Anda di halaman 1dari 3

“Budaya Pemburuan Paus di Lamalera dan Sasi Laut di Maluku”

Nama : Sapira Sari

NIM : 2006056007

MK : Konservasi Laut

Dalam beberapa dekade terakhir, kearifan lokal telah mendapat perhatian besar dari
berbagai pihak, terutama dari lembaga swadaya masyarakat. Beberapa pemerintah daerah pun
mulai mempelajari kearifan lokal yang ada di daerah mereka. Semakin dominannya dampak
modernisasi, yang membawa konsekuensi negatif, menyebabkan ketertarikan ini. Eksploitasi
sumber daya alam yang tidak terkendali akan merusak semua lingkungan, termasuk lingkungan
laut. Kearifan lokal adalah aspek budaya dan sosial yang berasal dari kehidupan bermasyarakat
yang telah berlangsung secara turun temurun, kearifan lokal diharapkan dapat mengatasi
ancaman degradasi lingkungan. Kearifan lokal dapat muncul dalam berbagai bentuk dalam
ranah kebudayaan, seperti ide, gagasan, nilai, norma, dan peraturan, dan dalam kehidupan
sosial, seperti sistem religius, organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, dan sistem mata
pelajaran (Koentjaraningrat, 1964). Hnhj hjhj

Salah satu kearifan lokal yang menjadi pusat perhatian yaitu kelompok nelayan
masyarakat Lamalera dengan menangkap paus. Di dalam sebuah pledang (perahu tradisional
Lamalera) yang digunakan untuk berburu ikan paus, Lamafa menempati tempat di depan
sebagai kapten (pemimpin) sekaligus pemegang senjata tradisional tempuling yang digunakan
untuk menikam ikan paus. Seorang Lamafa tentu memiliki nyali dan keberanian yang besar
karena dia bertaruh nyawa setiap kali menikam seekor ikan paus. Dalam kenyataannya, cukup
banyak Lamafa yang meregang nyawa di lautan dalam misi perburuan ikan paus ini. Lamafa
dibantu oleh asistennya yang disebut Breungalep, matros yang lain (biasanya 10 ruas) yang
diduduki oleh masing-masing orang yang disebut dengan nama Meng. Di bagian belakang
(buritan),duduklah juru mudi yang disebut Lamauri (Bataona,2015:10-11).

Di satu sisi, paus adalah mamalia yang terdaftar sebagai hewan yang dilindungi karena
populasinya yang semakin berkurang. Menurut Hans (2008), orang Lamalera menyadari bahwa
mereka tidak bisa hidup tanpa ikan paus. Karena paus merupakan sumber kehidupan, kearifan
lokal telah ada selama bertahun-tahun untuk melestarikan paus dengan menjaga ekosistem laut
dan pesisir tetap seimbang. Namun, yang dilakukan masyarakat Maluku berbeda, mereka telah
melakukan upaya untuk melestarikan lingkungan hidup sejak lama. Ini dibuktikan oleh budaya
masyarakat Maluku yang melarang pengambilan hasil potensi tertentu dengan atau tanpa
merusak lingkungan. Kegiatan ini disebut sebagai "SASI", yang merupakan tradisi masyarakat
di Maluku untuk menjaga hasil potensi tertentu. Sumber daya alam dapat terus berkembang
dan berkembang melalui peran sasi. Dengan kata lain, untuk mencapai hasil yang memuaskan,
baik sumber daya nabati maupun alam harus dilestarikan selama periode waktu tertentu (W.
Pattanama & M.Patipelony, 2003). Tujuannya adalah untuk memberi sumber daya laut yang
dilindungi waktu yang cukup untuk berkembang biak, yang akan menghasilkan hasil panen
yang lebih tinggi.

Setelah ditinjau terkait apa yang dilakukan dari adat dan budaya masyarakat Lamalera
dan Maluku berbanding terbalik, masyarakat lamalera melakukan budaya yaitu “Pemburuan
Paus” Hal ini berbanding terbalik dengan Pasal 1 angka 2 PP No.60/2007, konservasi jenis
ikan adalah upaya melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan sumber daya ikan, untuk
menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan jenis ikan bagi generasi sekarang
maupun yang akan datang. Tradisi perburuan paus jelas berpengaruh terhadap lingkungan
khususnya ekosistem laut. Perburuan secara besar-besaran dapat mengancam ekosistem laut
bahkan kepunahan bagi paus yang sudah jelas masuk Daftar Merah Spesies Terancam Punah
IUCN pada tahun 2008 dan terdaftar sebagai rentan, sehingga seharusnya perlu dilakukan
konservasi terhadap paus yang terancam punah, dikarenakan paus berperan dalam menjaga
kehidupan laut. Langkah-langkah pengelolaan sumber daya paus di Indonesia perlu terus
dilakukan, termasuk pengembangan wisata bahari, sehingga tetap dapat memberikan
manfaat secara ekonomi bagi masyarakat secara luas. Namun berbeda dengan budaya “Sasi
Laut” yang dilakukan oleh masyarakat Maluku, hal ini sejalan dengan prinsip konservasi
dikarenakan adanya larangan pengambilan hasil potensi laut dalam periode waktu tertentu
dengan tujuan untuk memberi sumber daya laut yang dilindungi waktu yang cukup untuk
berkembang biak, yang akan menghasilkan hasil panen yang lebih tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Bataona, Fince.2015. Lamafa Sebuah Novel: Perum Mega Regency Blok N2 No.10
Sukaragam, Bekasi, Jawa Barat: Kandil Semesta.

Hans. 2008. Penangkapan Paus di Lamalera Perhatikan Aspek Konservasi.


http://www.nttonlinenews. com/ Diakses pada tanggal 6 Februari 2009
Koentjaraningrat. 1964. Masyarakat Desa Masa Kini. Balai Penerbitan Fakultas Ekonomi UI,
Jakarta.

Kurniasari, N. and Reswati, E., 2011. Kearifan Lokal Masyarakat Lamalera: Sebuah ekspresi
hubungan manusia dengan laut. Buletin Ilmiah Marina Sosial Ekonomi Kelautan Dan
Perikanan, 6(2), pp.29-33.

W. Pattinama, dan M, Pattipeilohy. ”Upacara Sasi ikan Lompa di Negeri Haruku.” Kementrian
Kebudayaan dan Pariwisata Balai kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Ambon, 2003.

Anda mungkin juga menyukai