalagi dalam melakukan berbagai macam aktivitas, hanya di
daerah inilah penelitian dapat langsung kita laksanakan secara langsung selama
perioda air surut, tanpa memerlukan peralatankhusus. Letak zona intertidal yang
dekat dengan berbagai macam aktifitas manusia, dan memiliki lingkungan dengan
dinamika yang tinggi menjadikan kawasan ini sangat rentan terhadap gangguan.
Kondisi ini tentu saja akan berpengaruh terhadap segenap kehidupan di
dalamnya.Pengaruh tersebut salah satunya dapat berupa cara beradaptasi. Adaptasi
ini diperlukan untuk mempertahankan hidup pada lingkungan di zona intertidal.
Keberhasilan beradaptasi akanmenentukan keberlangsungan organisme di zona
intertidal.
Organisme yang terdapat pada zona intertidal ini telah beradaptasi terhadap
lingkungan yang ekstrim. Pasokan air secara reguler tercukupi dari pasang-surut air
laut, namun air yang didapat bervariasi dari air salin dari laut, air tawar dari hujan,
hingga garam kering yang tertinggal dari inundasi pasang surut, membuat biota
yang berada di zona ini harus beradaptasi dengan kondisi salinitas yang variatif.
Suhu di zona intertidal bervariasi, dari suhu yang panas menyengat saat wilayah
terekspos sinar matahari langsung, hingga suhu yang amat rendah saat iklim dingin.
Zona intertidal memiliki kekayaan nutrien yang tinggi dari laut yang dibawa oleh
ombak.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa yang dimaksud dengan zona intertidal?
2. Bagaimana adaptasi biota laut di zona intertidal ?
3. Bagaimana dinamika perairan di zona intertidal ?
1.3 TUJUAN PENULISAN
Agar mahasiswa ilmu Kelautan memahami akan kondisi lingkungan dan
karakter biota yang ada di zona intertidal yang dapat dijadikan sebagai acuan
dalam upaya pengelolaan zona intertidal.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kawasan Intertidal

Menurut Nybakken (1988) menyatakan bahwa zona intertidal (pasang-


surut) merupakan daerah terkecil dari semua daerah yang terdapat di samudera
dunia. Merupakan pinggiran yang sempit sekali hanya beberapa meter luasnya.
Terletak di antara air tinggi dan air rendah. Zona ini merupakan bagian laut yang
mungkin paling banyak dikenal dan dipelajari karena sangat mudah dicapai
manusia. Hanya di daerah inilah penelitian terhadap organisme perairan dapat
dilaksanakan secara langsung selama periode air surut, tanpa memerlukan peralatan
khusus. Zona intertidal telah diamati dan dimanfaatkan oleh manusia sejak
prasejarah.
Menurut Nybakken (1988) , susunan faktor-faktor lingkungan dan kisaran
yang dijumpai dizona intertidal sebagian disebabkan zona ini berada diudara
terbuka selama waktu tertentu dalam setahun, dan kebanyakan faktor fisiknya
menunjukkan kisaran yang lebih besar di udara daripada di air. Selain itu, faktor-
faktor lain adalah adanya substrat yang berbeda-beda yaitu pasir, batu dan lumpur
menyebabkan perbedaan fauna dan struktur komunitas didaerah intertidal sama
seperti lingkungan air tawar. Serangga menjadi hal umum dicruger island. Serangga
yang terdapat adalah epheraroptera, trichoptera, coleoptera dan diptera.
Menurut Prajitno (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi
lingkungan zona intertidal diantaranya adalah :
1) Pasang-surut yaitu naik turunnya permukaan air laut secara periodik selam
interval waktu tertentu. Pasang-surut merupakan faktor lingkungan paling
penting yang mempengaruhi kehidupan di zona intertidal.
2) Suhu mempengaruhi zona intertidal selama harian/ musiman. Kisaran ini
dapat melebihi batas toleransi.
3) Perubahan salinitas yang dapat mempengaruhi organisme terjadi di zona
intertidal.
4) Gelombang merupakan parameter utama dalam proses erosi atau
sedimentasi besarnya erosi tergantung pada besarnya energi dihempaskan
oleh gelombang. Ombak terjun biasanya terlihat dipantai yang lautnya
terjal. Ombak ini mengulung tinggi. Kemudian jatuh dengan bunyi yang
keras dan bergemuruh. Ombak landai terbentuk di pantai yang dasar lautnya
di landai. Sehingga bergulung ke pantai agak jauh sebelum pecah

B. Pembagian Zona intertidal

Secara umum daerah intertidal berdasarkan material atau substrat penyusun


dasar perairan dapat dibagi menjadi 3 tipe yaitu,

1. Tipe pantai berbatu


Pantai ini terbentuk dari batu granit dari berbagai ukuran tempat ombak pecah.
Umumnya pantai berbatu terdapat bersama-sama atau berseling dengan pantai
berdinding batu. Kawasan ini paling padat mikroorganismenya, dan mempunyai
keragaman fauna maupun flora yang paling besar. Tipe pantai ini banyak ditemui
di selatan Jawa, Nusa Tenggara dan Maluku.

2. Tipe pantai berpasir

Pantai ini dapat ditemui di daerah yang jauh dari pengaruh sungai besar atau di
pulau kecil yang terpencil. Makroorganisme yang hidup disini tidak sepadat di
kawasan pantai berbatu, dan karena kondisi kondisi lingkungannya organisme yang
ada cenderung menguburkan dirinya ke dalam substrat. Kawasan ini lebih banyak
dimanfaatkan manusia untuk berbagai aktivitas rekreasi.

3. Tipe pantai berlumpur

Perbedaan antara tipe pantai ini dengan tipe sebelumnya terletak pada ukuran
butiran sedimen (substrat). Tipe pantai berlumpur mempunyai ukuran butiran yang
paling halus. Pantai berlumpur terbentuk di sekitar muara-muara sungai dan
umumnya berasosiasi dengan estuaria. Tebal endapan lumpurnya dapat mencapai 1
meter atau lebih. Pada pantai berlumpur yang amat lembek sedikit fauna maupun
flora yang hidup di sana. Perbedaan yang lain adalah gelombang yang tiba di pantai,
di mana aktivitas gelombangnya sangat kecil, sedangkan untuk pantai yang lain
kebalikannya. Selain itu, secara umum daerah intertidal sangat dipengaruhi oleh
pola pasang dan surutnya air laut, sehingga dapat dibagi menjadi tiga zona yaitu,

1. Zona pertama merupakan daerah diatas pasang tertinggi dari garis laut yang
hanya mendapatkan siraman air laut dari hempasan riak gelombang dan
ombak yang menerpa daerah tersebut backshore (supratidal)
2. Zona kedua merupakan batas antara surut terendah dan pasang tertinggi dari
garis permukaan laut (intertidal)
3. Zona ketiga adalah batas bawah dari surut terendah garis permukaan laut
(subtidal).
C. Kondisi Lingkungan

Zona intertidal sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitarnya.


Kondisi lingkungan di zona ini cukup bervariasi dan biasanya dipengaruhi oleh
faktor harian maupun musiman.Kondisi lingkungan yang beragam dan berbeda
dapat dilihat dari perbedaan (gradient) yang secara fisik mempengaruhi
terbentuknya tipe atau karakteristik komunitas biota serta habitatnya. Sejumlah
besar gradien ekologi dapat terlihat pada wilayah intertidal yang dapat berupa
daerah pantai berpasir,berbatu maupun estuari dengan substrat berlumpur.
Perbedaan pada seluruh tipe pantai ini dapat dipahami melalui parameter fisika dan
biologi lingkungan yang dipusatkan pada perubahan utamanya serta hubungan
antara komponen biotik (parameter fisika-kimia lingkungan) dan komponen abiotik
(seluruh komponen makhluk atau organisme) yang berasosiasi di dalamnya.

D. Pasang surut (Tide)

Faktor pasang surut merupakan peristiwa naik turunnya permukaan laut


secara periodik selama suatu interval waktu.Proses terjadinya pasang surut ini
karena adanya interaksi gaya gravitasi matahari dan bulan terhadap bumi serta gaya
sentrifugal yang ditimbulkan oleh rotasi bumi dan sistem bulan.Umumnya pasang
surut mempengaruhi organisme dan juga komnitas di zona ini karena adanya kontak
langsung dengan udara terbuka secara periodik.

Peristiwa pasang-surut (tide) dibagi menjadi 2 bagian yaitu:

1. Pasang Purnama, merupakan pasang yang menunjukkan kisaran terbesar


(baik naik maupun turun) dan terjadi ketika bulan dan matahari terletak
sejajar sehingga kedua gayanya bergabung
2. Pasang Perbani ,merupakan pasang yang terjadi apabila matahari dan bulan
membentuk sudut siku-siku dan gayanya saling menetralkan.

Peristiwa pasang surut tentu berkaitan dengan waktu. Hubungan pasang


surut dengan waktu akan menimbulkan suatu fenomena terhadap zona intertidal.
Biota yang terdapat di zona intertidal yang terkena udara dalam waktu yang lama
maka akan semakin besar kemungkinannya mengalami suhu letal(mematikan) atau
kehilangan air.
Pasang surut dapat terjadi sekali sehari atau sering juga disebut pasang
surut diurnal,atau dua kali sehari atau disebut juga pasang surut semi diurnal. Dan
ada juga yang berperilaku diantara keduanya disebut dengan pasang surut
campuran.Kombinasi antara pasang surut dan waktu dapat menimbulkan 2 akibat
langsung yang nyata pada kehadiran dan organisasi komunitas intertidal. Akibat
pertama yang timbul disebabkan oleh perbedaan waktu relatif antara lamanya suatu
daerah tertentu di intertidal berada di udara terbuka dengan lamanya terendam air.
Lamanya terkena udara terbuka merupakan hal yang paling penting karena pada
saat itulah organisme laut akan berada dalam kisaran suhu terbesar dan
kemungkinan mengalami kekeringan (kehilangan air).

E. Suhu

Semakin dalam suatu perairan maka suhunya akan semakin dingin dengan
kandungan oksigen yang sedikit,sedangkan perairan yang berada dipermukaan
mengalami suhu yang tinggi dan juga kandungan oksigen yang tinggi.Hal ini
dipengaruhi oleh jumlah sinar matahari yang masuk ke perairan.Pada daerah
intertidal suhu juga sangat berpengaruh baik secara musiman maupun harian.Pada
suhu yang tinggi pada daerah intertidal tentu akan meyebakan kematian terhadap
organismenya karena adanya perbedaan suhu tersebut.

Suhu pada suatu perairan dipengaruhi oleh radiasi surya,posisi


surya,letak geografis, musiman, kondisi awan dan proses anatara air tawar dan air
laut.

F. Salinitas

Salinitas adalah jumlah kandungan garam dalam suatu perairan yang


dinyatakan dalam permil.Pada air laut salinitas yang dikandung tentu akan sangat
berbeda dengan air tawar dan payau.Perbedaan salinitas pada perairan ini tentu
memiliki perbedaan biota baik dalam sistem osmoregulasinya,cara beruaya dan
lain-lain.Salinitas yang terkandung pada perairan dipengaruhi oleh adanya faktor
lingkungan seperti muara sungai atau gurun pasir,adanya musim,dan interaksi air
dan udara.Salinitas yang berbeda antara perairan tawar.payau dan laut akan
mengalami perubahan salinitas.

Perubahan salinitas terjadi melaui 2 cara, yaitu:

Salinitas akan menurun apabila zona intertidal terbuka pada saat pasang turun dan
kemudian digenagi air akibat hujan lebat. Daerah yang menampung air ketika
pasang surut turun dapat digenangi oleh oleh air tawar yang mengalir masuk ketika
hujan deras sehingga salinitas menurun atau kenaikan salinitasa dapat dilihat
apabila proses penguapan terjadi.

G. Gerakan Ombak

Di zona intertidal, gerakan ombak (gelombang) air laut mempunyai


pengaruh besar terhadap kehidupan organisme dibandingkan dengan daerah-daerah
laut lainnya. Pengaruh ini terlihat nyata baik secara langsung maupun tidak
langsung.Pengaruh gelombang terhadap zona intertidal berupa,pengaruh mekanik
yang dapat menghancurkan dan menghanyutkan benda yang terkena,sehingga
organisme yang mendiami zona ini harus mampu beradaptasi dengan kondisi
tersebut.Di samping itu,gelombang kuat dapat menjadi pembatas bagi sebagian
organisme. Akan tetapi ada pula sebagian organisme lain yang hanya cocok di
daerah dengan ombak yang kuat. Pengaruh lain dari gelombang yakni mencampur
dan mengaduk gas-gas di atmosfer sehingga meningkatkan kadar oksigen di dalam
air.

H. Faktor Lain

Adanya substrat yang berbeda-bed yaitu pasir, batu, dan


lumpurmenyebabkan perbedaan fauna dan struktur komunitas di daerah intertidal.
Hal ini dibicarakan secara terpisah. Tampaknya oksigen bukan merupan faktor
pembatas kecuali pada keadaan tertentu. Nutrient dan pH juga tidak penting bagi
organism dan struktur komunitas.
I. Biota pada zona intertidal

Menurut Prajitno (2009), biota pada ekosistem pantai berbatu adalah salah
satu daerah ekologi yang paling familiar, habitat dan interaksinya sudah diketahui
oleh ilmuan, penelitian diadakan di pulau cruger yang pantai utaranya merupakan
(freshwater) air tawar dan berbatu. Fauna pada pantai berbatu pulau cruger
berkarakteristik dominan pada binatang air tawar. Sebagian besar berupa Dipterans,
Nematodes, Microannelida, Gastropoda,Bivalves dan Flatworms secara
keseluruhan, macroinvertebrate yang ada di pantai ini berasal dari golongan
Tubellaria, Nematoda, Oligochaeta, Gastropoda, Dreissna, Acari, Amphipoda,
Ephemeroptera, Trichoptera, coteoptera, Ceratopogonidae, Chironomidae.
Menurut Nybakken (1988) di lingkungan laut khususnya diintertidal.
Spesies yang berumur panjang cenderung terdiri dari berbagai hewan inverbrata.
Pantai yang terdiri dari batu-batuan (rocky shore) merupakan tempat yang sangat
baik nagi hewan-hewan atau tumbuhan-tumbuhan yang dapat menempelkan diri
pada lapisan ini. Golongan ini termasuk banyak jenis gastropoda, moluska dan
tumbuh-tumbuhan yang berukuran besar (Hutabarat, 2008).

J. Pola adaptasi organism intertidal


Karena organisme intertidal umumnya berasal dari laut, maka adaptasi yang
diteliti terutama harus menyangkut penghindaran atau pengurangan tekanan yang
timbul karena keadaan yang terbuka setiap hari pada lingkungan daratan. Tekanan
yang utama dari lingkungan laut adalah ombak.

1. Daya tahan terhadap kehilangan air

Mekanisme yang sedehana untuk menghindari kehilangan air terlihat pada


hewan-hewan yang bergerak, misalnya kepiting. Hewan ini dengan mudah
berpindah dari daerah permukaan yang terbuka di intertidal ke dalam lubang-
lubang, celah atau galian yang sangat basah sehingga kehilangan air dapat diatasi.
Hewan ini menghindarai kondisi lingkungan pantai yang kurang baik dengan aktif
memilih mikrohabitat yang baik. Situasi yang serupa terjadi pada beberapa spesies
anemon seperti Anthopleura xanthigrammica di pesisir Pasifik Amerika Utara.
Tubuhnya lunak tanpa sistem pencegah kehilangan air. Akan tetapi spesies ini
biasanya ditemukan di antara teritip atau di dalam celah dimana kehilangan air
dapat dikurangi sehingga adaptasi fisiologis tidak dibutuhkan.
Mekanisme sederhana lainnya terdapat pada beberapa genera alga intertidal
bagian atas yaittu Porphyra, Fucus, Enteromorpha. Tumbuhan ini tidak dapat
bergerak dan tidak memiliki mekanisme untuk menghindari kehilangan air. Mereka
beradaptasi untuk mengatasi kehilangan air yang besar hanya dengan jaringannya.
Berlawanan dengan di atas, banyak spesies-spesies hewan intertidal
mempunyai mekanisme untuk mencegah kehilangan air. Mekanisme ini dapat
terjadi baik secara struktural, tingkah laku, maupun kedua-duanya. Banyak spesies
teritip merupakan spesies yang utama di zona intertidal di seluruh dunia. Hewan ini
sesil dan kehilangan air dapat dihindari dengan merapatkan cangkangnya pada
waktu air surut. Adanya cangkang yang kedap air menyebabkan berkurangnya
kehilangan air akibat penguapan. Limpet dari genus Patella, Acmaea, Collisella
merupakan hewan yang dominan di daerah intertidal berbatu. Spesies limpet
tertentu mempunyai “goresan rumah” (home scar) dimana cangkang dapat dengan
pas menempatinya. Pada waktu pasang turun, mereka kembali ke “rumahnya” dan
dengan menempati lubang tersebut kehilangan air dapat dicegah. Limpet lainnya
yang tidak mempunyai goresan, menempel rapat pada batu-batu sehingga tidak ada
satu jaringan pun yang terbuka kecuali cangkang. Gastropoda lainnya seperti siput
(Littorina) mempunyai operkula yang menutup celah cangkang. Ketika pasang
turun mereka masuk ke dalam cangkang, lalu menutup celah menggunakan
operkulum sehingga kehilangan air dapat dikurangi. Beberapa Bivalvia seperti
Mytilus edulis dapat hidup di daerah intertidal karena memiliki kemampuan
menutup rapat valvanya untuk mencegah kehilangan air. Organisme lain seperti
anemon Actinia dan hidroid Clava squamata menghasilkan lendir (mucus) untuk
mencegah kehilangan air. Penghuni-penghuni pasir atau lumpur biasanya hanya
mengubur diri ke dalam substrat untuk mencegah kekeringan.

2. Pemeliharaan keseimbangan panas


Walaupun kematian akibat kedinginan ditemukan juga pada beberapa
organisme intertidal, namun suhu rendah yang ekstrem nampaknya tidak begitu
menjadi masalah bagi organisme pantai dibandingkan suhu yang tinggi. Hal ini
berdasarkan kenyataan bahwa organisme-organisme tersebut hidup lebih dekat
dengan suhu letal atasnya daripada suhu letal bawahnya. Jadi mekanism
ekeseimbangan panas hampir seluruhnya berkenaan dengan cara mengatasi suhu
yang terlalu tinggi. Hal ini dapat diatasi dengan pengurangan panas yang berasal
dari lingkungan dan menngkatkan kehilangan panas dari tubuh hewan. Panas yang
didapat dari lingkungan dapat dikurangi dengan beberapa cara. Cara pertama adalah
dengan memperbesar ukuran tubuh relatif bila dibandingkan spesies yang sama
baik di intertidal maupun di subtidal. Dengan memperbesar ukuran tubuh berarti
perbandingan antara luas permukaan dengan volume tubuh menjadi lebih kecil
sehingga luas daerah tubuh yang mengalami peningkatan suhu menjadi lebih kecil.
Pada keadaan yang sama, tubuh yang lbih besar memerlukan waktu yang lebih lama
untuk bertambah panas dibandingkan dengan tubuh yang lebih kecil. Moluska
gastropoda seperti Littorina littorea dan Olivella biplicata dengan ukuran tubuh
besar banyak terdapat di daerah intertidal. Mekanisme lain untuk mengurangi panas
adalah dengan cara mengurangi kontak antara jaringan tubuh dengan substrat.

3. Tekanan mekanik

Gerakan ombak mencapai puncaknya di zona intertidal. Karena itu, setiap


organisme yang hidup di daerah ini perlu beradaptasi untuk mempertahankan diri
dari pengaruh pukulan ombak. Gerakan ombak mempunyai pengaruh yang berbeda
pada pantai berbatu, dan pada pantai berpasir, sehingga membutuhkan adaptasi
yang berbeda pula. Untuk mempertahankan posisi menghadapi gerakan ombak,
organisme intertidal telah membentuk beberapa adaptasi. Salah satu diantaranya
yang ditemukan pada teritip, tiram, dan cacing polikaeta serpulida, adalah dengan
melekat kuat pada substrat. Sedangkan alga di daerah intertidal menyatukan dirinya
pada dasar perairan melalui sebuah alat pelekat.
Organisme lain juga membuat alat pelekat yang kuat tetapi tidak permanen,
sehingga membatasi pergerakan. Sebagai contoh adalah benang bisal pada Mytilus
yang dapat menambatkan hewan tersebut dengan kokoh tetapi tetap dapat putus dan
dapat dibuat kembali sehingga membatasi gerakan yang lambat.
Moluska intertidal yang dominan seperti beberapa maacam limpet dan
kiton, mempertahankan diri dari gerakan ombak dengan kaki yang kuat dan besar
yang diletakkan pada substrat. Organisme motil seperti kepiting tidak mempunyai
mekanisme struktural untuk mempertahankan diri dari sapuan ombak dan mereka
dapat terus hidup hanya dengan berlindung pada celah batu atau dibawah batu.
Hampir semua moluska intertidal beradaptasi terhadap serangan ombak dengan jlan
mempertebal cangkang, lebih tebal dibandingkan dengan individu yang sama yang
terdapat di daerah subtidal dan mengurangi ukuran tubuh yang amat mudah pecah
bila terpukul ombak.

4. Pernapasan

Karena hewan-hewan penghuni zona intertidal merupakan hewan laut,


maka mereka mempunyai tonjolan organ pernapasan yang mampu mengambil
oksigen dari air. Biasanya tonjolan itu tipis dan merupakan perluasan dari
permukaan tubuh. Organ-organ pernapasan ini amat peka terhadap kekeringan di
udara dan tidak akan berfungsi kecuali jika dicelupkan ke dalam air. Organ seperti
ini tidak diperlukan di daerah intertidal. Di antara hewan intertidal, terdapat
kecenderungan untuk memasukkan organ pernapasan ini ke dalam rongga
perlindungan untuk mencegah kekeringan. Hal ini dapat terlihat jelas pada berbagai
moluska dimana insangnya terdapat dalam rongga mantel yang dilindungi oleh
cangkang. Keadaan yang sama dijumpai pada teritip dimana jaringan mantel
bertindak sebagai organ pernapasan. Hewan-hewan dengan organ pernapasan yang
terlindung juga harus mempertahankan air pada waktu pasang turun, karena itu
mereka sering menutup operkulum atau mengaitkan diri (kiton, limpet), dengan
demikian pertukaran gas berkurang. Jadi, untuk mempertahankan oksigen dan air
ketika pasang turun, banyak hewan yang berdiam diri.
5. Cara Makan

Pada waktu makan, seluruh hewan intertidal harus mengeluarkan bagian-


bagian berdaging dari tubuhnya. Hal ini berarti bahwa bagian-bagian yang terbuka
ini harus tahan terhadap kekeringan. Karena itu, seluruh hewan intertidal hanya
aktif jika pasang naik dan tubuhnya terendam air. Hal ini berlaku bagi seluruh
hewan baik pemakan tumbuhan, pemakan bahan-bahan tersaring, pemakan detritus,
maupun predator.

6. Tekanan salinitas

Zona intertidal juga mendapat limpahan air tawar, yang dapat menimbulkan
masalah tekanan osmotik bagi organisme intertidal yang hanya dapat menyesuaikan
diri dengan air laut. Karena hampir semua organisme intertidal tidak
memperlihatkan adaptasi daya tahan terhadap perubahan salinitas, tidak seperti
organisme estuaria. Kebanyakan tidak mempunyai mekanisme untuk mengontrol
kadar garam cairan tubuhnya dan karena itu disebut osmokonformer. Adaptasi satu-
satunya sama dengan adaptasi untuk melindungi tubuh dari kekeringan, misalnya
untuk teritip dan moluska adalah dengan menutup valva atau cangkang. Keadaan
ini mungkin yang menyebabkan mortalitas katastrofik pada organisme intertidal
jika terjadi hujan deras atau aliran air tawar. Tetapi nampaknya keadaan ini amat
jarang terjadi sehingga mekanisme khusu tidak terlalu dibutuhkan.

7. Reproduksi

Kebanyakan organisme intertidal hidup menetap atau bahkan melekat,


sehingga dalam penyebarannya mereka menghsailkan telur atau larva yang
terapung bebas sebagai plankton. Adaptasi reproduksi kedua yang diakibatkan oleh
posisi intertidal adalah bahwa hampir semua organisme mempunyai daur
perkembangbiakan yang seirama dengan munculnya arus pasang surut tertentu,
seperti misalnya pada waktu pasang purnama. Contohnya Mytilus edulis, gonad
menjadi dewasa selama pasang purnama dan pemijahannya berlangsung ketika
pasang perbani. Pada Littorina neritoides, telurnya diletakkan pada saat pasang
purnama.
E. Ikan-ikan intertidal

Hampir semua ikan intertidal berukuran kecil, karena keadaan linhkungan


yang bergolak. Bentuk tubuh biasanya pipih dan memanjang (Bleniidae, Pholidae)
atau gepeng (Cottidae, Cobiesocidae), yang memungkinkan mereka tinggal di
lubang, saluran, celah, atau lekukan untuk berlindung dari kekeringan dan gerakan
ombak. Sebagian besar mempunyai gelembung renang dan sangat berasosiasi
dengan substrat. Banyak dari ikan ini yang beradaptasi untuk menahan kisaran
salinitas dan suhu yang besar dibandingkan dengan familinya yang berada di daerah
subtidal. Beberapa dari mereka beradaptasi dengan cara berada di luar air untuk
beberapa saat lamanya. Banyak ikan intertidal di zona beriklim sedang yang
merupakan karnivora dan menunjukkan peranan yang potensial dalam organisasi
komunitas intertidal.
Pola daur hidup dari beberapa spesies yang diamati umumnya sama. Telur-
telurnya demersal dan diletakkan pada batu, karang, atau tumbuhan yang
tenggelam. Sering telur-telur tersebut dijaga oleh ikan jantan. Telur menetas setelah
beberapa minggu menjadi larva planktonik. Periode plankton bervariasi, lamanya
bergantung pada spesiesnya. Dapat berlangsung selama dua bulan,. Selama periode
ini, secara bertahap larva membentuk ciri-ciri ikan dewasa, dan akhirnya menjadi
bentik. Jangka waktu hidup dalam fase dewasa umumnya pendek, berkisar antara 2
sampai 10 tahun dan dewasa kelamin terjadi pada tahun pertama atau kedua.
Beberapa ikan intertidal mengadakan migrasi, bergerak mengikuti pasang surut
harian atau musiman.
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Zona intertidal merupakan zona yang dipengaruhi oleh pasang durut air
laut dengan luas area yang sempitantara daerah pasang tertinggi dengan surut
terendah. Zona intertidal juga merupakan daerah laut yang dipengaruhi oleh daratan
sehingga mengandung unsur hara yang tinggi. Zona intertidal ini lebih banyak
dikenal manusia dan juga mudah dicapai. Pada zona intertidal terdapat keragaman
organisme. Hal ini dipengaruhi adanya faktor lingkungan dan suhu yang beragam.
Kondisi lingkungan yang beragam dan berbeda dapat dilihat dari berbedaan yang
secara fisik mempengaruhi terbentuknya tipe atau karakteristik komunitas biota
serta habitatnya. Berdasarkan adanya zonasiyang berbeda, maka adanya beberapa
jenis pantai di zona intertidal. Jenis pantai meliputi pantai berbatu, pantai
berlumpur, dan pantai berpasir. Perbedaan zonasi meliputi faktor fisik dan faktor
biologis. Cara adaptasi biota di pantai berbatu, berlumpur dan berpasir memiliki
perbedaan masing-masing. Dimana pada pantai berbatu jenis biota yang ditemukan
adalah hewan intervebrata dan alga yang cenderung berumur pendek. Sedangkan
pada pantai berpasir kebanyakan biota melakukan adaptasinya dengan
menguburkan diri kedalam yang tidak dapat dilewati oleh gelombang (contohnya:
kerang) dan untuk pantai berlumpur adaptasi yang dilakukan dengan menggali
substrat atau membentuk saluran permanen.

3.2 SARAN

Setelah mengetahui dari berbagai penjelasan yang telah di paparkan di atas


maka kita telah mengetahui banyak hal tentang Zona intertidal dan dinamikanya,
serta manfaatnya dalam kehidupan. Untuk itu kita perlu memanfaatkannya dengan
baik.
DAFTAR PUSTAKA

Bengen, D.G. 2002. Sinopsis Ekosistem Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta
Prinsip Pengelolaannya. IPB. Bogor
Hutabarat,s dan Steward,M.E.2008. Pengantar oseanografi. Universistas
Indonesia. Jakarta.
Nybakken,J.W.1988. Biologi Laut . PT Gramedia . Jakarta.
Prajitno.A.2009. Biologi Laut. Universitas Brawijaya. Malang.
Nybakken, James W.1992.Biologi laut suatu pendekatan ekologis.Gramedia
Pustaka Utama:Jakarta

Anda mungkin juga menyukai