Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH POSTER ILMIAH

“KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT SULAWESI YANG MENDUKUNG


BIODIVERSITAS DAN KONSERVASI”

OLEH GROUP 4:

AGUNG WASKITO (1606903223)


AHMAD JAUHARI (1606875421)
NABILLA FARAH NAURA (1606903513)
RAHAYU ADINDA PUTRI (1606836465)
TIARA EGGA AGUSTINA (1606883266)
VIDYA ADNINA GANDHARI (1606882036)

KELAS BIOLOGI UMUM (A)

FAKULTAS MIPA

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK

2016

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
dan mencurahkan berkat serta rahmatnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini tepat pada waktu yang telah ditentukan. Makalah ini kami buat untuk menambah
wawasan tentang kearifan lokal yang ada di sulawesi dalam menjaga alam dan untuk
memenuhi tugas mata kuliah biologi umum.

Tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada Ibu Dr. Ariyanti Oetari M.Phil selaku
dosen Biologi Umum kelas A yang telah membimbing kami dalam proses pembelajaran.
Kami juga ucapkan terima kasih kepada teman - teman yang telah memberikan dukungan
dalam menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.Terimakasih

Depok, 6 Desember 2016

Group 4

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................2

DAFTAR ISI .......................................................................................................................3

PETA KONSEP KELOMPOK.................................................................................................4

PETA KONSEP ANGGOTA..................................................................................................5

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………………………………………………11

1.1 Latar Belakang...................................................................................................................11


1.2 Perumusan Masalah..........................................................................................................11
1.3 Tujuan................................................................................................................................1
1
1.4 Manfaat………………………………………………………………………………………………………………………..11

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………………………………………….12

2.1.Kearifan Lokal Suku Moma……………………………………………………………………………………………12

2.2. Kearifan Lokal Suku Bajo……………………………………………………………………………………………..14

2.3 Kearifan Lokal Suku Kaili……………………………………………………………………………………………….18

2.4 Persamaan dan Perbedaan Antarsuku………………………………………………………………………….20

BAB III PENUTUPAN……………………………………………………………………………………………………………21

3.1. Kesimpulan…………………………………………………………………………………………………………………21

3.2.Saran……………………………………………………………………………………………………………………………21

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................22

3
PETA KONSEP KELOMPOK

4
PETA KONSEP ANGGOTA

Tiara Egga Agustina

5
Rahayu Adinda Putri

6
Agung Waskito

7
Nabilla Farah Naura

8
Vidya Adnina Gandhari

9
10
Ahmad Jauhari H

Kearifan Lokal Masyarakat Sulawesi


yang Mendukung Biodiversitas dan
Konservasi

Suku di Sulawesi

Suku Moma Desa Suku Kaili Danau Suku Bajo Desa


Toro,kecamatan Lindu,KecamatanK Torosiaje,
Kulawi,kabupaten ulawi,Kabupaten kecamata
Letak letak Kunggala letak n
Sigi
Popoyato
Kearifan ,kabupat
Kearifan Tradisi lokal en
Lokal Kearifan Pohuwat
yaitu Tradisi

yaitu Aturan tradisi


penggunaan
Aturan pembukaan
Kipu (jaring)
lahan harus didahului
yaitu untuk
dengan upacara
memancing
“mohamele manu Sasakai : Kegiatan melaut
bula” dengan beberapa tantangan

Larangan
berupa
menangkap
Larangan memakan anoa,babi ikan sugili
Larangan Larangan Larangan
rusa,rangkong dan maleo
membuang memakan menangkap
air cabai, daging biota laut di
Biodiversitas perasan penyu
Aturan penebangan sekitar
Endemik jeruk dll ke
kayuharus didahului gugusan
laut
dengan upacara Pohon karang
“Mowurera pu kau” Flora
Kelapa
11
Biodiversitas Jagung
Pohon
Endemik Malaboro
Biodiversitas
Endemik

terdapat
flora Fauna

Kawasan Terumbu karang,


Fauna mangrove,padangl penyu sisik, burung
terdapat amun,gopasa
Kerbau laut, ikan hias ex :
BAB I
sapi,gabus,kosa,pajjanggo (peacock grouper)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Provinsi Sulawesi memiliki banyak suku yang kaya akan kearifan lokal masing-masing.
Kearifan lokal tersebut merupakan bentuk warisan leluhur yang wajib dipatuhi secara
turun-menurun, di mana memiliki nilai positif dan spiritual yang bertujuan untuk
melestarikan biodiversitas di wilayah mereka. Pada kali ini, kami memilih suku Moma,
suku Kaili, dan suku Bajo untuk dibahas karena suku-suku tersebut memiliki keunikan
tersendiri dalam melakukan konservasi berdasarkan kearifan lokal yang ada. Kearifan
lokal dari ketiga suku tersebut memiliki kawasan konservasi yang berbeda-beda
sehingga kami dapat menambah wawasan kami tentang cara konservasi alam pada
ekosistem yang berbeda.

1.2 Perumusan Masalah


a. Apa saja kearifan lokal dari masing-masing suku?
b. Di mana kawasan konservasi mereka ?
c. Apa persamaan dan perbedaan dari ketiga suku tersebut?
d. Apa saja biodiversitas yang ada di masing-masing suku?

1.3 Tujuan
a. Memperkenalkan kearifan lokal yang dimiliki beberapa suku di provinsi Sulawesi
b. Memperkenalkan keanekaragaman hayati di provinsi Sulawesi
c. Mempelajari cara tiap suku di Sulawesi dalam melestarikan alam

12
d. Mengetahui Persamaan tujuan konservasi alam dari ketiga suku tersebut

1.4 Manfaat
Dapat menambah wawasan pembaca tentang kearifan lokal suku Moma,suku Kaili,
dan suku Bajo sehingga pembaca dapat belajar bagaimana cara menjaga alam seperti
yang dilakukan masyarakat dari suku-suku tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.Kearifan Lokal Suku Moma

Suku Moma adalah salah satu etnis (suku) yang mendiami sebagian besar wilayah
kecamatan Kulawi dan kecamatan Kulawi Selatan, kabupaten Sigi, provinsi Sulawesi Tengah.
Populasi suku Moma diperkirakan sebesar 2.660 orang pada sensus penduduk tahun 2012.
Suku Moma merupakan suku asli di Ngata Toro.

Desa Toro Taman Nasional Lore Lindu

Suku Moma hidup berbatasan dengan hutan Lore Lindu yang sekarang telah
ditetapkan oleh pemerintah menjadi Taman Nasional Lore Lindu. Suku Moma sangat
menjaga hutan mereka, yang telah memberi kehidupan bagi sejak zaman nenek moyang
mereka. Beberapa aturan adat diterapkan pada pola kehidupan, guna menjaga hutan dari
berbagai jenis ancaman kerusakan alam akibat perambahan lahan.

Di dalam adat Toro terdapat larangan perburuan terhadap Anoa (Bubalus quarlesi
dan Bubalus depressicornis), Babirusa (Babyrousa babyrussa), Enggang atau Rangkong
(Rhyticeros cassidix), dan Maleo (Macrocephalon maleo). Hal ini dikarenakan Anoa
merupakan hewan yang dilindungi dan dianggap sebagai hewan adat yang hanya boleh

13
dimakan dalam upacara adat, sedangkan babirusa dilindungi karena bentuk fisiknya yang
unik, enggang dilindungi karena warnanya yang indah, dan maleo dilindungi karena telurnya
yang unik.

Kearifan lokal masyarakat Toro dalam pemanfaatan sumber daya alam dapat terlihat
dari kegiatan dibawah ini:

a. Pembukaan Lahan.
Dalam aturan masyarakat adat Toro, lahan yang dapat dibuka adalah Oma, terutama
Oma Ngura (telah ditinggalkan 3-5 tahun), dan Oma Ntua (telah ditinggalkan 5-25 tahun)
sedangkan lahan yang tidak diperkenankan untuk dibuka dengan alasan apapun adalah
Pangale. Setiap warga yang ingin membuka lahan diwajibkan mengajukan permohonan
kepada pemerintah desa melalui LMA (Lembaga Masyarakat Adat) dan disertai dengan
alasan, lokasi yang akan dimanfaatkan dan luasan yang dibutuhkan. Setelah izin
diberikan, pembukaan lahan harus didahului dengan upacara adat ”Mohamele manu
bula”

b. Pengambilan Kayu.
Izin pengambilan kayu dikeluarkan apabila tujuan pemanfaatannya hanya untuk
kebutuhan domestik. Namun dalam perkembangan zaman, saat ini telah diperkenankan
pula memanen kayu untuk bahan baku industri meubel dan kusen berskala lokal. setelah
mendapatkan izin penebangan, terlebih dahulu harus dilakukan upacara adat
”Mowurera pu kau”. Selain itu perlu diperhatikan bahwa kayu yang boleh ditebang
berdiameter minimal 60 cm, dan tidak melakukan penebangan di daerah Taolo, yaitu
lokasi yang bertopografi miring sepanjang daerah aliran sungai dan di tempat yang
rawan longsor dan erosi.

c. Pemanenan Rotan (Calamus sp).


Rotan yang akan dipanen harus berumur lebih dari tiga tahun, dan penetapan lokasi
ditentukan oleh hasil musyawarah lembaga adat dengan memperhatikan prinsip rotasi
(ra ombo). Selain itu, terdapat larangan untuk menarik rotan sepanjang daerah aliran
sungai pada saat tanaman padi di sawah ataupun ladang mulai berbulir.

14
Masyarakat Toro hingga kini masih menjalankan tradisinya. Perusak hutan dan pemburu
hewan yang dilindungi akan dikenakan hukuman adat. Terdapat tiga macam hukuman adat
yang berlaku, yakni ringan, sedang, dan berat. Untuk yang ringan dikenal dengan istilah;
hampulu, hangkau, dan hamu atau denda 1 ekor kerbau, 10 dulang, 1 sarung. Lalu sanksi
adat sedang; rompulu, rangkau, rongu atau denda 2 ekor kerbau, 20 dulang, dan 2 sarung.
Dan sanksi adat berat; tolungpulu, tolungkau, toluongu atau 3 ekor kerbau, 30 dulang, dan 3
sarung.Namun saat ini hukuman yang diberikan berupa denda uang disesuaikan dengan
kesalahan yang ada.

Salah satu tradisi suku Moma di Ngata Toro adalah upacara Vunca Ada Mpae,
merupakan upacara yang dilakukan setelah panen, sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil
panen yang telah dihasilkan. Hasil panen (makanan) digantung di bambu dan padi yang akan
dijadikan bibit ditempatkan di bawah pohon bambu tersebut. Setelah itu sang ketua adat
meniup terompet yang terbuat dari batang padi dan diikuti oleh tarian Rego yang ditarikan
oleh pemuda-pemudi adat Moma. Dalam upacara Wunca Ada Pae, ketua adat membacakan
mantra-mantrayang bertujuan untuk penyelamatan tanah, air, udara dan sumber daya alam

yang terdapat di wilayah adat Moma Ngata Toro.

2.2. Kearifan Lokal Suku Bajo

Dengan kearifan lokal, masyarakat Suku Bajo di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato,
Kabupaten Pohuwato, menjaga kelestarian pesisir dan laut. Salah satu bukti, terlihat dari
mangrove di pemukiman mereka terjaga baik.

Suku Bajo terkenal sebagai pelaut ulung, dan berdiaspora di beberapa wilayah lain di
Indonesia. Di Gorontalo, komunitas ini bermukim di pesisir Desa Torosiaje, Desa Torosiaje
Jaya, Desa Bumi Bahari di Kabupaten Pohuwato, dan Desa Tanjung Bajo di Kabupaten

15
Boalemo. Permukiman mereka di Desa Torosiaje dibangun di laut sejak 1901, dengan luas
lebih kurang 200 hektar. Pembangunan sosial ekonomi dan perkembangan akses penduduk
memungkinkan penyebaran masyarakat Bajo ke wilayah pesisir lain.Penduduk Desa
Torosiaje tahun 2011 terdata 1.334 jiwa meliputi 338 keluarga, lebih dari 99 persen Suku
Bajo. Penduduk usia kerja sebagai nelayan 24,1 persen.Sarana dan prasarana pendidikan
tersedia TK dan SD, dan di desa terdekat yaitu Torosiaje Jaya dan Bumi Bahari ada SMP dan
SMK Kelautan. Akses penduduk usia sekolah terhadap pendidikan terdata 26 persen
menempuh pendidikan tingkat dasar hingga pendidikan tinggi.

Menjaga tradisi

Kedekatan emosional masyarakat Bajo dengan sumberdaya laut memunculkan tradisi


mamia kadialo. Tradisi mamia kadialo berupa pengelompokan orang ketika ikut melaut
jangka waktu tertentu dan perahu yang digunakan. Ada tiga kelompok tradisi ini: palilibu,
bapongka, dan sasakai.

Palilibu adalah kebiasaan melaut menggunakan perahu soppe yang digerakkan dayung.
Melaut hanya dalam satu atau dua hari dan kembali ke permukiman menjual hasil
tangkapan dan sebagian dinikmati bersama keluarga.

Bapongka (babangi) adalah kegiatan melaut selama beberapa minggu bahkan bulanan
menggunakan perahu besar berukuran kurang lebih 4×2 meter disebut leppa atau sopek.
Kegiatan ini sering mengikutsertakan keluarga, seperti istri dan anak-anak, bahkan ada yang
melahirkan di atas perahu.

Lalu, sasakai, yaitu kebiasaan melaut menggunakan beberapa perahu selama beberapa
bulan dengan wilayah jelajah antar pulau. Selama kelompok menjalani mamia kadialo
(melaut) ada pantangan bagi keluarga yang ditinggal maupun mereka yang melaut.

Pantangan itu, antara lain dilarang membuang ke perairan laut seperti, air cucian teripang,
arang kayu atau abu dapur, puntung dan abu rokok, air cabai, jahe dan air perasan jeruk,
dan larangan mencuci alat memasak (wajan) di perairan laut.Air cucian maupun bahan-
bahan ini hendaknya ditampung dan dibuang di daratan. Ada pula pantangan memakan
daging penyu, jika dilanggar bisa mendatangkan malapetaka, bencana badai, gangguan roh

16
jahat bahkan tidak mendapatkan hasil apa-apa di laut. Penyu dipercaya banyak menolong
manusia yang mengalami musibah, karena itu satwa ini tidak boleh dibunuh.

“Masyarakat Bajo, khusus generasi tua, masih mempercayai gugusan karang tertentu
sebagai tempat bersemayam arwah para leluhur. Orang tua melarang anggota keluarga
menangkap ikan dan biota lai di sekitar gugusan karang, kecuali terlebih dahulu melakukan
ritual tertentu dengan menyiapkan sajian bagi leluhur.” “Berbagai pantangan itu
mengandung nilai pelestarian ekosistem perairan laut dan pesisir.”

Kedekatan masyarakat Bajo dengan laut dan pesisir memungkinkan mereka memiliki
berbagai pengetahuan lokal tentang gejala-gejala alam. Di tengah kerusakan atmosfer bumi,
ada gejala alam dan tanda-tanda atmosfer yang masih digunakan masyarakat Bajo saat
melaut.

Perairan terumbu karang dikenal dari gejala-gejala seperti, permukaan laut sekitar cukup
tenang, arus kurang kencang, banyak buih atau busa putih dan bau anyir, dan ketika dayung
perahu berdesir saat berperahu. Gugusan karang dapat dikenal dari kilauan cahaya bulan
pada malam hari. Peralihan pasang surut alir laut pada siang hari, ketika burung elang turun
mendekati permukaan air laut pertanda air mulai surut.

Pengetahuan masyarakat terhadap gejala alam ini, katanya, memiliki nilai ekologis. Terumbu
karang, antara lain sebagai penahan arus dan gelombang. Tak heran, di sekitar kawasan itu
yang cukup tenang. Kilauan cahaya bulan akibat pantulan permukaan air cukup tenang.
Aktivitas burung elang mendekati permukaan laut karena ketika air surut lebih banyak
tampak biota laut yang menjadi mangsa burung elang.

Masyarakat Bajo di Desa Torosiaje dan dua desa terdekat membentuk kelompok sadar
lingkungan (KSL), yang memperoleh pendampingan dari LSM. Dampaknya, telihat pada
pelestarian ekosistem pesisir, hutan mangrove sangat baik dan padat.

Perumahan penduduk berupa panggung di atas permukaan air laut di kedalaman antara
satu sampai delapan meter. Antarrumah dihubungkan dengan jembatan kayu. Tiang rumah
dan jembatan dibangun menggunakan kayu dari tanaman tahan air, gopasa, diambil di luar
kawasan mangrove.Awalnya, masyarakat menggunakan tanaman sudah tua dan mati

17
disebut Posi-posi, yang diambil dari hutan mangrove. Perahu dayung atau bermotor tempel
sebagai sarana angkutan dan perdagangan bahan makanan pokok.

Pemerintah daerah membangun jembatan konstruksi beton dari arah pantai melewati
kawasan padat hutan mangrove dan padang lamun. Namun, hanya sebatas area pasang-
surut dan tak mencapai perumahan.Masyarakat tak menyetujui lanjutan pembangunan
jembatan ini, dengan alasan akan masuk sepeda motor ke permukiman hingga pencaharian
ojek perahu penduduk akan hilang. Alasan lain, makin luas kerusakan mangrove dan padang
lamun akibat konstruksi jembatan, dan tak dapat dihindari kebisingan, asap dan oli buangan
mesin sepeda motor bisa mencemari perairan laut.

Biota di Wakatobi

Taman Nasional Laut Wakatobi di Sulawesi Tenggara yang luas areanya mencapai 1.390.000
ha (ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 393/Kpts-V/1996) terkenal di
dunia karena kekayaan jenis terumbu karangnya. Wakatobi merupakan kependekan dari
nama empat pulau besar yang ada di kawasan tersebut, yaitu Pulau Wangi-wangi, Pulau
Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko.

Keanekaragaman jenisnya melebihi jenis terumbu karang di laut Karibia (50 jenis) dan Laut
Merah di Mesir (300 jenis) (Kompas, 5/12/08). Secara umum perairan lautnya mempunyai
konfigurasi dari mulai datar sampai melandai kearah laut, dan beberapa daerah perairan
terdapat yang bertubir curam. Kedalaman airnya bervariasi, bagian terdalam mencapai
1.044 meter dengan dasar perairan sebagian besar berpasir dan berkarang.

Taman nasional ini memiliki 25 buah gugusan terumbu karang dengan keliling pantai dari
pulau-pulau karang sepanjang 600 km. Lebih dari 112 jenis karang dari 13 famili diantaranya
Acropora formosa, A. hyacinthus, Psammocora profundasafla, Pavona cactus, Leptoseris
yabei, Fungia molucensis, Lobophyllia robusta, Merulina ampliata, Platygyra versifora,
Euphyllia glabrescens, Tubastraea frondes, Stylophora pistillata, Sarcophyton
throchelliophorum, dan Sinularia spp.

Di perairan Taman Nasional ini juga terdapat 93 jenis ikan hias bernilai ekonomi tinggi,
seperti peackock grouper (Cephalopholus argus), spotted rabbitfish (Siganus guttatus), ikan
Napoleon, Humphead Wrasse (Cheilinus undulates) dan lain-lain. Belum lagi beberapa jenis

18
penyu seperti penyu sisik, Hawksbill turtle (eretmochelys imbricate), penyu tempayan,
loggerhead turtle (Caretta caretta) dan penyu lekang, Olive ridley turtle (Lepidochlys
clivacea)

Selain terdapat beberapa jenis burung laut seperti angsa-batu coklat (Sula leucogaster
plotus), cerek melayu (Charadrius peronii), raja udang erasia (Alcedo atthis); juga terdapat
tiga jenis penyu yang sering mendarat di pulau-pulau yang ada di taman nasional yaitu
penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu tempayan (Caretta caretta), dan penyu lekang
(Lepidochelys olivacea).

2.3 Kearifan Lokal Suku Kaili

Suku Kaili merupakan suku asli kota Palu. Masyarakat suku


ini mendiami sebagian besar wilayah Sulawesi Tengah meliputi
Kota Palu, Kabupaten Donggala, Kabupaten Kulawi, Parigi dan
Ampana. Sebagian Kabupaten poso dan sejumlah kecil mendiami
kabupaten lainnya seperti Kabupaten Buol dan kabuaten Toli-toli.
Ada sejumlah versi mengenai asal-usul nama suku “Kaili” ini. Secara
kebahasaan, kata kaili berasal dari nama pohon. Pohon kaili ini
tumbuh subur di tepi sungai Palu dan teluk Palu. Pada zaman dulu,
tepi pantai Teluk Palu letaknya menjorok kurang lebih 34 km dari letak pantai sekarang,
yaitu di Kampung Bangga. Sebagai buktinya, di daerah Bobo sampai ke Bangga banyak
ditemukan karang dan rerumputan pantai/laut. Bahkan di sana ada sebuah sumur yang
airnya pasang pada saat air di laut sedang pasang demikian juga akan surut pada saat air
laut surut.

Masyarakat Kaili memiliki pengetahuan lokal dalam pelestarian hutan dan perairan danau
Lindu. Alat penangkapan ikan dengan teknologi sederhana yaitu pukat atau jaring (Landa)
dan pancing (Peka) atau Kipu (perangkap ikan). Diantara jenis ikan yang dapat ditangkap dan
dikonsumsi oleh penduduk setempat yaitu sumi-sumi, karper, uru (ikan gabus, ikan kosa,
ikan pajanggo (ikan lele), gurami, mujair, belut, ikan
tawes. Ikan yang tidak boleh ditangkap adalah ikan
jenis masapi (sugili) diyakini ikan jadi-jadian. Untuk

19
menjaga eksistensi danau lindu, diberlakukan pantangan atau tabu menangkap ikan pada
masa atau waktu tertentu yang disebut “ Masa Ombo” kearifan lokal dalam bentuk
pelarangan menangkap ikan. Ombo terdiri atas: Ombo Ngiki, Ombo Suaka, dan Ombo
Pemerintah. Masa Ombo bertujuan untuk mengatur dan mengontrol populasi ikan agar
tetap stabil.

Ombo Ngiki yaitu pantangan menangkap ikan di danau, sedang di darat pantangan
melakukan pesta, kecuali aktivitas biasa tiapa hari , Waktunya sampai tiga bulan. Selain itu,
ikan mujair yang kecil tidak boleh ditangkap atau dijual, kalaupun terjaring harus dilepas
kembali ke danau, karena ikan mujair yang kecil dapat memakan jentik nyamuk malaria.

Ombo Suaka, berlaku selama 40 hari jika ada salah satu keluarga Madika (bangsawan dan
keluarganya) meninggal dunia, hanya dibatasi wilayah penutupan lokasi penangkapan ikan,
sesuai daerah atau tempat tinggal madika tersebut, termasuk tokoh adat yang dihormati
dan dituakan di desanya. Ombo pemerintah berlaku pelarangan penangkapan ikan kalau
dianggap bahwa benar-benar dalam kondisi kerusakan yang sangat parah selama dua bulan.

Pengetahuan tentang vegetasi yang dapat menjaga kelestarian hutan dan erosi yang
berada di sekitar danau lindu, antara lain: kayu tea, kayu beata, kayu mona, kayu kapa,
kalibau. Jenis kayu yang disebutkan itu berlaku pelarangan untuk ditebang, hanya yang
dibolehkan diambil adalah ranting-ranting yang kering diperuntukkan kayu bakar.
Maksudnya untuk mengantisipasi terjadinya tanah longsor dan banjir. Bagi masyarakat Kaili
juga berlaku secara adat dalam melestarikan hutan dengan jenis pohon yang harus
dilestarikan seperti, pohon malabano, nokilana, maravola, malasia, dan tanjaibo. Pelestarian
tersebut merupakan upaya masyarakat untuk tetap melestarikan hutan agar tidak kena
longsor atau bahaya banjir yang bisa merusak lingkungan dan perumahan .

20
2.4 Persamaan dan Perbedaan Antarsuku

Beberapa sub-etnis suku Kaili yang berasal dari lembah Sigi dan kota Palu yang ikut
hidup bersama-sama di desa Toro berdampingan dengan suku moma . Dikarenakan hal
tersebut kearifan local antara suku kaili dengan suku moma memiliki beberapa persamaan
seperti kearifan lokal dalam pelestarian hutan di wilayah sekitar danau lindu . Namun dalam
pelaksanaanya kearifan lokal suku kaili lebih dipusatkan pada vegetasi-vegetasi dan ikan-
ikan sekitar danau Lindu berupa tidak diperbolehkan menebang pohon-pohon tertentu
(kayu tea, kayu beata, kayu mona, kayu kapa, kalibau) , alat penangkapan menggunakan
kipu serta pantangan Ombo guna mengatur dan mengontrol populasi ikan agar tetap stabil ,
melakukan pelestarian tehadap jenis-jenis pohon tertentu (pohon malabano, nokilana,
maravola, malasia, dan tanjaibo) .

Sedangkan suku moma menjadikan wilayah sekitar danau lindu sebagai taman
nasional dan berfokus pada pemanfaatan Sumber Daya Alam dan perlindungan terhadap
habitat hewan tertentu disekitar danau Lindu.

Suku Kaili memiliki kesamaan tujuan kearifan lokal dengan suku Bajo berupa
menjaga populasi ikan agar tetap stabil . Namun bentuk kearifan lokal suku kaili dengan
suku Bajo sedikit berbeda seperti pada suku Kaili diadakannya pantangan melaut ( Ombo )
dengan variasi waktu sedangkan pada suku Bajo pantangan diberikan kepada keluarga yang
melaut berupa dilarang membuang ke perairan laut seperti, air cucian teripang, arang kayu

21
atau abu dapur, puntung dan abu rokok, air cabai, jahe dan air perasan jeruk, dan larangan
mencuci alat memasak (wajan) di perairan laut.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Masyarakat suku Kaili, suku Bajo, dan suku Moma yang hidup di provinsi Sulawesi
merupakan masyarakat yang masih mempertahankan kearifan lokal secara turun menurun.
Sebenarnya kearifan lokal dari masing-masing suku tersebut memiliki tujuan yang sama,
yaitu untuk menjaga alam agar tetap lestari keberadaannya, namun dengan cara dan
kepercayaan yang berbeda.

3.2.Saran

a. Sebagai masyarakat Indonesia harus dapat menjaga alam agar tetap lestari
sehingga tetap dapat menjadi sumber kehidupan makhluk hidup.
b. Setiap kearifan lokal yang ada di masing-masing daerah suku yang bertujuan untuk
menjaga alam tetaplah dipertahankan.
c. Pemerintah juga harus mempertegas pengaturan bagi pelaku pengrusakkan alam.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.mongabay.co.id/2014/10/06/ngata-toro-desa-adat-yang-berani-beri-
denda-kepada-taman-nasional
2. http://www.downtoearth-indonesia.org/sites/downtoearth-indonesia.org/files/R-7-
Toro.pdf

3. http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/basisdata-kawasan-konservasi/details/1/12
4.  http://melayuonline.com/ind/article/read/945/kearifan-lokal-masyarakat-di-sekitar-
kawasan-taman-nasional-lore-lindu-palu-sulawesi-tengah-dalam-pengelolaan-hutan-
dan-pemanfaatan-sumber-daya-alam
5. http://www.mongabay.co.id/2014/01/26/kearifan-suku-bajo-menjaga-kelestarian-
pesisir-dan-laut/

23

Anda mungkin juga menyukai