Anda di halaman 1dari 5

MANAJEMEN PEMELIHARAAN

Abalon merupakan salah satu jenis kerang yang telah menjadi komoditiperikanan dunia. Saat ini, abalon
sedang mengalami peningkatan permintaanterutama dari pasar internasional seperti Hongkong, China,
Jepang, Singapura,Korea, dan wilayah Eropa (Aldilla, 2012).

 Pengumpulan Induk Alam

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan penulis selama penelitian, pengumpulan induk dilakukan saat
terjadi bulan purnama dan bulan gelap karena pada saat itu terjadi surut terendah sehingga memudahkan
nelayan untuk menangkap induk. Cara penangkapan induk abalon lebih mudah ditangkap dalam keadaan
istirahat, di mana nelayan akan melepas dan mengangkat dengan menggunakan alat tangkap berupa besi
yang ujungnya dibuat pipih (Fallu, 1991). Nelayan di sekitar Pantai Lombok menangkap induk alam dengan
cara menyelam. Metode penangkapan dilakukan dengan meletakkan besi pengait pada bagian posterior
yaitu di antara cangkang dan kepala, hal ini dimaksudkan untuk mencegah terlukanya abalon dan nelayan
dapat lebih mudah menangkap ketika abalon sedang bergerak.

 Seleksi Induk

Seleksi induk abalon sangat menentukan tingkat keberhasilan pemijahan dan penentuan tingkat
kematangan gonad dapat dilakukan dengan mengukur panjang cangkang dan dengan melihat
perkembangan gonadnya. Seleksi induk dilakukan 1–2 hari sebelum pemijahan atau empat sampai lima
hari menjelang bulan gelap/bulan terang untuk menghindari terjadinya pemijahan lebih awal. Induk yang
diseleksi adalah induk yang memiliki cangkang utuh atau tidak retak, tidak ada bekas luka pada bagian
badannya, gerakannya lincah serta memiliki panjang badan 3,5–6 cm dan telah matang gonad. Induk yang
telah diseleksi dan matang gonad memiliki panjang cangkang berkisar 3,0–4,0 cm untuk induk jantan dan
3,6–5,0 cm untuk induk betina, sedangkan bobot badan rata-rata adalah 46 g untuk induk jantan dan 53
g untuk induk betina. Induk betina memiliki panjang cangkang serta bobot badan lebih besar dibanding
induk jantan. Perbedaan ukuran serta penurunan tingkat pertumbuhan ini berkaitan dengan pematangan
gonad. Di mana induk jantan cenderung memiliki ukuran badan yang lebih kecil bila dibanding dengan
induk betina, dikarenakan jantan mengeluarkan lebih banyak energi selama reproduksi dibanding dengan
betina (Setyono, 2003). Seleksi induk dengan menggunakan spatula di mana gonad induk jantan berwarna
merah muda atau orange kekuningan, sedangkan induk betina berwarna hijau muda. Induk yang diseleksi
telah matang gonad penuh (fully ripe) dengan ciri-ciri gonad menggembung terisi penuh telur dan
persentase penutupan gonad terhadap kelenjar pencernaan pada induk yang matang gonad (fully ripe)
adalah lebih dari 50%.

 Penanganan Induk

Induk alam yang baru datang diaklimatisasi selama kurang lebih 30 menit dan bila kondisi induk telah
bergerak lincah dan menggeliatkan badannya menandakan proses aklimatisasi berhasil. Abalon
dimasukkan dalam keranjang pemeliharaan induk dengan jumlah 30–35 ekor tiap keranjangnya. Hal ini
dimaksudkan agar populasi abalon dalam keranjang tidak terlalu padat yang akan berpengaruh terhadap
persaingan makanan, persaingan oksigen, dan juga persaingan substrat penempelan. Setyono (2003)
dalam Setyono (2005) menyatakan bahwa kepadatan optimum larva untuk budidaya dengan
menggunakan bak di luar ruangan adalah sebanyak 50 ekor yuwana/m2 untuk panjang cangkang < 40
mm, sedangkan untuk yuwana dan induk dengan panjang cangkang > 40 mm maksimal sebanyak 38
ekor/m2 . Priyambodo et al. (2005) bahwa pemeliharaan induk terpisah antara jantan dan betina. Induk
jantan dan betina dimasukkan dalam keranjang dengan warna yang berbeda untuk memudahkan dalam
menyeleksi indukinduk matang gonad pada waktu pemijahan. Induk memerlukan substrat menempel
berupa genting ukuran 30 cm x 22 cm dan potongan pipa PVC ukuran 8. inci berwarna hitam. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa genting lebih disukai sebagai substrat penempelan dibanding dengan
potongan pipa PVC. Hal ini dapat dilihat dari persentase penempelan induk pada substrat genting lebih
banyak dibandingkan substrat potongan pipa PVC. Fallu (1991) yang menyatakan bahwa dalam
perkembangan budidaya abalon, shelter yang pertama kali digunakan berupa genting. Di mana genting
ini diletakkan dalam posisi terbalik yaitu bagian yang terbuka dihadapkan ke dasar/lantai. Pada
perkembangan selanjutnya, digunakan shelter dari bahan PVC dengan diameter 20 cm. Bak yang
digunakan untuk pemeliharaan induk adalah bak beton (ukuran 5 m x 1 m x 1 m) atau volume 5 m3 .
Ketinggian air pada setiap bak pemeliharaan induk berkisar 40–50 cm dilengkapi sistem air mengalir (flow
through system) sehingga pergantian air dalam bak mencapai 200%. Melalui sistem air mengalir ini
diharapkan ketersediaan oksigen selalu terjamin dan kotoran yang mengendap pada dasar bak akan
terbawa menuju saluran outlet sehingga kebersihan bak akan tetap terjaga. Pembersihan bak dilakukan
setiap hari atau maksimal dua hari sekali dengan menguras total air dalam bak, menyikat bak serta
membersihkan kotoran serta sisa pakan. Stickney (2000) menyatakan bahwa bak pemeliharaan induk
harus selalu dibersihkan untuk mencegah pertumbuhan Copepoda, Nematoda serta bakteri lain yang
membahayakan. Selain itu, sarana dan prasarana pembenihan perlu dicek agar tidak ada organisme
pengganggu yang menempel dan mengganggu sirkulasi air.

 Pengelolaan Pakan

Pakan abalon berupa rumput laut jenis Gracilaria sp. yang didapat dari perairan sekitar Pantai Lombok.
Hasil penelitian Rusdi et al. (2009) bahwa pemberian pakan Gracilaria sp. pada pemeliharaan yuwana
abalon dapat memberikan respons positif terhadap pertumbuhan bobot abalon. Pakan rumput laut jenis
Gracilaria sp. sebelum diberikan pada induk abalon dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran serta
binatang-binatang laut (seperti teritip, kepiting atau bintang laut) yang merupakan kompetitor serta
predator bagi abalon.

 Identifikasi Penyakit

Kematian induk yang sering menjangkit selama pemeliharaan induk abalon (Haliotis asinina) disebabkan
oleh dua macam penyakit yaitu penyakit karat dan pembengkakan organ dalam terutama lambung. Induk
yang terjangkit penyakit karat menyebabkan bagian dalam cangkang berwarna coklat seperti karat besi
sehingga daging akan terlepas dari cangkang. Penyakit yang disebabkan oleh pembengkakan organ dalam
menyebabkan lambung akan menggembung dan hanya berisi udara.

 Pengelolaan Air

Pengelolaan air sebagai media pemeliharaan yang dilakukan dalam pembenihan abalon meliputi
pergantian air dan pengamatan parameter kualitas air pada bak pemeliharaan induk serta bak persiapan
pakan awal larva. Sistem filterisasi air laut yang digunakan sangat sederhana yaitu menggunakan karang-
karang laut yang dimasukkan dalam waring ukuran mata jaring 5 mm (ukuran 120 cm x 30 cm). Filter
karang diletakkan dalam saluran outlet berukuran 150 cm x 100 cm x 100 cm dan ditumpuk sehingga
menenuhi saluran outlet. Selanjutnya air dialirkan melalui sistem filtrasi berupa filter bag ukuran mata
jaring 50 m dan 10 m. Stickney (2000) yang mengatakan bahwa abalon memerlukan kualitas air yang
bagus untuk pertumbuhannya sehingga untuk membudidayakannya dibutuhkan air laut yang bersih.

Pertumbuhan Abalon sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kualitas pakan, padat
penebaran, dan kualitas air pada saat pembudidayaan. Berikut akan dijelaskan faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan Abalon :

1. Kualitas pakan. Pakan yang biasa digunakan dalam budidaya abalon di Indonesia adalah rumput laut
jenis Gracilaria. Abalon memakan algae sebanyak 10-30% dari berat tubuhnya perhari (Hahn, 1989) dalam
Setyono (2009).

2. Kualitas air. Penurunan kualitas air yang diakibatkan oleh peningkatan sisa metabolisme, penurunan
oksigen terlarut (DO), dan pertumbuhan bakteri, dapat menghambat pertumbuhan juvenil abalon.
(Setyono, 2005).

3. Suhu. Abalon memiliki kisaran suhu tertentu untuk dapat tumbuh dan beraktivitas. Suhu optimal untuk
pertumbuhan abalon berkisar antara 24- 34oC. Penurunan ataupun peningkatan suhu yang tajam
menyebabkan abalon menjadi stres (Susanto, dkk., 2010).

4. Salinitas. Kisaran salinitas untuk abalon dapat tetap hidup dan tumbuh optimal yaitu 22,5-32.5 %.
Salinitas dibawah 22.5 % dapat mengakibatkab penurunan pada laju pertumbuhan. Salinitas diatas 35 %
mengakibatkan pertumbuhan abalon menjadi tidak optimal, meskipun abalon dapat 10 menoleransi
salinitas sampai dengan 37 %. Penurunan atau peningkatan salinitas yang tajam dapat mengakibatkan
abalon menjadi stres (Susanto, dkk., 2010).

5. Kadar oksigen. Kadar oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/DO) perairan yang dibutuhkan abalon
diperkirakan sebesar 6,25-8,90 ppm. Konsentrasi oksigen terlarut sebesar 4,6-5,7 ppm masih dalam
ambang toleransi juvenil abalon. Konsentrasi oksigen terlarut untuk mendukung kehidupan abalon
sebaiknya tidak kurang dari 4 ppm (Setyono, 2010).

6. Tingkat keasaman (pH). Abalon dapat hidup optimum dalam kisaran pH dan kadar amonia tertentu.
Kisaran pH air laut optimum untuk kelangsungan hidup abalon sebesar 7.83-7.85. Kadar amonia untuk
pertumbuhan abalon yaitu kurang dari 0.5 ppm. Kadar amonia di atas 0.5 ppm tidak dapat ditoleransi oleh
juvenil abalon (Burke, dkk. 2001).

7. Padat Penebaran. Penggunaan padat penebaran yang tinggi dapat meningkatkan keuntungan yang
lebih besar dalam usaha budidaya akuakultur, termasuk budidaya abalon. Padat penebaran yang tinggi
akan menghasilkan banyak abalon dalam waktu yang singkat (Lloyd dan Bates 2008). Padat penebaran
yang tinggi memiliki dampak yang langsung dan tidak langsung terhadap pertumbuhan juvenil abalon.
Dampak langsung pengaruh padat penebaran terhadap pertumbuhan yaitu kompetisi intraspesifik untuk
memperebutkan pakan dan ruang. Abalon butuh ruang gerak yang cukup untuk mengambil makanan.
Keterbatasan ruang gerak dalam mengambil makanan juga menimbulkan kesulitan dalam memakan,
sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan ablon (Huchette, dkk., 2003; Lloyd dan Bates, 2008).
Dampak tidak langsung terhadap pertumbuhan yaitu melelui degradasi kualitas air yang diakibatkan oleh
peningkatan akumulasi sisa metabolisme, proliferasi bakteri patogen, dan penurunan DO. Sisa
metabolisme, seperti feses, mengandung amonia ataupun sneyawa nitrogen. Senyawa tersebut bersifat
racun serta penyebab setres bagi abalon budidaya, sehingga dapat memengaruhi pertumbuhan abalon (
Huchette, dkk. 2003; Lloyd dan Bates 2008).

Pemasaran Abalon

Total ekspor kekerangan Indonesia pada tahun 2011 mencapai 2.660 ton dengan nilai ekspor US$ 15,5
juta. Sebanyak 2% atau 60 ton diantaranya adalah produk abalon dengan nilai US$ 500 ribu (KKP, 2012).
Menjadikan abalon sebagai salah satu komoditas dengan nilai ekonomis yang baik juga target pasar yang
luas hinggai ke luar negeri. Permintaan komoditas abalon di pasar internasional terus mengalami
peningkatan (Estes et al, 2005).

Peningkatan permintaan abalon mengakibatkan meningkatnya harga penawaran semakin tinggi


sebagaimana halnya pada hukum penawaran dan permintaan, apabila demand tinggi harga akan ikut
meningkat selaras dengan minimnya supply. Di dalam negeri, pada tahun 2012 harga abalon segar di
tingkat nelayan berkisar antara Rp.50.000-150.000 per kg sedangkan abalon yang telah diolah berkisar
antara Rp200.000-300.000 per kg. Di pasar internasional, harga abalon segar berkisar antara US$22-44
per kg dan terus mengalami peningkatan. Jika telah diolah (salted and dried) harganya bisa mencapai
US$125 per kg (McBride dan Conte, 1994).

Harga yang tinggi dan permintaan pasar yang terus meningkat mengindikasikan bahwa usaha budidaya
abalon memiliki prospek untuk dikembangkan (Fermin dan Encena, 2009). Untuk mengetahui prospek
pengembangan suatu usaha maka indikator-indikator yang digunakan selain indikator finansial
(pendapatan, R/C, BEP) juga indikator fisik, sosial dan potensi pasar Soeharto (1999).

Rantai marketing terpendek dari abalon kering sampai pada konsumer yaitu melalui pengumpul, penjual
grosir, pengecer, dan konsumer. Akibat panjangnya rantai marketing pendapatan nelayan. Akibatnya,
nelayan lebih memilih alur distribusi terpendek untuk meningkatkan profit, contohnya nelayan langsung
menjual ke penjual grosir. Abalon kering dijual ke pengumpul dan pengumpul menjualnya ke penjual
grosir untuk dipasarkan di Surabaya.(Jacob et al, 2016).

Permintaan abalon terus meningkat tiap tahun khususnya pada pasar international. Pasar utama dari
abalon adalah China, Japan, Taiwan, Korea, Singapore, Australia, Amerika Serikat, Spanyol, Belanda,
Kanada, dan Thailand. Negara dengan produksi abalon terbesar adalah China, Taiwan, dan Jepang ( Cook
and Gordon, 2014).

Dengan begitu abalon merupakan komditas yang mempunyai potensi yang tinggi, dengan target pasar
global membuat abalon memiliki target pasar yang luas. Bila kualitas produk abalon di Indonesia dapat
dijaga akan meningkatkan pula harga produk abalon Indonesia. Pada dasarnya abalon merupakan produk
eksotis pada bidang kuliner. Menjadikan abalon Indonesia sebagai produk eksotis adalah salah satu cara
meningkatkan harga produknya. Apabila Indonesia dapat memberikan supply untuk memenuhi
permintaan pasar maka abalon dapat menjadi salah satu komoditas unggulan.

Daftar Pustaka

Cook, P. A., Gordon, G. H., 2010. World Abalone Supply, Markets and Pricing. Journal of Shellfish
Research29, 569–571.

Estes, J.A., D.R. Lindberg, and C. Wray. 2005. Evolution of Large Body Size in Abalones (Haliotis): Patterns
and Implications. International Journal of Paleobiology, Vol. 31 p. 591–606.
Fermin, A.C., and V. C. Encena. 2009. Development of Abalone Industry in East Indonesia. International
Journal of Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR), Vol.102 p.10-11.

KKP. 2010. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No:6 Tahun. 2010 Tentang Rencana Strategis
Kementrian Kelautan dan Perikanan Tahun 2010-2014. Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia, Jakarta. 75-79.

Kusumawardhani, Aldilla. 2012. Fenotip Benih Hasil Hibridisasi Intersesifik Abalon Haliotis asinina dan
Haliotis squamata. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

McBride, S., and F.S. Conte. 1994. California Abalone Acuaculture. Abstracts of California University
Letters, 221 (1): 75 - 78.

Priyambodo, B., Sofyan, Y., & Jaya, I.S. 2005. Produksi Benih Kerang Abalon (Haliotis asinina) Di Loka
Budidaya Laut Lombok. Seminar Nasional Tahunan Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan. Perikanan dan
Kelautan UGM, Yogyakarta, hlm. 144–148.

Rusdi, I., Susanto, B., & Rahmawati, R. 2009. Sintasan dan Pertumbuhan Yuwana Abalon, Haliotis
diversicolor Asal Pembenihan Dengan Pemberian Jenis Pakan Berbeda. Prosiding Forum Inovasi Teknologi
Akuakultur. Jakarta, hlm. 59–64.

Setyono, D.E.D. 2009. Abalon: Teknologi Pembenihan. LIPI : Pemenang, Lombok Utara.

Soeharto. 1999. Ilmu Usahatani. Penerbit BPFE. Yogyakarta.

Stickney, R.R. 2000. Abalon Culture. Encyclopedia Of Aquaculture. California, p. 1–6.

Tubalawony, Jacob., Wattimena, Fransina., Latuihamallo, Juliana., Matakupan, Jolen. 2016. Marketing
Study of Dry Abalone [Haliotis asinina(Linnaeus, 1758)]in District of South East Maluku. Elsevier B.V.
Ambon.

Anda mungkin juga menyukai