JURNAL OSEANOGRAFI
Asa Rudi Asmaradhanthi
17/414709/PN/15290
Manajemen Sumberdaya Akuatik
Intisari
Fenomena dan dinamika di perairan laut menjadi salah satu hal penting yang harus
dipertimbangkan dalam berbagai aktivitas yang dilakukan dilingkungan perairan laut.
Parameter oseanografi menjadi salah satu sarana untuk mempelajari berbagai fenomena
di lautan. Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui karakteristik parameter
oseanografi dan hubungan antar parameter di Pantai Sepanjang. Praktikum ini
dilaksanakan pada hari Minggu, 17 Maret 2019 di Pantai Sepanjang, Kabupaten
Gunung Kidul pada pukul 10.00 hingga 15.00 WIB. Kegiatan yang dilakukan dalam
praktikum ini yaitu pengamatan dan pengambilan data parameter oseanografi yang
dilakukan setiap 2 jam sekali selama 5 jam pada pos pengamatan yang telah ditentukan.
Parameter fisika yang diuji yaitu suhu air dan suhu udara menggunakan thermometer,
pH menggunakan pH meter, gelombang menggunakan teropong, kecepatan angin
menggunakan anemometer, arah angin menggunakan tissue dan kompas, kemiringan
pantai, dan pasang surut. Suhu air berkisar antara 24,9oC hingga 32oC, suhu udara
berkisar antara 25oC hingga 30oC, pH berkisar antara 8.1 hingga 9.6, gelombang
berkisar antara 0.09 m hingga 0.34 m, kecepatan angin berkisar antara 1.1 m/s hingga
4.35 m/s, arah angin antara 95 hingga 140, kemiringan pantai berkisar antara 5.44 o
hingga 23.8o, dan pasang surut berkisar antara 0.37 hingga 0.63. Parameter kimia yang
diuji yaitu oksigen terlarut (DO) menggunakan metode winkler, alkalinitas
menggunakan metode alkalimetri, dan salinitas menggunakan metode refraktometer.
Oksigen terlarut berkisar antara 4.6 hingga 36, alkalinitas berkisar antara 68 hingga 146,
dan salinitas berkisar antara 27 hingga 30. Parameter biologi yang diuji yaitu larva ikan
menggunakan jaring larva dan plankton menggunakan plankton net. Larva ikan yang
didapatkan sebanyak 14, dan kelimpahan plankton berkisar antara 1927.2 hingga 6263.4.
Kata kunci : biologi, fisika, kimia, oseanografi, parameter
1
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
2
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
3
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
4
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
Stasiun I berada pada koordinat 8° air, dan dibiarkan beberapa saat. Angka
8'11.50"S 110°33'51.69"E. Stasiun II yang ditunjukkan adalah besarnya pH,
berada pada koordinat 8° 8'12.60"S dicatat hasilnya. pH pen diangkat dan
110°33'54.60"E. Stasiun III berada pada dibersihkan ujung elektrodanya dengan
koordinat 8° 8'13.17"S 110°33'57.13"E. aquadest dan dibersihkan dengan ujung
Stasiun IV berada pada koordinat 8° kertas tissue. Terakhir, ditutup kembali
8'13.55"S 110°33'59.72"E. Stasiun V elektrodenya.
berada pada koordinat 8° 8'14.09"S Cara kerja mengukur parameter
110°34'2.97"E. Stasiun VI berada pada suhu udara menggunakan thermometer
koordinat 8° 8'14.36"S 110°34'6.40"E. sangat sederhana. Thermometer
Alat yang dipakai dalam didiamkan di udara selama beberapa
praktikum adalah thermometer, pH saat sampai thermometer stabil dan
meter, teropong, anemometer, tissue, dicatat hasilnya. Cara kerja mengukur
kompas, jaring larva, plankton net, tali, parameter suhu air menggunakan
pipa, spidol, stop watch, ember botol thermometer adalah dicelupkan
oksigen, gelas ukur, Erlenmeyer, pipet kedalam air sampai beberapa saat.
tetes, pipet ukur dan botol cuka. Bahan Dibaca ketinggian air raksa dan dicatat
yang digunakan dalam praktikum ini hasilnya.
adalah sampel air, larutan MnSO4, Cara kerja mengukur pasang-
reagen O2, larutan H2SO4 pekat, surut menggunakan tidal gauge adalah
indikator amilum, Na2S2O3 1/80 N, disiapkan tongkat yang telah diberi
larutan H2SO4 0,02 N, indikator PP, skala sebelumnya. Ditentukan titik
indikator MO dan alkohol 70%. pasang surut terendah. Ditandai skala
Cara kerja mengukur parameter pada tongkat saat air datang dari laut
pH dengan menggunakan pH pen (X) dan diukur jarak dari ujung bawah
adalah dibuka penutup electrode dan tongkat ke skala X. Pada saat air surut,
dicelupkan kedalam larutan buffer segera ditandai skala pada tongkat (Y)
sampai menunjukkan angka 7. Bila dan diukur jarak dari ujung bawah
sudah sesuai, pH pen diangkat dari tongkat ke skala Y. Pasang surut air laut
buffer, dibersihkan air yang menempel dihitung dengan rumus :
dengan kertas tissue. Setelah itu 𝑋+𝑌
𝑃𝑎𝑠𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑢𝑟𝑢𝑡 =
dimasukkan ujung pen kedalam sampel 2
5
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
Cara kerja mengukur parameter Tali ditarik tegak lurus dengan tongkat
gelombang adalah disiapkan teropong ke arah darat dan dihitung panjangnya
sebagai alat bantu pengamatan. (x). Kemiringan pantai (Ɵ)
Pengamat menggunakan teropong untuk menggunakan rumus :
mengamati satu titik pada permukaan 𝑆𝑙𝑜𝑝𝑒 = 𝑎𝑟𝑐 tan 𝜃
𝑦
air laut. Pengamat mencatat banyaknya = 𝑎𝑟𝑐 tan 𝑥
gelombang (1 bukit-1 lembah) yang Salinitas diukur dengan
terjadi selama 1 menit. Pengamat menggunakan alat refraktometer.
menghitung frekuensi gelombang Refraktometer dibuka penutup gelasnya
dengan rumus. (pelan-pelan), dibersihkan dengan
𝑛
𝑓= kertas tissue, ditetesi dengan sampel air
𝑡
Dengan keterangan n adalah banyaknya (cukup satu tetes), kemudian ditutup
tangan dan tissue dibiarkan bergerak oleh garis batas biru dan putih dalam
mengikuti arah angin. Ditentukan arah lingkaran adalah angka salinitas air dan
tissue. Dilihat arah angin pada kompas kertas tissue atau kain lap yang tersedia.
setiggi 1 m (y) pada batas ombak dan yang berisi sampel air tersebut
pasir atau pada batas karang dan pasir. ditambahkan 3 tetes indikator PP.
6
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
gelembung. Air sampel di dalam botol sampel dan diawetkan dalam larutan
7
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
akan tertampung dalam botol (vol ± 20 glass. Diamati sampel plankton dibawah
ml). Hasil saringannya dipindah mikroskop dengn perbesaran yang
kedalam botol sampel dan ditambahkan sesuai. Diidentifikasi jenis plankton
formalin. Biberi label dengan berpedoman buku penuntun identifikasi
menggunakan spidol. Diambil dengan plankton.
pipet sampel plankton tersebut dan
dituangkan ke dalam kaca preparat
hingga merata dan ditutup dengan cover
HASIL
Tabel 1. Parameter Fisika Stasiun 2
8
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
10.00 5.4 70 30
11.00 7 86 30
12.00 10.4 68 30
13.00 5 114 30
14.00 4.6 94 27
15.00 5.4 88 30
9
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
10
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
pH
10
9.5
8.5 Stasiun II
Stasiun V
8
7.5
7
10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00
11
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
metabolisme dan respirasi. Perubahan laut tidak akan drop karena air laut
pH di atas netral akan meningkatkan mengandung zat-zat penyangga (buffer)
konsentrasi amonia yang bersifat sangat alami yang berfungsi mempertahankan
toksik bagi organisme (Barus, 2004). pH level seperti bikarbonat, karbonat,
Derajat keasaman (pH) mempunyai kalsium, borat, dan hidroksida.
pengaruh yang besar terhadap Kemampuan air laut untuk
kehidupan tumbuhan dan hewan mempertahankan turunnya pH akibat
perairan sehingga dapat digunakan penambahan asam disebut alkalinitas,
sebagai petunjuk untuk menilai kondisi buffering capacity, dan carbonate
suatu perairan sebagai lingkungan hardness (KH atau dKH) (Nursaiful,
tempat hidup (Odum, 1971). Nilai pH 2004).
erat kaitannya dengan karbondioksida Berdasarkan Gambar 1 dapat
dan alkalinitas. Pada pH <5 alkalinitas diketahui bahwa grafik pH pada stasiun
dapat mencapai nol. Semakin tinggi II dan stasiun V semakin sore akan
nilai pH maka semakin tinggi pula semakin menurun. Hal ini karena
alkalinitas dan semakin rendah kadar pengaruh fitoflankton terhadap kadar
karbondioksida bebas (Mackereth, CO2 dalam air laut adalah adanya proses
Heron, & Talling, 1989). Menurut respirasi dan fotosintesis. Pada saat pagi
Suciaty (2011), alkalinitas merupakan dan siang hari (ada sinar matahari),
parameter yang paling berpengaruh seluruh fitoplankton akan melakukan
terhadap besarnya nilai pH air laut. proses fotosintesis. Dalam proses
Selain itu, terdapat pula faktor fisis lain fotosintesis ini CO2 akan diserap oleh
yang secara tidak langsung dapat fitoplankton, sehingga proses ini akan
mempengaruhi pH seperti suhu, menurunkan kadar CO2 dalam air laut.
salinitas, curah hujan, perubahan Sedangkan pada saat sore hari (tidak
musim, dan fenomena ENSO (El- ada sinar matahari), terjadi proses
Niño/La-Niña Southern Oscillation). respirasi yaitu fitoplankton akan
(Triyulianti, et al., 2012) menyatakan mengeluarkan CO2 dan
bahwa variabilitas suhu dan salinitas memasukkannya ke dalam air laut.
secara tidak langsung juga Adanya proses respirasi ini akan
menyebabkan bervariasinya nilai pH menaikkan kadar CO2 dalam air laut.
dan alkalinitas yang terukur. Nilai pH di Karbondioksida yang dihasilkan dalam
12
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
proses respirasi ini akan bereaksi menyebabkan pH air laut menjadi turun
dengan air laut menghasilkan H2CO3 (Susana, 1988).
yang bersifat asam. Hal ini akan
Pasang Surut
0.70
0.60
0.50
0.40
Stasiun II
0.30
Stasiun V
0.20
0.10
0.00
10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00
13
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
14
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
menguatkan. Pasang-surut purnama ini Jenis pasang surut yang terjadi di Pantai
terjadi dua kali setiap bulan, yakni pada Sepanjang ketika hari pelaksanaan
saat bulan baru dan bulan purnama (full praktikum lapangan berdasarkan
moon). Sedangkan pasang-surut perbani pengaruh kedudukan matahari, bulan
(neap tides) terjadi ketika bumi, bulan dan bumi hasil yang diperoleh adalah
dan matahari membentuk sudut tegak pasang perbani (neap tide). Hal ini
lurus, yakni saat bulan membentuk karena perbedaan pasang tertinggi dan
sudut 90° dengan bumi. Pada saat itu terendah pada pasang perbani lebih
akan dihasilkan pasang tinggi yang kecil dibandingkan dengan pasang
rendah dan pasang rendah yang tinggi. purnama. Berdasarkan pola gerakan
Pasang-surut perbani ini terjadi dua muka laut, maka pasang surut yang
kali, yaitu pada saat bulan 1/4 dan ¾. terjadi di Pantai Sepanjang ketika hari
Menurut Wibisono (2005), sebenarnya pelaksanaan praktikum lapangan adalah
hanya ada tiga tipe dasar pasangsurut pasang-surut tipe tengah harian/ harian
yang didasarkan pada periode dan ganda (semi diurnal type). Hal ini
keteraturannya, yaitu sebagai berikut: karena pada saat praktikum terdapat 2
1. Pasang-surut tipe harian tunggal kali pasang yaitu pada pagi dan siang
(diurnal type): yakni bila dalam menjelang sore dan terdapat 2 kali surut
waktu 24 jam terdapat 1 kali yaitu pada pagi menjelang siang dan
pasang dan 1 kali surut. sore hari.
2. Pasang-surut tipe tengah harian/ Pengukuran pasang surut air laut
harian ganda (semi diurnal dapat digunakan dengan berbagai cara
type): yakni bila dalam waktu 24 yang tujuannya adalah memonitor
jam terdapat 2 kali pasang dan 2 tinggi permukaan air laut secara
kali surut. berkala. Metode yang digunakan saat
3. Pasang-surut tipe campuran praktikum adalah pengukuran dengan
(mixed tides): yakni bila dalam tide meter atau tide gauge. Metode lain
waktu 24 jam terdapat bentuk yang dapat digunakan selain
campuran yang condong ke tipe menggunakan tide meter atau tide
harian tunggal atau condong ke gauge adalah metode Least Squares
tipe harian ganda. dan metode Distribusi Frekuensi
menggunakan metode Gumbel. Metode
15
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
Gelombang
0.40
0.35
0.30
0.25
0.20 Stasiun II
0.15 Stasiun V
0.10
0.05
0.00
10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00
16
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
Gelombang adalah pergerakan naik dan meter). Hal ini disebabkan oleh
turunnya air dengan arah tegak lurus terbatasnya daerah tiupan angin.
permukaan air laut yang membentuk Sedangkan gelombang yang terbentuk
kurva/grafik sinusoidal. Gelombang laut di daerah lepas pantai atau di tengah
disebabkan oleh angin. Angin di atas laut seringkali mempunyai energi yang
lautan mentransfer energinya ke besar akibat luasnya daerah tiupan
perairan, menyebabkan riak-riak, angin di laut dibandingkan dengan
alun/bukit, dan berubah menjadi apa tiupan angin di pantai. Selama
yang disebut sebagai gelombang penjalarannya tersebut, gelombang
(Dhanista, 2017). mengalami proses dispersi akibat
Faktor pembentuk gelombang perbedaan kecepatan rambat gelombang
adalah tiupan angina, baik langsung yang berbeda periodenya. Makin jauh
maupun tidak langsung. Pada daerah jarak perambatan gelombang, makin
tiupan angin (dikenal dengan istilah homogen periode gelombang tersebut.
'fetch'), terjadi peristiwa transfer energi Gelombang yang homogen umumnya
angin ke energi gelombang dalam dikenal dengan nama alun (swell).
spektrum frekuensi yang luas. Dengan Berdasarkan Gambar 3 dapat
kata lain, di daerah angin tersebut diketahui terjadi perbedaan frekuensi
terbentuk campuran gelombang dengan gelombang pada stasiun 2 dan stasiun 5.
bermacam-macam frekuensi. Distribusi Dimana stasiun 2 cenderung stabil dan
frekuensi dan besarnya energi stasiun 5 berfluktuasi. Hal ini karena
gelombang ditentukan oleh tiga faktor, perubahan kecepatan yang dialami
yaitu: luasnya daerah tiupan angin, gelombang ketika memasuki perairan
lamanya angin bertiup, dan besarnya dangkal (daerah pantai) mengakibatkan
tiupan angin. Gelombang yang gelombang mengalami refraksi atau
terbentuk tersebut akan menjalar keluar terjadi pembelokan dari arah penjalaran
dari daerah tiupan angin hingga gelombang. Refraksi ini membuat
mencapai daerah dangkal atau pantai, 'muka gelombang' sejajar garis pantai.
dan melepaskan energinya. Gelombang Adakalanya gerakan gelombang menuju
laut yang terbentuk akibat tiupan angin pantai terhambat oleh adanya bangunan
setempat umumnya mempunyai seperti pemecah gelombang
ketinggian yang kecil (kurang dari 0.5 (breakwater) atau terumbu karang.
17
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
18
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
Kecepatan angin
5
4.5
4
3.5
3
2.5 Stasiun II
2 Stasiun V
1.5
1
0.5
0
10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00
19
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
20
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
Stasiun II
35
30
25
20
Suhu udara
15
Suhu air
10
0
10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00
21
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
Stasiun V
35
30
25
20
Suhu udara
15
Suhu air
10
0
10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00
22
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
23
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
berubah secara signifikan pada pukul menerpa pantai tersebut. Daerah yang
14.00. Cuaca yang semula panas berenergi rendah, biasanya landai,
berubah menjadi hujan lebat. Perubahan bersedimen pasir halus atau lumpur,
cuaca tentu saja akan mempengaruhi sedangkan yang terkena energi
suhu air dan suhu udara selama berkekuatan tinggi biasanya terjal,
praktikum. Suhu udara sebelum pukul berbatu atau berpasir kasar. Menurut
14.00 lebih rendah dari pada suhu air. Kalay (2008) keberadaan kemiringan
Namun pada pukul 14.00 suhu udara lereng pantai dan distribusi sedimen
lebih tinggi dari pada suhu air. Massa sebagai penutup dasar perairan
air yang bertambah ke perairan akibat menggambarkan kestabilan garis pantai.
hujan dapat memicu penurunan suhu Kemiringan pantai dapat berubah
air. seiring berjalannya waktu. Perubahan
Kemiringan pantai adalah geomorfologi pantai akibat dinamika
perbedaan ketinggian pada dua titik kemiringan lereng dan distribusi
horizontal yang jarak antara kedua titik sedimen menyebabkan terjadinya abrasi
telah diketahui. Kemiringan pantai maupun akresi pada pantai. Menurut
sangat berperan dalam drainase air Triadmodjo (1999) perubahan bentuk
terutama pada usaha budidaya pantai. pantai merupakan respons dinamis
Kemiringan yang sangat besar tidak alami pantai terhadap laut. Apabila
diinginkan. Sebaliknya pantai yang proses tersebut berlangsung terus-
datar cukup menyulitkan dalam proses menerus tanpa ada faktor penghambat,
pengeringan kolam tambak. Pantai yang maka akan terbentuk suatu
landai menyebabkan jangkauan pasang kesetimbangan pantai. Selanjutnya
surut mencapai ratusan meter. menurut Diposaptono (2004) dalam
Sedangkan pantai yang terjal skala waktu dan ruang luas daratan,
menyebabkan jangkauan pasang surut besaran energi eksternal dan daya tahan
hanya mampu mencapai beberapa puluh material penyusun pantai akan
meter saja. menentukan apakah pantai tersebut akan
Menurut Basalamah (2015) stabil ataukah mengalami perubahan.
umumnya kemiringan dan tipe pantai Kemiringan pantai di daerah
sangat ditentukan oleh intensitas, pantai selatan Yogyakarta cukup
frekuensi dan kekuatan energi yang bervariasi. Kemiringan pantai di daerah
24
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
25
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
Salinitas
30.5
30
29.5
29
28.5
28 Stasiun III
27.5 Stasiun VI
27
26.5
26
25.5
10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00
26
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
27
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
DO
40
35
30
25
20 Stasiun III
15 Stasiun VI
10
5
0
10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00
28
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
29
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
Alkalinitas
160
140
120
100
80 Stasiun III
60 Stasiun VI
40
20
0
10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00
30
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
Alkalinitas sebagai kuantitas dari ion (CO2) di perairan. Pada pukul 14.00
hidrogen dalam millimoles (mmol) cuaca di Pantai Sepanjang hujan lebat,
untuk menetralisir basa lemah dalam 1 sehingga sinar matahari tidak optimal.
kg air laut. Akibatnya proses fotosintesis akan
Faktor yang dapat terganggu dan mengalami penurunan.
mempengaruhi alkalinitas adalah suhu Sedangkan organisme di perairan tetap
dan pH. Nilai pH erat kaitannya dengan melakukan respirasi sehingga
karbondioksida dan alkalinitas. meningkatkan karbondioksida. Semakin
Semakin tinggi nilai pH maka semakin tinggi gas CO2 maka semakin rendah
tinggi pula alkalinitas dan semakin pH dan semakin rendah pula alkalinitas.
rendah kadar karbondioksida bebas. Nilai alkalinitas di stasiun 3
Selain itu karakter suhu di perairan telah cenderung lebih rendah dibandingkan
mempengaruhi aktivitas biologis stasiun 6. Hal ini kemungkinan
organisme salah satunya adalah proses disebabkan oleh variasi salinitas dan
formasi atau pembentukan CaCO3 oleh suhu pada tiap lokasi. Variasi nilai
foraminifera dan pteripoda. Kolom salinitas sama dengan variasi nilai
permukaan perairan umumnya memiliki alkalinitas. Selain itu suhu yang rendah
suhu yang lebih hangat sehingga memiliki nilai alkalinitas yang lebih
organisme pembentuk cangkang akan tinggi karena adanya proses dissolasi
meningkatkan formasi CaCO3 sehingga CaCO3. Dan suhu yang lebih hangat
menurunkan nilai alkalinitas. membuat organisme pembentuk
Bertambahnya kedalaman maka akan cangkang akan meningkatkan formasi
dijumpai suhu yang semakin dingin CaCO3 sehingga menurunkan nilai
(colder) dan memiliki nilai alkalinitas alkalinitas. Penurunan alkalinitas
yang lebih tinggi karena adanya proses kemungkinan disebabkan oleh pengaruh
dissolasi CaCO3. Nilai alkalinitas buangan CO2 dan rendahnya pH di
perairan laut alami umumnya berkisar lokasi tersebut. Alkalinitas total juga
antara 2.0 – 2.5 meq/L. akan berubah karena adanya perubahan
Nilai alkalinitas cenderung salinitas akibat adanya konsentrasi ion
menurun pada pukul 15.00. Hal ini Na+ , ion Cl- , dan lainnya (Friis, et.al.,
kemungkinan disebabkan oleh pengaruh 2003).
bertambahnya gas karbondioksida
31
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
Telur yang telah dibuahi akan pigmentasi yang mulai muncul pada
menetas menjadi larva. Larva adalah tubuhnya, pertumbuhan sirip,
anak ikan yang masih berbentuk perkembangan garis-garis otot
primitive dan sedang dalam bentuk (myotome), posisi dan bentuk mata
proses peraluhan untuk menjadi bentuk (Nontji, 2006).
definitive dengan cara metamorphose. Effendi (2002) menjelaskan,
Daur hidup ikan laut dimulai dari telur perkembangan larva dibagi menjadi dua
yang selanjutnya menetas menjadi tahap yaitu prolarva dan postlarva.
larva. Larva ini berkembang dengan Prolarva masih mempunyai kantung
menjalani perubahan morfologi dan kuning telur, tubuhnya transparan
fisiologi hingga kelak menjadi dewasa dengan beberapa butir pigmen. Sirip
sebagai ikan yang berenang bebas di dada dan ekor sudah berkembang tetapi
perairan. Jadi pada dasarnya belum sempurna bentuknya dan
iktioplankton itu adalah bagian awal kebanyakan prolarva yang baru keluar
dalam siklus kehidupan setiap jenis dari cangkang telur ini tidak
ikan. Ketika baru saja menetas, larva mempunyai sirip perut yang nyata
ikan umumnya transparan, belum bisa melainkan hanya bentuk tonjolan saja.
mencari makan, mulut dan saluran Mulut dan rahang belum berkembang
pencernaannya belum berkembang. Ia dan ususnya masih merupakan tabung
masih bergantung pada cadangan yang lurus. Sistem pernapasan dan
makanan yang berupa kuningtelur yang peredaran darahnya belum sempurna.
masih banyak dikandungnya. Tetapi Makanannya hanya didapatkan dari sisa
lama-kelamaan kuning telur itu akan kuning telur yang belum habis dihisap.
habis terserap, dan sang larva pun baru Masa postlarva adalah masa larva mulai
mulai mencari makan sendiri dari dari hilangnya kantung kuning telur
sumber yang ada di sekitarnya, seiring sampai terbentuknya organ-organ baru
dengan mulai berkembangnya struktur atau selesainya taraf penyempurnaan
mulut dan saluran pencernaannya. organorgan yang telah ada sehingga
Dalam perkembangan selanjutnya, larva pada masa akhir dari postlarva tersebut
tidak saja makin besar ukurannya, tetapi secara morfologis sudah mempunyai
juga mulai terdapat tanda-tanda yang bentuk yang hampir sama dengan
spesifik untuk tiap jenis, misalnya pola induknya. Sirip dorsal sudah mulai
32
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
dapat dibedakan, demikian juga sirip dalam hal distribusi dan kelimpahan
ekor yang sudah terbentuk garisnya. dari larva karena faktor lingkungan
Pada masa ini, ikan sudah berenang tersebut memegang peranan penting
lebih aktif dan kadang-kadang bagi kehidupan atau aktivitas larva ikan
memperlihatkan sifat bergerombol di perairan. Pada fase larva, tingkat
(Effendi, 2002). mortalitas tinggi karena peka terhadap
Perkembangan larva dan juvenil predator dan perubahan lingkungan
ikan sangat dipengaruhi oleh faktor seperti suhu, salinitas bahkan
internal dan eksternal. Faktor-faktor ketersediaan makanan di alam (Olii,
tersebut sangat mempengaruhi larva dan 2003) sehingga apabila kondisi
juvenil dalam hal jenis, kelimpahan, lingkungan tidak sesuai atau tidak
kepadatan, pola distribusi, struktur tercukupi maka larva akan mati.
komunitas, dan recruitment terhadap Berdasarkan pengamatan larva
suatu populasi. Faktor-faktor yang ikan pada pukul 10.00 dan 15.00 di
mempengaruhi perkembangan larva stasiun I, dan pada pukul 10.00, 11.00
yaitu kuning telur serta kualitas air dan 15.00 pada stasiun IV ditemukan
seperti suhu, pH, oksigen, salinitas dan bahwa larva ikan sudah hancur.
cahaya (Kamler, 1992). Suhu adalah Menurut Olii (2003), larva ikan
salah satu faktor eksternal fisika yang mempunyai sifat planktonis. Organisme
secara langsung dapat mempengaruhi ini dikategorikan sebagai meroplankton
kondisi telur. Ditinjau dari segi atau plankton sementara, dimana hanya
fisiologis, perubahan suhu air dapat sebagian dari hidupnya bersifat sebagai
mempengaruhi kecepatan metabolisme plankton. Adapun setelah dewasa
pada ikan. Di daerah sub-tropis dan mereka menjalani kehidupan sebagai
dingin berkaitan dengan lama perenang yang aktif yang masuk dalam
penyinaran matahari, sehingga kedua kategori nekton. Karena bersifat
faktor tersebut mempengaruhi proses planktonis maka larva ikan yang mati
biologi seperti pematangan gonad, akan sangat mudah terurai. Tingginya
pemijahan serta penetasan telur pada tingkat kematian alami bagi larva ikan
kegiatan pembenihan ikan (Sutisna & dipengaruhi oleh faktor endogeneous
Sutarmanto, 1995). Faktor lingkungan dan eksogenous. Faktor endogenous
merupakan faktor yang harus dikaji memegang peranan penting untuk
33
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
34
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
Kelimpahan Plankton
7000
6000
5000
4000
Stasiun I
3000
Stasiun IV
2000
1000
0
10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00
0.5
0.4
0.3 Stasiun 1
Stasiun IV
0.2
0.1
0
10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00
35
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
Indeks Dominansi
0.12
0.1
0.08
0.06 Stasiun I
Stasiun IV
0.04
0.02
0
10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00
36
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
37
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
38
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
39
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
40
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
41
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
42
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
Flora, S., Setiyono, H., & Tisiana, A. dan Tanah. Bumi Aksara,
2015. Pengaruh Lapisan Jakarta.
Termoklin Terhadap Kandungan Kociolek, P. 2011. Nitzschia acicularis.
Oksigen Terlarut di Samudera In Diatoms of the United States.
Hindia Bagian Timur. Jurnal Westerdiatom, United States.
Oseanografi 4(1):185-194. Kusumaningtyas, M., Bramawanto, R.,
Friis, K., Kortzinger, & Wallace, D. Daulat, A., & Pranowo, W.
2003. The Salinity 2014. Kualitas Perairan Natuna
Normalization of Marine Pada Musim Transisi. Jurnal
Inorganic Carbon Chemistry Depik 3(1):10-20.
Data. Geophys. Ress. Lett. Limbong, M. 2008. Pengaruh Suhu
30(2):1085. Permukaan Laut Terhadap
Hasibuan, R., Surbakti, H., & Sitepu, R. Jumlah dan Ukuran Hasil
(2015). Analisis Pasang Surut Tangkapan Ikan Cakalang di
Dengan Menggunakan Metode Perairan Teluk Pelabuhan Ratu
Least Square dan Penentuan Jawa Barat. IPB, Bogor.
Periode Ulang Pasang Sururt Mackereth, F., Heron, J., & Talling, J.
Dengan Metode Gumbel di 1989. Water Analisiys. Fresh
Perairan Boom Baru dan Water Biological Association,
Tanjung Buyut. Maspari Journal UK.
7(1):35-48. Maula, N. 2010. Optimalisasi Kultivasi
Hurabarat, S., & Evans, S. M. 2006. Mikroalga Laut
Pengantar Oseanografi. Nannochloropsis oculata
Universitas Indonesia. Dengan Perlakuan Pupuk Urea
Kalay, D. 2008. Perubahan Garis Pantai Untuk Produksi Lemak Nabati.
Sepanjang Teluk Indramayu. Universitas Brawijaya, Malang.
IPB, Bogor. Nontji, A. 2005. Laut Nusantara.
Kamler, E. 1992. Early Life History of Djambatan, Jakarta.
Fish. Chapman and Hall, Nontji, A. 2006. Tiada Kehidupan di
London. Bumi Tanpa Keberadaan
Kartasapoetra, A. 2004. Klimatologi Plankton. Pusat Penelitian
Pengaruh Iklim dan Tanaman Oseanografi, Jakarta.
43
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
44
Jurnal Oseanografi, Volume 15, Nomor 290, Tahun 2019, Halaman 1-45
45