Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PEMANTAUAN TERUMBU KARANG

PENDATAAN KATEGORI SUBSTRAT TERUMBU KARANG DI PERAIRAN


PULAU SAMALONA
DENGAN METODE UPT (Underwater Photo Transeck)

OLEH :
CAHYA NOR FADHILLAH
L111 16 517
SELAM ILMIAH

DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Terumbu karang merupakan sebuah ekosistem kompleks yang
dibangun, utamanya oleh biota penghasil kapur (terutama karang) bersama
biota lain yang hidup di dasar dan di kolom air. Adanya proses pelekatan
biota-biota karang ke substrat dasar perairan, pembentukan kerangka
kapur, segmentasi, degradasi, erosi dan akresi yang terjadi secara
berulang-ulang dalam jangka waktu yang panjang maka terbentuknya
terumbu karang. Sebagai habitat yang stabil, terumbu karang banyak dihuni
oleh biota-biota yang berasosiasi sehingga membentuk suatu jejaring yang
kompleks dimana ada keterkaitan antara biota yang satu dengan biota yang
lain serta faktor lingkungan (Suharsono, 2018).
Secara umum, ekosistem terumbu karang memiliki banyak peranan, baik dari
segi ekologi maupun sosial ekonomi. Dari segi ekologi, terumbu karang
merupakan habitat bagi banyak biota laut yang merupakan sumber
keanekaragaman hayati. Selain itu, terumbu karang merupakan tempat memijah,
mencari makan, dan berlindung bagi biota-biota, sehingga terumbu karang yang
baik mampu meningkatkan produktivitas yang tinggi. Terumbu karang juga
merupakan tempat dihasilkannya berbagai macam senyawa penting untuk bahan
suplemen maupun obat-obatan, terutama dari biota-biota benthos yang
berasosiasi. Terumbu karang juga mampu melindungi pantai dari ancaman abrasi.
Dari segi sosial ekonomi, pendapatan masyarakat pesisir dapat meningkat baik itu
dari hasil perikanan maupun dari wisata bahari. Mengingat begitu besar manfaat
yang diberikan, sudah seharusnya terumbu karang mendapatkan perhatian lebih
untuk melestarikannya (LIPI, 2018).
Meskipun terumbu karang memiliki nilai ekonomis yang tinggi bagi Indonesia,
sayangnya terumbu karang sangat rentan terhadap kerusakan, terutama oleh
tekanan manusia. Penurunan terumbu karang di Indonesia dapat disebabkan oleh
berbagai macam hal, diantaranya sedimentasi, pencemaran yang berasal dari
daratan seperti pembuangan limbah industry maupun domestik, penamabangan
karang untuk bahan bangunan ataupun kerusakan-kerusakan fisik lainnya seperti
eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya laut, dan penangkapan ikan yang
tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak dan racun seperti
potassium (Suharsono, 2017).
Berdasarkan urairan diatas maka dilakukan pemantauan terumbu
karang di Pulau Samalona dengan menggunakan metode UPT (Undewater
Photo Transect) untuk dapat mengetahui kondisi tutupan karang pada
daerah tersebut.

B. Tujuan dan Kegunaan


Metode Pemantauan Terumbu Karang ini bertujuan untuk dapat
mengetahui dan mengaplikasikan metode pemantauan terumbu karang.
Adapun kegunaan metode ini adalah agar peserta mampu menerapkan
metode dan menginterpretasikan hasil pemantauan terumbu karang.

C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari Pemantauan Terumbu Karang ini meliputi jenis
tutupan karang yang mendominasi, dan kondisi terumbu karang yang
terdapat pada pulau tersebut.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Terumbu Karang
Terumbu karang adalah struktur fisik yang terbentuk oleh kegiatan
banyak hewan karang kecil yang hidup dalam koloni besar dan membentuk
kerangka kapur bersama-sama. Selama ribuan tahun, gabungan massa
kerangka kapur tersebut membentuk terumbu besar, yang sebahagian
diantaranya tampak dari angkasa. Ada sekitar 800 spesies karang
pembentuk terumbu, yang membutuhkan persyaratan yang rumit, yakni
membutuhkan perairan yang jernih, tembus cahaya, dan hangat. Hewan
karang yang hidup sendiri, yang dikenal dengan polip, memiliki tubuh
seperti tabung dan mulut yang berada ditengah dan dikelilingi oleh tentakel
penyengat, yang dapat menangkap makanan. Di dalam jaringan tubuh
polip, hidup mikroalga (zooxanthellae) yang membutuhkan cahaya
matahari untuk kelangsungan hidupnya. Agar tetap hidup, alga ini
mengubah cahaya matahari menjadi zat gula (glukosa), yang menghasilkan
tenaga untuk membantu kehidupan inang karangnya. Alga ini juga
memberikan warna yang cerah pada karang (Burke.et al., 2012).

Gambar 1 Ekosistem Terumbu Karang

Karang memiliki varasi bentuk pertumbuhan koloni yang berkaitan


dengan kondisi lingkungan perairan. Berbagai jenis bentuk pertumbuhan
karang dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, hydrodinamis
(gelombang dan arus), ketersediaan bahan makanan, sedimen, sub areal
exposure dan factor genetik. Berdasarkan bentuk pertumbuhannya karang
batu terbagi atas karang acropora dan non-acropora. Perbedaan Acropora
dengan non-Acropora terletak pada struktur skeletonnya, Acropora memiliki
bagian yang disebut axial koralit dan radial koralit, sedangkan non-Acropora
hanya memiliki radial koralit (English et, al., 1994).

Gambar 2 Aksial Koralit dan Radial Koralit Karang

1. Bentuk Pertumbuhan Karang Acropora


Bentuk pertumbuhan karang acropora terdiri dari 5 bentuk, yaitu :
a. Acropora bentuk cabang (Acropora Branching), bentuk bercabang
seperti ranting pohon.
b. Acropora meja (Acropora Tabulate), bentuk bercabang dengan arah
mendatar dan rata sepert meja. Karang ini ditopang dengan batang yang
berpusat atau bertumpu pada satu sisi membentuk sudut atau datar.
c. Acropora merayap (Acropora Encrusting), bentuk merayap dan
biasanya terjadi pada acropora yang belum sempurna.
d. Acropora Submasif (Acropora Submassive), bentuk percabangan
gada/lempeng dan kokoh.
e. Acropora berjadi (Acropora Digitate), bentuk percabangan rapat dengan
cabang seperti jari-jari tangan.

2. Bentuk Pertumbuhan Karang Non-Acropora


Bentuk pertumbuhan karang non-Acropora terdiri dari 6 bentuk
pertumbuhan (lifeform) yaitu:
a. Bentuk bercabang (Branching), memiliki cabang lebih panjang daripada
diameter yang dimiliki, banyak terdapat disepanjang tepi terumbu dan
bagian atas lereng terutama yang terlindungi atau setengah terbuka.
Bersifat banyak memberikan tempat perlindungan bagi ikan dan
invertebrate tertentu.
b. Bentuk padat (Massive), memiliki ukuran yang bervariasi dan beberaa
bentuk seperti bongkahan batu. Permukaan karang ini halus dan padat,
biasanya ditemukan disepanjang tepi terumbu karang dan bagian atas
lereng terumbu.
c. Bentuk kerak (Encrusting), tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan
permukaan yang kasar dan keras serta berlubang-lubang kecil. Banyak
ditemukan pada lokasi yang terbuka dan berbatu-batu, terutama
mendominasi sepanjang tepi lereng terumbu bersifat memberikan
tempat berlindung untuk hewan-hewan kecil yang sebagian tubuhnya
tertutup cangkang.
d. Bentuk lembaran (foliose), merupakan lembaran-lembaran yang
menonjol pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan
atau melingkar terutama pada lereng terumbu dan daerah-daerah yang
terlindung. Bersifat memberikan perlindungan bagi ikan dan hewan lain.
e. Bentuk jamur (mushroom), berbentuk oval dan tampak seperti jamur,
memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga
pusat mulut.
f. Bentuk submasif (Submassive), memiliki bentuk yang kokoh dengan
tonjolan-tonjolan atau kolom-kolom kecil.

3. Bentuk-Bentuk Terumbu
Pada dasarnya terumbu karang dibagi menjadi 3 menurut bentuknya,
walaupun beberapa saintis ada yang membagi bentuk terumbu karang
menjadi 5 atau lebih. Namun, pada beberapa bentuk tambahan yang lain
pada dasarnya merupakan pecahan dari 3 kelompok besar pembagian
bentuk terumbu karang tersebut. Ketiga bentuk terumbu karang tersebut
adalah sebagai berikut (Thamrin, 2006):
a. Fringing Reef (Terumbu Karang Tepi)
Fringing reef adalah terumbu karang yang tumbuh di tepi suatu pulau
atau di tepi sepanjang pantai yang luas menghadap langsung ke laut.
Fringing reef adalah tipe terumbu karang yang banyak dijumpai di daerah
perairan Asia Tenggara dimana sebagian besar pulau-pulau yang memiliki
perairan yang jernih dan dangkal dilindungi oleh terumbu karang
penghalang dari gempuran ombak. Perusakan terumbu karang berdampak
pada eksistensi di pulau-pulau yang berada di tengah lautan besar yang
dilindungi terumbu karang dari pengaruh badai dan ombak.
b. Barrief Reef (Terumbu Karang Penghalang)
Terumbu karang tipe barrier atau penghalang, tumbuh dan berkembang
jauh dari pantai, dan antara terumbu karang dan pantai terdekat dibatasi
oleh sebuah lagoon. Terumbu karang penghalang paling terkenal
ditemukan di sebelah Timur Benua Australia yang dikenal dengan nama
Great Barrier Reef.
c. Atoll (Terumbu Karang Cincin)
Terumbu karang berbentuk Atoll pada dasarnya berasal dari kedua
rentetan peristiwa terbentuknya tipe terumbu karang tersebut. Yaitu
bermula dari terumbu karang tipe fringing reef, kemudian berubah menjadi
barrier reef dan terakhir baru terbentuk Atoll. Pada suatu pulau Vulkano,
awalnya terumbu karang tumbuh dan berkembang disekeliling pantai pulau
tersebut membentuk terumbu karang tepi (fringing reef). Kemudian dengan
terjadinya pengosongan magma, pulau tersebut berangsur-angsur
tenggelam. Secara singkat, sejalan dengan pertambahan waktu dimana
pulau Vulkano secara perlahan-lahan tenggelam sementara terumbu
karang tetap berkembang dan tumbuh pada tempat yang sama menuju
permukaan air. Keadaan ini memisahkan terumbu karang yang terus
berkembang dengan tepi pantai pulau Vulkano yang semakin tenggelam,
dan perairan yang berada diantara pantai dan terumbu karang telah
terbentuk sebuah lagoon. Pada saat tersebut terumbu karang yang semula
sebagai terumbu karang tepi telah berubah menjadi terumbu karang
penghalang. Setelah sepenuhnya pulau Vulkano tenggelam, maka
terbentuk terumbu karang berbentuk Atoll. Teori terbentuknya terumbu
karang Atoll ini dikenal dengan “subsidence theory” yang dikemukakan
Darwin pada tahun 1842, yang sampai saat ini masih diakui kebenarannya.
Sebagai tambahan tipe terumbu karang selain tiga tipe terumbu karang
yang umum tersebut diatas, yang juga selalu dikemukakan adalah patch
reefs dan table reef. Patch reef adalah terumbu karang yang muncul pada
dasar suatu lagoon dan merupakan terumbu karang yang memiliki ciri-ciri
sendiri yang dikelilingi oleh pasir atau substrat selain substrat dari karang.
Sedangkan table reefs merupakan terumbu karang berukuran kecil yang
tumbuh dan berkembang dilautan luas (samudera) yang tidak memiliki
pusat pusat pulau atau lagoon, membentuk puncak pegunungan didalam
laut.

Gambar 3 Tipe dasar geologis terbentuknya terumbu karang (Kordi, 2018)

4. Pembagian Zona Ekosistem Terumbu Karang


Berdasarkan materi ekologi laut (Rani, 2014 dalam Andrianto, 2016),
zonasi terumbu karang terbagi atas 4 bagian yaitu:
a. Reef Flat, daerah paparan terumbu yang rentan terhadap pasang surut,
dimana terjadi peralihan komunitas. Di daerah ini sudah mulai terlihat
adanya beberapa kecil koloni karang, terutama karang bercabang da
submasif. Kedalaman dangkal sekitar 1 meter.
b. Reef Crest, merupakan daerah tubir dimana sebagian besar bentuk
pertumbuhan karang dapat ditemui. Biasanya jenis karang yang
terdapat didaerah ini adalah yang dapat bertahan terhadap hempasan
gelombang dari laut lepas. Selain itu, jenis-jenis biota laut terutama ikan
cukup melimpah di daerah ini, yang kedalamannya berkisar 2-3 meter.
c. Reef Slope, daerah lereng yang landau atau curam, dengan luas
permukaan substrat yang lebih lapang sehingga memungkinkan jenis
bentik banyak mendominasi selain karang. Kedalaman berkisar atara 3-
10 meter.
d. Fore-reef Slope dan Reef Base, lanjutan daerah lereng atau hanya
merupakan dasar merata yang cenderung mulai tertutupi oleh
sedimentasi, sehingga terkadang lebih banyak substrat berpasir yang
ditemui. Di daerah ini sudah jarang terlihat komunitas karang keras yang
lebat, tetapi beberapa jenis karang lunak dan hewan bentik invertebrata
lannya yang banyak ditemui. Kedalaman mencapai 10 meter keatas.

Gambar 4 Zona Terumbu Karang (Rani, 2014 dalam Andrianto, 2016)

5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Terumbu Karang


Terumbu karang tidak dapat hidup di air tawar atau muara ataupun hidup
disemua tempat, akan tetapi hidup di perairan laut (Amin, 2009). Ada beberapa
faktor pembatas yang membatasi penyebaran karang, yaitu (Saputra, 2016):

1) Suhu
Suhu terendah dimana karang dapat hidup yaitu 15⁰C, tetapi kebanyakan
ditemukan pada suhu air diatas 18⁰C dan tumbuh sangat baik antara 25⁰C - 29⁰C.
Temperatur maksimum dimana terumbu karang masih hidup adalah 36⁰C
(Santoso dan Kardono, 2008 dalam Saputra, 2016).

2) Salinitas
Menurut Fagerstrom (1985) bahwa, kisaran salinitas karang berada antara 27
- 48%. Menurut Santoso dan Kardono (2008), salinitas dimana karang dapat hidup
yaitu 27-40%, tetapi mereka hidup paling baik pada salinitas normal air laut yakni
36%. Perairan pantai akan terus menerus mengalami pemasukan air tawar secara
teratur dari aliran sungai, sehingga salinitasnya berkurang yang akan
mengakibatkan kematian terumbu karang, yang juga membatasi sebaran karang
secara local (Saputra, 2016).

3) Arus
Pergerakan air atau arus diperlukan untuk tersedianya aliran suplai makanan
jasad renik dan oksigen maupun terhindarnya karang dari timbunan endapan.
Pada siang hari oksigen didapatkan dari hasil fotosintesis zooxanthella dan pada
malam hari sangat diperlukan arus yang kuat yang dapat memberi suplai oksigen
yang cukup bagi fauna di terumbu karang. Pertumbuhan terumbu karang yang
terletak pada tempat yang perairannya selalu mengalami pengadukan oleh angin,
arus dan ombak lebih baik daripada daerah yang perairannya tenang dan
terlindung (Santoso dan Kardono, 2008 dalam Saputra, 2016).

4) Kedalaman
Pertumbuhan terumbu karang ke atas, dibatasi oleh adanya udara. Banyak
karang yang mati karena terlalu lama berada di udara terbuka, sehingga
pertumbuhan keatas hanya terbatas sampai tingkat surut terendah.

5) Sedimentasi
Terumbu karang sangat sensitif terhadap sedimentasi, akibatnya terumbu
karang tidak lagi ditemukan pada daerah yang terlalu banyak pemasukan air tawar
yang membawa banyak endapan lumpur meskipun keadaan lingkungannya cukup
baik. Kebanyakan hewan karang tidak dapat bertahan karena adanya endapan
yang menutupinya sehingga menyumbat struktur pemberian makanannya.
Endapan juga menyebabkan kurangnya cahaya matahari yang dibutuhkan untuk
fotosintesis, sehingga akan menyebabkan kematian bagi karang (Supriharyono,
2000 dalam Saputra, 2016).
Menurut Suharsono (1996), sedimen diketahui dapat mengetahui
pertumbuhan karang, menentukan bentuk pertumbuhan karang. Ada
kecenderungan bahwa karang yang tumbuh atau beradaptasi di perairan yang
sedimennya tinggi, berbentuk foliose, branching, dan berbentuk koloni yang
mempunyai percabangan yang padat dan tidak teratur. Pada perairan yang jernih
atau sedimentasinya rendah lebih banyak dihuni oleh karang yang berbentuk
piring (plate dan digitate plate) (Saputra, 2016).

6) Cahaya
Cahaya yang cukup harus tersedia untuk fotosintesis zooxanthellae simbiotik
dalam jaringan karang dapat terlaksana dengan baik. Tanpa cahaya yang cukup,
laju fotosintesis akan berkurang dan bersama dengan itu kemampuan karang
untuk menghasilkan kalsium karbonat dan membentuk terumbu akan berkurang
pula. Titik kompensasi untuk karang ialah kedalaman di mana intensitas cahaya
berkurang sampai 15 – 20% dari intensitas di permukaan (Nybakken 1988 dalam
Saputra, 2016).
7) Kekeruhan
Karang memerlukan air laut yang bersih dari kotoran-kotoran. Air laut yang
kotor, akan menghalangi cahaya yang diperlukan oleh zooxanthella untuk hidup.
Di samping itu, endapan lumpur atau pasir yang terkandung di dalam air akan
diendapkan oleh arus sehingga akan dapat mengakibatkan kematian pada
terumbu karang (Santoso dan Kardono, 2008 dalam Saputra, 2016).

8) Substrat
Hewan karang membutuhkan substrat yang keras dan kompak untuk
menempel. Terurama larva planula dalam pembentukan koloni baru dari karang,
yang mencari substrat keras. Substrat keras ini dapat berupa benda padat yang
ada di dasar laut, seperti batu, cangkang moluska, potongan-potongan kayu,
bahkan besi yang terbenam, namun setiap karang tertentu juga memiliki daya
tahan yang berbeda pada benda-benda tersebut. Karang mati yang tenggelam di
dasar laut juga dapat ditumbuhi berbagai jenis hewan karang (Tomascik, 1997
dalam Saputra, 2016).

6. Metode Pemantauan Terumbu Karang


Beberapa metode pemantauan yang umum diguanakan oleh peneliti dalam
menggambarkan kondisi terumbu karang adalah:
1. Metode LIT (Line Intercept Transect)
Bentuk pertumbuhan karang diketahui dengan menggunakan Metode LIT (Line
Intercept Transect) (UNEP/AIMS, 1993). Transek dipasang sepanjang 25 meter
yang penempatannya sejajar garis pantai, transek ini diletakkan pada kedalaman
3-10 meter. Metode ini digunakan untuk melihat tutupan karang hidup ataupun
karang mati. Pengambilan data dilakukan disepanjang transek dan pencatatan
dilakukan berdasarkan bentuk hidupnya. Teknik pencatatan data lifeform
menggunakan metode transek garis seperti pada gambar dibawah ini (Djunaidi,
dkk. 2014)
Gambar 5 Cara Pencatatan Data Koloni Karang dengan Metode LIT (Line
Intersept Transeck) (English et al. 1994)

Gambar 6 Koloni karang yang dianggap dua data (English et al, 1994)

2. Metode PIT (Point Intercept Transect )


Metode Point Intercept Transect (PIT), merupakan salah satu metode yang
dikembangkan untuk memantau kondisi karang hidup dan biota pendukung
lainnya di suatu lokasi terumbu karang dengan cara yang mudah dan dalam waktu
yang cepat (Hill & Wilkinson, 2004 dalam Manuputty, 2009).
Metode PIT digunakan untuk menentukan komunitas bentos sesil (biota yang
hidup di dasar atau melekat di dasar perairan) di terumbu karang berdasarkan
bentuk pertumbuhan dalam satuan persen, dengan jalan mencatat jumlah biota
bentik yang ada pada masing-masing titik di sepanjang garis transek (25 meter-50
meter) dan diamati objek yang berada di bawah tali transek dicatat per titik setiap
50 cm. Kategori biota dan substrat yang dicatat dapat dilihat dalam Tabel 1.
(Manuputty, 2009).
Gambar 7 Metode PIT (Point Intercept Transect) (Manuputty, 2009)

Penentuan kondisi terumbu karang dalam survey pemantauan

menggunakan kriteria penentuan berdasarkan klasifikasi dari English et al. (1997)

dan Kepmen Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2001, yaitu:

Tabel 1 Kriteria Penentuan


Persentase tutupan (%)
Kondisi Terumbu Karang
Karang Hidup
0-25 Buruk
25-50 Sedang
50-75 Baik
75-100 Sangat Baik

3. Metode UPT (Underwater Photo Transeck)


Pada prinsipnya UPT adalah metode pengambilan data tutupan karang hidup
menggunakan alat bantu frame berukuran 1x1 meter yang dipasang pada garis transek
sepanjang 50 meter dengan cara pemotretan yang selanjutnya akan dianalisis melalui
aplikasi CPCE.

Gambar 8 Metode UPT (Underwater Photo Transeck) (Suharsono, 2014)


III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat


Metode Pemantauan Terumbu Karang dilaksanakan pada hari sabtu 30
November 2019, bertempat di Pulau Samalona, Makassar Sulawesi
Selatan.

Gambar 9 Lokasi Pengambilan Data

B. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan antara lain Alat Dasar Selam yang terdiri dari
fins, masker, snorkel yang berfungsi untuk membantu dalam pemantauan,
roll meter berfungsi sebagai transek untuk jalur pemantauan serta acuan
agar dapat melihat tutupan karang, frame 1x1 meter sebagai batas luasan
karang, kamera underwater yang berfungsi untuk pengambilan gambar
karang, dan aplikasi CPCE untuk analisis data.

C. Prosedur Kerja
Tahapan-tahapan dalam pengambilan data metode pemantauan
terumbu karang ialah menyiapkan alat dan bahan, kemudian menentukan
lokasi pengambilan data, selanjutnya menentukan titik pengambilan data,
lalu memberi tanda pada titik tersebut dengan menggunakan pelampung,
kemudian menarik transek dengan roll meter sepanjang 50 meter yang
ditarik dari bagian terluar pulau menuju kearah pulau , selanjutnya dilakukan
pengambilan data karang dengan menggunakan metode UPT (Underwater
Photo Transeck), dimana metode ini digunakan untuk menggambarkan
struktur komunitas karang yang di ukur dengan menggunakan frame 1x1
meter.
DAFTAR PUSTAKA

Andrianto, 2016. Variasi Morfologi Karang Bercabang (Branching)


Berdasarkan Zona Terumbu Karang Di Perairan Pulau Badi
Kabupaten Pangkep. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Burke, Laurette. et al. 2012. Menengok Kembali Terumbu Karang Yang
Terancam di Segitiga Terumbu Karang (Reefs at Risk Revisited
in the Coral Triangel Terjemahan Yayasan Terangi). World
Resources Institute.
Djunaidi, Sandrianto. et al. 2014. Bentuk Pertumbuhan Dan Kondisi Terumbu
Karang Di Perairan Teluk Tomini Kelurahan Leato Selatan Kota
Gorontalo. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, Vol. 2, No. 4,
Desember 2014, hal. 169 - 173. Jurusan Manajemen Sumberdaya
Perairan UNG.
English, S., C. Wilkinson., V. baker., 1994. Survey Manual for Tropical
Marine Resources. Australian Institute Of Marine Science.
Townsville.
Kordi, M. Ghufran. 2018. Mengenal dan Mengelola Terumbu Karang. Jakarta:
Penerbit Indeks.
Manuputty, A. E.W., Djuwariah. 2009. Panduan Metode Point Intersept Transect
(PIT) untuk MASYARAKAT: Studi baseline dan monitoring Kesehatan
Karang di Lokasi Daerah Perlindungan Laut (DPL).
Saputra, S., A., 2016. Tinjauan Pustaka. Tersedia: e-
journal.uajy.ac.id/10366/3/2BL01268.pdf.

Suharsono, dkk. 2014. Panduan Monitoring Kesehatan Terumbu Karang. Pusat


Penelitian Oseanografi – LIPI. Jakarta.

Suharsono, dkk. 2017. Status Terumbu Karang Indonesia. Jakarta. Pusat


Penelitian Oseanografi - LIPI. Jakarta.

Suharsono, dkk. 2018. Status Terumbu Karang Indonesia. Pusat Penelitian


Oseanografi - LIPI. Jakarta.
Thamrin, 2006. Karang: Biologi Reproduksi & Ekologi. Binamandiri Press.
Pekanbaru.

Anda mungkin juga menyukai