Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH PANTAI BERBATU

MATA KULIAH EKOLOGI PERAIRAN

ALIF MUSALDY

07120200009

JURUSAN BUDIDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU


KELAUTAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA 2021
ROCKY SHORE: ORGANISME DAN ADAPTASINYA. Ada berbagai
jenis
pantai di lingkungan pesisir, salah satunya adalah pantai berbatu.
Ekosistem pantai berbatu adalah ekosistem yang unik karena
keanekaragaman makhluk hidup. Organisme yang hidup di bebatuan
pantai memiliki banyak cara untuk bertahan hidup atau beradaptasi
dalam kondisi ekstrim, seperti kehilangan air, kesetimbangan
termal, stres mekanik, atau stres salinitas. Banyak organisme dapat
bertahan hidup di kondisi ekstrim, melalui adaptasi morfologi,
sistem reproduksi atau kebiasaan makan mereka. Artikel ini
menjelaskan bagaimana organisme tersebut membuat adaptasinya
sendiri di lingkungan pantai berbatu.
PENDAHULUAN

Pantai mempunyai arti yang sangat penting, karena pantai


roerupakan perterouan antara daratan dan lautan, sehingga
mempunyai sifat-sifat yang sangat majemuk. Hal ini terlihat
jelas pada daerab pasang surut (intertidal) dan daerah estuaria.
Perubahan-perubahan sifat lingkungan di daerah pantai terjadi
secara cepat dalam ruang dan waktu (Romimohtarto & Juwana,
1999).

Berdasarkan karakteristik butiran sedimennya, pantai terbagi


atas beberapa tipe, yaitu pantai berbatu, pantai berpasir dan pantai
berlumpur (Nybakken, 1992). Pantai berbatu tersusun dari bahan
yang keras dan merupakan ekosistem yang paling menarik, karena
di dalam ekosistem ini tinggal biota laut yang sangat beragam.
Dibandingkan dengan pantai berpasir dan berlumpur, pantai berbatu
merupakan daerah yang paling padat makroorganismenya dan
mempunyai keragaman jenis bewan dan tumbuhan terbesar. Hal ini
disebabkan karena pantai berbatu mempunyai kandungan oksigen
yang baik, suplai makanan yang cukup dan merupakan tempat
perlindungan bagi organisme yang baik (Reseck, 1980; Nybakken,
1992). Organisme yang ada di pantai berbatu sangat beragam karena
selain menempel pada batuan, organisme juga dapat berlindung di
celah-celah batu ataupun di bawah batuan.

Hewan dan tumbuhan yang hidup di pantai berbatu harus


menghadapi berbagai tekanan yang terjadi di habitatnya yang
ekstrim.Biota di wilayab ini harus beradaptasi pada air pasang
dan terekspos radiasi matahari pada saat pasang surut. Pada
saat terendarn air, organisme harus berdaptasi dengan
kehidupan di bawah air yang dingin dan dinamika airyang tinggi
pada saat ombak datang. Pada saat surut, daerah ini terbuka
sehingga sangat rentan terhadap udara kering dan temperatur
yang tinggi (Anonim, 2012e).

PEMBAGIAN ZONA DI PANTAI BERBATU


Zonasi adalah suatu em khusus dari komunitas pantai
berbatu. Stephenson (daJam Webber & Thurmann, 1991)
membagi pantai berbatu dalam tiga zona berdasarkan distribusi
dan organisme yang tinggaJ di dalamnya, yaitu :

1. Supralittorai fringe
Merupakan zona paling atas atau yang paling dekat
dengan daratan, pada saat pasang akan basah oleh adanya
pasang tertinggi atau karena adanya deburan ombak (Gambar
1). Tumbuhan dan hewan yang hidup di daerah terse but
mempunyai toleransi yang tinggi terhadap perubahan suhu dan
harus mampu bertahan hidup untuk melawan kekeringan dan
dalam terekspos sinar matahari dalam waktu yang panjang
(Anonim, 20120).

Gambar 1. Zonasi yang terjadi di pantai berbatu (Webber & Thurmann, 1991)

Organisme yang paling umum pada zona ini adalah dari


keJompok Gastropoda Marga Littorina (periwinkle) dan isopoda
(Webber & Thurmann, 1991; Anthoni, 2007). Pada saat air
surut, Littorina tahan meneruskan kegiatan makannya sampai
batu-batuan menjadi kering oleb sinar matahari (Gambar 2).
Hewan ini men em pel pada substrat dengan mengeluarkan
lendir dari sekitar kakinya (Lennan,1986)

Gambar 2. Littorina littorea di batuan pada saat surut (Anonim, 2012d)

2. Eulittoral zone
Merupakan zona tengah yang secara periodik mengalami
pasang dan surut, sehingga pada suatu saat akan digenangi
oleh air laut dan pada waktu yang lain terekspose dengan udara
terbuka. Zona tengah ini umumnya didominasi oleh teritip (di
bagian atas), rumput laut (bagian tengab) dan kelompok
kerangkerangan (bagian lebih bawah). Ketiga populasi hewan
tersebut bersaing tempat untuk meoempel pada substrat keras
atau batuao. Kerang dan rumput laut akan mendesak keJuar
teritip, akan tctapi teritip mempunyai kemampuan lebih untuk
tetap bertahan hidup. Kerang dan rumput laut tidak dapat
hidup dalam waktu yang lama apabila berada di luar air, tidak
seperti teritip yang taban hidup di luar air untuk waktu yang
lama.

Hal ini memberikan keuntungan pada teritip. Tiap populasi dari


ketiga populasi tersebut, mempunyai ciri-ciri khusus yang
memungkiokannya bertahan hidup dan menjadi dominan pada
bagian tertentu dari komunitas pantai berbatu (Lerman, 1986).

3. Sublittoral fringe
Merupakan zona paling bawah yaitu daerab yang jarang
sekali terbuka dan mengalami kekeringan hanya beberapa jam
selama surut terrendab. Organisme yang bidup pada zona ini,
urnumnya dilengkapi dengan organ khusus yang dapat
diguoakan untuk menempel pada substrat keras. Beberapa
organisme terbatas hidupnya pada zona ini, karena tidak dapat
bidup lama apabila berada di Iuar air. Dibandingkan dengan
zona yang lebih tinggi, zona ini mempunyai keanekaragaman
organismeyang lebih besar (Lerman, 1986)

Pembagian zona dan distribusi orgaoisme di pantai


berbatu selain berhubungan erat dengan saat pasang naik dan
pasang turun, juga berhubungan dengan aktivitas ombak
(Gambar 3). Pada lokasi yang mengalami gelombang laut yang
besar, ombak mungkin akan membasahi daerah pantai sampai
pada lokasi di atas garis pasang tertinggi (hightide line). Hal
tersebut memungkinkan hanya organisme tertentu yang dapat
bertahan hidup terhadap gempuran ombak.

Gambar 3. Batas-batas organisme pada zona-zona di pantai berbatu yang


dihubungkan dengan kegiatan ombak (Anthoni, 2007).

FAKTOR PENYEBAB ADANYA ZONASI


Pada pantai berbatu, terdapat beberapa faktor yang
menyehabkan terjadinya zonasi. Pada zona paling atas,
terdapat tiga faktor fisik yang
mempeogaruhikehidupanborgaoisme di daerab tersebut, yaitu
kekeringan, suhu yang tinggi dan sinar matahari (Carefoot &
Simpson, 1985). Seeara umum, organisme laut akan
menghadapi masalah apabila beradadalam liogkungan yang
mengalami kekeringan, suhu tinggi dan sinar matahari (Anonim,
20 12b;Anonim, 2012c).
Organisme memiliki adaptasi terhadap suhu yang
absolut, pada panjangnya waktu suatu organisme terekspos
oleh suhu yang ekstrim pada saat terjadi perubahan suhu,
Apabila suhu udara mempunyai kisaran yang melebihi batas
lethal, organisme akan mati karena kepanasan atau kedinginan.
Suhu yang tinggi dapat menyebabkan kekeringan, sebingga
kekeringan dan suhu mempunyai pengaruh secara sinergestik
terhadap organisme. Sehingga, semakin tinggi letak organisme
di daerah pasang surut akan semakin besar mengalami
keterbukaan terhadap sinar matabari. Ketiga faktor tersebut,
yaitu kekeringan, suhu tinggi dan sinar matahari, di daerah
tropis memiliki keterkaitan yang sangat erat. Dengan adanya
sinar matabari menyebabkan suhu di pantai meojadi tinggi, dan
apabila suhu tinggi dalam waktu yang lama akan menyebabkan
kekeringan (Nybakkeo, 1992).

Pada zona lebih rendah, faktor yang lebih berpengaruh


dalam proses terjadinya zonasi adalah adanya persaingan untuk
mendapatkan makanan dan tempat serta predator. Persaingan
untuk mendapatkan tempat ini berlaku untuk bewan ataupun
tumbuhan, apabila ada keterbatasan ruang atau ternpat
maupun sumber makanan. Organisme yang bersifat grazer
(merumputlberbivora) yang dominan di daerah pantai berbatu
adalah limpet, bulu babi dan Littorina dari kelompok
gastropoda. Hewan-hewan terse but akan selalu bersaing untuk
mendapatkan tempat dan makanan, sebingga akan terbentuk
lokasi-lokasi yang didominasi oleh salah satu organisme.
Sedangkan predator memegang peranan penting dalam
menyusun pola zonasi. Predator mempengarubi komunitas
pantai berbatu dalam pengaturan distribusi organisme
danpenyaluran energi dalam rantai makanan.

BENTUK ADAPTASI BIOTA DI


PANTAI BERBATU
Organisme yang sering dijumpai di pantai berbatu antara
lain dari kelompok echinodermata, krustasea, moluska, dan
algae (rumput laut). Echinodermata contohnya adalah
kelompok buJu babi, bintang laut dan bintang menguJar.
Kelompok biota ini umumnya akan berlindung di bawah
bebatuan atau dalam kolom air apabiJa kondisi lingkungannya
terlalu panas atau bersembunyi dari predator (Milner,2012).

Krustasea yang umum ditemukan di daerah pantai


berbatu adalah teritip yang hidupnya menetap (sessile). Selain
itu, juga ditemukan krustasea yang bergerak aktif, contohnya
kepiting dan isopoda. Teritip umumnya bidup di bagian teratas
dari daerah pasang surut, mulai dari pasang tertinggi hingga di
kedudukan rata-rata pasang-surut, Teritip dari suku Balanidae,
bentuk dewasanya mempunyai cangkang yang menyelubungi
seluruh tubuh (Anonim, 2012e). Cangkang berbentukseperti
gunung api dan terdiri dari beberapa bagian yang saling
berhubungan yaitu: carina, carinal latus, latus dan rostrum.
Pada bagian atas terdapat operculum yang terdiri dari sepasang
tergum dan sepasang scutum yang dapat membuka atau
menutup cangkang seperti terlibat pada Gambar 4 (Anonim,
2012e). Kebilangan air dapat dihindari dengan menutup
cangkangnya pada waktu air surut dengan menggunakan
operculum (Nontji, 1987; Nybakken, 1992).
Gambar 4. Bagian - bagian tubub teritip pada stasium dewasa (Chan, 2012)

Kepiting banyak ditemukan di daerah berbatu. Ada


beberapa suku yang umumnya ditemukan di daerah berbatu,
contohnya dari Suku Xanthidae dan Grapsidae. Kepiting
termasuk hewan yang aktif (mobile) dan kelompok yang dapat
ditemukan di zona eulittoral antara lain dari Marga
Hemigrapsus, Pachygrapsus dan Carcinus (Webber &
Tburmann, 1991). Selain kepiting, terdapat organisme lain dari
kelompok krustasea yang ditemukan di pantai berbatu yaitu
isopoda. Hewan ini umumnya bidup di luar air sepanjang pantai
(Romimohtarto & Juwana, 1999), sedangkan di pantai berbatu,
isopoda berperan sebagai pemakan bangkai atau scavenger.

Pada kepiting dan isopod, mekanisme yang sederhana


untuk mengbindari kehilangan airmudah terlihat. Kepitingakan
berpindah dari daerah yang terbuka ke dalam lubang-lubang,
celah atau gaLian yang sangat basah sehingga kehilangan air
dapat diatasi. Kemungkinan lainnya hewan-hewan tersebut
akan berlin dung di bawah alga yang basah (Nybakken, 1992).
Pada saat pasang surut, kepiting dapat menyimpan air laut
dalam rongga-rongga insangnya dan disebarkan melalui proses
difusi oksigen dari atmosfer yang masuk ke dalam air
mulai dari rongga-rongga insang dan kemudian sampai ke
insang (Webber & Thurmann, 1991).

Moluska, contohnya limpet yang merupakan hewan


dominan di daerah pantai berbatu. Limpet mempunyai
cangkang yang berbentuk seperti cangkir atau kerucut dan
melekat pada substrat dengan menggunakan kaki yang luas di
bagian permukaan bawah tubuhnya (Gambar 5). Kaki tertutup
oleh lender dan melekat seperti alat penghisap.Cangkangnya
melekat dengan rapat pada permukaan batu dan air akan
tertahan dalam rongga mantel yang membantunya mencegah
kekeringan selama pasang surut.

Pada beberapa jenis limpet, ada yang mengeluarkan


lendir di sekitar pinggiran cangkang, yang membantu
memperlambat proses penguapan dari dalam tubuh.
Umumoya, limpet hidup pada daerah yang lebih tinggi pada
zona eulittoral dan mempunyai cangkang yang lebih tinggi.
Bentuk cangkang tersebut berfungsi untuk menambah luas
rongga mantel sebingga akan dapat menyimpan air lebih
banyak dan dapat mengurangi daerah yang mengalami
peoguapan (Webber & Thurmann, 1991).
Gambar 5. Limpet dan bagian-bagian tubuhnya (Webber & Thurmann, 1991)
A. Dari permukaan bawah
B. R Dari sarnping

Chiton, merupakan bentuk yang paling primitif dari kelompok


Moluska, Chiton banyak ditemukan di pantai berbatu, Bentuk
tubuhnya lonjong, simetris bilateral dan mempunyai cangkang.
Cangkang terdiri dari delapan lempeng melintang yang tumpang
tindih dan tersusun dari kapur, bergandengan menjadi satu, sehingga
tubuh hewan ini akan mudah dilengkungkan (Gambar 6)
Gambar 6. Ischnochiton elongatus, salah satu jenis chiton yang ditemukan di
pantaiAustralia Chiton (Dakin, 1987)

Chiton mempunyai kaki penghisap berbentuk pipib dan kuat


yang terdapat pada seluruh permukaan bawah tubuhnya. Selain itu
juga mempunyai radula yang berbentuk seperti kikir berfungsi
sebagai alat untuk makan yang dapat dijulurkan keluar. Radula pada
chiton terlekat pad a lantai mulut (Dakin, 1987; Romimohtarto
&Juwana, 1999). Hewan ini a.ktif pada malam hari, dengan cara
merayap di atas batu dan memotong rumput laut dengan
menggunakan lidah khususnya (radula).

Dari kelompok gastropoda, yang dominan di daerah pantai


berbatu adalah Littorina, karena siput ini mampu bertahan hidup
dalam waktu yang lama dengan keadaan terbuka terbadap sinar
matahari. Littorina dapat tetap bertahan meskipun berada diluar air
laut dalam waktu lebih dari satu minggu. Littorina mempunyai
opercula yang menutup rapat celah cangkangnya. Pada saat pasang
surnt, siput akan menarik masuk seluruhbadannya kedalam
cangkang, laJu menutup celah cangkang dengan menggunakan
operculum sebingga kehilangan air dapat dikurangi (Gambar 7).
Pada saat terekspos udara luar, Littorina mampu menghasilkan
oksigen secara langsung melalui permukaan rongga mantelnya
(Webber & Thurmann, 1991).

Kelornpok bivalvia atau kerangkerangan yang umum


ditemukan pada komunitas pantai berbatu adalah dari Marga
Mytilus. Bagian tubuh Mytilus terdiri dari siphon, kaki, mantel dan
benang byssus (Gambar 7). Mytilus akan menempel pada substrat
batuan dengan menggunakan benang byssus (byssal thread) yang
kuat, dan dikenal juga sebagai "jenggot kerang". Benang byssus
lentur dan dihasilkan oleh suatu kelenjarpadakakinya. Jika kerang
basab oleh substrat, kerang akan menghasilkan benang byssus baru
yang digunakan untuk menempel kembali. Pada Mytilus contobnya
Mytilus edulis, dapat beradaptasi terhadap air surut dengan cara
menutup rapat cangkang atau valvanya untuk mencegah kehilangan
air (Webber &Thurmann,1991; Karleskint, 1998)
Gambar 7. Contoh Moluska yang bidup di pantai berbatu
A. Littorina B. Mytilus, dengan bagian-bagian tubuhnya (Webber & Thurmann, 1991).

Dibandingkan dengan pantai berpasir dan berlumpur, alga


lebih banyak ditemukan di pantai berbatu, karena alga umumnya
membutuhkan pantai dengan substrat yang keras yang dapat
dimanfaatkan untuk melekat. Contoh alga yang ditemukan di pantai
berbatu adalah alga cokJat, Nereocystis luetkeana (yang banyak
ditemukan di Arnerika Utara) yang mempunyai siklus yang
kompleks (Gambar 8). SporophyJanya sangat menyolok, tingginya
dapat mencapai 30 meter termasuk dauo. Mengbasilkao zoospore
haploid. Spora kemudian menempel pada substrat dan tumbu
menjadi sporophyta muda (Carefoot & Simpson, 1985).

Algae tidak dapat bergerak dan tidak mempunyai mekanisme


untuk mengbindari kehilangan air. Algae akan beradaptasi dengan
jaringanoya. Seringkali kita menemukan algae dalam keadaan
kering dan kisut seperti mati, setelab lama berada di udara terbuka
pada saat pasang sedang surut. Akan tetapi apabila pasang sudah
naik, algae akan menyerap air dengan cepat dan kembali
menjalankan prosesproses tubuhnya seperti biasa

Gambar 8. Siklus hidup dari Nereocystisluetkeana (Carefoot & Simpson. 1985

MEKANISME ADAPTASI BIOTA PANTAI


BERBATU
Organisme-organisme yang hidup di pantai harus mampu
mentoJeransi atau beradaptasi terhadap semua faktor yang
berpengaruh pada pantai berbatu. Terdapat beberapa bentuk adaptasi
yang berkembang pada organisme-organisme terse but, yaitu :
1. Adaptasi terhadap kehilangan air
Pantai merupakan bagian dari zona intertidal atau daerah
yang mengalami pasang dan surut. Apabila pantai berbatu
mengalami air surut, maka organisme yang ada akan berada pada
suatu lingkungan dengan udara terbuka dan mulai kehilangan air.
Organisme yang ada harus menyesuaikan diri terhadap kebilangan
air yang cukup besar selama berada di udara terbuka (Nybakken,
1992; Anonim, 2012e).

2. Adaptasi terhadap keseimbangan panas


Adaptasi organ isme untuk keseimbangan panas khususnya
untuk mengurangi panas yang tinggi dapat terlihat pada Gastropoda
dari Marga Littorina. Cara adaptasinya dengan memperbesar ukuran
tubuh, Karena dengan tubuh yang semakin besar berarti
perbandingan antara luas permukaan tubuh dengan volume tubuh
menjadi berkurang. Tubuh yang lebih besar memerlukan waktu
yang lebih lama untuk bertambah panas dibandingkan dengan tubuh
yang Jebih keci!. Hal ini menyebabkan Gastropoda dari Marga
Littorina dengan ukuran tubuh yang besar, akan lebih banyak
ditemukan di daerah pantai (Nybakken,
1992

Adaptasi lainnya yang terjadi pada Gastropoda adaJah dengan


memperluas cangkang dan memperbanyak ukiran pada cangkang.
Ukiran berfungsi sebagai sirip radiator yang dapat memudahkan
hilangnya panas. Selain itu, kehilangan panas dari tubuh Gastropoda
juga dapat diperbesar apabila organisme mempunyai warn a yang
terang.
Sehingga Gastropoda yang banyak ditemukan eli daerah pantai
adaJah yang berwarna terang, karena warna terang akan
memantuJkan panas sedangkan warna gelap akan menyerap panas
(Nybakken, 1992).

3. Adaptasi terhadap tekanan mekanik


Adaptasi terhadap tekanan mekanik berupa gempuran ombak,
organisme akan beradaptasi dengan memanfaatkan bagianbagian
tubuhnya. Contohnya pada teritip, untuk mengbadapi tekanan dari
ombak, teritip akan melekat dengan rapat pada batuan meoggunakan
bagian basalnya. Pada limpet, limpet akan menggunakan kaki-
kakinya yang kuat dan besar di bangian bawah tubuhnya untuk
melekat pada substrat. Chiton beradaptasi terhadap gerakao ombak
dengan menggunakao kakinya yang kuatyang berada di bagian
bawah tubuhnya juga, untuk dilekatkan pada substrat (Gambar 9).
Dengan cara tersebut, chiton akao tetap dapat menempel meskipun
ada gempuran dari omba

Sedangkan untuk Moluska dari kelompok kerang-kerangan,


contohnya My/flus, organisme ini akan menggunakan benang-
benang byssusnya, untuk melekat pada substrat (Gambar 9). Pada
alga, alga akan beradaptasi deogan cara melekat pada substrat
dengao menggunakan alat pelekat yang kuat, yang dikenal dengan
"holdfast", seperti terlihat pada Gambar 9 (Karleskint, 1998).
Gambar9. Adaptasi chiton, kerang dan algae pada substrat keras, seperti batu
(Karleskint, 1998).

4. Adaptasi terhadap tekanan salinitas


Adaptasi yang dilakukan oleh organisme di pantai berbatu
terhadap tekanan salinitas sama dengan adaptasi yang dilakukan
terhadap kekeringan. Organisme akan melakukan adaptasi dengan
cara menutup valva atau cangkangnya, seperti pada moluska dan
teritip (Webber &Thurmann, 1991; Karleskint, 1998)

5. Adaptasi untuk bereproduksi


Organisme yang hidup menetap di daerah intertidal termasuk
pantai berbatu (seperti teritip), untuk dapat tetap hidup dan
berkembang, akan mengbasilkan telur atau larva yang terapung
bebas sebagai plankton. Adaptasi lainnya yaitu dengan cara
menyesuaikan antara daur perkembangbiakkan dengan pasang
purnama. Contobnya pada Littorina, organisme ini akan meletakkan
telumya pada saat pasang purnama atau pasang paling tinggi
KEBIASAAN MAKAN ORGANISME DI
PANTAI BERBATU

Organisme yang hidup di pantai berbatu, umumnya beradaptasi


untuk mencari makan pada saat pasang dan tubub dalam keadaan
terendam air. Hal tersebut dilakukan karena pada sebagian
organisme barus mengeLuarkan bagian-bagian tububnya pada
waktu makan. Cara makan dari organisme di pantai berbatu sangat
beragam, ada yang merumput (grazing herbivorai, filter feeder,
detritus, scavenger dan sebagai predator. Hewan yang bersifat
sebagai grazing herbivora antara lain Gastropoda dari Marga
Littorina dan kelompok Limpet. Yang termasukfilterfeeder adalah
teritip yang memakan zooplankton, dan kerangkerangan yang
memakan fitoplankton. Scavenger atau bewan yang memakan
bangkai atau serasab, contobnya isopoda, ampbipoda dan kepiting.
Sedangkan yang bersifat predator adalab bewan yang mempunyai
ukuran tubub yang lebib besar, biasanya merupakan rantai terakhir
dari rantai makanan, seperti terLibatpada Gambar 10 (Karleskint,
1998)
Gambar 10. Beberapa cara makan organisme di pantai berbatu
(Karleskint, 1998)

PENUTUP

Organisme untuk hidupnya perlu beradaptasi terhadap


lingkungannya, termasuk organisme yang hidup di pantai berbatu.
Organisme yang hidup di pantai berbatu mempunyai berbagai cara
untuk adaptasinya, sehingga meskipun mendapatkan banyak tekanan
dari lingkungannya, organisme tetap dapat bertahan.
DAFfAR PUSTAKA

Anonim.2012a Module 2: Rocky shores. http:/


/www.mpa.nsw.gov.au. Diakses pada
tanggall0 April 20 12.

Anonim. 2012b. Rocky shore. http://


www.derm.gld.gov.au/environmental
management/coast and oceans.
Diakses pada tanggallOApri120l2.

Anonim, 2012c. Rocky shore. http://www.


msc.ucla.edu/oceanglobe/pdffRockyShores. Diakses pada
tanggal 12 April
2012

Anonim. 2012d. http://en.wikipedia.org/wikil


File:Littorina littorea fgOI.jpg. Diakses
pada tanggal 9 Juli 20 12.

Anonim. 2012e. Brochure rocky shores: Care


for our rocky shores. Http://
sacoast. i oisa. org. za/docs/medial
BrochureRockyShores.pdf. Diakses
pada tangga120 Juli 2012.

Anthoni, J.F. 2007. Intertidal rocky shore


zoning: principles, physical and biotic
factors and marine creatures.
www.seafriends.org.nzienvirolhabitatl
shore.htm. Diakses pada tanggal 20
April 2012.

Carefoot, T. & R.D. Simpson. 1985. Seashore


Ecology. University of Queensland
Press. St. Lucia. London. New York, 278
pp.

Chan, K.K. 2012. Morphological terms. Biota


taiwanica: Taiwan Barnacles. http://
barnacle.biota.biodiv.tw/node1731.
Diakses pada tanggal 10Mei 2012.

Dakin. W.J. 1987. Australian Seashores: a


guide to the temperate shores for the
beach-lover, the naturalist. the shorefisherman and the student.
Angus and
Robertson publishers. Australia, 411 pp.

Karleskint, 0. Jr. 1998. Introductionto Marine


Biology. Harcout Brace College
Publishers. USA, 432 pp.

Lerman, M. 1986. Marine Biology :


Environment. Diversity and Ecology.
The Benjamin/cummings Publihsing
Company, Inc, USA, 534 pp.

Milner, W. 2012. Animals that live on the marine


rocky shore. http://www.ehow.com.
Diakses pada tanggal 1November 2012.
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut : suatu
pendelcatan ekologis. PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta: 459 hal.

Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Djambatan


Jakarta: 368 p.

Reseck, J.R., 1980. Marine Biology. 20dEd.


Prenticce Hall, Englewood Cliffs: 104-
105 pp.

Romimohtarto, K. & S. Juwana 1999. Biologt


Laut : Ilm»pengetahuan tentang biota
laut. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi-LIPI. Jakarta
: 527 hal.

Webber, H.H. & H. V.Thurmann. 1991. Marine


Biology. New York: Harpers Collins
Publisher inc, 424 pp.

Anda mungkin juga menyukai