Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH PROFIL BUDIDAYA KERANG ABALON (Haliotidae)

DI PROVINSI MALUKU

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Budidaya Laut semester ganjil

Disusun oleh :

Frabu Prakoso B M 230210160019

M. Fathan Rafdi A 230210160040

Ilma Almira W 230210160050

Saeful Anwari 230210160060

Elizabeth Cristina S 230210160061

M. Thariq Fathul H 230210160069

Rifqi Ananda T 230210160085

Kelas :

Ilmu Kelautan 2016/Kelompok VIII

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JATINANGOR
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT., karena berkat hidayah dan rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Makalah Profil Budidaya
Kerang Abalon (Haliotidae) Di Provinsi Maluku”. Terima kasih kami ucapkan
untuk Bapak/Ibu dosen mata kuliah Budidaya Laut atas ilmu yang telah diberikan.
Ilmu dari mata kuliah Budidaya Laut sangat dibutuhkan oleh mahasiswa Ilmu
Kelautan karena melalui mata kuliah ini mahasiswa mampu menambah
pengetahuan mengenai biota perairan yang dapat dibudidaya dan memiliki nilai
ekonomi yang tinggi.
Kelompok kami menyadari bahwa makalah ini telah tersusun namun masih
terdapat kekurangan. Dengan kerendahan hati, kelompok kami menerima kritik dan
saran yang bersifat membangun untuk mengkoreksi perihal yang kurang tepat dan
memotivasi mahasiswa agar dapat menyajikan makalah yang lebih baik lagi.

Jatinangor, September 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

BAB Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................ i
DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Tujuan .............................................................................................. 2
1.3 Manfaat ............................................................................................ 2

II. PEMBAHASAN
2.1 Metode Budidaya Abalon ................................................................ 3
2.2 Metode keramba jaring apung (KJA) ............................................. 3
2.3 Metode pen-culture .......................................................................... 5
2.4 Manajemen Pemeliharaan ................................................................ 6
2.5 Pemasaran Abalon ......................................................................... 14

III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan .................................................................................... 16
3.2 Saran .............................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 17

ii
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Negara Indonesia adalah negara kepulauan, 2/3 wilayahnya terdiri dari
perairan. Hingga saat ini sudah banyak mengelola unit produksi budidaya ikan laut,
diantaranya adalah budidaya kerang abalone, sehingga sangat penting informasi ini
untuk diketahui kepada para pelaku unit produksi kerang tersebut. Dalam beberapa
tahun terakhir,budidaya abalone berkembang dengan pesat di Indonesia.
Abalon merupakan komoditas perikanan bernilai tinggi, khususnya di
negara-negara maju di Eropa dan Amerika Utara. Biota laut ini dikonsumsi segar
atau kalengan. Di Indonesia, jenis siput ini belum banyak dikenal masyarakat dan
pemanfaatannya baru terbatas di daerah-daerah tertentu, khususnya di daerah
pesisir.
Pemanfaatan sumber daya laut tidak hanya dilakukan melalui penangkapan,
tetapi juga perlu dikembangkan usaha budidaya, salah satunya adalah budidaya
laut. Saat ini pengembangan budidaya laut lebih banyak mengarah kepada ikan-
ikan ekonomis tinggi dan tiram mutiara, sementara di perairan Indonesia masih
banyak biota-biota laut yang masih bisa dikembangkan dan mempunyai nilai
ekonomis tinggi, salah satunya adalah kerang abalone (Haliotis asinina).
Pengembangan usaha budidaya kerang abalon di masa datang mempunyai prospek
cukup cerah, mengingat beberapa keunggulan yang dimilikinya baik dari teknik
budidaya sampai dengan pemasaran (Tahang dkk, 2006).
Haliotis asinina Linnaeus 1758 merupakan spesies abalon tropis yang dapat
ditemui di Indonesia Bagian Timur (Bali, Lombok, Sumbawa, Sulawesi, Maluku,
dan Papua). Kegiatan budidaya untuk menghasilkan benih abalon merupakan
komponen produksi yang sangat penting karena ketersediaan benih di alam yang
sangat terbatas tidak dapat diandalkan untuk pengembangan budidaya maupun
konsumsi. Data SEAFDEC tahun 2007 menunjukkan bahwa pasar tidak dapat
memenuhi 7.000 ton permintaan dunia akan abalon (Susanto dkk, 2009).
Nilai ekonomis abalon yang tinggi memberi pengaruh prestis bagi yang
mengkonsumsinya. Di luar negeri abalon bisa menjadi makanan eksotik yang
2

harganya mahal. Salah satu restoran di Hongkong memajang produk menunya di


internet bernama Abalone with Congee dijual seharga US$82 (lebih dari Rp
700.000,00) (Bonang, 2008). Di samping itu, cangkangnya mempunyai nilai
estetika yang berpotensi untuk dikembangkan dalam berbagai bentuk kerajinan
tangan.
Daging abalon mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi dengan kandungan
protein 71,99%, lemak 3,20%, serat 5,60%, dan abu 11,11%. Cangkangnya
mempunyai nilai estetika yang dapat digunakan untuk perhiasan, pembuatan
kancing baju, dan berbagai bentuk barang kerajinan lainnya. Produksi abalon saat
ini lebih banyak diperoleh dari tangkapan di alam. Hal tersebut akan nienimbulkan
kehawatiran terjadinva penurunan populasi di alam (Tahang dkk, 2006).
Selanjutnya dikemukakan bahwa meningkatnya kebutuhan akan abalon
dapat mendorong usaha penangkapan secara intensif sehingga produksi abalon di
alam berkurang sementara pertumbuhan abalon sangat lambat. Hal ini dapat
mengakibatkan penurunan populasi abalone secara drastis di alam. Oleh karena itu
upaya peningkatan produksi abalon perlu dikembangkan melalui usaha budidaya

1.2 Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1. Mengetahui metode budidaya kerang abalone
2. Mengetahui management budidaya abalone

1.3 Manfaat
Manfaat dari penyusunan makalah ini adalah :
1. Manfaat bagi penulis yaitu dapat lebih paham dan mengerti dengan
metode dan management budidaya kerang abalone.
2. Untuk Memberikan Sedikit informasi pengetahuan yang menyangkut
dengan Metode dan management budidaya kerang abalone
3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Metode Budidaya Abalon


Budidaya kerang abalon di Indonesia sudah mulai di rintis di berbagai
tempat, salah satunya yaitu Maluku. Kisaran suhu budidaya kerang abalone di
Maluku sekitar 20°C dan nilai kandungan oksigen terlarutnya berkisar ± 7 mg/L
(Efendi, 2003). Selain itu abalone ini sering dijumpai pada perairan yang
kedalamannya 0,5-1 meter dengan karakteristik arus sedang (Imai, 1997).
Kemudian kisaran salinitasnya itu antara 33‰–35‰ yang mana itu normal (Fallu,
1991). Dalam budidaya biasanya dilakukan di darat dan di perairan pantai atau
perairan dalam, di darat itu biasanya fase saat pembenihan atau pendederan saja,
kemudian setelah sudah seukuran bibit baru di taruh di perairan pantai
menggunakan metode pen-culture atau di perairan dalam menggunakan metode
Karamba Jaring Apung.

Berdasarkan pada metode budidaya, saat ini telah diterapkan dan


dikembangkan 2 macam metode, yaitu;

1. Metode Keramba Jaring Apung (KJA)


2. Metode pen-culture (kurungan tancap)
Pada kedua metode ini memiliki spesifikasi lokasi yang berbeda. Hal ini
dapat dilihat dari persyaratan lokasi dari ke dua metode, yaitu:

2.1.1 Metode keramba jaring apung (KJA)


Pemilihan lokasi budidaya kerang abalone dengan metode KJA pada
prinsipnya sama dengan pemilihan lokasi pada budidaya ikan kerapu bebek
(Cromileptes altivelis) dengan sistim KJA. Oleh karena itu, budidaya kerang
abalone dapat dilakukan secara bersama dengan ikan kerapu bebek dalam jaring
yang berbeda ataupun terpisah. Menurut Susanto et al., (2010) penggunaan KJA
mampu meningkatkan pertumbuhan panjang cangkang abalon tersebut dan juga
4

lebih baik dibandingkan pemeliharaan dengan menggunakan bak terkontrol.


Adapun persyaratan lokasi adalah sebagai berikut:

1. Faktor kualitas air.


Faktor kualitas air bukan merupakan suatu kendala jika daerah tersebut
merupakan daerah budidaya ikan kerapu. Lain halnya pada lokasi yang
baru, perlu dilakukan suatu pendekatan dengan cara pengukuran parameter
kualitas air serta tindakan uji coba yang bersifat sederhana jika tidak
memiliki alat pengukur kualitas air yaitu dengan cara memelihara beberapa
ekor kerang abalone pada daerah tersebut, minimal sekitar 2-4 minggu
(sekitar 1 bulan), dan parameter yang diamati adalah dapat bertahan hidup
dan mampu memakan pakan yang diberikan. Ini yang akan dijadikan
sebagai tolak ukur bahwa lokasi tersebut telah mampu mendukung budidaya
kerang abalone.

2. Faktor gangguan alam


a) Bukan Daerah Up-welling
Lokasi ini terhindar dari proses perputaran air dasar kepermukaan
(up-welling). Pada daerah yang sering terjadi up-welling sangat
membahayakan kehidupan organisme yang dipelihara, dimana air
bawah dengan kandungan oksigen yang sangat rendah serta gas-gas
beracun akan kepermukaan yang dapat menimbulkan kematian secara
massal. Lokasi seperti ini sebaiknya dihindari.

b) Gelombang dan Arus


Gelombang yang besar akan mengakibatkan goncangan rakit yang
cukup kuat, hal ini akan menyebakan rusaknya konstruksi rakit dan
kesulitan dalam bekerja. Selain itu, kekuatan arus juga sangat
menentukan. Arus erat kaitannya dengan sirkulasi air dalam wadah
pemeliharaan/jaring. Arus yang kuat akan dapat mengakibatkan
terlilitnya wadah/jaring. Oleh karena itu, menurut Shobirin et al., (2013)
besar gelombang sebaiknya < 1m. Sedangkan kecepatan arus yang ideal
5

untuk budidaya abalon (Haliotis asinina) yaitu berkisar antara 20 – 50


cm/dtk.

c) Kedalaman perairan
Kedalaman perairan sangat berpengaruh terhadap kualitas air pada
lokasi tersebut. Lokasi yang dangkal akan lebih mudah terjadinya
pengadukan dasar akibat dari pengaruh gelombang yang pada akhirnya
menimbulkan kekeruhan. Sebagai dasar patokan pada saat surut
terendah sebaiknya kedalaman perairan lebih dari 3m dari dasar
waring/jaring. Menurut Shobirin et al., (2013) pada saat surut terendah
sebaiknya lokasi tetap pada daerah yang tergenang air yaitu dengan
kedalaman minimal 0,15 m. Hal ini bertujuan untuk menghindari
perubahan suhu yang sangat mencolok dan menghindari kekeringan
pada abalon yang dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan
kematian.

d) Pencemaran
Kerang abalone merupakan hewan yang bergerak sangat lambat
sehingga jika terjadi pencemaran baik pencemaran industri, tambak
maupun dari limbah masyarakat setempat akan sulit untuk menghindar,
akibatnya akan mengalami kematian secara massal.

2.1.2 Metode pen-culture


Persyaratan lokasi untuk budidaya kerang abalone dengan metode
pen-culture adalah sebagai berikut:

1. Daerah pantai yang jauh/tidak ada muara sungai


Hal ini bertujuan untuk menghindari abrasi air tawar yang dapat
mengakibatkan perubahan kualitas air, terutama salinitas serta partikel dan
limbah yang terbawa oleh arus sungai. Keadaan sperti ini memberikan
danpak yang buruk terhadap kehidupan kerang abalone. Oleh karena itu,
daerah ini sebaiknya tidak dijadikan lokasi buddiaya kerang abalone.

2. Daerah pantai dengan curah hujan rendah


6

Lokasi sebaiknya mempunyai curah hujan rendah sepanjang tahun, hal


ini untuk menghindari fluktuasi parameter air laut terutama salinitas yang
mencolok. Pada daerah curah hujan tinggi akan berdanpak sangat buruk
pada saat air surut, yaitu air hujan akan tergenang pada lokasi pen-culture,
akibatnya salinitas akan turun secara drastis. Apabila hal ini berlangsung
cukup lama akan menimbulkan stress dan membahayakan kehidupan
kerang abalone dan berujung pada kematian.

3. Dasar pantai pasir berkarang dan terdapat alga laut yang tumbuh
Pemilihan lokasi yang seperti ini untuk mendekatkan keadaan wadah
budidaya dalam bentuk habitat asli kerang abalone. Selain itu, pada daerah
berpasir suspensi atau partikel lumpur dalam badan air sangat sedikit
sehingga kejernihan air tetap terjamin. Adanya alga yang tumbuh pada
daerah tersebut akan menjadi tolak ukur untuk kesinambungan ketersediaan
pakan serta kelangsungan hidup pakan yang akan diberikan seperti
Gracilaria sp. Terdapat 5 jenis makroalga

4. Keadaan pantai yang landai/datar (tidak curam/terjal).


Keadaan pantai yang landai/datar akan memudahkan dalam
membangun konstruksi pen-culture, demikian sebaliknya, pada daerah
pantai yang terjal akan mengakibatkan sulitnya menempatkan
konstruksi/wadah budidaya.

2.2 Manajemen Pemeliharaan


7

A. Klasifikasi Kerang Abalon, B.Nilai Gizi, C.tahap Pemeliharaan


Larva
Sumber : Jurnal Perikanan Kelautan. 4(4): 445-452

Abalon merupakan salah satu jenis kerang yang telah menjadi


komoditiperikanan dunia. Saat ini, abalon sedang mengalami peningkatan
permintaanterutama dari pasar internasional seperti Hongkong, China,
Jepang, Singapura,Korea, dan wilayah Eropa (Aldilla, 2012).

1. Pengumpulan Induk Alam


Berdasarkan pengamatan yang dilakukan penulis selama penelitian,
pengumpulan induk dilakukan saat terjadi bulan purnama dan bulan gelap
karena pada saat itu terjadi surut terendah sehingga memudahkan nelayan untuk
menangkap induk. Cara penangkapan induk abalon lebih mudah ditangkap
8

dalam keadaan istirahat, di mana nelayan akan melepas dan mengangkat dengan
menggunakan alat tangkap berupa besi yang ujungnya dibuat pipih (Fallu,
1991). Nelayan di sekitar Pantai Lombok menangkap induk alam dengan cara
menyelam. Metode penangkapan dilakukan dengan meletakkan besi pengait
pada bagian posterior yaitu di antara cangkang dan kepala, hal ini dimaksudkan
untuk mencegah terlukanya abalon dan nelayan dapat lebih mudah menangkap
ketika abalon sedang bergerak.

2. Seleksi Induk
Seleksi induk abalon sangat menentukan tingkat keberhasilan pemijahan
dan penentuan tingkat kematangan gonad dapat dilakukan dengan mengukur
panjang cangkang dan dengan melihat perkembangan gonadnya. Seleksi induk
dilakukan 1–2 hari sebelum pemijahan atau empat sampai lima hari menjelang
bulan gelap/bulan terang untuk menghindari terjadinya pemijahan lebih awal.
Induk yang diseleksi adalah induk yang memiliki cangkang utuh atau tidak
retak, tidak ada bekas luka pada bagian badannya, gerakannya lincah serta
memiliki panjang badan 3,5–6 cm dan telah matang gonad. Induk yang telah
diseleksi dan matang gonad memiliki panjang cangkang berkisar 3,0–4,0 cm
untuk induk jantan dan 3,6–5,0 cm untuk induk betina, sedangkan bobot badan
rata-rata adalah 46 g untuk induk jantan dan 53 g untuk induk betina. Induk
betina memiliki panjang cangkang serta bobot badan lebih besar dibanding
induk jantan. Perbedaan ukuran serta penurunan tingkat pertumbuhan ini
berkaitan dengan pematangan gonad. Di mana induk jantan cenderung memiliki
ukuran badan yang lebih kecil bila dibanding dengan induk betina, dikarenakan
jantan mengeluarkan lebih banyak energi selama reproduksi dibanding dengan
betina (Setyono, 2003). Seleksi induk dengan menggunakan spatula di mana
gonad induk jantan berwarna merah muda atau orange kekuningan, sedangkan
induk betina berwarna hijau muda. Induk yang diseleksi telah matang gonad
penuh (fully ripe) dengan ciri-ciri gonad menggembung terisi penuh telur dan
9

persentase penutupan gonad terhadap kelenjar pencernaan pada induk yang


matang gonad (fully ripe) adalah lebih dari 50%.

A. Seleksi Induk,
B.Metode Pemijahan
Sumber : Jurnal Perikanan Kelautan. 4(4): 445-452

3. Penanganan Induk
Induk alam yang baru datang diaklimatisasi selama kurang lebih 30 menit
dan bila kondisi induk telah bergerak lincah dan menggeliatkan badannya
menandakan proses aklimatisasi berhasil. Abalon dimasukkan dalam
keranjang pemeliharaan induk dengan jumlah 30–35 ekor tiap
keranjangnya. Hal ini dimaksudkan agar populasi abalon dalam keranjang
tidak terlalu padat yang akan berpengaruh terhadap persaingan makanan,
persaingan oksigen, dan juga persaingan substrat penempelan. Setyono
(2003) dalam Setyono (2005) menyatakan bahwa kepadatan optimum larva
untuk budidaya dengan menggunakan bak di luar ruangan adalah sebanyak
50 ekor yuwana/m2 untuk panjang cangkang < 40 mm, sedangkan untuk
yuwana dan induk dengan panjang cangkang > 40 mm maksimal sebanyak
38 ekor/m2 . Priyambodo et al. (2005) bahwa pemeliharaan induk terpisah
antara jantan dan betina. Induk jantan dan betina dimasukkan dalam
keranjang dengan warna yang berbeda untuk memudahkan dalam
menyeleksi indukinduk matang gonad pada waktu pemijahan. Induk
memerlukan substrat menempel berupa genting ukuran 30 cm x 22 cm dan
potongan pipa PVC ukuran 8. inci berwarna hitam. Hasil pengamatan
10

menunjukkan bahwa genting lebih disukai sebagai substrat penempelan


dibanding dengan potongan pipa PVC. Hal ini dapat dilihat dari persentase
penempelan induk pada substrat genting lebih banyak dibandingkan substrat
potongan pipa PVC. Fallu (1991) yang menyatakan bahwa dalam
perkembangan budidaya abalon, shelter yang pertama kali digunakan
berupa genting. Di mana genting ini diletakkan dalam posisi terbalik yaitu
bagian yang terbuka dihadapkan ke dasar/lantai. Pada perkembangan
selanjutnya, digunakan shelter dari bahan PVC dengan diameter 20 cm. Bak
yang digunakan untuk pemeliharaan induk adalah bak beton (ukuran 5 m x
1 m x 1 m) atau volume 5 m3 . Ketinggian air pada setiap bak pemeliharaan
induk berkisar 40–50 cm dilengkapi sistem air mengalir (flow through
system) sehingga pergantian air dalam bak mencapai 200%. Melalui sistem
air mengalir ini diharapkan ketersediaan oksigen selalu terjamin dan kotoran
yang mengendap pada dasar bak akan terbawa menuju saluran outlet
sehingga kebersihan bak akan tetap terjaga. Pembersihan bak dilakukan
setiap hari atau maksimal dua hari sekali dengan menguras total air dalam
bak, menyikat bak serta membersihkan kotoran serta sisa pakan. Stickney
(2000) menyatakan bahwa bak pemeliharaan induk harus selalu dibersihkan
untuk mencegah pertumbuhan Copepoda, Nematoda serta bakteri lain yang
membahayakan. Selain itu, sarana dan prasarana pembenihan perlu dicek
agar tidak ada organisme pengganggu yang menempel dan mengganggu
sirkulasi air.

Pemeliharaan Induk
Sumber : Jurnal Perikanan Kelautan. 4(4): 445-452
11

4. Pengelolaan Pakan
Pakan abalon berupa rumput laut jenis Gracilaria sp. yang didapat dari
perairan sekitar Pantai Lombok. Hasil penelitian Rusdi et al. (2009) bahwa
pemberian pakan Gracilaria sp. pada pemeliharaan yuwana abalon dapat
memberikan respons positif terhadap pertumbuhan bobot abalon. Pakan
rumput laut jenis Gracilaria sp. sebelum diberikan pada induk abalon
dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran serta binatang-binatang laut
(seperti teritip, kepiting atau bintang laut) yang merupakan kompetitor serta
predator bagi abalon.

5. Identifikasi Penyakit
Kematian induk yang sering menjangkit selama pemeliharaan induk
abalon (Haliotis asinina) disebabkan oleh dua macam penyakit yaitu
penyakit karat dan pembengkakan organ dalam terutama lambung. Induk
yang terjangkit penyakit karat menyebabkan bagian dalam cangkang
berwarna coklat seperti karat besi sehingga daging akan terlepas dari
cangkang. Penyakit yang disebabkan oleh pembengkakan organ dalam
menyebabkan lambung akan menggembung dan hanya berisi udara.

6. Pengelolaan Air
Pengelolaan air sebagai media pemeliharaan yang dilakukan dalam
pembenihan abalon meliputi pergantian air dan pengamatan parameter
kualitas air pada bak pemeliharaan induk serta bak persiapan pakan awal
larva. Sistem filterisasi air laut yang digunakan sangat sederhana yaitu
menggunakan karang-karang laut yang dimasukkan dalam waring ukuran
mata jaring 5 mm (ukuran 120 cm x 30 cm). Filter karang diletakkan dalam
saluran outlet berukuran 150 cm x 100 cm x 100 cm dan ditumpuk sehingga
menenuhi saluran outlet. Selanjutnya air dialirkan melalui sistem filtrasi
berupa filter bag ukuran mata jaring 50 m dan 10 m. Stickney (2000)
yang mengatakan bahwa abalon memerlukan kualitas air yang bagus untuk
pertumbuhannya sehingga untuk membudidayakannya dibutuhkan air laut
yang bersih.
12

Pertumbuhan Abalon sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti


kualitas pakan, padat penebaran, dan kualitas air pada saat pembudidayaan.
Berikut akan dijelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan Abalon :

 Kualitas pakan. Pakan yang biasa digunakan dalam budidaya


abalon di Indonesia adalah rumput laut jenis Gracilaria. Abalon
memakan algae sebanyak 10-30% dari berat tubuhnya perhari
(Hahn, 1989) dalam Setyono (2009).
 Kualitas air. Penurunan kualitas air yang diakibatkan oleh
peningkatan sisa metabolisme, penurunan oksigen terlarut (DO),
dan pertumbuhan bakteri, dapat menghambat pertumbuhan
juvenil abalon. (Setyono, 2005).
 Suhu. Abalon memiliki kisaran suhu tertentu untuk dapat tumbuh
dan beraktivitas. Suhu optimal untuk pertumbuhan abalon
berkisar antara 24- 34oC. Penurunan ataupun peningkatan suhu
yang tajam menyebabkan abalon menjadi stres (Susanto, dkk.,
2010).
 Salinitas. Kisaran salinitas untuk abalon dapat tetap hidup dan
tumbuh optimal yaitu 22,5-32.5 %. Salinitas dibawah 22.5 %
dapat mengakibatkab penurunan pada laju pertumbuhan.
Salinitas diatas 35 % mengakibatkan pertumbuhan abalon
menjadi tidak optimal, meskipun abalon dapat 10 menoleransi
salinitas sampai dengan 37 %. Penurunan atau peningkatan
salinitas yang tajam dapat mengakibatkan abalon menjadi stres
(Susanto, dkk., 2010).
 Kadar oksigen. Kadar oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/DO)
perairan yang dibutuhkan abalon diperkirakan sebesar 6,25-8,90
ppm. Konsentrasi oksigen terlarut sebesar 4,6-5,7 ppm masih
dalam ambang toleransi juvenil abalon. Konsentrasi oksigen
13

terlarut untuk mendukung kehidupan abalon sebaiknya tidak


kurang dari 4 ppm (Setyono, 2010).
 Tingkat keasaman (pH). Abalon dapat hidup optimum dalam
kisaran pH dan kadar amonia tertentu. Kisaran pH air laut
optimum untuk kelangsungan hidup abalon sebesar 7.83-7.85.
Kadar amonia untuk pertumbuhan abalon yaitu kurang dari 0.5
ppm. Kadar amonia di atas 0.5 ppm tidak dapat ditoleransi oleh
juvenil abalon (Burke, dkk. 2001).
 Padat Penebaran. Penggunaan padat penebaran yang tinggi dapat
meningkatkan keuntungan yang lebih besar dalam usaha
budidaya akuakultur, termasuk budidaya abalon. Padat penebaran
yang tinggi akan menghasilkan banyak abalon dalam waktu yang
singkat (Lloyd dan Bates 2008). Padat penebaran yang tinggi
memiliki dampak yang langsung dan tidak langsung terhadap
pertumbuhan juvenil abalon. Dampak langsung pengaruh padat
penebaran terhadap pertumbuhan yaitu kompetisi intraspesifik
untuk memperebutkan pakan dan ruang. Abalon butuh ruang
gerak yang cukup untuk mengambil makanan. Keterbatasan
ruang gerak dalam mengambil makanan juga menimbulkan
kesulitan dalam memakan, sehingga berpengaruh terhadap
pertumbuhan ablon (Huchette, dkk., 2003; Lloyd dan Bates,
2008). Dampak tidak langsung terhadap pertumbuhan yaitu
melelui degradasi kualitas air yang diakibatkan oleh peningkatan
akumulasi sisa metabolisme, proliferasi bakteri patogen, dan
penurunan DO. Sisa metabolisme, seperti feses, mengandung
amonia ataupun sneyawa nitrogen. Senyawa tersebut bersifat
racun serta penyebab setres bagi abalon budidaya, sehingga dapat
memengaruhi pertumbuhan abalon ( Huchette, dkk. 2003; Lloyd
dan Bates 2008).
14

2.3 Pemasaran Abalon


Total ekspor kekerangan Indonesia pada tahun 2011 mencapai 2.660 ton
dengan nilai ekspor US$ 15,5 juta. Sebanyak 2% atau 60 ton diantaranya adalah
produk abalon dengan nilai US$ 500 ribu (KKP, 2012). Menjadikan abalon sebagai
salah satu komoditas dengan nilai ekonomis yang baik juga target pasar yang luas
hinggai ke luar negeri. Permintaan komoditas abalon di pasar internasional terus
mengalami peningkatan (Estes et al, 2005).
Peningkatan permintaan abalon mengakibatkan meningkatnya harga
penawaran semakin tinggi sebagaimana halnya pada hukum penawaran dan
permintaan, apabila demand tinggi harga akan ikut meningkat selaras dengan
minimnya supply. Di dalam negeri, pada tahun 2012 harga abalon segar di tingkat
nelayan berkisar antara Rp.50.000-150.000 per kg sedangkan abalon yang telah
diolah berkisar antara Rp200.000-300.000 per kg. Di pasar internasional, harga
abalon segar berkisar antara US$22-44 per kg dan terus mengalami peningkatan.
Jika telah diolah (salted and dried) harganya bisa mencapai US$125 per kg
(McBride dan Conte, 1994).
Harga yang tinggi dan permintaan pasar yang terus meningkat
mengindikasikan bahwa usaha budidaya abalon memiliki prospek untuk
dikembangkan (Fermin dan Encena, 2009). Untuk mengetahui prospek
pengembangan suatu usaha maka indikator-indikator yang digunakan selain
indikator finansial (pendapatan, R/C, BEP) juga indikator fisik, sosial dan potensi
pasar Soeharto (1999).

Rantai marketing terpendek dari abalon kering sampai pada konsumer yaitu
melalui pengumpul, penjual grosir, pengecer, dan konsumer. Akibat panjangnya
rantai marketing pendapatan nelayan. Akibatnya, nelayan lebih memilih alur
distribusi terpendek untuk meningkatkan profit, contohnya nelayan langsung
menjual ke penjual grosir. Abalon kering dijual ke pengumpul dan pengumpul
menjualnya ke penjual grosir untuk dipasarkan di Surabaya.(Jacob et al, 2016).
Permintaan abalon terus meningkat tiap tahun khususnya pada pasar
international. Pasar utama dari abalon adalah China, Japan, Taiwan, Korea,
15

Singapore, Australia, Amerika Serikat, Spanyol, Belanda, Kanada, dan Thailand.


Negara dengan produksi abalon terbesar adalah China, Taiwan, dan Jepang ( Cook
and Gordon, 2014).
Dengan begitu abalon merupakan komditas yang mempunyai potensi yang
tinggi, dengan target pasar global membuat abalon memiliki target pasar yang luas.
Bila kualitas produk abalon di Indonesia dapat dijaga akan meningkatkan pula
harga produk abalon Indonesia. Pada dasarnya abalon merupakan produk eksotis
pada bidang kuliner. Menjadikan abalon Indonesia sebagai produk eksotis adalah
salah satu cara meningkatkan harga produknya. Apabila Indonesia dapat
memberikan supply untuk memenuhi permintaan pasar maka abalon dapat menjadi
salah satu komoditas unggulan.
16

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari makalah ini adalah :

1. Abalon merupakan komoditas perikanan bernilai tinggi, khususnya di


negara-negara maju di Eropa dan Amerika Utara. Biota laut ini dikonsumsi
segar atau kalengan. Di Indonesia, jenis siput ini belum banyak dikenal
masyarakat dan pemanfaatannya baru terbatas di daerah-daerah tertentu,
khususnya di daerah pesisir.
2. Daging abalon mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi dengan kandungan
protein 71,99%, lemak 3,20%, serat 5,60%, dan abu 11,11%. Cangkangnya
mempunyai nilai estetika yang dapat digunakan untuk perhiasan, pembuatan
kancing baju, dan berbagai bentuk barang kerajinan lainnya.
3. Nilai ekonomis abalon yang tinggi memberi pengaruh prestis bagi yang
mengkonsumsinya. Abalone with Congee dijual seharga US$82 (lebih dari
Rp 700.000,00).
4. Meningkatnya kebutuhan abalon dapat mendorong usaha penangkapan
secara intensif sehingga produksi abalon di alam berkurang sementara
pertumbuhan abalon sangat lambat. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan
populasi abalone secara drastis di alam. Oleh karena itu upaya peningkatan
produksi abalon perlu dikembangkan melalui usaha budidaya

3.2 Saran
Kerang Abalon merupakan suatu organisme perairan laut yang memiliki
nilia ekonomi yang tinggi, hal ini dikarenakan gizi, manfaat dari kerang tersebut,
kemudian memiliki cita rasa yang enak sehingga masyarakat berlomba-lomba
untuk menangkapnya, hal ini tentu akan mempengaruhi stabilitas ekosistem dari
populasi kerang abalone, oleh karena itu perlu adany suatu metode lain yang
digunakan dengan tujuan agar produktifitas di perairan terjaga dan kebutuhan
manusia akan organisme ini tetap terpenuhi.
17

DAFTAR PUSTAKA

Andriyanto, S., dan N. Listyanto. 2010. Manajemen Pemeliharaan Induk Abalon


(Haliotis asinina) Hasil Tangkapan dari Alam. Jurnal Media Akuakultur. 5(2):
162-168.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta, 257 pp.
Fallu, R. 1991. Abalon Farming. Fishing News Book. London, 196 pp.
Imai, T. 1977. Technique Of Abalon Culture. Aquaculture In Shallow Seas. New
Delhi, p. 379–390.
Priyambodo, B., Sofyan, Y., & Jaya, I.S. 2005. Produksi Benih Kerang Abalon
(Haliotis asinina) Di Loka Budidaya Laut Lombok. Seminar Nasional
Tahunan Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan. Perikanan dan Kelautan
UGM, Yogyakarta, hlm. 144–148.

Rusdi, I., Susanto, B., & Rahmawati, R. 2009. Sintasan dan Pertumbuhan Yuwana
Abalon, Haliotis diversicolor Asal Pembenihan Dengan Pemberian Jenis
Pakan Berbeda. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. Jakarta,
hlm. 59–64.

Setyono, D.E.D. 1997. Culture Techniques On The Farming Of Abalon (Haliotis


sp.), A Perspective Effort For Aquaculture In Indonesia. Oseana, XXII(I): 1–
8.
Setyono, D.E.D. 2009. Abalon: Teknologi Pembenihan. LIPI : Pemenang, Lombok
Utara.

Shobirin, M.R., I. Riyantini Dan T. Herawati. 2013. Studi Kelayakan Perairan


untuk Pengembangan Budidaya Abalon (Haliotis asinina) di Perairan Sayang
Heulang, Pameungpeuk, Garut. Jurnal Perikanan Kelautan. 4(4): 445-452.
ISSN : 2088-3137.

Stickney, R.R. 2000. Abalon Culture. Encyclopedia Of Aquaculture. California, p.


1–6.

Anda mungkin juga menyukai