Anda di halaman 1dari 9

PERMASALAHAN DAN REKAYASA KULTURAL LINGKUNGAN

TROPIS PADA MASYARAKAT NELAYAN PESISIR


KABUPATEN BONE
Oleh :
A. Muhammad Ishak Yusma
(Perencana Muda)

LATAR BELAKANG

Lautan berkontribusi sebesar 2,5 triliun dolar AS terhadap


perekonomian global setiap tahun, menjadi sumber pangan bagi 3 miliar
penduduk, merupakan rumah bagi lebih dari separuh spesies dunia,
menghasilkan separuh dari oksigen di planet, dan menyerap seperempat
emisi karbon dioksida. Namun, laut adalah harta yangberada dalam bahaya.

Indonesia terus berjuang melawan berbagai masalah lingkungan


yang saat ini terjadi akibat pembangunan yang tidak berkelanjutan. Lautan
pun terkena dampaknya. Permasalahan seperti polusi laut dan pesisir,
perubahan iklim, dan perusakan habitat terus terjadi. Meningkatnya
permintaan akan sumber daya, kemajuan teknologi, penangkapan ikan
berlebihan, serta tata kelola dan penegakan hukum yang belum memadai juga
berkontribusi terhadap kemerosotan kualitas laut. Penangkapan ikan ilegal,
tidak dilaporkan, dan tidak diatur juga berlanjut, mengakibatkan eksploitasi
sumber daya secara berlebihan.

Terumbu karang terancam oleh penangkapan ikan yang tidak


bertanggung jawab dan tidak diatur. Rusaknya terumbu karang pun
diperparah oleh perubahan iklim global yang menyebabkan pengasaman dan
pemanasan lautan. Sekitar 82 persen wilayah terumbu karang di Indonesia
terancam rusak (Burke et al., 2002).

Indonesia adalah penyumbang sampah plastik di laut terbesar kedua di dunia


setelah Cina. Pada tahun 2010, sekitar 1,29 juta ton dari total 3,2 juta ton
sampah plastik di Indonesia berakhir di laut (Jambeck et al., 2015).
Pencemaran plastik tidak hanya merugikan bagi makhluk hidup di lautan,
tetapi juga kita manusia yang berada di bagianatas rantai makanan.

Lebih lanjut, bakau, bagian kunci dari karbon biru selain lamun
dan rawa pasang surut, telah banyak menghilang akibat konversi ke budidaya
udang dan minyak sawit (Richards dan Friess, 2016) pada tingkat yang
mengkhawatirkan (29.040 Gg CO2 per tahun), setara dengan 3,2 persen dari
emisi tahunan Indonesia yang terkait dengan konversi hutan dan lahan
gambut (Alongi et al., 2016).

Sumber daya kelautan menjadi tujuan ke 14 SDGS (sustainable


Development Goals) atau pembangunan berkelanjutan yaitu mengkonversi
dan memanfaatkan sumber daya laut, samudra dan maritime untuk
pembangunan yang berkelanjutan dengan target:

1. Pada tahun 2025, mencegah dan secara signifikan mengurangi segala


jenis polusi kelautan, terutama dari aktivitas daratan, termasuk serpihan
sisa barang laut dan dan polusi bahan makanan
2. Pada tahun 2020, secara berkelanjutan mengelola dan melindungi
ekosistem laut dan pesisir untuk menghindari dampak buruk yang
signifikan, termasuk dengan memperkuat daya tahannya, dan
melakukan aksi restorasi agar dapat mencapai kelautan yang sehat dan
produktif
3. Meminimalisir dan mengatasi dampak dari bertambahnya keasaman air
laut, termasuk memperbanyak kerjasama ilmiah pada setiap level
4. Pada tahun 2020, secara efektif meregulasi panen dan pengambilan
ikan secara berlebihan, pemancingan illegal, tidak terlaporkan dan tidak
teregulasi, juga praktek-praktek pemancingan yang destruktif serta
mengimplementasikan perencanaan manajemen berbasis ilmiah agar
dapat mengembalikan persediaan ikan secepat mungkin, setidaknya
padalevel dimana dapat memproduksi hasil maksimum yang
berkelanjutan sebagaimana karasteristik biologis masing- masing ikan
5. Pada tahun 2020, mengkonservasi setidaknya 10 persen dari area
pesisir laut, konsisten dengan hukum nasional dan internasional dan
berdasarkan informasi ilmiah terbaik yang tersedia
6. Pada tahun 2020, melarang bentuk tertentu dari subsidi perikanan yang
berkontribusi terhadap kapasitas berlebih dan pengambilan ikan yang
berlebihan, menghilangkan subsidi yang berkontribusi terhadap
penangkapan ikan yang ilegal, tidak terlaporkan dan tidak teregulasi dan
menahan diri dari memperkenalkan bentuk subsidi yang demikian,
dengan kesadaran bahwa perlakuan khusus dan diferensial yang layak
dan efektif untuk negara-negara berkembang dan kurang berkembang
harus menjadi bagian integral dari negosiasi subsidi WTO2

7. Pada tahun 2030, meningkatkan keuntungan ekonomi bagi negara


berkembang kepulauan kecil dan negara kurang berkembang dari
penggunaan yang berkelanjutan terhadap sumberdaya kelautan,
termasuk melalui manajemen yang berkelanjutan dari perikanan,
budidaya pariwisata perairan

 Meningkatkan pengetahuan ilmiah, mengembangkan kapasitas riset


dan transfer teknologi kelautan, dengan melihat pada Kriteria dan
Panduan Komisi Antar Pemerintah Oceanografi mengenai Transfer
Teknologi Kelautan, agar dapat meningkatkan kesehatan laut dan
memperbanyak kontribusi keaneka ragaman hayati laut terhadap
pembangunan negara-negara berkembang, khususnya negara
berkembang kepulauan kecil dan negara kurang berkembang
 Menyediakan akses terhadap sumber daya kelautan dan pasar bagi
nelayan kecil
 Memperbanyak konservasi dan penggunaan yang berkelanjutan
terhadap laut dan sumber dayanya, seperti yang tertera di paragraf 158
dari “The Future We Want” (Masa Depan yang Kami Inginkan)

Direktur Kelautan dan Perikanan Kementerian Perencanaan


Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas) Sri Yanti, Senin (22/8) memaparkan sektor kelautan dan
perikanan di Indonesia masih menghadapi sejumlah isu dan tantangan. Antara
lain adalah usaha perikanan yang masih di dominasi oleh skala kecil dan
tradisional, pemanfaatan teknologi yang masih sederhana, akses permodalan
dan pengembangan usaha juga masih terbatas, infrastruktur perikanan seperti
pelabuhan perikanan dan balai benih serta infrastruktur pendukung lainnya
masih kurang dibandingkan dengan potensi yang ada, dan masih belum
efektifnya wilayah pengelolaan perikanan (WPP)

Menurutnya, sejalan dengan apa yang sudah disepakati dalam


SDGs untuk melaksanakan perikanan berkelanjutan, Indonesia juga fokus
pada paraktik-praktik penggunaan sumber daya berkelanjutan, adil dan
kompetitif dengan menggunakan WPP sebagai basis perikanan berkelanjutan.

“Transformasi kelembagaan juga dilakukan dengan memperbaiki


tata kelola WPP, penataan rencana tata ruang pesisir dan laut. Ini menjadi
fokus utama untuk menjaga keberlanjutan dari usaha yang akan
dikembangkan di WPP,” jelasnya.

Selain itu, sebagai bagian dari SDGs pengelolaan ekosistem juga


dilakukan secara berkelanjutan dengan meningkatkan produksi, produktivitas,
jaminan mutu, keamanan hasil kelautan dan perikanan, fasilitas usaha,
peningkatan kesejahteraan, pemberdayaan nelayan dan pembudidaya, serta
meningkatkan kompetensi dari SDM, inovasi teknologi dan penguatan data
kelautan perikanan

Berdasarkan penjelasan di atas salah satu upaya untuk menuju


pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan perlu meningkatkan
pemberdayaan nelayan dan kelembagaannya. Salah satu cara yang bisa
dilakukan adalah dengan menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan local
masyarakat nelayan dengan ditujang tehnologi dan pengetahuan yang sejalan
dengan nilai-nilai local masyarakat..
KEARIFAN LOKAL NELAYAN BONE SULAWESI SELATAN

Sebagai daerah bekas kerajaan besar diSulawesi selatan dengan


slogan masyarakatnya “beradat”, masyarakat Bone memiliki banyak nilai-nilai
kearifan local yang hidup sebagai bagian dari pranata social masyarakatnya.
Tidak terkecuali dalam bidang kemaritim ada banyak nilai-nilai local yang
hidup dan berkembang antara lain:

1. Tradisi ritual nelayan pabagang di desa lamurukung kecamatan


Tellusiatiange
Masyarakat nelayan di desa lamurukung khususnya nelayan
pabagang.memiliki tradisi yang disebut pesta rakyat pabagang dimana
dalam tradisi tersebut dilakukan ritual upacara larung kepala kerbau.
Upacara ini tidak diketahui sejak kapan dan darimana asalnya. Namun
menurut cerita turun temurun masyarakat setempat pernah terjadi suatu
ketika para nelayan pabagang berminggu-minggu tidak pernah
mendapatkan hasil tangkapan, sehingga untuk memenuhi kebutuhan
hidup mereka terasa sangat sulit, kejadian tersebut direspon dengan
melakukan ritual permohonan kepada penguasa lautan.

Pada dasarnya masyarakat nelayan lamurukung mempercayai


ada kekuatan gaib sebagai penguasa lautan yang bisa menggerakan
penghuni laut. Mereka meyakini kejadian kurangnya hasil tangkapan
dikarenakan ada kesalahan yang dilakukan oleh para nelayan yang
membuat penguasa lautan marah. Oleh sebab itu masyarakat nelayan
pabagang tersebut bermusyarah dan mengumpulkan uang sesuai
kemampuan untuk membeli kerbau sebagai ritual permohonan maaf
kepada penguasa lautan. Setelah dilakukan ritual masyarakat nelayan
mendapatkan hasil yang berlimpah,merekapun meyakini jika

persembahannya diterima. Sejak saat itu agenda ritual larung kepala


kerbau dijadikan agenda tahunan masyarakat nelayan pabagang desa
lamurukung.
Tradisi ritual nelayan pabagang masyarakat lamurukung
merupakan akultrasi nilai islam dan hindu yang berlangsung turun
temurun sejak ratusan tahun yang lalu. Pelaksanaan ritual tersebut
menggambarkan hubungan

a. manusia dengan manusia dimana dalam pelasanaan nilai


solidaritas dan gotong royong dimana dalam pelaksanaan ritual
dilaksanakan secara gotng royong sesuai kemampuan masing-
masing individu dan dimaksudkan untuk kebaikan bersama
masyarakat nelayan lamurukung.

b. Manusia dengan alam; ritual ini menjelaskan bagaimana bersikap


terhadap laut yang menjadi sumber kehidupan mereka. Ada
pantangan dan larangan yang disebut pamali dalam melakukan
aktifitasnya. Dimana masyarakat percaya apabila melakukan hal-
hal yang sifatnya pamali akan berdampak buruk bagi para nelayan.

c. Manusia dengan Tuhan dimana dalam ritual tersebut dilakukan


dengan upacara keagamaan sebagai bentuk syukur dan memohon
perlindunganterhadap aktifitas nelayan tersebut.

2. Kearifan konservasi sumber daya laut nelayan Bajoe


Salah satu kelompok nelayan tradisional yang ada di Kabupaten
Bone adalah nelayan suku Bajo yang terkenal sebagai nelayan yang ulung.
Mereka

menghabiskan sebagian besar waktunya di laut bahkan ada istilah yang


menggambarkan orang bajo yang terkenal yaitu “lahir, hidup dan mati di
lautan”. Nelayan suku bajo berdomisili sebagian besar di kelurahan bajoe
kecamatan. Taneteriattang timur.

Pola permukiman nelayan bajoe umumnya menetap di tepi pantai


dengan pola memanjang dan mengelompok. Rumah penduduk ditata secara
memanjang dan berjejer. Bagi suku nelayan di Kelurahan Bajoe unsur yang
mencolok dalam dinamika kelembagaan yakni terdapat Ponggawa (Pemilik
usaha/juragan/pemimpin) dan Sawi (anak buah). Nelayan di Kelurahan Bajoe
menggeluti mata pencaharian sebagai nelayan dengan mengandalkan hasil
laut, Kedekatan orang Bajoe dengan laut telah membentuk alam pikiran yang
berorientasi pada laut. (McGoodwin, 1990) menunjukkan bahwa nelayan
menolak untuk meninggalkan pekerjaan mereka bahkan saat tangkapan dan
pendapatan mengalami penurunan. Bukti lebih lanjut diberikan oleh (Pollnac &
Poggie Jr, 2006) dimana nelayan sangat terikat dan menolak meninggalkan
pekerjaannya meskipun pendapatan mereka menurun. Bagi nelayan di
Kelurahan Bajoe, laut dan keanekaragaman hayati yang terkandung di
dalamnya merupakan sumber kehidupan mereka. Wajar jika mereka
menggantungkan hidupnya dari hasil laut. Ketergantungan mereka terhadap
laut pun tercermin dalam pembagian hirarki kelompok sosial masyarakatnya.
Hal yang sama diungkapkan (Holling & Meffe, 1996) bahwa konservasi sumber
daya secara berkelanjutan diperlukan kontrol dari masyarakat, menuntutnya
dalam intensitas yang lebih besar, dan mengabaikan perubahan ekologis.
Dalam kehidupan mereka mengenal empat kelompok sosial masyarakat yang
dibagi menurut kebiasaannya mencari ikan di laut yaitu lilibu (yang

melaut 1-2 hari), papongka (melaut 1-2 minngu), sakai (melaut hingga 2
bulan, dan lame (melaut hingga berbulaubulan). Konservasi sumber daya
dapat bertahan karena adanya peraturan yang dibuat secara lokal dan
ditegakkan secara sosial oleh masyarakatnya (Berkes et al., 2000). Lebih
lanjut (Guerry et al., 2015) mengungkapkan bahwa kesadaran manusia
ketergantungan pada alam. Bagi nelayan tradisional di Kelurahan Bajoe
memandang laut sebagai milik bersama, dengan kata lain laut dapat
dimanfaatkan oleh siapa saja yang ingin mencari penghidupan. Laut
merupakan sebagai bagian integral dalam kehidupan nelayan orang Bajo, dan
mereka lahir, hidup dan mati di atas air laut. Sejak dahulu hingga sekarang.
Nelayan di kelurahan Bajoe, memahami laut dengan berbagai sudut pandang,
yaitu: (1) laut sebagai sehe (sahabat),
(2) laut sebagai tabar (obat), (3) laut sebagai anudinta (makanan), (4) laut
sebagai lalang (prasarana tranportasi), (5) laut sebagai patambangang
(tempat tinggal), (6) laut sebagai pamnnang ala' baka raha' (sumber kebaikan
dan keburukan), dan (7) laut sebagai patambangan umbo ma'dilao (tempat
leluhur orang Bajo yang menguasai laut), (hasil wawancara dengan Rahim,
tanggal 23 Agustus 2017). Senada dengan ungkapan (Ravikumar et al., 2016)
bahwa komunitas suku Nicobari memiliki pengetahuan tradisional pada untuk
eksploitasi ikan laut di Car Nicobar. Lebih lanjut (Salomon et al., 2015)
mengungkapkan bahwa pengetahuan tradisional dan catatan sejarah
mengungkapkan bahwa masyarakat adat di pesisir barat laut
mengembangkan beragam teknologi untuk melestarikan dan mengelola
sumber daya laut, seperti pemanenan selektif, pembatasan musiman pada
penggunaan atau konsumsi, dan kepemilikan yang bergantung pada
produktivitas yang berkelanjutan.

Masyarakat nealyan tradisional di Kelurahan Bajoe sangat


tergantung terhadap pada sumber daya laut. Masyarakat pesisir memliki
kedekatan dengan alam (Fatchan & Astina, 2016). Salah satu kelompok
masyarakat yang masih patuh dan menjunjung tinggi kearifan lokalnya adalah
nelayan di Kelurahan Bajoe Kecamatan Tanete Riattang Timur Kabupaten
Bone Provinsi Sulawesi Selatan. Masyarakat nelayan di Kelurahan Bajoe
memiliki kearifan lokal yakni: 1) memandang laut sebagai sebuah area yang
bersifat open acess atau terbuka, 2) menggunakan alat tangkap tradisional
seperti pancing (meng), tombak (sapah), dan panah (manak), 3) selalu
memilih/mengambil ikan yang usianya sudah matang dan membiarkan ikan-
ikan yang masih kecil/muda untuk tumbuh dewasa, serta tidak mengambil
jenis ikan yang tengah memasuki siklus musim kawin maupun yang sedang
bertelur dengan tujuan untuk menjaga regenerasi spesies dan populasi, 4)
memiliki pengetahuan tentang gejala alam (musim, bulan, bintang, gugusan
karang dan tanda-tanda lain yang terjadi), dan 5) adanya bentuk larangan
(pamali) yang harus dipatuhi, karena apabila tidah dipatuhi oleh nelayan
Bajo, maka dengan sendirinya akan mendatangkan bahaya (bala) atau
terkadang pula jatuh sakit ketika mereka telah tiba di darat. Prosesi rritual
yang dilakukan oleh nelayan pada prinsipnya adalah penghormatan kepada
kekuatan alam semesta dan sekaligus dapat membangkitkan kekuatan,
motivasi dan semangat kebaharian. Lebih lanjut (Syarif, 2020)
mengungkapkan bahwa ritual merupakan jendela untuk memahami berbagai
dimensi kehidupan termasuk nilainilai dalam suatu masyarakat. Konservasi
lingkungan berbasis kearifan lokal merupakan alat kontrol terhadap tindakan
masyarakat (Syarif et al., 2017a). Hal sama diungkap (Van der Meulen &
Salman, 1996) konservasi sumber daya laut harus dilaksanakan secara

bijaksana dan semua bentuk penggunaan lahan harus berkelanjutan secara


ekologis. (Mitchell, 2018) mengungkapkan bahwa masyarakat lokal telah
mengembangkan pemahaman terhadap sistem ekologi dimana mereka
tinggal. Oleh sebab itu kecerdasan local masyarakat pada dasarnya mampu
menjadi jalan pembangunan berkelanjutan selama didukung oleh sistem
politik dan pengetahuan dan tehnologi yang sejalan dengan nilai-nilai kearifan
local dimana masyarakat berdomisili.

Sumber:

1. https://wri-indonesia.org/id/our-work/topics/laut
2. https://www.sdg2030indonesia.org/page/22-tujuan-empatbelas
3. https://nusantaramaritimenews.id/berita/pengelolaan-kelautan-dan-
perikanan- indonesia-bagian-dari-sdgs/
4. https://jurnalpangadereng.kemdikbud.go.id/index.php/pangadereng/artic
le/view/5 2/33
5. Kearifan Konservasi Sumberdaya Laut Nelayan Tradisional Bajoe
SulawesiSelatan, Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai