DOSEN PENGAMPU:
Dr. Yayu Anugrah La Nafie, ST. M. Sc.
DISUSUN OLEH:
Rifka Maudy Wahdania Syam L021211074
Dela Pratiwi L021211070
Pantai adalah sebuah wilayah yang menjadi batas antara lautan dan daratan,
bentuk pantai berbeda-beda sesuai dengan keadaan dan proses yang terjadi di wilayah
tersebut, seperti pengangkutan, pengendapan dan pengikisan yang disebabkan oleh
gelombang, arus, angin dan keadaan lingkungan disekitarnya yang berlangsung secara
terus menerus, sehingga membentuk sebuah pantai. Pantai merupakan suatu wilayah
yang dimulai dari titik terendah air laut waktu surut hingga ke arah daratan sampai batas
paling jauh ombak/gelombang ke daratan. Beberapa jenis pantai yang biasa ditemukan
adalah pantai berpasir, pantai berbatu, dan pantai berlumpur (Tamba et al., 2014).
1. Pantai Berpasir
[1]
Gastropoda di pantai konservasi pariaman pada umumnya menempel pada subsrat yang
keras seperti bebatuan disepanjang pantai. Gastropoda tidak terdapat di dasar perairan
yang bersubstrat pasir karena butiran sedimen yang halus.
b) Keseimbangan Panas
[2]
Organisme intertidal memiliki keterbukaan terhadap perubahan suhu yang
ekstrem dan memperlihatkan adaptasi tingkah laku dan struktural tubuh untuk menjaga
keseimbangan panas internal. Di daerah tropis organisme cenderung hidup pada kisaran
suhu letal sehingga mekanisme keseimbangan panas berkenaan dengan suhu yang
terlalu tinggi. Beberapa bentuk adaptasi untuk menghidari kelebihan panas pada
tubuhnya yaitu:
Memperbesar ukuran tubuh relatif bila dibandingkan dengan species yang sama.
Persediaan air tambahan yang disimpan didalam rongga mantel seperti pada
teritip dan limfet yang banyaknya melebihi kebutuhan hidup hewan ini. Persediaan
airini dipergunakan untuk strategi mendinginkan tubuh melalui penguapan sekaligus
menghindarkan kekeringan.
c) Reproduksi
[3]
seperti misalnya pada pasang-purnama. Contoh Mytillus edulis, gonad menjadi dewasa
selama pasang purnama dan pemijahan berlangsung ketika pasang perbani.
d) Tekanan Mekanik
2. Pantai Berbatu
Pantai berbatu merupakan suatu lingkungan pesisir yang produktif dan subur.
Kombinasi substrat keras untuk penempelan, frekuensi gelombang dan arus yang tinggi
serta perairan yang jernih menyediakan habitat yang menguntungkan bagi berbagai
jenis biota laut. Sebaran bongkah granit secara tidak beraturan dan tumpang tindih di
kawasan pesisir menyebabkan garis pantai ini menjadi garis pantai yang bernilai wisata
tinggi (Astjario & Setiady, 2010).
Organisme yang hidup di pantai berbatu telah mengalami adaptasi khusus untuk
bertahan dan beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang keras. Beberapa adaptasi
organisme di pantai berbatu meliputi:
a) Bentuk Tubuh Khusus: Beberapa organisme memiliki bentuk tubuh yang datar atau
berlendir untuk mengurangi tekanan air dan mencegah terbawanya oleh ombak.
Contoh organisme dengan bentuk tubuh seperti ini adalah tiram, kerang, atau teritip.
b) Penempelan yang Kuat: Organisme seperti ganggang, lamun, dan beberapa jenis
kerang memiliki kemampuan untuk menempel erat pada batu atau permukaan
lainnya. Mereka menggunakan struktur seperti benang atau pelekatan khusus pada
tubuh mereka untuk menghindari terbawa oleh arus atau gelombang laut.
c) Tahan Terhadap Dehidrasi: Organisme di pantai berbatu harus mampu bertahan
dalam kondisi kering saat air surut. Beberapa organisme memiliki kemampuan untuk
menutup diri dan mengunci kelembapan di dalam tubuh mereka selama periode ini.
[4]
Misalnya, kepiting dan beberapa jenis siput memiliki kulit yang tahan terhadap
kehilangan air dan mampu menyimpan air di dalam tubuh mereka.
d) Kekuatan dan Perlindungan: Beberapa organisme, seperti remis dan kerang, memiliki
cangkang yang keras untuk melindungi tubuh mereka dari tekanan ombak atau
predator. Beberapa juga memiliki duri atau bulu-bulu kecil untuk mengurangi risiko
terkena serangan predator.
e) Kemampuan Memperoleh Makanan: Organisme di pantai berbatu harus mampu
memperoleh makanan di lingkungan yang terbatas. Beberapa organisme memiliki
struktur khusus untuk mengumpulkan nutrisi dari air laut atau untuk mengais
makanan di antara celah-celah batu. Contohnya adalah ganggang hijau yang
menutupi batu dan menggunakan cahaya matahari untuk fotosintesis.
3. Pantai Berlumpur
Pantai berlumpur dicirikan oleh ukuran butiran sedimen sangat halus dan
memilikitingkat bahan organic yang tinggi, pantai ini pula banyak dipengaruhi oleh
pasang surut yangmengaduk sedimen secara periodik. Interaksi organisme dengan
sedimen dan pengaruh evaporasi perairan sangat tinggi di lingkungannya.
Pantai berlumpur terjadi di daerah pantai di mana terdapat banyak muara sungai
yangmembawa sedimen suspense dalam jumlah besar ke laut. Selain itu kondisi
gelombang di pantaitersebut relative tenang sehingga tidak mampu membawa (disperse)
[5]
sedimen tersebut ke perairandalam di laut lepas. Sedimen suspense tersebut dapat
menyebar pada suatu daerah perairan yangluas sehingga membentuk pantai yang luas ,
datar, dan dangkal. Kemiringan dasar laut atau pantai sangat kecil.
Biasanya pantai berlumpur sangat rendah dan merupakan daerah rawa yang
terendam air pada saat muka air tinggi (pasang). Daerah ini sangat subur bagi tumbuhan
pantai seperti pohon bakau (mangrove). Kebanyakan organisme yang menempati daerah
berlumpur menunjukkan adaptasi dalammenggali dan melewati saluran yang permanen
dalam substrat. Kehadiran organize ditunjukkanoleh adanya lubang di permukaan
dengan ukuran dan bentuk yang berbeda. Ketika organisme berada di dalam substrat,
mereka harus beradaptasi untuk hidup dalam keadaan anaerobik atauharus membuat
beberapa jalan yang dapat mengalirkan air dari permukaan yang mengandung
Pantai berlumpur rentan terhadap fluktuasi pasang surut yang ekstrem. Oleh
karena itu, organisme benthos di pantai berlumpur telah mengembangkan adaptasi
[6]
untuk bertahan hidup dalam kondisi tersebut. Beberapa organisme mampu bertahan
hidup selama periode pasang surut dengan mengubur diri dalam lumpur atau dengan
menutup diri dengan cangkang atau selubung pelindung. Mereka kemudian muncul
kembali saat air pasang naik.
Koloni karang dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut Polip. Dalam
bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh
seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh Tentakel.
Namun pada kebanyakan Spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi
banyak individu yang disebut koloni. Hewan ini memiliki bentuk unik dan warna
beraneka rupa serta dapat menghasilkan CaCO3. Habitat Terumbu karang pada
umumnya hidup di pinggir pantai atau daerah yang masih terkena cahaya matahari
kurang lebih 50 m di bawah permukaan laut. Beberapa tipe terumbu karang dapat hidup
jauh di dalam laut dan tidak memerlukan cahaya, namun terumbu karang tersebut tidak
bersimbiosis dengan zooxanhellae dan tidak membentuk karang.
[7]
kematian massal mencapai 90-95%. Selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata suhu
permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3 °C di atas suhu normal.
Terumbu karang adalah rumah bagi banyak hubungan simbiosis dan mutualisme
antara organisme. Contohnya adalah hubungan mutualisme antara karang dan alga
simbiotik (zooxanthellae), di mana alga menyediakan nutrisi melalui fotosintesis dan
karang memberikan tempat tinggal dan nutrisi bagi alga. Selain itu, organisme seperti
ikan cleaner dan udang gobies memberikan pembersihan bagi organisme lain dengan
memakan parasit dan jaringan mati di permukaan karang.
[8]
Organisme benthos (organisme yang hidup di dasar laut) di terumbu karang
telah mengembangkan adaptasi khusus untuk bertahan hidup dalam lingkungan
Terumbu Karang. Banyak organisme benthos di terumbu karang memiliki bentuk tubuh
datar yang memungkinkan mereka untuk menyembunyikan diri di antara celah-celah
dan retakan terumbu karang. Bentuk tubuh yang datar membantu mereka mengurangi
risiko terpapar pemangsa dan membuat mereka sulit terlihat.
Organisme benthos di terumbu karang sering memiliki warna dan pola yang
menyamarkan diri mereka dengan lingkungan sekitar. Misalnya, beberapa spesies udang
dan kepiting memiliki pola yang menyerupai terumbu karang atau tumbuhan laut
sehingga mereka sulit terlihat oleh pemangsa. Beberapa spesies ubur-ubur dan anemon
laut di terumbu karang memiliki tentakel dan kaki yang panjang yang mereka gunakan
untuk menggantung diri di atas permukaan terumbu karang. Hal ini memungkinkan
mereka untuk memperoleh makanan yang terbawa oleh arus air dan menjauh dari
permukaan yang keras.
Terdapat ciri-ciri khusus bagi organisme yang hidup di daerah terumbu karang
guna beradaptasi terhadap lingkungannya. Berikut merupakan ciri-ciri yang dimiliki
oleh hewan-hewan karang:
[9]
bermata. Selain ukuran mata, bentuk adaptasi lain pada ikan laut dalam adalah
bentuk mata yang seperti pipa atau tubular. Diantara jenis invertebrata terdapat cumi-
cumi dari famili histioteuthidae yang memiliki sebuah mata lebih besar dari yang
satunya.
c) Mulut. Kebanyakan ikan laut dalam memiliki mulut yang ukurannya sangat besar
jika dibandingkan dengan ikan penghuni habitat lautan yang lainnya. Mulut juga
dilengkapi dengan gigi yang panjang dan melengkung kea rah tenggorokan, sehingga
menjamin bahwa makanan yang sudah masuk ke mulut tidak akan lepas. Mulut juga
dihubungkan dengan tengkorak oleh suatu engsel yang memungkinkan ikan
membuka mulut sangat lebar, bahkan lebih lebar dari tubuhnya. Bentuk adaptasi ini
adalah merupakan antisipasi terhadap kondisi kelangkaan pakan.
d) Ukuran tubuh. Ikan tertentu seperti Ceratias, yang betina memiliki ukuran jauh lebih
besar dibanding dengan jantan. Ikan jantan hidup menempel pada ikan betina
sebagaiparasit. Adaptasi ini berkaitan dengan rendahnya kepadatan, sehingga ada
kesulitan untuk mencari pasangan. Model seperti di atas ikan jantan selalu ada untuk
menyediakan sperma dan ikan betina tidak perlu mencari ikan jantan. Keadaan yang
menarik adalah ukuran tubuh invertebrata, seperti: amfipoda, isopoda, ostracoda,
kopepoda yang mempunyai ukuran tubuh lebih besar dari pada kerabatnya yang
hidup dalam perairan dangkal. Kejadian membesarnya ukuran tubuh sejalan dengan
meningkatnya kedalaman dikenal dengan istilah gigantisme abisal. Ukuran tubuh
terbesar dapat mencapai panjang 42 cm pada Batinomus giganteus.
e) Bioluminisens. Beberapa organisme laut dalam, terutama yang hidup pada zona
mesopelagik umumnya memiliki fotofor (organ penghasil cahaya), yang merupakan
bentuk adaptasi terhadap habitat yang gelap dan berait dengan pemangsaan. Organ
fotofor ikan laut dalam untuk masing-masing species memiliki ciri khas tertentu
sehingga dapat berfungsi sebagai pengenal bagi kerabatnya. Organ ini
mempermudah species ikan laut dalam untuk tetap berada dalam kelompoknya
maupun mempermudah dalam mencari pasangan untuk reproduksi.
[10]
1. Udang Peletakan Telur (Decorator Crab)
Kepiting pistol memiliki satu cangkang yang lebih besar dari pada cangkang
kaki mereka yang lain. Mereka menggunakan cangkang tersebut untuk membuat suara
yang sangat keras saat mengepakkan kaki mereka dengan cepat. Suara ini menciptakan
gelombang kejut yang dapat membunuh atau melumpuhkan mangsa mereka. Adaptasi
ini membantu kepiting pistol dalam berburu dan bertahan hidup di terumbu karang.
Ikan pisau memiliki bentuk tubuh pipih yang menyerupai daun atau dedaunan
yang layu. Warna dan pola pada tubuh mereka menyerupai tekstur dan warna
lingkungan sekitar, seperti karang atau rumput laut yang mati. Adaptasi ini
memungkinkan mereka untuk menyamarkan diri dan menunggu dengan sabar serangan
mangsa yang mendekat.
Bintang laut memiliki kemampuan luar biasa untuk meregenerasi anggota tubuh
yang hilang. Jika mereka kehilangan salah satu lengan mereka, mereka dapat tumbuh
kembali dari bagian tubuh yang tersisa. Kemampuan regenerasi ini memungkinkan
mereka untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan beradaptasi dengan kondisi
lingkungan yang berubah.
Spons yang hidup di terumbu karang memiliki struktur tubuh yang dapat
menyaring partikel makanan dari air. Mereka memiliki banyak pori-pori dan saluran
yang memungkinkan air mengalir melalui tubuh mereka, sementara mereka menangkap
partikel makanan mikroskopis. Kemampuan filtrasi ini memungkinkan spons untuk
[11]
mendapatkan nutrisi dari air sekitar dan bertahan hidup di terumbu karang yang miskin
nutrisi.
DAFTAR PUSTAKA
Astjario, P., & Setiady, D. (2010). Karakteristik Pantai di Kawasan Pesisir Timur Pulau
Natuna Besar, Kabupaten Natuna, Provinsi Riau. Jurnal Geologi Kelautan, Vol.
8(1), 48-56.
Alwi, D., Muhammad, S. H., & Bisi, S. (2018). Inventarisasi Organisme Avertebrata
Terumbu Karang Di Perairan Tanjung Dehegila Kabupaten Pulau
Morotai. Jurnal Ilmu Kelautan Kepulauan, 1(1).
Barus, B. S., Prartono, T., & Soedarma, D. (2018). Pengaruh Lingkungan Terhadap
Bentuk Pertumbuhan Terumbu Karang Di Perairan Teluk Lampung. Jurnal Ilmu
Dan Teknologi Kelautan Tropis, 10(3), 699-709.
Desmawati, I., Adany, A., & Java, C. A. (2019). Studi Awal Makrozoobenthos di
Kawasan Wisata Sungai Kalimas, Monumen Kapal Selam Surabaya. Jurnal
Sains dan Seni ITS, vol. 8(2), 1-4.
Ilhami, A., Diniya, D., Susilawati, S., Sugianto, R., & Ramadhan, C. F. (2021). Analisis
Kearifan Lokal Manongkah Kerang Di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau Sebagai
Sumber Belajar Ipa Berbasis Etnosains. Sosial Budaya, 18(1), 20-27.
Isdianto, A., & Luthfi, O. M. (2019). Persepsi Dan Pola Adaptasi Masyarakat Teluk
Popoh Terhadap Perubahan Iklim. Jurnal Ilmu Kelautan SPERMONDE, 5(2),
77-82.
[12]
Takalar. Skripsi. Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin,
Makassar.(Tidak dipublikasikan).
Perwira, I. Y., Ulinuha, D., & Titaheluw, F. G. (2012). Studi Karakteristik Jenis dan
Keragaman Fauna Pantai Berpasir, Berbatu, dan berlumpur di Kawasan Pesisir
pantai Sanur, Bali. Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana,
Denpasar.
Rahman, K., Nuriy, A. S., Kuncoro, B. W., Al-Adha, R., Selviani, & Az-Zihny, Z. R.
(2016). Ekosistem Pantai Berpasir Keanekaragaman Hayati Laut. Fakultas
Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru.
Tamba, R. A., Tanjung, A., & Elizal. (2013). Life Pattern og Gastropods on Breakwater
and Sandy Beach Ecosystem in Water Conservation Area Pariaman City West
Sumatra Province. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau, 1-
6.
[13]