Anda di halaman 1dari 9

Nama : Dea Firstca Dinialiyanti

Nim : 190110301069
Prodi : Ilmu Sejarah
Mata kuliah : Perubahan Lingkungan A
Dosen Pengampu : Prof. Nawiyanto, M.A
Tugas
Membuat Esai Komparatif tentang Perikanan di Jakarta dan Ujung Timur Jawa.
Pada artikel 1 yang berjudul “Eksploitasi Sumber Daya Ikan di Besuki Wilayah selama Masa Pra-
Orde Baru. Pada artikel 1 membahas mengenai perekonomian Perikanan di Wilayah Besuki selama
periode Pra-Orde Baru. Pembahasan yang menjadi utama dalam artikel 1 ini yaitu Bagaimana ekstraksi
sumber daya ikan dikembangkan tersebut melintasi waktu dan bagaimana wilayah ini diubah menjadi
kompleks memancing terkemuka.Artikel ini menggunakan berbagai macam bahan sumber sejarah dan
artikel ini memuat opini mengenai pengembangan eksploitasi perikanan disebabkan oleh Nelayan
Belanda dan Jepang memanfaatkan teknologi Penangkapa ikan dan Peningkatan jumlah Penangkapan
ikan yang beroperasi di wilayah Perairan terutama nelayan lokal. Perkembangan ini membawa pengaruh
yang begitu hebat dalam peningkatan tangkapan dan memungkinkah wilayah Besuki untuk mengekspor
produk ikan ke tempat lain berbeda dari posisi sebelumnya sebagai daerah pengimpor ikan. Sedangkan
pada artikel kedua yang berjudul “Dampak Perikanan dan Lingkungan di Ekosistem Teluk Jakarta Raya”
dalam artikel kedua ini mendukung pertumbuhan ekonomi di sekitar masyarakat termasuk sektor
perikanan. Ekosistem ini terdiri dari dua ekosistem pasar yaitu Ekosistem Teluk Jakarta dan Pulau Seribu.
Ekosistem ini mengandung beberapa perikanan termasuk udang, demersal, dan perikanan pelagis kecil
yang ditangkap menggunakan alat tangkap yang berbeda yaitu alat tangkap aktif dan pasif didalam
penangkapannya. Dampak perikanan dan lingkungan ekosistem ini terjadi beberapa kekhawatiran serius
terkait dengan sumber daya dan habitat ikan degradasi di dampak perikanan dan lingkungan di ekosistem
Teluk Jakarta Raya sehingga menyebabkan turunnya populasi ikan dan keanekaragaman spesiesnya
masing-masing. Studi Histologis mengungkap bahwa pada jaringan insang dari ketiga spesies
menunjukkan bahwa Teluk Jakarta telah tercemar sehingga beberapa solusi telah diupayakan untuk
menangani masalah tersebut termasuk budidaya laut, habitat rehabilitasi (restorasi terumbu karang dan
bakau), kawasan konservasi laut dan perlindungan ikan, dan pertenakan laut.
Persamaan
Pada artikel 1 yang membahas mengenai Eksploitasi Sumberdaya Ikan di wilayah Besuki selama
masa Pra-Orde Baru dan artikel kedua membahas mengenai Dampak Lingkungan dan Perikanan di
Ekosistem Teluk Jakarta Raya. Dalam dua artikel ini memiiki persamaan yaitu sama-sama membahas
mengenai Ekosistem Perikanan. Artikel 1 memaparkan bahwa sektor perikanan mendapatkan posisi
penting dalam bidang ekonomi residensi di Besuki. Adanya pengembangan mengenai eksploitasi
sumberdaya laut yang mengubah wilayah tersebut menjadi pusat laut terkemuka di perikanan. Dalam
perkembangan sejarah Muncar dikatakan sebagai tempat kedua kompleks terbesar memancing di
Indonesia, walaupun mendapat posisi terbesar dalam ekstrasi sumber daya, perkembangan sejarah
perikanan di wilayah tersebut masih relatif belum dijelajahi. Adapun fakta yang begitu kontras mengenai
perkebunan sektor daerah yang menarik banyak perhatian para keilmuan sehingga menghasilkan tubuh
besar sejarah pengetahuan dan penjelasan tentang aspek dari sektor ini. Adapun studi mengenai perikanan
di wilayah tersebut yang diarahkan pada periode kontemporer. Salah satu tokoh yaitu Emmerson
membahas pekerjaan mengenai kerusuhan sosial di awal tahun 1970an komunitas Nelayan Muncar.
Masalah-masalah seperti kehidupan sosial, sosial jaringan dan perubahan sosial ekonomi tleah
mendapatkan perhatian selama modernisasi Perikanan tahun 1970an. Kepentingan ilmiah juga
berkembang dalam isu-isu yang tidak lepas dari modernisasi yang terjadi di sektor perikanan. Dari sekitar
tahun 1970an kawasan perikanan memasuki tahap baru pengembangan ditandai dengan intervensi yang
kuat oleh pemerintah dibawah yang disebut ‘memancing modernisasi’ yang artinya menghasilkan
perbaikan dalam mata pencaharian rumah tangga nelayan dengan meningkatkan sistem menangkap.
Namun berbeda halnya dengan meningkatnya jumlah studi sinkronis mengenai komunitas nelayan di
Kediaman Besuki terutama pada era orde Baru, masih sedikit yang mengetahui tentang cara ekstraksi
sumber daya ikan dikembangkan di wilayah tersebut sepanjang waktu dan bagaimana transformasi
kawasan menjadi penangkapan ikan terkemuka. Dalam artikel ini terdapat pertanyaan yang relatif belum
dijelajahi hingga hari ini yaitu mengenai pemahaman tentang transformasi Timur Salient Of Java
menjadikan kompleks perikanan terkemuka dan apa yang menjadi faktor utama dibalik proses tersebut.
Kerangka teoritis menginformasikan argument dari artikel ini terutama berasal dari teori perbatasan
dikonsep Oleh Flannery dan Tukang daging. Perikanan merupakan biologi sumber daya terbarukan yang
artinya ekstraksi berkelanjutan dapat selesai dan membutuhkan sesuatu peningkatan dalam ekstraksi
tersebut. Diluar titik ekstraksi ini akan menyebabkan penipisan sumber daya dan akhirnya menyebabkan
penutupan perbatasan nelayan ketika tidak ada lagi tersedia area baru dengan kapasitas yang sama untuk
ekspansi. Ekstraksi sumberdaya ikan tergantung sebagian besar pada demografis, komersial, dan faktor
teknologi. Demografis dan komersial merupakan faktor peran penting dalam menciptakan permintaan
untuk produk ikan, dan juga dalam teknologi memfasilitasi ikan dalam ekstraksi sumber dayanya.
Teknologi yang lebih maju dapat menyebabkan ekstraksi ikan yang lebih intensif di sumber dayanya.
Sedangkan pada artikel kedua juga membahas mengenai ekosistem perikanan. Dimana ekosistem Teluk
Jakarta raya adalah terletak antara 1060o 20’E – 107o 03’E dan diantara 5 o 10’s – 6o 10’s, yang berada
di bawah Provinsi Banten, Daerah khusus Ibukota Jakarta dan Jawa Barat (Arifin, 2004). Ekosistem besar
ini dibentuk oleh dua ekosistem Pesisir yaitu Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu (Williams et al, 2000).
Teluk Jakarta berbatasan dengan Tanjung Krawang di sebelah timur dan Tanjung Pasir atau Tanjung
Jawa di sebelah barat (Arifin, 2004). Ada tiga belas sungai yang mengalir masuk dan terbawa arus polusi
ke Teluk Jakarta yaitu Angke, Bekasi, Cakung, Cidurian, Ciliwung, Cikarang Cimancuri, Ciranjang,
Cisadane, Citarum, Karawang Krukut dan Suntur (Arifin 2004, Nuaraini et, 2011) sedangkan Kepulauan
Seribu berda dibawah Ibukota khusus wilayah Jakarta, terdiri dari 110 pulau kecil (Arifin 2004, Amri dan
Agus, 2011). Alat tangkap jumlahnya menurun namun bertambah lagi pada tahun 2000an yang telah
menghasilkan perubahan dalam tangkapan Komposisi (Hufiadi et al, 2011). Ada beberapa kekhawatiran
serius menyangkut sumber daya ikan dan degradasi habitat di Indonesia yang pada gilirannya dapat
menyebabkan penurunan jumlah populasi ikan dan keanekaragaman spesies ikan masing-masing.
Penangkapan ikan yang berlebihan merupakan salah satu masalah perikanan di ekosistem besar
sedangkan degradasi habitat termasuk penghancuran terumbu karang dan polusi air (Hufaidi et al, 2011).
Beberapa upaya untuk mengatasi masalah tersebut telah dilakukan termasuk restocking, laut pertanian,
peternakan laut, rehabilitasi habitat (buatan restorasi terumbu dan bakau), Konservasi Laut Penampungan
ikan dan area (Anon, 2011b). Penelitian ini bertujuan untuk menyediakan profil dan lingkungan aspek
Ekosistem Teluk Jakarta Raya. Dampak perikanan dan lingkungan di Ekosistem Teluk Jakarta raya
memiliki peran penting untuk mendukung alam, penyediaan, rekreasi dan layanan pengaturan limbah,juga
mendukung pertumbuhan ekonomi untuk masyarakat sekitar terutama dari sektor perikanan, serta
perikanan tangkap bahkan dari akuakultur (Arifin, 2004). Ekosistem menyediakan keanekaragaman
spesies laut yang tinggi terdiri dari 362 dan 166 spesies ikan di Teluk Jakarta dan kepulauan seribu
(Suharsono, et al, 1998). Hanya ada perikanan tradisional yang beroperasi di Teluk Jakarta atau Pulau
Seribu. Beberapa perikanan yang secara ekonomis penting termasuk udang, perikanan demersal dan
pelagis kecil, yang ditangkap menggunakan alat tangkap yang berbeda, baik alat tangkap aktif,seperti,
pelicis danish seine (payang) dan mini trawl (Arad), dan roda gigi pancing pasif, seperti jala angkat
(bagan), trap (bubu), guiding barrier (sero) dan gillnet (jarring Insang) yang telah digunakan sejak tahun
1970-an dengan muroami Sebagai alat tangkap yang dominan saat itu. Pusat Konservasi Perikanan dan
Kelautan (RCFMC, yang sekarang disebut sebagai Pusat Perikanan Penelitian), masing-masing, baik di
Kamal (Teluk Jakarta) dan Pari (Kepulauan Seribu). CPUE rata-rata dan tangkap komposisi jaring
pengangkat tetap, pembatas pemandu (sero) dan perikanan gillnet tetap diperoleh dari pengamatan (data
primer). Sedangkan pada tahun 2009, insang dan jaringan hati merusak kerang hijau (Perna viridis),
kepiting berenang biru (Portunus pelagicus) dan spinefoot berbintik putih (Siganus canaliculatus)
dikumpulkan oleh RIMF dari Kamal tempat pendaratan ikan (Teluk Jakarta) dan Kepulauan Pari
(Kepulauan Seribu) (Tabel 1). Diasumsikan bahwa Sampel-sampel tersebut diambil dari tempat ikan
Kamal mewakili biota dari kerusakan lingkungan daerah, sedangkan sampel tersebut dari Pulau Pari
mewakili biota dari daerah yang tidak terdegradasi dari 3 sampel jaringan dianalisis secara histologis
mengikuti Prihatiningsih et al. (2008) dalam laboratorium RIMF. Selain itu, data perikanan termasuk
jumlah nelayan, jumlah kapal, jumlah alat tangkap dan hasil tangkapan dikumpulkan dari statistik
perikanan tangkap DKI Jakarta, 2013 (Anon, 2014).
Persamaan yang kedua dari dua artikel tersebut yaitu sama-sama membahas mengenai Penangkapan
Perikanan. Dalam artikel pertama dipaparkan bahwa Komunitas Nelayan muncul dibanyak tempat
wilayah sepanjang Pesisir di Besuki sebagian besar terdiri dari orang Madura dan Jawa tetapi juga ada
kelompok minoritas yaitu Bugis-Mandar dan Cina. Mandar merupakan keturunan pra-1870 migran yang
menetap di Puger dan Besuki sedangkan orang Bugis datang ke Muncar pada akhir tahun 1950an. Kedua
kelompok etnis ini mereka terkenal dengan orientasi kelautan. Secara absolut dari dari 1870 hingga 1970
jumlah orang yang terlibat dalam perikanan tumbuh melintasi wilayah Besuki. Di Banyuwangi juga
meningkat dari 1000 nelayan di tahun 1903 menjadi 12000 nelayan di awal tahun 1970-an dan di
Panarukan dari 3.500 Nelayan hingga 9.800 Nelayan. Tren yang sama mungkin diterapkan ke Jember
dimana pada tahun 1903 ada 600 Nelayan. Jumlah nelayan dengan total populasi yang meingkat dari
sekitar 0,7 persen menjadi 1 persen di Banyuwangi dan dari 1,40 persen menjadi 2,30 persen di
Panarukan. Perikanan juga berkembang di berbagai tempat, tetapi di laut utara tampaknya menjadi target
Tokoh G.N Verloop menyarankan total pendapatan ƒ 3,5 juta di pantai utara Besuki sekitar tahun 1870,
tetapi hanya ƒ 1,8 juta untuk Banyuwangi. Pada tahun 1880an laporan tahunan di Besuki melaporkan
bahwa adanya peningkatan di sektor perikanan di Pantai utara daripada di Pantai selatan dan timur.
Distribusi desa-desa Nelayan mencerminkan hal ini menjadi kenyataan juga. Pada awal tahun 1990an ada
54 Nelayan desa di Pantai Utara sedangkan di Banyuwangi ada 22 nelayan terletak sebagian besar di
Pantai timur. Di pantai selatan Jember hanya 4 desa nelayan yang dilaporkan. Terlepas dari ukuran
populasi yang lebih tinggi yang menjadi dominan posisi perikanan di Pantai utara sebagian karena aspek
fisiknya. Setiap tempat pasti memiliki karakteristik khusus, selain berbagi beberapa hasil tangkapan yang
sama, tangkapan utama di air utara yaitu Layang. Selama musim layang seperti yang ditemukan di
Panarukan kegiatan pengasaman pembuatan ikan pindang menjadi berkembang. Namun di banyuwangi,
Lemuru (Bali sardinella, Clupea longiceps) merupakan tangkapan utama. Sebuah perkiraan menyarankan
bahwa pada tahun 1960 lemuru dibuat-buat 70% dari total tangkapan di Muncar. Selat bali juga
menganggap lemuru sebagai habitat terbaik. Di selatan menangkap ikan air termasuk berbagai spesies
tetapi tidak ada satupun yang menjadi tangkapan dominan. Secara umum jurusan tangkapan komersial di
wilyah tersebut yaitu Layang dan Lemuru. Terlepas dari karakteristik khusus dari satu tempat ke tempat
lain, saat-saat baik dan buruk menangkap sepanjang tahun menjadi ciri memancing operasi di seluruh
wilayah. Hasil tangkapan juga bervariasi jauh antara tahun. Tidak mengherankan, ritus memainkan peran
penting dalam kehidupan memancing di kawasan ini mengamankan mata pencaharian berbasis kelautan
masyarakat yang rapuh. Di antara komunitas nelayan di kawasan itu, tangkapan sistem berbagi adalah hal
biasa. Di bawah sistem ini, tim kru penangkap ikan memperoleh bagian hasil tangkapan yang disepakati
dan pendapatan mereka ditentukan oleh hasil tangkapan dan harga ikan, daripada upah tetap.Dietz
mengakui pada tahun 1923 bahwa sistem bagi hasil adalah lebih efektif dalam mempertahankan semangat
kerja di kalangan nelayan Madura, menandakan lebih besar kemungkinan memaksimalkan peluang
pendapatan untuk nelayan. Ada beragam hasil tangkapan pengaturan, tetapi hampir setiap pemilik modal
(pengambak dan juragan darat) mengambil bagian yang terbesar. Beberapa nelayan mulai memanfaatkan
organisasi sosial sebagai sarana untuk mengatasi kerentanan mata pencaharian. Sumadji Irawan memiliki
inisiatif yaitu mendirikan Koperasi Nelayan pada tahun 1951 di Muncar yang disebut Minak Djinggo.
Meskipun tujuan utamanya adalah untuk melindungi minat nelayan terhadap pedagang ikan Tiongkok,
koperasi juga memberikan bantuan keuangan kepada nelayan untuk melanjutkan operasi mereka dalam
kasus kecelakaan di laut . Di Besuki organisasi semacam itu jelas merupakan fenomena pascakolonial,
meskipun dalam bagian lain Jawa yang sudah banyak dikembangkan sebelumnya, sekitar tahun 1910-an .
Meski memancing organisasi tidak selalu berhasil meningkatkan mata pencaharian para nelayan,
penggunaan organisasi semacam itu adalah perkembangan baru di Besuki. Baik penangkapan ikan pesisir
dan laut dalam beroperasi di Besuki, seperti yang ditunjukkan oleh kehadiran mayangan dan perahu non-
mayangan yang berbeda dalam hal ukuran, bahan konstruksi, roda gigi pancing dan area operasi. Sekitar
awal 1900-an itu memancing mayangan lebih umum di utara dari pada perairan timur dan selatan. Dalam
dua daerah terakhir, perikanan pantai dengan ukuran lebih kecil, perahu non-mayangan mendominasi.
Kapal seperti itu diyakini lebih cocok dan lebih aman untuk memancing operasi di daerah di mana ombak
raksasa dan terumbu karang tipis terjadi. Jangkauan teknologi perikanan, Namun, tetap terbatas. Di Jawa,
kapal mayangan yang memiliki tenaga angin sulit dioperasikan lebih dari 90 km dari garis pantai dan
memancing operasi biasanya dijalankan di daerah antara 40 hingga 50 km dari garis pantai.
Dikombinasikan dengan memancing Jaring berguna terutama untuk menangkap ikan pelagis, yang
teknologi yang ada tidak dapat mengekstraksi stok ikan terletak di lapisan yang lebih dalam dan
memancing lebih jauh menjadi faktor alasan. Diperkirakan pada tahun 1917 hanya 25 persen dari daerah
penangkapan ikan Jawa, sebagian besar di dekat pantai, sudah digunakan. Tidak mengherankan, berbeda
dengan wilayah yang kuat pertanian berorientasi ekspor, perikanan Besuki lebih berorientasi lokal. Pada
tahun 1885 penduduk dari Besuki menyatakan bahwa hasil tangkapan ikan itu bersifat lokal dipasarkan .
Laporan lain terungkap pada tahun 1905 itu tangkapan ikan Puger disalurkan ke yang lain kabupaten
Jember, yang juga menjadi pasar tujuan untuk produk ikan dari Banyuwangi, sementara Bondowoso
menyerap ikan dari pantai utara. Tetapi dengan pertumbuhan populasi,lokal produksi tampaknya tidak
cukup dan ikan impor menjadi perlu. Impor ikan kering berasal terutama dari Madura, Makassar,
Banjarmasin, dan Palembang, mencapai setiap tahun sekitar 3.900 picol (240 ton) pada awal 1900-an,
tetapi sejumlah kecil ikan berasal dari Bali dan Bali Sumbawa. Pada 1920 Ch.O. van der Plas mencatat itu
Besuki adalah salah satu pasar utama untuk ikan ekspor dari pulau Sapudi dan Kangean di Madura. Dari
pertengahan tahun 1920an Nelayan Jepang dan Belanda terlibat dalam mengeksploitasi sumber daya ikan.
Para nelayan asing ini mempekerjakan lebih banyak dalam mengembangkan kapal dan alat tangkap.
Perkembangan ini diinduksi oleh pengaturan kebijakan kolonial dirancang untuk mempromosikan
industri dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada impor ikan. Bukti tidak merata menyarankan
aktivitas nelayan Jepang di Jepang wilayah, termasuk penangkapan ikan karang di Selat Bali. Kegiatan ini
adalah bagian dari pertumbuhan orang Jepang minat perikanan Indonesia dari pertengahan1920-an. Orang
Jepang beroperasi dengan tenaga uap perahu, pukat dan jaring muroami yang dirancang untuk karang
memancing. Operasi penangkapan ikan modern tampaknya sudah ada meningkatkan ukuran tangkapan
ikan. Perikanan laut dari Besuki tumbuh pesat, disimbolkan dengan Muncar muncul sebagai kompleks
pemancingan center. Produksi lemuru terbaik di Muncar dicapai pada tahun 1938, mencapai 20.000 ton.
Ini perkembangan membangkitkan optimisme bahwa Muncar adalah besar pesaing untuk pusat penghasil
ikan Siam. Ada perubahan radikal dalam posisi Besuki dalam perdagangan ikan. Sebelumnya, untuk
memenuhi kebutuhan lokal tersebut wilayah selalu bergantung pada impor ikan. Tapi dari 1930-an
kawasan itu mulai mengekspor produk ikan. Di 1936 total 439 ton ikan diangkut dari Banyuwangi ke
Surabaya dan pada 1937 meningkat menjadi 2.241 ton Kapasitas usaha penangkapan ikan yang dikelola
Belanda dan Jepang di wilayah tersebut tidak diketahui tetapi mungkin dimiliki sudah cukup besar.
Operasi penangkapan ikan modern tampaknya sudah ada meningkatkan ukuran tangkapan ikan.
Perikanan laut dari Besuki tumbuh pesat, disimbolkan dengan Muncar muncul sebagai kompleks
pemancingan center. Produksi lemuru terbaik di Muncar dicapai pada tahun 1938, mencapai 20.000 ton.
Ini perkembangan membangkitkan optimisme bahwa Muncar adalah besar pesaing untuk pusat penghasil
ikan Siam. Ada perubahan radikal dalam posisi Besuki dalam perdagangan ikan. Sebelumnya, untuk
memenuhi kebutuhan lokal tersebut wilayah selalu bergantung pada impor ikan. Tapi dari 1930-an
kawasan itu mulai mengekspor produk ikan. Di 1936 total 439 ton ikan diangkut dari Banyuwangi ke
Surabaya dan pada 1937 meningkat menjadi 2.241 ton [25]. Pada 1941 perusahaan Borsumij adalah
dilaporkan telah mengekspor sejumlah ikan kaleng dari Banyuwangi [41]. Selama tahun-tahun penuh
gejolak tahun 1940-an keluaran dari perikanan daerah tampaknya telah menurun. Satu set faktor-faktor
yang dianggap bertanggung jawab atas penurunan di Timur Jawa, mungkin termasuk Besuki, adalah
penurunan kapal penangkap ikan dan peralatan karena 'bumi hangus' kebijakan sebelum invasi Jepang,
kesulitan dalam mendapatkan kayu untuk pembaruan kapal, dan memancing pembatasan di malam hari
diberlakukan oleh Jepang. Dengan stabilitas politik yang membaik dari akhir 1940-an, perikanan di
kawasan itu dihidupkan kembali. Peningkatan curam dalam tangkapan antara 1949 dan 1950 mungkin
berasal dari peningkatan operasi penangkapan ikan dan stok yang lebih baik terkait dengan tahun-tahun
eksploitasi yang rendah. Jika data untuk seluruh Jawa Timur untuk tahun 1955-1960 Jika ada indikasi,
tangkapan di Besuki mungkin telah sedikit dan terus meningkat hingga 1960,Tapi hasil tangkapan lemuru
di Muncar sama periode menyarankan sebaliknya. Ada yang agak mirip Kecenderungan antara hasil
tangkapan lemuru di Muncar dan total menangkap di Besuki, yang mungkin menyarankan antara 1955
dan 1960 tangkapan di Besuki terus-menerus rendah. Peningkatan yang signifikan dimulai dari tahun
1963 dengan tangkapan puncak pada tahun 1968, mencapai 23.000 ton. Pada tahun 1968 hasil tangkapan
mendarat di Banyuwangi saja merupakan hampir 70 persen dari total Jawa Timur tangkapan, sedangkan
proporsi nelayan dan nelayan kapal di kabupaten ini hanya 8% dan 11%. Peningkatan tangkapan di tahun
1960-an tampaknya berasal dari yang signifikan peningkatan teknologi penangkapan ikan. Sedangkan
dalam artikel kedua para nelayan ini dalam penangkapannya tersebut menggunakan kapal penangkap ikan
dengan ukurannya kurang dari kurang dari 10 GT, sementara beberapa kapal penangkap ikan lebih besar
berasal dari luar Teluk Jakarta dan kepulauan seribu tetapi mendarat hasil tangkapan mereka di Jakarta
Utara.total jumlah kapal penangkap ikan kurang dari 10 GT di Indonesia 2012 adalah 2.836 unit, terdiri
dari 1.564 dan 1.272 unit dari Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu, seperti yang tertera di masing-masing
Gambar 1 Alat tangkap yang dominan yang digunakan di Teluk Jakarta adalah tombak dan lainnya,
sementara di Kepulauan Seribu ada jebakan dan garis panjang, Gambar 2 Produksi ikan tahunan
menunjukkan peningkatan tren antara 1992 dan 2012,Gambar 3 Angkat jaring dan gillnet melayang
mendominasi hasil tangkapan dengan rata-rata masing-masing 27.143 dan 18.821 ton per tahun, tetapi
tangkapan tertinggi (43.707 ton per tahun) adalah oleh kategori roda gigi lainnya ("Lainnya").Gambar 3.
Produksi ikan tahunan dengan alat tangkap. Sumber: Anon. (2014). Tren penurunan tangkapan per unit
upaya (CPUE) ditemukan di beberapa gigi termasuk fix liftnet, diperbaiki Gillet dan sero. CPUE rata-rata
fixnets fixnets beroperasi di Teluk Jakarta selama 2006 di timur dan monsun barat adalah 50 dan 70 kg /
angkat jaring / hari, masing-masing, dengan CPUE di musim timur menurun menjadi sekitar 30 kg /
angkat jala / hari Gambar 4 CPUE rata-rata selama musim timur menurun menjadi 32 kg / angkat jala /
hari. Namun, lebih tinggi CPUE rata-rata ditemukan untuk Kepulauan Seribu selama musim hujan timur
dan barat pada tahun 2006, yaitu 96 dan 176 kg / angkat jala / hari, masing-masing Tiga roda gigi pasif
menangkap sejumlah besar ikan rucah. (ikan berukuran kecil termasuk remaja). Itu proporsi ikan rucah
yang ditangkap kemungkinan besar karena alasan penangkapan ikan mereka tumpang tindih dengan area
pemijahan atau pembibitan. Memperbaiki liftnets yang dioperasikan di Teluk Jakarta menangkap ikan
rucah saat timur dan musim barat pada tahun 2006 sekitar 64% dan 43% dari total tangkapan, masing-
masing, dan selama musim timur di tahun 2014 sekitar 69%,Gambar 7 Ikan sampah ditangkap
perlengkapan ini (sepanjang tahun) di Teluk Jakarta terdiri dari sekitar 60% ikan pelagis, 30% demersal
ikan dan 10% bukan ikan Namun, hanya sebagian kecil untuk ikan rucah ditangkap dengan memperbaiki
liftnets di Kepulauan Seribu pada 2006, sekitar 5% dari total tangkapan selama musim hujan barat dan
tidak ada ikan rucah yang dilaporkan di musim timur 2006. Spesies dominan yang berbeda ditangkap oleh
spesies tertentu gillnet pada tahun 2006 dan 2014, sebagian besar Rastrelliger sp 2006, dan ikan rucah dan
Sciaenidae spp. pada tahun 2014(Angka 8). Proporsi ikan rucah relatif terhadap Total ikan yang
ditangkap oleh gillnet tetap meningkat untuk keduanya musim, dari kurang dari 5% pada tahun 2006
menjadi lebih dari 30% pada tahun 2014 (musim timur) dan dari 20% pada tahun 2006 hingga 35% pada
tahun 2014 (musim hujan barat), masing-masing ,Gambar 8. Ikan rucah yang ditangkap oleh rengge tetap
terdiri dari: sekitar 80% ikan pelagis, 19% ikan demersal dan 1% bukan ikan. Ini mendukung bahwa
Teluk Jakarta dapat menyediakan pasokan yang baik untuk ikan pelagis. Tangkapan sero juga didominasi
oleh ikan rucah selama musim hujan timur dan barat pada tahun 2006 dan 2014, Gambar 9 Ikan rucah
terdiri dari 42% ikan non-ikan, 34% ikan pelagis, dan 24% ikan demersal.
Perbedaan
Dalam dua artikel tersebut terdapat perbedaan mengenai pembahasannya, pada artikel pertama
membahas mengenai Teknologi Memancing dalam eksploitasi sumberdaya ikan di Besuki wilayah
selama Masa Pra-Orde Baru dan sedangkan Artikel kedua membahas mengenai Pengaruh Polusi Pada
Perikanan. Artikel pertama memaparkan bahwa Teknologi adalah salah satu faktor utama memungkinkan
ekstraksi perikanan. Tukang daging menyebutnya sebagai ‘Seni memancing’, Ini mencakup tiga elemen
kunci: kapal penangkap ikan, peralatan memancing, dan praktis pengetahuan. Kapal penangkap ikan di
Wilayah Besuki tidak seragam. Sastra tradisional dari Banyuwangi menyebutkan Kano Mayang, Mancing
Proa, dan Jorong Proa. Hageman mencatat dua jenis perahu nelayan di Jember yaitu Proa (Perahu) dan
cadik kano (Jukung). Awal kolonial pada tahun 1900an memuat laporan mengidentifikasi 4 jenis kapal
penangkap ikan yaitu kolek, sampan, jrupih, dan jukung. Tiga kapal pertama pada dasarnya memiliki
kesamaan dalam arti itu mereka terbuat dari papan kayu dengan beragam busur dan bentuk buritan.
Nama-nama mencerminkan nama mereka ukuran. Perahu nelayan terbesar disebut kolek, dan memiliki
panjang sekitar 8 meter, lebar 2,25 meter dengan 7-8 kru berlayar. Perahu lainnya, sampan dan jrupih,
lebih kecil dalam hal ukuran dan kru kapasitas.Sementara itu, cadik kano (jukung) secara langsung
dibentuk dari balok kayu, sesekali dipertinggi dengan menambahkan beberapa papan kayu .Dari segi
wilayah operasi, kapal-kapal penangkap ikan masuk Besuki dapat dikelompokkan secara luas menjadi
dua kategori. Kategori pertama adalah mayangan, yang digunakan untuk operasi penangkapan ikan laut
dalam . Di Besuki apa disebut kolek adalah mayangan. Perahu ini sering memiliki nama yang berbeda di
Jawa, seperti konting, besse, kolekan, potik, dan menting,kategori kedua adalah non-mayangan, termasuk
jukung, sampan, jrupih. Mereka digunakan untuk pantai operasi penangkapan ikan Antara 1895 dan 1952
dua jenis kapal penangkap ikan bertambah jumlahnya.Jenis mayangan berlipat ganda, sedangkan yang
non-mayangan tipe naik lebih dari 50 persen. Mayangan perahu terdiri sekitar 10 persen dari total
penangkapan ikan kapal pada tahun 1895, dan tumbuh menjadi 13 persen pada tahun 1952. The non-
mayangan mendominasi di antara wilayah tersebut kapal penangkap ikan.Meskipun ada perbedaan
ukuran, ada satu jurusan kesamaan. Semua kapal nelayan sangat bergantung pada harian pola angin laut
sebagai sumber kekuatan untuk pergi ke dan dari tempat memancing. Cara dimana Kapal-kapal nelayan
Indonesia dari Besuki tampaknya beroperasi pada dasarnya mirip dengan awal abad ke-19 deskripsi oleh
Raffles. Perahu nelayan biasanya berangkat dari pantai pada pagi hari memanfaatkan angin lepas pantai
dan kembali di sore dengan mengandalkan angin laut di darat [50]. Angin sepoi-sepoi ditangkap dengan
layar, awalnya dibuat dari serat nabati corypha (agel), tetapi belakangan juga dari kain. Penggunaan layar
adalah hal yang umum di kalangan nelayan lokal.Setiap jenis kapal penangkap ikan memiliki peralatan
yang berbeda. Nelayan laut dalam menggunakan jaring besar seperti karung dengan dua sayap panjang
(payang), terutama selama laying musim [41]. Jenis jaring ini, yang bisa mencapai 180 meter panjang dan
120 kilogram beratnya, adalah terbuat dari tali agel [52]. Pohon penghasil agel tumbuh di hutan kawasan
dan dianggap oleh penduduk lokal sebagai salah satu produk yang paling berharga [18] Operasi
memancing sering dibantu rumpon, umpan ikan terapung yang terdiri dari tali panjang dengan pemberat
di satu sisi dan mengapung di sisi lainnya mendukungnya tegak di air. Di sepanjang tali itu daun kelapa
terikat, sebagai tempat persembunyian untuk menarik ikan. Seolah ikan ditangkap secara berkala, pertama
oleh mengangkat rumpon). Selain layang sebagai utama Tangkapan, berbagai ikan ditangkap dalam
operasi. Di luar musim layang, para nelayan laut dalam menggunakan jaring insang dan pancing [25].
Ada a berbagai peralatan untuk memancing di pesisir seperti jarring jabur (juga disebut payang pinggir),
krakat, jala, dan juga perangkap ikan seperti bubu dan cager. Itu tangkapan utama berasal dari
penggunaan jaring jabur, a payang-like net tetapi lebih halus dan lebih kecil ukurannya, cocok untuk
menangkap ikan kecil dan udang.Teknologi penangkapan ikan di atas digabungkan dengan pengetahuan
praktis juga. Para nelayan setempat digambarkan memiliki pengetahuan yang baik tentang bagaimana
caranya mengidentifikasi daerah penangkapan ikan, untuk memahami arus laut, perilaku ikan, dan waktu
yang tepat untuk melempar jaring. Di pantai utara kawasan itu, tempat memancingnya adalah biasanya
dikenali dari rasi bintang dan alami landmark seperti posisi gunung berapi terlihat dari berbagai lokasi.
Dalam menentukan mincing dan musim off-fishing, waktu untuk memulai dan Mengakhiri operasi, para
nelayan mengadopsi bulan sistem perhitungan.Dari sekitar tahun 1910 telah ada percobaan dengan
teknologi penangkapan ikan baru seperti jaring yang lebih besar dan lebih halus dan perahu bermotor. Di
Besuki sekitar tahun 1920 ada usaha perikanan perintis yang mempekerjakan perahu bermotor dan jaring
besar di Selat Madura dijalankan oleh Dietz, mengambil inspirasi dari Eropa perikanan. Namun, usaha itu
segera berhenti beroperasi karena kualitas mesin yang buruk dan kesulitan dalam memperbarui suku
cadang [24]. Suatu upaya dilakukan oleh Zeevisserij-Instituut (Institut Perikanan Laut) untuk lengkapi
perahu mayangan dengan tenaga motor. Tapi tidak ada bukti bahwa pada 1930-an kapal nelayan
motorquipped sudah digunakan sekitar Jakarta juga hadir di Besuki. Satu alasan di balik perkembangan
yang lambat ini adalah modal itu terlalu mahal dibandingkan tenaga kerja. Tidak mengejutkan, motorisasi
kapal penangkap ikan, yang kemudian terjadi, seringkali harus didorong melalui bantuan asing proyek
pengembangan D antara nelayan lokal ada keyakinan bahwa penggunaan motor dilengkapi kapal akan
menakuti ikan dan mengurangi hasil tangkapan karena kebisingan mesin. Pada 1950-an memancing
dilengkapi motor perahu masih diadili di laut yang berbasis di Surabaya stasiun pemancingan. Kapasitas
terbatas dan kurang berkembang Teknologi dilaporkan masih umum di antara nelayan lokal di sepanjang
pantai Jawa Timur dari Bangil ke Banyuwangi .Tentu saja, beberapa perubahan memang terjadi.
Mulanya, nelayan di kawasan itu menarik ikan dengan obor. Tapi dari 1950 penggunaan lentera minyak
tanah, yang diyakini untuk menarik lebih banyak pengumpulan ikan, dengan demikian mempromosikan
lebih baik tangkapan, dikembangkan di Banyuwangi . Latihan ini tampaknya menjadi lebih umum pada
1960-an Dari sekitar tahun 1960 beberapa nelayan di Banyuwangi mengadopsi lift-net (bagan). Dibawa
oleh orang Bugis migran ke wilayah tersebut pada akhir 1950-an, lift-net menjadi populer di Teluk
Pangpang. Meskipun demikian fakta, dapat dikatakan bahwa sebelum periode Orde Baru teknologi
penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan setempat hanya memfasilitasi peningkatan ekstraksi ikan
sumber daya di lahan perikanan tradisional, tetapi tanpa memiliki efek memperluas perbatasan nelayan.
Hanya dari sekitar 1968 dan seterusnya mulai muncul tren baru tumbuh sejajar dengan adopsi
penangkapan ikan bermotor kapal dan jarring pukat nilon purse dan mencapai perkembangan penuh sejak
pertengahan 1970-an. Ini Teknologi memberi akses ke tempat penangkapan ikan baru yang dimiliki
sebelumnya tetap tidak dapat diakses oleh nelayan lokal. Sedangkan artikel kedua membahas mengenai
pengaruh polusi pada perikanan. Dalam artikel kedua dipaparkan bahwa pengaruh polusi perikanan
terletak pada Kondisi perikanan di Teluk Jakarta dan Teluk Bintuni Kepulauan Seribu yang dapat
ditunjukkan dari CPUE kecenderungan dan komposisi hasil tangkapan, khususnya proporsi ikan rucah.
Proporsi ikan rucah dan predator (Kerapu) dapat digunakan sebagai salah satu indikator
perikanan,proporsi ikan rucah yang tinggi dan atau proporsi ikan rucah yang rendah predator ini dapat
menunjukkan bahwa penangkapan ikan berlebihan sedang terjadi, dan Polutan antropogenik diduga
sebagai masalah lingkungan utama Teluk Jakarta itu berdampak pada perikanan di Teluk Jakarta. Ada
beberapa kegiatan sosial ekonomi skala besar bersama 32 km dari garis pantai di kota Jakarta, seperti
Pelabuhan Tanjung Priuk, industri, pariwisata, perumahan kumuh,kegiatan gudang dan perikanan di
muara sungai /muara, memasok polutan utama dan sedimentasi (Soebagio, 2001). Kontaminasi terestrial
adalah diperkirakan berkontribusi hingga 80% dari polusi di Indonesia Teluk Jakarta (Anon., 2007).
Sekitar 161 ton sampah diangkut ke Teluk Jakarta dari 13 sungai yang memenuhi area 514 km2 (Harian
Pelita, 2015). Itu diperkirakan sekitar 7.000 m3 limbah cair mengandung logam berat, telah dibuang
beberapa sungai dan dipindahkan ke Teluk (Lestari & Edward, 2004). Menurut Arifin (2004), dalam 20
tahun terakhir konsentrasi rata-rata Pb dan Cu dalam sedimen meningkat menjadi 5 dan 9 kali lebih besar,
masing-masing, dengan konsentrasi tertinggi adalah didistribusikan di Teluk Jakarta bagian barat dan
tengah. Itu parameter fisik-kimia menunjukkan bahwa Jakarta Teluk tercemar, melebihi batas yang
diizinkan untuk biota perairan mengacu pada Keputusan Menteri No. 54 dari 2004 oleh Kementerian
Lingkungan Hidup, Indonesia. Menurut Atmaja (2011), pada 2004 terjadi kematian massal ikan dan biota
perairan lainnya di sekitarnya perairan Ancol dan Dadap (Jakarta) adalah sinyal menunjukkan bahwa
tingkat polusi yang tinggi terjadi di Teluk Jakarta. Selanjutnya, dampak pencemaran di Teluk Jakarta
telah ditemukan di kerang hijau yang memiliki peran sebagai pengumpan filter. Dalam kegiatan
akuakultur, sangat tercemar kondisi air dapat menyebabkan usia dini greenmussels terlepas. Tampaknya
polusi juga berdampak pada struktur mikroanatomi insang dan jaringan hati kerang hijau (Perna viridis),
biru kepiting berenang (Portunus pelagicus) dan berbintik-bintik putih spinefoot (Siganus canaliculatus)
di Teluk Jakarta, menyebabkan struktur jaringan abnormal. Berbeda dengan itu diambil dari Teluk
Jakarta, insang dan jaringan hati sampel kerang hijau, kepiting berenang dan spinefoot berbintik putih
diambil dari Seribu Kepulauan yang disarankan normal dan tidak terdegradasistruktur. Menurut Tandjung
(1982), the studi histologis pada jaringan insang dari tiga spesies menunjukkan bahwa Teluk Jakarta telah
tercemar. Hal tersebut menjadi masalah serius terkait dengan sumber daya ikan dan degradasi habitat di
GJBE, terutama di Teluk Jakarta, dapat menyebabkan penurunan populasi ikan dan keanekaragaman
spesies ikan, masing-masing.
Kesimpulan
Berdasarkan dari artikel pertama dan kedua dapat disimpulkan pada artikel pertama bahwa adanya
peningkatan di sektor perikanan Wilayah Besuki selama periode orde baru. Hal tersebut dapat
ditunjukkan melalui pergeseran di pusat wilayah untuk perikanan laut dari pantai utara Panarukan ke
pantai timur Banyuwangi berpusat di Muncar yang menjadikan nelayan sebagai komplek terbesar di
Indonesia sedangkan pada artikel kedua Teluk Jakarta telah tercemar berdasarkan parameter fisik-
kimia.Semua ini mungkin menyebabkan kelainan insang dan struktur jaringan hati kerang hijau, biru
kepiting berenang dan spinefoot berbintik putih. Tindakan nyata untuk mengembalikan kualitas
kebutuhan Teluk Jakarta untuk diambil, yaitu dengan mengurangi persediaan polutan, seperti
menyediakan pabrik pengolahan air limbah, untuk mencegah kerusakan sel atau jaringan lebih lanjut yang
dapat menyebabkan kematian atau bahkan kepunahan biota.

Saran
Berdasarkan dengan kesimpulan diatas sebaiknya para Nelayan dan kesadaran masyarakat
sekitarnya lebih memperhatikan keadaan laut dan sekitarnya agar keadaan laut tidak tercemar dan tetap
terjaga sehingga aktivitas para nelayan dan masyarakat sekitarnya bisa menikmati kegiatannya tanpa
adanya masalah dalam keadaan laut yang tercemar dan Para Nelayan harus meningkatkan perkembangan
ekosistem perikanan tersebut dengan baik sehingga ekosistem perikanan dan keadaan laut tetap aman dan
terjaga.

Anda mungkin juga menyukai