Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1 Latar 1belakang Ekosistem pesisir dan laut merupakan ekosistem alamiah yang produktif, unik dan
mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Kawasan pesisir memilki sejumlah fungsi ekologis
berupa penghasil sumberdaya, penyedia jasa kenyamanan, penydia kebutuhan pokok hidup dan penerima
limbah (Bengen, 2002). Tata ruang sebagai wujud struktural ruang dan pola penggunaannya secara
terencana atau tidak dari bagian permukaan bumi di laut dan pesisir, dikenal selama ini sebagai objek
dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Selain mengandung beraneka ragam sumber daya alam
dan jasa lingkungan yang telah dan sementara dimanfaatkan manusia, ruang laut dan pesisir menampilkan
berbagai isu menyangkut keterbatasan dan konflik dalam pemanfaatannya. Untuk mengharapkan
keberlanjutan fumgsi dimensi ekologis yang dimiliki oleh kawasan pesisir, selayaknya digiatkan upaya
pelestarian dan pemanfaatan segenap sumberdaya yang ada di dalamnya secara berkelanjutan. Ekosistem
pesisir dan lautan merupakan sistim akuatik yang terbesar diplanet bumi. Ukuran dan kerumitannya
menyulitkan kita untuk dapat membicarakannya secara utuh sebagai suatu kesatuan. Akibatnya dirasa
lebih mudah jika membaginya menjadi sub-bagian yang dapat dikelola, selanjutnya masing-masing dapat
dibicarakan berdasarkan prisip-prinsip ekologi yang menentukkan kemampuan adaptasi organisme dari
suatu komunitas. Tidak ada suatu cara pembagian laut yang telah diajukan yang dapat diterima secara
universal. Cara pembagiannya telah banyak dipakai oleh para ilmuwan dan pakar kelautan diseluruh
dunia. Salah satu bagian dari pembagian ekosistem di kawasan pesisir dan laut adalah kawasan intertidal
(intertidal zone). Wilayah pesisir atau coastal adalah salah satu sistim lingkungan yang ada, dimana zona
intertidal atau lebih dikenal dengan zona pasang surut adalah merupakan daerah yang terkecil dari semua
daerah yang terdapat di samudera dunia, merupakan pinggiran yang sempit sekali – hanya beberapa meter
luasnya – terletak di antara air tinggi (high water) dan air rendah (low water). Zona ini merupakan bagian
laut yang paling dikenal dan paling dekat dengan kegiatan kita apalagi dalam melakukan berbagai macam
aktivitas, hanya di daerah inilah penelitian dapat langsung kita laksanakan secara langsung selama
perioda air surut, tanpa memerlukan peralatan khusus. Letak zona intertidal yang dekat dengan berbagai
macam aktifitas manusia, dan mmeiliki lingkungan dengan dinamika yang tinggi menjadikan kawasan ini
sangat rentan terhadap gangguan. Kondisi ini tentu saja akan berpengaruh terhadap segenap kehidupan di
dalamnya. Pengaruh tersebut salah satunya dapat berupa cara beradaptasi. Adaptasi ini diperlukan untuk
mempertahankan hidup pada lingkungan di zona intertidal. Keberhasilan beradaptasi akan menentukan
keberlangsungan organisme di zona intertidal.1.2 Manfaat Pemahaman akan kondisi lingkungan dan
karakter biota yang ada di zona intertidal dapat dijadikan sebagai acuan dalam upaya pengelolaan zona
intertidal.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Zonasi Zonasi adalah distribusi atas bawah organisme yang dipengaruhi beberapa faktor:
Faktor fisik: Kemiringan permukaan berbatu, kisaran pasang surut & keterbukaan terhadap gerakan
ombak. Akibat: Kekeringan, suhu, salinitas & gelombang cahaya. Faktor biologis: Kompetisi, predator &
grazing. 1. Kompetisi: Pantai berbatu terbatas persediaan ruang karena luas daerah yang terbatas. 2.
Predator utama: Bintang laut 3. Grazer: Limpet, bulu babi, siput litorina 2.2 Pengertian Zona Intertidal
Daerah intertidal merupakan suatu daerah yang selalu terkena hempasan gelombang tiap saat. Daerah ini
juga sangat terpengaruh dengan dinamika fisik lautan yakni pasang surut. Menurut Nybakken (1992) zona
intertidal merupakan daerah yang paling sempit diantara zona laut yang lainnya. Zona intertidal dimulai
dari pasang tertinggi sampai pada surut terendah. Zona ini hanya terdapat pada daerah pulau atau daratan
yang luas dengan pantai yang landai. Semakin landai pantainya maka zona intertidalnya semakin luas,
sebaliknya semakin terjal pantainya maka zona intertidalnya akan semakin sempit. Akibat seringnya
hempasan gelombang dan pasang surut maka daerah intertidal sangat kaya akan oksigen. Pengadukan
yang sering terjadi menyebabkan interaksi antar atmosfir dan perairan sangat tinggi sehingga difusi gas
dari permukaan keperairan juga tinggi. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Webber dan Thurman (1991)
bahwa pantai berbatu di zona intertidal merupakan salah satu lingkungan yang subur dan kaya akan
oksigen. Selain oksigen daerah ini juga mendapatkan sinar matahari yang cukup, sehingga sangat cocok
untuk beberapa jenis organisme untuk berkembang biak. Pada tiap zona intertidal terdapat perbedaan
yang sangat signifikan antara satu daerah dengan daerah yang lain. Jenis substrat daerah intertidal ada
yang berpasir adapula yang berbatu. Hal lain yang dapat dilihat yakni pembagian zona juga dapat dilihat
dari pasang surutnya dan organismenya. Ekosistem intertidal merupakan salah satu ekosistem pada daerah
pesisir yang sangat kompleks dan kaya. Banyak pola interaksi antar organisme laut yang dapat ditemukan
pada ekosistem ini. Hewan yang hidup pada daerah ini harus dapat beradaptasi dengan keadaan yang
ekstrim tersebut. Bentuk adaptasi organisme sangat berkembang utamanya bentuk morfologi yang
dibentuk sedemikian rupa. Pada tiap zona intertidal organisme yang hidup sudah mampu untuk bertahan
dengan karakteristik lingkungan tersebut.

2.3 Faktor Penyebab Distribusi Zonasi Pada Daerah Intertidal Ada berbagai faktor yang menyebabkan
adanya berbagai macam distribusi pada daerah intertidal. Pada dasarnya faktor tersebut dibagi menjadi
dua bagian besar yang saling terkait yaitu: 1. Faktor fisika. Faktor ini merupakan faktor yang sangat
berpengaruh pada ekosistem intertidal. Akibat adanya pasang surut maka menyebabkan faktor pembatas
pada daerah ini menjadi lebih ekstrim. Faktor pembatas tersebut yaitu kekeringan, suhu, dan sinar
matahari ketiga faktor tersbeut saling terkait. Jika laut surut maka daerah intertidal terekspose oleh sinar
matahari, akibatnya suhu meningkat. Suhu yang meningkat menyebabkan penguapan dan dampaknya
daerah menjadi kering. 2. Faktor biologis. Faktor ini sangat tergantung dari faktor fisik perairan.
Organisme berusaha untuk menyesuaikan diri pada keadaan yang sangat ekstrim tersebut. Ada berbagai
macam cara organisme menyesuaikan diri salah satunya dengan mengubur diri atau memodifikasi bentuk
cangkang agar dapat hidup pada derah yang kering.

2.4 Ekologi Zona Intertidal Daerah pasang surut adalah sistem model penting untuk studi ekologi,
khususnya di pantai berbatu gelombang-menyapu. Wilayah ini berisi keanekaragaman spesies yang
tinggi, dan zonasi diciptakan oleh pasang surut menyebabkan spesies berkisar untuk dimampatkan
menjadi band yang sangat sempit. Hal ini membuat relatif sederhana untuk mempelajari spesies di seluruh
rentang lintas-pantai mereka, sesuatu yang bisa sangat sulit, misalnya, habitat darat yang dapat meregang
ribuan kilometer. Masyarakat di pantai yang tersapu gelombang juga memiliki perputaran yang tinggi
akibat gangguan, sehingga mungkin untuk menonton suksesi ekologi selama beberapa tahun daripada
dekade. Karena tepi pantai ini bergantian tertutup oleh laut dan terkena udara, organisme hidup di
lingkungan ini harus memiliki adaptions baik untuk kondisi basah dan kering. Bahaya termasuk menjadi
hancur atau terbawa oleh gelombang kasar, paparan suhu sangat tinggi, dan pengeringan. Khas penduduk
pantai berbatu pasang surut termasuk bulu babi, anemon laut, teritip, chitons, kepiting, isopoda, kerang,
bintang laut, dan moluska banyak gastropoda laut seperti limpets, whelks, dan bahkan gurita.

2.5 Pembagian Zonasi Pada Berbagai Jenis Pantai Pada dasarnya pantai dibagi dalam beberapa jenis
berdasarkan bentuk substrat utama penyusun pantai, yaitu: 1. Pantai berbatu 2. Pantai berpasir,dan 3.
Pantai berlumpur Ketiga jenis pantai tersebut memiliki bentuk zonasi yang berbeda. Selain pantai berbatu
zona intertidal juga banyak ditemukan pada jenis pantai yang lain.

1. Skema Umum Untuk Zonasi Pantai Berbatu Pada dasarnya pembagian zonasi untuk pantai berbatu
dilihat dari pasang surut yang terjadi. Pantai ini didominasi oleh substrat dari batu. Menurut Stephenson
and Stephenson (1972) in Raffaelli and Hawkins (1996) menyatakan bahwa pembagian zona pada pantai
berbatu dibagi menjadi tiga bagian yaitu: 1. A high-shore area (bagian pantai yang paling atas) atau yang
biasa disebut supralittoral fringe. Pada zona ini dicirikan oleh berbagai organisme seperti alga yang
menjalar, Cyanobacteria (bakteri hijau biru) dan cacing kecil, periwinkles.

2. A broad midshore zone (zona bagian tengah yang lebar) atau yang biasa disebut midlittoral zone. Pada
daerah ini didominasi oleh pemakan suspense seperti bernakel, kerang atau terkadang tiram.

3. A narrower low-shore zone (zona bagian bawah yang sempit) atau yang biasa disebut infralittoral
fringe. Pada daerah ini didominasi oleh alga merah, organisme penghasil kapur, kebanyakan berbentuk
menjalar, terkadang kelp yang lebat (alga coklat) atau terkadang pada suatu tempat di Hemisphere selatan
yaitu penyering makanan seperti tunicata (sea squirt).

Sedangkan pembagian menurut Reseck (1980) zonasi pada pantai berbatu dibagi menjadi empat zonasi :
1. Zone I : daerah yang paling tinggi dan selalu kering (spray zone/upper litoral zone). 2. Zona II : Daerah
yang mengalami kekeringan 2 kali sehari selama pasang terendah, selama 4-6 jam. 3. Zona III : Daerah
yang mengalai kekeringan dalam waktu yang agak pendek, kurang lebih 1-3 jam. 4. Zona IV : Daerah
yang mengalami kekeringan sangat relatif singkat, kurang lebih 12 jam. Pembagian zonasi pada pantai
berbatu juga dapat didasarkan oleh organisme yang hidup pada daerah tersebut (Barnes & Hughes, 1999).
Pembagian zonasi tersebut dibagi menjadi dua bagian yakni:

1. Zonasi dari mikroalga. Zonasi ini didasarkan oleh fotosintesis yang terjadi didalam air. Pembagian
tersebut yakni: a. Pada spesies yang terdapat pada lower shore fotosintesis lebih baik di udara dibanding
dalam air. b. Pada spesies yang terdapat pada mid hingga upper shore fotosintesis lebih baik didalam air
disbanding diatas daratan. Kekuatan fotosintesis dalam air pada spesies ini yakni enam kali lebih kuat.

2. Zonasi dari hewan. Zonasi ini didasarkan oleh dua hal yang sangat signifikan yaitu: a. Makanan.
Ketersediaan makanan sangat penting utamanya bagi organisme yang pergerakannya sangat lambat atau
yang tidak berpindah tempat. b. Pergerakan. Organisme perlu berpindah untuk mencari makan, sehingga
faktor ini juga sangat terkat dengan faktor yang pertama. Suatu gambaran yang sangat luar biasa dari
pantai diseluruh dunia, yang terlihat pada waktu pasang surut adalah, menonjolnya pembagian horizontal
atau zonasi organisme (Nybakken, 1992). Hal tersebut nampak pada gambar 4 yang terlihat zonasi yang
menunjukkan perbedaan organisme yang menempati daerah yang berbeda untuk tiap kedalaman perairan.
Keragaman tersebut tidak lepas keterkaitannya dengan proses fisik pada perairan. Zonasi Pantai Berbatu
Pada Beberapa Belahan Dunia yang Berbeda Pada berbagai belahan dunia terdapat perbedaan pola zonasi
pantai berbatu yang terjadi antara satu tempat dengan tempat yang lain. Perbedaan tersebut disebabkan
oleh beberapa faktor, salah satunya kemiringan permukaan batu yang menyusunnya (Nybakken, 1992). 2.
Skema Umum Untuk Zonasi Pantai Berpasir Pada umumnya pantai berpasir lebih banyak dikenal oleh
manusia dibanding dengan jenis pantai yang lain. Hal ini dikarenakan pantai berpasir memiliki manfaat
yang sangat banyak dibanding dengan pantai jenis yang lainnya. Pada jenis pantai ini juga dapat
ditemukan berbagai ekosistem lain seperti ekosistem padang lamun, dan ekosistem terumbu karang.
Pantai berpasir adalah pantai dengan ukuran substrat 0.002-2 mm. Jenis pantai berpasir termasuk dalam
jenis pantai dengan partikel yang halus. Sama halnya pada pantai berbatu pada pantai berpasir juga dibagi
dalam beberapa zonasi (Dahl, 1952 and Salvat, 1964 in Raffaelli and Hawkins, 1996) yaitu: 1. Mean High
Water of Spring Tides (MHWS) rata-rata air tinggi pada pasang purnama. Zona ini berada pada bagian
paling atas. Pada daerah ini berbatasan langsung dengan daerah yang kering dan sering terekspose. 2.
Mean Tide Level (MLS) rata-rata level pasang surut. Zona ini merupakan daerah yang paling banyak
mengalami fluktusi pasang surut. Pada daerah ini juga dapat ditemukan berbagai ekosistem salah satunya
ekosistem padang lamun. 3. Mean Water Low of Spring Tides (MLWS) rata-rata air rendah pada pasang
surut purnama. Zona ini merupakan zona yang paling bawah. Pada daerah ini fliktuasi pasang surut sangat
sedikit yang berpengaruh karena daerah ini tidak terkena fluktuasi tersebut. Daerah ini juga bias
ditemukan ekosistem terumbu karang. Menurut Nybakken (1992) zonasi yang terbentuk pada pantai
berpasir sangat dipengaruhi oleh faktor fisik perairan. Hal ini nampak dari hempasan gelombang dimana
jika kecil maka ukuran partikelnya juga kecil, tetapi sebaliknya jika hempasan gelombang besar maka
partikelnya juga akan besar. Pada pantai berpasir hempasan gelombangnya kecil menyebabkan butiran
partikelnya kecil. 3. Skema Umum Untuk Zonasi Pantai Berlumpur Pantai berlumpur merupakan pantai
yang memiliki substrat yang sangat halus dengan diameter kurang dari 0.002 mm. Menurut Nybakken
(1992) pantai berlumpur berada pada daerah yang terlindung dari hempasan gelombang secara langsung.
Akibat tidak adanya hempasan gelombang maka daerah ini sulit untuk mengalami perkembangan yang
signifikan. Pembagian zonasi pada daerah pantai berlumpur masih sangat kurang yang telah dikaji. Secara
umum dapat dibagi menjadi: 1. Bagian atas atau supralitoral dihuni oleh berbagai jenis kepiting yang
menggali substrat. Zona ini juga dipengaruhi oleh pasang tertinggi dan paling sering mengalami
kekeringan. 2. Bagian bawah atau litoral. Bagian ini merupakan bagian yang terluas diantara bagian
ekosistem pantai berlumpur. Pada zona ini dihuni oleh tiram dan policaeta. Pada dasarnya pembagian
tersebut belum terlalu jelas batasannya. Hal ini dikarenakan organisme pada kedua tempat tersebut tidak
menetap hanya pada zona tersebut tetapi juga dapat berpindah ke zona yang lain. Meiofauna Meiofauna
merupakan jenis metazoa (tidak termasuk protozoa) yang bergerak yang lebih kecil dari makrofauna
tetapi lebih besar dari makrofauna. Ukuran dari meiofauna yakni 500 μm (atau 1000 μm) atau diatasnya,
dan 63 μm (atau 42 μm) atau dibawahnya (Eleftheriou and Mclntyre, 2005). Meiofauna yang banyak
terdapat disedimen intertidal antara lain : Foraminiferan, Ciliate, Turbellarian, Tardigrade,
Gnathostomulid, Herpacticoid copepod, Gastrotrich, dan Nematode. Pembagian meiofauna secra
melintang pada daerah intertidal dibagi menjadi beberapa zona berdasarkan jenis pasirnya. Zona tersebut
(Field and Grriffiths, 1991 in Raffaelli and Hawkins, 1996) yaitu: 1. Zona pasir kering (dry sand zone)
yaitu zona sampai kedalaman 15 cm, temperatur pada daerah ini selalu berubah-rubah dengan
kelembaban dapat kurang dari 50%, hanya terdapat sedikit nematoda dan oligochaetes hidup di zona ini.
2. Zona pasir lembab (moist sand zone) yaitu zona yang terletak dibawah dry sand zone. Temperatur pada
zona ini relatif konstan dengan kelembaban lebih dari 50%. Harpacticoid copepoda, mystacocarid,
nematoda, oligochaetes dan turbelaria banyak terdapat di zona ini. 3. Zona air (water table stratum) yaitu
zona dengan kelembaban 40-70%, nematoda dan crustacea mendominasi zona ini. 4. Zona oksigen
rendah (low oxygen zone) yaitu zona dmana populasi meiofauna sangat jarang dijumpai. Hal tersebut
dikarenakan tidak adanya oksigen yang tersedia untuk metabolism organism. Macrophytes Pada Pantai
yang Terlindung Jenis makrophytha pada ekosistem intertidal sangat beragam berdasarkan jenis lintang
dan letak geografisnya. Makrophyta merupakan tanaman yang mengalami evolusi sehingga dapat hidup
pada dua jenis air dengan salinitas yang berbeda yakni air laut dan air tawar. Ada tiga jenis makrophyta
yang dapat ditemukan pada ekosistem intertidal yaitu: 1. Lamun (sea grass) 2. Mangrove, dan 3. Rawa
asin (salt marsh). Ketiga ekosistem tersebut dapat dijadikan salah satu penciri ekosistem intertidal pada
daerah yang berbeda. 1. Lamun (sea grass) Ekosistem padang lamun merupakan salah satu jenis
ekosistem yang terdapat pada daerah intertidal baik di daerah tropis maupun pada daerah sub tropis.
Ekosistem ini banyak ditemukan pada pantai berpasir. Kerena hidup pada daerah berpasir lamun memiliki
fungsi yakni sebagai penstabil sedimen dan mengatur kualitas air pada daerah tersebut (Gambi et al, 1990
in Hossain Md.M.K., 2005). Secara umum distribusi lamun saat ini dicirikan oleh genus yang hanya dapat
tumbuh pada daerah tropik atau hanya pada daerah sub tropik. Diseluruh dunia ditemukan 12 genus dari
lamun. Ada 7 genus lamun yang hanya ditemukan pada daerah tropis yaitu: Halodule, Cymodocea,
Syringodium, Thalassodendron, Enhalus, Thalassia, Halophila. Pada daerah sub tropic yang hanya
ditemukan 5 genus yaitu: Zostera, Phyllospadix, Heteroztera, Posidonia, Amphibolis. Batasan untuk tiap
genus tersebut belum terlalu jelas (Larkum et al. 1989). Distribusi lamun banyak terdapat pada daerah
tropis yakni pada Indo pasifik, Karibia, dan Pasifik. Pada ketiga daerah sebaran lamun tersebut memiliki
karakteristik masing-masing yang membedakannya. Pada daerah pasifik dan daerah karibia terdapat
beberapa spesies yang memiliki kemiripan yaitu : Thalassia testudinium, Thalassia hemprichii,
Syringodium filiforme, Syringodium isoetifolium, Halodule wrightii, dan Halodule uninervis (Dawes ,
1981). Distribusi lamun pada daerah lintang tinggi dapat dilihat dari distribusinya pada daerah benua
Australia. Pada benua tersebut terdapat berbagai jenis lamun yang tumbuh. Faktor penentu pertumbuhan
lamun yakni suhu dan cahaya yang cukup. Pada daerah mediterania terdapat jenis lamun yang tumbuh
yakni Cymodocea nodusa. Lamun jenis ini banyak ditemukan pada berbagai tempat yakni pada pesisir,
pada daerah lagoon, dan pada daerah estuaria. Sebaran yang luas dikarenakan lamun jenis ini lebih adaptif
terhadap lingkungan yang ekstrim (Cancemi G. et al., 2002). 2. Mangrove Hutan mangrove merupakan
suatu komunitas pada pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove
yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2002).
Ekosistem ini dapat ditemukan pada daerah estuaria atau muara sungai. Ada lima proses yang terjadi pada
hutan mangrove yang menyebabkan pentingnya hutan mangrove pada daerah intertidal yang berlumpur
(Lugo and Snedaker, 1974) yaitu: 1. Produktifitas primer 2. Membantu respirasi antara permukaan dan
tanah 3. Membantu respirasi dalam lumpur 4. Pertukaran dari mineral dan nutrient 5. Perantara pengantar
nutrient ke ekosistem yang lain. Unit mangrove yang paling besar didunia ditemukan pada daerah Brasilia
tepatnya pada daerah muara sungai Amazone. Ketinggian pohon pada daerah tersebut dapat mencapai 20
m (Lara, 2002). Pada daerah ini keadaan salinitas dapat berubah dengan drastis karena interaksi antara air
laut dengan air tawar. Akibat adanya perubahan tersebut maka ekosistem mangrove dapat dibagi dalam
beberapa zona yaitu: a. Zona air payau hingga air laut dengan salinitas pada waktu terendam air pasang
berkisar antara 10 - 30 0/00. Pada daerah ini dibagi menjadi beberapa zona yaitu: 1. Area yang terendam
sekali atau dua kali sehari selama 20 hari dalam sebulan (Rhizophora mucronata ) 2. Area yang terendam
10 - 19 kali per bulan (A. alba, A. marina, Sonneratia griffithii, Rhizophora sp). 3. Area yang terendam
kurang dari sembilan kali setiap bulan ( Rhizopho-ra sp., Bruguiera sp.) 4. Area yang terendam hanya
beberapa hari dalam setahun ( Bruguiera gymnorhiza, Rhizophora apiculata) b. Zona air tawar hingga air
payau, dimana salinitas berkisar antara 0 - 10 0/00. Pada zonasi ini dibagi menjadi beberapa zona yaitu: 1
Area yang kurang lebih masih dibawah pengaruh pasang surut: asosiasiasi Nypa. 2 Area yang terendam
secara musiman: Hibiscus dominan. Secara global suhu sangat mempengaruhi perkembangan struktural
dan pertumbuhan hutan mangrove. Pertumbuhan mangrove akan berkurang secra linear seiring dengan
bertambahnya lintang karena pengaruh penyinaran yang berdampak langsung terhadap suhu. Pada lintang
350U dan 380S hutan mangrove digantikan dengan rawa asin (Sherman R.E et al, 2003). Pada daerah
lintang tinggi dimana terdapat peralihan dari hutan mangrove ke rawa asin menyebabkan zonasi yang
berbeda dengan yang ditemukan pada daerah tropis. 3. Rawa Asin (salt marsh) Rawa asin merupakan
salah satu bagian dari ekosistem intertidal yang terdapat pada daerah lintang tinggi. Fungsi dari rawa asin
tidak jauh berbeda dengan hutan mangrove. Pola distribusi pada rawa asin dimulai dari semak pada
bagian luar semakin masuk kedalam daratan maka akan dodominasi oleh pohon. Daerah ini merupakan
peralihan yang sangat penting. Zonasi Sepanjang Garadien Estuaria Pada daerah estuaria sangat rentan
dengan perubahan gradien salinitas yang sangat fluktuatif akibat pengaruh interaksi antara air laut dengan
salinitas yang tinggi dan air tawar dengan salinitas yang rendah. Perubahan tersebut menyebabkan zonasi
organisme yang berusaha menyesuaikan diri pada daerah yang fultuatif tersebut. Menurut Lauff (1967) in
Raffaelli and Hawkins (1996) mengklasifikasikan ekologi pada daerah estuaria berdasarkan rentang
salinitas dalam (venice system) yaitu : 1. Kelompok oligohaline, dicirikan oleh beberapa spesies tertentu
(seperti oligochaetes). Organisme pada daerah ini memerlukan air tawar untuk hidup, namun dapat
mentolerir kadar garam hingga 5%. Pada daerah ini karakteristik daratan masih sangat dominan
disbanding karakteristik laut. Spesies estuaria yang sebenarnya seperti sejumlah kecil polychaete
manayunkia, hidup dibagian pusat estuaria yang berkadar garam 5 – 18%. 2. Kelompok euryhaline,
contoh spesiesnya seperti corophium, hydrobia dan nereis. Merupakan daerah estuaria yang banyak
dipengaruhi oleh karakteristik laut. Toleransi spesiesnya hingga kadar garam 18% atau kurang. 3.
Kelompok stenohaline, berada di sepanjang mulut estuaria yang dapat mentolerir perubahan salinitas
yang sangat besar. Bab III Penutup 3.1 Kesimpulan Daerah intertidal merupakan suatu daerah yang selalu
terkena hempasan gelombang tiap saat. Daerah ini juga sangat terpengaruh dengan dinamika fisik lautan
yakni pasang surut. Vegetasi yang biasa hidup pada daerah ini diantaranya ekosistem mangrove, lamun,
dan rawa asin (Saltmarshes). Karena daerah ini berisi keanekaragaman spesies yang tinggi dan zonasi
diciptakan oleh pasang surut menyebabkan relatif sederhana untuk mempelajari spesies di seluruh rentang
lintas-pantai mereka. Zona intertidal secara bergantian tertutup oleh laut dan terkena udara, sehingga
organisme yang hidup di lingkungan ini harus memiliki adaptasi baik untuk kondisi basah dan kering.
Bahaya termasuk menjadi hancur atau terbawa oleh gelombang kasar, paparan suhu sangat tinggi, dan
pengeringan. Biota zona intertidal antara lain bulu babi, anemon laut, teritip, chitons, kepiting, isopoda,
kerang, bintang laut, dan moluska banyak gastropoda laut seperti limpets, whelks, dan bahkan gurita.
DAFTAR PUSTAKA

Abi. 2010. http://Abivaleyzone.blogspot.com/2010/01/adaptasi-biota-zona-intertidal.html. Diakses pada


4 Mei 2011 pukul 16.00 WIB. Efendi, Eko. 2009. http://blog.unila.ac.id/ekoefendi/2009/01/01/penyebab-
zonasi.html. Diakses pada 4 Mei 2011 pukul 16.00 WIB. Kurnia, Ika dkk. 2008. Organisme Intertidal.
http://scribd.com/intertidal. Diakses pada 4 Mei 2011 pukul 16.30 WIB. Ranggon. 2007. http://rang9on-
bekasi.blog.friendster.com/2007/03/zona-intertidal/. Diakses pada 4 Mei 2011 pukul 16.10 WIB.
Wikipedia. 2011. http://en.wikipedia.org/wiki/intertidal-zone. Diakses pada 4 Mei 2011 pukul 16.20
WIB.

Anda mungkin juga menyukai