Anda di halaman 1dari 128

LAPORAN TEKNIS PENELITIAN

Penelitian Kelimpahan Stok dan Bioekologi Sumberdaya


Ikan di Estuari Berau, Kalimantan Timur
(KPP PUD 436)

Tahun Anggaran 2015

BALAI PENELITIAN PERIKANAN PERAIRAN UMUM


PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERIKANAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
2015
Abstrak
Perairan Delta Berau memiliki potensi sumber daya perairan seperti ikan, kerang,
udang maupun jenis biota lain yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Menurut
Julianery (2001) budidaya laut di Perairan Delta Berau diperkirakan mempunyai potensi
sebesar 2.500 hektar dengan potensi penangkapan sebesar 35.000 ton per tahun. Pesatnya
kegiatan pembangunan di kawasan Delta Berau seperti areal pemukiman, perikanan/ tambak,
anjungan minyak, pelayaran sungai, serta kegiatan penebangan hutan mangrove untuk
berbagai kebutuhan, menimbulkan tekanan ekologis terhadap ekosistem delta Berau,
khususnya ekosistem mangrove. Sampai seberapa jauh potensi produksi sumberdaya ikan di
estuari Berau (delta Berau) belum banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
data dan informasi biologi, ekologi, jenis-jenis biota sumberdaya ikan dan kualitas air
lingkungan hidupnya di perairan estuari Berau. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis data
dan informasi biologi, ekologi, jenis-jenis biota sumberdaya ikan dan kualitas air lingkungan
hidupnya di perairan estuari Berau. Penelitian dilakukan pada Tahun Anggaran 2015 di estuari
Berau Kalimantan Timur, sampling dilakukan sebanyak empat kali yang mewakili musim
kemarau dan musim penghujan. Ruang lingkup kegiatan yang akan dilakukan adalah:
Penelitian ini akan dilakukan selama 2 tahun, Biologi spesies dominan, Keanekaragaman jenis
ikan dan biota air lainnya, Pendugaan stok ikan dengan metoda akustik dan pukat tarik, Kondisi
lingkungan perairan, dan Wawancara dengan nelayan tentang perubahan penangkapan dan
kondisi lingkungan terhadap sumberdaya ikan. Hasil penelitian: Biota hasil tangkapan dari
empat kali pengambilan contoh (Februari, Mei, Agustus dan Oktober) teridentifikasi sebanyak
111 spesies yang meliputi 51 famili. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa luas perairan
estuari Berau yang disurvei adalah ± 167 mil2. Nilai biomassa total perairan estuari Berau
adalah 457 ton dengan kepadatan 1,3 ton/km2. Hasil analisis terhadap struktur komunitas ikan
di perairan estuari Berau, adalah: nilai indeks keanekaragaman (H’): 2,99, nilai ini masuk dalam
kriteria keanekaragaman sedang mendekati tinggi, indeks keseragaman (E): 0,67, yang
menunjukkan komunitas yang labil dan indeks dominansi spesies (C): 0,08 atau dominansi
spesies yang rendah. Kelimpahan fitoplankton Februari 2015 berkisar antara 70 – 398 sel/L dan
bulan Mei 2015 berkisar antara 67 – 389 sel/L. Kelimpahan plankton ini tergolong cukup
rendah. Hal ini diduga karena tipe perairan estuari Berau tergolong dalam perairan yang
oligotrofik. Kelimpahan zooplankton pada Februari berkisar 19 - 250 ind/L dan Mei 2015
berkisar antara 12 – 123 ind/L. Indeks keanekaragaman fitoplankton pada trip 1 bulan Februari
2015 berkisar antara 1,36 - 2,29 dan bulan Mei berkisar antara 1,93 - 2,28. Sedangkan indeks
keanekaragaman zooplankton pada trip 2 bulan Februari berkisar 0,83 - 2.15 dan bulan Mei
berkisar 0,91 – 1,65. Berdasarkan kriteria indeks keanekaragaman seluruh nilai yang terhitung
berada dalam kategori rendah dan sedang karena memiliki nilai keanekaragaman kurang dari
3. Makrozoobentos yang ditemukan bulan Februari 2015 penelitian terdiri dari 6 kelas, 24 famili,
28 genera. Komposisi kelas makrozoobentos terdiri dari Crustacea (1%), Oligochaeta (16%),
Polychaeta (7%), Bivalvia (27%), Gastropoda (26%), Scaphopoda (24%). Komposisi kelas yang
paling mendominasi adalah Bivalvia, Gastropoda dan Scaphopoda. Pada Mei 2015,
makrozoobentos ditemukan 4 kelas, 25 famili dan 32 genera. Komposisi makrozoobentos terdiri
dari Bivalvia (27%), Gastropoda (55%), Polychaeta (2%) dan Scaphopoda (16%). Bulan
Agustus 2015, ditemukan makrozoobentos yang terdiri dari 7 kelas, 47 famili dan 48 genera.
Komposisi makrozoobentos terdiri dari Polychaeta (31%), Oligochaeta (0,1%), Amphipoda
(1,2%), Copepoda (0,4%), Scaphopoda (15%), Bivalvia (21%) dan Gastropoda (32%).
Berdasarkan hasil penelitian 2015 dan hasil-hasil penelitian sebelumnya kualitas perairan di
estuari Berau masih tergolong baik dan layak untuk kehidupan biota air.

Kata Kunci: Berau, biologi, ekologi, estuari, sumberdaya ikan

ii
I. LATAR BELAKANG
I.1. Latar Belakang
Kabupaten Berau memiliki luas wilayah 34.127,47 km2, yang terdiri dari:
daratan 22.030,81 km2, laut 12.299,88 km2, 52 pulau besar dan kecil dengan 13
Kecamatan, 10 Kelurahan, 96 Kampung/ Desa. Jika ditinjau dari luas wilayah, luas
Kabupaten Berau adalah 13,92% dari luas wilayah Kalimantan Timur, dengan
prosentase luas perairan 28,74%. Jumlah penduduknya pada tahun 2011
sebesar 191.807 jiwa dengan laju pertumbuhan 7,11%. Daerah pesisir Kabupaten
Berau terletak di Kecamatan Biduk-Biduk, Talisayan, Pulau Derawan dan Maratua
yang secara geografis berbatasan langsung dengan laut (BPS, 2010).
Perairan Delta Berau memiliki potensi sumber daya perairan, seperti: ikan,
kerang, udang dan jenis biota lain yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat
setempat. Budidaya laut di perairan Delta Berau diperkirakan mempunyai potensi
sebesar 2.500 hektar dengan potensi penangkapan sebesar 35.000 ton per tahun.
Kabupaten Berau dialiri oleh 21 sungai besar dan kecil. Sungai Kelay merupakan
sungai terpanjang di Kabupaten Berau yang mengalir dari pegunungan sekitar
Gunung Mantan, sepanjang 254 kilometer sampai pada pertemuan dengan Sungai
Segah yang membentuk Sungai Berau di Tanjung Redeb (BPS, 2010). Beberapa
penelitian di Delta Berau lebih banyak membahas masalah sedimentasi, logam berat
pada moluska dan organisma bentik (Arifin et al, 2010; Afriansyah, 2009), dinamika
perubahan mangrove menjadi tambak dan tingkat kekeruhan yang terjadi di Delta
Berau (Kompas, 2008) dan sosial ekonomi nelayan (Sugiharto et al, 2013). Informasi
tentang sumberdaya perikanan di Estuari Berau belum banyak didapat.
Komoditas Perikanan merupakan salah satu produk unggulan dari Kabupaten
Berau. Beberapa kecamatan yang memiliki daerah perairan menjadikan perikanan
sebagai mata pencaharian. Perikanan dibagi menjadi dua, yaitu: perikanan laut dan
darat. Produksi perikanan laut terus meningkat dari tahun ke tahun. Produksi
perikanan tersebut berkisar 14.000 ton per tahun. Pada tahun 2011 produksi ikan
segar sebanyak 15.509,80 ton yang mengalami peningkatan dibanding tahun 2010
yaitu sebesar 14.922,40 ton.
Kawasan Konservasi Laut (KKL) Kabupaten Berau mencakup seluruh
perairan laut Berau yaitu seluas 1,2 juta hektar. Konsep KKL Berau mendapat
persetujuan DPRD Kabupaten Berau pada 14 Desember 2005 dan selanjutnya pada
tanggal 27 Desember 2005 Bupati Berau mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbup)
No.31 Tahun 2005 tentang Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau. KKL Berau

1
merupakan kawasan pesisir termasuk pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya
yang memiliki sumberdaya hayati dan karakteristik sosial budaya spesifik yang
dilindungi secara hukum. Salah satu fungsi KKL adalah sebagai daerah perlindungan
habitat dan spesies ikan. Dengan demikian KKL diharapkan dapat berfungsi sebagai
’bank’ sumberdaya perikanan yang dapat mendukung peningkatan dan keberlanjutan
pendapatan masyarakat, khususnya nelayan.
Perairan Berau memiliki beberapa karakteristik yang menonjol seperti adanya
danau air laut di Pulau Kakaban, tempat makan dan bertelurnya penyu, dan
keberadaan hutan mangrove. Perairan Estuari Berau menghadapi masalah degradasi
yang diakibatkan oleh kegiatan manusia, seperti: penangkapan ikan yang merusak
lingkungan (penggunaan bom dan racun sianida), trawl ilegal, perangkap penyu
ilegal, penjarahan penyu dan telurnya, perusakan mangrove, penangkapan ikan
berlebih, pencemaran dan penangkapan ikan oleh nelayan pendatang dari luar.
Pesatnya kegiatan pembangunan di kawasan Delta Berau seperti areal pemukiman,
perikanan/ tambak, anjungan minyak, pelayaran sungai, serta kegiatan penebangan
hutan mangrove untuk berbagai kebutuhan, sehingga menimbulkan tekanan ekologis
terhadap ekosistem Delta Berau, khususnya ekosistem mangrove (Dinas Perikanan
Kalimantan Timur, 2010). Sampai seberapa jauh potensi produksi di estuari Berau
(Delta Berau) belum banyak diketahui. Penelitian Bioekologi dan Stok Ikan-ikan
Dominan di Estuari Berau, Kalimantan Timur akan memberikan gambaran tentang
sumberdaya ikan di perairan tersebut.
Plankton merupakan salah satu organisme yang ada di perairan. Secara
umum dibedakan menjadi fitoplankton dan zooplankton. Pada ekosistem perairan
alami, siklus produksi dimulai oleh produsen. Produsen adalah organisme autotrof
yang mampu mensintesa bahan organik yang berasal dari bahan anorganik melalui
proses fotosintesis dengan bantuan cahaya matahari. Pada jaring-jaring makanan
fitoplankton sebagai produsen primer kemudian dimanfaatkan oleh konsumen
pertama yaitu zooplankton. Menurut Handayani dkk (2005), fungsi zooplankton
sebagai mata rantai antara produsen primer dengan ikan karnivora besar atau ikan
karnivora kecil dan hal ini sangat penting dalam rantai makanan dan ekosistem suatu
perairan.
Perubahan yang terjadi pada lingkungan akan mempengaruhi keberadaan
zooplankton secara langsung maupun tak langsung. Kelimpahan, Keragaman dan
komunitas zooplankton dipakai sebagai indikator biologi dalam menentukan
perubahan kodisi suatu perairan.

2
Kelimpahan zooplankton sangat ditentukan oleh adanya fitoplankton, karena
fitoplankton merupakan makanan bagi zooplankton. Kepadatan zooplankton sangat
tergantung pada kepadatan fitoplankton, karena fitoplankton adalah makanan bagi
zooplankton, dengan demikian kuantitas atau kelimpahan zooplankton akan tinggi di
perairan yang tinggi kandungan fitoplanktonnya. Fitoplankton berperan sangat
penting dalam perairan sebagai produsen untuk mendukung kehidupan biota
perairan. Melalui sistem rantai makanan secara langsung maupun tidak langsung
organisme perairan terutama ikan memanfaatkan fitoplankton sebagai sumber energi
(Prianto dkk, 2006).
Bentos adalah organisme yang hidup di atas atau di dalam dasar perairan.
Bentos dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok nabati yang disebut
fitobentos dan kelompok hewani ang disebut zoobentos (Odum, 1971). Berdasarkan
ukurannya zoobentos digolongkan kedalam tiga kelompok besar, yaitu:
makrozoobentos berukuran besar lebih dari 1 mm, melobentos berukuran antara 0,1-
1,0 mm dan mikrobentos berukuran lebih kecil dari 0,1 mm (Barnes dan Hughes,
1999). Makrozoobentos adalah organism yang dapat hidup di habitat substrat sungai,
danau, estuari dan perairan laut. Organisme yang termasuk makrozoobentos adalah
Coelenterata, cacing tanah, Annelida, Mollusca, Echinodermata, Crustacea dan
organism lain (APHA, 1989).
Barnes dan Hughes (1999)menyatakan bahwa berdasarkan keberadaannya di
dasar perairan, maka makrozoobentos yang hidupnya merayap di permukaan dasar
perairan disebut dengan Epifauna seperti Crustacea dan larva serangga, sedangkan
makrozoobentos yang hidup pada substrat lunak di dalam lumpur disebut dengan
Infauna, misalnya Bivalvia dan Polychaeta.
I.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis data dan informasi biologi, ekologi,
jenis-jenis biota sumberdaya ikan dan kualitas air lingkungan hidupnya di perairan
estuari Berau.
I.3. Prakiraan Keluaran
a. Gambaran tentang kepadatan stok, struktur komunitas, biologi spesies dominan,
parameter populasi, status sebaran dan musim penangkapan, serta aspek
lingkungan sumber daya ikan
b. Informasi tentang sumberdaya ikan dan kondisi lingkungan terkini sebagai dasar
untuk pengelolaan sumber daya ikan.
I.4. Faktor Keberhasilan dan Resiko

3
I.4.1. Faktor Keberhasilan
Mendapatkan data gambaran perikanan estuari Berau (Delta Berau) yang
dapat dijadikan dasar untuk pengelolaan perikanan di Estuari Sungai Berau.
I.4.2. Faktor Resiko
- Faktor alam, badai dan binatang buas
- Sarana prasarana (biaya kapal, akomodasi, dan biaya opearsional yang tinggi).
I.5. Hasil Yang Diharapkan
(1) Diketahui aspek biologi, ekologi spesies dominan, kepadatan stok dan
keanekaragaman jenis ikan dan pengaruh perubahan biofisik perairan estuari
terhadap sumberdaya ikan (aspek penangkapan musiman, hasil tangkapan dan
pendapatan nelayan).
(2) Dapat diprediksinya kondisi Sungai Berau sebagai habitat biota air berdasarkan
data-data yang diperoleh dan kecenderungan yang terjadi selama ini.
(3) Hasil yang diperoleh dapat dijadikan sebagai dasar pengelolaan perikanan di
Delta Berau.
I.6. Aspek Strategis
Kegiatan ini dapat memberikan data-data sumberdaya perairan Estuari Berau
berupa gambaran sumberdaya ikan dan biota air lainnya serta lingkungannya untuk
menunjang pengelolaan perikanan dengan memperhatikan kelestarian vegetasi
perairan sebagai penunjang kehidupan biota perairan.
I.7. Pelaksanaan Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian melakukan koordinasi dengan instansi terkait,
antara lain seperti ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Instansi dan masyarakat terkait kegiatan penelitian
No. Instansi Terkait Wujud Pekerjaan
1. Dinas Perikanan Kabupaten Penyedia data dan informasi dan
Kalimantan Timur koordinasi penelitian
2. UPTD Kelautan dan Perikanan Penyedia data dan informasi dan
Kecamatan Pulau Derawan koordinasi penelitian
3. Nelayan/ masyarakat setempat Penyedia data dan informasi

I.8. Jadwal Kegiatan


Jadwal tahapan pelaksanaan penelitian ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Jadwal tahapan pelaksanaan penelitian


Bulan
No Rencana kerja
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 Studi Literatur x x x x x
4
2 Administrasi x x x x x x x x
3 Bahan dan alat x x x x
Survei x x x x
4 Lapangan
Pengolahan x x x x x x x x x
5 Data
6 Pelaporan x x x x

I.9. Pembiayaan
Biaya pelaksanaan penelitian seperti disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Biaya pelaksanaan penelitian
Nomor Jenis Belanja/ Akun Biaya (Rp.000) %
1 Belanja Bahan 21.560,0 7,36
2 Honor 20.000,0 6,83
3 Belanja Sewa 50.000,0 17,07
4 Belanja Perjalanan 201.323,6 68,74
Total 292.883,6 100,00

I.10. Jadwal Rencana Operasional Kegiatan Penelitian


Jadwal rencana operasional kegiatan penelitian seperti disajikan pada Tabel
4.
Tabel 4. Jadwal rencana operasional kegiatan penelitian
JADWAL RENCANA Bulan
N0 OPERASIONAL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
KEGIATAN
1 Persiapan
Pengadaan Bahan x x x x
Alat x x x x
Rapat operasional x x x

2 Pelaksanaan x x x x
Pelaporan x
Pengolahan data x x x x x x x x x

5
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Estuari
ESTUARI
Estuari berasal dari kata aetus yang artinya pasang-surut. Estuari
didefinisikan sebagai badan air di wilayah pantai yang setengah tertutup, yang
berhubungan dengan laut bebas sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat
bercampur dengan air tawar (Pickard, 1967). Menurut Dahuri et al. (1996) ekosistem
estuaria adalah bagian dari wilayah pesisir dimana air laut dan air tawar bertemu dan
bercampur. Proses percampuran ke dua massa air ini sangat bervariasi karena
masing-masing emiliki karakteristik yang berbeda dan dipengaruhi oleh kekuatan tiga
unsur yaitu daratan (sungai), lautan dan atmosfir. Namun demikian kekuatan utama
yang mempengaruhinya adalah kekuatan aliran sungai dan pasang surut. Kombinasi
pengaruh air laut dan air tawar tersebut akan menghasilkan suatu komunitas yang
khas, dengan kondisi lingkungan yang bervariasi, antara lain:
1. Tempat bertemunya arus sungai dengan arus pasang surut, yang berlawanan
menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran air, dan
ciri-ciri fisika lainnya, serta membawa pengaruh besar pada biotanya.
2. Pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika
lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut.
3. Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang surut mengharuskan komunitas
mengadakan penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya.
4. Tingkat kadar garam di daerah estuaria tergantung pada pasangsurut air laut,
banyaknya aliran air tawar dan arus-arus lain, serta topografi daerah estuaria itu
sendiri.
Estuaria dapat terjadi pada lembah-lembah sungai yang tergenang air laut,
baik karena permukaan laut yang naik (misalnya pada zaman es mencair) atau pun
karena turunnya sebagian daratan oleh sebab-sebab tektonis. Estuaria juga dapat
terbentuk pada muara-muara sungai yang sebagian terlindungi oleh beting pasir
atau lumpur.Sebagian besar estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang
merupakan endapan yang dibawa oleh air tawar dan air laut. Contoh dari estuaria
adalah muara sungai, teluk dan rawa pasang-surut
Secara umum estuaria mempunyai peran ekologis penting, antara lain:
sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi pasang
surut (tidal circulation), penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan yang
bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makanan

6
(feeding ground) dan sebagai tempat untuk bereproduksi dan/atau tempat tumbuh
besar (nursery ground) terutama bagi sejumlah spesies ikan dan udang. Perairan
estuaria secara umum dimanfaatkan manusia untuk tempat pemukiman, tempat
penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan, jalur transportasi, pelabuhan dan
kawasan industri (Bengen, 2004).
Kolom air di estuaria merupakan habitat untuk plankton dan nekton. Di dasar
perairan hidup mikro dan makro bentos. Setiap kelompok organisme dalam
habitatnya menjalankan fungsi biologisnya masing-masing. Antara satu kelompok
organisme terjalin jaringan trofik (rantai makanan) sehingga membentuk jaringan
jala makanan. Jumlah spesies organisme yang mendiami estuaria jauh lebih sedikit
jika dibandingkan dengan organisme yang hidup di perairan tawar dan laut.
Sedikitnya jumlah spesies ini terutama disebabkan oleh fluktuasi kondisi lingkungan,
sehingga hanya spesies yang memiliki kekhususan fisiologis yang mampu bertahan
hidup di estuaria. Selain miskin dalam jumlah spesies fauna, estuaria juga miskin
dalam flora. Keruhnya perairan estuaria menyebabkan hanya tumbuhan mencuat
yang dapat tumbuh mendominasi. Rendahnya produktifitas primer di kolom air,
sedikitnya herbivora dan terdapatnya sejumlah besar detritus menunjukkan bahwa
rantai makanan pada ekosistem estuaria merupakan rantai makanan detritus
(Bangen, 2002).
II.1.1. Tipe-tipe Estuari
Pembagian tipe-tipe estuari dapat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu,
kekuatan gelombang, pasang surut dan keberadaan sungai. Kuat lemahnya ketiga
faktor ini tergantung dari bentuk geomorfologinya.
Secara umum tipe-tipe estuari dapat dibagi menjadi tujuh tipe, yaitu:
1. Embayments and drown river valleys (Teluk dengan sungai dari lembah bukit)
2. Wave-dominated estuaries (Estuari dengan dominasi gelombang)
3. Wave-dominated deltas (Delta dengan dominasi gelombang)
4. Coastal lagoons and strandplains (Lagun dengan hamparan tanah datar)
5. Tide-dominated estuaries (Estuari dengan dominasi pasang surut)
6. Tide-dominated deltas (Delta dengan dominasi pasang surut)
7. Tidal creeks (Daerah pasang surut dengan banyak anak sungai)
Karakteristik (ciri – ciri) ekosistem estuaria adalah sebagai berikut:

7
Keterlindungan
Estuaria merupakan perairan semi tertutup sehingga biota akan terlindung dari
gelombang laut yang memungkinkan tumbuh mengakar di dasar estuaria dan
memungkinkan larva kerang-kerangan menetap di dasar perairan.
Kedalaman
Kedalaman estuaria relatif dangkal sehingga memungkinkan cahaya matahari
mencapai dasar perairan dan tumbuhan akuatik dapat berkembang di seluruh
dasar perairan, karena dangkal memungkinkan penggelontoran (flushing)
dengan lebih baik dan cepat serta menangkal masuknya predator dari laut
terbuka (tidak suka perairan dangkal).
Salinitas air
Air tawar menurunkan salinitas estuaria dan mendukung biota yang padat.
Sirkulasi air
Perpaduan antara air tawar dari daratan, pasang surut dan salinitas menciptakan
suatu sistem gerakan dan transport air yang bermanfaat bagi biota yang hidup
tersuspensi dalam air, yaitu plankton.
Pasang
Energi pasang yang terjadi di estuaria merupakan tenaga penggerak yang
penting, antara lain mengangkut zat hara dan plangton serta mengencerkan dan
meggelontorkan limbah.
Penyimpanan dan pendauran zat hara
Kemampuan menyimpan energi daun pohon mangrove, lamun serta alga
mengkonversi zat hara dan menyimpanya sebagai bahan organik untuk nantinya
dimanfaatkan oleh organisme hewani.
II.1.2. Substrat Dasar
Substrat lumpur merupakan ciri dari estuaria dan rawa asin. Perbedaan
utama dengan wilayah pesisir dengan substrat berpasir adalah pantai berlumpur
tidak dapat berkembang dengan hadirnya gerakan gelombang. Oleh karena itu,
daerah pesisir dengan pantai berlumpur hanya terbatas pada daerah intertidal yang
benar-benar terlindung dari aktivitas gelombang laut terbuka. Pantai berlumpur
cenderung untuk mengakumulasi bahan organik, sehingga cukup banyak makanan
yang potensial bagi bentos pantai ini. Namun berlimpahnya partikel organik yang
halus yang mengendap di daratan lumpur juga mempunyai kemampuan untuk
menyumbat permukaan alat pernafasan (Nybakken, 1988). Bentos yang dominan
hidup di substrat berlumpur tergolong dalam Suspention Feeder (penyaring

8
suspensi sebagai sumber makanan). Di antara yang umum ditemukan adalah
kelompok Polychaeta, Bivalvia, Crustacea, Echinodermata dan Bakteri. Di samping
itu juga ditemukan Gastropoda dengan indeks keanekaragaman yang rendah serta
lamun yang berperan meningkatkan kehadiran bentos (Nybakken, 1988).
Adapun substrat berpasir umumnya miskin akan organisme, tidak dihuni oleh
kehidupan makroskopik, selain itu kebanyakan bentos pada pantai berpasir
mengubur diri dalam substrat. Produksi primer pantai berpasir rendah, meskipun
kadang-kadang dijumpai populasi Diatom yang hidup di pasir intertidal. Hampir
seluruh materi organik diimpor baik dalam bentuk materi organik terlarut (DOM) atau
partikel (POM). Pantai berpasir tidak menyediakan substrat yang tetap untuk
melekat bagi organisme, karena aksi gelombang secara terus menerus
menggerakkan partikel substrat. Kelompok organisme yang mampu beradaptasi
pada kondisi substrat pasir adalah organisme infauna makro (berukuran 1 – 10 cm)
yang mampu menggali liang di dalam pasir, dan organisme meiofauna mikro
(berukuran 0,1 -1 mm) yang hidup di antara butiran pasir dalam ruang interaksi.
Ditinjau dari kebiasaan makan (feeding habit) maka hewan bentos yang banyak
ditemukan adalah kelompok Suspention Feeder dan Carnivore. Organisme yang
dominan adalah Polychaeta, Bivalvia dan Crustacea (Nybakken, 1988). Pada jenis
sedimen berpasir, kandungan oksigen relatif lebih besar dibandingkan pada
sedimen yang halus karena pada sedimen berpasir terdapat pori udara yang
memungkinkan terjadinya percampuran yang lebih intensif dengan air di atasnya,
tetapi pada sedimen ini tidak banyak nutrien, sedangkan pada substrat yang lebih
halus walaupun oksigen sangat terbatas tapi tersedia nutrien dalam jumlah besar
(Wood, 1987).
Daerah pesisir dengan substrat berbatu merupakan daerah yang paling
padat makroorganismenya dan mempunyai keragaman terbesar baik untuk spesies
hewan maupun tumbuhan. Komunitas biota di daerah pantai berbatu jauh lebih
kompleks dari daerah lain karena bervariasinya relung (niche) ekologis yang
disediakan oleh genangan air, celah-celah dan permukaan batu serta hubungan
yang bervariasi terhadap cahaya, gerakan air, perubahan suhu dan faktor lainnya.
Ditinjau dari kebiasaan makannya (feeding habit) maka hewan bentos yang banyak
ditemukan termasuk kelompok Herbivora, Scavenger, Suspention Feeder dan
Predator. Organisme bentos yang dominan adalah kelompok epifauna, seperti
Gastropoda, Crustacea, Bivalvia dan Echinodermata (Nybakken, 1988). Daerah
pasang surut khususnya pada daerah intertidal, memiliki kondisi kritis, dimana suhu

9
pada wilayah ini bisa berbeda sangat ekstrim sebagaimana halnya salinitas.
Pasang naik dan turun menyebabkan hamparan intertidal terendam air atau kontak
langsung dengan udara terbuka selama interval waktu tertentu. Pada saat pasang
turun (terpapar), kondisi permukaan substrat dasar yang menjadi habitat hidup
bentos mengalami kering karena adanya penguapan yang mengakibatkan terjadi
peningkatan suhu dan salinitas yang cepat bahkan dapat mencapai batas letal
organisme. Di samping itu, dapat digenangi oleh air tawar yang mengalir masuk
ketika hujan deras sehingga terjadi penurunan salinitas yang mendadak (Nybakken,
1988).
II.1.3. Sifat-sifat Ekologis Estuaria
Sebagai tempat pertemuan air laut dan air tawar, salinitas di estuaria sangat
bervariasi. Baik menurut lokasinya di estuaria, ataupun menurut waktu. Berikut
adalah sifat-sifat ekologis estuaria secara umum:
1. Salinitas yang tertinggi berada pada bagian luar, yakni pada batas wilayah
estuaria dengan laut, sementara yang terendah berada pada tempat-tempat di
mana air tawar masuk ke estuaria. Pada garis vertikal, umumnya salinitas di
lapisan atas kolom air lebih rendah daripada salinitas air di lapisan bawahnya. Ini
disebabkan karena air tawar cenderung ‘terapung’ di atas air laut yang lebih
berat oleh kandungan garam. Kondisi ini disebut ‘estuaria positif’ atau ‘estuaria
baji garam’. Akan tetapi ada pula estuaria yang memiliki kondisi berkebalikan,
dan karenanya dinamai ‘estuaria negatif’. Misalnya pada estuaria estuaria yang
aliran air tawarnya sangat rendah, seperti di daerah gurun pada musim kemarau.
2. Laju penguapan air di permukaan, lebih tinggi daripada laju masuknya air tawar
ke estuaria, menjadikan air permukaan dekat mulut sungai lebih tinggi kadar
garamnya. Air yang hipersalin itu kemudian tenggelam dan mengalir ke arah laut
di bawah permukaan. Dengan demikian gradien salinitas airnya berbentuk
kebalikan daripada ‘estuaria positif’.
3. Dinamika pasang surut air laut sangat mempengaruhi perubahan-perubahan
salinitas dan pola persebarannya di estuaria. Pola ini juga ditentukan oleh
geomorfologi dasar estuaria.
4. Perubahan-perubahan salinitas di kolom air dapat berlangsung cepat dan
dinamis, salinitas substrat di dasar estuaria berubah dengan sangat lambat.
5. Substrat estuaria umumnya berupa lumpur atau pasir berlumpur yang berasal
dari sedimen yang terbawa aliran air, baik dari darat maupun dari laut. Hal ini
disebabkan karena pertukaran partikel garam dan air yang terjebak diantara

10
partikel-partikel sedimen, dengan yang berada pada kolom air di atasnya
berlangsung dengan lamban.
II.1.4. Fungsi Ekologis Estuaria
Secara singkat peran ekologi estuaria yang penting adalah sebagai berikut:
a) Merupakan sumber zat hara dan bahan organik bagi bagian estuari yang jauh
dari garis pantai maupun yang berdekatan denganya lewat sirkulasi pasang surut
(tidal circulation).
b) Menyediakan habitat bagi sejumlah spesies ikan yang ekonomis penting sebagai
tempat berlindung dan tempat mencari makan (feeding ground).
c) Memenuhi kebutuhan bermacam spesies ikan dan udang yang hidup dilepas
pantai, tetapi bermigrasi keperairan dangkal dan berlindung untuk memproduksi
dan/atau sebagai tempat tumbuh besar (nursery ground) anak mereka.
d) Sebagai potensi produksi makanan laut di estuaria yang sedikit banyak
didiamkan dalam keadaan alami. Kijing yang bernilai komersial (Rangia euneata)
memproduksi 2900 kg daging per ha dan 13.900 kg cangkang per ha pada
perairan tertentu di Texas.
e) Perairan estuaria secara umum dimanfaatkan manusia untuk tempat pemukiman
f) Tempat penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan
g) Jalur transportasi, pelabuhan dan kawasan industri
II.1.5. Peranan Ekosistem estuaria
Produktifitas estuaria, pada kenyataannya bertumpu atas bahan-bahan
organik yang terbawa masuk estuaria melalui aliran sungai atau arus pasang surut
air laut. Produktifitas primernya sendiri, karena sifat-sifat dinamika estuaria
sebagaimana telah diterangkan di atas dan karena kekeruhan airnya yang
berlumpur, hanya dihasilkan secara terbatas oleh sedikit jenis alga, rumput laut,
diatom bentik dan fitoplankton.
Meski demikian, bahan-bahan organik dalam rupa detritus yang terendapkan
di estuaria membentuk substrat yang penting bagi tumbuhnya alga dan bakteri,
yang kemudian menjadi sumber makanan bagi tingkat-tingkat trofik di atasnya.
Banyaknya bahan-bahan organik ini dibandingkan oleh Odum dan de la Cruz (1967)
dalam Nybakken (1988) yang mendapatkan bahwa air drainase estuaria
mengandung sampai 110 mg berat kering bahan organik per liter, sementara
perairan laut terbuka hanya mengandung bahan yang sama 1-3 mg per liter.
Oleh sebab itu, organisme terbanyak di estuaria adalah para pemakan
detritus, yang sesungguhnya bukan menguraikan bahan organik menjadi unsur
11
hara, melainkan kebanyakan mencerna bakteri dan jasad renik lain yang tercampur
bersama detritus itu. Pada gilirannya, para pemakan detritus berupa cacing, siput
dan aneka kerang akan dimakan oleh udang dan ikan, yang selanjutnya akan
menjadi mangsa tingkat trofik di atasnya seperti ikan-ikan pemangsa dan burung
Sebagai lingkungan perairan yang mempunyai kisaran salinitas yang cukup
lebar, estuari menyimpan berjuta keunikan yang khas. Hewan-hewan yang hidup
pada lingkungan perairan ini adalah hewan yang mampu beradaptasi dengan
kisaran salinitas tersebut. Dan yang paling penting adalah lingkungan perairan
estuary merupakan lingkungan yang sangat kaya akan nutrient yang menjadi
unsure terpenting bagi pertumbuhan phytoplankton. Inilah sebenarnya kunci dari
keunikan lingkungan estuary. Sebagai kawasan yang sangat kaya akan unsur hara
(nutrient) estuary di kenal dengan sebutan daerah pembesaran (nursery ground)
bagi berjuta ikan, invertebrate (Crustacean, Bivalve, Echinodermata, annelida dan
masih banyak lagi kelompok infauna). Tidak jarang ratusan jenis ikan-ikan ekonomis
penting seperti siganus, baronang, sunu dan masih banyak lagi menjadikan daerah
estuari sebagai daerah pemijahan dan pembesaran.
Melihat banyaknya jenis hewan yang sifatnya hidup sementara di estuaria,
bisa disimpulkan bahwa rantai makanan dan rantai energi di estuaria cenderung
bersifat terbuka. Dengan pangkal pemasukan dari serpih-serpih bahan organik yang
terutama berasal dari daratan (sungai, rawa asin, hutan bakau), dan banyak yang
berakhir pada ikan-ikan atau burung yang kemudian membawa pergi energi keluar
dari sistem.
II.1.6. Komposisi Biota dan Produktifitas Hayati
Di estuaria terdapat tiga komponen fauna, yaitu fauna laut, air tawar dan
payau. Komponen fauna yang terbesar didominasi oleh fauna laut yaitu
hewan stenohalin yang terbatas kemampuannya dalam mentolerir perubahan
salinitas dan hewan euryhalin yang mempunyai kemampuan mentolerir berbagai
penurunan salinitas yang lebar. Komponen air payau terdiri dari spesies organisme
yang hidup di pertengahan daerah estuaria pada salinitas antara 5-300/00. Spesies-
spesies ini tidak ditemukan hidup pada perairan laut maupun tawar. Komponen air
tawar biasanya terdiri dari yang tidak mampu mentoleril salinitas di atas 5 dan
hanya terbatas pada bagian hulu estuaria. Ciri khas estuaria cenderung lebih
produktif daripada laut ataupun air tawar. Estuaria adalah ekosistem yang miskin
dalam jumlah spesies fauna dan flora. Faunanya: ikan, kepiting, kerang dan
berbagai jenis cacing berproduksi dan saling terkait melalui suatu rantai makanan

12
yang kompleks. Detritus membentuk substrat untuk pertumbuhan bakteri dan alga
dan kemudian menjadi sumber makanan penting bagi organisme pemakan suspensi
dan detritus.
Secara fisik dan biologis, estuaria merupakan ekosistem produktif karena:
a) Estuaria yang berperan sebagai jebak zat hara yang cepat di daur ulang
b) Beragamnya komposisi tumbuhan di estuaria baik tumbuhan makro (makrofiton)
maupun tumbuhan mikro (mikrofiton), sehingga proses fotosintesis dapat
berlangsung sepanjang tahun.
c) Adanya fluktuasi permukaan air terutama akibat aksi pasang-surut, sehingga
antara lain memungkinkan pengangkutan bahan makanan dan zat hara yang
diperlukan berbagai organisme estuaria.
II.1.7. Biota Estuari
Sebagai wilayah peralihan atau percampuran, estuaria memiliki tiga
komponen biota, yakni fauna yang berasal dari lautan, fauna perairan tawar, dan
fauna khas estuaria atau air payau. Fauna lautan yang tidak mampu mentolerir
perubahan-perubahan salinitas yang ekstrem biasanya hanya dijumpai terbatas di
sekitar perbatasan dengan laut terbuka, di mana salinitas airnya masih berkisar di
atas 30‰. Sebagian fauna lautan yang toleran (eurihalin) mampu masuk lebih jauh
ke dalam estuaria, di mana salinitas mungkin turun hingga 15‰ atau kurang.
Sebaliknya fauna perairan tawar umumnya tidak mampu mentolerir salinitas di atas
5‰, sehingga penyebarannya terbatas berada di bagian hulu dari estuaria.
Fauna khas estuaria adalah hewan-hewan yang dapat mentolerir kadar
garam antara 5-30‰, namun tidak ditemukan pada wilayah-wilayah yang
sepenuhnya berair tawar atau berair laut. Di antaranya terdapat beberapa jenis
tiram dan kerang (Ostrea, Scrobicularia), siput kecil Hydrobia, udang Palaemonetes,
dan cacing polikaeta Nereis.Di samping itu terdapat pula fauna-fauna yang
tergolong peralihan, yang berada di estuaria untuk sementara waktu saja. Beberapa
jenis udang Penaeus, misalnya, menghabiskan masa juvenilnya di sekitar estuaria,
untuk kemudian pergi ke laut ketika dewasa. Jenis-jenis sidat (Anguilla) dan ikan
salem (Salmo, Onchorhynchus) tinggal sementara waktu di estuaria dalam
perjalanannya dari hulu sungai ke laut, atau sebaliknya, untuk memijah. Dan banyak
jenis hewan lain, dari golongan ikan, reptil, burung dan lain-lain, yang datang ke
estuaria untuk mencari makanan (Nybakken, 1988). Akan tetapi sesungguhnya, dari
segi jumlah spesies, fauna khas estuaria adalah sangat sedikit apabila
dibandingkan dengan keragaman fauna pada ekosistem-ekosistem lain yang

13
berdekatan. Umpamanya dengan fauna khas sungai, hutan bakau atau padang
lamun, yang mungkin berdampingan letaknya dengan estuaria. Para ahli menduga
bahwa fluktuasi kondisi lingkungan, terutama salinitas, dan sedikitnya keragaman
topografi yang hanya menyediakan sedikit relung (niche), yang bertanggung jawab
terhadap terbatasnya fauna khas setempat.
II.1.8. Rantai Makanan di Estuari
Rantai makanan adalah perpindahan energi makanan dari sumber daya
tumbuhan melalui seri organisme atau melalui jenjang makan (tumbuhan-herbivora-
carnivora). Pada setiap tahap pemindahan energi, 80%–90% energi potensial hilang
sebagai panas, karena itu langkah-langkah dalam rantai makanan terbatas 4-5
langkah saja. Dengan perkataan lain, semakin pendek rantai makanan semakin
besar pula energi yang tersedia (Anonim, 2010). Pada ekosistem estuaria dikenal 3
(tiga ) tipe rantai makanan yang didefinisikan berdasarkan bentuk makanan atau
bagaimana makanan tersebut dikonsumsi: grazing, detritus dan osmotik. Fauna
diestuaria, seperti udang, kepiting, kerang, ikan, dan berbagai jenis cacing
berproduksi dan saling terkait melalui suatu rantai dan jaring makanan yang
kompleks (Komunitas tumbuhan yang hidup di estuari antara lain rumput rawa
garam, ganggang, dan fitoplankton. Komunitas hewannya antara lain berbagai
cacing, kerang, kepiting, dan ikan. Bahkan ada beberapa invertebrata laut dan ikan
laut yang menjadikan estuari sebagai tempat kawin atau bermigrasi untuk menuju
habitat air tawar. Estuari juga merupakan tempat mencari makan bagi vertebrata
semi air, yaitu unggas air.
Ada dua tipe dasar rantai makanan:
1. Rantai makanan rerumputan (grazing food chain). Misalnya: tumbuhan-
herbivora-carnivora.
2. Rantai makanan sisa (detritus food chain). Bahan mati mikroorganisme (detrivora
= organisme pemakan sisa) predator.
Suatu rantai adalah suatu pola yang kompleks saling terhubung, rantai
makanan di dalam suatu komunitas yang kompleks antar komunitas, selain
daripada itu, suatu rantai makanan adalah suatu kelompok organisme yang
melibatkan perpindahan energi dari sumber utamanya (yaitu: cahaya matahari,
phytoplankton, zooplankton, larval ikan, kecil ikan, ikan besar, binatang menyusui).
Jenis dan variasi rantai makanan adalah sama banyak seperti jenis/ spesies di
antara mereka dan tempat kediaman yang mendukung mereka. Selanjutnya, rantai
makanan dianalisa didasarkan pada pemahaman bagaimana rantai makanan

14
tersebut memperbaiki mekanisme pembentukannya. Ini dapat lebih lanjut dianalisa
sebab bagaimanapun jenis tunggal boleh menduduki lebih dari satu tingkatan tropik
di dalam suatu rantai makanan (Johannessen et al., 2005).
Dalam bagian ini, diuraikan tiga bagian terbesar dalam rantai makanan yaitu:
phytoplankton, zooplankton, dan infauna benthic. Sebab phytoplankton dan
zooplankton adalah komponen rantai makanan utama dan penting, dimana bagian
ini berisi informasi yang mendukung keberadaan organisme tersebut. Sedangkan,
infauna benthic adalah proses yang melengkapi pentingnya rantai makanan di
dalam ekosistem pantai berlumpur. Selanjutnya, pembahasan ini penekananya
pada bagaimana mata rantai antara rantai makanan dan tempat berlindungnya (tidal
flat; pantai berlumpur) (Johannessen et al., 2005).
II.1.9. Adaptasi Organisme Estuaria
Variasi sifat habitat estuaria, terutama dilihat dari fluktuasi salinitas dan suhu,
membuat estuaria menjadi habitat yang menekan dan keras. Bagi organisme, agar
dapat hidup dan berhasil membentuk koloni di daerah ini mereka harus memilki
adaptasi tertentu. Adaptasi tersebut antara lain:
a) Adaptasi morfologis: organisme yang hidup di lumpur memiliki rambut-rambut
halus untuk menghambat penyumbatan permukaan ruang pernafasan oleh
partikel lumpur;
b) Adaptasi fisiologis: berkaitan dengan mempertahankan keseimbangan ion cairan
tubuh;
c) Adaptasi tingkah laku: pembuatan lubang ke dalam lumpur organisme khususnya
avertebrata.
Kebanyakan organisme yang menempati daerah ini menunjukkan adaptasi
dalam menggali dan melewati substrat yang lunak atau menempati saluran yang
permanen dalam substrat. Dikarenakan pantai lumpur juga agak tandus, hal ini
dapat dilihat dari sedikitnya organisme yang menempati permukaan daratan lumpur.
Kehadiran organisme di pantai berlumpur ditunjukkan oleh adanya berbagai lubang
di permukaan dengan ukuran dan bentuk yang berbeda. Jadi, salah satu adaptasi
utama dari organisme di daratan lumpur adalah kemampuan untuk menggali
substrat atau membentuk saluran yang permanen. Adaptasi utama yang kedua
berkaitan dengan kondisi anaerobik yang merata di seluruh substrat. Jika organisme
ingin tetap hidup ketika terkubur dalam substrat, mereka harus beradaptasi untuk
hidup dalam keadaan anaerobik atau harus membuat beberapa jalan yang dapat
mengalirkan air dari permukaan yang mengandung banyak oksigen ke bawah.

15
Untuk mendapatkan air dari permukaan yang kaya oksigen dan makanan maka
muncul berbagai lubang dan saluran di permukaan daratan lumpur. Adaptasi yang
umum terhadap rendahnya ketersediaan oksigen adalah dengan membentuk alat
pengangkut (misalnya, hemoglobin) yang dapat terus-menerus mengangkut oksigen
dengan konsertasi yang lebih baik dibandingkan dengan pigmen yang sama pada
organisme lain (Nybakken, 1982).
II.1.10. Tipe Organisme
Pantai berlumpur sering menghasilkan suatu pertumbuhan yang besar dari
berbagai tumbuhan. Di atas daratan lumpur yang kosong, tumbuhan yang paling
berlimpah adalah diatom, yang hidup di lapisan permukaan lumpur dan biasanya
menghasilkan warna kecoklatan pada permukaan lumpur pada saat terjadi pasang-
turun. Tumbuhan lain termasuk makroalga, Glacilaria, Ulva, dan Enteromorpha.
Pada daerah lain, khusus pada pasut terendah hidup berbagai rumput laut, seperti
Zostera.
Daratan berlumpur mengandung sejumlah besar bakteri, yang memakan
sejumlah besar bahan organik. Bakteri ini merupakan satu-satunya organisme yang
melimpah pada lapisan anaerobikdi pantai berlumpur dan membentuk biomassa
yang berarti. Bakteri ini dinamakan Bakteri Kemosintesis atau Bakteri Sulfur, bakteri
ini mendapatkan energi dari hasil oksidasi beberapa senyawa sulfur yang tereduksi,
seperti berbagai sulfida (misalnya, H2S). Mereka menghasilkan bahan organik
dengan menggunakan energi yang didapat dari oksidasi senyawa sulfur yang
tereduksi, berbeda dengan tumbuhan yang menghasilkan bahan organik
menggunakan energi matahari.
Karena bakteri ototrofik ini berlokasi di lapisan anaerobik di lumpur, maka
daratan lumpur merupakan daerah yang unik di lingkungan laut, mereka mempunyai
dua lapisan yang berbeda di mana produktivitas primer terjadi, daerah tempat
diatom, alga, dan rumput lautmelakukan fotosintesis, dan lapisan dalam tempat
bakteri melakukan kemosintesis. Mahluk dominan yang terdapat pada daratan
lumpur, yaitu cacing polichaeta, moluska bivalvia, dan krustacea besar dan kecil,
tetapi dengan jenis yang berbeda (Nybakken, 1982).
Phytoplankton
Pertumbuhan phytoplankton di wilayah pantai estuaria berlumpur diatur dengan
suatu interaksi antara matahari, hujan, bahan gizi, dan gerakan massa air, serta
convergensi yang di akibatkan oleh arus laut. Sampai jumlah tertentu produksi
phytoplankton tergantung pada cuaca, dengan pencampuran dan stratifikasi

16
kolom air yang mengendalikan produktivitas utama. Percampuran massa air
vertikal yang kuat mempunyai suatu efek negatif terhadap produktivitas, dengan
mengurangi perkembangan phytoplankton maka terjadi penambahan energi itu
sendiri dan penting bagi fotosintesis. Bagaimanapun, pencampuran vertikal
adalah juga diuntungkan karena proses penambahan energi, yang membawa
bahan gizi (nutrient) dari air menuju ke permukaan di mana mereka dapat
digunakan oleh phytoplankton.
Zooplankton dan Heterotrophs Lain
Zooplankton dan heterotrophs lain (suatu tingkatan organisma trophic sekunder
yang berlaku sebagai consumer utama organik) di dalam kolom air mengisi suatu
relung ekologis penting sebagai mata rantai antara produksi phytoplankton
utama dan produktivitas ikan. Secara teknis, istilah zooplankton mengacu pada
format hewan plankton, yang tinggal di kolom air dan pergerakan utama semata-
mata dikendalikan oleh keadaan insitu lingkungan (current movement).
zooplankton mempunyai kemampuan untuk berpindah tempat vertikal terhadap
kolom air dan boleh juga berpindah tempat secara horisontal dari pantai ke laut
lepas sepanjang yaitu musim semi dan musim panas dalam untuk mencari lokasi
yang cocok untuk pertumbuhan mereka. Migrasi vertikal menciptakan sonik
lapisan menyebar ketika zooplankton bergerak ke permukaan pada malam hari
dan tempat yag terdalam pada siang hari. Pada daerah berlumpur dengan
olakan gelombang besar, migrasi vertical zooplankton akan terhalang.
Sedangkan, migrasi horisontal musiman mengakibatkan zooplankton akan
mengalami blooming (pengkayaan).
Infauna dan Epifauna Benthic
Infauna Benthic (organisma yang tinggal di sedimen) dan epifauna
(organisma yang mempertahankan hidup di sedimen) adalah suatu kumpulan
taxa berbeda-beda mencakup clam, ketam, cacing, keong, udang, dan ikan.
Sedangkan burrowers, adalah binatang pemakan bangkai, pemangsa, dan
pemberi makan/tempat makan sejumlah phytoplankton, zooplankton, sedimen,
detritus dan nutrient lainnya.
Mereka berperan penting dalam jaring makanan di pantai berlumpur, juga
bertindak sebagai konvertor untuk pembuatan bahan-bahan organik pada
tingkatan tropik yang lebih tinggi, sehingga menyokong peningkatan produktivitas
alam bebas (wildlife) dan ikan. Dengan diuraikannya secara rinci bagaimana
berbagai rantai makanan terhubung ke dalam suatu jaringan makanan terpadu

17
pada benthic community dalam system dinamika pantai berlumpur adalah
penting untuk di jawab bahwa ekosistem pantai berlumpur ini berperan di dalam
keseimbangan produktifitas primer perairan Zedler (1980).
Predator asli di dataran lumpur ini mencakup beberapa cacing polychaeta
seperti Glycera spp., siput bulan (Polinices, Natica) dan kepiting. Jadi, struktur
trofik dataran lumpur sering terbentuk berdasarkan dua hal, yaitu : berdasarkan
detritus – bakteri dan berdasarkan tumbuhan.
II.1.11. Peranan Ekosistem Estuari
Produktifitas estuaria, pada kenyataannya bertumpu atas bahan-bahan
organik yang terbawa masuk estuaria melalui aliran sungai atau arus pasang surut
air laut. Produktifitas primernya sendiri, karena sifat-sifat dinamika estuaria
sebagaimana telah diterangkan di atas dan karena kekeruhan airnya yang
berlumpur, hanya dihasilkan secara terbatas oleh sedikit jenis alga, rumput laut,
diatom bentik dan fitoplankton.
Meski demikian, bahan-bahan organik dalam rupa detritus yang terendapkan
di estuaria membentuk substrat yang penting bagi tumbuhnya alga dan bakteri,
yang kemudian menjadi sumber makanan bagi tingkat-tingkat trofik di atasnya.
Banyaknya bahan-bahan organik ini dibandingkan oleh Odum dan de la Cruz (1967,
dalam Nybakken (1988) yang mendapatkan bahwa air drainase estuaria
mengandung sampai 110 mg berat kering bahan organik per liter, sementara
perairan laut terbuka hanya mengandung bahan yang sama 1-3 mg per liter.
Oleh sebab itu, organisme terbanyak di estuaria adalah para pemakan
detritus, yang sesungguhnya bukan menguraikan bahan organik menjadi unsur
hara, melainkan kebanyakan mencerna bakteri dan jasad renik lain yang tercampur
bersama detritus itu. Pada gilirannya, para pemakan detritus berupa cacing, siput
dan aneka kerang akan dimakan oleh udang dan ikan, yang selanjutnya akan
menjadi mangsa tingkat trofik di atasnya seperti ikan-ikan pemangsa dan burung.
Melihat banyaknya jenis hewan yang sifatnya hidup sementara di estuaria,
bisa disimpulkan bahwa rantai makanan dan rantai energi di estuaria cenderung
bersifat terbuka. Dengan pangkal pemasukan dari serpih-serpih bahan organik yang
terutama berasal dari daratan (sungai, rawa asin, hutan bakau), dan banyak yang
berakhir pada ikan-ikan atau burung yang kemudian membawa pergi energi keluar
dari sistem.

18
II.1.12. Ekosistem Mangrove
Salah satu bagian yang sangat berperan penting di ekosistem estuaria adalah
ekosistem mangrove yang memiliki produktivitas tinggi. Nybakken (1988)
mengemukakan bahwa ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem peralihan
antara darat dan laut. Salah satu komponen utama penyusun ekosistem mangrove
adalah vegetasi mangrove atau mangal merupakan sebutan umum yang digunakan
untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh
beberapa spesies pohon yang khas atau semak yang memiliki kemampuan untuk
tumbuh dalam perairan asin (Nybakken1988). Berdasarkan Odum (1993) mangrove
adalah salah satu diantara sedikitnya tumbuh-tumbuhan tanah timbul yang tahan
terhadap salinitas laut terbuka.
Tumbuhan ini mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut
sesuai dengan toleransinya terhadap salinitas, lama penggenangan, substrat dan
morfologi pantai. Mangrove dapat di jumpai pada daerah sepanjang muara sungai
atau daerah yang banyak dipengaruhi oleh aliran sungai (fluvio-marine) dan daerah
yang umumnya didominasi oleh faktor laut (marino-fluvial) (DKP 2004). Istilah
bakau adalah sebutan bagi jenis utama pohon mangrove (Rhizophora spp.) yang
dominan hidup dihabitat pantai. Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai
tropis dan sub - tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon, seperti
Avicennia spp, Sonneratia spp, Rhizophora spp, Bruguiera spp, Ceriops spp,
Lumnitzera spp, Exoecaria spp, Xylocarpus spp, Aegiceras spp, Scyphyphora
spp.dan Nypa sp yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut
pantai berlumpur (Bengen 2004).
Formasi mangrove merupakan perpaduan antara daratan dan lautan.
Mangrove tergantung pada air laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber
makanannya serta endapan debu(silt) dari erosi daerah hulu sebagai bahan
pendukung substratnya (DKP 2004). Menurut Snedaker (1984) hutan mangrove
adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh disepanjang garis pantai tropis
sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang
mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan tanah anaerob.
Selanjutnya Aksornkoae (1993) mengemukakan bahwa mangrove adalah tumbuhan
halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi
sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis
dan sub-tropis.

19
Mangrove umumnya tumbuh di daerah intertidal yang memiliki jenis tanah
berlumpur, berlempung atau berpasir. Tergenang oleh air laut secara berkala, dapat
setiap hari maupun hanya tergenang pada saat surut purnama, frekuensi genangan
ini menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove. Selain itu, mangrove juga
membutuhkan suplai air tawar dari daratan, dan biasanya hidup baik pada daerah
yang cukup terlindung dari gelombang besar dan pasang surut yang kuat. Salinitas
yang baik untuk mangrove tumbuh adalah pada salinitas 2 – 22 ppt atau sampai
asin pada salinitas 38 ppt (Bengen, 2001; Nontji, 2005). Cakupan sumberdaya
mangrove secara keseluruhan menurut Kusmana et al., (2003) terdiri atas:
(1) satu atau lebih spesies tumbuhan yang hidupnya terbatas di habitat mangrove,
(2) spesies-spesies tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, namun juga
dapat hidup di habitat non-mangrove,
(3) biota yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak,
cendawan, ganggang, bakteri dan lain lain, baik yang hidupnya menetap,
sementara, sekali kali, biasa ditemukan, kebetulan maupun khusus hidup
dihabitat mangrove,
(4) proses-proses alamiah yang berperan dalam mempertahankan ekosistem ini
baik yang berada didaerah bervegetasi maupun diluarnya, dan
(5) daratan terbuka/ hamparan lumpur yang berada antara batas hutan sebenarnya
dengan laut.
II.2. Kondisi Lingkungan Perairan
II.2.1. Suhu air
Suhu air merupakan salah satu faktor abiotik yang memegang peranan
penting bagi kehidupan organisme perairan. Di dalam perairan, suhu air dapat
mempengaruhi produktivitas primer perairan. Dengan meningkatnya suhu yang
masih dapat ditolerir oleh organisme nabati, akan diikuti oleh kenaikan derajat
metabolisme dan aktifitas fotosintesis, yang ada di dalamnya. Dengan demikian
suhu air erat kaitannya dengan pembentukan produktivitas primer di suatu perairan
(Schwoerbel, 1987 in Musa, 1992). Pada perairan yang dalam, penetrasi cahaya
matahari tidak sampai ke dasar, sehingga suhu air di dasar perairan yang dalam
lebih rendah dibandingkan dengan suhu air di dasar perairan dangkal. Suhu air
merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas serta memacu
atau menghambat perkembang biakan organisme perairan. Pada umumnya
peningkatan suhu air sampai skala tertentu akan mempercepat perkembang biakan
organisme perairan. Perubahan suhu dapat menjadi isyarat bagi organisme untuk

20
memulai atau mengakhiri berbagai aktivitas, misalnya aktivitas reproduksi
(Nyabakken, 1988).
Peningkatan suhu juga menyebakan peningkatan kecepatan metabolisme
serta respirasi organisme air dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi
oksigen. Peningkatan suhu perairansebesar 100C menyebabkan terjadinya
peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2 – 3 kali lipat.
Namun peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadaroksigen terlarut
sehingga keberadaan oksigen seringkali tidak mampu memenuhi kebutuhan
oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi.
Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian air dari
permukaan laut, waktu penyinaran dalam satu hari, sirkulasi udara, penutupan
awan, dan aliran serta kedalaman dari badan air. Penstrataan panas dapat terjadi
yang disebabkan oleh sinar matahari yang memanaskan permukaan air. Dalam
keadaan ini, epilimnion dan hipolimnion dapat memperlihatkan ciri-ciri fisik-kimiawi
yang berbeda. Tetapi pada perairan tropik suhu relatif tinggi (>25°C) sepanjang
tahun, menunjukkan kondisi yang relatif stabil dan umumnya jarang terjadi gejala
stratifikasi. Stratifikasi suhu di suatu perairan ditentukan oleh keadaan meteorologi
dan sifat setiap pertukaran panas, pangadukan, pemasukan atau pengeluaran air,
dan bentuk, ukuran, serta letak waduk (Goldman & Horne, 1983).
II.2.2. Kecerahan
Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara
visual dengan menggunakan secchi disk. Kecerahan suatu perairan dipengaruhi
oleh kekeruhan dan warna perairan tersebut, semakin tinggi kecerahan suatu
perairan maka akan semakin tinggi daya penetrasi cahaya matahari sehingga
proses fotosintesis dapat berlangsung dalam lapisan yang tebal. Pada perairan
alami kecerahan sangat erat hubungannya dengan fotosintesis. Kecerahan dapat
digunakan untuk menentukan tingkat produktifitas primer suatu perairan (Odum,
1971). Fitoplankton sebagai produsen primer di perairan, memerlukan cahaya
matahari untuk fotosintesis. Dalam suatu perairan, fotosintesis meningkat sejalan
dengan meningkatnya intensitas cahaya. Namun, pada lapisan permukaan laju
fotosintesis adalah kecil karena pengaruh sinar matahari yang terlalu kuat. Semakin
dalam, laju fotosintesis semakin meningkat hingga mencapai maksimum pada
kedalaman beberapa meter di bawah permukaan (cahaya optimal). Di bawahnya,
laju fotosintesis akan berkurang secara proporsional terhadap intensitas cahaya.
Apabila intensitas cahaya yang jatuh di permukaan menurun, misalnya karena

21
cuaca mendung, maka lapisan yang menerima cahaya optimal akan bergerak ke
atas hingga diperoleh lapisan optimal di permukaan agar fotosintesis kembali
berjalan maksimum. Sejalan dengan itu, tebal lapisan eufotik akan semakin menipis
(Baksir, 1999).
II.2.3. Derajat keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) menunjukkan konsentrasi ion hidrogen dalam suatu
larutan (Effendi, 2003). pH sangat penting karena perubahan pH yang terjadi di air
tidak hanya berasal dari masukan bahan-bahan asam atau basa di perairan tetapi
juga dapat disebabkan oleh perubahan tidak langsung dari aktivitas-aktivitas
metabolik perairan yang mencakup aktivitas manusia di daratan seperti: limbah
rumah tangga, pertanian, dan tambak yang dibuang ke sungai lalu diteruskan ke
laut. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai
nilai pH sekitar 7 - 8,5. Nilai pH akan mempengaruhi proses biologi kimiawi perairan.
Sementara menurut Nybakken (1992) lingkungan perairan laut yang memiliki pH
yang bersifat relatif lebih stabil dan berada dalam kisaran yang sempit, biasanya
berkisar antara 7,5 - 8,4. Effendi (2000) menyatakan bahwa sebagian besar
organisme akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH sekitar 7 - 8,5.
Batas toleransi dari suatu organisme perairan terhadap pH bervariasi dan
dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya suhu, oksigen terlarut, alkalinitas,
adanya berbagai anion dan kation serta tergantung dengan jenis dan stadia
organisme (Pescod, 1973).
II.2.4. Oksigen terlarut
Oksigen telarut adalah konsentrasi gas oksigen yang terlarut dalam air,
oksigen terlarut dalam air berasal dari hasil fotosintesis fitoplankton atau tumbuhan
air, difusi dari udara, air hujan dan aliran air permukaan yang masuk. Oksigen di
perairan mempengaruhi beberapa faktor antara lain salinitas, suhu, respirasi da
fotosintesis. Kelarutan oksigen dipengaruhi oleh suhu, tekanan parsial gas-gas yang
ada dalam udara dan air. Oksigen di perairan mempunyai variasi yang sangat tinggi
dan biasanya bervariasi lebih rendah dari kandungan oksigen di udara. Oksigen
berperan penting bagi pernapasan dan merupakan salah satu komponen utama
bagi metabolisme ikan dan organisme perairan lainnya. Kandungan oksigen di
suatu perairan akan meningkat apabila masukan limbah yang masuk ke perairan
tersebut juga meningkat. Kelarutan oksigen dipengaruhi suhu, tekanan parsial gas-
gas yang ada dalam udara dan air (Klein, 1962 in Ginting, 1999).

22
Oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove
(terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan dekomposisi
serasah sehingga konsentrasi oksigen terlarut beperan mengontrol distribusi dan
pertumbuhan mangrove. Konsentrasi oksigen terlarut bervariasi menurut waktu,
musim, kesuburan tanah dan organisme akuatik. Konsentrasi oksigen terlarut harian
tertinggi dicapai pada siang hari dan terendah pada malam hari. Aksornkoae (1978)
mendapatkan konsentrasi oksigen terlarut dimangrove 17 - 34 mg/l, lebih rendah
dibanding diluar mangrove yang besarnya 4,4 mg/l. Perairan yang diperuntukan
untuk kepentingan perikanan sebaiknya memiliki kadar oksigen terlarut tidak kurang
dari 5 mg/l.
II.2.5. Kekeruhan
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan
banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat
di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang
tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus) maupun bahan organik
dan anorganik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (APHA, 1995).
Penetrasi cahaya pada perairan turbulen ini lebih kecil dibandingkan dengan daerah
laut terbuka. Kumpulan partikel-partikel sisa, baik dari daratan, dari potongan-
potongan kelp dan rumput laut, ditambah kepadatan plankton yang tinggi akibat
melimpahnya nutrien, menyebabkan terhambatnya penetrasi cahaya sampai
beberapa meter di estuaria (Nybakken, 1988). Banyak organisme akuatik,
khususnya filter feeder, tidak dapat mentolerir konsentrasi bahan inorganik dalam
jumlah yang besar (Wetzel, 2001 in Honata, 2010). Kriteria baku mutu air laut untuk
biota laut pada kekeruhan menurut KEPMEN LH tahun 2004 adalah lebih dari 5
NTU. Banyak organisme akuatik, khususnya filter feeder, tidak dapat mentolerir
konsentrasi bahan inorganik dalam jumlah yang besar (Wetzel, 2001 in Honata,
2010). Kriteria baku mutu air laut untuk biota laut pada kekeruhan menurut
KEPMEN LH tahun 2004 adalah lebih dari 5 NTU.
Keruhnya perairan estuaria menyebabkan hanya tumbuhan mencuat yang
dapat tumbuh mendominasi. Rendahnya produktivitas primer di kolom air,
sedikitnya herbivora dan terdapatnya sejumlah besar detritus menunjukkan bahwa
rantai makanan pada ekosistem estuaria merupakan rantai makanan detritus.
Detritus membentuk substrat untuk pertumbuhan bakteri dan algae yang kemudian
menjadi sumber makanan penting bagi organisme pemakan suspensi dan detritus.
Suatu penumpukan bahan makanan yang dimanfaatkan oleh organisme estuaria

23
merupakan produksi bersih dari detritus ini. Fauna di estuaria, seperti ikan, kepiting,
kerang, dan berbagai jenis cacing berproduksi dan saling terkait melalui suatu rantai
makanan yang kompleks (Bengen, 2004).
II.2.6. Salinitas
Sebagai tempat pertemuan air laut dan air tawar, salinitas di estuaria sangat
bervariasi. Baik menurut lokasinya di estuaria, ataupun menurut waktu. Secara
umum salinitas yang tertinggi berada pada bagian luar, yakni pada batas wilayah
estuaria dengan laut, sementara yang terendah berada pada tempat-tempat di
mana air tawar masuk ke estuaria. Pada garis vertikal, umumnya salinitas di lapisan
atas kolom air lebih rendah daripada salinitas air di lapisan bawahnya. Ini
disebabkan karena air tawar cenderung ‘terapung’ di atas air laut yang lebih berat
oleh kandungan garam. Kondisi ini disebut ‘estuaria positif’ atau ‘estuaria baji
garam’ (salt wedge estuary) (Nybakken, 1988). Akan tetapi ada pula estuaria yang
memiliki kondisi berkebalikan, dan karenanya dinamai ‘estuaria negatif’. Misalnya
pada estuaria-estuaria yang aliran air tawarnya sangat rendah, seperti di daerah
gurun pada musim kemarau. Laju penguapan air di permukaan, yang lebih tinggi
daripada laju masuknya air tawar ke estuaria, menjadikan air permukaan dekat
mulut sungai lebih tinggi kadar garamnya. Air yang hipersalin itu kemudian
tenggelam dan mengalir ke arah laut di bawah permukaan. Dengan demikian
gradien salinitas airnya berbentuk kebalikan daripada ‘estuaria positif’.
Dinamika pasang surut air laut sangat mempengaruhi perubahan-perubahan
salinitas dan pola persebarannya di estuaria. Pola ini juga ditentukan oleh
geomorfologi dasar estuaria.Sementara perubahan-perubahan salinitas di kolom air
dapat berlangsung cepat dan dinamis, salinitas substrat di dasar estuaria berubah
dengan sangat lambat. Substrat estuaria umumnya berupa lumpur atau pasir
berlumpur, yang berasal dari sedimen yang terbawa aliran air, baik dari darat
maupun dari laut. Sebabnya adalah karena pertukaran partikel garam dan air yang
terjebak di antara partikel-partikel sedimen, dengan yang berada pada kolom air di
atasnya berlangsung dengan lamban.
II.2.7. Nitrat
Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien
utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat nitrogen sangat mudah larut
dalam air dan bersifat stabil. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna
senyawa nitrogen di perairan. Nitrifikasi merupakan proses oksidasi amonia menjadi
nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen dan berlangsung

24
pada kondisi aerob. Oksidasi amonia menjadi nitrit dilakukan oleh bakteri
Nitrosomonas, sedangkan oksidasi nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri
Nitrobacter. Keduanya adalah bakteri kemotrofik, yaitu bakteri yang dapat
mendapatkan energi dari proses kimiawi. Menurut Novotny & Olem (1994) in Effendi
(2003).
Kadar nitrat pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0.1 mg/l.
Kadar nitrat lebih dari 5 mg/l menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik
yang berasal dari aktifitas manusia dan tinja hewan. Kadar nitrat melebihi 0,2 mg/l
dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi (pengayaan) perairan, yang selanjutnya
menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (blooming). Nitrat
dapat digunakan untuk mengelompokkan tingkat kesuburan perairan. Perairan
oligotrof memiliki kadar nitrat antara 0 – 1 mg/l, perairan mesotrof memiliki kadar
nitrat antara 1 – 5 mg/l, dan perairan eutrof memiliki kadar nitrat yang berkisar
antara >5 – 50 mg/l (Vollenweider, 1969 in Wetzel, 1975).
II.2.8. Ortofosfat
Fitoplankton di perairan umumnya memperoleh unsur P dari senyawa fosforus
anorganik (ion ortofosfat). Ortofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat
dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Setelah masuk ke dalam
tumbuhan, misalnya fitoplankton, fosfat anorganik mengalami perubahan menjadi
organofosfat. Fosfat yang berikatan dengan ferri (Fe2(PO4)3) bersifat tidak larut dan
mengendap di dasar perairan. Pada saat terjadi kondisi anaerob, ion besi valensi
tiga (ferri) ini mengalami reduksi menjadi ion besi valensi dua (ferro) yang bersifat
larut dan melepaskan fosfat ke perairan (Brown, 1987 in Effendi, 2003). Semua
polifosfat mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat. Perubahan ini bergantung
pada suhu. Pada suhu yang mendekati titik didih, perubahan polifosfat menjadi
ortofosfat berlangsung cepat. Kecepatan ini meningkat dengan menurunnya nilai
pH. Keberadaan fosfor di perairan alami biasanya relatif kecil, dengan kadar yang
lebih sedikit daripada kadar nitrogen; karena sumber fosfor lebih sedikit
dibandingkan dengan sumber nitrogen di perairan. Sumber alami fosfor di perairan
adalah pelapukan batuan mineral. Selain itu, fosfor juga berasal dari dekomposisi
bahan organik. Sumber antropogenik fosfor adalah limbah industri dan domestik,
yakni fosfor yang berasal dari deterjen. Limpasan dari daerah pertanian yang
menggunakan pupuk juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi
keberadaan fosfor (Effendi, 2003). Keberadaan fosfor secara berlebihan yang
disertai dengan keberadaan nitrogen dapat menstimulir ledakan pertumbuhan algae

25
di perairan (algae bloom). Algae yang melimpah ini dapat membentuk lapisan pada
permukaan air, yang selanjutnya dapat menghambat penetrasi oksigen dan cahaya
matahari sehingga kurang menguntungkan bagi ekosistem perairan (Boney, 1989 in
Effendi, 2003).
II.2.9. Klorofil-a
Klorofil-a adalah salah satu pigmen fotosintesis yang paling penting bagi
tumbuhan yang ada di perairan khususnya fitoplankton. Dari pigmen fotosintesis,
klorofil-a merupakan pigmen yang paling umum terdapat pada fitoplankton (Parsons
et al., 1984). Sementara Cole (1988), menambahkan bahwa klorofil-a merupakan
master pigmen Cyanophyceae dan eukaryota yang dibentuk dari fotosintesis.
Klorofil-b, Klorofil-c, fikobilin, dan karotenoid hanya sebagai pigmen tambahan.
Selain pigmen tersebut, beberapa algae tertentu mengandung pigmen pelengkap
seperti xantofil, fikosianin, fikoeritrin dan fikopirin. Peranan pigmen pelengkap
tersebut adalah untuk menyadap sinar yang tidak dapat diserap oleh klorofil dan
karotenoid. Elektron-elektron pada pigmen tersebut diteruskan pada klorofil untuk
diubah menjadi energi kimia yang digunakan dalam proses fotosintesis (Goldman &
Horne, 1983). Kandungan klorofil-a secara gradien longitudinal sangat dipengaruhi
oleh fisika-kimia dan biologi. Di zona sungai, biomassa cendrung lebih rendah
daripada di zona transisi dan lakustrin. Tingginya klorofil-a ini disebabkan oleh pola
sirkulasi air yang memberi muatan hara dan diikuti dengan meningkatnya kekeruhan
(Carrick et al., 1994 in Noryadi, 1998).
Menurut Vyhnalek (1994) in Noryadi (1998), biomassa fitoplankton sering
diukur sebagai nilai konsentrasi klorofil-a. Penentuan biomassa dengan metode
klorofil-a didasarkan pada pengukuran jumlah klorofil-a yang dikandung oleh
fitoplankton. Strathmann (1967) in Nontji (1984) mengemukakan bahwa pendekatan
ini mempunyai kelebihan karena klorofil-a dimiliki oleh semua fitoplankton.
Sedangkan kelemahannya sukar membedakan antara klorofil yang aktif dan non
aktif atau produk degradasinya dan komposisi jenis fitoplankton. Kepekatan klorofil-
a sering dihubungkan dengan produktivitas primer untuk menduga tingkat
eutrofikasi perairan danau (Vollenweider, 1976 in Nur, 2006). OECD (1982) in
Henderson-Sellers & Markland (1987) menjelaskan tentang kriteria kesuburan
berdasarkan kandungan klorofil-a adalah sebagai berikut; kandungan klorofil-a
antara 0-4 mg/m3 merupakan perairan oligotrof, kandungan klorofil-a antara 4 - 10
mg/m3 merupakan perairan mesotrof, dan kandungan klorofila antara 10 - 100
mg/m3 merupakan perairan eutrof.

26
II.3. Strategi Pengelolaan Ekosistem Estuari
Estuaria sebagan bagian dari wilayah pesisir memiliki arti strategis karena
merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki
potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Dari sisi
sosial-ekonomi, pemanfaatan kekayaan laut khususnya daerah estuari masih
terbatas pada kelompok pengusaha besar dan pengusaha asing. Nelayan sebagai
jumlah terbesar merupakan kelompok profesi paling miskin di Indonesia.
Kekayaan sumberdaya laut tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai
pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya dan berbagai instansi untuk meregulasi
pemanfaatannya. Akan tetapi, kekayaan sumberdaya pesisir tersebut mulai
mengalami kerusakan. Sejak awal tahun 1990-an, fenomena degradasi biogeofisik
sumberdaya pesisir semakin berkembang dan meluas. Laju kerusakannya telah
mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, terutama pada ekosistem mangrove
terumbu karang dan estuari (muara sungai).
Rusaknya ekosistem daerah estuari berimplikasi terhadap penurunan kualitas
lingkungan untuk sumberdaya ikan serta erosi pantai. Sehingga terjadi kerusakan
tempat pemijahan dan daerah asuhan ikan, berkurangnya populasi benur, nener,
dan produktivitas tangkap udang. Semua kerusakan biofisik lingkungan tersebut
adalah gejala yang terlihat dengan kasat mata dari hasil interaksi antara manusia
dengan sumberdaya pesisir yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian
dan daya dukung lingkungannya.
Persoalan yang mendasar adalah mekanisme pengelolaan wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil tidak efektif untuk memberi kesempatan kepada sumberdaya
hayati pesisir yang dimanfaatkan pulih kembali atau pemanfaatan sumberdaya non -
hayati disubstitusi dengan sumberdaya alam lain dan mengeliminir faktor-faktor
yang menyebabkan kerusakannya Sebagian pihak mungkin memiliki pengetahuan
terbatas mengenai ekosistem estuari. Sejumlah ekosistem estuari ternyata memiliki
keunikan dan keunggulan tersendiri. Akan tetapi ekosistem ini ternyata juga sangat
rentan terhadap perubahan lingkungan dan bencana alam seperti gempa bumi,
tsunami, gelombang pasang maupun pemanasan global. Ekosistem Estuari juga
berpeluang besar untuk rusak akibat perbuatan manusia baik langsung maupun
tidak langsung. Sehubungan dengan kondisi tersebut, maka perlu keseimbangan
antara pemanfaatan dan pelestarian yang disesuaikan dengan daya dukung

27
lingkungan dan alokasi penataan ruang. Keterbatasan sarana dan prasarana, data
dan informasi tentang potensi sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan terhadap
ekosistem estuari beserta ekologisnya perlu segera diatasi agar tingkat
kesejahteraan masyarakat pesisir meningkat.
Beberapa aspek yang digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam
perumusan kebijakan dan strategi penataan ruang ekosistem estuari adalah:
Daya dukung lingkungan,
Kondisi sosial budaya,
Target perencanaan yang realistis, kepastian hukum,
Letak geografis dan kondisi geopolitik.
Dimana Penataan ruang Ekosistem Estuari dapat dilakukan pada 4 kawasan
yaitu: kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, alur laut dan kawasan
strategis nasional tertentu. Kawasan strategis nasional tertentu dapat didefinisikan
sebagai kawasan yang ditetapkan secara nasional mempunyai nilai strategis.
Kawasan strategis nasional tertentu dikembangkan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, mempercepat pertumbuhan ekonomi kawasan,
meningkatkan upaya pertahanan negara, memperkuat integrasi nasional dan
melestarikan fungsi lingkungan hidup. Sehingga pengelolaan ekosistem estuari
harus dilakukan dengan cara: secara ekonomi efisien dan optimal (economically
sound), dimana secara sosial-budaya berkeadilan dan dapat diterima (socio-
culturally acepted and just). Dan secara ekologis tidak melampaui daya dukung
lingkungan (environmentally friendly). Akan tetapi, kebijakan mengenai
pengelolaan ekosistem estuari harus berorientasi kepada kepentingan umum,
bukan kepentingan perorangan atau golongan.
Kabupaten Berau memiliki sumberdaya hutan mangrove yang sangat
berpotensi untuk dimanfaatkan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat
pesisir. Hutan mangrove Kabupaten Berau terdapat mulai dari bagian utara di
Tanjung Batu, Delta Berau, sampai ke selatan di Biduk-biduk. Selain itu hutan
mangrove juga ditemukan di beberapa pulau, seperti Pulau Panjang, Rabu-rabu,
Semama dan Maratua di bagian utara pesisir Berau, dan di Pulau Buaya-buaya di
bagian selatan pesisir Berau. Secara keseluruhan luas kawasan mangrove sebesar
80.277 ha (Wiryawan, et al., 2005).
Dari segi kondisi kawasan mangrove, Kabupaten Berau relatif masih memiliki
kondisi kawasan mangrove yang lebih baik bila dibandingkan dengan kabupaten
atau kota lainnya di provinsi Kalimantan Timur. Namun demikian degradasi/

28
kerusakan kawasan mangrove dan kerusakan DAS serta konversi lahan mangrove
menjadi areal pertanian dan pertambakan menjadi ancaman serius bagi kelestarian
hutan mangrove di Kabupaten Berau. Tingkat kerusakan kawasan mangrove yang
terdata pada tahun 1997 baru sekitar 450 hektar hutan mangrove di Delta Berau
yang berubah menjadi tambak udang. Akan tetapi, pada tahun 2003 sudah
mencapai sekitar 4.000 hektar (Kompas.com, 2003).
Penelitian Sumberdaya perairan estuari Sungai Berau baru dilakukan sebatas
inventarisasi biota perairan, potensi dan lingkungan perairan, Untuk Tahun kedua
akan dilengkapi dengan data - data lainnya sehingga didapatkan suatu bahan untuk
pengelolaan perairan estuari Berau.

29
III. METODOLOGI
III.1. Komponen Kegiatan
Ruang lingkup kegiatan yang akan dilakukan adalah:
a) Penelitian ini akan dilakukan selama 2 tahun
b) Biologi spesies dominan (Tahun I dan II)
c) Keanekaragaman jenis ikan dan biota air lainnya (Tahun I dan II)
d) Pendugaan stok ikan dengan metoda akustik dan pukat tarik (Tahun I dan II)
e) Kondisi lingkungan perairan
f) Wawancara dengan nelayan tentang perubahan penangkapan dan kondisi
lingkungan terhadap sumberdaya ikan
III.2. Jadwal dan lokasi penelitian
Penelitian dilakukan pada Tahun Anggaran 2015 di estuari Berau Kalimantan
Timur, sampling dilakukan sebanyak empat kali yang mewakili musim kemarau dan
musim penghujan.
III.3. Alat dan Bahan Penelitian
Alat dan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian disajikan pada
Tabel 5.
Tabel 5. Parameter yang diukur serta alat dan bahan yang digunakan:
No. Parameter Alat/ bahan yang digunakan
A Fisika
1 Temperatur Termometer air raksa
2 Kecerahan Piring secchi (secchi disk)
3 Kedalaman Gauge Sounder
4 Daya Hantar Listrik SCT-Meter
B Kimia
1 pH pH- indikator universal/ pH-Meter
2 Oksigen (O2-terlarut) SCT-Meter
3 Karbondioksida (CO2) Botol sample, label
4 Alkalinitas Botol sample, label
5 Kesadahan Botol sample, label
6 Nitrat (NO3-N) Botol sample, label
7 Nitrit (NO2-N) Botol sample, label
8 Ammonia (NH3-N) Botol sample, label
9 Phosfat (PO4-P) Botol sample, label
C Biologi
1. Plankton Plankton-net, botol sample, lugol, formalin, label
2. Chlorofil-a Water sampler, botol sampel
3 Ikan Alat tangkap, alat bedah, kantong plastik,
formalin, bouin, kalkir, label
D Akustik
1. TS, Densitas, Kedalaman Biosonic DT-X scientific echosounder yang
dioperasikan pada frekuensi 200 kHz

30
III.4. Metode Pengumpulan data
1. Pengambilan sampel spesies ikan dan udang menggunakan alat tangkap pukat
tarik. Pukat tarik yang digunakan merupakan alat tangkap yang biasa digunakan
nelayan di perairan ini, dengan ukuran panjang 14,0 meter, panjang tali ris atas
7,0 meter, meshsize 1,5 dan 1,0 inch kantong hasil 0,5 inchi. Pukat ditarik dengan
kapal trawl (6 GT), lama penarikan 15 menit pada masing-masing lokasi
pengambilan contoh yang telah ditentukan, kecepatan tarikan antara 2,5 – 3,0
km/jam dan bagan untuk mengetahui keanekaragaman, distribusi dan biologi.
Untuk mendapatkan data series hasil tangkapan setiap bulan menggunakan jasa
enumerator.
2. Untuk melihat kepadatan ikan dilakukan dengan metoda akustik.
3. Pengambilan contoh plankton dilakukan dengan plankton net. Pengambilan
sampel air disaring dengan menggunakan planktonet no.25 berukuran 64 µm dan
diawetkan dengan larutan formalin 4%. Analisa sampel plankton dilakukan di
laboratorium Hidrobiologi Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum Palembang
dengan menggunakan buku Mizuno (1979) & Pennak (1978).
4. Pengambilan sampel substrat dilakukan secara acak terpilih menggunakan Ekman
dredge ukuran 15x15cm di 10 stasiun. Pada tiap stasiun pengamatan,
pengambilan sampel dilakukan sebanyak 2 kali. Organisme bentos yang diamati
adalah kelompok makrozoobentos yang diperoleh dengan menyaring sampel
substrat, menggunakan ayakan bertingkat dengan ukuran bukaan (mesh size) 1,0
mm; 1,5 mm; dan 2,0 mm. Sampel bentos yang diperoleh diawetkan dalam larutan
alkohol 70%, selanjutnya diidentifikasi berdasarkan genus dan dihitung
-2
kelimpahannya dalam satuan cm . Identifikasi makrozoobentos menggunakan
referensi Faucland (1977); Gosner (1971), Milligan (1997), Ruswahyuni (1988) dan
Pennak (1978).
5. Pengukuran beberapa parameter biofisik, antara lain: salinitas, DO, Co2, pH dan
suhu secara insitu, dan parameter lainnya diukur di Laboratorium Kimia BP3U.
III.5. Analisis sampel
Sampel ikan yang tertangkap dengan alat tangkap pukat tarik dianalisis di
laboratorium biologi ikan untuk melihat distribusi ukuran, kebiasaan makanan dan
reproduksinya. Analisis plankton dan bentos dilakukan untuk menentukan komposisi,
jenis dan sebarannya dalam kolom air serta posisinya di sepanjang estuari. Sampel
air dianalisis di laboratorium kimia. Contoh air dianalisis dengan metode baku untuk

31
mendapatkan kandungan nutriennya (nitrat, fosfat, amonia). Demikian pula dengan
analisis konsentrasi Chl-a untuk produktivitas primer.
III.6. Analisis data
III.6.1. Biologi Spesies Dominan
III.6.1.1. Kebiasaan Makanan
III.6.1.1.1. Indeks Bagian Terbesar
Perhitungan indeks bagian terbesar dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis
makanan yang dimakan oleh ikan sampel. Metode ini merupakan gabungan
dari metode frekuensi kejadian dengan metode volumetrik. Indeks bagian
terbesar dihitung dengan menggunakan rumus yang dikembangkan oleh
Natarajan dan Jhingran (1961) in Effendie (1979), yaitu:
Vi xOi
IPi  x100
 (Vi xOi ) ............................................................................... (1)

Keterangan:
IPi = indeks bagian terbesar
Vi = persentase volume makanan jenis ke-i
Oi = persentase frekuensi kejadian makanan jenis ke-i
n = jumlah jenis organisme makanan

III.6.1.1.2. Indeks Similaritas


Perhitungan indeks similaritas digunakan untuk mengetahui kesamaan
jenis makanan berdasarkan waktu dan stasiun pengambilan ikan contoh.
Perhitungan indeks tersebut dilakukan dengan membandingkan komposisi jenis
makanan pada masing-masing kelompok ikan setiap bulannya. Indeks tersebut
dihitung menggunakan rumus menurut Sorensen (1984) in Krebs (1989), yaitu:
2C
IS 
A  B .................................................................................................... (2)

Keterangan:
A, B = jumlah jenis makanan yang terdapat pada masing-masing
kelompok ikan (A dan B)
C = jumlah jenis makanan yang terdapat pada kedua kelompok ikan (A
dan B)
IS = indeks similaritas (berkisar 0-1).

III.6.1.1.3. Luas Relung dan Tumpang Tindih Relung Makanan


Perhitungan luas relung makanan digunakan untuk melihat bagaimana
selektifitas ikan terhadap makanannya. Analisis luas relung makanan
dilakukan dengan melihat proporsi dari kelompok ke-i yang berhubungan
32
dengan sumberdaya ke-j. Luas relung makanan dihitung menggunakan rumus
metode Levin in Krebs (1989) yaitu:
1
Bi  n m

 P
2
ij
i 1 j 1
.............................................................................................. (3)
Keterangan:
Bi = luas relung kelompok ke-i
Pij = proporsi dari kelompok ke-i yang berhubungan dengan sumberdaya
makanan ke-j
n = jumlah jenis makanan yang dimanfaatkan oleh spesies
m = jumlah sumberdaya makanan

Standarisasi nilai luas relung makanan agar bernilai 0-1 ditentukan


dengan menggunakan rumus Hulbert in Krebs (1989), yaitu:
Bi  1
BA 
n  1 ................................................................................................... (4)

Keterangan:
BA = standarisasi luas relung Levins (0-1)
Bi = luas relung Levins
n = jumlah seluruh organisme makanan yang dimanfaatkan

Perhitungan tumpang tindih relung makanan dilakukan untuk melihat


bagaimana pola penggunaan bersama terhadap sebuah atau lebih
sumberdaya oleh dua atau lebih spesies dalam suatu komunitas. Tumpang
tindih relung makanan dihitung dengan menggunakan rumus Morisita oleh
Horn dalam Krebs (1989) yaitu:
n m l
2 Pij Pik
i 1 j 1 k 1
Ch  n m n l
.......................................................................... (5)
 P
i 1 j 1
2
ij   P
i 1 k 1
2
ik

Keterangan:
Ch = Indeks Morisita-Horn
Pij, Pik = Proporsi jenis organisme makanan ke-i yang dimanfaatkan oleh
kelompok ukuran ikan ke-j dan kelompok ukuran ikan ke-k
n = jumlah jenis organisme makanan
m, l = jumlah kelompok ukuran ikan

III.6.1.2. Reproduksi

33
Beberapa aspek biologi ikan spesies dominan yang diukur antara lain
nisbah kelamin, TKG, IKG, fekunditas, diameter telur dan ukuran pertama kali
matang gonad.
III.6.1.2.1. Nisbah kelamin
Nisbah kelamin ditentukan dengan membandingkan antara jumlah ikan
jantan dengan jumlah ikan betina yang dihitung dengan menggunakan rumus:

.............................................................................................................. (6)

Keterangan :
x = nisbah kelamin
J = jumlah ikan jantan
B = Jumlah ikan betina (ekor)

Keseragaman sebaran nisbah kelamin dilakukan dengan uji Khi-Kuadrat


(Steel & Torrie, 1989):

.............................................................................................. (7)

Keterangan:
X2 = nilai bagi peubah acak yang sebaran penarikan contohnya mendekati
sebaran Khi-Kuadrat
oi = frekuensi ikan jantan dan betina yang diamati ke-i
ei = frekuensi harapan dari ikan jantan + ikan betina dibagi dua.

III.6.1.2.2. Indeks Kematangan Gonad


Indeks kematangan gonad diukur dengan membandingkan berat gonad
dengan berat tubuh ikan (Effendie, 1979):

...................................................................................... (8)

Keterangan :
BG : Berat gonad (gram)
BT : Berat tubuh (gram)

III.6.1.2.3. Tingkat Kematangan Gonad


Tingkat kematangan gonad ditentukan dengan mengamati ciri-ciri
morfologis (Tabel 6). Pengamatan secara morfologis dilakukan dengan
menggunakan mikroskop, terutama untuk ikan yang berada pada TKG I dan II.
Ikan yang diamati fekunditasnya hanya ikan yang berada pada TKG IV dan V
dan fekunditas total telur dihitung dengan menggunakan metode gravimetrik
sebagai berikut:

34
................................................................................................. (9)

Keterangan :
F : Fekunditas total (butir)
Fso : Fekunditas sub ovarium (butir)
Wso: Berat sub ovarium (gram)
Wo : Berat ovarium (gram)

Tabel 6. Tingkat kematangan gonad ikan menurut Cassie (Effendie & Subardja,
1977) dalam Effendie (2002)
TKG Betina Jantan
I Ovari seperti benang, panjang, Testis seperti benang, lebih
sampai kedepan rongga tubuh. pendek (terbatas) dan terlihat
Warna jernih. Permukaan licin ujungnya di rongga tubuh. Warna
jernih

II Ukuran ovari lebih besar. Ukuran testis lebih besar.


Pewarnaan lebih gelap kekuning- Pewarnaan putih seperti susu.
kuningan. Telur belum terlihat Bentuk lebih jelas daripada
jelas dengan mata tingkat I

III Ovari berwarna kuning. Secara Permukaan testis tampak


morfologi telur mulai kelihatan bergerigi. Warna makin putih,
dengan mata testis makin besar. Dalam
keadaan diawetkan mudah putus

IV Ovari makin besar, telur Seperti pada tingkat III tampak


berwarna kuning, mudah lebih jelas. Testis semakin pejal
dipisahkan. Butir minyak tidak
tampak, mengisi ½-2/3 rongga
perut, usus terdesak

V Ovari berkerut, dinding tebal, Testis bagian belakang kempis


butir telur sisa terdapat didekat dan di bagian dekat pelepasan
pelepasan. Banyak telur seperti masih berisi.
pada tingkat II

III.6.1.2.4. Ukuran Pertama Kali Matang Gonad


Untuk menduga ukuran rata-rata ikan pertama kali matang gonad
digunakan dua kriteria kematangan gonad menurut Udupa (1986) yaitu
kelompok belum matang gonad (TKG I dan TKG II) dan kelompok matang
gonad (TKG III, TKG IV, dan TKG V). Metode yang digunakan yaitu metode
Spearman-Karber (Udupa, 1986):

35
m  xk     x pi  ................................................................................. (10)
 x
2
Dengan simpangan deviasi:
m  1.96 * X * 2 pi * qi / ni  1

Keterangan:
m = Logaritma panjang rata-rata ikan pertama kali matang gonad
xk = Logaritma nilai tengah kelas panjang terakhir ukuran ikan telah
matang gonad 100%
x = Selisih logaritma nilai tengah
pi = Proporsi ikan matang gonad pada selang kelas panjang ke-i
ri = Jumlah ikan matang gonad pada kelas ke-i
ni = Jumlah ikan pada kelas ke-i
qi = 1 – pi

Panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm) diduga dari antilog m.

III.6.1.3. Parameter Pertumbuhan


Analisa struktur kelompok umur dilakukan dengan Metode Bhattacharya
(Sparre et al., 1989). Nilai dari modus panjang dari metode tersebut digunakan
untuk menghitung panjang asimtotik (L∞), koefisien pertumbuhan (K) dan umur
teoritik (to) dengan menggunakan analisa Ford-Walford (1993 & 1996 dalam
Sparre et al., 1989). Pertumbuhan ikan dianalisa berdasarkan formula Von
Bertalanffy sebagai berikut:
Untuk panjang digunakan rumus:
Lt = L∞ [1-e -k (t-to)] ............................................................................................ (11)

Dimana:
Lt : panjang ikan pada waktu t,
L∞ : panjang asimtotik/infinity,
K : koefisien pertumbuhan,
t0 : umur ikan saat panjang sama dengan 0.

L∞ adalah panjang ikan terbesar (maksimum) yang tercatat selama periode


pengumpulan data. Parameter pertumbuhan lainnya yaitu to dicari dengan
menggunakan persamaan empiris (Pauly, 1980):
Log (-to) = -0,3922- 0,2752 log L∞ - 1,038 log K ............................................... (12)

Karena pulsa rekruitmen alami (musiman) kedalam populasi menentukan


struktur dari suatu set data frekuensi panjang, maka sebaliknya frekuensi
panjang dapat menjelaskan beberapa informasi keadaan rekruitmen (Pauly,
1982 dalam Gayanilo & Pauly, 1997). Kebalikan (Inverse) dari pendekatan ini
dilakukan dengan program Fi-SAT dalam bentuk pola rekruitmen. Pola

36
rekruitmen didapat dari proyeksi ke belakang ke dalam sumbu panjang dari data
frekuensi panjang yang telah diatur. Poin pemecahan adalah:
 Dari frekuensi setelah dibagi dengan perubahan waktu, diproyeksi ke dalam
sumbu waktu (Fi-Sat)
 Penyajian terakhir dari masing-masing bulan adalah (dan terlepas dari tahun)
hasil penyesuaian frekuensi yang telah diproyeksi pada masing-masing bulan
 Mengurangkan frekuensi masing-masing bulan terhadap frekuensi bulan
terendah sehingga mendapatkan nilai 0 (nol), yang menunjukkan rekruitmen
berada pada posisi paling rendah.
 Hasil rekruitmen bulanan adalah rekruitmen tahunan
Dari poin 3 dan 4 dapat dicatat bahwa nilai bulanan dari setiap bulan pada suatu
tahun dapat diduga bila t0 diketahui (Gayanilo & Pauly, 1997)
Untuk menduga mortalitas total (Z) diduga dengan metoda kurva hasil
tangkapan konversi panjang (Length Converted Catch Curve) yang dikemukakan
oleh Pauly (1984):
Log e N = a + bt ............................................................................................... (13)

dimana:
Log e N : frekuensi panjang ikan,
t : umur mutlak,
a dan b : koefisien regresi,

Kematian alami (M) dianalisis dengan menggunakan rumus empiris Pauly


sebagai berikut:
Log (M) = - 0.0066 - 0.279 log L∞ + 0.654 log K+ 0.4631 log T ....................... (14)

dimana:
L∞ dan K : parameter pertumbuhan
T : rataan temperatur tahunan perairan

Mortalitas yang disebabkan oleh aktivitas penangkapan (F) adalah:


F = Z - M .......................................................................................................... (15)

Nisbah eksploitasi diperoleh dari:


E = F / Z ........................................................................................................... (16)

dimana:
E : nisbah eksploitasi
F : mortalitas akibat penangkapan
Z : mortalitas total
M : mortalitas alami
III.7. Akustik

37
Pendugaan stok ikan dengan metoda akustik yang dilakukan mulai dari muara
Sungai Berau (Pasang surut terendah) sampai ke estuari yang berbatasan dengan
laut (Selat Makasar). Pendugaan kepadatan ikan dengan akustik dilakukan dengan
peralatan Biosonic DT-X scientific echosounder yang dioperasikan pada frekuensi
200 kHz. Data akustik diolah dengan menggunakan software ECHOVIEW ver.5.
Elementary sampling distance unit adalah 1 nmi. Hasil ekstraksi berupa nilai area
backscattering coeficient (sA, m2/nmi2) dan distribusi nilai target strength ikan tunggal
dalam satuan decibel (dB) sebagai indeks refleksi ukuran ikan.
III.7.1. Target Strength
Hubungan target strength dan óbs (backscattering cross-section, m2)
dihitung berdasarkan atas MacLennan & Simmonds (1992), yaitu:
TS=10 log óbs ........………………………………………….................................... (17)

III.7.2. Densitas rata-rata ikan


Persamaan untuk densitas ikan (ñA, ind/mil2) adalah:
ñA=sA/óbs ............................................................................................................ (18)

III.7.3. Hubungan panjang-berat (length-weight relationship)


Panjang ikan (L) berhubungan dengan óbs yaitu:
óbs=aLb ................................................................................................................ (19)

Hubungan target strength dan L adalah:


TS=20 log L+A ...................................................................................................... (20)

di mana:
A = nilai target strength untuk 1 cm panjang ikan (normalized target strength)

Konversi nilai target strength menjadi ukuran panjang (L) untuk ikan pelagis
digunakan persamaan TS = 20 log L-73,97 (Hannachi et al., 2004). Menurut Hile
(1936) dalam Effendie (2002), hubungan panjang (L) dan bobot (W) dari suatu
spesies ikan yaitu:
W=aLb .................................................................................................................. (21)

Menurut Mac Lennan & Simmonds (1992) dalam Natsir et al. (2005)
persamaan panjang dan bobot untuk mengkonversi panjang dugaan menjadi bobot
dugaan adalah:
Wt=a{∑{ni(Li+ÄL/2)b+1-(Li-ÄL/2)b+1}/{(b+1)ÄL}} .…………………………...…… (22)

di mana:
Wt = bobot total (g)
ÄL = selang kelas panjang (cm)
38
Li = nilai tengah dari kelas panjang ke-i (cm)
ni = jumlah individu pada kelas ke-i
a, b = konstanta untuk spesies tertentu

III.7.4. Dugaan Biomassa


Hasil perhitungan luas perairan estuari Berau yang disurvei dipakai sebagai
acuan dalam penentuan volume perairan untuk menentukan biomassa perairan
untuk mendapatkan nilai biomassa total.
III.8. Analisis struktur komunitas
Analisa struktur komunitas ditentukan oleh indeks keanekaragaman (H’),
indeks keragaman (E), dan indeks dominansi (C).
III.8.1. Indeks keanekaragaman (H’)
Indeks keanekaragaman atau keragaman (H’) menyatakan keadaan
populasi organisme secara matematis agar mempermudah dalam menganalisis
informasi jumlah individu masing-masing bentuk pertumbuhan/ genus ikan dalam
suatu komunitas habitat dasar/ ikan (Odum, 1971). Indeks keragaman yang
digunakan adalah indeks Shannon-Weaver (Odum, 1971; Krebs, 1985 in Magurran,
1988) dengan rumus:
S
H '   Pi ln Pi .................................................................................................. (23)
i 1

Keterangan:
H’ = Indeks keanekaragaman;
Pi = Perbandingan proporsi ke i;
S = Jumlah spesies yang ditemukan.

Indeks keanekaragaman digolongkan dalam kriteria sebagai berikut :


H’≤ 2 : Keanekaragaman kecil
2 < H’≤ 3 : Keanekaragaman sedang
H’ > 3 : Keanekaragaman tinggi

III.8.2. Indeks keseragaman (E)


Indeks keseragaman atau Equitabilitas (E) menggambarkan penyebaran
individu antar spesies yang berbeda dan diperoleh dari hubungan antara
keanekaragaman (H’) dengan keanekaragaman maksimalnya (Bengen, 2000).
Semakin merata penyebaran individu antar spesies maka keseimbangan ekosistem
akan makin meningkat. Rumus yang digunakan adalah (Odum, 1971; Pulov, 1969 in
Magurran, 1988):
H'
E ............................................................................................................. (24)
H maks

39
Dimana:
E = indeks keseragaman;
H maks = Ln S;
S = Jumlah ikan karang yang ditemukan.
Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0 – 1. Selanjutnya nilai indeks
keseragaman berdasarkan Krebs (1972) dikategorikan sebagai berikut:
0 < E ≤ 0.5 : Komunitas tertekan
0.5 < E ≤ 0.75 : Komunitas labil
0.75 < E ≤ 1 : Komunitas stabil

Semakin kecil indeks keseragaman, semakin kecil pula keseragaman


populasi, hal ini menunjukkan penyebaran jumlah individu setiap jenis tidak sama
sehingga ada kecenderungan satu jenis biota mendominasi. Semakin besar nilai
keseragaman, menggambarkan jumlah biota pada masing-masing jenis sama atau
tidak jauh beda.
III.8.3. Indeks dominansi (C)
Indeks dominansi berdasarkan jumlah individu jenis digunakan untuk
melihat tingkat dominansi kelompok ikan tertentu. Persamaan yang digunakan
adalah indeks dominansi (Simpson, 1949 in Odum, 1971), yaitu :
S
C   ( Pi ) 2 ......................................................................................................... (25)
i 1

Dimana:
C = Indeks dominansi;
Pi = Perbandingan proporsi ikan ke i;
S = Jumlah spesies yang ditemukan.

Nilai indeks dominansi berkisar antara 1 – 0. Semakin tinggi nilai indeks


tersebut, maka akan terlihat suatu biota mendominasi substrat dasar perairan. Jika
nilai indeks dominansi (C) mendekati nol, maka hal ini menunjukkan pada perairan
tersebut tidak ada biota yang mendominasi dan biasanya diikuti oleh nilai
keseragaman (E) yang tinggi. Sebaliknya, jika nilai indeks dominansi (C) mendekati
satu, maka hal ini menggambarkan pada perairan tersebut ada salah satu spesies
yang mendominasi dan biasanya diikuti oleh nilai keseragaman yang rendah. Nilai
indeks dominansi dikelompokkan dalam 3 kriteria, yaitu:
0 < C ≤ 0.5 : Dominansi rendah
0.5 < C ≤ 0.75 : Dominansi sedang
0.75 < C ≤ 1 : Dominansi tinggi

III.9. Fitoplankton dan Zooplankton


III.9.1. Kelimpahan Fitoplankton dan Zooplankton

40
Kelimpahan fitoplankton/ zooplankton dihitung dengan menggunakan
metode Sedweght – Rafter Counting (APHA, 2005) :
A C 1
N  n x x x
B D E .......................................................................... (26)

di mana :
N = Jumlah total zooplankton (sel/l).
n = Jumlah rataan individu per lapang pandang.
A = Luas gelas penutup (mm2).
B = Luas satu lapang pandang (mm2).
C = Volume air terkonsentrasi (ml).
D = Volume satu tetes (ml) dibawah gelas penutup.
E = Volume air yang disaring (l).

III.9.2. Indeks Keanekaragaman/Shannon (H’)


Indeks keanekaragaman adalah indeks yang menunjukkan tingkat
keanekaragaman jenis organisme yang ada dalam suatu komunitas (Odum, 1998).
s
H '    pi ln pi
n 1 .................................................................................................. (27)
s = jumlah organisme
ni = jumlah individu dari jenis ke-i
N = jumlah total individu

ni
pi =
N ........................................................................................................... (28)

III.9.3. Indeks Dominansi (C) (Odum, 1998)

C   ni N 2

...................................................................................................... (29)

ni = jumlah individu dari jenis ke-i


N = jumlah total individu

III.10. Struktur Komunitas Makrozoobentos


III.10.1. Komposisi Makrozoobentos
Komposisi jenis makrozoobentos menunjukkan kekayaan jenis
makrozoobentos pada perairan tersebut. Komposisi jenis tiap stasiun dijabarkan
dalam persentase, yaitu sebagai perbandingan antara jumlah individu masing-
maing jenis makrozoobentos terhadap total makrozoobentos yang ditemukan pada
masing-masing stasiun.
III.10.2. Kepadatan

41
Kepadatan adalah jumlah individu per satuan luas (Brower & Zar, 1997)
dengan formulasi sebagai, berikut:
D = (10.000 x Ni) / A .......................................................................................... (30)
di mana :
D = Kepadatan (ind/m2)
Ni = jumlah individu (ind)
A = luas petak pengambilan contoh (cm2)
10.000 = konversi dari cm2 ke m2

III.10.2. Keanekaragaman
Keanekaragaman spesies dapat dikatakan sebagai keheterogenan spesies
dan merupakan cirri khas suatu komunitas. Perhitungan indeks keanekaragaman
makrozoobentos menggunakan rumus indeks keanekaragaman Shannon-Weaver
(1949) dalam Odum (1971) yaitu:
S
H '   Pi ln Pi .............................................................................................. (31)
i 1

di mana :
H’= indeks keanekaragaman jenis
S = jumlah spesies yang ditemukan
Pi = ni/N
ni = jumlah individu ke-i
N = jumlah total individu

Indeks keanekaragaman digolongkan dalam kriteria sebagai berikut:


H’≤ 2 : Keanekaragaman kecil
2 < H’≤ 3 : Keanekaragaman sedang
H’ > 3 : Keanekaragaman tinggi

III.10.2. Dominansi
Indeks dominansi berdasarkan jumlah individu jenis digunakan untuk melihat
tingkat dominansi kelompok organisme bentos tertentu. Persamaan yang
digunakan adalah indeks dominansi (Simpson, 1949 dalam Odum, 1971), yaitu :
S
C   ( Pi ) 2
i 1 ...................................................................................................... (32)

dimana:
D = indeks dominansi
S = jumlah spesies yang ditemukan
Pi = ni/N
ni = jumlah individu ke-i
N = jumlah total individu
Nilai indeks dominansi dikelompokkan dalam 3 kriteria, yaitu:
0 < C ≤ 0.5 : Dominansi rendah
42
0.5 < C ≤ 0.75 : Dominansi sedang
0.75 < C ≤ 1 : Dominansi tinggi

43
IV. Hasil Penelitian
IV.1. Stasiun Pengamatan
Lokasi Pengambilan sample data primer dan pengamatan lapangan
ditentukan secara purposive dengan mempertimbangkan aspek habitat mikro
terutama pengaruh air pasang (fisik-kimia) seperti disajikan pada Tabel 7 dan
Gambar 1.
Tabel 7. Stasiun pengamatan di estuari Berau
Nomor Nama stasiun Koordinat
stasiun E S
1 Pulau Besing 117°.40.938’ 02°.10.539’
2 Desa Kasai 117°.54.622’ 02°.12.282’
3 Muara Petumbuk 117°.46.749’ 02°.11.083’
4 Sei Petumbuk 117°.50.245’ 02°.06.229’
5 Muara Mengkajang 117°.51.817’ 02°.00.465’
6 Laut Mengkajang 118°.01.649’ 01°.58.437’
7 Muara Petumbuk 117°.57.518’ 02°.04.488’
8 Laut Petumbuk 118°.03.963’ 02°.05.297’
9 Teluk Sumanting 117°.58.975’ 02°.09.775’
10 Tanjung Ulungan 118°.04.939’ 02°.11.869’

Gambar 1. Stasiun pengamatan estuari Berau

IV.2. Jenis-jenis Hasil Tangkapan


Biota hasil tangkapan dari empat kali pengambilan contoh (Februari, Mei,
Agustus dan Oktober) teridentifikasi sebanyak 111 spesies yang meliputi 51 famili
44
(Lampiran 1). Jumlah spesies berdasarkan bulan penangkapan disajikan pada
Gambar 2 dan Lampiran 2, 3, 4 dan 5.

Gambar 2. Jumlah spesies berdasarkan bulan

Pada Gambar 2 hasil tangkapan pada Februari teridentifikasi sebanyak 63 spesies


dari 30 famili. Spesies hasil tangkapan ini didominasi oleh Bete list kuning
(Photopectoralis bindus Valenciennes, 1835), Gulama (Johnius macropterus
Bleeker, 1853) dan Bete belang (Secutor ruconius Hamilton, 1822). Hasil tangkapan
pada Mei teridentifikasi 48 spesies dari 31 famili, didominasi oleh Gulama (Johnius
amblycephalus Bleeker, 1855) dan Gulama (Johnius macropterus Bleeker, 1853).
Hasil tangkapan pada Agustus teridentifikasi 47 spesies dari 20 famili, didominasi
oleh Bete list kuning (Photopectoralis bindus Valenciennes, 1835) dan Kakap
(Lutjanus malabaricus Bloch & Schneider, 1801). Dan hasil tangkapan pada
Oktober teridentifikasi 62 spesies dari 39 famili, didominasi oleh Gulama (Johnius
coitor Hamilton, 1822). Berdasarkan jumlah bobot hasil tangkapan dari masing-
masing spesies selama empat bulan pengamatan, jenis-jenis yang mendominasi,
yaitu: Bete list kuning (Photopectoralis bindus Valenciennes, 1835), Gulama
(Johnius amblycephalus Bleeker, 1855) dan Gulama (Johnius macropterus Bleeker,
1853).
Jumlah spesies berdasarkan lokasi penangkapan/ stasiun pengamatan
disajikan pada Gambar 3.

45
Gambar 3. Jumlah spesies berdasarkan bulan

Dari Gambar 3 terlihat bahwa spesies terbanyak pada Stasiun 7, yaitu: 49 spesies
dari 28 famili. Spesies yang mendominasi, yaitu: Ikan Bete list kuning
(Photopectoralis bindus Valenciennes, 1835) dari famili Leiognathidae, Ikan Bete
loreng (Secutor ruconius Hamilton, 1822) dari Leiognathidae dan Ikan Gulama
(Johnius amblycephalus Bleeker, 1855) dari Sciaenidae. Sedangkan jumlah spesies
paling sedikit pada Stasiun 1, yaitu: 19 spesies dari 10 famili. Spesies yang
mendominasi, yaitu: Ikan Gulama (Johnius macropterus Bleeker, 1853) dari famili
Sciaenidae, Ikan Bete bintik (Gazza minuta Bloch, 1795) dari Leiognathidae dan
Ikan Gulama (Johnius coitor Hamilton, 1822) dari Sciaenidae. Perbedaan hasil
tangkapan dipengaruhi kualitas perairan, terutama salinitas (Rahardjo, 2006).
IV.3. Biologi Spesies Dominan
IV.3.1. Kebiasaan Makanan
IV.3.1.1. Indeks Bagian Terbesar
Perhitungan indeks bagian terbesar jenis-jenis makanan Ikan Bete list kuning
(Photopectoralis bindus) selama penelitian, ditemukan 11-25% merupakan
cacing (worms), sedangkan sisanya adalah hancuran yang lunak. Menurut
Simanjuntak et al., 2011, Ikan Bete list kuning (Photopectoralis bindus) adalah
pemakan Mikro-krustasea. Sedangkan menurut James, 1984; Nasir, 2000, ikan
ini pemakan zoobentos.
Perhitungan indeks bagian terbesar jenis-jenis makanan Ikan Gulama
(Johnius amblycephalus) selama penelitian, ditemukan 50-75% merupakan
Udang Burung (Metapenaeus lysianassa), sedangkan sisanya adalah hancuran
daging ikan kecil. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Rahardjo & Simanjuntak,
2005.

46
Perhitungan indeks bagian terbesar jenis-jenis makanan Ikan Gulama
(Johnius macropterus) selama penelitian, ditemukan 75 - 80% merupakan Udang
Burung (Metapenaeus lysianassa), sedangkan sisanya adalah hancuran daging
ikan kecil. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Rahardjo & Simanjuntak, 2005.
Menurut (Kailola, 1987) ikan ini memakan zoobentos berupa: bentos, krustasea
dan cacing (worms).
Beberapa aspek biologi, yaitu: Indeks Similaritas, Luas Relung dan Tumpang
Tindih Relung Makanan, biologi reproduksi dan parameter pertumbuhan akan
dilaksanakan pada tahun ke 2.
IV.4. Akustik
Pendugaan stok ikan dengan metoda akustik yang dilakukan mulai dari
muara Sungai Berau (Pasang surut terendah) sampai ke estuari yang berbatasan
dengan laut (Selat Makasar). Pendugaan kepadatan ikan dengan akustik dilakukan
dengan peralatan Biosonic DT-X scientific echosounder yang dioperasikan pada
frekuensi 200 kHz.
IV.4.1. Kepadatan Stok :
Kepadatan stok ikan di Estuari Berau ditentukan dengan alat echo sounder
BIOSONIC DT-X yang ditempatkan di atas kapal dengan penempatan transducer
bim terbagi (split beam echosounder) 200 KHz pada sisi kiri luar kapal 3 GT
dengan sistem side mounted. Penelitian yang dilaksanakan di perairan estuari
Berau pada Mei 2015 dilaksanakan dengan jalur survei berbentuk zigzag dan
lurus, seperti pada Gambar 4.

47
Gambar 4. Bentuk trek pengambilan data akustik di estuari Berau, Mei 2015

IV.4.2. Densitas rata-rata ikan


Dari hasil pengolahan data didapatkan rata-rata densitas, dari gambar dapat
dilihat bahwa nilai rata-rata densitas absolut cenderung merata kecuali agak
meningkat pada esdu 85-89, densitas pelagis rata-rata tertinggi terdapat pada
esdu 88 yaitu 0,006476 ind/1000 m3, sedangkan rata-rata terkecil adalah pada
esdu 46, yaitu 0,002501 ind/1000 m3, dengan rata-rata 0.003239 ind/1000 m3.
Profil densitas rata-rata secara horizontal ditunjukkan pada Gambar 5 dan profil
kedalaman rata-rata secara horizontal pada Gambar 6.

Gambar 5. Profil densitas rata-rata secara horizontal

48
Gambar 6. Profil Kedalaman rata-rata secara horizontal

IV.4.3. Jumlah dan komposisi target (target strength) menurut strata kedalaman
perairan
Hasil analisis akustik menunjukkan bahwa target strength (TS) pelagis paling
banyak terdeteksi adalah pada nilai TS -44 yang ekuivalen dengan panjang 31,5
cm dan paling rendah pada nilai TS -51, -50, -48, -39 dan -38 yang ekuivalen
dengan panjang 14,1, 15,8, 19,9, 56,0 dan 62,9 cm (Gambar 7).

Gambar 7. Komposisi nilai target Srenght

Secara umum ikan-ikan dengan ukuran yang lebih besar lebih banyak
terdeteksi pada kedalaman yang lebih dalam, hal ini sesuai dengan perbedaan
swimming layer dari masing-masing ukuran ikan. Ikan dengan ukuran lebih besar
cenderung berenang di perairan dalam dibandingkan ikan berukuran kecil. Nilai
komposisi dari masing-masing target ini digunakan dalam penentuan komposisi
berat dalam proses konversi untuk mendapatkan nilai biomassa ikan perairan
estuari Berau. Variasi jumlah dugaan panjang berdasarkan nilai target strength
ditunjukkan pada Gambar 8, sedangkan variasi komposisi dugaan panjang
berdasarkan nilai target strength pada Gambar 9.
49
Gambar 8. Variasi jumlah dugaan panjang berdasarkan nilai target strength

Gambar 9. Variasi komposisi dugaan panjang berdasarkan nilai target strength

IV.4.4. Hubungan panjang-berat (length-weight relationship)


Hubungan panjang-berat ikan digunakan untuk mengkonversi ukuran
panjang dugaan menjadi berat dugaan, data panjang berat berasal dari ikan-ikan
yang ditangkap di perairan estuari Berau. Pada penentuan biomassa perairan
estuari Berau, data yang digunakan adalah Ikan Selar (Decapterus macrosoma).
Hubungan panjang berat Ikan Selar (Decapterus macrosoma) disajikan pada
Gambar 10.

Gambar 10. Hubungan panjang-berat Ikan Selar (Decapterus macrosoma)

50
Dari data panjang berat ikan yang diperoleh didapatkan persamaan biologi untuk
ikan pelagis W = 0,011 L2,995.
IV.4.5. Dugaan Biomassa
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa luas perairan estuari Berau yang
disurvei adalah ± 167 mil2. Luas perairan ini digunakan sebagai acuan penentuan
volume perairan untuk menentukan biomassa perairan, sehingga didapatkan nilai
biomassa total perairan estuari Berau adalah 457 ton dengan kepadatan 1,3
ton/km2 (Lampiran 6).
IV.4.6. Sebaran densitas ikan pelagis secara horisontal
Penyebaran ikan secara horisontal juga memperlihatkan pola yang hampir
sama, dimana densitas yang tinggi banyak ditemukan di esdu 88 yaitu daerah
Muara Mengkajang (Gambar 11).

Gambar 11. Sebaran ikan secara horizontal di perairan estuari Berau.

IV.5. Struktur komunitas Ikan


Secara keseluruhan hasil analisis terhadap struktur komunitas ikan di
perairan estuari Berau, adalah: nilai indeks keanekaragaman (H’): 2,99, nilai ini
masuk dalam kriteria keanekaragaman sedang mendekati tinggi, indeks
keseragaman (E): 0,67, yang menunjukkan komunitas yang labil dan indeks
dominansi spesies (C): 0,08 atau dominansi spesies yang rendah.
Jenis-jenis ikan yang ditemukan di perairan lokasi pengamatan cukup
banyak, yaitu: 89 spesies. Penyebaran individu antar spesies yang berbeda di
perairan lokasi pengamatan sangat bervariasi. Menurut Odum (1971), indeks

51
keseragaman jenis akan tinggi jika tidak terjadi pemusatan individu pada suatu jenis
tertentu. Nilai indeks dominansi (C) mendekati nol, maka hal ini menunjukkan pada
perairan tersebut tidak ada spesies yang mendominasi.
Hasil analisis berdasarkan bulan pengamatan (empat kali sampling) dapat
dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Indeks H’, E dan C berdasarkan bulan

Dari hasil analisis data diperoleh nilai indeks keanekaragaman jenis


biota (H’) pada Februari 2,49 (keanekaragaman sedang), Mei 1,81
(keanekaragaman kecil), Agustus 2,17 (keanekaragaman sedang) dan Oktober
2,69 (keanekaragaman sedang). Perbedaan keanekaragaman pada Mei
dibandingkan dengan tiga bulan pengamatan lainnya disebabkan jumlah spesies
yang tertangkap sangat sedikit (35 spesies). Hal ini diduga sebagai pengaruh
musim. Perubahan musim juga akan berpengaruh pada tingkah laku ikan, biologi
reproduksi dan migrasi, sehingga keanekaragaman setiap musim akan mengalami
perubahan (Prianto & Suryati, 2010). Nilai indeks keseragaman jenis ikan (E)
selama empat bulan pengamatan, adalah: Februari 0,63, Mei 0,51, Agustus
0,59 dan Oktober 0,69. Dari hasil selama empat bulan pengamatan,
diketahu bahwa di perairan estuari Berau pada lokasi pengamatan
menunjukkan komunitas yang labil (Latuconsina et al., 2012)
Hasil analisis data terhadap dominansi spesies (C) pada Februari
0,14, Mei 0,27, Agustus 0,19 dan Oktober 0,12 semuanya menunjukkan
dominansi yang rendah atau tidak ada spesies yang mendominasi (Brower
at al., 1990).

52
IV.6. Plankton
IV.6.1. Kelimpahan Fitoplankton
Kelimpahan fitoplankton Februari 2015 berkisar antara 70 – 398 sel/L dan
bulan Mei 2015 berkisar antara 67 – 389 sel/L. Kelimpahan plankton ini tergolong
cukup rendah. Hal ini diduga karena tipe perairan estuari Berau tergolong dalam
perairan yang oligotrofik. Menurut Welch (1952), suatu perairan oligotrofik ditandai
dengan kuantitas plankton yang rendah yaitu kurang dari 2000 sel/L dengan
jumlah jenis yang sedikit. Kelimpahan fitoplankton hasil pengamatan pada trip 1
dan 2 dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14. Hasil pengamatan fitoplankton pada
Februari dan Mei dapat dilihat pada Lampiran 7 dan 8.

Gambar 13. Kelimpahan fitoplankton pada trip 1

Gambar 14. Kelimpahan fitoplankton pada trip 2

IV.6.2. Kelimpahan Zooplankton


Kelimpahan zooplankton pada bulan Februari berkisar 19 - 250 ind/L dan
bulan Mei 2015 berkisar antara 12 – 123 ind/L. Adanya perbedaan kelimpahan
total tersebut disebabkan karena pada bulan Februari kondisi air besar atau
53
musim hujan dan pada bulan Mei termasuk dalam musim kering atau air surut.
Banyak faktor yang mempengaruhi jumlah zooplankton, selain jumlah fitoplankton
yang kurang, waktu pengambilan zooplankton serta pengaruh arus. Menurut
Wetzel (2001) bahwa beberapa jenis zooplankton akan bermigrasi kedasar
perairan pada siang hari dan pada malam hari baru menuju ke permukaan,
pengaruh sinar matahari dan keberadaan banyaknya jumlah ikan juga akan
mempengaruhi jumlah zooplankton di perairan. Kelimpahan zooplankton hasil
pengamatan pada trip 1 dan 2 dapat dilihat pada Gambar 15 dan 16. Hasil
pengamatan zooplankton pada Februari dan Mei dapat dilihat pada Lampiran 9
dan 10.

Gambar 15. Kelimpahan zooplankton pada trip 1

Gambar 16. Kelimpahan zooplankton pada trip 2

IV.6.3. Indeks Keanekaragaman Fito dan Zooplankton


Hasil perhitungan indeks keanekaragaman fitoplankton pada trip 1 bulan
Februari 2015 berkisar antara 1,36 - 2,29 dan bulan Mei berkisar antara 1,93 -
54
2,28. Sedangkan indeks keanekaragaman zooplankton pada trip 2 bulan Februari
berkisar 0,83 - 2.15 dan bulan Mei berkisar 0,91 – 1,65. Berdasarkan kriteria
indeks keanekaragaman seluruh nilai yang terhitung berada dalam kategori
rendah dan sedang karena memiliki nilai keanekaragaman kurang dari 3. Indeks
keanekaragaman fitoplankton dapat dilihat pada Gambar 17 dan Indeks
keanekaragaman zooplankton dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 17. Indeks keanekaragaman fitoplankton

Gambar 18. Indeks keanekaragaman zooplankton

IV.6.3. Indeks Dominansi Fito dan Zooplankton


Untuk melihat adanya spesies yang dominan dalam setiap stasiun
diperlukan indeks dominansi. Nilai ini akan menerangkan besarnya tingkat
dominansi satu spesies terhadap spesies lainnya dalam stasiun. Nilai indeks
dominansi spesies fitoplankton pada bulan Februari 2015 berkisar 0,14 – 0,39 dan

55
bulan Mei 2015 0,12 -0,24. Sedangkan nilai indeks dominansi spesies zooplankton
pada bulan Februari 2015 berkisar 0,13 – 0,57 dan bulan Mei 2015 berkisar 0,22-
0,53. Nilai indeks dominansi (C) ini menunjukkan hasil yang rendah karena terdapat
beberapa jenis fitoplankton dan zooplankton dari beberapa kelas. Indeks dominansi
fitoplankton dapat dilihat pada Gambar 19 dan Indeks keanekaragaman
zooplankton dapat dilihat pada Gambar 20.

Gambar 19. Indeks dominansi fitoplankton

Gambar 20. Indeks dominansi zooplankton

IV.7. Struktur Komunitas Makrozoobentos


IV.7.1. Komposisi Jenis Makrozoobentos
Makrozoobentos yang ditemukan bulan Februari 2015 penelitian terdiri dari
6 kelas, 24 famili, 28 genera. Komposisi kelas makrozoobentos terdiri dari
Crustacea (1%), Oligochaeta (16%), Polychaeta (7%), Bivalvia (27%), Gastropoda

56
(26%), Scaphopoda (24%). Komposisi kelas yang paling mendominasi adalah
Bivalvia, Gastropoda dan Scaphopoda. Hal ini didukung oleh Kennish (1990)
bahwa Moluska (Bivalvia, Scaphopoda dan Gastropoda) dan Polychaeta
merupakan kelompok organisme ciri khas dari komunitas bentik estuaria, karena
kemampuan adaptasi organisme tersebut sangat baik terhadap perairan estuaria
yang fluktuatif. Komposisi makrozoobentos hasil tangkapan pada Trip 1 dan 2
dapat dilihat pada Gambar 21. Hasil pengamatan makrozoobentos pada Februari,
Mei dan Agustus dapat dilihat pada Lampiran 11, 12 dan 13.

Gambar 21. Komposisi Makrozoobentos Trip 1


Pada bulan Mei 2015, makrozoobentos ditemukan 4 kelas, 25 famili dan 32
genera. Komposisi makrozoobentos terdiri dari Bivalvia (27%), Gastropoda (55%),
Polychaeta (2%) dan Scaphopoda (16%). Persentase makrozoobentos bulan Mei
2015 tersaji pada Gambar 22.

Gambar 22. Komposisi Makrozoobentos Trip 2

57
Bulan Agustus 2015, ditemukan makrozoobentos yang terdiri dari 7 kelas,
47 famili dan 48 genera. Komposisi makrozoobentos terdiri dari Polychaeta (31%),
Oligochaeta (0,1%), Amphipoda (1,2%), Copepoda (0,4%), Scaphopoda (15%),
Bivalvia (21%) dan Gastropoda (32%) tersaji pada Gambar 23.

Gambar 23. Komposisi Makrozoobentos Trip 2


IV.7.2. Kepadatan Makrozoobentos
Kepadatan makrozoobentos yang ditemukan di perairan estuari Berau
bulan Februari 2015 berkisar antara 44 – 4.489 ind/m2. Pada stasiun 2 dan stasiun
4 terjadi kesalahan sehingga sampel pada stasiun tersebut tidak terambil.
Kepadatan terendah ditemukan di stasiun 1 sedangkan tertinggi terdapat pada
stasiun 8 (Gambar 24).

Gambar 24. Kelimpahan Makrozoobentos Trip 1

Bulan Mei 2015, kepadatan makrozoobentos di perairan estuari Berau


berkisar antara 0-5000 ind/m2. Pada stasiun 4, sampel tidak terambil. Kepadatan
terendah ditemukan pada stasiun 1 dan tertinggi terdapat pada stasiun 10
(Gambar 25).
58
Gambar 25. Kelimpahan Makrozoobentos Trip 2

Kepadatan makrozoobentos perairan estuari Berau didominasi oleh kelas


Bivalvia, Gastropoda dan Scaphopoda. Hal ini disebabkan karena ketiga kelas
tersebut termasuk phylum Moluska, di mana Moluska merupakan salah satu
phylum yang memiliki anggota paling banyak diantara anggota organisme perairan
yang lain (80.000 spesies hidup dan 35.000 spesies fosil) (Barnes, 1987).
Bulan Agustus 2015, kepadatan makrozoobentos di perairan estuari Berau
berkisar antara 33-1.465 ind/m2. Kepadatan terendah ditemukan pada stasiun 4
dan tertinggi terdapat pada stasiun 10 (Gambar 26). Banyaknya jumlah spesies
yang sama pada bulan Februari, Mei dan Agustus 2015 diduga makrozoobentos
tersebut masih hidup selama waktu pengambilan sampel. Sedangkan perbedaan
jumlah spesies pada bulan tersebut diduga merupakan populasi berbeda dan
munculnya populasi yang baru.

Gambar 26. Kelimpahan Makrozoobentos Trip 3

59
Kepadatan makrozoobentos kelas Scaphopoda dan Gastropoda semakin
ke arah laut nilainya cenderung meningkat. Meningkatnya kepadatan Scaphopoda
dan Gastropoda ke arah laut disebabkan karena organisme tersebut dapat
beradaptasi dengan kecepatan arus yang kuat. Adaptasi kelas Scaphopoda (famili
Dentallidae dan Siphonodentaliidae) adalah kaki berbentuk seperti kerucut untuk
mengubur diri di dalam substrat dan dapat hidup pada perairan yang lebih dalam,
sedangkan kelas Gastropoda memiliki kaki berbentuk mendatar untuk bergerak
dan memiliki kemampuan melekat kuat pada habitat yang bervariasi (Barnes,
1974).
IV.7.3. Indeks Keanekaragaman dan Dominansi Makrozoobentos
IV.7.3.1. Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos
Indeks keanekaragaman dan dominansi merupakan indeks-indeks biologi
yang sering digunakan untuk menduga dan mengevaluasi kondisi suatu
lingkungan perairan. Kondisi suatu lingkungan perairan umumnya dapat dikatakan
baik (stabil) bila memiliki indeks keanekaragaman yang tinggi serta dominansi
yang rendah (spesies yang mendominasi). Indeks keanekaragaman
makrozoobentos dapat dilihat pada Gambar 27.

Gambar 27. Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos

Hasil perhitungan indeks keanekaragaman pada trip 1 bulan Februari 2015


berkisar antara 0 - 2,31. Sedangkan pada bulan Mei berkisar antara 0 - 2,22 dan
bulan Agustus 1,05 – 2,59. Berdasarkan kriteria indeks keanekaragaman seluruh
nilai yang terhitung berada dalam kategori rendah dan sedang karena memiliki
nilai keanekaragaman kurang dari 3.

60
IV.7.3. Indeks Dominansi Makrozoobentos
Untuk melihat adanya spesies yang dominan dalam setiap stasiun
diperlukan indeks dominansi. Nilai ini akan menerangkan besarnya tingkat
dominansi satu spesies terhadap spesies lainnya dalam stasiun. Nilai indeks
dominansi spesies pada bulan Februari berkisar 0 – 1,0 dan bulan Mei 0 -0,6.
Sedangkan pada bulan Agustus berkisar 0,1 – 0,4. Pada Trip 1 bulan Februari
memperlihatkan adanya dominansi spesies. Hal ini ditunjukkan pada nilai indeks
dominansi yang mendekati angka satu (Gambar 28)

Gambar 28. Indeks Dominansi Makrozoobentos

IV.8. Keadaan Umum Daerah Penelitian


Kabupaten Berau dengan luas wilayah sebesar 34,127 Km² dengan luas
laut sekitar 1,2 juta hektar menjadikan subsektor perikanan yang sangat dominan
(Statistik Berau, 2015) Perairan Delta Berau memiliki potensi sumber daya perairan
seperti ikan, kerang, udang maupun jenis biota lain yang banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat setempat. Menurut Julianery (2001) budidaya laut di Perairan Delta
Berau diperkirakan mempunyai potensi sebesar 2.500 hektar dengan potensi
penangkapan sebesar 35.000 ton per tahun. Selain itu, daerah perairan Delta Berau
merupakan tempat bagi penyu hijau (Chelonia mydas) untuk bertelur. Produksi telur
penyu yang dihasilkan dari daerah ini 94,9 ton dengan nilai Rp 2,1 milyar.
Kabupaten Berau dialiri oleh dua sungai utama yaitu Sungai Kelay dan
Sungai Segah yang dari hulu ke hilir letak kedua sungai tersebut masih berada di
Kabupaten Berau dengan luas ke dua sungai tersebut 15.000 km persegi atau
sekitar 62% dari luas kebupaten Berau. Ke dua Sungai tersebut bergabung menjadi
satu di Tanjung Redeb yang merupakan ibukota Kupaten Berau, dan mengalir
61
sepanjang 40 km menuju muara Sungai Berau yang bermuara ke Selat Makasar
(Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kaltim, 2013).
Kecamatan Pulau Derawan merupakan kawasan pesisir yang memiliki
sumberdaya yang melimpah dan satu diantara 13 Kecamatan yang ada di
kabupaten Berau, kecamatan ini berorientasi pada pengembangan perekonomian
dengan memanfaatkan sumberdaya dan memandirikan masyarakat yang dominan
bermata pencaharian sebagai nelayan. Kecamatan Pulau Derawan merupakan
kecamatan yang terletak di sebelah utara wilayah Kabupaten Berau yang memiliki
luas 3.858,96 km2. Kecamatan Pulau Derawan memiliki lima kampung yakni
Kampung Pulau Derawan, Kampung Tanjung Batu, Kampung Pegat, Kampung
Kasai dan Kampung Teluk Semanting.
Stasiun penelitian sumberdaya estuari Sungai Berau (Delta Berau)
sebagian besar meliputi estuari yang terdapat di Kecamatan Pulau Derawan. Muara
Sungai Berau yang biasa disebut dengan Delta Berau berhadapan dengan perairan
pesisir yang memiliki karang yang luas sampai ke Selat Makasar, hal ini yang
menyebabkan banyak jenis-jenis ikan karang yang mencari makan di estuari Berau.
Dari 10 Stasiun tersebut 4 stasiun diantaranya berada di dalam sungai yaitu stasiun
Pulau Besing, Muara Petumbuk dalam, Sungai Petumbuk dan Desa Kasai, tiga
Stasiun berupa Muara yaitu Teluk Semanting, Muara Petumbuk dan Muara
Mengkajang, dan tiga stasiun lagi ke arah laut yang berdekatan dengan perairan
karang. Ketiga stasiun yang berdekatan dengan laut tersebut masih berupa estuari
yaitu ditandai dengan masih tingginya pengaruh air sungai dengan warna
kekeruhan (Gambar 1).
Stasiun penelitian tersebut yaitu dimulai dari perairan yang paling tawar
(bagian hulu) pada saat musim penghujan, yaitu:
1. Pulau Besing/ Batu-batu (posisi: N 02°10.539’ E 117°40.938’) merupakan
perairan paling tawar pada saat musim penghujan dan merupakan pusat
penangkapan udang galah (Macrobrachium rosenbergii). Pulau Besing
merupakan sebuah pulau yang berada ditengah Sungai Berau dan masih
merupakan wilayah Kecamatan Tanjung Batu. Stasiun ini merupakan batas
estuari Berau dengan salinitas nol pada musim penghujan dan salinitas 5 pada
musim kemarau.
2. Kampung Kasai/ Desa Kasai (posisi: N 02’ 12.282’ E 117°54.622’) merupakan
salah satu kampung yang terdapat di desa Kasai dan sebagian besar
penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan dengan menggunakan

62
perahu motor tempel dan wilayah penangkapan ikan hanya berada di Delta
Berau.
3. Muara Patumbuk dalam (posisi: N 02°11.083’ E 117°46.749’) merupakan ujung
Sungai Patumbuk yang banyak terdapat tambak-tambak sampai ke muara.
Sepanjang Sungai Patumbuk tidak dibenarkan melakukan penangkapan dengan
trawl mini dan alat tangkap yang terdapat di Sungai Patumbuk berupa tuguk
yang dipasang dipinggir-pinggir sungai. Alat tangkap tuguk merupakan alat
tangkap statis yang memanfaatkan pasang surut.
4. Sungai Patumbuk (posisi: N 02°06.229’ E 117°50.245’) yang terletak di bagian
pertengahan sungai yang juga tidak dibolehkan melakukan penangkapan dengan
jaring trawl. Di perairan ini juga banyak terdapat tambak-tambak udang.
5. Muara Mangkajang (posisi: N 02°00.465’ E 117°51.817’) adalah tempat Lalu
lintas kapal dari Tanjung Redeb (ibu kota Kabupaten Berau) menuju ke Makasar.
6. Laut Mangkajang (posisi: N 01°58.437’ E 118°01.649’) yang merupakan
perbatasan estuari yang berdekatan dengan perairan karang. Perairan Laut
Mangkajang ditandai dengan perairan berwarna coklat keruh dengan salinitas <
25 ppt.
7. Muara Patumbuk (posisi: N 02°04.488’ E 117°57.518’) merupakan perairan yang
masih tidak boleh beroperasi alat tangkap trawl mini dan merupakan Muara
Sungai Patumbuk. Dilarangnya penangkapan ikan dengan alat tangkap trawl
adalah kearifan lokal dari masyarakat desa Patumbuk.
8. Laut Patumbuk (posisi: N 02°05.257’ E 118°03.963’) perairan Patumbuk yang
berada ke arah laut yang masih berupa estuari dan di perairan ini merupakan
fishing ground tempat penangkapan udang terutama udang putih.
9. Teluk Semanting (posisi: N 0°09.775’ E 117°58.975’) bagian muara dari perairan
Kasai yang juga merupakan daerah penangkapan ikan dari famili Ariidae dan
penangkapan ikan bawal yang berukuran besar.
10. Tanjung Ulungan (posisi : N 02°11.869’ E 118°04.939’) merupakan muara dari
desa Kasai yang terletak di estuari yang berdekatan dengan laut yang warna air
coklat keruh dan masih dipengaruhi oleh air tawar dari Sungai Kasai.
IV.8.1. Kondisi lingkungan
IV.8.1.1. Estuaria Sungai Berau
Kabupaten Berau memiliki sumberdaya hutan mangrove yang sangat
berpotensi untuk dimanfaatkan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat
pesisir. Hutan mangrove Kabupaten Berau terdapat mulai dari bagian utara di

63
Tanjung Batu, Delta Berau (Sungai Berau), sampai ke selatan di Biduk-biduk. Selain
itu hutan mangrove juga ditemukan di beberapa pulau, seperti Pulau Panjang,
Rabu-rabu, Semama dan Maratua di bagian utara pesisir Berau, dan di Pulau
Buaya-buaya di bagian selatan pesisir Berau. Secara keseluruhan luas kawasan
mangrove sebesar 80.277 ha. (Wiryawan, et al. 2005)
Dari segi kondisi kawasan mangrove, Kabupaten Berau relatif masih
memiliki kondisi kawasan mangrove yang lebih baik bila dibandingkan dengan
kabupaten atau kota lainnya di provinsi Kalimantan Timur. Namun demikian
degradasi/ kerusakan kawasan mangrove dan kerusakan DAS serta konversi lahan
mangrove menjadi areal pertambakan menjadi ancaman serius bagi kelestarian
hutan mangrove di Kabupaten Berau. Tingkat kerusakan kawasan mangrove yang
terdata pada tahun 1997 baru sekitar 450 hektar hutan mangrove di Delta Berau
yang berubah menjadi tambak udang. Akan tetapi, pada tahun 2003 sudah
mencapai sekitar 4.000 hektar (Kompas.com, 2003)
Kondisi Perairan Mangrove di Kabupaten Berau Luas kawasan mangrove
di kabupaten berau mencapai 59,03% atau seluas 47.349 Ha dari total wilayah
pesisir. Kategori wilayah pesisir Kabupaten Berau dibagi menjadi 5 kategori yaitu
wilayah tambak, mangrove, nipah, nipah dan kelapa serta hutan pasang surut
(Tabel 8).
Tabel 8. Kategori wilayah pesisir Kabupaten Berau
Tipe Area Total area (Ha) Percentase (%)
Tambak udang/ikan 1.647 2,05
Mangrove 47.349 59,03
Nipah 23.306 29,06
Nipah & Pohon Kelapa 600 0,75
Hutan pasang surut 7.307 9,11
Total area 80.208 100
Sumber : Triyanto et al. 2012

Hasil survei tahun 2012 menunjukkan pada seluruh area mangrove di


Kabupaten Berau minimal terdapat 24 jenis vegetasi mangrove dari 13 famili/suku
(Tabel 9).

64
Tabel 9. Jenis-jenis mangrove di Kabupaten Berau

No Jenis mangrove Famili


1 Aegiceras corniculatum Myrsinaceae
2 Avicenia alba Myrsinaceae
3 Avicennia officinalis Myrsinaceae
4 Sonneratia alba Myrsinaceae
5 Osbornia octodonta Myrtaceae
6 Bruguiera gymnorrhiza Rhizophoraceae
7 Bruguiera sexangula Rhizophoraceae
8 Bruguiera parviflora Rhizophoraceae
9 Ceriops decandra Rhizophoraceae
10 Ceriops tagal Rhizophoraceae
11 Rhizophora apiculata Rhizophoraceae
12 Rhizophora mucronata Rhizophoraceae
13 Calophyllum inophylum Guttiferae
14 Derris trifoliata Leguminose
15 Glochidion lucidum Euphorbiaceae
16 Hibiscus tiliaceus Malviaceae
17 Lumnitzera racemosa Combretaceae
18 Lumnitzera littorea Combretaceae
19 Lumnitzera racemosa Combretaceae
20 Nipa fruticans Arecaceae
21 Pandanus tectoriue Pandanaceae
22 Pongamia pinnata Caesalpiniaceae
23 Scyphipora hydrophyllacea Rubiaceae
24 Xylocarpus granatum Meliaceae
Sumber : Triyanto et al. 2012

IV.8.1.2. Parameter fisika-kimia perairan estuari Berau


Kondisi hidrodinamika perairan estuaria dipengaruhi oleh bentuk topografi
dasar dan skala waktu (musim). Selama pasang naik air laut akan terdesak ke
dalam sungai dan pada waktu surut massa air tersebut akan kembali ke laut.
Nybakken (1992) menyatakan bahwa parameter-parameter fisika kimia di perairan
estuari relatif lebih bervariasi dibandingkan perairan lainnya. Beberapa parameter
yang perlu diperhatikan di perairan estuari adalah suhu, salinitas, oksigen terlarut,
pH dan kecerahan.
IV.8.1.2.1. Suhu
Suhu udara di peraian Estuari Berau pada bulan Maret berkisar antara 27 -
31oC sedangkan suhu permukaan perairan berau berkisar antara 27 - 32 oC untuk
pengamatan bulan Maret sedangkan bulan Mei suhu udara berkisar antara 27 -

65
32oC, suhu air berkisar antara 27 - 31oC. Untuk Bulan Agustus suhu udara berkisar
antara 28.5 – 31 oC sedangkan suhu perairan berkisar antara 30 - 32 oC dan Bulan
Oktober suhu lebih tinggi baik untuk suhu udara (29 - 33 oC) maupun suhu perairan
(29 - 31 oC) yang merupakan musim kemarau. Pada saat penelitian, bulan Maret
masih merupakan musim penghujan sedangkan bulan Mei mulai memasuki musim
kemarau sampai pada bulan Oktober. Perairan estuaria bersifat dinamik sehingga
kemungkinan terjadinya stratifikasi suhu menjadi kecil. Dari beberapa penelitian,
suhu di Muara Sungai Cimandiri pada bulan Desember 1995 - Februari 1996
berkisar antara 25 - 30oC (Sriati 1998) dan pada bulan September 1999 berkisar
antara 26 - 32oC (Adriana, 2001). Berdasarkan hasil penelitian Triyanto et al., 2012,
kondisi suhu perairan estuari mangrove di Kabupaten Berau untuk suhu berkisar
antara 28,6 - 33,9°C (Gambar 29).

Gambar 29. Suhu udara dan perairan estuari Berau berdasarkan stasiun dan bulan

IV.8.1.2.2. Salinitas
Berdasarkan Nontji (1987) salinitas adalah jumlah berat semua garam
(dalam gram) yang terlarut dalam satu liter air yang dinyatakan dalam satuan per
seribu (‰) atau per miligram per liter (ppt). Salinitas permukaan di estuari perairan

66
Berau pada Trip pertama berkisar antara 0 - 30 ppt sedangkan salinitas permukaan
berkisar antara 5 - 34 ppt. Salinitas pada stasiun paling hulu yaitu Pulau Besing 0
ppt dipermukaan dan 5 ppt di bagian dasar perairan. Salinitas tertinggi di Tanjung
Ulungan yaitu 30 ppt di permukaan dan 34 ppt di bagian dasar perairan. pada
pengamatan pertama salinitas tertinggi lainnya masing masingnya di stasiun 6 (Laut
Mangkajang) dan stasiun 8 (Laut Patumbuk). Pada Trip ke dua salinitas permukaan
berkisar antara 0 - 29 ppt sedangkan salinitas dasar berkisar antara 0 - 31 ppt.
Salinitas tertinggi terdapat di stasiun 8 (Laut Patumbuk) yaitu 29 ppt di permukaan
dan 30 ppt di dasar perairan. Salinitas 0 berada di stasiun paling hulu yaitu Pulau
Besing baik di bagian dasar maupun di permukaan yang berarti terjadi percampuran
massa air yang merata begitu juga di Muara Patumbuk Dalam percampuran massa
air merata dengan salinitas 5 sampai ke dasar perairan. Gradien salinitas ini sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Nybakken, (1988) Keberadaan salinitas di estuaria
mencirikan adanya gradien salinitas, mulai dari dominasi air laut sampai ke
dominasi air tawar di hulu estuaria. Gradien salinitas tersebut berubah secara
dinamik, sesuai dengan perubahan debit air sungai, pasang surut serta arus
perairan pantai. Pernyataan ini dilengkapi oleh Odum (1993) yang menyatakan
gambaran salinitas di estuaria dapat berfluktuasi dan tergantung pada musim,
topografi, pasang surut serta jumlah air tawar. Berdasarkan Effendie (2003),
Salinitas menggambarkan padatan total dalam air setelah semua karbonat
dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan oleh klorida, dan
semua bahan organik telah dioksidasi. Salinitas perairan tawar adalah kurang dari
0,5‰, perairan payau berkisar antara 0,5 sampai dengan 30‰ dan perairan laut
antara 30 sampai dengan 40‰. Selanjutnya Wibisono (2005) menyatakan salinitas
merupakan salah satu faktor kandungan substansi dalam air muara yang sudah
umum keberadaannya (conservative constituent) dan oleh sebab itu, konsentrasinya
tidak dipengaruhi oleh proses bio-geo-chemical, tetapi hanya dipengaruhi oleh
proses pencampuran serta disebabkan oleh curah hujan lokal, proses evaporasi
dan/atau pembekuan yang bisa mengakibatkan menurunnya salinitas.
Pada Gambar 30 terlihat bahwa gradien salinitas sangat bervariasi pada
bulan Maret dan mulai membentuk pola yang sama pada bulan Mei – Agustus yang
merupakan musim kemarau yaitu semakin ke muara salinitas semakin tinggi. Pada
stasiun paling hulu tetap nol dan salinitas mulai meningkat menuju kea rah muara
yaitu berkisar antara 25,7 - 30,5‰ di bagian muara dan di depan muara sungai
Berau tersebut berkisar antara 30,42 – 33,7‰. Tingginya salinitas di dalam sungai

67
sampai ke bagian muara menyebabkan Delta Berau banyak ditemui tambak-tambak
udang sampai mendekati Pulau Besing. Salintas yang tinggi di Delta Berau
dipengaruhi oleh perairan pesisir Berau yang luas berupa terumbu Karang yang
terletak didepan muara Sungai Berau. Meskipun di bagian depan muara Sungai
Berau memiliki salinitas tinggi, namun warna air dan tumbuhan mangrove yang ada
disekitarnya mencirikan bahwa perairan ini masih berupa estuari yang sifat fisik dan
kimia perairannya tidak sama dengan laut dan perairan tawar. Ini sesuai dengan
yang dikemukakan oleh Clark (1974) bahwa fluktuasi salinitas yang tinggi
merupakan salah satu ciri yang membedakan antara perairan estuari dengan
perairan tawar. Selanjutnya Menurut Nybakken (1988) Salinitas di daerah estuaria
berkisar antara 7 – 32‰ yang bervariasi akibat adanya air tawar yang masuk ke
perairan estuari. Selanjutnya Kennis (1994) menyatakan bahwa salinitas di estuari
berkisar antara 0,5 - 35‰ dimana salinitas ini dapat bervariasi baik secara vertical
maupun horizontal tergantung dari perbandingan antara limpasan air dari darat,
masukan air hujan dan penguapan. Berdasarkan hasil penelitian Triyanto et al.,
2012, kondisi kualitas air perairan mangrove di Kabupaten Berau dicirikan salinitas
antara 10,41 - 27,3 ppt.

68
Gambar 30. Nilai salinitas berdasarkan bulan

IV.8.1.2.3. Kedalaman perairan


Kedalaman perairan yang diteliti pada saat pengamatan Maret berkisar
antara 5 - 7,8 m sedangkan pada pengamatan Bulan Mei berkisar antara 4,0 - 10 m.
Bulan Agustus 2,1 – 9,4 m dan Oktober berkisar antara 2,3 – 8,0 m (Gambar 31).
Herry (1998) menyebutkan bahwa ada hubungan antara kedalaman dan kecerahan
perairan. Kekeruhan dapat disebabkan akibat adanya pengadukan oleh energi
ombak yang erat hubungannya dengan kedalaman, dimana perairan yang lebih
dangkal akan lebih terpengaruh oleh gerakan ombak dibandingkan perairan yang
lebih dalam. Butet (1997) menjelaskan hubungan antara kedalaman perairan
dengan distribusi vertikal larva yaitu bahwa stadia awal (early stage) larva
cenderung berada di permukaan kolom perairan, sedangkan stadia akhir (late
stage) larva mendekati atau berada di dekat dasar perairan. Perbedaan distribusi
berdasarkan kedalaman ini mungkin disebabkan oleh fungsi pada stadia larva yang
berkaitan dengan berat jenisnya. Larva yang lebih muda memiliki berat jenis yang
lebih rendah daripada air laut, sedangkan berat jenis dari larva yang lebih dewasa
lebih besar (Manning & Whaley, 1954 in Butet, 1997).

69
Gambar 31. Kedalaman perairan estuari Berau pada Maret dan Mei 2015

IV.8.1.2.4. Oksigen terlarut


Menurut Effendi (2003) Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami
bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer.
Semakin besar suhu dan ketinggian (altitude) serta semakin kecil tekanan atmosfer,
kadar oksigen terlarut semakin kecil. Kandungan oksigen terlarut mempengaruhi
keanekaragaman organisme dalam suatu ekosistem perairan. Nilai oksigen terlarut
(DO) cukup tinggi di perairan estuari Berau yaitu berkisar antara 5,37 – 8,67 pada
Maret 4,85 – 8,08, Mei 8,1 – 9,7, Agustus 7,22 – 9,16 dan Oktober 7,09 – 9,28 mg/l.
Nilai oksigen terlarut ini hampir sama dengan penelitian Triyanto et al., 2012, yang
mengemukakan bahwa di perairan mangrove Berau kadar oksigen terlarut berkisar
antara 4,22 - 7,47 mg/L (Gambar 32). Effendi (2003) mengemukakan bahwa
perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan sebaiknya memiliki kadar
oksigen yang tidak kurang dari 5 mg/l dan McNeely et al., 1979 dalam Effendie
(2003) kadar oksigen terlarut pada perairan biasanya kurang dari 10 mg/l.
Berdasarkan pernyataan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa perairan estuari
Sungai Berau memiliki kandungan oksigen yang cukup baik untuk kehidupan
organisme akuatik.

70
Gambar 32. Oksigen terlarut berdasarkan bulan

IV.8.1.2.4. Kecerahan
Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan
secara visual dengan menggunakan secchi disk. Kecerahan suatu perairan
dipengaruhi oleh kekeruhan dan warna perairan tersebut, semakin tinggi kecerahan
suatu perairan maka akan semakin tinggi daya penetrasi cahaya matahari sehingga
proses fotosintesis dapat berlangsung dalam lapisan yang tebal. Pada perairan
alami kecerahan sangat erat hubungannya dengan fotosintesis. Kecerahan dapat
digunakan untuk menentukan tingkat produktifitas primer suatu perairan (Odum,
1971). Kecerahan perairan estuari Berau berkisar antara 0 - 340 cm (Gambar 33).
Kecerahan sampai nol cm terdapat di stasiun Muara Patumbuk. Hal ini disebabkan
Sungai Patumbuk merupakan daerah pertambakan dan terdapat banyak anak-anak
sungai yang memasuki Sungai Patumbuk dan buangan-buangan air dari
pertambakan.

Gambar 33. Kecerahan perairan di stasiun pengamatan berdasarkan bulan


71
IV.8.1.2.4. Kekeruhan
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan
banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat
dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik dan anorganik seprti plankton
dan mikroorganisme lainnya (APHA, 1976; Davis & Cornwell in Effendi 2003).
Menurut Ewusie (1980) in Tussulus (2003) kekeruhan itu penting dari segi
biologi, karena melibatkan juga bahan terlarut dan sebagai perangkap zat makanan
terbentuk, dimana kadar garam anorganiknya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
di lautan bebas ataupun sungai yang mengalir masuk. Hasil pengamatan terhadap
Co2 berdasarkan bulan disajikan pada Gambar 34.

Gambar 34. Nilai karbondioksida (CO2) di stasiun pengamatan berdasarkan bulan

Kekeruhan merupakan sifat fisik air yang tidak hanya membahayakan ikan
tetapi juga menyebabkan air tidak produktif karena menghalangi masuknya sinar
matahari untuk fotosintesa. Kekeruhan ini disebabkan air mengandung begitu
banyak partikel tersuspensi sehingga merubah bentuk tampilan menjadi berwarna
dan kotor. Adapun penyebab kekeruhan ini antara lain meliputi tanah liat, lumpur,
bahan-bahan organik yang tersebar secara baik dan partikel-partikel kecil
tersuspensi lainnya. Tingkat kekeruhan air di perairan mempengaruhi tingkat
kedalaman pencahayaan matahari, semakin keruh suatu badan air maka semakin
menghambat sinar matahari masuk ke dalam air. Pengaruh tingkat pencahayaan
matahari sangat besar pada metabolisme makhluk hidup dalam air, jika cahaya
matahari yang masuk berkurang maka makhluk hidup dalam air terganggu,
khususnya makhluk hidup pada kedalaman air tertentu, demikian pula sebaliknya
72
(Hardjojo & Djokosetiyanto, 2005; Alaerts & Santika, 1987 in Hartami, 2008).
Padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak
terlarut dan tidak dapat mengendap langsung yang terdiri dari partikel-partikel yang
ukuran maupun beratnya lebih kecil daripada sediment, seperti tanah liat, bahan
organik tertentu, sel-sel mikroorganisme dan lain sebagainya (Hardjojo and
Djokosetiyanto, 2005 in Hartami, 2008). Padatan tersuspensi dan kekeruhan
memiliki korelasi positif yaitu semakin tinggi nilai padatan tersuspensi maka semakin
tinggi pula nilai kekeruhan. Akan tetapi, tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti
dengan tingginya kekeruhan. Air laut memiliki nilai padatan terlarut yang tinggi,
tetapi tidak berarti kekeruhannya tinggi pula (Effendi, 2003).
IV.8.1.2.5. Konsentrasi nitrat (NO3)
Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan
nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat nitrogen sangat mudah
larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi
sempurna senyawa nitrogen di perairan. Nitrifikasi merupakan proses oksidasi
amonia menjadi nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen
dan berlangsung pada kondisi aerob. Oksidasi amonia menjadi nitrit dilakukan oleh
bakteri Nitrosomonas, sedangkan oksidasi nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri
Nitrobacter. Keduanya adalah bakteri kemotrofik, yaitu bakteri yang dapat
mendapatkan energi dari proses kimiawi. Menurut Novotny & Olem (1994) in Effendi
(2003)
Kadar nitrat diperairan estuari Berau Bulan Maret yaitu berkisar antara
0,159 - 0,445, terendah pada bulan Mei yaitu berkisar antara 0,0003 - 0,0474,
merupakan yang tertinggi selama penelitian yaitu pada Bulan Agustus berkisar
antara 0,1743 -2,0526 dan bulan Oktober berkisar antara 0,072 - 0,4621 Gambar
35).

Gambar 35. Konsentrasi nitrat berdasarkan bulan


73
Kadar nitrat pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/l.
Kadar nitrat lebih dari 5 mg/l menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik
yang berasal dari aktifitas manusia dan tinja hewan. Kadar nitrat melebihi 0,2 mg/l
dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi (pengayaan) perairan, yang selanjutnya
menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (blooming). Nitrat
dapat digunakan untuk mengelompokkan tingkat kesuburan perairan. Perairan
oligotrof memiliki kadar nitrat antara 0 – 1 mg/l, perairan mesotrof memiliki kadar
nitrat antara 1 – 5 mg/l, dan perairan eutrof memiliki kadar nitrat yang berkisar
antara >5 – 50 mg/l (Vollenweider, 1969 in Nontji, 1984).
IV.8.1.2.5. Ortofosfat (O-PO4)
Ortofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara
langsung oleh tumbuhan akuatik. Setelah masuk ke dalam tumbuhan, misalnya
fitoplankton, fosfat anorganik mengalami perubahan menjadi organofosfat. Fosfat
yang berikatan dengan ferri (Fe2(PO4)3) bersifat tidak larut dan mengendap di dasar
perairan. Pada saat terjadi kondisi anaerob, ion besi valensi tiga (ferri) ini
mengalami reduksi menjadi ion besi valensi dua (ferro) yang bersifat larut dan
melepaskan fosfat ke perairan (Brown, 1987 in Effendi, 2003). Keberadaan fosfor di
perairan alami biasanya relatif kecil, dengan kadar yang lebih sedikit daripada kadar
nitrogen; karena sumber fosfor lebih sedikit dibandingkan dengan sumber nitrogen
di perairan. Sumber alami fosfor di perairan adalah pelapukan batuan mineral.
Selain itu, fosfor juga berasal dari dekomposisi bahan organik. Sumber
antropogenik fosfor adalah limbah industri dan domestik, yakni fosfor yang berasal
dari deterjen. Limpasan dari daerah pertanian yang menggunakan pupuk juga
memberikan kontribusi yang cukup besar bagi keberadaan fosfor (Effendi, 2003).
Keberadaan fosfor secara berlebihan yang disertai dengan keberadaan nitrogen
dapat menstimulir ledakan pertumbuhan algae di perairan (algae bloom). Algae
yang melimpah ini dapat membentuk lapisan pada permukaan air, yang selanjutnya
dapat menghambat penetrasi oksigen dan cahaya matahari sehingga kurang
menguntungkan bagi ekosistem perairan (Boney, 1989 in Effendi, 2003).
Kandungan ortopospat di estuari Berau berkisar antara 0,0005 - 0,014
pada bulan Maret, bulan Mei 0,001 - 0,012, bulan Agustus berkisar antara 0,001 -
0,012 dan yan tertinggi terjadi pada bulan Oktober yaitu berkisar antara 0,006 -
0,259 (Gambar 36). Kisaran yang tertinggi ini terdapat di perairan Patumbuk yang
merupakan areal pertambakan. Vollenweider in Wetzel (1975) menyatakan bahwa
kandungan fosfor dalam air menggambarkan karakteristik kesuburan perairan.

74
Berdasarkan kadar ortofosfat, perairan diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: perairan
oligotrof yang memiliki kadar ortofosfat 0,003 – 0,001 mg/l, perairan mesotrof yang
memiliki kadar ortofosfat 0,011 – 0,003 mg/l, dan perairan eutrof yang memiliki
kadar ortofosfat 0,031 – 0,01 mg/l.

Gambar 36. Nilai kadar ortopospat (O-PO4) berdasarkan bulan

Berdasarkan hasil penelitian Triyanto et al., 2012, kondisi kualitas air


perairan mangrove di Kabupaten Berau dicirikan oleh pH berkisar antara 7,14 -
8,15, kadar oksigen terlarut antara 4,22 - 7,47 mg/L dan nilai BOD5 mencapai 1,04 -
7,32 mg/L, temperature berkisar antara 28,6 - 33,9°C, salinitas antara 10,41 - 27,3
ppt dan status kesuburan perairan berdasarkan nilai TP adalah 0,061 mg/L, TN
adalah 3,285 mg/L dengan nilai maksimum ammonium mencapai 0,200 mg/L.
Kandungan klorofil-a mencapai 6,774 mg/m3. Tipe substrat perairan ada dua
kategori yaitu substrat berpasir dan lumpur berliat, dengan kandungan C substrat
berkisar antara 0,11 - 4,26% dan N substrat berkisar antara 0,01 - 0,31%.

75
V. Kesimpulan dan Saran
V.1. Kesimpulan
1. Biota hasil tangkapan dari empat kali pengambilan contoh (Februari, Mei, Agustus
dan Oktober) teridentifikasi sebanyak 111 spesies yang meliputi 51 famili

2. Perairan estuari Berau memiliki kualitas air yang cukup layak bagi kehidupan ikan
dan biota perairan lainnya. Perairan ini memiliki salinitas yang cukup tinggi dengan
kisaran 0 - 46‰ sehingga perairan ini merupakan sumber penangkapan udang
ekonomis penting. Disamping itu di perairan Berau berkembang budidaya tambak

3. Biodiversitas ikan cukup tinggi yaitu dengan ditemukannya 111 jenis ikan,
beberapa jenis diantaranya merupakan ikan ekonomis penting antara lain Ikan
Kerapu (Epinephelus coioides), Ikan Putih (Pomadasys kaakan) dan Ikan Kakap
(Lutjanus malabaricus). Keberadaan ikan-ikan ini di perairan estuari Berau adalah
untuk mencari makan

4. Dari pengamatan stok ikan dengan menggunakan akustik didapatkan dugaan


biomassa ikan di perairan estuari Berau sebanyak 1,3 ton per km2. Jeni-jenis ikan
yang teridentifikasi tersebut sebagian besar berupa anak-anak ikan yang belum
tumbuh besar/ dewasa. Hal ini dibuktikan dengan percobaan penangkapan
menggunakan alat tangkap pukat tarik dan data dari hasil tangkapan nelayan
sehingga dapat disimpulkan bahwa perairan estuari Berau merupakan habitat
anakan ikan dan udang yang induk-induknya merupakan ikan laut

5. Dari pengamatan plankton didapatkan kelimpahan plankton berkisar antara 12 –


123 individu/ liter dan jumlah ini selalu berbeda antara bulan Maret, Mei, Agustus
dan Oktober. Adanya perbedaan ini disebabkan adanya perubahan musim. Indeks
keanekaragaman plankton berkisar antara 0,83 – 2,29 dengan kategori rendah
hingga sedang

6. Kepadatan makrozoobentos berkisar antara 0 – 5000 individu per m2 dengan


kepadatan yang lebih tinggi ke arah laut. Hasil perhitungan Indeks
keanekaragaman makrozoobentos berkisar antara 0 – 2,9 dengan kategori rendah
sampai sedang

76
V.2. Saran
Untuk lanjutan penelitian ini diperlukan penelitian biologi beberapa jenis ikan
dan udang. Selain itu pengamatan menggunakan akustik terhadap biota perairan
lainnya tetap dilanjutkan.

77
DAFTAR PUSTAKA

Afriansyah, A., 2009. Konsentrasi Kadmium (Cd) dan Tembaga (Cu) dalam air, seston,
kerang dan fraksinasinya dalam sedimen di Perairan Delta Berau, Kalimantan
Timur. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. 88 hal.

Aksornkoae S.1993. Ecology and management of mangroves. Bangkok. IUCN. 176 p.

Arifin, Z., S.P. Situmorang & K. Booij, 2010. Geochemistry og heavy metals (Pb, Cr and
Cu) in sediment and benthic communities of Berau Delta, Indonesia. Coastal
Marine Science 34 (1): 205-211.

Barnes, R.S.K. & R.N. Hughes, 1999. An Introduction to Marine Ecology. 3rd Edition.
Blackwell Science Ltd. London.

Bengen, D.G., 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya
Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. 86 pp.

Bengen, D.G., 2001. Sinopsis: Ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut serta
prinsip pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisisr dan Lautan, Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 61 hlm.
Bengen, D.G., 2003. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. PKSPL. IPB. Bogor.

Bengen, D.G., 2004. Pedoman teknis pengenalan dan pengelolaan ekosistem mangrove.
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisisr dan Lautan, Institut Pertanian Bogor.Bogor.

BPS, 2010. Berita Resmi Statistik. No. 45/07/th XIII. 1 Juli 2010.

Brower, J.E., J.H. Zar & C.N.V. Ende, 1990. Field and Laboratory Method for General
Ecology. 3rd Wim. C. Brown Co Publisher. Dubuque, Lowa. 237 p.

Butet, N.A., 1997. Distribution of Quahog Larvae Along A North – South Transect in
Naragansett Bay [tesis]. University of Rhode Island. Kingston. Rhode Island.

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. Pedoman Pengelolaan Ekosistem


Mangrove.DepartemenKelautandanPerikanan(DKP).Jakarta.123 hlm.

Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Timur, 2013. Kegiatan Penyusun
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir & Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi
Kalimantan Timur. Bidang Kelautan dan Pulau-Pulau Kecil dan Pengawasan SDI.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hal.

Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hal.

Effendie, M.I., 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 p.

78
Effendie, M.I., 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. 163 pp.

Gayanilo, F.C. & D. Pauly, 1997. FAO-ICLARM stock assessment tools. Reference
manual. FAO Computerized information series fisheries. Food and Agriculture
Organization of The United Nations. Rome. 261 p.

Handayani, S. & Patria, M.P, 2005. Komunitas Zooplankton di Perairan Waduk Krenceng,
Cilegon, Banten. Makra sains Vol.9. No.2: 75-80.

Hannachi, M. S., L. B. Abdallah, & O. Marrakchi. 2004. Acoustic Identification of Small


Pelagic Fish Species: Target Strength Analysis and School Descriptor
Classification. MedSudMed Technical Documents No.5.

Herry, 1998. Struktur Populasi Anadara spp. Secara Spasial dan Hubungannya dengan
Gradien Lingkungan di Perairan Teluk Lada, Desa Mekarsari, Pandeglang, Jawa
Barat.

Hutabarat, S & S.M. Evans., 1983. Pengantar Oseanografi. Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Jakarta.

James, P.S.B.R., 1984. Leiognathidae. In W. Fischer and G. Bianchi (eds.) FAO species
identification sheets for fishery purposes. Western Indian Ocean (Fishing Area 51).
Vol. 2. FAO, Rome. pag. var.

Kailola, P.J., 1987. The fishes of Papua New Guinea: a revised and annotated checklist.
Vol.II Scorpaenidae to Callionymidae. Research Bulletin No.41, Research Section,
Dept. of Fisheries and Marine Resources, Papua New Guinea.

Kennish, M.J., 1994. Practical Handbook of Marine Science, Second Edition. CRC. Press.
Inc. Boca Raton.

Kompas, 2008. Kabupaten Berau. http//:www.kompas.com/kabupaten_berau.htm [25 Mei


2008].

Kompas. Com. 2003. 4.000 Hektar Hutan Mangrove Delta Berau Habis Dibabat.
http://www. kompas.com/kompas-cetak/0310/21/daerah/636741.htm (diunduh
tanggal 28 Agustus 2011).

Krebs, C.J., 1972. Ecology the Experimental Analysis of Distribution and Abudance. New
York: Harper and Row Pubication.

Krebs, C.J., 1989. Ecological Methodology. Harper Collins Publisher. Inc. New York. 654
p.

Krebs, C.S., 1989. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance.
Harper and Row Publication. New York. 694 p.

Kusmana C,S. Wilarso, I. Hilwan, P. Pamoengkas, C. Wibowo, T. Tiryana, A. Triswanto,


Yunasfi & Hamzah, 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan.
IPB.

79
Latuconsina, H., M.N. Nessa & R.A. Rappe, 2012. Komposisi Spesies dan Struktur
Komunitas Ikan Padang Lamun di Perairan Tanjung Tiram – Teluk Ambon Dalam.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol.4. No.1, Juni 2012. Hal. 35-46.

MacLennan, D.N & Simmonds. 1992. Fisheries Acoustic. Chapman and Hall.London. 325
p.

Magurran, A.E., 1988. Ecological Diversity and its measurements. Princeton University
Press. 179 pp.

Nasir, N.A., 2000. The food and feeding relationships of the fish communities in the
inshore waters of Khor Al-Zubair, northwest Arabian Gulf. Cybium 24(1):89-99.

Natsir, M., B. Sadhotomo, & Wudianto. 2005. Pendugaan biomassa ikan pelagis di
perairan Teluk Tomini dengan metode akustik bim terbagi. Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia. 11 (6): 101-107.

Nontji, A., 1984. Biomassa dan Produktivitas Fitoplankton di Perairan Teluk Jakarta Serta
Kaitannya dengan Faktor-Faktor Lingkungan [disertasi]. Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nontji, A., 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.

Nontji, A., 2005. Laut Nusantara. Edke-4. Djambatan. Jakarta. 356 hlm.

Nybakken, J.W., 1986. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. Diterjemahkan oleh: M.
Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, Malikusworo dan Sukristrijono. Cetakan
Pertama. PT. Gramedia Jakarta.

Odum, E.P., 1971. Fundamentals of Ecology. Third Edition. W.B. Sounders Co.
Philadelphia and London. 574 p.

Odum, E.P., 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Diterjemahkan oleh T. Samingan.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 697 hal.

Pauly, D., 1980. A Selection of sample Methods for The Stock Assesment of Tropical Fish
Stock. FAO. Fish. Circ. (729): 54 p.

Pauly, D., 1984. Some Simple Methods for the Assessment of Tropical Fish Stock. FAO.
52 p.

Prianto, E. & N.K. Suryati, 2010. Komposisi Jenis dan Potensi Sumber Daya Ikan di
Muara Sungai Musi. JPPI. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan
dan Perikanan. Vol.16 No.1. Jakarta. hal 1-81.

Prianto, E; Husnah, S. Nurdawaty dan A. Muaka. 2006. Komposisi Jenis dan Keragaman
Plankton di Perairan Umum Bersifat Asam Pulau Bangka. Seminar Nasional
Forum Perairan Umum Indonesia III. Pusat Riset Perikanan Tangkap.

Rahardjo, M. F., 2006. Biologi Reproduksi Ikan Blama, Nibea Soldado (Lac.) (Famili
Sciaenidae) di Perairan Pantai Mayangan Jawa Barat. Jurnal Ichthyos, Vol.5,
No.2, Juli 2006: 63-68 hal.

80
Rahardjo, M.F. & P.H. Simanjuntak, 2005. Komposisi Makanan Ikan Tetet, Johnius
belangerii Cuvier (Pisces: Sciaenidae) di Perairan Pantai Mayangan, Jawa Barat.
Jurnal Ilmu Kelautan. Juni 2005. Vol.10(2): 68-71.

Simanjuntak, P.H., Sulistiono, M.F. Rahardjo & A. Zahid, 2011. Iktiodiversitas di Perairan
Teluk Bintuni, Papua Barat. Jurnal Iktiologi Indonesia. 11(2): 107-126.

Snedaker, S.C. & J.G. Snedaker, 1984. The mangrove ecosystem: research methods. Hal
91-114. The Chaucer press ltd. Bungay. United Kingdom. xv+251 p.

Sparre, P. & S.C. Venema, 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku 1; Manual.
FAO, Puslitbang Perikanan, Badan Litbang Pertanian Jakarta. 438 hal.

Steel, R.G.D. & J.H. Torrie, 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika suatu Pendekatan
Biometrik. Jakarta: Gramedia. 748 h.

Sugiharto, E., Salmani & B.I. Gunawan, 2013. Studi tingkat kesejahteraan masyarakat
nelayan di Kampung Gurimbang Kecamatan Sambaliung Kabupaten Berau (Study
on welfare level of fishing community at Gurimbang Village, Sambaliung
Subdistrict of Berau). Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18 (2): 68-74.

Triyanto, N.I., Wijaya, I. Yuniarti, T. Widiyanto, F. Setiawan & F.S. Lestari, 2012. Habitat
Condition of Mud Crab (Scilla serrata) in Berau Mangrove Area, East Kalimantan.
International Conference on Indonesian Inland Waters III. Balai Riset Perikanan
Perairan Umum - KKP; 8 November 2012 (dalam penerbitan).

Udupa, K.S., 1986. Statistical methods of estimating the size at first maturity in fishes.
Fishbyte 4(2): 8-10.

Walford, JT., & T.J. Lam. 1993. Development of Digestive tract and proteolitic enzyme
activity in seabass (Lates calcarifer) Larvae and juveniles. Aquaculture.

Wetzel, R.G. 2001. Limnologi: Lake and river Ecosystem. Academic Press, Third edition.

Wibisono, M.S., 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Gramedia. Jakarta. 224 hal.

Wiryawan, B., M. Khazali, & M. Knight (eds.), 2005. Menuju Kawasan Konservasi Laut
Berau, Kalimantan Timur: Status sumberdaya pesisir dan proses
pengembangannya. Program Bersama Kelautan Berau TNC-WWF-Mitra Pesisir/
CRMP II USAID. Jakarta. 128 hal.

81
Lampiran 1. Jenis-jenis hasil tangkapan
St.1 St.2 St.3 St.4 St.5 St.6 St.7 St.8 St.9 St.10 Total
No. Famili Spesies Nama Lokal
(gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram)
1 Ambassidae Ambassis vachellii Kaca
141,0 656,0 797,0
2 Anostomidae Anostomus anostomus Ikan Cerutu
35,0 313,0 348,0
3 Apogonidae Ostorhinchus kiensis
50,0 78,0 4,9 132,9
4
Ariidae Hexanematichthys sagor Dukang 534,0 123,0 1.004,0 301,0 10,0 194,0 78,0 2.244,0
5
Arius maculatus Dukang 473,0 637,0 1.110,0
6
Arius oetik Bleeker Utik 310,0 401,0 457,0 1.168,0
7
Arius venosus Dukang 101,9 10,0 307,0 418,9
8
Bagridae Hemibagrus nemurus Baung 14,0 14,0
Engyprosopon
9
Bothidae grandisquama Sebelah 9,0 333,0 342,0
10
Carangidae Alectis indica 24,0 13,8 37,8
11
Alepes djedaba 22,0 22,0
12
Atule mate Selar 30,5 11,6 7,0 1.472,0 1.521,1
13
Decapterus macrosoma 1.738,0 1.738,0
14
Megalaspis cordyla Kaca 48,5 38,0 96,0 12,4 136,0 194,0 565,0 1.089,9
15
Parastromateus niger Bawal hitam 55,0 55,0
Selar ekor
16
Selaroides leptolepis kuning 77,0 77,0
1
17
Ulua aurochs Bete sirip pjg 20,0 2,1 22,1
18
Ulua mentalis Cale-cale 590,0 4,0 62,0 656,0
19
Clupeidae Amblygaster sirm 232,0 232,0
20
Anodontostoma chacunda Lopa 1.409,0 3,0 855,0 547,0 921,0 53,0 3.788,0
21
Cynoglossidae Cynoglossus lingua Lidah panjang 296,0 165,0 62,0 99,0 622,0
22
Paraplagusia bilineata Tambal 132,0 132,0
23
Dasyatidae Himantura toshi Pari tutul 430,0 430,0
24
Drepaneidae Drepane longimana Bulan garis 4,6 338,0 40,0 382,6
25
Drepane punctata Bulan bintik 74,0 8,0 3,0 82,0 190,0 1,8 358,8
26
Dussumieriidae Dussumieria elopsoides Sarden 186,0 14,9 200,9
27
Engraulidae Coilia lindmani Bulu ayam 559,0 4.191,0 155,0 92,1 453,0 1.114,0 2.089,9 8.654,0
28
Stolephorus indicus Teri Indian 12,8 4,0 16,8
29
Thryssa hamiltonii Puput 61,0 61,0
30
Thryssa setirostris Bilis 3,0 14,0 17,0
31
Gerreidae Gerres filamentosus Bete muncung 60,0 366,0 1.847,0 496,0 328,0 11,0 399,0 3.507,0
32
Gerres oyena Mata besar 152,0 1.314,4 1.466,4
33
Pentaprion longimanus 76,0 76,0
34
Gobiidae Bathygobius cocosensis 20,0 20,0

2
35
Eviota infulata 8,0 8,0 16,0
36
Haemulidae Pomadasys kaakan Kakap Putih 450,0 220,0 670,0
37
Lactariidae Lactarius lactarius Kapas-kapas 252,0 12,0 189,0 453,0
38
Leiognathidae Equulites moretoniensis Bete-bete 1.608,0 372,0 93,0 513,0 1,0 15,0 2.602,0
39
Equulites elongatus Bete panjang 134,0 134,0
40
Gazza minuta Bete bintik 2.958,1 48,0 5,0 486,0 6,9 3.504,0
41
Leiognathus equulus Petek 111,5 155,0 24,0 1.695,3 1.985,8
42
Leiognathus longispinis Bete bete 71,0 71,0
Bete list
43
Photopectoralis bindus kuning 5,0 15.654,0 10.038,0 846,0 26.543,0
44
Secutor ruconius Bete belang 66,6 363,9 4,0 56,0 416,0 9.622,0 444,0 10.972,5
45
Loliginidae Loligo pickfordi Cumi-cumi 15,5 63,0 57,0 34,4 28,0 21,0 12,3 231,2
46
Loliolus beka Cumi-cumi 15,0 15,0
47
Uroteuthis duvaucelii Cumi-cumi 19,0 19,0
48
Lutjanidae Lutjanus malabaricus Kakap 208,0 14,2 14.075,0 14.297,2
49
Mullidae Upeneus asymmetricus Kuniran 145,0 27,0 172,0
50
Upeneus sulphureus 9,0 60,0 69,0
51
Muraenesocidae Oxyconger leptognathus Belut laut 30,0 30,0
52
Nemipterus furcosus 796,7 796,7

3
53
Nemipterus nematopus 893,0 893,0
54
Nemipterus nemurus Nangka 25,0 84,0 109,0
55
Palaemonidae Macrobrachium equidens Udang buku 101,0 20,0 18,3 25,7 6,4 171,3
56
Macrobrachium rosenbergii Udang Galah 173,4 173,4
57
Palinuridae Panulirus cygnus Lobster 64,9 64,9
58
Pangasiidae Pangasius nasutus Patin 76,0 76,0
59
Paralichthyidae Pseudorhombus arsius Sebelah 26,5 57,0 83,5
60
Penaeidae Fenneropenaeus indicus 215,1 40,0 255,1
Udang ekor
61
Metapenaeus bennettae hijau 18,0 18,0
62
Metapenaeus dobsoni Udang Kuning 102,0 54,9 156,9
63
Metapenaeus ensis Udang Brown 332,0 40,0 915,0 136,0 1,3 70,4 1.494,7
64
Metapenaeus lysianassa 123,0 2,1 125,7 15,0 12,0 40,9 2,1 64,2 385,0
65
Metapenaeus tenuipes Udang bintik 186,0 653,0 11,0 413,0 40,0 25,0 1.328,0
66
Parapenaeopsis sculptilis Udang loreng 4,0 692,0 1.940,0 662,7 1.847,0 899,0 1.006,6 7.051,3
67
Percophidae Bembrops platyrhynchus 67,0 67,0
68
Platycephalidae Rogadius asper 121,0 25,0 25,0 4,1 175,1
69
Plotosidae Paraplotosus albilabris Sembilang 16,0 16,0
70
Polynemidae Polydactylus plebeius 49,0 211,0 9,0 269,0

4
71
Portunidae Charybdis affinis Kepiting 4,0 4,0 8,0
Kepiting
72
Charybdis annulata renang 65,0 227,0 292,0
73
Charybdis feriatus Kepiting 124,0 124,0
74
Portunus pelagicus Rajungan 3,0 49,7 52,7
Kepiting
75
Scylla serrata Bakau 117,0 117,0
76
Pristigasteridae Ilisha striatula Mata galak 25,0 74,6 13,0 372,0 484,6
77
Opisthopterus tardoore 406,0 406,0
78
Pellona ditchela Tembang 116,0 116,0 146,0 25,9 150,0 553,9
79
Rhabdodemaniidae Rhabdodemania gracilis 7,0 7,0
80
Scatophagidae Scatophagus argus Kiper 76,8 2,0 78,8
81
Sciaenidae Johnius amblycephalus Gulama 13.751,6 493,0 6.026,0 2.603,0 22.873,6
82
Johnius belangerii Gulama keken 359,0 49,0 62,0 470,0
83
Johnius borneensis Little jewfis 12,0 12,0 24,0
84
Johnius coitor Gulama 980,0 3.038,3 143,8 1.122,0 2.315,0 522,0 3.439,3 11.560,4
85
Johnius macropterus Gulama 11.565,0 1.690,0 7.333,0 202,0 20.790,0
86
Otolithes ruber Gulama 69,0 1.039,0 1.108,0
87
Pennahia anea 150,0 150,0 300,0
88
Pennahia pawak 244,0 244,0

5
89
Protonibea diacanthus 64,0 64,0
90
Scorpaenidae Pterois russelii 1,3 1,3
91
Sepiidae Sepia officinalis Sotong 11,0 11,0
92
Sepiella weberi Sotong 121,0 3.582,0 43,4 3.746,4
93
Serranidae Epinephelus coioides Kerapu 1.088,0 1.088,0 460,0 34,0 3.116,0 5.786,0
Bete grs
94
Siganidae Siganus canaliculatus kuning 495,0 495,0 990,0
95
Sillaginidae Sillago sihama 36,0 36,0
96
Soleidae Dexillus muelleri Lidah 167,0 234,0 12,0 155,0 9,0 220,0 72,0 869,0
97
Solenoceridae Solenocera australiana Udang merah 21,0 21,0
98
Squillidae Cloridopsis scorpio Udang kipas 12,6 119,0 384,8 82,9 599,3
99
Stromateidae Pampus argenteus Bawal 18,0 18,0
100
Synodontidae Harpadon nehereus Lome 1,0 1,0
101
Saurida micropectoralis 283,0 283,0 536,0 1.102,0
102
Saurida undosquamis Benus 24,7 24,7
103
Synodontidae Synodus dermatogenys 17,2 17,2
Pemukul
104
Synodus indicus bedug 397,1 41,0 58,0 496,1
105
Synodus sageneus 105,0 105,0
106
Terapontidae Terapon theraps 4,0 13,0 17,0
6
Buntal list
107
Tetraodontidae Canthigaster solandri biru 44,3 44,3
108
Tetraodon nigroviridis Buntal hijau 7,0 16,0 40,0 15,0 7,0 85,0
109
Torquigener hicksi Buntal 122,8 394,6 19,8 23,0 62,0 244,0 316,5 352,4 1.535,1
110
Triacanthidae Pseudotriacanthus strigilifer Tunjang langit 53,6 53,6
111
Trichiuridae Trichiurus lepturus Layur 3,0 2,0 35,0 64,0 32,0 48,0 184,0
111 Jumlah 17.368,3 25.941,2 15.150,1 3.214,0 17.934,0 23.427,4 31.990,0 5.710,5 11.022,3 24.451,2 176.209,0

7
8
Lampiran 2. Jenis-jenis hasil tangkapan, Trip 1 (Februari 2015)
St.1 St.2 St.3 St.4 St.5 St.6 St.7 St.8 St.9 St.10 Total
No. Famili Spesies Nama Lokal
(gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram)

1 Ariidae Hexanematichthys sagor (Hamilton, 1822) Dukang 1,0 42,0 272,0 10,0 325,0

2 Bothidae Engyprosopon grandisquama (Temminck & Schlegel, 1846) Sebelah 106,0 106,0

3 Carangidae Alectis indica (Rüppell, 1830) 12,0 12,0

4 Alepes djedaba (Forsskål, 1775) 11,0 11,0

5 Atule mate (Cuvier, 1833) Selar 7,0 7,0

6 Decapterus macrosoma (Bleeker, 1851) 869,0 869,0

7 Megalaspis cordyla (Linnaeus, 1758) Kaca 22,0 31,0 48,0 0,4 56,0 97,0 254,4

8 Parastromateus niger (Bloch, 1795) Bawal hitam 55,0 55,0


Bete sirip
9 Ulua aurochs (Ogilby, 1915) panjang 4,0 2,0 6,0

10 Ulua mentalis (Cuvier, 1833) Cale-cale 295,0 62,0 357,0

11 Clupeidae Amblygaster sirm (Walbaum, 1792) 116,0 116,0

12 Anodontostoma chacunda (Hamilton, 1822) 257,0 257,0

13 Cynoglossidae Cynoglossus lingua (Hamilton, 1822) Lidah panjang 296,0 165,0 461,0

14 Drepaneidae Drepane longimana (Bloch & Schneider, 1801) Bulan garis 169,0 20,0 189,0

15 Drepane punctata (Linnaeus, 1758) Bulan 2,0 8,0 190,0 200,0

16 Engraulidae Coilia lindmani (Bleeker, 1857) Bulu ayam 5,0 3.741,0 86,0 86,0 3.918,0
1
17 Thryssa setirostris (Broussonet, 1782) Bilis 3,0 3,0

18 Gerreidae Gerres filamentosus (Cuvier, 1829) 8,0 164,0 172,0

19 Gerres oyena (Forsskål, 1775) Mata besar 76,0 76,0

20 Pentaprion longimanus (Cantor, 1849) 34,0 34,0

21 Gobiidae Bathygobius cocosensis (Bleeker, 1854) 10,0 10,0

22 Lactariidae Lactarius lactarius (Bloch & Schneider, 1801) Kapas-kapas 126,0 126,0

23 Leiognathidae Equulites elongatus (Günther, 1874) Bete panjang 67,0 67,0

24 Equulites moretoniensis (Ogilby, 1912) Bete-bete 629,0 186,0 815,0

25 Gazza minuta (Bloch, 1795) Bete bintik 48,0 48,0

26 Photopectoralis bindus (Valenciennes, 1835) Bete list kuning 5,0 7.827,0 4.639,0 12.471,0

27 Secutor ruconius (Hamilton, 1822) Bete belang 4,0 28,0 208,0 4.811,0 222,0 5.273,0

28 Loliginidae Loligo pickfordi (Adam, 1954) Cumi-cumi 13,0 12,0 14,0 39,0

29 Lutjanidae Lutjanus malabaricus (Bloch & Schneider, 1801) Kakap 3.339,0 3.339,0

30 Nemipteridae Nemipterus nematopus (Bleeker, 1851) 212,0 212,0

31 Palaemonidae Macrobrachium equidens (Dana, 1852) Udang buku 14,7 14,7

32 Penaeidae Metapenaeus dobsoni (Miers, 1878) Udang Kuning 102,0 39,0 141,0

33 Metapenaeus ensis (De Haan, 1844) Udang Brown 332,0 18,0 42,0 392,0

34 Metapenaeus lysianassa (De Man, 1888) 6,0 3,0 9,0

2
35 Metapenaeus tenuipes (Kubo, 1949) 117,0 625,0 742,0

36 Parapenaeopsis sculptilis (Heller, 1862) Udang loreng 4,0 304,0 695,0 227,0 374,5 331,0 1.935,5

37 Percophidae Bembrops platyrhynchus (Alcock, 1894) 67,0 67,0

38 Polynemidae Polydactylus plebeius (Broussonet, 1782) 12,0 45,0 57,0

39 Portunidae Charybdis annulata (Fabricius, 1798) Kepiting renang 65,0 65,0

40 Charybdis affinis (Dana, 1852) Kepiting 4,0 4,0

41 Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) Kepiting Totol 3,0 3,0

42 Scylla serrata (Forsskål, 1775) Kepiting Bakau 117,0 117,0

43 Pristigasteridae Ilisha striatula (Wongratana, 1983) Mata galak 27,0 186,0 213,0

44 Opisthopterus tardoore (Cuvier, 1829) 406,0 406,0

45 Pellona ditchela (Valenciennes, 1847) Tembang 116,0 116,0

46 Sciaenidae Johnius borneensis (Bleeker, 1851) Little jewfis 12,0 12,0

47 Johnius macropterus (Bleeker, 1853) Gulama 65,0 1.690,0 5.000,0 202,0 6.957,0

48 Johnius coitor (Hamilton, 1822) Gulama 881,0 748,0 276,0 1.905,0

49 Pennahia anea (Bloch, 1793) 150,0 150,0

50 Pennahia pawak (Lin, 1940) 122,0 122,0

51 Protonibea diacanthus (Lacepède, 1802) 32,0 32,0


Cumi-cumi
52 Sepiidae Sepiella weberi (Adam, 1939) besar 1.085,0 1.085,0

3
53 Serranidae Epinephelus coioides (Hamilton, 1822) Kerapu 1.088,0 230,0 1.558,0 2.876,0
Bete garis
54 Siganidae Siganus canaliculatus (Park, 1797) kuning 495,0 495,0

55 Soleidae Dexillus muelleri (Steindachner, 1879) Lidah 167,0 173,0 17,0 357,0

56 Squillidae Cloridopsis scorpio (Latreile, 1828) Udang kipas 24,0 8,0 32,0

57 Stromateidae Pampus argenteus (Euphrasen, 1788) Bawal 9,0 9,0

58 Synodontidae Harpadon nehereus (Hamilton, 1822) Lome 1,0 1,0

59 Saurida micropectoralis (Shindo & Yamada, 1972) 283,0 268,0 551,0

60 Synodus indicus (Day, 1873) Pemukul bedug 29,0 29,0

61 Synodus sageneus (Waite, 1905) 105,0 105,0

62 Tetraodontidae Torquigener hicksi (Hardy, 1983) Buntal 13,0 2,0 23,0 31,0 122,0 153,0 2,0 346,0

63 Trichiuridae Trichiurus lepturus (Linnaeus, 1758) Layur 3,0 2,0 5,0


63 Jumlah 180,0 7.689,0 7.969,0 1.925,7 1.354,5 11.486,4 10.894,0 1.380,0 1.109,0 5.192,0 49.179,6

4
5
Lampiran 3. Jenis-jenis hasil tangkapan Trip 2 (Mei 2015)
St.1 St.2 St.3 St.4 St.5 St.6 St.7 St.8 St.9 St.10 Total
No. Famili No. Spesies Nama Lokal
(gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram)
1 Anostomidae 1 Anostomus anostomus Ikan Cerutu
35,0 313,0 348,0

2 Ariidae 2 Hexanematichthys sagor Dukang 533,0 81,0 502,0 194,0 78,0 1.388,0

3 Bagridae 3 Hemibagrus nemurus Baung 14,0 14,0

4 Carangidae 4 Megalaspis cordyla Kaca 3,0 7,0 24,0 34,0


Selar ekor
5 Selaroides leptolepis kuning 77,0 77,0
Bete sirip
6 Ulua aurochs panjang 16,0 16,0

5 Clupeidae 7 Anodontostoma chacunda Lopa 1.409,0 3,0 855,0 33,0 921,0 53,0 3.274,0

6 Cynoglossidae 8 Cynoglossus lingua Lidah panjang 62,0 62,0

7 Dasyatidae 9 Himantura toshi Pari tutul 430,0 430,0

8 Drepaneidae 10 Drepane punctata Bulan 82,0 82,0

9 Engraulidae 11 Coilia lindmani Bulu ayam 41,0 450,0 61,0 435,0 987,0

12 Thryssa hamiltonii Puput 61,0 61,0

13 Thryssa setirostris Bilis 14,0 14,0

10 Gerreidae 14 Gerres filamentosus Bete muncung 60,0 358,0 1.847,0 496,0 11,0 399,0 3.171,0

15 Pentaprion longimanus 8,0 8,0


11 Haemulidae 16 Pomadasys kaakan Kakap Putih

1
Totol 450,0 450,0

12 Lactariidae 17 Lactarius lactarius Kapas-kapas 189,0 189,0

13 Leiognathidae 18 Equulites moretoniensis Bete-bete 979,0 93,0 496,0 11,0 15,0 1.594,0

19 Gazza minuta Bete bintik 335,0 335,0

20 Leiognathus longispinis Bete bete 71,0 71,0

14 Loliginidae 21 Loligo pickfordi Cumi-cumi 63,0 33,0 96,0

22 Loliolus beka Cumi-cumi 15,0 15,0

23 Uroteuthis duvaucelii Cumi-cumi 19,0 19,0

15 Mullidae 24 Upeneus asymmetricus Kuniran 145,0 27,0 172,0

16 Muraenesocidae 25 Oxyconger leptognathus Belut laut 30,0 30,0

17 Nemipteridae 26 Nemipterus nemurus Nangka 25,0 84,0 109,0

18 Palaemonidae 27 Macrobrachium equidens Udang buku 18,0 20,0 38,0

19 Pangasiidae 28 Pangasius nasutus Patin 76,0 76,0

20 Penaeidae 29 Metapenaeus ensis Udang Brown 3,0 831,0 136,0 19,0 989,0

30 Metapenaeus tenuipes Udang bintik 69,0 28,0 11,0 413,0 40,0 25,0 586,0
Udang ekor
31 Metapenaeus bennettae hijau 18,0 18,0

32 Parapenaeopsis sculptilis Udang loreng 218,0 342,0 303,0 820,0 563,0 98,0 2.344,0

21 Portunidae 33 Charybdis annulata Kepiting renang 227,0 227,0

2
34 Charybdis feriatus Kepiting 124,0 124,0

22 Rhabdodemaniidae 35 Rhabdodemania gracilis 7,0 7,0

23 Scatophagidae 36 Scatophagus argus Kiper 2,0 2,0

24 Sciaenidae 37 Johnius amblycephalus Gulama 13.616,0 493,0 6.026,0 2.403,0 22.538,0

38 Johnius belangerii Gulama keken 359,0 49,0 62,0 470,0

39 Johnius macropterus Gulama 11.500,0 2.333,0 13.833,0

40 Otolithes ruber Gulama 69,0 1.039,0 1.108,0

25 Sepiidae 41 Sepia officinalis Sotong 11,0 11,0

26 Serranidae 42 Epinephelus coioides Kerapu 34,0 34,0

27 Soleidae 43 Dexillus muelleri Lidah 61,0 9,0 70,0

28 Solenoceridae 44 Solenocera australiana Udang merah 21,0 21,0

29 Squillidae 45 Cloridopsis scorpio Udang kipas 71,0 91,0 162,0

30 Tetraodontidae 46 Torquigener hicksi Buntal 352,0 352,0

47 Tetraodon nigroviridis Buntal hijau 14,0 9,0 15,0 7,0 45,0

31 Trichiuridae 48 Trichiurus lepturus Layur 64,0 48,0 112,0


31 Jumlah 48 12.092,0 15.354,0 6.080,0 943,0 10.650,0 2.587,0 6.224,0 471,0 939,0 525,0 55.865,0

3
4
Lampiran 4. Jenis-jenis hasil tangkapan Trip 3 (Agustus 2015)
St.1 St.2 St.3 St.4 St.5 St.6 St.7 St.8 St.9 St.10 Total
No. Famili Spesies Nama Lokal
(gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram)

1 Ariidae Arius venosus (Valenciennes, 1840) Dukang 67,9 10,0 77,9


Engyprosopon grandisquama (Temminck & Schlegel,
2 Bothidae 1846) Sebelah 106,0 106,0

3 Carangidae Alectis indica (Rüppell, 1830) 12,0 12,0

4 Alepes djedaba (Forsskål, 1775) 11,0 11,0

5 Decapterus macrosoma (Bleeker, 1851) 869,0 869,0

6 Megalaspis cordyla (Linnaeus, 1758) Kaca 48,0 12,0 56,0 97,0 565,0 778,0
Bete sirip
7 Ulua aurochs (Ogilby, 1915) panjang 0,1 0,1

8 Ulua mentalis (Cuvier, 1833) Cale-cale 295,0 4,0 299,0

9 Clupeidae Amblygaster sirm (Walbaum, 1792) 116,0 116,0

10 Anodontostoma chacunda (Hamilton, 1822) 257,0 257,0

11 Drepaneidae Drepane longimana (Bloch & Schneider, 1801) Bulan garis 169,0 20,0 189,0

12 Drepane punctata (Linnaeus, 1758) Bulan bintik 72,0 190,0 262,0

13 Engraulidae Coilia lindmani (Bleeker, 1857) Bulu ayam 485,0 485,0

14 Stolephorus indicus (van Hasselt, 1823) Teri Indian 5,0 5,0

15 Gerreidae Gerres filamentosus (Cuvier, 1829) 164,0 164,0

16 Gerres oyena (Forsskål, 1775) Mata besar 76,0 761,0 837,0


1
17 Pentaprion longimanus (Cantor, 1849) 34,0 34,0

18 Gobiidae Bathygobius cocosensis (Bleeker, 1854) 10,0 10,0

19 Lactariidae Lactarius lactarius (Bloch & Schneider, 1801) Kapas-kapas 126,0 126,0

20 Leiognathidae Equulites elongatus (Günther, 1874) Bete panjang 67,0 67,0

21 Equulites moretoniensis (Ogilby, 1912) Bete-bete 186,0 186,0


Bete list
22 Photopectoralis bindus (Valenciennes, 1835) kuning 7.827,0 4.639,0 12.466,0

23 Secutor ruconius (Hamilton, 1822) Bete belang 66,6 363,9 28,0 208,0 4.811,0 222,0 5.699,5

24 Loliginidae Loligo pickfordi (Adam, 1954) Cumi-cumi 12,0 14,0 26,0

25 Lutjanidae Lutjanus malabaricus (Bloch & Schneider, 1801) Kakap 10.736,0 10.736,0

26 Nemipteridae Nemipterus nematopus (Bleeker, 1851) 681,0 681,0

27 Penaeidae Metapenaeus ensis (De Haan, 1844) Udang Brown 42,0 42,0

28 Metapenaeus lysianassa (De Man, 1888) 52,0 112,6 6,0 3,0 173,6

29 Parapenaeopsis sculptilis (Heller, 1862) Udang loreng 156,0 877,0 71,4 374,5 331,0 1.809,9

30 Polynemidae Polydactylus plebeius (Broussonet, 1782) 12,0 45,0 57,0

31 Portunidae Charybdis affinis (Dana, 1852) Kepiting 4,0 4,0

32 Pristigasteridae Ilisha striatula (Wongratana, 1983) Mata galak 186,0 186,0

33 Pellona ditchela (Valenciennes, 1847) Tembang 116,0 116,0

34 Sciaenidae Johnius borneensis (Bleeker, 1851) Little jewfis 12,0 12,0


2
35 Johnius coitor (Hamilton, 1822) Gulama 938,0 697,3 276,0 1.911,3

36 Pennahia anea (Bloch, 1793) 150,0 150,0

37 Pennahia pawak (Lin, 1940) 122,0 122,0

38 Protonibea diacanthus (Lacepède, 1802) 32,0 32,0


Cumi-cumi
39 Sepiidae Sepiella weberi (Adam, 1939) besar 1.085,0 1.085,0

40 Serranidae Epinephelus coioides (Hamilton, 1822) Kerapu 1.088,0 230,0 1.558,0 2.876,0
Bete garis
41 Siganidae Siganus canaliculatus (Park, 1797) kuning 495,0 495,0

42 Soleidae Dexillus muelleri (Steindachner, 1879) Lidah 55,0 55,0

43 Squillidae Cloridopsis scorpio (Latreile, 1828) Udang kipas 24,0 8,0 32,0

44 Stromateidae Pampus argenteus (Euphrasen, 1788) Bawal 9,0 9,0

45 Synodontidae Saurida micropectoralis (Shindo & Yamada, 1972) 283,0 268,0 551,0
Pemukul
46 Synodus indicus (Day, 1873) bedug 29,0 29,0

47 Tetraodontidae Torquigener hicksi (Hardy, 1983) Buntal 31,0 122,0 153,0 2,0 308,0
47 Jumlah 1.609,5 1.289,2 989,6 71,4 3.498,5 9.354,0 10.903,0 1.373,0 1.109,0 14.358,1 44.555,2

3
4
Lampiran 5. Jenis-jenis hasil tangkapan Trip 4 (Oktober 2015)
St.1 St.2 St.3 St.4 St.5 St.6 St.7 St.8 St.9 St.10 Total
No. Famili Spesies Nama Lokal
(gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram)
1 Ambassidae Ambassis vachellii Richardson, 1846 Kaca
141,0 656,0 797,0
2 Apogonidae Ostorhinchus kiensis (Jordan & Snyder, 1901)
50,0 78,0 4,9 132,9
3
Ariidae Hexanematichthys sagor (Hamilton, 1822) Dukang 29,0 29,0
4
Arius maculatus (Thunberg, 1792) Dukang 473,0 637,0 1.110,0
5
Arius oetik Bleeker, 1846 Utik 310,0 401,0 457,0 1.168,0
6
Arius venosus (Valenciennes, 1840) Dukang 34,0 307,0 341,0
7
Bothidae Engyprosopon grandisquama (Temminck & Schlegel, 1846) Sebelah 9,0 121,0 130,0
8
Carangidae Alectis indica (Rüppell, 1830) 13,8 13,8
9
Atule mate (Cuvier, 1833) Selar 23,5 11,6 7,0 1.472,0 1.514,1
10
Megalaspis cordyla (Linnaeus, 1758) Kaca 23,5 23,5
11
Cynoglossidae Cynoglossus lingua (Hamilton, 1822) Lidah panjang 99,0 99,0
12
Paraplagusia bilineata (Bloch, 1787) Tambal 132,0 132,0
13
Drepaneidae Drepane longimana (Bloch & Schneider, 1801) Bulan garis 4,6 4,6
14
Drepane punctata (Linnaeus, 1758) Bulan bintik 3,0 1,8 4,8
15
Dussumieriidae Dussumieria elopsoides Bleeker, 1849 Sarden 186,0 14,9 200,9
16
Engraulidae Coilia lindmani (Bleeker, 1857) Bulu ayam 28,0 8,0 6,1 18,0 1.114,0 2.089,9 3.264,0
1
17
Stolephorus indicus (van Hasselt, 1823) Teri Indian 7,8 4,0 11,8
18
Gerreidae Gerres oyena (Forsskål, 1775) Mata besar 553,4 553,4
19
Gobiidae Eviota infulata (Smith, 1957) 8,0 8,0 16,0
Kakap Putih
20
Haemulidae Pomadasys kaakan (Cuvier, 1830) Totol 220,0 220,0
21
Lactariidae Lactarius lactarius (Bloch & Schneider, 1801) Kapas-kapas 12,0 12,0
22
Leiognathidae Equulites moretoniensis (Ogilby, 1912) Bete-bete 17,0 17,0
23
Gazza minuta (Bloch, 1795) Bete bintik 2.958,1 5,0 151,0 6,9 3.121,0
24
Leiognathus equulus (Forsskål, 1775) Petek 111,5 155,0 24,0 1.695,3 1.985,8
25
Photopectoralis bindus (Valenciennes, 1835) Bete list kuning 760,0 846,0 1.606,0
26
Loliginidae Loligo pickfordi (Adam, 1954) Cumi-cumi 2,5 34,4 21,0 12,3 70,3
27
Lutjanidae Lutjanus malabaricus (Bloch & Schneider, 1801) Kakap 208,0 14,2 222,2
28
Mullidae Upeneus sulphureus Cuvier, 1829 9,0 60,0 69,0
29
Nemipteridae Nemipterus furcosus (Valenciennes, 1830) 796,7 796,7
30
Palaemonidae Macrobrachium equidens (Dana, 1852) Udang buku 83,0 18,3 11,0 6,4 118,6
31
Macrobrachium rosenbergii (De Man, 1879) Udang Galah 173,4 173,4
32
Palinuridae Panulirus cygnus George, 1962 Lobster 64,9 64,9
33
Paralichthyidae Pseudorhombus arsius (Hamilton, 1822) Sebelah 26,5 57,0 83,5
34
Penaeidae Fenneropenaeus indicus (Milne-Edwards, 1837) 215,1 40,0 255,1
2
35
Metapenaeus dobsoni (Miers, 1878) Udang Kuning 15,9 15,9
36
Metapenaeus ensis (De Haan, 1844) Udang Brown 19,0 1,3 51,4 71,7
37
Metapenaeus lysianassa (De Man, 1888) 71,0 2,1 13,1 15,0 34,9 2,1 64,2 202,4
38
Parapenaeopsis sculptilis (Heller, 1862) Udang loreng 14,0 26,4 61,4 278,0 336,0 246,6 962,2
39
Platycephalidae Rogadius asper (Cuvier, 1829) 121,0 25,0 25,0 4,1 175,1
40
Plotosidae Paraplotosus albilabris (Valenciennes, 1840) Sembilang 16,0 16,0
41
Polynemidae Polydactylus plebeius (Broussonet, 1782) 25,0 121,0 9,0 155,0
42
Portunidae Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) Rajungan 49,7 49,7
43
Scylla serrata (Forsskål, 1775) Kepiting Bakau 1,8 50,0 19,3 202,0 273,1
44
Pristigasteridae Ilisha striatula (Wongratana, 1983) Mata galak 25,0 47,6 13,0 85,6
45
Pellona ditchela (Valenciennes, 1847) Tembang 146,0 25,9 150,0 321,9
46
Scatophagidae Scatophagus argus (Linnaeus, 1766) Kiper 76,8 76,8
47
Sciaenidae Johnius amblycephalus (Bleeker, 1855) Gulama 135,6 200,0 335,6
48
Johnius coitor (Hamilton, 1822) Gulama 42,0 1.460,0 143,8 374,0 1.763,0 522,0 3.439,3 7.744,1
49
Scorpaenidae Pterois russelii Bennett, 1831 1,3 1,3
Cumi-cumi
50
Sepiidae Sepiella weberi (Adam, 1939) besar 121,0 327,0 43,4 491,4
51
Sillaginidae Sillago sihama (Forsskål, 1775) 36,0 36,0
52
Soleidae Dexillus muelleri (Steindachner, 1879) Lidah 12,0 155,0 220,0 387,0

3
53
Squillidae Cloridopsis scorpio (Latreile, 1828) Udang kipas 12,6 277,8 82,9 373,3
54
Synodontidae Synodus dermatogenys Fowler, 1912 17,2 17,2
55
Saurida undosquamis (Richardson, 1848) Benus 24,7 24,7
56
Synodus indicus (Day, 1873) Pemukul bedug 397,1 41,0 438,1
57
Terapontidae Terapon theraps Cuvier, 1829 4,0 13,0 17,0
58
Tetraodontidae Canthigaster solandri (Richardson, 1845) Buntal list biru 44,3 44,3
59
Torquigener hicksi (Hardy, 1983) Buntal 122,8 29,6 17,8 10,5 348,4 529,0
60
Tetraodon nigroviridis (Marion de Procé, 1822) Buntal bintik 7,0 2,0 31,0 40,0
61
Triacanthidae Pseudotriacanthus strigilifer (Cantor, 1849) Tunjang langit 53,6 53,6
62
Trichiuridae Trichiurus lepturus (Linnaeus, 1758) Layur 35,0 32,0 67,0
62 Jumlah 4.597,5 1.781,9 1.270,1 574,9 2.760,9 - 4.365,0 2.109,5 8.600,2 4.376,0 30.436,1

4
Lampiran 6. Biomassa ikan di estuari Berau

Nilai TS (dB) -51 -50 -49 -48 -47 -46 -45 -44 -43 -42 -41 -40 -39 -38 Total
Panjang (cm) 14,1 15,8 17,7 19,9 22,3 25,0 28,1 31,5 35,4 39,7 44,5 49,9 56,0 62,9
Bobot (gram) 31,2 45,7 66,9 97,9 143,4 209,9 307,3 450,0 658,9 964,8 1412,6 2068,4 3028,5 4434,3
Komposisi
1 1 2 1 8 10 17 22 12 11 8 6 1 1 100,0
individu (%)
Biomassa (Kg) 279 394 1111 784 8.859 15.634 39.727 71.662 57.182 74.515 70.130 74.253 17.471 24.664 456.665,9

Biomassa (Ton) 0,3 0,4 1,1 0,8 8,9 15,6 39,7 71,7 57,2 74,5 70,1 74,3 17,5 24,7 456,7

Kepadatan stok
2 0,00 0,00 0,00 0,00 0,02 0,04 0,11 0,20 0,16 0,21 0,20 0,21 0,05 0,07 1,3
(ton/ km )

5
Lampiran 7. Hasil pengamatan fitoplankton Trip 1 (Februari 2015)
STASIUN PENGAMATAN Trip I

KODE SAMPEL 07
NO JENIS PLANKTON KELAS No GENUS
STASIUN PENGAMATAN Phytoplankton
St.1 St.2 St.3 St.4 St.5 St.6 St.7 St.8 St.9 St.10

1 PHYTOPLANKTON Bacillariophyceae 1 Diatoma * 3 4 14 8 0 7 6 12 13 6


2 2 Cyclotella * 22 12 17 27 6 12 28 13 33 39
3 3 Synedra * 4 23 4 8 15 61 10 51 9 37
4 4 Stephanodiscus * 0 14 46 0 0 11 0 6 27 0
5 5 Chaetoceras* 0 54 0 21 0 14 12 58 29 21
6 6 Asterionella* 0 55 0 0 0 32 4 12 22 8
7 7 Coscinodiscus* 6 28 43 13 25 4 2 5 0 3
8 8 Biddulphia * 0 0 0 9 13 13 4 9 8 0
9 9 Cymbella* 0 8 0 1 0 0 0 0 0 0
10 10 Melosira* 8 32 16 0 10 0 5 0 0 11
11 11 Actinella* 0 24 0 0 0 0 0 0 0 0
12 12 Lauderia* 0 0 0 0 0 0 0 18 0 0
13 13 Eunotia venesis* 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0
14 14 Surirela* 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4
15 Chlorophyceae 1 Ulotrix * 0 54 0 0 84 0 0 15 235 75
16 2 Closterium * 3 75 7 4 2 3 0 7 9 7
17 3 Mougeotia * 9 0 0 20 14 0 3 0 4 12
18 4 Tetraedron* 0 2 8 0 0 0 0 0 0 0
19 5 Anabaena* 0 0 0 0 0 70 0 0 0 0
Treubaria
20 6 setigerum* 0 13 0 0 0 0 0 0 0 0
Schroederia
21 7 ancora* 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0
22 8 Chodatella* 0 0 0 6 0 4 3 3 0 0
23 9 Pleodorena* 0 0 0 0 30 0 0 0 0 0
24 10 Xanthidium* 0 0 0 0 0 8 0 0 0 0
25 11 Scnedesmus* 7 0 0 0 0 0 0 0 0 0
26 12 Spondylosium* 0 0 0 0 0 0 0 0 0 33
27 Cyanophiceae 1 Sphaerocystis* 0 0 9 0 0 0 0 0 0 0
28 2 Selenastrum* 8 0 0 0 0 0 0 0 0 0

1
Lampiran 8. Hasil pengamatan fitoplankton pada Mei 2015

STASIUN PENGAMATAN Phytoplankton


Klas Jumlah Genus st.1 st.2 st.3 st.4 st.5 st.6 st.7 st.8 st.9 st.10

Bacillariophyceae 1 Diatoma * 6 17 14 11 3 0 4 0 6 6
2 Cyclotella * 12 54 18 52 0 24 5 23 34 21
3 Synedra * 3 23 16 15 7 4 8 13 9 8
Stephanodiscus
4 * 28 40 22 28 4 6 0 0 14 7
5 Chaetoceras* 0 9 0 36 106 21 9 36 35 59
6 Asterionella* 0 26 0 38 4 23 12 33 4 19
7 Coscinodiscus* 7 12 0 0 9 8 4 0 0 3
8 Biddulphia * 0 3 0 22 23 11 16 28 0 8
9 Cymbella* 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0
10 Melosira* 0 52 0 6 98 36 48 19 0 53
11 Surirela* 0 0 3 3 0 0 0 0 0 0
12 Navicula* 7 0 10 13 0 0 0 0 7 0
13 Gyrosigma * 0 103 0 8 8 6 3 44 59 45
14 Rhizosolenia * 0 0 0 8 8 53 5 23 0 5
15 Bacteriastrum* 0 0 0 17 25 0 7 24 0 20
16 Hemialus* 0 0 0 0 15 0 0 0 0 0
17 Nitzschia* 0 0 0 0 0 3 13 0 0 0
18 Ditylum* 0 0 0 0 0 13 0 0 3 0
19 Tabellaria* 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0

Chlorophyceae 1 Ulotrix * 0 0 0 110 20 0 0 0 17 45


2 Closterium * 0 0 7 0 0 0 0 8 0 0
3 Mougeotia * 0 0 13 4 0 0 17 10 0 69
4 Tetraedron* 0 8 0 0 0 0 0 0 0 0
5 Xanthidium* 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0
6 Cosmarium* 4 38 0 0 0 0 0 0 0 0

67 389 103 371 330 208 151 261 195 368

1
Lampiran 9. Hasil pengamatan zooplankton Trip 1 (Februari 2015)

STASIUN PENGAMATAN Trip I

KODE SAMPEL 07
JENIS PLANKTON KELAS No GENUS
STASIUN PENGAMATAN Phytoplankton
St.1 St.2 St.3 St.4 St.5 St.6 St.7 St.8 St.9 St.10

PHYTOPLANKTON Bacillariophyceae 1 Diatoma * 3 4 14 8 0 7 6 12 13 6


2 Cyclotella * 22 12 17 27 6 12 28 13 33 39
3 Synedra * 4 23 4 8 15 61 10 51 9 37
Stephanodiscus
4 * 0 14 46 0 0 11 0 6 27 0
5 Chaetoceras* 0 54 0 21 0 14 12 58 29 21
6 Asterionella* 0 55 0 0 0 32 4 12 22 8
7 Coscinodiscus* 6 28 43 13 25 4 2 5 0 3
8 Biddulphia * 0 0 0 9 13 13 4 9 8 0
9 Cymbella* 0 8 0 1 0 0 0 0 0 0
10 Melosira* 8 32 16 0 10 0 5 0 0 11
11 Actinella* 0 24 0 0 0 0 0 0 0 0
12 Lauderia* 0 0 0 0 0 0 0 18 0 0
Eunotia
13 venesis* 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0
14 Surirela* 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4
Chlorophyceae 1 Ulotrix * 0 54 0 0 84 0 0 15 235 75
2 Closterium * 3 75 7 4 2 3 0 7 9 7
3 Mougeotia * 9 0 0 20 14 0 3 0 4 12
4 Tetraedron* 0 2 8 0 0 0 0 0 0 0
5 Anabaena* 0 0 0 0 0 70 0 0 0 0
Treubaria
6 setigerum* 0 13 0 0 0 0 0 0 0 0
Schroederia
7 ancora* 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0
8 Chodatella* 0 0 0 6 0 4 3 3 0 0
9 Pleodorena* 0 0 0 0 30 0 0 0 0 0
10 Xanthidium* 0 0 0 0 0 8 0 0 0 0
11 Scnedesmus* 7 0 0 0 0 0 0 0 0 0
12 Spondylosium* 0 0 0 0 0 0 0 0 0 33
Cyanophiceae 1 Sphaerocystis* 0 0 9 0 0 0 0 0 0 0
2 Selenastrum* 8 0 0 0 0 0 0 0 0 0

2
Lampiran 10. Hasil pengamatan zooplankton Mei 2015

Klas Jumlah Genus STASIUN PENGAMATAN ZOOPLANKTON


st.1 st.2 st.3 st.4 st.5 st.6 st.7 st.8 st.9 st.10

Sarcodina (PZ) 1 Diflugia # 6 24 4 39 8 12 8 19 9 7


2 Titinidium # 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0
3 Phacus # 9 0 0 4 0 4 0 8 2 7

Ciliata (PZ)
1 Oxitricha # 4 0 5 13 0 18 8 0 4 0
2 Ceratium# 0 0 0 49 35 27 6 8 3 7
3 Didinium# 0 0 0 10 0 0 0 0 0 0

Rotifer
1 Mytillina# 6 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 Polyarthra# 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0

Crustacea 1 Cyclops # 0 0 3 8 4 0 0 4 0 0
2 Nauplius # 0 10 0 0 3 0 0 2 0 0
3 Hexathra# 0 14 0 0 0 0 0 0 3 0
4 Trichocerca# 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0

1
2
Lampiran 11. Hasil Pengamatan Makrozoobentos Trip 1 (Februari 2015)

No Kelas Famili Spesies st.1 st.2 st.3 st.4 st.5 st.6 st.7 st.8 st.9 st.10
1 Crustacea Gammaridae Gammarus sp 2
2 Oligochaeta Tubificidae Aulodrilus sp 6 11 17
3 Branchiura sworbyi 1 1
4 Polychaeta Arenicolidae Arenicola sp 1
5 Orbiniidae Orbinia sp 3 4
6 Capittalidae Capitella sp 2 4
7 Bivalvia Archidae Anadara sp 3
8 sp.1 1 2
Cerastoderma
9 Carciidae glaucum 9
sp.1 (kerang
10 bergerigi) 4
11 Crepidulidae 6 4
12 Cuspidaridae Cuspidaria cuspidata 2
13 Donacidae Donax variabilis 7 3 2 16 1 1
14 Gastropoda Argonauta sp 9 17
15 Cylichnidae Cylicha occulata 3 1
16 Janthinidae Janthina sp 1
17 Naticidae Nassarius sp 1
18 Nerritidae Neritina sp 1
19 Nuculidae Nucula sp 1 2 1
20 Ringiculidae Ringicula semistriata 1 3
21 Rissoidae 1 1
22 Tellinidae Macoma sp 1 1 1 3
Calliostoma
23 Trochidae ziziphinus 1
24 Gibbula fanulum 2
Lyromangelia
25 Turridae taeniata 3
26 Volutidae Lyria sp 1 4
Dentalium
27 Scaphopoda Dentallidae inaequicostatum 1 1 24 1
28 Siphonodentaliidae Cadulus jeffreysi 9 3

1
Lampiran 12. Hasil pengamatan makrozoobentos trip 2 (Mei 2015)

No Kelas Famili Spesies st.1 st.2 st.3 st.4 st.5 st.6 st.7 st.8 st.9 st.10
1 Polychaeta Hesionidae 1 1
Phalacropharus
2 Isopilidae pictusborealis 1 2 3
3 Bivalvia Archidae Anadara sp 0 1
4 Bathyarca sp 1
5 Archidae Scapharca inaequivalvis 3
Architectonica
6 Architectonicidae perspectiva 3
7 Astartidae Astarte borealis 2
8 Cardiidae Cerastoderma glaucum 1 2
9 Cardiidae (kerang bergerigi) 49 2 1 1
10 Conidae Asprella sp 1
11 Corbulidae Corbula gibba 1
12 Corbula contracta 1
13 Crepidulidae 3 13
14 Cuspidaridae Cuspidaria cuspidata 4 1 1
15 Tellinidae Macoma melo 2 5
16 Tellina radiat 3 1
17 Unionidae Lanceolaria grayana 2
18 Gastropoda Argonauta sp 13 2 1 130
19 Cylichnidae Cylicha occulata 1 2
20 Donacidae Donax variabilis 2 3 2
21 Mitridae 1 2 1
22 Naticidae Nassarius sp 6
23 Polinices aurantius 1
24 Sinum concavum 2
25 Nuculidae Nucula sp 1
26 Olividae 1
27 Ringiculidae Ringicula semistriata 1 2 2 3
28 Turridae Lyromangelia taeniata 1
29 Turritellidae 15
30 Volutidae Fulgoria clara 17
Dentalium
31 Scaphopoda Dentallidae inaequicostatum 1 16 1 38
32 Siphonodentaliidae Cadulus jeffreysi 3 2

2
Lampiran 13. Hasil pengamatan makrozoobentos Trip 3 (Agustus 2015)

No Kelas Famili Spesies st.1 st.2 st.3 st.4 st.5 st.6 st.7 st.8 st.9 st.10
1 Polychaeta Ampharitidae Amphicteis sp 1 1 7 2 2 1 1 1 3
2 Arabellidae 2 1 1
3 Arenicolidae Arenicola sp 2 1 1
4 Capitellidae Capitella sp 15 4 1 2 1
5 Cossuridae Cossura longocirrata 1 2 1 1
6 Fauveliospidae 1
7 Hesionidae Hesione sp 1 2 1
8 Heterospionidae 1
9 Lumbrineridae 2 2 2 1
10 Magelonidae 2
11 Maldanidae 2
12 Nereidae Namalycastis sp 1 2 2
13 Nerillidae Mesonerilla sp 1
14 Opheelidae 3 1 1
15 Orbiinidae Orbinia sp 8 2 2
16 Phyllodocidae Anaitides sp 1 1
17 Polyodontidae 1
18 Sabellidae Fabricia sabella 1
19 Scabellidae 1
20 Sternaspispidae Sternaspis scutata 1
21 Trichobranchidae Terebellides sp 1
22 Oligochaeta Tubificidae Aulodrilus sp 1
23 Amphipoda Gammaridea Gammarus sp 3
24 Copepoda Harpacticoida Harpacticus sp 1
25 Scaphopoda Dentallidae Dentalium inaequicostatum 6 28 6 19
26 Siphonodentaliidae Cadulus jeffreysi 1 45 18 3
27 Bivalvia Arcidae 1 2 2
28 Cardiidae (kerang bergerigi) 10 4
29 Crepidulidae 2 8 2 45
30 Corbulidae Corbula sp 2 3
31 Cuspidaria 1 1
32 Donacidae Donax variabilis 15 2 2 5 2
33 Tellinidae Macoma melo 1 6 2 5
34 Tellina radiat 2 1 8 4
35 Veneridae Bassina disjecta 1
36 Gastropoda Architectonicidae Architectonica perspectiva 1 2 115
37 Archidae 2 4
38 Cylichnidae Cylicha occulata 1 1 4
39 Epitonidae Epitonium sp 1
40 Mitridae 1 17 2 1

3
41 Muricidae Trophon vaginatus 1
42 Naticidae 11
43 Pyramidellidae 1
44 Ringiculidae Ringicula semistriata 7 80
45 Rissoidae 1
46 Turridae Lyromangelia taeniata 2 6
47 Turritellidae 10
48 Volutidae 1

4
Lampiran 14. Kualitas air Trip 1 (Februari 2015)

Parameter
Metode Metode BO. Metode
Terlarut
CO2 Turbidity
Pengujian Pengujian mg/l Pengujian
No. Stasiun mg/l NTU
1 St. 1 P. Besing 1,76 Titrimetri NaOH 14,5 Meter 4,99 Titrimetri
2 St. 2 Kasai -Berau 1,76 Titrimetri NaOH 25,7 Meter 29,53 Titrimetri
3 St. 3 1,76 Titrimetri NaOH 17,26 Meter 29,53 Titrimetri
4 St. 4 1,76 Titrimetri NaOH 5,34 Meter 336,28 Titrimetri
5 St. 5 1,76 Titrimetri NaOH 1,33 Meter 274,93 Titrimetri
6 St. 6 0 Titrimetri NaOH 4,05 Meter 458,98 Titrimetri
7 St. 7 0,88 Titrimetri NaOH 4,42 Meter 234,03 Titrimetri
8 St. 8 0 Titrimetri NaOH 2,5 Meter 193,13 Titrimetri
9 St. 9 1,76 Titrimetri NaOH 2,64 Meter 4,99 Titrimetri
10 St. 10 0 Titrimetri NaOH 0,42 Meter 213,58 Titrimetri

Parameter
Metode NH3 Metode O-PO4 Metode
Hardness
Pengujian mg/l Pengujian mg/l Pengujian
No. Stasiun mg/l
1 St. 1 P. Besing 96 EDTA 0,086 Indofenol 0,005 Vandate Molibdate
2 St. 2 Kasai -Berau 2730 EDTA 0,103 Indofenol 0,012 Vandate Molibdate
3 St. 3 86 EDTA 0,253 Indofenol 0,008 Vandate Molibdate
4 St. 4 1420 EDTA 0,106 Indofenol 0,006 Vandate Molibdate
5 St. 5 4200 EDTA 0,011 Indofenol 0,012 Vandate Molibdate
6 St. 6 1280 EDTA 0,014 Indofenol 0,005 Vandate Molibdate
7 St. 7 3460 EDTA 0,047 Indofenol 0,014 Vandate Molibdate
8 St. 8 1380 EDTA 0,097 Indofenol 0,003 Vandate Molibdate
9 St. 9 976 EDTA 0,022 Indofenol 0,004 Vandate Molibdate
10 St. 10 1251 EDTA 0,781 Indofenol 0,002 Vandate Molibdate

Parameter
TDS Metode TSS Metode
DHL
mg/l Pengujian mg/l Pengujian
No. Stasiun PH μs
1 St. 1 P. Besing 6,83 3,8 3005 Meter 57 Gravimetri
2 St. 2 Kasai -Berau 7,01 OR 22025 Meter 92 Gravimetri
3 St. 3 7,15 2,2 531 Meter 33 Gravimetri
4 St. 4 7,05 OR 12736 Meter 61 Gravimetri
5 St. 5 7,4 OR 32409 Meter 71 Gravimetri
6 St. 6 7,5 OR 33774 Meter 59 Gravimetri
7 St. 7 7,54 OR 26915 Meter 84 Gravimetri
8 St. 8 7,61 OR 38215 Meter 101 Gravimetri
5
9 St. 9 7,01 OR 37534 Meter 80 Gravimetri
10 St. 10 7,71 OR 38705 Meter 96 Gravimetri

Parameter
TA Metode Metode NO2 Metode
NO3
mg/l Pengujian Pengujian mg/l Pengujian
No. Stasiun mg/l
1 St. 1 P. Besing 66 Bromokresol green 0,159 Nessler 0,013 Sulfanilamide
2 St. 2 Kasai -Berau 104 Bromokresol green 0,350 Nessler 0,023 Sulfanilamide
3 St. 3 60 Bromokresol green 0,177 Nessler 0,006 Sulfanilamide
4 St. 4 96 Bromokresol green 0,364 Nessler 0,007 Sulfanilamide
5 St. 5 154 Bromokresol green 0,355 Nessler 0,012 Sulfanilamide
6 St. 6 160 Bromokresol green 0,232 Nessler 0,002 Sulfanilamide
7 St. 7 134 Bromokresol green 0,323 Nessler 0,006 Sulfanilamide
8 St. 8 164 Bromokresol green 0,300 Nessler 0,003 Sulfanilamide
9 St. 9 136 Bromokresol green 0,445 Nessler 0,015 Sulfanilamide
10 St. 10 168 Bromokresol green 0,373 Nessler 0,003 Sulfanilamide

Parameter
Klorofil Metode
No. Stasiun μg/l Pengujian
1
St. 1 P. Besing 4,76 Ekstrak Klorofil
2
St. 2 Kasai -Berau -1,19 Ekstrak Klorofil
3
St. 3 2,38 Ekstrak Klorofil
4
St. 4 4,76 Ekstrak Klorofil
5
St. 5 -1,19 Ekstrak Klorofil
6
St. 6 2,38 Ekstrak Klorofil
7
St. 7 2,38 Ekstrak Klorofil
8
St. 8 3,57 Ekstrak Klorofil
9
St. 9 15,47 Ekstrak Klorofil
10
St. 10 -3,57 Ekstrak Klorofil

6
Lampiran 15. Kualitas air trip 2 (Mei 2015)

Parameter
No. Stasiun Metode COD Metode
CO2 Turbidity
Pengujian mg/l Pengujian
mg/l NTU

1 St. 1 4,4 0,164966 Vandate Molibdate 5,49 Titrimetri

2 St. 2 4,4 0,039116 Vandate Molibdate 5,82 Titrimetri

3 St. 3 4,4 0,013605 Vandate Molibdate 5,66 Titrimetri

4 St. 4 0 0,022109 Vandate Molibdate 3,49 Titrimetri

5 St. 5 4,4 -0,005102 Vandate Molibdate 4,16 Titrimetri

6 St. 6 7,04 0,039116 Vandate Molibdate 3,83 Titrimetri

7 St. 7 0 0,028912 Vandate Molibdate 3,83 Titrimetri

8 St. 8 0 -0,010204 Vandate Molibdate 4,66 Titrimetri

9 St. 9 0,15 0,027211 Vandate Molibdate 3 Titrimetri

10 St. 10 0 0,013605 Vandate Molibdate 2,16 Titrimetri

Parameter
NH3 Metode O-PO4 Metode
Hardness
mg/l Pengujian mg/l Pengujian
No. Stasiun mg/l

1 St. 1 1.141,14 0,234375 Indofenol 0,01295 Asam Askorbat

2 St. 2 1.171,2 0,074219 Indofenol 0,05036 Asam Askorbat

3 St. 3 1.471,5 -0,042696 Indofenol 0,002878 Asam Askorbat

4 St. 4 2.463 0,035156 Indofenol 0,003597 Asam Askorbat

5 St. 5 1.988 0,054688 Indofenol 0,008633 Asam Askorbat

6 St. 6 1.675,7 0,0625 Indofenol 0,009353 Asam Askorbat

7 St. 7 2.171,2 -0,0625 Indofenol 0,01223 Asam Askorbat

8 St. 8 2.546,5 -0,023438 Indofenol 0,001439 Asam Askorbat

7
9 St. 9 1.979 0,066406 Indofenol 0,007194 Asam Askorbat

10 St. 10 2399,4 0,11719 Indofenol 0,000719 Asam Askorbat

Parameter
No. Stasiun DHL Turbidity Metode TSS TSS Metode
PH μs NTU pengujian mg/l mg/l Pengujian

1 St. 1 7,4 109,4 189 Meter 158 141 Gravimetri


2 St. 2 7,15 155270 210 Meter 193 38 Gravimetri
3 St. 3 6,97 12156 640 Meter 74 485 Gravimetri
4 St. 4 7,15 44034 63,2 Meter 100 160 Gravimetri
5 St. 5 7,15 41109 7,64 Meter 60 146 Gravimetri
6 St. 6 6,91 31337 38,5 Meter 78 136 Gravimetri
7 St. 7 6,97 43695 55,2 Meter 168 138 Gravimetri
8 St. 8 7,34 46028 11,49 Meter 69 90 Gravimetri
9 St. 9 7,21 40634 42,8 Meter 113 71 Gravimetri
10 St. 10 6,85 47260 16,78 Meter 91 101 Gravimetri

Parameter
No. Stasiun TA NO3 Metode NO2
Metode Metode
mg/l mg/l Pengujian mg/l
Pengujian Pengujian

1 St. 1 40 Bromokresol greeen 0,264574 Nessler 0,109 Sulfanilamide

2 St. 2 91 Bromokresol greeen 0,565022 Nessler 0,0057 Sulfanilamide

3 St. 3 78 Bromokresol greeen 0,573991 Nessler 0,0474 Sulfanilamide

4 St. 4 209 Bromokresol greeen 1,125561 Nessler 0,0026 Sulfanilamide

5 St. 5 178 Bromokresol greeen 1,174888 Nessler 0,0193 Sulfanilamide

6 St. 6 152 Bromokresol greeen 1,170404 Nessler 0,032 Sulfanilamide

7 St. 7 191 Bromokresol greeen 1,067265 Nessler 0,0021 Sulfanilamide

8 St. 8 195 Bromokresol greeen 0,807175 Nessler 0,0012 Sulfanilamide

9 St. 9 182 Bromokresol greeen 1,152466 Nessler 0,0406 Sulfanilamide

10 St. 10 210 Bromokresol greeen 1,130045 Nessler 0,0003 Sulfanilamide

Parameter
Klorofil Metode
Ca
No. Stasiun (mg/m3) Pengujian

8
1
St. 1 0,02 Ekstrak Klorofil
2
St. 2 -6,15 Ekstrak Klorofil
3
St. 3 6,8 Ekstrak Klorofil
4
St. 4 -4,09 Ekstrak Klorofil
5
St. 5 -0,45 Ekstrak Klorofil
6
St. 6 -4,41 Ekstrak Klorofil
7
St. 7 5398 Ekstrak Klorofil
8
St. 8 7,48 Ekstrak Klorofil
9
St. 9 8,5 Ekstrak Klorofil
10
St. 10 4,41 Ekstrak Klorofil

9
Lampiran 16. Kualitas air trip 3 (Agustus 2015)

Parameter
No. Stasiun Metode Metode COD Metode
CO2 Turbidity
mg/l Pengujian NTU Pengujian mg/l Pengujian

1 St. 1 2,64 Titrimetri NaOH 86,8 Turbidi Meter 5,82 Titrimetri KMnO4

2 St. 2 4,4 Titrimetri NaOH 26,5 Turbidi Meter 0,67 Titrimetri KMnO4

3 St. 3 4,4 Titrimetri NaOH 294 Turbidi Meter 5,66 Titrimetri KMnO4

4 St. 4 0,88 Titrimetri NaOH 100 Turbidi Meter 3,49 Titrimetri KMnO4

5 St. 5 0,88 Titrimetri NaOH 31,5 Turbidi Meter 0,17 Titrimetri KMnO4

6 St. 6 0,88 Titrimetri NaOH 19,49 Turbidi Meter 0,08 Titrimetri KMnO4

7 St. 7 0,88 Titrimetri NaOH 22,45 Turbidi Meter 1,00 Titrimetri KMnO4

8 St. 8 0,88 Titrimetri NaOH 10,17 Turbidi Meter 0,33 Titrimetri KMnO4

9 St. 9 0,88 Titrimetri NaOH 4,41 Turbidi Meter 0,67 Titrimetri KMnO4

10 St. 10 0,88 Titrimetri NaOH 4,01 Turbidi Meter 1,33 Titrimetri KMnO4

Parameter
No. Stasiun Metode NH3 Metode TP O-PO4 Metode
Hardness
mg/l Pengujian mg/l Pengujian mg/l mg/l Pengujian

1 St. 1 2.306.304 EDTA 0,1468 Indofenol 0,0338 0,0046 Asam Askorbat


2 St. 2 2.738.736 EDTA 0,1365 Indofenol 0,0267 0,0023 Asam Askorbat
3 St. 3 44.648.604 EDTA 0,2381 Indofenol 0,0267 0,0122 Asam Askorbat
4 St. 4 17.873.856 EDTA 0,2635 Indofenol 0,0309 0,0084 Asam Askorbat
5 St. 5 5405,4 EDTA 0,0802 Indofenol 0,0267 0,0084 Asam Askorbat
6 St. 6 5.891.886 EDTA 0,0738 Indofenol 0,0323 0,0031 Asam Askorbat
7 St. 7 5.837.832 EDTA 0,1270 Indofenol 0,0577 0,0061 Asam Askorbat
8 St. 8 62.666.604 EDTA 0,0341 Indofenol 0,0323 0,0008 Asam Askorbat
9 St. 9 4.126.122 EDTA 0,0198 Indofenol 0,0394 0,0008 Asam Askorbat
10 St. 10 4864,86 EDTA TTD Indofenol 0,0605 0,0015 Asam Askorbat

10
Parameter
No. Stasiun TDS Metode Salinitas Metode TSS Metode
PH DHL
mg/l μs Pengujian ppt Pengujian mg/l Pengujian

1 St. 1 7,81 1320 2354 Do Meter 0,90 Do Meter 141 Gravimetri


2 St. 2 7,42 or 22911 Do Meter 16,00 Do Meter 38 Gravimetri
3 St. 3 7,33 or 32620 Do Meter 21,60 Do Meter 485 Gravimetri
4 St. 4 7,54 or 12810 Do Meter 8,60 Do Meter 160 Gravimetri
5 St. 5 7,57 or 38725 Do Meter 26,70 Do Meter 146 Gravimetri
6 St. 6 7,67 or 40450 Do Meter 29,10 Do Meter 136 Gravimetri
7 St. 7 7,48 or 37997 Do Meter 26,40 Do Meter 138 Gravimetri
8 St. 8 7,25 or 38950 Do Meter 27,90 Do Meter 90 Gravimetri
9 St. 9 7,14 or 29931 Do Meter 28,00 Do Meter 71 Gravimetri
10 St. 10 6,89 or 38230 Do Meter 27,70 Do Meter 101 Gravimetri

Parameter
No. Stasiun TA Metode Metode NO2 Metode
NO3
mg/l Pengujian mg/l Pengujian mg/l Pengujian

1 St. 1 47 Bromokresol green 0,2171 Nessler 0,0113 Sulfanilamide

2 St. 2 82 Bromokresol green 0,1743 Nessler 0,0041 Sulfanilamide

3 St. 3 99 Bromokresol green 0,6711 Nessler 0,0401 Sulfanilamide

4 St. 4 69 Bromokresol green 0,3816 Nessler 0,0404 Sulfanilamide

5 St. 5 109 Bromokresol green 0,2533 Nessler 0,0080 Sulfanilamide

6 St. 6 121 Bromokresol green 0,6053 Nessler 0,0033 Sulfanilamide

7 St. 7 106 Bromokresol green 20.526 Nessler 0,0067 Sulfanilamide

8 St. 8 120 Bromokresol green 13.125 Nessler 0,0026 Sulfanilamide

9 St. 9 94 Bromokresol green 0,4474 Nessler 0,0025 Sulfanilamide

10 St. 10 108 Bromokresol green 18.651 Nessler 0,0023 Sulfanilamide

No. Stasiun Parameter


Klorofil Metode

11
(λ665, λ750) ( λ664, λ647, λ630) Pengujian
μg/l mg/m3
1
St. 1 61,88 63,76 Ekstrak Klorofil
2
St. 2 24,99 27,24 Ekstrak Klorofil
3
St. 3 30,94 37,92 Ekstrak Klorofil
4
St. 4 44,03 46,30 Ekstrak Klorofil
5
St. 5 8,33 6,15 Ekstrak Klorofil
6
St. 6 TTD 8,36 Ekstrak Klorofil
7
St. 7 TTD 0,12 Ekstrak Klorofil
8
St. 8 5,95 6,51 Ekstrak Klorofil
9
St. 9 2,38 3,58 Ekstrak Klorofil
10
St. 10 1,19 4,76 Ekstrak Klorofil

12
13
14

Anda mungkin juga menyukai