Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

Adaptasi Organisme Di Pantai Berpasir, Berbatu, Berlumpur, dan Terumbu Karang

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:


PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN

DOSEN PENGAMPU:
Dr. Yayu Anugrah La Nafie, ST. M. Sc.

DISUSUN OLEH:
Rifka Maudy Wahdania Syam L021211074
Dela Pratiwi L021211070

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
A. Adaptasi Bentos Pantai Berpasir, Berbatu, Dan Berlumpur

Pantai adalah sebuah wilayah yang menjadi batas antara lautan dan daratan,
bentuk pantai berbeda-beda sesuai dengan keadaan dan proses yang terjadi di wilayah
tersebut, seperti pengangkutan, pengendapan dan pengikisan yang disebabkan oleh
gelombang, arus, angin dan keadaan lingkungan disekitarnya yang berlangsung secara
terus menerus, sehingga membentuk sebuah pantai. Pantai merupakan suatu wilayah
yang dimulai dari titik terendah air laut waktu surut hingga ke arah daratan sampai batas
paling jauh ombak/gelombang ke daratan. Beberapa jenis pantai yang biasa ditemukan
adalah pantai berpasir, pantai berbatu, dan pantai berlumpur (Tamba et al., 2014).

1. Pantai Berpasir

Pantai berpasir merupakan jenis pantai yang memiliki kondisi lingkungan


berpasir dan masih mengalami proses peninggian permukaan. Penumpukan pasir
tersebut berasal dari hempasan gelombang laut yang membawa ke permukaan daratan.
Jenis pantai ini biasanya banyak ditemukan vegetasi pantai dan hewan pantai daratan
(Suparkan, 2017).

Bentuk adaptasi adalah mencakup adaptasi struktural, adaptasi fisiologi, dan


adaptasi tingkah laku. Adaptasi struktural merupakan cara hidup untuk menyesuaikan
dirinya dengan mengembangkan struktur tubuh atau alat-alat tubuh ke arah yang lebih
sesuai dengan keadaan lingkungan dan keperluan hidup. Biota di pantai berpasir
memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang dapat berubah
secara signifikan salah satunya yaitu gastropoda. Gatropoda yang hidup di pantai
sebelah barat pulau Sumatera mengalami beberapa tekanan mulai dari fenomena alam
seperti arus dan gelombang, persaingan, pemangsaan dan aktivitas manusia (mencari
untuk hiasan bahkan asesori). Gastropoda merupakan kelompok moluska yang paling
berhasil hidup di berbagai habitat, seperti di darat, di air tawar dan di laut.

Keberhasilan mendiami berbagai habitat ini menunjukkan tingginya kemampuan


adaptasi lingkungan biota ini. Pergerakan gastropoda di pemecah gelombang tergantung
kepada penyebabnya seperti gerakan sesuatu yang mendekatinya (manusia dan biota
lain), hempasan gelombang/ombak, faktor ter-exposed (terdedah) dan yang paling
penting adalah ketersediaan makanan. Substrat dasar yang merupakan batu-batu pipih
dan batuan kerikil merupakan lingkungan hidup yang baik bagi hewan benthos. Perairan
yang berupa pasir merupakan lingkungan hidup yang kurang baik untuk hewan benthos.

[1]
Gastropoda di pantai konservasi pariaman pada umumnya menempel pada subsrat yang
keras seperti bebatuan disepanjang pantai. Gastropoda tidak terdapat di dasar perairan
yang bersubstrat pasir karena butiran sedimen yang halus.

Pergerakan gastropoda yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan pada umumnya


disebabkan oleh adanya perubahan pasang surut. Gastropoda yang menempel pada batu
selalu bergerak mengikuti gerakan pasang surut permukaan air laut misalnya berada di
atas garis air surut dan tidak terbenam oleh air. Dari beberapa jenis gastropoda yang
ditemukan di pantai tersebut ada gastropoda yang mampu bertahan terhadap hempasan
arus dan gelombang, tetapi ada juga gastropoda yang beradaptasi dengan melindungi
diri di balik bebatuan untuk menghindari arus dan gelombang. Berikut merupakan
beberapa bentuk adaptasi yang dilakukan oleh organisme pantai berpasir.

a) Daya tahan terhadap kehilangan air

Organisme yang hidup di daerah intertidal harus memiliki kemampuan untuk


menyesuaikan diri terhadap kehilangan air yang cukup besar selama berada di udara
terbuka. Mekanisme sederhana ditunjukkan oleh hewan-hewan yang bergerak, seperti
kepiting, anemon, Citon, dll. Hewan ini akan dengan mudah berpindah dari daerah
terbuka di intertidal kedalam lubang, celah atau galian yang basah atau bersembunyi
dibawah algae sehingga kehilangan air dapat dihindari. Secara aktif organisme ini
mencari mikrohabitat yang ideal. Untuk organisme yang tidak memiliki kemampuan
untuk aktif berpindah tempat seperti genera algae maupun beberapa genera bivalvia
mereka beradaptasi untuk mengatasi kehilangan air yang besar hanya dengan struktur
jaringan tubuhnya. Genera Porphyra, Fucus dan Enteromorpha misalnya sering
dijumpai dalam keadaan kisut dan kering setelah lama berada di udara terbuka, tetapi
jika air laut pasang mereka akan cepat menyerap air dan menjalankan proses hidup
seperti biasa.

Mekanisme lain organisme intertidal untuk beradaptasi terhadap kehilangan air


adalah melalui adaptasi struktural, tingkah laku maupun keduanya. Beberapa species
dari teritip, gastropoda (Littorina) dan bivalvia (Mytilus edulis) memiliki kemampuan
untuk menghindari kehilangan air dengan cara merapatkan cangkangnya atau memiliki
operkula yang dapat nmenutup rapat celah cangkang.

b) Keseimbangan Panas

[2]
Organisme intertidal memiliki keterbukaan terhadap perubahan suhu yang
ekstrem dan memperlihatkan adaptasi tingkah laku dan struktural tubuh untuk menjaga
keseimbangan panas internal. Di daerah tropis organisme cenderung hidup pada kisaran
suhu letal sehingga mekanisme keseimbangan panas berkenaan dengan suhu yang
terlalu tinggi. Beberapa bentuk adaptasi untuk menghidari kelebihan panas pada
tubuhnya yaitu:

 Memperbesar ukuran tubuh relatif bila dibandingkan dengan species yang sama.

Dengan memperbesar ukuran tubuh berarti perbandingan luas permukaan


dengan volume tubuh menjadi lebih kecil sehingga luas tubuh yang mengalami
peningkatan suhu menjadi lebih kecil. Pada keadaan yang sama tubuh yang lebih besar
memerlukan waktu lebih lama untuk bertambah panas dibanding dengan tubuh yang
lebih kecil

 Memperbanyak ukiran pada cangkang

Ukiran-ukiran pada cangkang berfungsi sebagai sirip radiator sehingga


memudahkan hilangnya panas. Contoh Littorina dan Tectarius.

 Pembentukan warna tertentu pada cangkang

Hilangnya panas dapat juga diperbesar melalui pembentukan warna tertentu


pada cangkang. Genera Nerita, dan Littorina memiliki warna lebih terang dibandingkan
dengan kerabatnya yang hidup di daerah lebih bawah (warna gelap akan menyerap
panas).

 Memiliki persediaan air tambahan

Persediaan air tambahan yang disimpan didalam rongga mantel seperti pada
teritip dan limfet yang banyaknya melebihi kebutuhan hidup hewan ini. Persediaan
airini dipergunakan untuk strategi mendinginkan tubuh melalui penguapan sekaligus
menghindarkan kekeringan.

c) Reproduksi

Kebanyakan organisme intertidal hidup menetap atau melekat, sehingga dalam


penyebarannya mereka menghasilkan telur atau larva yang bersifat planktonik.
Reproduksi dapat juga terjadi secara periodik mengikuti iramna pasang-surut tertentu,

[3]
seperti misalnya pada pasang-purnama. Contoh Mytillus edulis, gonad menjadi dewasa
selama pasang purnama dan pemijahan berlangsung ketika pasang perbani.

d) Tekanan Mekanik

Setiap organisme intertidal perlu beradaptasi untuk mempertahankan diri dari


pengaruh ombak. Gerakan ombak mempunyai pengaruh yang berbeda pada pantai
berbatu, berpasir dan berlumpur sehingga memiliki konsekuensi bentuk adaptasi yang
berbeda pada organismenya. Beberapa bentuk adaptasi yaitu: Melekat kuat pada
substrat, menyatukan dirinya pada dasar perairan melalui sebuah alat pelekan (Algae),
memiliki kaki yang kuat dan kokoh seperti pada Citon dan limfet, melekat dengan kuat
tetapi tidak permanen seperti pada Mytillus melalui bisus yang dapat putus dan dibentuk
kembali, dan mempertebal ukuran cangkang.

2. Pantai Berbatu

Pantai berbatu merupakan suatu lingkungan pesisir yang produktif dan subur.
Kombinasi substrat keras untuk penempelan, frekuensi gelombang dan arus yang tinggi
serta perairan yang jernih menyediakan habitat yang menguntungkan bagi berbagai
jenis biota laut. Sebaran bongkah granit secara tidak beraturan dan tumpang tindih di
kawasan pesisir menyebabkan garis pantai ini menjadi garis pantai yang bernilai wisata
tinggi (Astjario & Setiady, 2010).

Organisme yang hidup di pantai berbatu telah mengalami adaptasi khusus untuk
bertahan dan beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang keras. Beberapa adaptasi
organisme di pantai berbatu meliputi:

a) Bentuk Tubuh Khusus: Beberapa organisme memiliki bentuk tubuh yang datar atau
berlendir untuk mengurangi tekanan air dan mencegah terbawanya oleh ombak.
Contoh organisme dengan bentuk tubuh seperti ini adalah tiram, kerang, atau teritip.
b) Penempelan yang Kuat: Organisme seperti ganggang, lamun, dan beberapa jenis
kerang memiliki kemampuan untuk menempel erat pada batu atau permukaan
lainnya. Mereka menggunakan struktur seperti benang atau pelekatan khusus pada
tubuh mereka untuk menghindari terbawa oleh arus atau gelombang laut.
c) Tahan Terhadap Dehidrasi: Organisme di pantai berbatu harus mampu bertahan
dalam kondisi kering saat air surut. Beberapa organisme memiliki kemampuan untuk
menutup diri dan mengunci kelembapan di dalam tubuh mereka selama periode ini.

[4]
Misalnya, kepiting dan beberapa jenis siput memiliki kulit yang tahan terhadap
kehilangan air dan mampu menyimpan air di dalam tubuh mereka.
d) Kekuatan dan Perlindungan: Beberapa organisme, seperti remis dan kerang, memiliki
cangkang yang keras untuk melindungi tubuh mereka dari tekanan ombak atau
predator. Beberapa juga memiliki duri atau bulu-bulu kecil untuk mengurangi risiko
terkena serangan predator.
e) Kemampuan Memperoleh Makanan: Organisme di pantai berbatu harus mampu
memperoleh makanan di lingkungan yang terbatas. Beberapa organisme memiliki
struktur khusus untuk mengumpulkan nutrisi dari air laut atau untuk mengais
makanan di antara celah-celah batu. Contohnya adalah ganggang hijau yang
menutupi batu dan menggunakan cahaya matahari untuk fotosintesis.

Selain adaptasi fisik, organisme di pantai berbatu juga memiliki mekanisme


biologis dan perilaku yang membantu mereka bertahan. Mereka dapat memiliki siklus
hidup yang sesuai dengan pasang surut air laut, bergerak ke zona yang lebih tinggi saat
air surut, dan kembali ke zona yang lebih rendah saat air pasang. Beberapa organisme
juga memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan suhu dan salinitas air
yang terjadi di pantai berbatu.

3. Pantai Berlumpur

Pantai berlumpur dicirikan oleh ukuran butiran sedimen sangat halus dan
memilikitingkat bahan organic yang tinggi, pantai ini pula banyak dipengaruhi oleh
pasang surut yangmengaduk sedimen secara periodik. Interaksi organisme dengan
sedimen dan pengaruh evaporasi perairan sangat tinggi di lingkungannya.

Pantai berlumpur sebagai mintakat memiliki pengaruh energi rendah seperti


estuary dan lagoon juga sebagai daerah pemasukan air tawar (influx freshwaters)
dalam jumlah yang besar sehingga kompleksitas sedimen dominan adalah berbutir halus
(dominantlyfine-grained sediments). Bagaimanapun, pelumpuran yang terjadi di
wilayah pantai tidak hanya disebabkan oleh energi lingkungan rendah, akan tetapi
bahwa kelimpahan sedimen seperti sedimen halus, pengendapan lumpur dapat tetap
berlaku dan bahkan pada pantai yang memiliki pengaruhgelombang yang besar.

Pantai berlumpur terjadi di daerah pantai di mana terdapat banyak muara sungai
yangmembawa sedimen suspense dalam jumlah besar ke laut. Selain itu kondisi
gelombang di pantaitersebut relative tenang sehingga tidak mampu membawa (disperse)

[5]
sedimen tersebut ke perairandalam di laut lepas. Sedimen suspense tersebut dapat
menyebar pada suatu daerah perairan yangluas sehingga membentuk pantai yang luas ,
datar, dan dangkal. Kemiringan dasar laut atau pantai sangat kecil.

Biasanya pantai berlumpur sangat rendah dan merupakan daerah rawa yang
terendam air pada saat muka air tinggi (pasang). Daerah ini sangat subur bagi tumbuhan
pantai seperti pohon bakau (mangrove). Kebanyakan organisme yang menempati daerah
berlumpur menunjukkan adaptasi dalammenggali dan melewati saluran yang permanen
dalam substrat. Kehadiran organize ditunjukkanoleh adanya lubang di permukaan
dengan ukuran dan bentuk yang berbeda. Ketika organisme berada di dalam substrat,
mereka harus beradaptasi untuk hidup dalam keadaan anaerobik atauharus membuat
beberapa jalan yang dapat mengalirkan air dari permukaan yang mengandung

Adaptasi benthos di pantai berlumpur mencakup berbagai mekanisme dan


strategi yang memungkinkan organisme hidup dan bertahan di lingkungan berlumpur.
Organisme benthos di pantai berlumpur sering kali memiliki adaptasi fisik yang unik
untuk mengatasi kondisi lingkungan yang berlumpur. Misalnya, mereka dapat memiliki
tubuh yang pipih atau silindris untuk mengurangi tekanan hidrostatis yang dihasilkan
oleh lumpur. Beberapa organisme juga memiliki ekstremitas yang memungkinkan
mereka untuk menggali lubang atau menggerakkan diri melalui lumpur.

Di pantai berlumpur, oksigen mungkin kurang tersedia karena adanya lapisan


lumpur yang menghalangi akses ke atmosfer. Oleh karena itu, organisme benthos telah
mengembangkan adaptasi pernapasan khusus. Beberapa memiliki struktur bernapas
khusus yang memungkinkan mereka mengambil oksigen dari udara atau dari dalam
lumpur. Contoh adaptasi pernapasan termasuk adanya rongga bernapas di bagian tubuh
atau adanya protrusi bernapas yang muncul di permukaan lumpur.

Organisme benthos di pantai berlumpur juga telah mengembangkan cara-cara


khusus untuk bergerak dan mendapatkan makanan. Beberapa memiliki alat gerak
khusus seperti rambut, ekor, atau kaki yang memungkinkan mereka bergerak melalui
lumpur dengan mudah. Beberapa spesies memiliki struktur penggali yang kuat untuk
mencari makanan di dalam lumpur, sedangkan yang lain dapat menghasilkan lendir
untuk menangkap partikel makanan.

Pantai berlumpur rentan terhadap fluktuasi pasang surut yang ekstrem. Oleh
karena itu, organisme benthos di pantai berlumpur telah mengembangkan adaptasi

[6]
untuk bertahan hidup dalam kondisi tersebut. Beberapa organisme mampu bertahan
hidup selama periode pasang surut dengan mengubur diri dalam lumpur atau dengan
menutup diri dengan cangkang atau selubung pelindung. Mereka kemudian muncul
kembali saat air pasang naik.

Pantai berlumpur seringkali mengalami perubahan kimia yang cepat, seperti


fluktuasi tingkat salinitas dan kadar oksigen. Organisme benthos di pantai berlumpur
telah mengembangkan toleransi terhadap perubahan ini melalui adaptasi fisiologis dan
perilaku. Beberapa organisme mampu mengatur tingkat salinitas internal mereka,
sementara yang lain memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dalam kondisi
rendahnya kadar oksigen.

B. ADAPTASI ORGANISME DI TERUMBU KARANG

Terumbu karang adalah sekumpulan hewan karang yang bersimbiosis dengan


sejenis tumbuhan alga yang disebut zooxanthellae. Terumbu karang termasuk dalam
jenis filum Cnidaria kelas Anthozoa yang memiliki tentakel. Kelas Anthozoa tersebut
terdiri dari dua Subkelas yaitu Hexacorallia (atau Zoantharia) dan Octocorallia, yang
keduanya dibedakan secara asal-usul.

Koloni karang dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut Polip. Dalam
bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh
seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh Tentakel.
Namun pada kebanyakan Spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi
banyak individu yang disebut koloni. Hewan ini memiliki bentuk unik dan warna
beraneka rupa serta dapat menghasilkan CaCO3. Habitat Terumbu karang pada
umumnya hidup di pinggir pantai atau daerah yang masih terkena cahaya matahari
kurang lebih 50 m di bawah permukaan laut. Beberapa tipe terumbu karang dapat hidup
jauh di dalam laut dan tidak memerlukan cahaya, namun terumbu karang tersebut tidak
bersimbiosis dengan zooxanhellae dan tidak membentuk karang.

Ekosistem terumbu karang sebagian besar terdapat di perairan tropis, sangat


sensitif terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi,
Eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami (pristine). Demikian halnya dengan
perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis pada
tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan

[7]
kematian massal mencapai 90-95%. Selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata suhu
permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3 °C di atas suhu normal.

Terumbu karang adalah rumah bagi banyak hubungan simbiosis dan mutualisme
antara organisme. Contohnya adalah hubungan mutualisme antara karang dan alga
simbiotik (zooxanthellae), di mana alga menyediakan nutrisi melalui fotosintesis dan
karang memberikan tempat tinggal dan nutrisi bagi alga. Selain itu, organisme seperti
ikan cleaner dan udang gobies memberikan pembersihan bagi organisme lain dengan
memakan parasit dan jaringan mati di permukaan karang.

Organisme di terumbu karang memiliki struktur tubuh yang khusus untuk


beradaptasi dengan lingkungan terumbu karang. Misalnya, karang pembentuk terumbu
memiliki struktur kalsium karbonat yang kuat untuk mendukung pertumbuhan vertikal
dan horizontal. Beberapa organisme seperti gorgonia memiliki polip berbentuk ranting
untuk menangkap partikel makanan di arus air yang lemah. Organisme juga
mengembangkan kemampuan regenerasi yang baik untuk mengatasi kerusakan fisik
atau kerusakan yang disebabkan oleh predator.

Banyak organisme di terumbu karang memiliki kemampuan untuk meregenerasi


diri setelah mengalami kerusakan atau cedera. Misalnya, koral dapat tumbuh kembali
setelah rusak akibat badai atau aktivitas manusia. Beberapa organisme juga memiliki
kemampuan untuk meregenerasi anggota tubuh mereka, seperti lengan pada bintang
laut.

Terumbu karang terletak di perairan yang mengalami fluktuasi salinitas, seperti


estuari atau daerah di dekat muara sungai. Organisme di terumbu karang telah
mengembangkan adaptasi untuk mentolerir perubahan salinitas. Beberapa organisme
memiliki kemampuan osmoregulasi yang baik untuk mempertahankan keseimbangan
air dan garam dalam tubuh mereka.

Organisme di terumbu karang memiliki beragam strategi pemakanan untuk


mendapatkan nutrisi. Beberapa organisme seperti ikan herbivora karang mengkonsumsi
alga dan detritus organik, sementara yang lain adalah pemangsa aktif yang memakan
invertebrata kecil atau organisme planktonik. Organisme filter feeder seperti kerang
karang menggunakan struktur tubuh mereka untuk menyaring partikel makanan dari air.

[8]
Organisme benthos (organisme yang hidup di dasar laut) di terumbu karang
telah mengembangkan adaptasi khusus untuk bertahan hidup dalam lingkungan
Terumbu Karang. Banyak organisme benthos di terumbu karang memiliki bentuk tubuh
datar yang memungkinkan mereka untuk menyembunyikan diri di antara celah-celah
dan retakan terumbu karang. Bentuk tubuh yang datar membantu mereka mengurangi
risiko terpapar pemangsa dan membuat mereka sulit terlihat.

Organisme benthos di terumbu karang sering memiliki warna dan pola yang
menyamarkan diri mereka dengan lingkungan sekitar. Misalnya, beberapa spesies udang
dan kepiting memiliki pola yang menyerupai terumbu karang atau tumbuhan laut
sehingga mereka sulit terlihat oleh pemangsa. Beberapa spesies ubur-ubur dan anemon
laut di terumbu karang memiliki tentakel dan kaki yang panjang yang mereka gunakan
untuk menggantung diri di atas permukaan terumbu karang. Hal ini memungkinkan
mereka untuk memperoleh makanan yang terbawa oleh arus air dan menjauh dari
permukaan yang keras.

Beberapa organisme benthos, seperti kerang dan kepiting, memiliki struktur


penutup tubuh yang keras dan kuat untuk melindungi mereka dari pemangsa dan
kerusakan fisik. Struktur ini juga membantu mereka bertahan dalam kondisi lingkungan
yang keras, seperti arus kuat dan tekanan air yang tinggi. Beberapa organisme benthos,
seperti spons dan moluska, memiliki kemampuan untuk menyaring partikel makanan
dari air. Mereka menggunakan struktur khusus, seperti pori-pori pada spons atau insang
pada moluska, untuk menangkap makanan mikroskopis yang terdapat dalam air.

Terdapat ciri-ciri khusus bagi organisme yang hidup di daerah terumbu karang
guna beradaptasi terhadap lingkungannya. Berikut merupakan ciri-ciri yang dimiliki
oleh hewan-hewan karang:

a) Warna. Ikan-ikan mesopelagik cenderung berwarna abu-abu keperakan atau hitam


kelam, sedangkan invertebratanya berwarna ungu atau merah cerah. Organisme yang
hidup di zona abisal dan batial sering tidak berwarna atau berwarna putih kotor, dan
tidak berpigmen (khusus hewan bentik), sedangkan ikan penghuni zona ini berwarna
hitam kelam.
b) Mata. Ikan-ikan penghuni zona mesopelagik memiliki ukuran mata yang besar jika
dibandingkan dengan ukuran tubuhnya, sedangkan ikan penghuni zona yang lebih
dalam (abisal dan hadal pelagik) memiliki mata yang sangat kecil atau bahkan tidak

[9]
bermata. Selain ukuran mata, bentuk adaptasi lain pada ikan laut dalam adalah
bentuk mata yang seperti pipa atau tubular. Diantara jenis invertebrata terdapat cumi-
cumi dari famili histioteuthidae yang memiliki sebuah mata lebih besar dari yang
satunya.
c) Mulut. Kebanyakan ikan laut dalam memiliki mulut yang ukurannya sangat besar
jika dibandingkan dengan ikan penghuni habitat lautan yang lainnya. Mulut juga
dilengkapi dengan gigi yang panjang dan melengkung kea rah tenggorokan, sehingga
menjamin bahwa makanan yang sudah masuk ke mulut tidak akan lepas. Mulut juga
dihubungkan dengan tengkorak oleh suatu engsel yang memungkinkan ikan
membuka mulut sangat lebar, bahkan lebih lebar dari tubuhnya. Bentuk adaptasi ini
adalah merupakan antisipasi terhadap kondisi kelangkaan pakan.
d) Ukuran tubuh. Ikan tertentu seperti Ceratias, yang betina memiliki ukuran jauh lebih
besar dibanding dengan jantan. Ikan jantan hidup menempel pada ikan betina
sebagaiparasit. Adaptasi ini berkaitan dengan rendahnya kepadatan, sehingga ada
kesulitan untuk mencari pasangan. Model seperti di atas ikan jantan selalu ada untuk
menyediakan sperma dan ikan betina tidak perlu mencari ikan jantan. Keadaan yang
menarik adalah ukuran tubuh invertebrata, seperti: amfipoda, isopoda, ostracoda,
kopepoda yang mempunyai ukuran tubuh lebih besar dari pada kerabatnya yang
hidup dalam perairan dangkal. Kejadian membesarnya ukuran tubuh sejalan dengan
meningkatnya kedalaman dikenal dengan istilah gigantisme abisal. Ukuran tubuh
terbesar dapat mencapai panjang 42 cm pada Batinomus giganteus.
e) Bioluminisens. Beberapa organisme laut dalam, terutama yang hidup pada zona
mesopelagik umumnya memiliki fotofor (organ penghasil cahaya), yang merupakan
bentuk adaptasi terhadap habitat yang gelap dan berait dengan pemangsaan. Organ
fotofor ikan laut dalam untuk masing-masing species memiliki ciri khas tertentu
sehingga dapat berfungsi sebagai pengenal bagi kerabatnya. Organ ini
mempermudah species ikan laut dalam untuk tetap berada dalam kelompoknya
maupun mempermudah dalam mencari pasangan untuk reproduksi.

Adaptasi ini membantu organisme benthos di terumbu karang untuk bertahan


hidup dan berkembang biak dalam lingkungan yang beragam dan sering kali penuh
dengan tantangan. Melalui adaptasi ini, organisme benthos berperan penting dalam
menjaga keseimbangan ekosistem terumbu karang yang rapuh. Berikut adalah beberapa
contoh adaptasi organisme benthos di terumbu karang:

[10]
1. Udang Peletakan Telur (Decorator Crab)

Udang decorator crab memiliki kemampuan untuk menghiasi tubuhnya dengan


bahan-bahan dari sekitarnya, seperti serpihan karang, alga, atau spons. Mereka
menempelkan bahan-bahan ini pada bulu-bulu atau duri-duri pada tubuhnya untuk
menyamarkannya di antara terumbu karang. Hal ini membantu mereka
menyembunyikan diri dari pemangsa dan memberikan perlindungan.

2. Kepiting Pistol (Pistol Shrimp)

Kepiting pistol memiliki satu cangkang yang lebih besar dari pada cangkang
kaki mereka yang lain. Mereka menggunakan cangkang tersebut untuk membuat suara
yang sangat keras saat mengepakkan kaki mereka dengan cepat. Suara ini menciptakan
gelombang kejut yang dapat membunuh atau melumpuhkan mangsa mereka. Adaptasi
ini membantu kepiting pistol dalam berburu dan bertahan hidup di terumbu karang.

3. Ikan Pisau (Leaf Scorpionfish)

Ikan pisau memiliki bentuk tubuh pipih yang menyerupai daun atau dedaunan
yang layu. Warna dan pola pada tubuh mereka menyerupai tekstur dan warna
lingkungan sekitar, seperti karang atau rumput laut yang mati. Adaptasi ini
memungkinkan mereka untuk menyamarkan diri dan menunggu dengan sabar serangan
mangsa yang mendekat.

4. Bintang Laut Regenerasi (Sea Star Regeneration)

Bintang laut memiliki kemampuan luar biasa untuk meregenerasi anggota tubuh
yang hilang. Jika mereka kehilangan salah satu lengan mereka, mereka dapat tumbuh
kembali dari bagian tubuh yang tersisa. Kemampuan regenerasi ini memungkinkan
mereka untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan beradaptasi dengan kondisi
lingkungan yang berubah.

5. Spons Filtrasi (Filter-Feeding Sponges)

Spons yang hidup di terumbu karang memiliki struktur tubuh yang dapat
menyaring partikel makanan dari air. Mereka memiliki banyak pori-pori dan saluran
yang memungkinkan air mengalir melalui tubuh mereka, sementara mereka menangkap
partikel makanan mikroskopis. Kemampuan filtrasi ini memungkinkan spons untuk

[11]
mendapatkan nutrisi dari air sekitar dan bertahan hidup di terumbu karang yang miskin
nutrisi.

6. Cacing Karang (Christmas Tree Worms)

Cacing karang memiliki tubuh yang tertanam di dalam terumbu karang,


sedangkan cangkang berwarna cerah dan menonjol dari permukaan terumbu karang.
Cangkang ini memiliki bulu-bulu yang berfungsi untuk menangkap makanan
mikroskopis dari air. Cacing karang dapat menarik bulu-bulunya ke dalam cangkang
jika ada ancaman. Adaptasi ini membantu mereka melindungi diri dan memperoleh
makanan dari lingkungan sekitar.

DAFTAR PUSTAKA

Astjario, P., & Setiady, D. (2010). Karakteristik Pantai di Kawasan Pesisir Timur Pulau
Natuna Besar, Kabupaten Natuna, Provinsi Riau. Jurnal Geologi Kelautan, Vol.
8(1), 48-56.

Alamsyah, R. (2020). Biogeografi terumbu karang indonesia. Agrominansia, 5(1), 37-


45.

Alwi, D., Muhammad, S. H., & Bisi, S. (2018). Inventarisasi Organisme Avertebrata
Terumbu Karang Di Perairan Tanjung Dehegila Kabupaten Pulau
Morotai. Jurnal Ilmu Kelautan Kepulauan, 1(1).

Barus, B. S., Prartono, T., & Soedarma, D. (2018). Pengaruh Lingkungan Terhadap
Bentuk Pertumbuhan Terumbu Karang Di Perairan Teluk Lampung. Jurnal Ilmu
Dan Teknologi Kelautan Tropis, 10(3), 699-709.

Desmawati, I., Adany, A., & Java, C. A. (2019). Studi Awal Makrozoobenthos di
Kawasan Wisata Sungai Kalimas, Monumen Kapal Selam Surabaya. Jurnal
Sains dan Seni ITS, vol. 8(2), 1-4.

Fajri, N. (2013). Struktur Komunitas Makrozoobenthos di Perairan Pantai Kuwang Wae


Kabupaten Lombok Timur. Jurnal Educatio, vol. 8(2), 81-100.

Ilhami, A., Diniya, D., Susilawati, S., Sugianto, R., & Ramadhan, C. F. (2021). Analisis
Kearifan Lokal Manongkah Kerang Di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau Sebagai
Sumber Belajar Ipa Berbasis Etnosains. Sosial Budaya, 18(1), 20-27.

Isdianto, A., & Luthfi, O. M. (2019). Persepsi Dan Pola Adaptasi Masyarakat Teluk
Popoh Terhadap Perubahan Iklim. Jurnal Ilmu Kelautan SPERMONDE, 5(2),
77-82.

Muhaimin, H. A. I. D. I. R. (2013). Distribusi Makrozoobentos Pada Sedimen Bar


(Pasir Penghalang) Di Intertidal Pantai Desa Mappakalompo Kabupaten

[12]
Takalar. Skripsi. Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin,
Makassar.(Tidak dipublikasikan).

Perwira, I. Y., Ulinuha, D., & Titaheluw, F. G. (2012). Studi Karakteristik Jenis dan
Keragaman Fauna Pantai Berpasir, Berbatu, dan berlumpur di Kawasan Pesisir
pantai Sanur, Bali. Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana,
Denpasar.

Rahman, K., Nuriy, A. S., Kuncoro, B. W., Al-Adha, R., Selviani, & Az-Zihny, Z. R.
(2016). Ekosistem Pantai Berpasir Keanekaragaman Hayati Laut. Fakultas
Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru.

Rosmawati. (2011). EKOLOGI PERAIRAN. Bogor: Hiliana Press.

Sabar, M. (2016). Biodiversitas dan Adaptasi Makrozoobenthos di Perairan Mangrove.


Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Khairun, Ternate, 529-539.

Sari, E. K. (2020). Distribusi Makrozoobenthos pada Ekosistem Lamun di Perairan


Pantai Panrahluhu, Desa Bira, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba.
[Skripsi]. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin,
Makassar.

Suparkan, Z. (20117). Keanekaragaman Makrozoobenthos Epifauna di Wisata Pantai


Akkarena dan Tanjung Bayang Makassar. [Skripsi]. Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Tamba, R. A., Tanjung, A., & Elizal. (2013). Life Pattern og Gastropods on Breakwater
and Sandy Beach Ecosystem in Water Conservation Area Pariaman City West
Sumatra Province. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau, 1-
6.

Ulfah, Y., Widianingsih, W., & Zainuri, M. (2012). Struktur Komunitas


Makrozoobenthos di Perairan Wilayah Morosari Desa Bedono Kecamatan
Sayung Demak. Journal of Marine Research, 1(2), 188-196.

Wijayanti M, H. E. N. N. I. (2007). Kajian Kualitas Perairan Di Pantai Kota Bandar


Lampung Berdasarkan Komunitas Hewan Makrobenthos (Doctoral Dissertation,
Program Pascasarjana Universitas Diponegoro).

[13]

Anda mungkin juga menyukai