Anda di halaman 1dari 7

Tugas Kelompok

Fisiologi Biota Laut

ADAPTASI ORGANISME DI ZONA INTERTIDAL

KELOMPOK 1: ZONA INTERTIDAL

KELAS: FISIOLOGI BIOTA LAUT A

OLEH:

1. ARDI (L011191085)
2. ALVA ALVI NU’MAA HARTONO (L011201032)
3. MUHAMMAD LUTFI MARADHY (L011201005)
4. NUR AIMMATUNNISA H. MUSTAMIN (L011201054)
5. ALPIN PARUBAK SIAMPA (L011201078)

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN


FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
PEMBAHASAN

A. Zona Intertidal

Zona intertidal merupakan daerah laut yang dipengaruhi oleh daratan yang mana secara
spesifik berada di daerah pantai yang terletak antara pasang tinggi dan surut terendah, daerah ini
mewakili peralihan dari kondisi lautan ke kondisi daratan. Zona ini memiliki faktor fisik maupun
faktor kimia yang mendukung semua organisme di dalamnya untuk dapat tumbuh dan berkembang
dengan baik (Katili, 2011). Zona intertidal (pasang surut) berada pada daerah tersempit dari semua
daerah yang terdapat di samudera dunia, yang hanya beberapa meter terletak di antara air pasang
dan air surut. Walaupun luas daerah ini sangat terbatas, tetapi memiliki variasi faktor lingkungan
yang terbesar dibandingkan dengan daerah lautan lainnya. Pada daerah ini terdapat beragam
kehidupan yang lebih besar daripada yang terdapat di daerah subtidal yang lebih luas. Zona
intertidal umumnya dibedakan menjadi tiga tipe pantai, yaitu pantai berkarang, pantai berpasir dan
pantai berlumpur. Pantai berkarang merupakan daerah yang paling banyak dihuni oleh organisme
dan mempunyai keanekaragaman yang besar baik untuk hewan maupun tumbuhan (Nontji, 1993).

Zona intertidal sangat dipengaruhi oleh pasang dan surut air laut, hal ini dikarenakan pasang
surut merupakan gerakan naik turunnya muka laut secara berirama yang disebabkan oleh adanya
gaya tarik antara bulan dan matahari. Pasang surut atau yang biasanya disingkat pasut merupakan
gejala alam yang selalu nyata terlihat di laut berupa suatu gerakan vertikal dari seluruh partikel
massa air laut di permukaan sampai bagian dalam dari dasar laut yang disebabkan oleh pengaruh
gaya tarik bumi dengan matahari dan bulan. Gaya gravitasi bumi dan bulan jauh lebih besar jika
dibandingkan dengan gaya gravitasi antara bumi dan matahari walaupun ukuran matahari jauh lebih
besar daripada bulan. Hal ini disebabkan karena jarak bulan yang lebih dekat dengan bumi
dibandingkan dengan jarak bumi dengan matahari akibatnya gaya tarik antara bumi dan bulan
sebesar 54 % sedangkan gaya tarik antara bumi dan matahari hanya sebesar 46% akibatnya
fenomena pasang surut di bumi lebih dipengaruhi oleh gaya tarik bulan, dan mengakibatkan daerah
pesisir atau zona intertidal mengalami dua kali pasang dan dua kali surut. Fenomena pasang surut ini
akan berberbeda pada setiap daerah atau setiap belahan bumi (Luhulima, 2014).

Suhu di daerah intertidal biasanya mempunyai kisaran yang berbeda secara harian maupun
musiman. Jika laut surut maka zona intertidal akan berada dalam keadaan udara terbuka yang secara
langsung akan menerima cahaya matahari, ketika keadaan ini terjadi maka organisme-organisme
pada ekosistem zona intertidal akan berada pada kisaran suhu yang maksimum. Meningkatnya suhu
akan menyebabkan terjadinya penguapan sehingga mengakibatkan kekeringan atau kehilangan air.
Hal ini membuat organisme-organisme menjadi lemah sehingga tidak dapat melakukan aktifitas
metabolismenya. Suhu yang sangat ekstrim akan berperan secara tidak langsung menyebabkan
kematian organisme karena kekurangan atau bahkan kehabisan air (Luhulima, 2014).

Selain itu, ombak juga mempengaruhi kondisi lingkungan di zona intertidal. Gerakan ombak di
daerah intertidal memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap organisme dan komunitas
dibanding dengan daerah lautan lainnya. Pengaruh ombak dapat terjadi secara langsung maupun
tidak (Luhulima, 2014).

a. Pengaruh Langsung
Secara mekanik ombak dapat menghancurkan dan menghanyutkan benda yang terkena. Pada
pantai berpasir dan berlumpur kegiatan ombak dapat membongkar substrat sehingga
mempengaruhi bentuk zona. Terpaan ombak dapat menjadi pembatas bagi organisme yang tidak
dapat menahan terpaan tersebut.
Selain itu, ombak dapat membentuk batas zona intertidal lebih luas, akibatnya organisme laut
dapat hidup di daerah air yang lebih tinggi di daerah yang terkena terpaan ombak dari pada di
daerah tenang pada kisaran pasang-surut yang sama.
b. Pengaruh Tidak Langsung
Kegiatan ombak dapat mengaduk gas-gas atmosfer ke dalam air, sehingga meningkatkan
kandungan oksigen. Karena interaksi dengan atmosfer terjadi secara teratur dan terjadi
pembentukan gelembung serta pengadukan substrat, maka penetrasi cahaya di daerah yang diterpa
ombak dapat berkurang.
Perubahan salinitas di daerah intertidal juga mempengaruhi kondisi lingkungan di zona
intertidal. Salinitas dapat melalui dua cara (Luhulima, 2014):
a. Zona intertidal terbuka pada saat surut, dan kalau hal ini terjadi pada saat hujan lebat maka
salinitas akan turun. Apabila penurunan ini melewati batas toleransi bagi organisme (sebagian
besar organisme intertidal stenohalin dan osmokonformer) maka organisme dapat mati.
b. Pada daerah intertidal pantai berbatu yang memiliki banyak cekungan, daerah ini dapat
digenangi air tawar yang masuk ketika hujan deras sehingga menurunkan salinitas, atau
memperlihatkan kenaikan salinitas jika terjadi penguapan sangat tinggi pada siang hari.
Terakhir, substrat dasar zona intertidal juga mempengaruhi kondisi lingkungan di zona
intertidal yang mana memiliki variasi yang berbeda dan dapat berupa pasir, lumpur maupun
berbatu. Substrat dasar ini menyebabkan perbedaan struktur komunitas flora dan fauna yang
berbeda (Luhulima, 2014).

B. Faktor-Faktor Distribusi pada Zona Intertidal


Ada berbagai faktor yang menyebabkan adanya berbagai macam distribusi pada daerah
intertidal. Pada dasarnya faktor tersebut dibagi menjadi dua bagian besar yang saling terkait yaitu
(Nugreho, 2012):
1. Faktor Fisika
Faktor ini merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada ekosistem intertidal. Akibat adanya
pasang surut maka menyebabkan faktor pembatas pada daerah ini menjadi lebih ekstrim. Faktor
pembatas tersebut yaitu kekeringan, suhu, dan sinar matahari ketiga faktor tersbeut saling terkait.
Jika laut surut maka daerah intertidal terekspose oleh sinar matahari, akibatnya suhu meningkat.
Suhu yang meningkat menyebabkan penguapan dan dampaknya daerah menjadi kering.
2. Faktor biologis
Faktor ini sangat tergantung dari faktor fisik perairan. Organisme berusaha untuk menyesuaikan
diri pada keadaan yang sangat ekstrim tersebut. Ada berbagai macam cara organisme menyesuaikan
diri salah satunya dengan mengubur diri atau memodifikasi bentuk cangkang agar dapat hidup pada
derah yang kering.
C. Organisme di Zona Intertidal
Hanya organisme yang memiliki kemampuan adaptasi khusus terhadap tekanan akibat
perubahan fisik dan kimia yang terjadi pada lingkungan intertidal ini yang dapat hidup pada daerah
ini. Biota yang hidup di daerah intertidal memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi jika
dibandingkan dengan daerah subtidal (daerah laut) kerana letaknya yang berdekatan dengan pantai,
yang landai, dengan substrat yang beraneka ragam menyebabkan biota yang hidup didalamnya pun
sangat beraneka ragam (Luhulima, 2014). Beragamnya ekosistem yang terdapat pada wilayah pesisir
atau zona intertidal ini secara fungsional saling berkaitan dan berinteraksi satu sama lain sehingga
membentuk suatu sistem ekologi yang unik. Struktur kehidupan di ekosistem intertidal terdiri dari
komunitas utama dan biota berasosiasi. Komunitas utama intertidal terdiri dari karang, lamun, alga,
dan fauna lainnya, sedangkan biota intertidal yang berasosiasi dengan habitat pasang surut terdiri
dari kelompok moluska, echinodermata, krustase, cacing, dan ikan (Yulianda et al, 2012).
Beragam oraganisme yang ditemukan hidup pada zona intertidal (Luhulima, 2014):
1. Intertidal Berbatu
Naik turunnya permukaan laut yang disebabkan oleh pasang dan surut menciptakan
lingkungan yang sangat menekan atau stress (stressfuk evironments) bagi organisme laut intertidal.
Ketika terjadinya keadaan perairan surut maka kita akan banyak menjumpai kehidupan zontai
intertidal pantai berbatu yang kering dengan beberapa oraganisme bertahan pada kolam kolam air
yang tertinggal bahkan cela-cela batu untuk menghindari kekurangan air. Keadaan ini menjelaskan
bahwa sekalipun keadaan surut namun beberapa organisme memanfaatkan lubang-lubang atau
cela-cela batu besar yang masih terdapat air laut untuk menopang kelangsungan kehidupan mereka.
Pantai berbatu memiliki substrat yang stabil dan permanen, sehingga merupakan permukaan yang
aman bagi kehidupan berbagai organisme, seperti algae, molusca, dan crustasea. Pada umunya
pantai yang berkarang memiliki oraganisme beragam dan berada dalam jumlah yang tinggi
dikarenakan keadaan air yang selalu mengandung oksigen serta terdapat beraneka tumbuhan yang
hidup sehingga dapat menyuplai makanan terus-menerus dari kolam-kolam kecil. Salah satunya
adalah Echinodermata hewan kulit berduri ini memiliki kemampuan autonomi serta regenerasi
bagian tubuh yang hilang, putus, atau rusak. Echinodermata juga merupakan salah satu hewan yang
sangat penting dalam ekosistem karena bermanfaat sebagai salah satu komponen dalam rantai
makanan pemakan sampah organik dan hewan kecil lainnya. Habitat Echinodermata dapat ditemui
pada hampir semua ekosistem laut namun ekosistem yang tertinggi terdapat pada terumbu karang
di zona intertidal, hal ini dipengaruhi oleh faktor fisik kimia pada masing-masing daerah. Untuk
organisme Bivalvia mereka mempunyai adaptasi khusus ketika terjadi perubahan suhu. Ketika
perubahan suhu maka bilvalvia akan meningkatkan filtrasi untuk mengantisipasi keadaan yang
kurang menguntungkan baginya. Dari semua pantai intertidal, pantai berbatu yang tersusun dari
bahan keras merupakan daerah paling padat mikroorganismenya dan mempunyai keanekargaman
terbesar baik untuk spesies hewan maupun tumbuhan.
2. Pantai Berpasir
Pantai berpasir pada umumnya banyak dimanfaatkan oleh manusia sebagai tempat rekreasi
dan tidak banyak organisme yang dapat ditemukan pada pantai berpasir, hal ini dikarenakan
substrat jenis sediment berpasir tidak terkkandung banyak nutrient atau miskin nutrien, memang
pada pantai berpasir ini kaya akan oksigen akan tetapi dengan miskinnya nutrient maka kehidupan
yang tercipta pada pantai berpasir ini sangat kecil atau sedikit hal ini berbeda jika dibandingkan
dengan substrat yang halus. Oksigen pada substtrat halus memang terbatas saja akan tetapi nutrient
dapat ditemukan dalam jumlah yang sangat melimpah. Adaptasi organisme pantai berpasir
dilakukan dengan dua cara yang pertama adalah menggali atau melubangi substrat yang cukup
dalam, biasanya dilakukan oleh kerang Tivela stultorum, beberapa jenis hewan bercangkang juga
mengembangkan cangkang yang berat agar tetap berada didalam substrat. Yang kedua adalah
kemampuan menggali substrat dengan sangat cepat setelah gelombang atau ombak datang dan
memindahkan hewan- hewan tertentu dari substratnya seperti cacing anelida, kerang kecil, kepeting
kecil, dan crustaceae ketika hempasan gelombang selesai maka oraganisme-organisme ini akan
menggali kembali substratnya dengan cepat untuk kemudian berlindung didalamnya.
3. Pasir Berlumpur
Pantai lumpur merupakan pantai dengan tipe ukuran butiran yang sangat halus diameter
ukurannya kurang dari 0.002 mm. Umumnya organisme yang yang dapat ditemukan hidup pada
pantai berlumpur ini adalah bakteri, cacing, gastropoda, udang, dan kepiting. Hewan-hewan ini
mampu mentolerasi kondisi anaerobik mereka melakukannya dengan memasukan oksigen kedalam
substrat yang telah dibuat dengan cara ini sekalipun mereka hidup dalam substrat berlumpur
mereka akan tetap mendapatkan oksigen.

D. Adaptasi Organisme di Zona Intertidal


1. Daya tahan terhadap kehilangan air
Organisme yang hidup di daerah intertidal harus memiliki kemampuan untuk menyesuaikan
diri terhadap kehilangan air yang cukup besar selama berada di udara terbuka. Mekanisme
sederhana ditunjukkan oleh hewan-hewan yang bergerak, seperti kepiting, anemon, Citon, dll.
Hewan ini akan dengan mudah berpindah dari daerah terbuka di intertidal kedalam lubang, celah
atau galian yang basah atau bersembunyi dibawah algae sehingga kehilangan air dapat dihindari.
Secara aktif organisme ini mencari mikrohabitat yang ideal. Untuk organisme yang tidak memiliki
kemampuan untuk aktif berpindah tempat seperti genera algae maupun beberapa genera bivalvia
mereka beradaptasi untuk mengatasi kehilangan air yang besar hanya dengan struktur jaringan
tubuhnya. Genera Porphyra, Fucus dan Enteromorpha misalnya sering dijumpai dalam keadaan kisut
dan kering setelah lama berada di udara terbuka, tetapi jika air laut pasang kembali mereka akan
cepat menyerap air dan kembali menjalankan proses hidup seperti biasa.
Mekanisme lain organisme intertidal untuk beradaptasi terhadap kehilangan air adalah
melalui adaptasi struktural, tingkah laku maupun keduanya. Beberapa species dari teritip,
gastropoda (Littorina) dan bivalvia (Mytilus edulis) memiliki kemampuan untuk menghindari
kehilangan air dengan cara merapatkan cangkangnya atau memiliki operkula yang dapat menutup
rapat celah cangkang.

2. Keseimbangan Panas
Organisme intertidal memiliki keterbukaan terhadap perubahan suhu yang ekstrem dan
memperlihatkan adaptasi tingkah laku dan struktural tubuh untuk menjaga keseimbangan panas
internal. Di daerah tropis organisme cenderung hidup pada kisaran suhu letal atas sehingga
mekanisme keseimbangan panas hampir seluruhnya berkenaan dengan suhu yang terlalu tinggi.
Beberapa bentuk adaptasi antara lain:
a. Memperbesar ukuran tubuh relatif bila dibandingkan dengan species yang sama. Dengan
memperbesar ukuran tubuh berarti perbandingan antara luas permukaan dengan volume
tubuh menjadi lebih kecil sehingga luas daerah tubuh yang mengalami peningkatan suhu
menjadi lebih kecil. Pada keadaan yang sama tubuh yang lebih besar memerlukan waktu lebih
lama untuk bertambah panas dibanding dengan tubuh yang lebih kecil.
b. Memperbanyak ukiran pada cangkang Ukiran-ukiran pada cangkang berfungsi sebagai sirip
radiator sehingga memudahkan hilangnya panas. Contoh Littorina dan Tectarius.
c. Hilangnya panas dapat juga diperbesar melalui pembentukan warna tertentu pada cangkang.
Genera Nerita, dan Littorina memiliki warna lebih terang dibandingkan dengan kerabatnya
yang hidup di daerah lebih bawah (warna gelap akan menyerap panas).
d. Memliki persediaan air tambahan yang disimpan didalam rongga mantel seperti pada teritip
dan limfet yang banyaknya melebihi kebutuhan hidup hewan ini. Persediaan air ini
dipergunakan untuk strategi mendinginkan tubuh melalui penguapan sekaligus
menghindarkan kekeringan.

3. Tekanan Mekanik
Setiap organisme intertidal perlu beradaptasi untuk mempertahankan diri dari pengaruh
ombak. Gerakan ombak mempunyai pengaruh yang berbeda pada pantai berbatu, berpasir dan
berlumpur sehingga memiliki konsekuensi bentuk adaptasi yang berbeda pada organismenya.
Beberapa bentuk adaptasi antara lain:
a. Melekat kuat pada substrat, seperti pada Polichaeta, Teritip, Tiram.
b. Menyatukan dirinya pada dasar perairan melalui sebuah alat pelekan (Algae).
c. Memiliki kaki yang kuat dan kokoh seperti pada Citon dan limfet.
d. Melekat dengan kuat tetapi tidak permanen seperti pada Mytillus melalui bisus yang dapat
putus dan dibentuk kembali.
e. Mempertebal ukuran cangkang, lebih tebal dibandingkan kerabatnya yang hidup di daerah
subtidal.

4. Tekanan Salinitas
Zona intertidal mendapat limpahan air tawar, yang dapat menimbulkan masalah tekanan
osmotik bagi organisme yang hanya dapat hidup pada air laut. Kebanyakan organisme intertidal
bersifat osmokonformer, tidak seperti organisme estuaria. Adaptasi satu-satunya adalah sama
dengan yang dilakukan untuk melindungi tubuh dari kekeringan yaitu dengan menutup
cangkangnya.

5. Reproduksi
Kebanyakan organisme intertidal hidup menetap atau melekat, sehingga dalam
penyebarannya mereka menghasilkan telur atau larva yang bersifat planktonik. Reproduksi dapat
juga terjadi secara periodik mengikuti iramna pasang-surut tertentu, seperti misalnya pada pasang-
purnama. Contoh Mytillus edulis, gonad menjadi dewasa selama pasang purnama dan pemijahan
berlangsung ketika pasang perbani.
Spesies limpet merupakan salah satu yang paling unik. Beberapa Limpet mempunyai goresan
rumah (home scar) dimana cangkangnya dapat dengan pas atau sesuai menempati rumah tersebut.
Pada waktu surut limpet akan kembali ke rumahnya untuk menempati lubang tersebut sehigga
dapat terus hidup dengan cadangan air yang ada pada rumahnya. Sedangkan limpet yang tidak
mempunyai goresan rumah akan menempel rapat pada batu-batu sehingga tidak ada satu
jaringanpun yang terbuka kecuali cangkang. Gastropoda seperti siput (Littorina) mempunyai
opercula yang menutup celah cangkang. Ketika terjadinya surut mereka akan masuk kedalam
cangkangnya kemudian menutup operculum sehingga dapat bertahan dari kekeringan atau
kehilangan air. Beberapa bivalvia seperti Mytilus edulis dapat hidup pada daerah intertidal karena
memiliki kemampuan menutup rapat valvalnya untuk mencegah kehilangan air. Selain itu organisme
lain seperi anemone Acinia dan hydroid Clava aquamata menghasilkan lender atau yang biasanya
dikenal dengan nama mucus untuk mencegah kehilangan air. Organisme yang hidup di pantai
berpasir biasanya adalah organisme yang mempunyai kemampuan lebih baik untuk membuat
lobang, membenamkan diri, dan menempelkan diri dengan gundukan pasir. Hal ini disebabkan oleh
hempasan gelombang yang selalu terjadi dengan secara kontinu dengan waktu tertentu sehingga
oraganisme mempunyai waktu atau kesempatan untuk menyelamatkan diri (Luhulima, 2014).
DAFTAR PUSTAKA

Katili, A. S. 2011. Struktur Komunitas Echinodermata Pada Zona Intertidal di Gorontalo. Jurnal
Penelitian dan Pendidikan. Volume 8 Nomor 1.
Luluhima, Y. 2014. Ekologi Wilayah Intertidal. Thesis. IPB University. Bogor.
Nontji, A., 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Nugreho, S. H. 2012. Morfologipantai, Wnasidanadaptasikomunitas Biotala Utdika Wasanintertidal.
Jurnal Oseana. 37 (3): 11- 21.
Yulianda F, Yusuf MS, Prayogo W. 2013. Zonasi dan Kepadatan Komunitas Intertidal di Daerah
Pasang Surut, Pesisir Batu Hijau, Sumbawa. Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 5 (2): 409-
416.

Anda mungkin juga menyukai