Anda di halaman 1dari 14

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Wilayah Pesisir dan Laut


Sampai sekarang belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Namun
demikian, terdapat kesepakatm umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah
suatu wilayah peralihan antara daratan dan laut (Yulianto, 2006). Ada tiga
pengertian tentang batas wilayah pesisir yaitu secara ekologis: kawasan daratan
yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan, seperti pasang surut; dan ke
arah laut dipengaruhi oleh proses-proses daratan, seperti sedimentasi, secara
administratif: batas terluar sebelah hulu dari kecamatan dan ke arah laut sejauh 12
mil dari garis pantai untuk provinsi dan dalam perencanaan: bergantung pada
permasalahan atau substansi yang menjadi fokus pengelolaan wilayah pesisir,
misalnya: pencemaran dan sedimentasi: suatu kawasan darat di mana dampak
pencemaran dan sedimentasi yang ditimbulkan memberikan dampak di kawasan
pesisir (Amanah & Utami, 2006). Sedangkan menurut Undang-Undang No 1
Tahun 2014, wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan
laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Menurut Wunani (2014)
wilayah pesisir mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1. Memiliki habitat dan ekosistem (seperti estuari, terumbu karang, padang
lamun) yang dapat menyediakan suatu (seperti ikan, minyak bumi, mineral)
dan jasa (seperti bentuk perlindungan alam dan badai, arus pasang surut,
rekreasi) untuk masyarakat pesisir.
2. Dicirikan dengan persaingan dalam pemanfaatan sumberdaya dan ruang oleh
berbagai stakeholders, sehingga sering terjadi konflik yang berdampak pada
menurunnya fungsi sumberdaya.
3. Menyediakan sumberdaya ekonomi nasional dari wilayah pesisir dimana dapat
menghasilkan GNP (gross national product) dari kegiatan seperti
pengembangan perkapalan, perminyakan dan gas, pariwisata dan pesisir dan
lain-lain.
4. Biasanya memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dan merupakan wilayah
urbanisasi.
5

Sumberdaya alam pesisir dan laut menempati suatu lahan kawasan yang
dapat dibedakan atas tiga tipe. Pertama adalah daratan (pulau). Lahan ini
dimanfaatakan seabagai tempat pemukiman penduduk, kebun dan lading, lokasi
beberapa prasarana dan sarana sosial, semak belukar, pepohonan kelapa dan hutan
(primer dan sekunder). Kedua adalah lahan dataran pantai pasang surut, yaitu
lahan pesisir yang mengalami proses pasang surut (pasut) air laut. Lahan ini
meliputi rataan terumbu atol wundi, rataan terumbu pulau-pulau, laguna dan
lagoon wundi yang tersusun dari berbagai substrat dasar, seperti pasir, lumpur,
patahan karang dan campuran substrat-substrat seperti pasir, lumpur, patahan
karang dan campuran substrat substrat tersebut. Di atas lahan ini tumbuh dan
berkembang berbagai jenis komunitas, yaitu karang, lamun dan mangrove. Karang
menempati bagian tepi (margin) lahan yang berbatasan dengan laut dalam,
sedangkan mangrove menempati tepi pantai yang berbatasan dengan daratan
pulau. Lamun terletak diantara keduanya. Ketiga adalah lahan pertanian laut.
Kawasan ini mengandung sumberdaya ikan pelagis (kecil dan besar) dan besar
(Soselisa, 2006).
Wilayah pesisir dan laut sesungguhnya merupakan wilayah yang memiliki
potensi yang sangat tinggi untuk dikembangkan, oleh karena itu dalam
pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan kawasan pesisir dan laut perlu
direncanakan dengan cermat dan sesuai dengan karakteristik wilayahnya (Elysia,
2014). Perubahan yang terjadi pada ekosistem pesisir (mangrove, misalnya) cepat
atau lambat akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Jadi apabila ekosistem pesisir
ini rusak maka penunjang daerah wisata di daerah pesisir juga akan rusak
(Irmayanti, 2005).

2.2 Ekosistem Pesisir dan Laut


Secara umum, jenis ekosistem di wilayah pesisir ditinjau dari
penggenangan air dan jenis komunitas yang menempatinya dapat dikategorikan
menjadi dua ekosistem, yaitu ekosistem yang secara permanen atau tergenang air
secara berkala dan ekosistem yang tidak pernah tergenang air (Pradnyamita,
2001).
6

2.2.1 Ekosistem pesisir yang tergenang oleh air secara permanen atau berkala
Ekosistem pesisir ini selalu tergenang air atau tergenang air pada waktu-
waktu tertentu saja, seperti tergenang pada saat pasang saja dan tidak tergenang
pada saat air surut. Jenis ekosistem tersebut seperti :
a. Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan salah satu sumber daya alam yang
mempunyai nilai dan arti yang sangat penting baik dari segi fisik, biologi maupun
sosial ekonomi (Wiyanto dan Faiqoh, 2015). Hutan mangrove adalah hutan yang
tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di daerah teluk dan di muara sungai
yang dicirikan oleh tidak terpengaruh iklim, dipengaruhi pasang surut, tanah
tergenang air laut, tanah rendah pantai dan hutan tidak mempunyai struktur tajuk
(Dairina dkk, 2009). Hutan mangrove mempunyai fungsi ekologis sebagai
penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan (nursery
ground) berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, amukan angin taufan, dan
tsunami, penyerap limbah, pencegah interusi air laut (Sodikin, 2011). Ruang
lingkup sumberdaya mangrove secara keseluruhan terdiri atas :
1. Satu atau lebih spesies tumbuhan yang hidupnya terbatas di habitat mangrove.
2. Spesies-spesies tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, namun juga
dapat hidup di habitat non mangrove.
3. Biota yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak,
cendawan, ganggang, bakteri dan lain-lain) baik yang hidupnya menetap,
sementara, sekali-sekali, biasa ditemukan hidup di habitat mangrove.
4. Proses – proses alamiah yang berperan dalam mempertahankan ekosistem ini
baik yang berada di daerah bernegtasi maupun di luarnya.
5. Daerah terbuka/hamparan lumpur yang berada antara batas hutan dengan laut
(Ningsih, 2008).
Faktor-faktor pembatas yang mempengaruhi pertumbuhan vegetasi
mangrove yaitu (Indriani, 2008):
1. Temperatur
7

Kisaran temperatur optimum untuk pertumbuhan beberapa jenis tumbuhan


mangrove, yaitu Avicennia marina tumbuh baik pada temperatur 18°-20 °C.

2. Salinitas
Pada umumnya tumbuhan mangrove hidup dan tumbuh dengan kisaran
salinitas 10-30 ppt.
3. Tanah
Tanah tempat tumbuh mangrove dibentuk oleh akumulasi sedimen yang
berasal dari sungai, pantai atau erosi tanah yang terbawa dari dataran tinggi
sepanjang sungai.
4. Derajat Keasaman (pH)
Mangrove biasanya hidup pada tanah dengan nilai pH berturut-turut adalah 6
sampai 7.

b. Padang Lamun
Lamun adalah salah satu tumbuhan laut yang termasuk kedalam tumbuhan
sejati karena dapat dibedakan antara batang, daun, dan akarnya. Lamun adalah
tumbuhan berbunga yang tumbuh di perairan dangkal dan estuary yang ada di
seluruh dunia. Lamun merupakan tumbuhan laut monokotil yang secara utuh
memiliki perkembangan sistem perakaran dan rhizoma yang baik (Jarlis, 2017).
Secara ekologis padang lamun memiliki beberapa fungsi penting bagi daerah
pesisir yaitu : sumber utama produktivitas primer, sumber makanan penting bagi
organisme, dengan sistem perakaran yang rapat menstabilkan dasar perairan yang
lunak, tempat berlindung organisme, tempat pembesaran bagi beberapa spesies,
sebagai peredam arus gelombang (Iqbal, 2013). Parameter yang mempengaruhi
pertumbuhan antara lain (Apramilda, 2011):
1. Suhu optimal lamun untuk fotosintesis lamun berkisar 28-30 0C.
2. Lamun dapat hidup pada kisaran salinitas 10-45 ppt.
3. Lamun hidup di daerah dangkal dan dapat dijumpai sampai kedalaman 40m.
4. Umumnya lamun membutuhkan kisaran tingkat kecerahan 4-29% untuk dapat
tumbuh dengan rata-rata 11%.
5. Nilai pH di lingkungan perairan laut relatif stabil dan berada pada kisaran
yang sempit, biasanya berkisar antara 7,5-8,4.
8

c. Terumbu karang
Ekosistem di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut
penghasil kapur (CaCO3) khususnya jenis - jenis karang batu dan alga berkapur,
bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar lainnya seperti jenis-jenis
moluska, crustacea, echinodermata, polichaeta, porifera, dan tunikata serta biota-
biota lain yang hidup bebas di perairan sekitarnya, termasuk jenis-jenis plankton
dan jenis-jenis nekton (Arini, 2013). Faktor-faktor pembatas yang menentukan
perkembangan terumbu karang (Jakti, 2009):
1. Suhu optimal 23-250 C
2. Kedalaman ≤25 m
3. Ketersediaan cahaya
4. Salinitas normal 32-35 ppt
5. Gelombang yang besar.

d. Estuari
Suatu badan air pantai setengah tertutup yang berhubungan langsung
dengan laut terbuka, jadi sangat terpengaruh oleh gerakan pasang surut air laut
yang bercampur dengan air tawar dari buangan air daratan (Septiani dkk, 2014).
Estuari berdasarkan geomorfolgi, sejarah geologi dan keadaan iklimnya dibagi
menjadi empat tipe yakni :
1. Estuari daratan pesisir (Coastal Plain Estuary). Estuari ini terbentuk pada
akhir zaman es yaitu ketika permukaan air laut naik dan menggenangi lembah
sungai yang letaknya lebih rendah
2. Estuari tipe tektonik. Estuari ini terbentuk karena laut menggenangi kembali
daratan akibat turunnya permukaan daratan dan bukan sebagai akibat dari
naiknya permukaan
3. Estuari semi tertutup atau gobah. Estuari ini memiliki beting pasir sejajar
dengan garis pantai dan sebagian memisahkan perairan yang terdapat di
belakangnya dari laut. Keadaan ini menciptakan suatu gobah yang dangkal di
belakang beting pasiryang menampung debit air tawar dari daratan.
9

4. Estuari tipe Fjord merupakan lembah yang telah diperdalam oleh kegiata
glassier dan digenangi air laut. Fjord memiliki ciri khas berupa suatu ambang
yang dangkal pada mulutnya, yang sangat membatasi pertumbuhan air antara
perairan yang lebih dalam dari fjord dengan laut. (Yulianto, 2006).

2.2.2 Ekosistem pesisir yang tidak tergenangi air


Ekosistem ini sama sekali tidak tergenang air sama sekali meskipun
pasang tertinggi terjadi. Biasanya ekosistem ini berada jauh dari garis pantai.
Contoh ekosistem ini yaitu :
a. Formasi Pescarpae
Dinamakan demikian karena yang paling banyak tumbuh di gundukan
pasir adalah tumbuhan Ipomoea pes caprae yang tahan terhadap hempasan
gelombang dan angin; tumbuhan ini menjalar dan berdaun tebal. Tumbuhan
lainnya adalah Spinifex littorius (rumput angin), Vigna, Euphorbia atoto, dan
Canaualia martina. Lebih ke arah darat lagi ditumbuhi Crinum asiaticum
(bakung), Pandanus tectorius (pandan), dan Scaeuola Fruescens (babakoan).
Ekosistem ini umumnya terdapat di belakang pantai berpasir. Formasi pescarpae
didominasi oleh vegetasi pionir, khususnya Impomea pescarpae (Pradnyamita,
2001).
b. Formasi Baringtonia
Ekosistem ini berkembang pada pantai berbatu tanpa deposit pasir, dimana
formasi pescarpae tidak dapat tumbuh. Habitat berbatu ini ditumbuhi oleh
komunitas rerumputan dan belukar yang dikenal dengan sebagai formasi
Baingtonia. Komposisi dari komunitas ini sangat beragam di seluruh Indonesia.
Meskipun komunitas ini terdiri dari beberapa jenis tertentu seperti Casuarina
equistfol (cemara laut) dan Calophyllum innopphyllum dapat mendominasi
komposisi dari komunitas ini (Pradnyamita, 2001).

2.3 Tipe Pantai


Pantai adalah daerah bertemunya daratan dan lautan (Pradinata, 2012).
Perairan wilayah pantai merupakan salah satu ekosistem yang sangat produktif di
perairan laut. Ekosistem ini dikenal sebagai ekosistem yang dinamik dan unik,
10

karena pada wilayah ini terjadi pertemuan tiga kekuatan yaitu yang berasal
daratan, perairan laut dan udara. (Vatria, 2013). Wilayah pantai merupakan
daerah yang sangat intensif dimanfaatkan untuk kegiatan manusia, seperti untuk
pertambakan, pertanian, perikanan, pariwisata dan kegiatan lainnya (Subhan dkk,
2014). Secara umum kondisi dan jenis pantai di Indonesia berdasarkan letak,
kondisi dan posisi pantai dapat dikelompokan atas pantai berlumpur,pantai
berpasir, pantai berbatu dan pantai berawa (Mahmudin, 2015).
1. Pantai berlumpur
Pantai berlumpur merupakan hamparan lumpur sepanjang pantai yang
dihasilkan dari proses sedimentasi atau pengendapan, biasanya terletak di
dekat muara sungai. Lumpur tersebut terdiri atas partikel-partikel halus yang
mengandung humus atau gambut. Tanah pantai ini mempunyai kandungan
oksigen yang rendah dan hanya terdapat pada lapisan permukaan.
2. Pantai pasir
Pantai berpasir merupakan pantai yang didominasi oleh hamparan atau dataran
pasir, baik yang berupa pasir hitam, abu-abu atau putih. Pantai berpasir tidak
menyediakan substrat tetap untuk melekat bagi organisme, karena aksi
gelombang secara terus menerus menggerakan partikel substrat. Parameter
utama yang sangat mempengaruhi daerah pantai berpasir adalah pola arus
yang dinamis, gelombang yang akan melepaskan energinya di pantai, angin
yang juga merupakan pengangkut pasir, kisaran suhu yang luas, kekeringan,
partikel yang padat (kekeruhan) dan substrat yang tidak stabil.
3. Pantai berbatu
Pantai berbatu merupakan pantai yang berbatu-batu memanjang ke laut dan
terendam di air. Umumnya terdiri dari bongkahan-bongkahan batuan granit.
Pantai ini merupakan satu dari lingkungan pesisir dan laut yang cukup subur.
Kombinasi substrat 12 keras untuk penempelan, seringnya aksi gelombang
dan perairan yang jernih menciptakan suatu habitat yang menguntungkan bagi
biota laut.
4. Pantai berawa
Pantai berawa merupakan daerah yang tergenang air, baik secara permanen
ataupun temporer.Tanah dan air pantai ini memiliki tingkat keasaman yang
11

tinggi. Hutan berawa umumnya ditumbuhi oleh jenis tumbuhan seperti nipah
(Nypa fruticans), nibung (Oncosperma tigillaria), sagu (Metroxylon sago),
medang (Decassia cassia) dan jelutung (Dyera sp) (Rahardjo, 2003).
Daerah pantai berdasarkan morfologinya, dikelompokkan menjadi empat macam
yaitu: (Rochmanto dan Franscies, 2012).
1. Pantai bertebing terjal, merupakan bentuk lahan hasil bentukan erosi marin
yang paling banyak terdapat bentukan dan roman cliff berbeda satu dengan
yang lainya, karena dipengaruhi oleh struktur batuan, serta sifat batuan. Cliff
pada batuan beku akan lain dengan batuan sedimen perlapisan, misalnya akan
berbeda dengan pelapisan yang miring dan pelapisan yang mendatar. Aktivitas
pasang surut dan gelombang mengikis bagian tebing, sehingga berbentuk
batas-batas abrasi, seperti Tebing cliff dan Tebing bergantung (nocth)
2. Rataan gelombang pasang surut pada daerah bertebing terjal, pantai biasanya
berbatu, berkelok-kelok dengan banyak terdapat masa batuan. Proses ini
menyebabkan tebing bergerak mundur khususnya pada pantai yang proses
abrasinya aktif. Apabila batuan menyusun daerah ini berupa batuan gamping
atau batuan lainnya yang banyak memiliki retakan air dari daerah mengalir
melalui sistem retakan tersebut dan muncul di daerah pesisir dan daerah
pantai.
3. Pantai Bergisik, merupakan daerah pasang surut yang terdapat endapan
material hasil abrasi. Material ini berupa material halus dan juga bisa berupa
material kasar. Pantai bergisik tidak saja terdapat ada pantai cliff, tetapi juga
bisa terdapat pada daerah pantai yang landai. Pada pantai yang landai material
gisik ini kebanyakan berupa pasir dan sebagian kecil berupa material dengan
butiran kerikil yang sampai lebih besar. Pada umumnya material pasir suatu
gisik pantai berasal dari daerah pedalaman yang di bawah air sungai ke laut,
kemudian diendapkan oleh arus laut sepanjang pantai. Gisik seperti ini dapat
dijumpai di sekitar muara sungai.
4. Pantai Berawa Payau mencirikan daerah pantai yang tumbuh atau akresi.
Proses sedimentasi merupakan penyebab bertambahnya maju pantai ke laut.
Material penyusun berbutir halus dan medan ini berkembang pada lokasi yang
gelombangnya kecil atau terhalang, serta dengan kondisi air laut yang relatif
12

dangkal. Karena airnya payau, maka daerah ini kemungkinan


pengembangannya sangat terbatas.

5. Pantai terumbu karang, terbentuk oleh aktivitas binatang karang dan jasad
renik lainnya. Proses ini terjadi pada areal-areal yang cukup luas. Binatang
karang dapat hidup dengan beberapa persyaratan kondisi, antara lain: air
jernih, suhu tidak lebih dari 18°C, kadar garam antara 27-38 ppt. Arus tidak
terlalu deras terumbu karang yang banyak terangkat umumnya banyak
terdapat endapan puing-puing dan pasir koral di lepas pantainya. Ukuran
butiran puing dan pasir lebih kasar kearah datangnya ombak/gelombang jika
gelombang tanpa penghalang.

2.4 Ekowisata
Ekowisata merupakan bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan
konservasi (Latifah, 2004). Apabila ekowisata pengelolaan alam dan budaya
masyarakat yang menjamin kelestarian dan kesejahteraan, sementara konservasi
merupakan upaya menjaga kelangsungan pemanfaatan sumberdaya alam untuk
waktu kini dan masa mendatang (Yulisa dkk, 2016). Hal ini sesuai dengan definisi
yang dibuat oleh The International Union for Conservntion of Nature and Natural
Resources bahwa konservasi adalah usaha manusia untuk memanfaatkan biosfer
dengan berusaha memberikan hasil yang besar dan lestari untuk generasi kini dan
mendatang (Permana dkk, 2016).
Semula ekowisata dilakukan oleh wisatawan pecinta alam yang
menginginkan di daerah tujuan wisata tetap utuh dan lestari, di samping budaya
dan kesejahteraan masyarakatnya tetap terjaga (Mulyadi dkk, 2010). Akan tetapi,
perkembangannya ternyata bentuk ekowisata ini berkembang karena banyak
digemari oleh wisatawan. Wisatawan ingin berkunjung ke area alami, yang dapat
menciptakan kegiatan bisnis. Ekowisata kemudian didefinisikan sebagai berikut:
Ekowisata adalah bentuk baru dari perjalanan bertanggungjawab ke area alami
dan berpetualang yang dapat menciptakan industri pariwisata. Dari kedua definisi
ini dapat dimengerti bahwa ekowisata dunia telah berkembang sangat pesat
(Haryanto, 2014)
13

Ekowisata merupakan pengembangan pariwisata alternatif yang tepat.


Konsep ini aktif membantu menjaga keberlangsungan pemanfaatan budaya dan
alam secara berkelanjutan dengan segala aspek dari pariwisata berkelanjutan
(Haryanto, 2014). Pengembangan pariwisata berkelanjutan, ekowisata merupakan
alternatif membangun dan mendukung pelestarian ekologi yang memberikan
manfaat yang layak secara ekonomi dan adil secara etika dan sosial terhadap
masyarakat (Mandar & Alfira, 2014).
Ekowisata saat ini menjadi salah satu pilihan dalam mempromosikan
lingkungan yang khas yang terjaga keasliannya sekaligus menjadi suatu kawasan
kunjungan wisata. Potensi ekowisata adalah suatu konsep pengembangan
lingkungan yang berbasis pada pendekatan pemeliharaan dan konservasi alam
(Ambarita dkk, 2015). Kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dengan konsep
ekowisata bahari dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu wisata pantai dan
wisata bahari (Ayal dkk, 2013). Wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang
mengutamakan sumberdaya pantai dan budaya masyarakat pantai seperti rekreasi,
olahraga dan menikmati pemandangan, sedangkan wisata bahari merupakan
kegiatan wisata yang mengutamakan sumberdaya bawah laut dan dinamika air
laut (Pradinata, 2012). Area alami suatu ekosistem sungai, danau, rawa, gambut,
di daerah hulu atau muara sungai dapat pula dipergunakan untuk ekowisata.
Pendekatan yang harus dilaksanakan adalah tetap menjaga area tersebut tetap
lestari sebagai areal alam (Syahputra dkk, 2016). Syarat-syarat teknis yang perlu
diperhitungkan demi keberhasilan sebuah ekowisata, diantaranya adalah
(Wardani, 2007):
1. Adanya konservasi sumberdaya alam yang sedang berlangsung,
2. Tersedianya semua informasi yang diperoleh dari berbagai kegiatan
penelitian di kawasan, serta penerapan hasil-hasil penelitian dalam
pengelolaan kawasan,
3. Tersediannya pemandu wisata yang benar-benar memahami seluk-beluk
ekosistem kawasan,
4. Tersedianya panduan yang membatasi penggunaan kawasan sebagai arena
ekowisata, misalnya panduan tentang kegiatan yang dapat dilaukan tentang
14

zonasi kawasan sesuai dengan ekosistemnya, jalur-jalur yang dapat dilalui


dalam kawasan, dan daya tamping kawasan,
5. Tersediannya program-program kegiatan ekowisata yang sesuai kondisi
sumberdaya alam di dalam kawasan,
6. Tersedianya fasilitas pendukung yang memadai, terutama sarana dan
prasarana wisata.

2.5 Prinsip Dasar Ekowisata


Prinsip pengembangan ekowisata menurut Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 33 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di
Daerah antara lain (Muliya dkk, 2016):
1. Kesesuaian antara jenis dan karakteristik ekowisata
Prinsip kesesuaian antara tiap tiap jenis apakah sudah sesuai dengan
karakteristik dan sumberdaya yang ada di wilayah tersebut. Agar tidak terjadi
suatu tumpang tindih atau bertolak belakang antara jenis spesies atau
karakteristik wilayah tersebut (Sumaraw dkk, 2016).
2. Konservasi
Prinsip kelestarian pada ekowisata adalah kegiatan ekowisata yang
dilakukan tidak menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan dan budaya
setempat. Salah satu cara menerapkan prinsip ini adalah dengan cara
menggunakan sumber daya lokal yang hemat energi dan dikelola oleh masyarakat
sekitar. Tidak hanya masyarakat, tapi wisatawan juga harus menghormati dan
turut serta dalam pelestarian alam dan budaya pada daerah yang dikunjunginya.
Lebih baik lagi apabila pendapatan dari ekowisata dapat digunakan untuk
pelestarian di tingkat lokal (Sumaraw dkk, 2016).
3. Pendidikan/Edukasi
Kegiatan pariwisata yang dilakukan sebaiknya memberikan unsur
pendidikan. Ini bisa dilakukan dengan beberapa cara antara lain dengan
memberikan informasi menarik seperti nama dan manfaat tumbuhan dan hewan
yang ada di sekitar daerah wisata, dedaunan yang dipergunakan untuk obat atau
dalam kehidupan seharihari, atau kepercayaan dan adat istiadat masyarakat lokal.
Kegiatan pendidikan bagi wisatawan ini akan mendorong upaya pelestarian alam
15

maupun budaya. Kegiatan ini dapat didukung oleh alat bantu seperti brosur,
leaflet, buklet atau papan informasi (Sumaraw dkk, 2016).

4. Pariwisata
Pariwisata adalah aktivitas yang mengandung unsur kesenangan dengan
berbagai motivasi wisatawan untuk mengunjungi suatu lokasi. Ekowisata juga
harus mengandung unsur ini. Oleh karena itu, produk dan, jasa pariwisata yang
ada di daerah kita juga harus memberikan unsur kesenangan agar layak jual dan
diterima oleh pasar (Jupri, 2016).
5. Ekonomis
Ekowisata juga membuka peluang ekonomi bagi masyarakat terlebih lagi
apabila perjalanan wisata yang dilakukan menggunakan sumber daya lokal seperti
transportasi, akomodasi dan jasa pemandu. Ekowisata yang dijalankan harus
memberikan pendapatan dan keuntungan sehingga dapat terus berkelanjutan.
Untuk dapat mewujudkan hal itu, yang penting untuk dilakukan adalah
memberikan pelayanan dan produk wisata terbaik dan berkualitas. Untuk dapat
memberikan pelayanan dan produk wisata yang berkualitas, akan lebih baik
apabila pendapatan dari pariwisata tidak hanya digunakan untuk kegiatan
pelestarian di tingkat lokal tetapi juga membantu pengembangan pengetahuan
masyarakat setempat, misalnya dengan pengembangan kemampuan melalui
pelatihan demi meningkatkan jenis usaha/ atraksi yang disajikan di tingkat desa
(Sumaraw dkk, 2016).
6. Partisipasi masyarakat setempat
Partisipasi masyarakat akan timbul, ketika alam/budaya itu memberikan
manfaat langsung/tidak langsung bagi masyarakat. Agar bisa memberikan
manfaat maka alam/budaya itu harus dikelola dan dijaga. Begitulah hubungan
timbal balik antara atraksi wisata-pengelolaan manfaat yang diperoleh dari
ekowisata dan partisipasi. Hal ini bisa dimulai dari diri kita sendiri. Jangan terlalu
berharap pemerintah akan melakukan semua hal karena kita juga memiliki
peranan yang sama dalam melakukan pembangunan di daerah kita. Partisipasi
16

dalam kegiatan pariwisata akan memberikan manfaat langsung bagi kita, baik
untuk pelestarian alam dan ekonomi. Bila kita yang menjaga alam tetap lestari dan
bersih, maka kita sendiri yang akan menikmati kelestarian alam tersebut, bila kita
berperan dalam kegiatan pariwisata, maka kita juga yang akan mendapatkan
manfaatnya secara ekonomi (Mahdayani, 2009).

7. Menampung kearifan lokal


Kearifan lokal merupakan tata nilai kehidupan yang terwarisi dari satu
generasi ke generasi berikutnya yang berbentuk religi, budaya ataupun adat
istiadat yang umumnya dalam bentuk lisan dalam suatu bentuk sistem sosial suatu
masyarakat. Keberadaan kearifan lokal dalam masyarakat merupakan hasil dari
proses adaptasi turun menurun dalam periode waktu yang sangat lama terhadap
suatu lingkungan yang biasanya didiami ataupun lingkungan dimana sering terjadi
interaksi didalamnya (Juniarta dkk, 2013).

2.6 Daya Dukung Ekowisata


Daya dukung merupakan konsep pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan yang lestari berdasarkan ukuran kemampuannya. Konsep ini
dikembangkan untuk meminimalkan kerusakan atau degradasi sumberdaya alam
dan lingkungan sehingga kelestarian, keberadaan, dan fungsinya dapat tetap
terwujud dan pada saat yang bersamaan, masyarakat atau pengguna sumberdaya
tetap dalam kondisi sejahtera dan tidak dirugikan (Setyawan dkk, 2015). Daya
dukung juga di definisikan oleh sebagai tingkat pemanfaatan sumberdaya alam
atau ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan
sumberdaya alam dan lingkungannya. Dengan demikian, daya dukung dapat
diartikan sebagai kondisi maksimum suatu ekosistem untuk menampung
komponen biotik (makhluk hidup) yang terkandung di dalamnya dan
memperhitungkan faktor lingkungan serta faktor lainnya yang berperan di alam
(Wardhani, 2012).
Daya dukung lingkungan terbagi atas daya dukung ekologis (ecological
carrying capacity), daya dukung sosial dan daya dukung ekonomis (economic
carrying). Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum biota pada suatu lahan
17

yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan,


serta terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen (irrevisible) yang
ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan. Daya dukung ekonomi adalah tingkat
produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan
oleh tujuan usaha secara ekonomi. Dalam hal ini digunakan parameter-parameter
kelayakan usaha secara ekonomi (Wardhani, 2012).

Anda mungkin juga menyukai